Jumili-fsh.pdf

  • Uploaded by: Damar Sinatria
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jumili-fsh.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 17,176
  • Pages: 91
EFEKTIVITAS MEDIASI KPAI TERHADAP KASUS PENELANTARAN ANAK TAHUN 2014

SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana S yariah (S.S y)

Oleh: JUMILI NIM : 1111044100090

PROGAM STUDI HUKUM KELUARGA (AHWAL SYAKHSHIYYAH) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/2015 M

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skirpsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Univesitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakata, 19 Oktober 2015

Jumili

ABSTRAK

Jumili, 1111044100090, Efektivitas Mediasi KPAI Terhadap Penlentaran Anak Tahun 2014. Program Studi Hukum Keluarga, Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidaytullah Jakarta, 1437 / 2015. x + 75 halaman + 9 halaman lampiran. Melihat jumlah penelantaran terhadap anak semakin tinggi dan meresahkan. Dari database KPAI selama bulan Januari 2014 sampai dengan Desember 2014 terdapat 573 kasus yang berkaitan dengan anak, 87 kasus termasuk kasus penelantaran terhadap anak yang meliputi penelantaran anak di bidang Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, kesehatan, pendidikan, hak sipi, sosial, dan trafiking dan ekploitasi. Bentuk penelantaran yang dilakukan beranekaragam seperti Penelantaran anak / ekonomi (hak nafkah), penahanan anak dirumah sakit, anak putus sekolah, akta kelahiran anak, anak jalanan dan perdagangan anak. Faktor utamanya adalah ekonomi keluarga anak tersebut. Dalam menangani permasalahan diatas, menurut Pasal 76 huruf e UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, KPAI bertugas “melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran hak anak. Penelitian ini bertujuan untuk menegetahui jenis dan klasifikasi penelantaran terhadap anak dan sejauhmana keefektifitasan KPAI dalam melakukan tugasnya selaku Mediator selama tahun 2014. Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode Kualitatif. Langkah yang dilakukan penyusun untuk mendapatkan hasil yang diharapkan yaitu dengan melakukan wawancara dengan pihak KPAI, beserta menganalisis data-data yang diperoleh dari KPAI dan kemudian dari data yang diperoleh disusun secara sistematis. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini bahwa kinerja KPAI selaku Mediator pada tahun 2014 kurang efektif, karena dari 87 kasus yang berkaitan dengan penelantaran terhadap anak yang menghasilkan kesepakatan mediasi berjumlah 19 kasus, selain itu, KPAI tidak bisa memenuhi SOP (Standar Oprasional Pelaksanaan) yang telah ditentukan. Adapun kendala yang dihadapi KPAI dalam melakukan tugasnya sebagai mediator adalah kurangnya keordinasi antara anggota, belum ada sertifikat buat para mediator dan kurangnya SDM.

Kata Kunci

: KPAI, Mediasi, Penelantaran Anak

Dosen Pembimbing

: Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, Lc, MA

Daftar Pustaka

: Tahun 1984 s/d Tahun 2015

v

KATA PENGANTAR Segala puji hanya milik Allah Rabb Alam Semesta, kepada Allah kita memohon pertolongan atas segala urusan dunia dan agama, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah atas sebaik-baik Rasul yaitu Nabi Muhammad SAW, dan atas semua keluarganya, para shahabatnya, para tabi`in, dan semua yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari pembalasan. Dengan izin dan ridho Allah SWT, skripsi dengan judul “Efektivitas Mediasi KPAI Terhadap Penelantaran Anak Tahun 2014” telah selesai disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana syariah (S.Sy) strata satu dalam Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas

Syariah

dan

Hukum Universitas

Islam

Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa ada bantuan dari berbagai pihak. Maka tidak lupa penyusun mengucapkan terimakasih dan jazakumullah khoiru jaza kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajarannya, baik bapak/ibu dosen yang telah membekali penyusun dengan ilmu pengetahuan, maupun para staff yang telah membantu kelancaran administrasi. 2.

Dr. Abdul Halim, M.Ag Ketua Program Studi Hukum Keluarga dan Arip Purkon, MA Sekretaris Prodi Hukum Keluarga

vi

3. Dr. HM. Asrorun Ni’am Sholeh, Lc, MA. Dosen Pembimbing yang telah rela meluangkan waktu di tengah kesibukan untuk membimbing dan mengarahkan penyusun dalam pembuatan skripsi. 4. Dr. H. kamarusdiana MH. Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak memberikan sokongan dan dukungan kepada penyusun hingga skripsi ini selesai. 5. Sri Hidayati M.Ag Yang telah membantu dan mempermudah penyusun dalam menjalankan penyusunan skripsi ini. 6. Pengurus Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah menyediakan berbagai macam literatur dalam proses belajar di Universitas Islam Negeri (UIN) Syaruf Hiayatullah Jakarta, khususnya pada saat pembuatan skripsi. 7. Khusus kepada kedua orangtua, Ayahanda tercinta, M. Daud yang telah berjuang dengan keringat dan air mata demi pendidikan penyusun. Ibunda tercinta Fatmawati yang telah mencurahkan seluruh cinta dan kasih sayangnya melebihi apapun di dunia ini. Kepada keduanya penyusun mengucapakan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala perhatian, baik berupa moril ataupun materil yang selalu tercurahkan kepada penyusun. 8. Kakak-kakak Tercinta, Sulasmi, Saipul, Zumrowi, Nisla dan keluarga lainnya, yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada penyusun dalam menjalankan pendidikan. 9. Seseorang tersayang Siti Nuraini (cuint), yang selalu mememotivasi penyusun, dikala langkah ini terasa gontai dalam menghadapi penatnya kehidupan. Membuat penyusun bersemangat untuk menyelesaikan skripsi vii

ini, dengan harapan bisa lebih pantas untuk menjadi orang yang dia lihat, pahami dan dimengerti. 10. Teman-teman satu perjuangan angkatan 2011 Peradilan Agama, Badru Tamam, Fachry Alfian, Ibnu Iqbal Maulana, Rizaludin, Muhammad Rizkiandi, Muhammad Ali Muddin, Muhammad Nazir, Muhammad Abrar, Ahmad Firdaus, dan teman-teman lainnya yang telah banyak membantu dan mengisi hari dengan tawacanda yang itu menjadi semangat untuk belajar bersama. 11. Teman-teman Forsilawan dan Forsilawati Buntet Pesantren Cirebon, Ade Syamsul Falah, Ade Ratih, Dedi, ghozali, dan Forsilawan-Forsilawati lainnya yang telah membantu membangkitkan semangat penyusun dalam penyelesaian skripsi ini 12. Ahli WARNET Sugiatoro, yang selalu memberi arahan, masukan dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 13. Serta berbagai pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan seluruhnya, semoga amal baiknya diterima Allah SWT dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin. Saran dan kritik yang membangun, sangat ditunggu demi kesempurnaan penyusunan skripsi ini dan wawasan ilmu penyusun. Besar harapan penyusun, skripsi ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin.

Penulis Jumili

viii

DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ..............................

ii

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PENGUJI SIDANG .......................

iii

LEMBAR PERNYATAAN .........................................................................

iv

ABSTRAK ....................................................................................................

v

KATA PENGANTAR ..................................................................................

vi

DAFTAR ISI.................................................................................................

ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................................

1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ......................................................

5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................

6

D. Metode Penelitian ...........................................................................

7

E. Kerangka Teori dan Konsep ...........................................................

9

F. Review Studi Terdahulu ................................................................

12

G. Sistematika Penyusunan ..................................................................

1

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Anak ..............................................................................

14

B. Pengasuhan Anak (Hadhanah) ........................................................

17

C. Hak-hak dan Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua ......................

21

D. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak ...........................................

22

E. Anak Terlantar dan Penelantaran Anak ..........................................

27

F. Efektifitas ........................................................................................

32

G. Mediasi ............................................................................................

34

H. Komisi Perlindungan Anak Indonesia ............................................

36

ix

BAB III GAMBARAN UMUM KPAI A. Sejarah Singkat Pembentukan ......................................................

39

B. Tugas dan Fungsi ...........................................................................

42

C. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan.............................................

43

D. Visi, Misi, Tujuan, serta Arah Kebijakan Dan Strategi .................

45

E.

49

Kelembagaan KPAI Daerah ..........................................................

BAB IV ANALISIS PETA MASALAH A. Jenis, Klasifikasi dan Masalah Utama Penelantaran Anak .............

55

B. Efektivitas Mediasi KPAI terhadap Anak Terlantarkan Tahun 2014 ................................................................................................

60

C. Kendala yang dihadapi KPAI dalam Menjalankan Tugasnya Sebagai Mediator Penelantaran Anak Tahun 2014 .........................

68

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................................

71

B. Saran-saran ......................................................................................

72

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................

73

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1.

Undang-undang .............................................................................

76

2.

Hasil Wawancara ...........................................................................

77

3.

Dokumentasi .................................................................................

81

4.

Surat Keterangan Permohonan Wawancara ..................................

82

5.

Surat Kesediaan Menjadi Dosen Pembimbing ..............................

83

6. SOP KPAI .....................................................................................

84

x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Rumah tangga pada umumnya adalah sebagai sarana pembinaan moral sekaligus tempat membentuk kepribadian anak. Disinilah tempat awal anak berkembang dan belajar kehidupan dari orang tuanya. Orang tua merupakan guru sekaligus pengayom bagi kehidupan mereka. Tanpa orang tua kehidupan mereka terasa hampa dan kosong oleh karena itu kewajiban orang tua terhadap anak harus benar-benar diperhatikan. Anak merupakan individu yang unik, yang mana antara satu anak dengan yang lainnya memiliki potensi yang berbeda. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan potensi terhadap anak tersebut, dibutuhkan pemahaman terhadap dunianya. Persoalan mengasuh anak tidak ada hubungannya dengan perwalian terhadap anak, baik menyangkut perkawinannya maupun menyangkut hartanya, perkara mengasuh anak yaitu dalam arti mendidik dan menjaganya. 1 Kewajiban mendidik serta merawat anak merupakan amanat yang dibebankan Allah pada pundak ayah dan ibu. Dari setiap disiplin ilmu anak memiliki beberapa pengertian,sesuai dengan sudut pandang dan pengertian masing-masing. Menurut UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, anak adalah

1

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, pen: Masykur A.B.dkk, cet. ke-3, (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2004), h. 415.

1

2

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. 2 Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai subjek hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia telah mempunyai perangkat hukum guna melindungi anak-anak Indonesia, diantaranya adalah: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 20, pasal 20A ayat (1), pasal 21, pasal 28B ayat (2), pasal 34. 2. Undang-Undang RI No 4 Tahun 1979, Tentang Kesejahteraan Anak. 3. Undang-Undang RI No 7 Tahun 1984, Tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. 4. Undang-Undang RI No 3 Tahun 1997, Tentang Pengadilan Anak. 5. Undang-Undang RI No 4 Tahun 1997, Tentang Penyandang Cacat. 6. Undang-Undang RI No 20 Tahun 1999, Tentang Pengesahan Konvensi ILO Convention (mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja). 7. Undang-Undang RI No 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia (HAM). 8. Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak. 9. UU RI Nomor 35 Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak. 10. Kepres R.I. No 59 Tahun 2002, (R.A.N. Penghapusan Bentuk-bentuk Terburuk Pekerjaan Anak).

2

Prabowo, Budy, Anak-anak Korban Tsunami : Mereka Perlu Perlindungan Khusus, (Media perempuan Edisi No.6 Biro Umum dan Humas Kementerian Pemberdayan Perempuan Republik Indonesia), Jakarta, 2004, h.11-14.

3

11. Kepres R.I. No 88 Tahun 1999, (R.A.N. Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak).3 Anak adalah pewaris dan pembentuk masa depan bangsa. 4 Oleh karena itu, pemajuan, pemenuhan dan penjaminan perlindungan hak anak, memegang teguh prinsip-prinsip nondiskriminasi, mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak, melindungi kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, serta menghormati pandangan/pendapat anak dalam setiap hal yang menyangkut dirinya, merupakan prasyarat mutlak dalam upaya perlindungan anak yang efektif guna pembentukan watak serta karakter bangsa. Di Indonesia anak-anak mengalami persoalan yang kompleks. Secara kebudayaan mereka masih berada di tengah situasi menindas, gambaran tentang anak-anak ideal seperti yang tertera dalam Konvensi Hak Anak masih jauh dari kenyataan, mereka masih menjadi bagian yang terpinggirkan, tereksploitasi, terepresi oleh lingkungan dan budaya di mana mereka hidupseperti dalam keluarga, masyarakat, pendidikan formal di sekolah dan sektor kehidupan lainnya. Modernisasi di negeri ini belum memperhatikan persoalan anak dengan baik, justru yang terjadi mereka menjadi korban dari modernitas yang tengah berlangsung. 5 Penelantaran anak merupakan bagian dari bentuk kekerasan terhadap anak, karena ia termasuk dalam kekerasan anak secara sosial (social abuse). Kekerasan anak secara sosial mencakup penelantaran anak dan eksploitasi

3

Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, cet. ke-1 (Bandung: Nuansa, 2006), h. 13. Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, cet. ke-1, h.15. 5 MJA Nasir, Membela Anak Dengan Teater, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Purwangga, 2001), 4

h. 2.

4

anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak.6 Dalam hal ini anak diposisikan sebagai pihak intervensi dalam perkara tersebut. Dalam perundang-undangan, anak yang masih dibawah umur tidak memiliki kecakapan untuk bertindak hukum baik mengenai dirinya sendiri maupun orang lain. Namun ketiadaan kecakapan ini tidak bisa dijadikan alasan untuk menghilangkan hak asasi/dasarnya dalam mendapatkan keutuhan rumah tangga keluarganya. Ketiadaan kecakapan ini bisa diwakili melalui jalan advokasi terhadap anak yang bersangkutan yang orang tuanya sedang bercerai di pengadilan. Namun pada kenyataanya, banyak dari hak-hak anak yang tidak terpenuhi, oleh karena itu diperlukan lembaga yang membantu dalam memenuhi hak-hak anak tersebut, salah satunya ialah KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Menurut Pasal 76 UU NO 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002, Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan pemenuhan Hak Anak, memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan Perlindungan Anak, mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak, menerima dan melakukan

6

Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Cet.ke-1 (Bandung: Nusantara, 2006), h. 37

5

penelaahan atas pengaduan Masyarakat mengenai pelanggaran Hak Anak, melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak, melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk Masyarakat di bidang Perlindungan Anak dan memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merupakan satu-satunya lembaga yang kompeten dan concern dalam membela hak-hak anak. Intervensi bisa diajukan oleh lembaga ini ketika proses persidangan dilakukan dan pengadilan harus mempertimbangkan hak intervensi ini sebagai bagian dari tuntutan pihak ketiga yang dirugikan. Dari uraian latar belakang masalah ini, maka penyusun tertarik menganalis karya ilmiah dengan judul “Efektivitas Mediasi KPAI Terhadap Kasus Penelantaran Anak Tahun 2014”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Sesuai dengan pemaparan latar belakang diatas dan untuk lebih mengerucutkan pembahasan, maka penyusun akan membatasi masalah tentang penanganan kasus penelantaran anak di KPAI selama tahun 2014. 2. Perumusan Masalah Menurut Undang-undang anak harus dilindungi namun pada kenyataannya banyak hak-hak anak yang diterlantarkan. Adapun masalah penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

6

1. Bagaimana jenis dan klasifikasi pelaku penelantaran anak dan masalah utamanya? 2. Bagaimana Efektivitasan mediasi KPAI dalam menangani kasus penelantaran terhadap anak di tahun 2014? 3. Apa kendala keefektivitasan KPAI dalam menjalankan tugasnya sebagai mediator di tahun 2014? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui jenis dan klasifikasi penelantaran anak beserta masalah utamanya. 2. Untuk mengetahui keefektivitasan mediasi yang dilakukan KPAI dalam kasus penelantaran terhadap anak di tahun 2014. 3. Untuk mengetahui apa saja kendala yang dihadapi KPAI dalam melakukan tugasnya sebagai mediator di tahun 2014. 2. Manfaat Penelitian a. Dapat memberikan manfaat bagi penyusun dan para pecinta penelitian hukum dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan tentang permasalahan terhadap anak kususnya penelantaran terhadap anak. b. Dapat memeberikan informasi dan gambaran yang komprehensif serta sistematis kinerja KPAI dalam menangani kasus penelantaran terhadap anak sebagai mediator.

7

c. Dapat menambah ilmu pengetahuan sebagai bahan perbandingan bagi penyusun selanjutnya. D. Metode Penelitian Untuk memudahkan dalam penyusunan dan penyusunan skripsi ini, penyusun menggunakan berbagai metode diantaranya sebagai berikut: 1. Metode Pengumpulan Data a. Studi Pustaka, yaitu upaya mengindentifikasi secara sistematis den melakukan

analisi

terhadap

dokumen-dokumen

yang

memuat

informasi yang berkaitan dengan tema, obyek dan masalah penelitian yang akan dilakukan. Terdiri dari dua lamgkah yaitu kepustakaan penelitian yang meliputi laporan penelitian yang telah diterbitkan dan perpustakaan konseptual meliputi artikel-artikel atau buku-buku yang ditulis oleh para ahli yang memberikan pendapat, pengalaman, teoriteori atau ide-ide tentang apa yang baik dan yang buruk, hal-hal yang diinginkan dan tidak diinginkan dalam bidang masalah. b. Riset Lapangan, yaitu penelitian yang dilakukan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dengan menentukan objek penelitian yaitu petugas KPAI. Untuk mendapatkan data serta informasi di lapangan, penyusun mengumpulkan data dari sumber data terutama yang diambil dari obyek penelitian yaitu KPAI. 2. Metode Interview Interview adalah cara pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara langsung dari sumber utama data. Dalam interview ini

8

penyusun

menggunakan

interview

terstruktur,

maksudnya

adalah

penyusun membawakan kerangka-kerangka pertanyaan untuk disajikan kepada petugas KPAI. 3. Metode Observasi Observasi yaitu penyusun untuk mencari bahan penelitian dengan melakukan pengamatan dan pencatatan. Disini penyusun menagamati fakta yang dilapangan yang berhubungan lansung dengan mediasi yang dilakukan KPAI terhadap kasus penelantaran anak. 4. Metode Penyusunan Dari data data yang diperoleh di atas, kemudian disusun secara teratur dan sistematis lalu dianalisis secara kualitatif, dengan demikian jenis penelitian dalam karya ilmiah ini adalah penelitian kualitatif. 5. Analisi Data Anlisis data dalam skripsi ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu setelah data

diklasifikasikan

sesuai

aspek

data

yang

terkumpul

lalu

diinterpretasikan secara logis. Dengan demikian tergambar sejauh manakah efektivitas koordinasi kerja KPAI dalam memediasi kasus-kasus yang berkaitatan dengan penelantaran terhadap anak tahun 2014, dengan menganalisis data mediasi kasus yang telah Closed dan proses terkait Penelantaran Anak dari bulan Januari 2014 s/d bulan Desember 2014. Data yang diperoleh

penyusun melalui observasi, wawancara dan

dokumentasi setelah itu dianalisis kemudian disusun dalam laporan penelitian.

9

E. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Menurut

Agung Kurniawan

Efektivitas

adalah kemampuan

melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) dari pada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya.7 Menurut Supriono Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran suatu pusat tanggung jawab dengan sasaran yang mesti dicapai, semakin besar kontribusi daripada keluaran yang dihasilkan terhadap nilai pencapaian sasaran tersebut, maka dapat dikatakan efektif pula unit tersebut.8 Menurut Efendi Komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan.

9

Berdasarkan

pengertian Efektivitas tersebut bahwa indikator efektivitas dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak. 10

7

Agung Kurniawan, Transformasi Pelayanan Publik (Yogyakarta: Pembaruan 2005), h. 109. Supriono, Sistem Pengendalian Manajemen, (Jakarta: Erlangga, 2000) h. 29. 9 Effendy, Kamus Komunikasi. Bandung, (Bandung: Informatika, 1989), h. 14. 10 Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Cet. Ke-1 (Bandung: Nusantara, 2006), h. 37. 8

10

Penelantaran berdasarkan pasal 9 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 tentang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi: “setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharan”. Jadi konkretnya penelantaran rumah tangga yang dimaksud disini adalah penelantaran yang dilakukan misalnya oleh orang tua terhadap anak. Namun penelantaran yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak hanya sebatas keluarga inti, berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No 23 Tahun 2004 tentang Ketentuan Umum, dapat juga disebut melakukan penelantaran bila menelantarkan keluarga lain yang tinggal bersamanya dan menggantungkan kehidupannya kepada kepala rumah tangga. 2. Kernagka Konsepsi Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia efektivitas berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya, manjur, mujarab, dapat membawa hasil, berhasil guna). Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai. Jadi, efektivitas berarti ketercapaian atau keberhasilan suatu tujuan sesuai dengan rencana dan kebutuhan yang diperlukan, baik dalam penggunaan data, sarana maupun waktunya.

11

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini merujuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak “berada di tengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan dari para pihak yang bersengketa. Mediasi dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga (sebagai mediator atau penasihat) dalam penyelesaian suatu perselisihan.11 Penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak. 12 Penelantaran berdasarkan pasal 9 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 tentang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi: “setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharan”. Jadi konkretnya penelantaran rumah tangga yang dimaksud disini adalah penelantaran yang dilakukan misalnya oleh orang tua terhadap anak. 11 12

Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Gitamedia Press), h. 441. Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Cet. Ke-1 (Bandung: Nusantara, 2006), h. 37.

12

F. Review Studi Terdahulu Untuk memudahkan dan meyakinkan pembaca bahwa penyusun tidak melakukan plagiasi atau duplikasi maka penyusun menjabarkan review studi terdahulu sebagai berikut. Dalam sebuah skripsi yang berjudul “Kinerja Komisi Perlindungan Anak Dalam Menanggulangi Perdagangan Anak” yang ditulis oleh Ifada Imaniah (105045101487) Jurusan kepidanaan Islam. Menjelaskan tentang upaya dan pencegahan terhadap perdagangan anak dan penanggulangan yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Dalam sebuah skripsi yang berjudul “Penelantaran Terhadap Anak (Persepektif Hukum Islam dan UU No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak)” yang ditulis oleh Farhan (105044101364) Jurusan Peradilan Agama. Menjelaskan mengenai seputar kejahatan terhadap anak yang bersifat fisikal (pshsical abuse) dan seksual (sexual abuse) dan dikaitkan dengan kepidanaannya. Kemudian penyusun juga memaparkan komparasi antara hukum Islam dengan UU No. 23 tahun 2002 yang terkait dengan adopsi anak. Dari kedua skripsi di atas yang telah dipaparkan, maka dalam skripsi ini memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan yang penyusun maksud ialah mengenai perlindungan anak serta lembaga yang dikaji yaitu Komisi Perlindungan Anak (KPAI). Adapun perbedaan dari kedua skripsi yang telah dipaparkan diatas, ialah tugas atau peranan dari KPAI terhadap permasalahan yang dibahas, skripsi yang di susun oleh mahasiswa yang bernama Ifada Imaniah terfokus pada perdagangan anak dan penanggulangan terhadap kasus tersebut sedangkan dalam penyusunan ini mencakup kesluruahan dari jenis penelantaran terhadap anak termasuk perdangan anak dan perbedaan skripsi

13

yang disusun oleh mahasiswa yang bernama Farhan terfokus pada kekerasan seksual terhadap anak sedangkan dalam skrpsi ini terfokus pada penelantaran terhadap anak. G. Sistematika Penyusunan Dalam penyusunan skripsi ini, penyusun akan memberikan gambaran mengenai hal apa saja yang akan dilakukan maka secara garis besar gambaran tersebut dapat dilihat melalui sistematika skripsi berikut ini: BAB KESATU berisi, pendahuluan yang akan memberikan gambaran umum dan menyeluruh tentang skripsi ini dengan menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Kerangka Teori dan Konsepsi, Review Studi Terdahulu dan Sistematika Penyusunan. BAB KEDUA berisi, pengertian anak, pengasuhan anak (hadlonah), Hak dan kewajiban anak terhadap orang tua, kewajiban orang tua terhadap anak, anak terlantar dan penelantaran anak, efektivitas, mediasi dan KPAI. BAB KETIGA berisi, sejarah singkat pembentukan, tugas dan fungsi, bentuk organisasi KPAI, visi, misi, tujuan serta arah kebijakan dan straetgi KPAI, kelembagaan KPAD, implementasi tugas dan fungsi KPAI. BAB KEEMPAT berisi, jenis, klasifikasi serta masalah utamanya, dan efektivitas mediasi KPAI terhadap anak yang diterlantarkan tahun 2014 dan kendala keefektivitasan KPAI dalam menjalankan tugasnya sebagai mediator di tahun 2024. BAB KELIMA berisi Penutup, Kesimpulan dan Saran-saran.

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Anak Anak adalah titipan dari Allah yang diberikan kepada kedua orang tua untuk dijaga dirawat, dan diperhatikan yang harus diberikan kepada anak agar kelak anak akan menjadi Anugrah yang terindah, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surat at-Tahriim ayat 6 :

ۡ ُ ‫ي َ َٰٓأَُّيه َا ٱ ذ َِّل َين َءا َمنُو ْا كُ ٓو ْا َٱه ُف َس ُ ُۡك َو َٱ ۡى ِل‬ َٞ‫يُك نَ اٗرا َوكُو ُُىَا ٱنيذ ُاُ َوٱنۡ ِِ ََ َاٗر ُُ ََلَهۡۡ َا َملَٰ ٓ ِِ ٌََ ِِ َا‬ ‫ون‬ َ ‫ون َما يُ ۡؤ َم ُر‬ َ ُ‫ون ٱ ذ ََّلل َما ٓ َٱ َم َر ُ ُۡه َوي َ ۡف َعل‬ َ ‫ِصدَ اُ ذَّل ي َ ۡع ُص‬ Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaga nya malaikat-malaikat yang kasar, dan tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahnya” Masyarakat pada umumnya memahami pengertian anak adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu.1 Walapun dilahirkan bukan dari hubungan yang sah dalam kaca mata hukum. sehingga pada definisi ini tidak dibatasi oleh usia. Yang dimaksudkan adalah anak biologis dari kedua orang tua anak tersebut seperti ayah adalah anaknya kakek dan nenek. Pengertian anak dalam Islam disosialisasikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang arif dan berkedudukan mulia yang keberadaannya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan kehendak Allah SWT.2 Menurut ajaran Islam, Anak adalah amanah Allah SWT dan tidak dapat 1

W.JS Poerdaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), h.

38-39. 2

Iman Jauhari, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan, (Medan: Pusataka Bangsa, 2008), h. 46.

14

15

dianggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati oleh orang tuanya. Sebagai amanah, anak harus dijaga sebaik mungkin oleh orang tua yang mengasuhnya. Anak adalah manusia yang memiliki nilai kemanusiaan yang tidak bisa dihilangkan dengan alasan apapun. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia anak diartikan bahwa “manusia yang masih kecil” atau “anak-anak yang masih kecil (belum dewasa)”.3 Yang dimaksudkan adalah manusia yang berumur dibawah 6 (enam) tahun. Dalam setiap disiplin ilmu pengertian tentang anak dipahami berbedabeda, menurut undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang diartikan adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian kedudukan anak dari pandangan sistem hukum atau dalam kedudukan arti khusus sebagai subyek hukum. Kedudukan anak dalam arti tersebut meliputi pengelompokan kedalam subsistem dari pengertian sebagai berikut.4 1. Menurut Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945, anak mempunyai makna khusus terhadap pengertian dan status anak dalam bidang politik, karena menjadi dasar kedudukan anak pada pengertian ini, yaitu anak adalah subyek hukum dari sistem hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara, dan dibina untuk mencapai kesejahteraan. Pengertian politik menurut Undang-Undang 1945 melahirkan dan mendahulukan hak-hak yang harus diperoleh anak dari masyarakat, bangsa dan negara atau dengan

3

Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia,Pusat Pembinaan dan Perkembangan Bahasa (Jakarta: Balai Pustaka. 1998), h. 31. 4 Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Perlindungan Anak, (Jakarta : PT Gramedia Widasrana Indonesia, 2000), h. 17.

16

kata yang tepat pemerintah dan masyarakat lebih bertanggung jawab terhadap masalah social yuridis dan politik yang ada pada seorang anak. 2. Pengertian kedudukan anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam pengertian anak yang bermakna “penafsiran hukum secara negatif” dala arti seorang anak yang berstatus sebagai subyek hukum yang seharusnya bertanggung jawab atas tindak pidana (strafbaar feit) yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata karena kedudukan sebagai seorang anak yang berada dalam usia yang belum dewasa diletakkan sebagai seseorang yang mempunyai hak-hak khusus dan perlu untuk mendapatkan perlakuan khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku. 3. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, anak adalah seseorang yang berusia dibawah 21 tahun dan belum menikah. Anak adalah makhluk sosial sama seperti orang dewasa, namun karena ketidak cakapan hukum anak membutuhkan bantuan orang lain untuk dapat membantu mengembangkan kemampuan, karena anak lahir dengan segala kelemahan sehingga tanpa bantuan orang lain anak tidak dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal.5 4. Pengertian anak dalam pandang Psikologi berbeda dengan perspektif hukum yang mendefinisikan anak sebagai individu berusia dibawah 18 tahun, dalam perspektif psikologi, anak adalah individu yang berusia anatar 3-11 tahun. Diatas usia 11 tahun seseorang sudah dianggap remaja. Selain didasarkan oleh tanda-tanda perkembangan fisik, yang memang sangat jelas membedakan anak dengan individu yang sudah memasuki 5

Mulyanto, Model Pengembangan Anak Dalam Perlindungan Khusus, (Laporan Penelitian Pada Konfeksi Nasional Kesejahteraan Sosial Ketiga), DNIKS, Bukittinggi,Ta h. 67.

17

masa remaja, perbedaan juga didasarkan perkembangan kognisi dan moral individu.6 Keluarga menjadi benteng pertahanan yang pertama sekaligus yang terakhir dalam membentuk moral generasi bangsa. Sejatinya keluarga adalah pondasi primer bagi perkembangan, perilaku dan tingkah laku anak.

B. Pengasuhan Anak (hadhanah) Pengasuhan atau hadhanah dalam perspektif Islam menempati satu dari beberapa konsep perwalian yang pengaturan nya sangat jelas. Sejak anak masih dalam kandungan ia telah memiliki ahliyah wujub naqishah, 7 yaitu kepantasan untuk memiliki hak-hak. Janin berhak memiliki warisan, wakaf dan lain-lainnya disamping secara pasti ia memiliki nasab orang tuanya. Semua hak-hak tersebut akan berlaku secara efektif apabila ia telah lahir. Secara etimologi kata hadhanah (al-hadhanah) berarti “al-janb” yang berarti disamping atau berada dibawah ketiak, 8 atau juga bisa juga berarti meletakkan sesuatu dalam pengakuan. 9 Maksudnya adalah merawat dan mendidik

seseorang

yang

belum

mumayyiz

atau

yang

kehilangan

kecerdasannya, karena mereka tidak bisa mengerjakan keperluan diri sendiri. Secara terminologi menurut Zahabi dalam kitab Al-Syari’ah al Islamiyah: Dirasah Muqaranah Baina Mazahib Ahlu Sunnah Wal al-Mazahib al-Ja‟fariyah hadhanah adalah melayani anak kecil untuk mendidik dan 6

LBH Jakarta, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum” (LBH Jakarta: Jakarta, 2012), h. 12. 7 Ali Hasballah, ushul Tasyiri’ al-islamy, (Indonesia: Menara Kudus, tth. ), h. 394-395. 8 Abu Yahya Zakaria Anshari, Fathul Wahab, (Beirut. Dar AlKutub, 1987), Juz II. h. 212. 9 Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 166.

18

memperbaiki kepribadiannya oleh orang-orang yang berhak mendidiknya pada usia tertentu yang ia tidak bisa mengerjakan keperluan diri sendiri.10 Muhammad Syarbani, dalam kitab al-Iqna’, mendefinisikan hadhanah sebagai usaha mendidik atau mengasuh anak yang belum mandiri atau mampu dengan perkara-perkaranya, yaitu dengan sesuatu yang baik baginya, mencegahnya dari sesuatu yang membahayakannya walaupun dalam keadaan dewasa yang gila, seperti mempertahankan dengan memandikan badannya, pakaiannya, menghiasinya, memberi minyak padanya, dan sebagainya.11 Dalam pemeliharaan ini mencakup beberapa masalah seperti agama, ekonomi, pendidikan dan sosial beserta segala sesuatu yang menjadikan kebutuhan anak. Dalam konsep Islam tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah tangga, meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut. Karena itu yang terpenting adalah adanya kerjasama dan tolong menolong antara suami istri dalam memelihara anak dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa.12 Hadhanah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), merujuk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu, ia juga merujuk kepada pendapat fuqaha yang sangat dikenal di kalangan ulama dan masyarakat Islam Indonesia.

10

Muhammad Husein Zahabi, Al-Syari’ah al Islamiya: Dirasah Muqaranah Baina Mazahib Ahlu Sunnah Wal al-Mazahib al-Ja’fariyah, (Mesir: Dar al Kutub al Hadisah, 1968), h. 398. 11 Muhammad Syarbani, Al-Iqna’, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th), h. 489. 12 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1995), h. 97.

19

Pengertian anak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), berdasarkan Pasal 1 huruf g, pemeliharaan anak yang biasanyadisebut hadhanah merupakan kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.13 Menurut Pasal 98 ayat 1 KHI, batas usia anak yang mampu berdidri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun.14 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat beberapa pasal tentang pemeliharaan anak, dan untuk lebih jelasnya penyusun kemukakan pasal-pasal tersebut sebagai berikut: Menurut Pasal 156 KHI akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah: 1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: a. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu. b. ayah. c. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah. d. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan e. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu. f. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah. 2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.

13

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam,(Bandung: Nuansa Aulia, 2008),

h. 2. 14

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, h. 31.

20

3. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula. 4. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun). 5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c), dan (d). 6. Pengadilan

dapat

pula

dengan

mengingat

kemampuan

ayahnya

menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya. Pengertian pemeliharaan anak (Hadhanah) dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, Kata “Kuasa Asuh” sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 angka 11 UU Perlindungan Anak yang mengatakan bahwa kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemanpuan, bakat, serta minatnya. Berdasarkan penjelasan dari Pasal 1 Angka 11 UU Perlindungan Anak kata “Kuasa Asuh” dapat diartikan seseorang yang diwajibkan untuk memelihara anak tersebut. Di dalam UU Perlindungan Anak pada dasarnya murni mengatur tentang kepentingan terbaik bagi anak, tanpa melihat latar belakang dan kondisi orang

21

tuanya. Tanggung jawab melindngi anak berdasarkan UU di atas, secara tegas dikontruksikan dengan pelibatan kewajiban bersama antara orang tua, masyarakat dan Negara guna melakukan kepentingan yang terbaik bagi anak.

C. Hak dan Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua Pembahasan

hak

dan

kewajiban

anak

dalam

Undang-undang

Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 terdapat pada Bab III, dari pasal 4 sampai dengan pasal 19. Di antaranya Pasal 4 yang berbunyi: “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi” pasal 5 yang berbunyi: “Setiap anak

berhak

atas

suatu

nama

sebagai

identitas

diri

dan

status

kewarganegaraan” dan Pasal 8 yang berbunyi: “Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial’. Anak harus patuh dan ta’at kepada kedua orang tuanya, selama kedua orang tuanya tidak memerintahkan kepada sesuatu yang buruk dan dapat merugikan dirinya sendiri serta orang lain. Menurut Pasal 298 Ayat 1 KUH Perdata jo. 46 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa setiap anak wajib hormat dan patuh kepada orang tuanya.

15

Menurut Soetojo Prawirohadmidjojo dan

Marthalena Pohan, 16 ketentuan ini lebih merupakan norma kesusilaan dari pada norma hukum. Meskipun demikian, pelanggaran yang dilakukan oleh 15

Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 81. 16 Soetojo Prawirohamidjojo dan Martha Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, (Surabaya: Airlangga University Pres, 2000), h. 202.

22

anak yang masih minderjaring dapat memberikan alasan kepada orang tuanya yang menjalan kan kekuasaan untuk mengambil tindakan-tindakan koreksi terhadap anak. Kewajiban anak tersebut tidak hanya berlaku pada anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, tetapi juga pada anak yang dilahirkan diluar perkawinan dan beberapapun umurnya didalam kewajiban terhadap orang tua yang mengakuinya. Berbuat baik, patuh dan ta’at kepada kedua orang tua, banyak dijelaskan dalam al-qur’an dan hadits seperti firman Allah dalam Surah Al-ahqaf Ayat 15 sebagai berikut:

‫ُون‬ َ ‫َو َو ذّص ۡييَا ٱ َّۡل َوسٰ َن ب َ ِٰو ِ َِليۡ ِو ا ۡح َس ٰيًا ۖ َ ََحلَ ۡت ُو ُٱ هموُۥ ُن ۡرىاا َو َوضَ َع ۡت ُو ُن ۡرىاا ۖ َو َ َۡح ُُلُۥ َو ِف َصٰ ُُلُۥ ثَلَٰث‬ ِ َ ‫َصي ًۡراۚ َح ذ ٰ َّٓت ِ ا َذا بَلَ َغ َٱ ُص ذد ُهۥ َوبَلَ َغ َٱ ۡٗرب َ ِع َني َس يَ اٌ كَا َل َٗر ِ ّب َٱ ۡو ِز ۡع ِ ِٓن َٱ ۡن َٱ ۡص َُ َر ِه ۡع َم َت َم ٱن ذ ِ ٓت َٱهۡ َع ۡم‬ ِ ‫ََ َ ذيَل َوََ َ َٰل َ ٰو ِ َِل ذّي َو َٱ ۡن َٱ ۡ َۡع َل َّصٰ ِل احا تَ ۡرضَ ٰى ُو َو َٱ ّۡص ِل ۡح ِِل ِِف ُذ ِّٗري ذ ِ ۖٓت ا ِ ّّن تُبۡ ُ انَ ۡي َم َوا ِ ّّن ِم َن‬ ِ ِ ِ ‫ٱنۡ ُم ۡس ِل ِم َني‬ Artinya: “Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia berdo’a,”Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sungguh aku bertobat kepada Engkau, dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” D. Kewajiban Orang tua Terhadap Anak Dalam proses tumbuh kembang serta jaminan akan kesejateraan seorang anak sangat dibutuhkan peran orang tua, oleh karena itu kewajiban orang tua terhadap anak, harus benar-benar diperhatikan agar tidak terjadinya

23

penelantaran terhadap anak, baik dalam pendidikan, sosial, ekonomi dan agama anak tersebut, guna kepentingan terbaik baginya. Berdasarkan pasal 77 ayat (3) dan (4) Komplasi Hukum Islam, tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri yaitu: “suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya” dan “suami istri wajib memelihara kehormatannya”.17 Berdasarkan Pasal 26 Ayat 1 huruf a, b, c dan d UU RI Nomor 35 Tahun 2014, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI No 23 Tahun 2002, Tentang Perlindungan Anak, Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: 1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; 2. Menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; 3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan 4. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak. Berdasarkan Pasal 45 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Hak antara Orang tua dan Anak, “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya” dan “Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”.

17

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), h. 132.

24

Dalam Perspektif Fiqih Syari’at Islam merupakan sarana perlindungan anak dari tindak eksploitasi. Hukum Islam sebagai salah satu norma yang dianut dalam masyarakat perlu dijadikan landasan dalam mengkaji persoalan perlindungan anak. Orang tua seharusnya menyayangi anaknya dengan segala prilaku, pemberian, termasuk dalam memerintahkan sesuatu kepada anaknya. Suatu perintah harus dilandasi kasih sayang, bukan amarah, kebencian, sehingga cenderung bersifat eksploitatif atau memaksakan atas kehendak sendiri. Begitu juga sebaliknya, anak seharusnya menghormati orang tuanya dengan tulus dan ikhlas, bukan karena keterpaksaan. Dalam QS. al-An’am (6): 151, Allah Swt berfirman:

‫ۡش ُنو ْا ِب ِوۦ َص ۡأيا ۖ َوبِأنۡ َ ٰو ِ َِل ۡي ِن ا ۡح َس ٰ ايا ۖ َو ََّل تَ ۡل ُللُ ٓو ْا َٱ ۡونَٰدَ ُ م ِّم ۡن‬ ِ ۡ ُ ‫كُ ۡل تَ َعانَ ۡو ْا َٱ ۡت ُل َما َح ذر َم َٗرّبه ُ ُۡك ََلَ ۡي ُ ُۡكۖ َٱ ذَّل ت‬ ‫ا ۡملَٰ ٖق ذ َّۡن ُن ىَ ۡر ُزكُ ُ ُۡك َوا ذَّي ُ ُۡهۖ َو ََّل تَ ۡل َربُو ْا ٱنۡ َف َ ٰو ِح َش َما َظي ََر ِمۡنۡ َا َو َما ِب َ َط َ ۖن َو ََّل تَ ۡل ُللُو ْا ٱنيذ ۡف َس ٱن ذ ِت‬ ِ ‫ون‬ َ ُ‫َح ذر َم ٱ ذ َُّلل ا ذَّل بِأنۡ َِ ّۚ ِق َِذٰ ِن ُ ُۡك َو ذّص ٰى ُُك ِب ِوۦ نَ َعل ذ ُ ُۡك تَ ۡع ِلل‬ ِ Artinya: Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi. Islam telah melindungi masalah nasab dengan cara demikian, kemudian Islam juga menetapkan untuk anak dan orang tua, masing-masing mempunyai hak, sesuai dengan kedudukannya sebagai orang tua dan anak. Di samping itu Islam juga mengharamkan beberapa hal kepada mereka masing-masing, demi melindungi dan menjaga hak-hak tersebut. Ayat di atas menegaskan bahwa orang tua wajib melindungi masa depan anaknya karena kata “membunuh” dalam ayat di atas, tidak hanya berarti membunuh keberlangsungan hidupnya, tetapi juga menjerumuskan anak pada

25

masa depan yang suram. Maksudnya orang tua yang tidak memberikan hakhak yang seharusnya diberikan kepada anak bisa dikatakan membunuh, seperti anak tidak diberikan nafkah dan disuruh kerja di dunia malam (club, diskotik). Dalam ayat lain Allah Swt berwasiat agar setiap orang tua berpikir serius dan mempersiapkan anak-anaknya, agar di kemudian hari tidak menjadi orang yang lemah dan hina. QS. an-Nisa’(4): 9

‫َونۡ َيخ َۡش ٱ ذ َِّل َين ن َ ۡو تَ َر ُنو ْا ِم ۡن َخلۡ ِفي ِۡم ُذ ِّٗري ذ اٌ ِض َعٰ ًفا خَافُو ْا ََلَهۡۡ ِ ۡم فَلۡ َيتذ ُلو ْا ٱ ذ ََّلل َونۡ َي ُلونُو ْا كَ ۡو اَّل َس ِديدً ا‬ Artinya: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”(Q.S. an-Nisa (4) : 9) Abdurrahman bin Muhammad, seorang mufti Hadhramiyah, menyatakan: tidak di perbolehkan menjual anak demi mencukupi kebutuhan mereka, karena memperdagangkan orang merdeka hukumnya haram. 18 Maksudnya menjual adalah memperdagangkan anaknya untuk medapatkan uang guna mendukung perekonomian keluarga. Dalam genangan kebodohan dan kemalangan, karena memang sudah menjadi tabiat anak-anak sejak mereka dilahirkan selalu membutuhkan bimbingan, arahan, perhatian, dan asuhan.19 Tindak pidana pembunuhan dalam kitab undang-undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan terhadap nyawa (misdrjn tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa

18

Abdurrahman bin Muhammad, Bugyah al-Mustarsyidin, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th. ), h.

243. 19

Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Nisa’ Haula al-Rasul, diterjemahkan oleh Ahmad Sarbaini dengan judul Isteri-isteri dan Puteri-puteri Rasulullah Saw serta Peranan Beliau terhadap Mereka (Cet. II; Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2003), h. 231.

26

orang lain. 20 Pembunuhan sendiri berasal dari kata bunuh yang berarti mematikan, menghilangkan nyawa. Membunuh artinya membuat agar mati. Pembunuhan artinya orang atau alat hal membunuh. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai pembunuhan adalah perbuatan oleh siapa saja yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain.21 Untuk memahami arti pembunuhan ini dapat dilihat pada paal 338 KUHP yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.” 1. Pembunuhan merupakan perbuatan yang mengakibatkan kematian orang lain; 2. Pembunuhan itu sengaja, artinya diniatkan untuk membunuh; 3. Pembunuhan itu dilakukan dengan segera sesudah timbul maksud untuk membunuh.22 Dari penejelasan di atas bisa disimpulkan kewajiban orang tua terhadap anak adalah memberikan bimbingan yang baik, arahan yang bertujuan kepentingan terbaik bagi anak, perhatian dengan memberikan kasih dan sayang dan memberikan pengasuhan atau pemeliharaann (hadhanah).

20

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nywa, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), h. 55. 21 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 24. 22 R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bandung: PT. Karya Nusantara, 1989), h. 207.

27

E. Anak Terlantar dan Penelantaran Anak 1. Anak Terlantar Anak terlantar adalah anak yang tidak mendapatkan perhatian yang layak dari orang tua terhadap proses tumbuh kembang anak, atau penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses perkembangan anak.23 Seperti anak yang dikucilkan, tidak terurusnya pendidikan anak dan tidak diberikan perawatan kesehatan yang selayaknya. Dengan demikian anak akhirnya hidup dan mencari kebutuhannya sendiri. Menurut UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa anak terlantar ialah dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh-kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, anak terlantar adalah anak yang karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial. 2. Penelantaran Anak Penelantaran anak adalah sikap dan perilaku orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak, 23

Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 160.

28

misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak.24. Penelantaran berdasarkan pasal 9 ayat (1) UU No 23 Tahun 2004 tentang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi: “setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharan”. Jadi konkretnya penelantaran rumah tangga yang dimaksud disini adalah penelantaran yang dilakukan misalnya oleh orang tua terhadap anak.25 Namun penelantaran yang dimaksudkan oleh pasal tersebut tidak hanya sebatas keluarga inti, berdasarkan pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No 23 Tahun 2004 tentang Ketentuan Umum, dapat juga disebut melakukan penelantaran bila

menelantarkan

keluarga

lain

yang

tinggal

bersamanya

dan

menggantungkan kehidupannya kepada kepala rumah tangga.26 Berdasarkan bunyi pasal tersebut jelas, bahwa yang dimaksud dengan penelantaran adalah setiap bentuk pelalaian kewajiban dan tanggung jawab seseorang dalam rumah tangga yang menurut hukum seseorang itu telah ditetapkan sebagai pemegang tanggung jawab terhadap kehidupan orang yang berada dalam lingkungan keluarganya.27 Tindak pidana penelantaran dalam rumah tangga bila dikaitkan dengan ketiga kategori di atas, berdasarkan sifatnya, penelantaran dapat digolongkan 24

Abu Huraerah, Kekerasan Terhadap Anak, Cet. Ke-1 (Bandung: Nusantara, 2006), h.

37.

25

Lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Tentang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 26 Lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, Tentang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 27 Lihat Undang-Undang No 23 Tahun 2004, Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

29

pada kategori omisionis, karena memberikan kehidupan kepada orang-orang yang berada di bawah kendalinya adalah merupakan perintah UndangUndang, sehingga bila ia tidak memberikan sumber kehidupan tersebut kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya berarti ia telah melalaikan suruhan. Sebutan tindakan penelantaran tidak hanya berlaku saat masih menjadi pasangan utuh dalam rumah tangga, penelantaran pun dapat terjadi pada pasangan suami isteri yang telah bercerai, ayah sebagaimana dalam UndangUndang ditunjuk sebagai yang menanggung biaya anak bila mampu. 28 Dikatakan melakukan tindakan penelantaran bila anak yang masih di bawah tanggung jawabnya tidak diperhatikan hak-hak dan kepentingannya. Mengingat terjadinya tindakan penelantaran keluarga khususnya anak dalam masyarakat, maka fenomena tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak terkait yang memerlukan peningkatan dalam penegakan hukum. Para pihak yang dirugikan dapat melaporkan tindakan penelantaran ini kepada pihak kepolisian. dari beberapa pasal dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2004 yang memberikan ancaman pidana hanya beberapa saja yang merupakan delik aduan, sementara kebanyakan yang lainnya adalah delik biasa, disini kemudian dituntut peran aktif dari penegak hukum, khususnya parata kepolisian untuk proaktif dalam menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga ini.29

28 29

Lihat Pasal 41 Undang – Undang Nomor. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan. Jurnal Varia Peradilan, Edisi Agustus 2011, h. 56.

30

1. Macam-macam Penelantaran anak30 a. Penelantaran Fisik merupakan kasus terbanyak. b. Penelantaran Pendidikan terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun. c. Penelantaran Secara Emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika ribut dengan pasangannya. Bisa dengan pemberian perhatian yang berbeda terhadap anak-anaknya, seperti kakak lebih disayang dari pada adiknya. d. Penelantaran Fasilitas Medis. Hali ini terjadi karena ketika orang tua gagal menyediakan layanan medis utuk anak meskipun secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orang tua, orang tua memberi pengobatan tradisional terlebih dahulu, jika belum sembuh barulah kembali ke layanan dokter. 2. Penyebab Penelantaran anak Penelantaran anak seringkali terjadi pada keluarga yang memiliki banyak masalah. Kecanduan obat atau alkohol maupun penyakit menahun bisa menyebabkan kesulitan keuangan sehingga pemberian makan, perawatan dan perhatian kepada anak berkurang. Biasanya penelantaran anak itu terjadi pada keluarga yang tidak mampu, 31 mungkin saja dikarenakan seorang orang tua tunggal (single

30

http://puskesmaskebumen1.blogspot.co.id/2011/02/mengenal-kekerasan-terhadap-anakkta.html. Diakses, Kamis 11 Mey 2015. 22.18. WIB. 31 http://sp.beritasatu.com/home/45-juta-anak-rentan-penelantaran/87250. Diakses, Kamis 11 Mey 2015. 22.08. WIB.

31

parent), ini juga bisa terjadi pada seoarang wanita yang hamil diluar nikah alhasil anak yang dikandungnya ditelantarkan setelah dilahirkan. Terkadang juga dikarenakan pada orang tua yang jiwanya terganggu, entah

bagaimana

dia

sangat

membenci

anaknya

sehingga

menelantarkannya.32 3. Gejala Penelantaran Anak Seorang anak yang ditelantarkan bisa mengalami kekurangan gizi (malnutrisi),33 lemas atau kotor atau pakaiannya tidak layak. Pada kasus yang berat, anak mungkin tinggal seorang diri atau dengan saudara kandungnya

tanpa pengawasan dari orang dewasa.

Anak

yang

ditelantarkan bisa meninggal akibat kelaparan. 4. Dampak Penelantaran Anak Pengaruh yang paling terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.34 5. Pengobatan Penelantaran Anak a. Memberi pengobatan bila diperlukan, anak yang terlantar biasanya mengalami luka-luka akibat tinggal seorang diri, karena masih kecil belum bisa jaga diri. 32

http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2012/03/22/18307/fatwa-mui-tentangkedudukan-anak-hasil-zina-dan-perlakuan-terhadapnya/;#sthash. AEfZlcAO.dpbs. Diakses, Kamis 11 Mey 2015. 22.20. WIB. 33 http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/05/19/nolj27-tiga-dari-lima-anakutomo-positif-gizi-buruk. Diakses, Kamis 4 Juni 2015. 08.20. WIB. 34 https://perludiketahui.wordpress.com/dampak-kekerasan-terhadap-anak/. Diakses, Kamis 4 Juni 2015. 08.30. WIB.

32

b. Melindungi, kita sebagai orang dewasa selayaknya melindungi, mungkin jika kita jumpai anak terlantar dan sekiranya kita bisa bantu layaknya kita beri perlindungan walau tidak secara langsung, paling tidak kita bisa mengirimnya ke Komnas Perlindungan Anak. Atau tempat lain missal panti asuhan dengan alasan kuat.

F. Efektivitas Efektivitas berasal dari bahasa Inggris, yaitu effective yang

berarti

berhasil, tepat atau manjur. 35 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia efektivitas berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya, manjur, mujarab, dapat membawa hasil, berhasil guna).36 Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya dicapai.37 Apabila membicarakan efektivitas hukum dalam masyarakat Indonesia berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan/atau memaksa warga masyarakat untuk taat terhadapap hukum. Efektivitas hukum berarti mengkaji kaidah hukum yang harus memenuhi syarat, yaitu berlaku secara yuridis, sosiologis, dan flosofis.38

35

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia,

1996). 36

Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), h. 250. 37 http://koleksi.org/pengertian-efektivtas-menurut-para-ahli/ Selasa, 20 Oktober 2015. 09.00. WIB. 38 Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 94.

33

Menurut

Agung

Kurniawan

Efektivitas

adalah

kemampuan

melaksanakan tugas, fungsi (operasi kegiatan program atau misi) dari pada suatu organisasi atau sejenisnya yang tidak adanya tekanan atau ketegangan diantara pelaksanaannya.39 Menurut Supriono Efektivitas merupakan hubungan antara keluaran suatu pusat tanggung jawab dengan sasaran yang mesti dicapai, semakin besar kontribusi daripada keluaran yang dihasilkan terhadap nilai pencapaian sasaran tersebut, maka dapat dikatakan efektif pula unit tersebut.40 Menurut Efendi Komunikasi yang prosesnya mencapai tujuan yang direncanakan sesuai dengan biaya yang dianggarkan, waktu yang ditetapkan dan jumlah personil yang ditentukan. 41 Berdasarkan pengertian Efektivitas tersebut bahwa indikator efektivitas dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Jadi, efektivitas

berarti tercapainya keberhasilan suatu tujuan sesuai

dengan rencana dan kebutuhan yang diperlukan, baik dalam penggunaan data, sarana maupun waktunya. Faktor yang banyak mempengaruhi efektivitas suatu perundangundangan, adalah profesional dan optimal pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan

39

Agung Kurniawan, Transformasi Pelayanan Publik (Yogyakarta, Pembaruan 2005), h.

40

Supriono, Sistem Pengendalian Manajemen, (Jakarta: Erlangga, 2000) h. 29. Effendy, Kamus Komunikasi. Bandung, (Bandung: Informatika, 1989), h. 14

109. 41

34

terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundangan-undangan tersebut.42

G. Mediasi Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga (sebagai mediator atau penasihat) dalam penyelesaian suatu perselisihan. 43 Dari pengertian mediasi tersebut mengandung tiga unsur penting. Pertama mediasi sebagai proses penyelesaian perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah pihak-pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang terlibat dalam peneyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasehat dalam arti tidak mempunyai wewenang dalam mengambil keputusan. J. Folberg dan A Taylor lebih menekankan konsep mediasi pada upaya yang dilakukan mediator dalam menjalankan kegiatan mediasi. 44 Kedua ahli ini menegaskan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi dilakukan secara bersama-sama oleh pihak yang bersengketa dan dan dibantu oleh pihak yang tidak berpihak kepada salah satu pelapor dan terlapor (netral). Mediator dapat mengembangkan dan menawarkan pilihan penyelesaian sengketa, dan para pihak dapat mempertimbangkan tawaran mediator sebagai suatu alternatif menuju kesepakatan dalam penyelesaian sengketa. 42

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), (Jakarta: Kencana Mprenada Media Group, 2009), h. 378-379. 43 Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Gitamedia Pres), h. 441. 44 Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Media Group, 2011), h. 5., sebagaimana dikutip dari Folberg dan A Taylor: Mediation: A Comperhensive Guide to Resolving Conflict Litigation (Cambridge: Cambridge Univercity Pres, 1884), h. 7.

35

Menurut Takdir Rahmadi, mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa antara para pihak melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak memiliki wewenang memutus.45 Pihak netral tersebut disebut mediator dengan tugas memberikan bantuan prosedural dan substansial. Di Indonesia, pengertian mediasi secara lebih konkret dapat ditemukan pada Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator (Pasal 1 butir 6). Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa (Pasal 1 butir 5). Ajaran Islam memerintahkan agar menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi di antara manusia sebaiknya dengan jalan perdamaian (islah), ketentuan ini adalah sejalan dengan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Hujurat Ayat (9) yang berbunyi:

ٰ‫علًَ ٱلۡأُخۡ َري‬ َ ‫ه ٱقۡتَ َتلُىاْ فََأصۡلِحُىاْ بَيۡ َن ُهمَاۖ فَِئنۢ َبغَتۡ ِإحۡدَيٰ ُهمَا‬ َ ‫ه ٱلۡمُؤۡمِنِي‬ َ ‫َوإِن طَٓائِفَتَانِ ِم‬ ْۖ‫ط ٓىا‬ ُ‫س‬ ِ ۡ‫ًٰ َأمۡرِ ٱللَهِۚ فَئِن فَٓاءَتۡ فََأصِۡلحُىاْ َبيۡ َن ُهمَا بِٲلۡعَدۡلِ َوأَق‬ ٓ َ‫يءَ ِإل‬ ٓ ِ‫فَقَٰ ِتلُىاْ ٱَلتِي تَبۡغِي حَتًَٰ تَف‬ ٩ َ‫سطِيه‬ ِ ۡ‫ّب ٱلۡمُق‬ ُ ِ‫ن ٱللَهَ ُيح‬ َ ِ‫إ‬

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai orangorang yang berlaku adil”. (Q.S. al- Hujurat :9)

45

Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010), h. 12-13.

36

Berdasarkan ayat diatas jika dua golongan orang beriman bertengkar maka damaikanlah mereka, perdamaian itu hendaklah dilakukan dengan adil dan benar sebab Allah sangat mencintai orang yang berlaku adil.46 H. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Pengertian tentang komisi perlidungan anak, penyusun terlebih dahulu menjelaskan pengertian satu persatu dari tiga suku kata di atas. Pertama pengertian “komisi” menurut kamus besar bahasa Indonesia yaitu sekolompok orang yang ditunjuk atau diberi wewenang oleh pemerintah untuk menjalankan sebuah tugas tertentu.47 Kata “perlindungan”, secara etimologi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata lindung, yaitu yang dalam konteks ini berarti menyelamatkan atau memberikan pertolongan supaya terhindar dari bahaya.48 Secara sederhana kata perlindungan memiliki tiga unsur, yaitu adanya subjek yang melindungi, adanya objek yang terlindungi, serta adanya instrumen hukum sebagai upaya tercapai perlindungan tersebut. Anak adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu, dalam hal pengertian anak disini tidak dibatasi oleh usia. Namun untuk diberikan perlindungan anak perlu dibatasi oleh usia dan penyusun dalam hal ini membatasi usia 18 tahun selama ia belum menikah. Ketika kata “perlidungan” dengan kata “anak” digabungkan maka

46

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), h. 151. 47 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. Akses Pada: . http://artikata.com/arti-335802komisi.html. Tanggal 12 Maret 2015. Pukul 20.40 WIB 48 Tim Penyusunan Pusat Pembimbing dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal. 35.

37

definisinya juga cukup sangat spesifik. Beberapa pengertian tentang kedua kata ini (baca: perlidungan anak) sering juga didefinisikan dengan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian serta mendapatkan perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi. Ditinjau secara garis besar, disebutkan perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian: 1. Perlindungan anak yang bersifat yuridis, yang meliputi perlindungan dalam Bidang Hukum publik dan Bidang Hukum keperdataan. 2. Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi Bidang Agama, Kesehatan, Pendidikan dan Sosial. Arif Gosita mengatakan perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Hukum perlindungan anak dalam hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. 49 Sedangkan Bismar Siregar menyebutkan bahwa aspek hukum perlindungan anak, lebih dipusatkan kepada hak-hak yang diatur hukum dan bukan kewajiban, mengingatkan secara hukum (yuridis) anak belum dibebani kewajiban.50 Berdasarkan Pasal 1 Ayat (2) UU RI Nomor 23 Tahun 2002 Perlindungan Anak Tentang Ketentuan Umum, menyebutkan bahwa Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi 49

Arief Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta Akademi: Presindo, 1989), h. 52. Bismar Siregar Dalam Irma Setyowati, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h. 15. 50

38

anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Jadi kesimpulan yang diambil oleh penyusun dalam definisi Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI) adalah sekelompok orang (lembaga) yang di beri wewenang oleh pemerintah untuk membantu meningkatkan efektivitas

penyelengaraan

perlindungan

anak-anak

Indonesia,

perlindungan dalam bidang agama, pendidikan, kesehatan dan sosial.

baik

BAB III KPAI DAN ORIENTASINYA

A. Sejarah Singkat Pembentukan Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UndangUndang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang HakHak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Indonesia adalah salah satu negara yang cukup banyak memberikan perhatian kepada masalah kesejahteraan anak. Pada tahun 1979 dikeluarkan UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, kemudian UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam peraturan perundang-undangan yang lain, meskipun tidak secara eksplisit mencantumkan kata “anak” di dalam judulnya, namun isinya sudah mengandung perhatian kepada masalah permasalahan anak, seperti misalnya UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat atau dalam UU No. 6 Tahun 1974 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Berbagai peraturan perundangundangan dan ketentuan mengenai hak dan perlindungan kepada anak, akan

39

40

tetapi masih banyak terjadi kasus-kasus terhadap anak seperti pembunuhan anak, pencabulan dan lain-lain. Percepatan pemenuhan hak dan perlindungan anak di Indonesia terlihat semenjak tahun 1999, pasca gerakan “reformasi” 1998. Namun demikian perhatian Indonesia pada permasalahan anak sudah terlihat jauh sebelumnya, yaitu dengan keikutsertaan Indonesia di dalam konvensi Hak Anak yang dikeluarkan PBB Melalui Sidang Umum Tahun 1989, yang ditindaklanjuti dengan meratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan convention on the rights of the child (konvensi tentang hak-hak anak). Penjabaran isi Konvensi Hak Anak dilakukan secara bertahap, salah satunya adalah penyesuaian usia anak yang bisa diproses hukum, dan upaya memanusiakan pengadilan anak, yang diwujudkan dalam UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Kemudian, sejak tahun 1999 sampai dengan 2002, terbitlah antara lain, UU Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No. 138 Concerning Minimum Age For Admission to Employment (Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja), UU Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 182 Concerning The ProhibitionAnd Immediate Action For Elimination Of The WorstForms Of Child Labour (Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan BentukPekerjaan Terburuk Untuk Anak), UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan

41

terakhir UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Keberadaan UU Perlindungan Anak merupakan bentuk upaya Negara untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak melalui dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya. Undang-undang ini mencoba memperjelas aturan-aturan yang berkaitan dengan penghormatan, pemenuhan hak dan perlindungan anak yang semua terdapat di dalam Konvensi Hak Anak. Namun pada kenyataannya UU tersebut belum berjalan dengan semestinya hal ini dapat dilihat dari realita anak-anak di Indonesia yang masih jauh dari kata sejahtera seperti anak yang putus sekolah dan anak korban diskriminasi. UU Nomor 23 Tahun 2002 tersebut mengamanatkan dibentuknya Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. Amanat UU dimaksud kemudian ditindak lanjuti dengan ditetapkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Dengan berdiri KPAI adalah bukti nyata bahwa berdasarkan amanat semestinya

akan

Undang-Undang tersebut

tetapi

dalam

mewujudkan

telah berjalan dengan efektifitas

peningkatan

penyelenggaraan perlindungan anak belum berjalan dengan semestinya hal ini dapat dilihat banyaknya kasus yang berkaitan dengan anak yang diselesaikan di pengadilan.

42

B. Tugas dan Fungsi Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia mempunyai tugas: 1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak; 2. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Pada 17 Oktober 2014, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak direvisi menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014, yang salah satunya merinci tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia sebagai berikut: a. Melakukan

pengawasan

terhadap

pelaksanaan

perlindungan

dan

pemenuhan Hak Anak; b. Memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang penyelenggaraan perlindungan Anak. c. Mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak; d. Menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan Masyarakat mengenai pelanggaran hak anak; e. Melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak; f. Melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk Masyarakat di bidang Perlindungan Anak;dan

43

g. Memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang.

C. Bentuk Organisasi dan Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) adalah lembaga negara yang bersifat independen yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak. Komisi ini berkedudukan di Ibukota Negara KesatuanRepublik Indonesia. Keanggotaannya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia atas pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun, dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dimaksud terdiri dari unsur : 1. Pemerintah; 2. Tokoh agama; 3. Tokoh masyarakat; 4. Organisasi sosial; 5. Organisasi kemasyarakatan; 6. Organisasi profesi; 7. Lembaga swadaya masyarakat; 8. Dunia usaha; dan 9. Kelompok masyarakat yang peduli terhadap perlindungan anak.

44

Pada periode 2014 – 2017, Susunan Keanggotaan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Table 3.1 Susunan Keanggotaan KPAI Periode 2014 – 2017 No. Nama 1.

Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, MA

Kepengurusan

Bidang

Ketua

Bidang

Agama

dan

Budaya 2.

Dr. Budiharjo

Wakil Ketua

Bidang Trafficking dan Ekspoitasi

3.

Maria Advianti, SP

Wakil Ketua

Bidang Pornografi dan Cyber Crime

4.

Erlinda, MPd

Sekretaris

Bidang Hak Sipil Dan Partisipasi Anak

5.

Dra. Maria Ulfah Anshor, Msi

Anggota

Bidang

Sosial

dan

Bencana 6.

Dr. Titik Haryati

Anggota

Bidang Kesehatan dan NAPZA

7.

Putu Elvina

Anggota

Bidang

ABH

dan

Kekerasan 8.

Susanto, MA

Anggota

Bidang Pendidikan

9.

Rita Pranawati, MA

Anggota

Bidang

Keluarga

&

Pengasuhan Alternatif Sumber: Retno Adji Prastiadju Kepala, Sekretariat KPAI, Selasa, 17 Juli 2015.

Mengawali masa tugasnya, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia periode 2014 – 2017 melakukan orientasi dan telaah atas capaian kinerja periode sebelumnya. Diskusi dan pendalaman dengan Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia periode 2010 - 2013 dilakukan untuk

45

memperoleh gambaran umum tentang fokus dan prioritas kerja, serta ikhtiar untuk menjamin keberlangsungan program. Salah satu hal mendesak yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia periode 2014 - 2017, mengawali masa tugasnya adalah konsolidasi dan penguatan kelembagaan internal; meliputi mekanisme kerja, tugas dan kewenangan serta kode etik yang harus dipegang. Termasuk juga dukungan strukturalnya. Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dibantu oleh Sekretariat, yang dipimpin oleh Kepala Sekretariat. Dalam melaksanakan

tugasnya,

Kepala

Sekretariat

secara

fungsional

bertanggungjawab kepada KPAI. Di samping itu, untuk menunjang pelaksanaan tugas, KPAI dibantu oleh tenaga ahli dan tim asistensi. Dalam menjalankan fungsinya, KPAI juga membentuk kelompok kerja. D. Visi, Misi, Tujuan, serta Arah Kebijakan Dan Strategi KPAI 1. Visi Terwujudnya Indonesia Ramah Anak.1 2. Misi a. Meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan yang terkait dengan kebijakan perlindungan anak; b. Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat dalam perlindungan anak; c. Membangun sistem dan jejaring pengawasan perlindungan anak;

1

Baca Pedoman Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah, Nomor : SK13/KPAI/II/2015. h.31.

46

d. Meningkatkan jumlah dan kompetensi pengawas perlindungan anak; e. Meningkatkan kuantitas, kualitas, dan utilitas laporan pengawasan perlindungan anak; f. Meningkatkan kapasitas, aksesibilitas, dan kualitas layanan pengaduan masyarakat; g. Meningkatkan kinerja organisasi KPAI.2 3. Tujuan a. Tujuan strategis merupakan implementasi dari pernyataan visi dan misi yang akan dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun, serta menjadi dasar penyusunan indikator. Rumusan tujuan strategis KPAI adalah sebagai berikut: Meningkatnya jumlah kebijakan dan program perlindungan anak di tingkat pusat dan daerah ; b. Meningkatnya peran serta masyarakat dalam perlindungan anak dengan berlandaskan pemahaman yang benar tentang hak-hak anak; c. Meningkatnya efektifitas

sistem dan

jejaring kelembagaan

pengawasan perlindungan anak; d. Meningkatnya jumlah dan kompetensi pengawas perlindungan anak; e. Meningkatnya kuantitas, kualitas, dan utilitas laporan pengawasan perlindungan anak; f. Meningkatnya

kapasitas,

aksesibilitas,

dan

kualitas

layanan

perlindungan anak di KPAI dan jejaring pelaksana layanan pengaduan masyarakat; 2

Baca Pedoman Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah, Nomor : SK13/KPAI/II/2015. h.31.

47

g. Meningkatnya akuntabilitas dan kinerja organisasi KPAI.3 4. Arah Kebijakan dan Strategi KPAI a. Arah Kebijakan Memperhatikan visi, misi, dan tujuan sebagaimana tersebut di atas, serta menyikapi dinamika penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia, maka arah kebijakan Komisi Perlindungan Anak Indonesia adalah: 1) Peningkatan komitmen para pemangku kepentingan perlindungan anak 2) Peningkatan peranserta masyarakat dalam perlindungan anak 3) Pengembangan jejaring pengawasan perlindungan anak 4) Pengembangan

sistem

data

dan

informasi

pengawasan

penyelenggaraan perlindungan anak 5) Peningkatan penerimaan layanan pengaduan masyarakat 6) Peningkatan telaah dan kajian kebijakan dan perundang-undangan terkait perlindungan anak dan implementasinya 7) Peningkatan monitoring, evaluasi dan pengawasan pelaksanaan perlindungan anak 8) Peningkatan kualitas dan kuantitas laporan ke Presiden 9) Peningkatan akuntabilitas dan kinerja organisasi KPAI.4

3

Baca Pedoman Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah, Nomor : SK13/KPAI/II/2015. h.32. 4 Sumber diterima dari Retno Adji Prastiadju melalui email, Jum’at 12 Juni 2015. 13.32. WIB.

48

b. Strategi Strategi Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak yaitu:5 1) Meningkatkan sosialisasi dan advokasi hasil pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak dalam rangka meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan perlindungan anak 2) Meningkatkan komunikasi publik dalam rangka membangun pemahaman

dan

mendorong

peranserta

masyarakat

dalam

pengawasan perlindungan anak 3) Mengembangkan kurikulum dan pelaksanaan diklat sertifikasi pengawas penyelenggaraan perlindungan anak

dalam rangka

meningkatkan jejaring pengawasan perlindungan anak 4) Mengembangkan

sistem

data

dan

informasi

pengawasan

penyelenggaraan perlindungan anak 5) Meningkatkan penerimaan layanan pengaduan masyarakat terkait kasus-kasus pelanggaran perlindungan anak 6) Meningkatkan telaah dan kajian kebijakan dan perundangundangan terkait perlindungan anak dan implementasinya 7) Meningkatkan monitoring, evaluasi dan pengawasan pelaksanaan perlindungan anak. 8) Meningkatkan kualitas dan kuantitas laporan ke Presiden 9) Meningkatkan akuntabilitas dan kinerja organisasi KPAI.

5

WIB.

Sumber diterima dari Retno Adji Prastiadju melalui email, Jum’at 12 Juni 2015. 13.32.

49

E. Kelembagaan KPAI Daerah Dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelengaraan perlindungan anak, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden Nomor 77 Tahhun 2003 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) perlu ditetapkan tentang Pedoman Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) di Provinsi dan Kabupaten/Kota. KPAD adalah lembaga independen yang dibentuk oleh Gubernur, Bupati/Walikota untuk medukung pengawasan penyelengaraan perlindungan anak di daerah. Berdasarkan pasal 74, pasal 75 dan pasal 76 dalam UndangUndang Nomor 35 tahun 2014 yang mengatur tentang pembentukan kelembagaan KPAI dan KPAD. Khususnya pasal 74 ayat (2) menyatakan bahwa “Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah”.

Hubungan antara KPAD dan KPAI bersifat koordinatif, konsulatif dan integratif

yang

diatur

dalam

pedoman

keputusan

Nomor

:

SK-

13/KPAI/II/2015 teantang Pedoman Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah dengan visi, misi serta strategi KPAI.

F. Implementasi Tugas dan Fungsi KPAI Pada Tahun 2014 ini telah menjalankan tugasnya, dan fungsinya, maka realisasi program dapat dilihat sebagai berikut:

50

1. Penerimaan Pengaduan Masyarakat Data yang telah dihimpun oleh KPAI selama Tahun 2014 melalui pengaduan masyarakat dan pemantauan di media cetak, online dan elektronik, dan dikomparasikan dengan data Tahun 2011, 2012, dan 2013, dari 9 (sembilan) bidang lokus pengawasan KPAI nampak sebagaimana tergambar dalam tabel dibawah ini: Table 3.2 Kasus Pengaduan Berdasarkan Klaster atau Bidang

NO

KLASTER / BIDANG

JUMLAH

2011

2012

2013

2014

1 Sosial dan Anak Dalam Situasi Darurat

92

79

246

191

608

2 Keluarga dan Pengasuhan Alternatif

416

633

931

921

2901

3 Agama dan Budaya

83

204

214

106

607

4 Hak Sipil dan Partisipasi

37

42

75

76

234

5 Kesehatan dan Napza

221

261

438

360

1280

6 Pendidikan

276

522

371

461

1692

7 Pornografi dan Cyber Crime

338

175

247

322

932

8 ABH dan Kekerasan

188

530

420

572

1651

a Kekerasan Fisik

129

110

291

351

878

b Kekerasan Psikis

49

27

127

68

271

329

746

590

1217

2882

9 Trafficking dan Eksploitasi

160

173

184

263

780

10 Lain-Lain

10

10

173

158

351

c

Kekerasan Seksual (Pemerkosaan, Sodomi, Pencabulan, Pedofilia)

Sumber: Sumber: Retno Adji Prastiadju Kepala, Sekretariat KPAI, Selasa, 17 Juli 2015.

Berdasarkan pengaduan masyarakat yang masuk ke KPAI tahun 2014 (hingga Oktober), sebagiamana juga terlihat komparasinya sejak 2011 – 2013, Anak Berhadapan dengan Hukum menduduki peringkat tertinggi. Yang paling mengagetkan adalah kenaikan kasus kekerasan seksual secara signifikan. Dalam pemantauan KPAI, Aparat Penegak hukum masih memiliki semangat pemidanaan dan pemenjaraan terhadap

51

anak, sehingga anak yang melakukan tindak pidana ringgan juga berakhir dengan pemenjaraan, konsep restorative juctice dan diversi belum banyak diterapkan. Di sini pentingnya sosialisasi dan advokasi UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA. 2. Pemantauan, Evaluasi dan Pengawasan Secara umum, dalam pelaksanaannya, pemantauan KPAI dilakukan dengan dua kategori: a. Pemantauan

reguler; kegiatan pemantauan yang dilakukan dalam

setiap tahun berdasarkan program pemantauan yang diajukan oleh komisioner pemantauan yang dilakukan oleh divisi yang ada di KPAI di beberapa provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia. 1) Pemantauan pada isu/agenda/program bersifat nasional; misalnya pemantauan pelaksanaan system peradilan pidana anak, 2) Pemantauan terkait kebijakan dan program perlindungan anak yang dibuat oleh stakeholder perlindungan anak di tingkat pusat maupun daerah serta mengevaluasi output dan dampak bagi perlindungan anak berhadapan hukum. b. Pemantauan non reguler; kegiatan pemantauan yang bersifat insidentil yang menyita perhatian publik yang dikhawatirkan berdampak sistemik pada upaya perlindungan anak dalam setiap bidang yang berimplikasi hukum. Pemantauan berbasis laporan masyarakat terkait keterlibatan anak yang menjadi pelaku maupun korban yang berdampak hukum. Contoh kasus JIS, Emon, kasus kekerasan di Padang, Kalimantan dan lain-lain.

52

Dalam merealisasikan mandat UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), KPAI pada Tahun 2014 telah menyelesaikan pembuatan Pedoman Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak. Kewenangan KPAI untuk mengawasi (right to control), yaitu kewenangan melakukan pengawasan melalui pengawasan langsung (on-site supervision) yang diatur dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pemantauan, Evaluasi dan Pelaporan Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam RPP tersebut salah satu pasalnya mengatur mengenai tata cara mekanisme pemantauan, evaluasi dan pelaporan Sistem Peradilan Pidana Anak yang di buat dalam Peraturan KPAI mengenai pedoman pemantauan, evaluasi dan pelaporan SPPA yang bertujuan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Implementasi SPPA dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus seperti gambaran tentang mekanisme penyelenggaraan SPPA seperti

sarana dan prasarana

pendukung, tingkat efektifitas dan kepatuhan pelaksana/aparatur SPPA terhadap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan tumbuh kembang anak berhadapan dengan hukum baik sebagai pelaku, korban maupun saksi mulai dari tahap penyidikan sampai tahap rehabilitasi anak. Tindak lanjut dari adanya pedoman tersebut, maka KPAI harus membuat system dan peta pemantauan dalam rangka pengawasan yang akan dilakukaan di Indonesia. Selain itu dengan terbentuknya Asosiasi KPAID se-Indonesia maka secara tidak langsung pengawasan terkait isuisu perlindungan anak di Provinsi, Kabupaten/Kota yang sudah memiliki

53

KPAID dapat melakukan fungsi pengawasan sesuai perundangan dan tusi KPAID tersebut. Beberapa hal yang telah dilakukan dalam proses tersebut antara lain mengadakan rapat-rapat koordinasi maupun Focus Group Discussion dengan stakeholder lain yang memiliki peran dan wewenang untuk memajukan perlindungan anak berhadapan dengan hukum secara rutin sebagai umpan balik dan evaluasi terkait proses dan dampak selama anak berhadapan/berkonflik dengan hukum. Di samping itu juga melakukan telaah internal terkait dinamika dan implikasi kebijakan dan program yang dibuat oleh stakeholder yang diperkaya oleh pemantauan langsung maupun tidak langsung dari kasus-kasus yang berkembang. Demikian juga membangun dan menguatkan jejaring dan referral system penanganan kasus-kasus ABH kepada lembaga rujukan, karena sesuai undang-undang fungsi KPAI tidak dalam fungsi memberikan pendampingan kasus, dan fungsi penyelesaian kasus. 3. Penelaahan Selama Tahun 2014, KPAI telah melakukan beberapa telaahan terkait dengan isu-isu perlindungan agama, mulai dari bidang agama, pendidikan, sosial, kesehatan, pengasuhan, hingga masalah hak sipil dan partisipasi. Berikut ini disajikan beberapa isu penting telaahan KPAI Tahun 2014. 4. Sosialisasi Sesuai dengan mekanisme kerja lembaga KPAI, Divisi Sosialisasi memiliki tugas (i) mensosialisasikan Undang-undang/Peraturan terkait dengan Perlindungan Anak; (ii) mensosialisasikan program / kegiatan

54

KPAI melalui Press Release, Website KPAI, Penerbitan Majalah, Penerbitan Buku, Talk Show, dan Kunjungan Redaksi Media; (iii) Membangun komunikasi intensif dengan berbagai media cetak dan elektronik; (iv) Melakukan kegiatan pelatihan, sarasehan, lokakarya, talk show dan lain-lain terkait penyelenggaraan Perlindungan Anak; (v) Menyusun program dan mengambil kebijakan terkait program sosialisasi. Mensosialisasikan program / kegiatan KPAI melalui Press Release, Website KPAI, Penerbitan Majalah, Penerbitan Buku, Talk Show, dan Kunjungan Redaksi Media adalah paling efektif yang dilakukan oleh Devisi Sosialisasi hal ini dapat dilihat dari penerbitan buku tentang “Pedoman Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD)” dan buku yang berjudul “Aksi Perlindungan Anak dalam Sorotan Media Kompilasi Berita KPAI 2014”, yang disusun Oleh Asrorun Ni’am Sholeh dkk.

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Jenis dan Klasifikasi kasus penelantaran anak dan masalah utamanya Fenomena kasus kejahatan yang berkaitan terhadap anak setiap tahun terus meningkat terbukti dari rincian tabel data kasus pengaduan anak berdasarkan klaster perlindungan KPAI tahun 2011sampai dengan 2014 berikut: Table 4.1 Data Kasus Pengaduan Anak Berdasarkan Klaster Perlindungan KPAI Tahun 2011-2014 NO

KLASTER / BIDANG

2011

TAHUN 2012 2013

2014

JUMLAH

Sosial dan Anak Dalam Situasi 92 79 246 191 608 Darurat 2 Keluarga dan Pengasuhan Alternatif 416 633 931 921 2901 3 Agama dan Budaya 83 204 214 106 607 4 Hak Sipil dan Partisipasi 37 42 75 76 234 5 Kesehatan dan Napza 221 261 438 360 1280 6 Pendidikan 276 522 371 461 1692 7 Pornografi dan Cyber Crime 338 175 247 322 932 8 ABH dan Kekerasan 188 530 420 572 1651 a Kekerasan Fisik 129 110 291 351 878 b Kekerasan Psikis 49 27 127 68 271 Kekerasan Seksual (Pemerkosaan, c 329 746 590 1217 2882 Sodomi, Pencabulan, Pedofilia) 9 Trafficking dan Eksploitasi 160 173 184 263 780 10 Lain-Lain 10 10 173 158 351 TOTAL 2178 3512 4311 5066 15067 Sumber: Retno Adji Prastiadju, Kepala Sekretariat KPAI, Selasa, 17 Agustus 2015. 1

Menurut Retno Adji Pratiaju dan Maria Ulfah Anshor, beserta analisa “tabel data keseluruhan pengaduan dan pemantauan berita kasus di media KPAI tahun 2014” sebagaimana terlampir.1 Jenis penelantaran terhadap anak meliputi penelantaran dari keluarga dan pengasuhan alternatif, penelantaran di 1

Data Lampiran diterima dari Maria Ulfah Anshor (anggota KPAI Bidang Sosial dan Bencana) Senin 25 Mei 2015.

55

56

bidang kesehatan, penelantaran di bidang pendidikan, penelantaran di bidang hak sipil, penelantaran di bidang sosial dan penelantaran anak di bidang trafiking dan ekploitasi. 2 Sedangkan klasifikasi penelantaran anak dari jenis penelantaran di atas adalah: 1. Penelantaran dari Keluarga dan Pengasuhan Alternatif3 a. Penelantaran anak / ekonomi (hak nafkah) b. Pengasuhan anak bermasalah Berdasarkan analisa penyusun dari data pengaduan masyarakat pada KPAI terkait dengan penelantaran terhadap anak tahun 2014 yang diterima dari Retno Adji Prastiaju, kasus penelantaran anak dalam jenis ini terdapat 43 (empat puluh tujuh) kasus yaitu 38 (tiga puluh delapan) kasus Penelantaran anak / ekonomi (hak nafkah), dan 5 (lima) kasus pengasuhan anak bermasalah.4 Menurut Ibu Retno Adji Pratiadju perceraian sering kali menjadi faktor utama dalam jenis penelantaran ini, khususnya dalam hal nafkah. Untuk kasus pengasuhan anak bermasalah seperti anak dititipkan kepanti soosial, yang seharusnya anak hidup bersama kedua orang tuanya. 2. Penelantaran di bidang kesehatan a. Penahanan anak dirumah sakit b. Gizi buruk / gizi kurang / difteri c. Kematian anak dirumah sakit 2

Wawancara dengan Retno Adji Prasetiadju (kepala secretariat KPAI) dan Maria Ulfah Anshor di kantor KPAI, Senin 25 Mei 2015. 3 Wawancara dengan Retno Adji Pratiadju, Jum’at 25 September 2015. 4 Analisa Rekap Data Kasus-Kasus Pengaduan Lansung Tahun 2014.

57

d. Fasilitas dan layanan kesehatan / rumah sakit / puskesmas kurang memadai / buruk.5 Berdasarkan analisa penyusun dari data pengaduan masyarakat pada KPAI terkait dengan penelantaran terhadap anak tahun 2014 yang diterima dari Retno Adji Prastiaju, kasus penelantaran anak dalam jenis ini terdapat 7 (tujuh) kasus, 3 (tiga) kasus penahanan anak dirumah sakit, 1 (satu) kasus gizi buruk / gizi kurang / difteri, 1 satu (kasus) kematian anak di rumah sakit dan 2 (dua) kasus Fasilitas dan layanan kesehatan / rumah sakit / puskesmas kurang memadai / buruk.6 Ekonomi keluarga menjadi faktor utama dalam permasalahan ini, akibatnya anak ditahan dirumah sakit dan kematian juga bisa terjadi karena kurangnya biaya dari keluarga untuk mendapatkan perawatan yang seharusnya segera dialakukan guna upaya kesembuhan bagi anak yang sedang dirawat. 3. Penelantaran di bidang pendidikan a. Sarana dan Prasarana Sekolah Kurang b. Anak korban kebijakan (pungli di sekolah, penyegelan sekolah, tidak boleh ikut ujian dan lain-lain) c. Anak putus sekolah7 Berdasarkan analisa penyusun dari data pengaduan masyarakat pada KPAI terkait dengan penelantaran terhadap anak tahun 2014 yang diterima 5

Wawancara dengan Retno Adji Pratiadju di rumah kediamannya, Jum’at 25 September

6

Analisa Rekap Data Kasus-Kasus Pengaduan Lansung Tahun 2014. Wawancara dengan Retno Adji Pratiadju di rumah kediamannya, Jum’at 25 September

2015. 7

2015.

58

dari Retno Adji Prastiaju kasus penelantaran anak dalam jenis ini 23 (dua puluh tiga) kasus, 11 (sebelas) kasus anak putus sekolah, 9 (sembilan) kasus anak korban kebijakan (pungli di sekolah, penyegelan sekolah, tidak boleh ikut ujian dan lain-lain), 3 (tiga) kasus Sarana dan Prasarana Sekolah Kurang .8 Menurut Retno Adji Pratiadju sarana dan prasarana sekolah yang kurang salah satu faktor yang menyebabkan itu terjadi karena kurangnya perhatian dari pemerinta terhadap sekolahan akibatnya anak mendapatkan pendidikan yang kurang dan tertinggal dari sekolah-sekolah yang sarana dan prasarananya mencukupi. Anak yang putus sekolah dan anak korban kebijakan berdasarkan analisa data yang diterima dan hasil wawancara penyusun, faktor utamanya adalah ekonomi keluarga, kurangnya ekonomi tersebut menyebabkan anak tidak dapat melanjutkan sekolah kejenjang yang lebih tinggi seperti telat membayar uang sekolah akibatnya anak dikeluarkan dari sekolahan. Walaupun itu karena keadaan menurut penyusun keluarga seharusnya memperbaiki ekonominya, guna mendukung tumbuh kembang pendidikan anak. 4. Penelantaran di bidang hak sipil Klasifikasi dalam jenis ini adalah Akta kelahiran.9 Berdasarkan analisa penyusun dari data pengaduan masyarakat pada KPAI terkait 8 9

2015.

Analisa Rekap Data Kasus-Kasus Pengaduan Lansung Tahun 2014. Wawancara dengan Retno Adji Pratiadju di rumah kediamannya, Jum’at 25 September

59

dengan penelantaran terhadap anak tahun 2014 yang diterima dari Retno Adji Prastiaju kasus penelantaran anak dalam jenis ini 3 (tiga).10 Faktor utamanya adalah kedua orang tuanya yang lalai dalam memberikan hak anak tersebut. 5. Penelantaran di bidang sosial Klasifikasi dalam jenis ini adalah anak jalanan / anak terlantar. Berdasarkan analisa penyusun dari data pengaduan masyarakat pada KPAI terkait dengan penelantaran terhadap anak tahun 2014 yang diterima dari Retno Adji Prastiaju kasus penelantaran anak dalam jenis ini 1 (satu) kasus.11 Faktor utamanya adalah ekonomi keluarga. Sering kali anak disuruh turun kejalanan untuk bekerja guna mendukung ekonomi keluarga. 6. Penelantaran anak di bidang trafiking dan ekploitasi a. Ekploitasi seks komersian anak (ESKA) b. Ekploitasi dan pekerja anak c. Perdagangan anak12 Berdasarkan analisa penyusun dari data pengaduan masyarakat pada KPAI terkait dengan penelantaran terhadap anak tahun 2014 yang diterima dari Retno Adji Prastiaju kasus penelantaran anak dalam jenis ini 10 (sepuluh) kasus, 3 (empat) kasus perdagangan anak, 6 (enam) kasus ekploitasi dan pekerja anak dan 1 (kasus) ekploitasi seks komersial anak (ESKA).13 10

Analisa Rekap Data Kasus-Kasus Pengaduan Lansung Tahun 2014. Analisa Rekap Data Kasus-Kasus Pengaduan Lansung Tahun 2014. 12 Wawancara dengan Retno Adji Pratiadju di rumah kediamannya, Jum’at 25 September 11

2015. 13

Analisa Rekap Data Kasus-Kasus Pengaduan Lansung Tahun 2014.

60

B. Efektivitas mediasi KPAI terhadap anak yang terlantar tahun 2014 Menurut Retno Adji Prasetiaju (Kepala Sekretariat Komisi Perlindungan Anak Indonesia), untuk efektivitas mediasi yang dilakukan KPAI khususnya terkait dengan penelantaran terhadap anak pada tahun 2014 kurang efektiv. Untuk menyakinkan pembaca penyusun juga menganalisa kasus yang masuk selama tahun 2014 khususnya terkait dengan penelantaran terhadap anak dengan berdasarkan SOP KPAI. Tabel Rekap Data Kasus-Kasus Pengaduan Lansung Tahun 2014 terkait dengan penelantaran terhadap anak sebagai berikut. Table 4.2 Rekap Data Kasus-Kasus Pengaduan Lansung Tahun 2014

No 1. 2. 3. 4. 5.

Jenis Pengaduan Kasus Penelantaran Anak (Hak Nafkah) Penelantaran Anak (Hak Nafkah) Penelantaran Anak (Hak Nafkah) Penelantaran Anak (Hak Nafkah) Eksploitasi Seks Komersil Anak (ESKA)

6.

Gizi Buruk / Gizi Kurang / Difteri

7.

Pengasuhan Anak Bermasalah

8.

Eksplotasi Ekonomi dan Pekerja Anak

Penanganan Kasus Kronologis Singkat / Posisi Penyebab Kasus Kasus terlapor menelantarkan KPAI korban

KET Proses

KPAI

Proses

KPAI Mediasi Kesepakatan

Case Closed

korban terlantar karena KPAI orang tuanya dipidana terlapor diduga melakukan penelantaran KPAI terhadap anak korban dapat jatah minum kurang dari cukup KPAI oleh terlapor ibu korban tidak merawat KPAI dgn baik & kasih Mediasi 60ias60a kepada korban Kesepakatan kurang Korban dipekerjakan KPAI dijakarta & korban tidak Mediasi

Proses Proses

Proses

Proses

Proses

61

No

Jenis Pengaduan Kasus

9.

Anak Putus Sekolah

10.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

11.

Penahanan Anak di Rumah Sakit

12.

Akta Kelahiran

13.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

14.

Perdagangan Anak (Trafficking)

15.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

16.

Fasilitas & Pelayanan Kesehatan kurang memadai / Buruk

17.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

18.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

19.

Pengasuhan Anak Bermasalah

20.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

Penanganan Kasus Kronologis Singkat / Posisi KET Penyebab Kasus Kasus 61ias plg karena harus Kesepakatan ada pengganti buat korban pelapor diminta pihak sekolah membuat surat KPAI Proses pernyataan mengundurkan diri Korban sering mendengarkan Case bertengkar orang tuanya KPAI Closed dan bercerai dan anak ikut bapaknya Keluhan pelayanan rs, menyebabkan kematian KPAI Proses pasien Masih menunggu fotocopy akte kelahiran KPAI Proses anak bapak yang meninggalkan rumah KPAI Proses juga meninggalkan isatri dan anaknya korban di perdagangkan KPAI Proses ke luar negri KPAI ibu minta hak nafkah dari Case Mediasi terlapor untuk korban Closed Kesepakatan korban disuruh pulang oleh dokter karena kamar KPAI Proses penuh.. Padahal masih ada yg kosong KPAI ayah tidak menafkahi Case Mediasi secara langsung Close Kesepakatan Korban tidak dibiayai/dinafkahi oleh KPAI Konsultasi terlapor dari semenjak lahir Pelapor meminta KPAI untuk menyalurkan KPAI Proses korban ke panti sosial terlapor tidak memberi KPAI Case nafkah kepada korban Mediasi Close

62

No

Jenis Pengaduan Kasus

21.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

22.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

23.

Perdagangan Anak (Trafficking)

24.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

25.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

26.

Keluarga dan Pengasuhan Alternatif

27.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

28. 29.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah) Trafficking dan Eksploitasi

Penanganan Kasus Kronologis Singkat / Posisi Penyebab Kasus Kasus Kesepakatan KPAI Korban ditelantarkan Mediasi oleh ayahnya Kesepakatan Terlapor tidak KPAI memberikan nafkah Mediasi selama pernikahan Kesepakatan Korban dibawa kabur oleh terlapor dengan tujuan di asuh. Tetapi KPAI sampai saat ini tidak ada komunikasi. Terlapor menelantarkan anak dan melakukan KPAI kekerasan fisik KPAI tidak diberi nafkah kedua Mediasi anaknya Kesepakatan Permohonan menitipkan anak kandung ke panti KPAI asuhan KPAI Terlapor tidak menafkahi Mediasi korban. Kesepakatan

Terlapor menjual korban kesebuah tempat malam. Ayah tidak pernah menemui korban dan hak nafkah di kurangi Kesulitan memproses dokumen pasca perceraian

KET

Case Close Case Close

Proses

Proses Case Close Case Close Case Close

KPAI

Close

KPAI

Proses

KPAI

Proses

30.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

31.

Akta Kelahiran

32.

Anak Korban Kebijakan (Pungli di Sekolah, Penyegelan Sekolah, Tidak Boleh Ikut Ujian, dsb)

tidak mendapat surat pengantar untuk perpindahan sekolah beberapa bulan

KPAI

Proses

33.

Pendidikan

Tidak mendapat NIS saat lulus sekolah, sehingga kesulitan mengurus

KPAI

Proses

KPAI

63

No

Jenis Pengaduan Kasus

34.

Pengasuhan Anak Bermasalah

35.

Pendidikan

36.

Penahanan Anak di Rumah Sakit

Penanganan Kasus Kronologis Singkat / Posisi Penyebab Kasus Kasus pendidikan di SMP Anak dititipkan oleh KPAI nenek Kurikulum sekolah yang KPAI kurang tepat

Korban ditinggalkan Anak Jalanan / Anak terlapor dan pelapor ingin 37. menitipkannya ke dinas Terlantar sosial terlapor tidak memberikan perhatian Penelantaran Anak 38. yang cukup kepada (Hak Nafkah) korban dan tidak memberi nafkah Anak Korban Kebijakan (Pungli di Korban dikeluarkan dari Sekolah, Penyegelan 39. sekolah karena terlambat Sekolah, Tidak membayar uang sekolah Boleh Ikut Ujian, dsb) pihak sekolah Anak Korban memberikan surat Kebijakan (Pungli di Sekolah, Penyegelan pernyataan bahwa orang 40. tua harus Sekolah, Tidak menandatangani surat Boleh Ikut Ujian, mengunduran diri dsb) Anak Korban korban tidak 63ias Kebijakan (Pungli di Sekolah, Penyegelan mengaktifkan nik sekolah 41. dan tidak 63ias mendaftar Sekolah, Tidak kesekolah Boleh Ikut Ujian, dsb) Anak Korban Kebijakan (Pungli di korban disuruh Sekolah, Penyegelan 42. mengundurkan diri oleh Sekolah, Tidak terlapor Boleh Ikut Ujian, dsb) Pelapor dan korban tidak Penelantaran Anak 43. diberi nafkah serta (Hak Nafkah) mendapatkan perlakuan

KET

Konsultasi Konsultasi Proses

KPAI

Rujukan

LBH Apik

Konsultasi

KPAI

Proses

KPAI

Proses

KPAI

Proses

KPAI

Case Close

KPAI

Proses

64

No

44.

45.

Jenis Pengaduan Kasus Anak Korban Kebijakan (Pungli di Sekolah, Penyegelan Sekolah, Tidak Boleh Ikut Ujian, dsb) Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

46.

Eksplotasi Ekonomi dan Pekerja Anak

47.

Eksplotasi Ekonomi dan Pekerja Anak

48.

Kematian Anak Di Rumah Sakit

51.

Anak Korban Kebijakan (Pungli di Sekolah, Penyegelan Sekolah, Tidak Boleh Ikut Ujian, dsb) Sarana & Prasarana Sekolah Kurang Anak Putus Sekolah

52.

Akta Kelahiran

49.

50.

53. 54. 55. 56. 57.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah) Sarana & Prasarana Sekolah Kurang Anak Putus Sekolah Penelantaran Anak (Hak Nafkah) Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

Penanganan Kasus Kronologis Singkat / Posisi Penyebab Kasus Kasus kasar fisik korban tidak 64ias pindah sekolah karena tidak mendapatkan NISN dari sekolahan

KET

KPAI

Proses

KPAI

Proses

KPAI

Proses

KPAI

Proses

KPAI

Proses

KPAI

Proses

KPAI

Proses

Kekerasan psikis Korban dbelum mendapatkan akta kelahiran

KPAI

Proses

KPAI

Konsultasi

Hak nafkah anak

KPAI

Korban disuruh kejalanan untuk mengemis oleh terlapor Korban diikutsertakan dalam demo warga korban meninggal di RS dan kurang penjelasan dr pihak RS, keluarga pelapor diminta membeli infus sendiri korban dinyatakan tidak naik kelas oleh pihak sekolah karena tidak mempunyai sertifikat magang

Korban tidak boleh bersekolah Korban tidak 64ias sekolah karena tidak boleh oleh terlapor terlapor menelantarkan korban Korban kurang diperhatikan oleh

KPAI

Proses

KPAI KPAI

Proses

KPAI Mediasi

Case Close

65

Penanganan Kasus Kronologis Singkat / Posisi KET Penyebab Kasus Kasus ayahnya Kesepakatan KPAI ayah tidak memberi Case Mediasi nafkah kepada anak Close Kesepakatan Korban Bekerja di salah KPAI Proses satu apartemen 13 murid kelas 3 di DO sepihak tanpa 65ias65an KPAI Konsultasi yang jelas tidak ingin anaknya KPAI terlantar sebab ibunya Case Mediasi tidak 65ias mencukupi Close Kesepakatan kebutuhan anak-anaknya

No

Jenis Pengaduan Kasus

58.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

59.

Eksplotasi Ekonomi dan Pekerja Anak

60.

Anak Putus Sekolah

61.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

62.

Fasilitas & Pelayanan Kesehatan kurang memadai / Buruk

Pelayanan kesehatan di RS Islam kurang

KPAI

Konsultasi

63.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

korban tidak pernah diberi nafkah

KPAI Mediasi Kesepakatan

Case Close

64.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

pelapor menginginkan kejelasan hak nafkah untuk korban

KPAI

Konsultasi

KPAI

Proses

KPAI

Proses

65. 66.

Anak Putus Sekolah Anak Putus Sekolah Eksplotasi Ekonomi dan Pekerja Anak

korban ditawarin pekerjaan

68.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

pelapor ingin keleluasaan untuk bersama korban

69.

Anak Putus Sekolah

67.

70.

Lain-lain

71.

Anak Putus Sekolah

72.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

73. 74. 75.

Anak Putus Sekolah Anak Putus Sekolah Penelantaran Anak

pelapor tidak 65ias membiayai perawatan dirumah sakit korban dikeluarkan dari sekolah karena kedapatan membawa HP oleh Guru anak ditelantarkan tidak disekolahkan sesuai hak2nya

korban tidak

KPAI Case Mediasi Close Kesepakatan Konsultasi Konsultasi KPAI

Proses

KPAI

Proses

Konsultasi

Konsultasi

KPAI KPAI

Proses Case

66

No

Jenis Pengaduan Kasus (Hak Nafkah)

76.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

77.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

78. 79.

Anak Putus Sekolah Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

Penanganan Kasus Kronologis Singkat / Posisi Penyebab Kasus Kasus mendapatkan hak nafkah Mediasi Kesepakatan terlapor tidak KPAI memberikan nafkah sama Mediasi korban Kesepakatan korban ingin tempat tinggal dan nafkah yg KPAI layak KPAI

KET Close Case Close Close Proses

terlapor pergi dari rumah

Konsultasi

Rujukan

80.

Perdagangan Anak (Trafficking)

korban diasuh orang lain tanpa sepengetahuan pelapor

KPAI

Proses

81.

Anak Korban Kebijakan (Pungli di Sekolah, Penyegelan Sekolah, Tidak Boleh Ikut Ujian, dsb)

dikeluarkan dari sekolah

KPAI

Proses

82.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

83.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

84.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

85.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah)

terlapor tidak memberikan nafkah kepada korban terlapor tidak memberikan nafkah kepada korban terlapor tidak memberikan nafkah kepada korban

KPAI Mediasi Kesepakatan KPAI Mediasi Kesepakatan KPAI Mediasi Kesepakatan KPAI Mediasi Kesepakatan

86. 87.

Penelantaran Anak (Hak Nafkah) Pengasuhan Anak Bermasalah

Case Close Case Close Case Close Case Close

KPAI

Proses

KPAI

Proses

Sumber: Retno Adji Prastiadju, Kepala Sekretariat KPAI, Selasa, 17 Agustus 2015.

Dari

tabel

penelantaran

anak

tahun

2014

di

atas,

penyusun

mengelompokkan pada 5 (bagian) dalam penanganan kasus tersebut, yaitu:

67

1. Sepakat Yaitu mediasi KPAI dari pelapor dan terlapor yang telah selesai dan menghasilkan kesepakatan. 19 (Sembilan belas) kasus yang ada dalam jenis ini. 2. Tidak Sepakat Yaitu mediasi KPAI dari pelapor dan terlapor yang telah selesai dan menghasilkan ketidak sepakatan antara pelapor dan terlapor atau tidak terjadi mediasi. Ada 5 (lima) kasus yang ada dalam jenis ini. 3. Proses Yaitu kasus masih ada dan sedang berjalan masih ditangani oleh KPAI untuk diselesaikan atau mediasi sedang dilakukan namun masih dalam penanganan KPAI karena belum berhasil. Ada 47 (empat puluh tujuh) kasus yang ada dalam jenis ini. 4. Konsultasi Yaitu meminta saran atau arahan dari KPAI demi kebaikan korban (anak). Ada 11 (sebelas) kasus yang ada dalam jenis ini. 5. Tidak Jelas Yaitu penanganan kasus penelantaran anak yang dilakukan oleh KPAI baik dalam kronologi singkat atau penyebab kasus dan keterangan tidak ada. Ada 5 (lima) kasus yang ada dalam jenis ini. Dari 5 bagian tersebut penyusun menganalisa kasus yang close dan yang masih dalam proses, sedangkan untuk kasus konsultasi dan kasus yang tidak jelas tidak dimasukkan dalam mengukur efektiv atau tidaknya kinerja KPAI dalam memediasi terkait penelantaran anak tahun 2014.

68

Dari 87 (delapan puluh tujuh) kasus yang ditangani KPAI terkait penelantaran terhadap anak tahun 2014, kesepakatan dalam mediasi berjumlah 19 (sembilan belas) kasus, sedangkan yang tidak sepakat berjumlah 5 (tujuh) kasus dan yang masih dalam proses terdapat 47 (empat puluh tujuh) kasus. Bedasarka SOP KPAI yang idealnya penanganan kasus di KPAI khususnya dalam mediasi seharusnya dapat diselesaikan selama 7 (tujuh hari) kerja, namun setelah dianalisa oleh penyusun waktu penyelesaian kasus di KPAI melebihi dari SOP tersebut.14 Hal ini tidak hanya karena kesalahan dari pihak KPAI saja, namun juga faktor dari pelapor dan terlapor juga, mempengaruhi dalam menghambat kinerja KPAI dalam melakukan mediasi seperti tidak dapat hadirnya pelapor atau terlapor untuk hadir dalam mediasi. Upaya yang dilakukan KPAI dalam menghadapi hambatan selaku mediator di atas anatara lain telah melakukan Standart Oprasional Prosedure (SOP) layanan pengaduan peningkatan SDM dan rencananya ditahun 2016, KPAI akan melakukan Sertifikasi Mediator untuk SDM layanan pengaduan di KPAI.15

C. Kendala yang dihadapi KPAI dalam menjalankan Tugasnya sebagai Mediator penelantaran anak tahun 2014 Setiap lembaga, instansi ataupun organisasi apapun jenisnya, baik itu berskala kecil ataupun besar dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai poin-poin penting dalam tujuannya pasti akan menemui berbagai hambatan,

14

Lihat SOP KPAI Nomor 01/PM/KPAI/2014 Wawancara dengan Retno Adji Pratiadju di rumah kediamannya, pada tanggal 22 Oktober 2015. 15

69

baik itu hambatan kecil maupun hambatan besar, baik berupa hambatan dari luar organisasi ataupun hambatan dari dalam organisasi sendiri. Dalam hal ini, bagaimanapun rapihnya suatu organisasi baik dalam struktur, pembagian tugas dan wewenang, serta kekuasaan tidak akan terlepas dari namanya suatu hambatan, karena organisasi adalah suatu system yang terbuka secara umum yang semua orang bisa ikut serta dan berkontribusi dalam melaksanakan suatu kegiatan yang pasti akan selalu berhubungan dengan orang banyak yang berada disekitar lingkungannya. Hambatan sekecil apapun bentuknya akan berpengaruh terhadap jalannya kegiatan yang akan dilaksanakan oleh organisasi tersebut. Hambatan sekecil apapun bentuknya yang ada dalam suatu organisasi, pasti akan mempengaruhi serta merugikan organisasi tersebut karena pelaksanaan kegiatan dalam rangka pencapaian tujuan organisasi akan terhambat. Mengakibatkan gagalnya pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam dasar-dasar keorganisasiannya. Berdasarkan pengumpulan data yang penyusun lakukan melalui wawancara, ada beberapa kendala yang dihadapi oleh pihak KPAI dalam menjalankan tugasnya sebagai mediator. Menurut Ibu Retno Adji Prastiadju S.H, ada beberapa hal yang menjadi kendala yang dihadapi KPAI dalam keefektivitasannya sebagai lembaga yang salah satu tugasnya adalah mediator.16 16

Wawancara dengan Retno Adji Pratiadju di rumah kediamannya, pada tanggal 22 Oktober 2015.

70

Pertama, kurangnya SDM, sehingga saat ada kasus yang masuk, pihak KPAI bingung untuk memilih siapa yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Kedua, Tanda tangan dari Ketua KPAI, karena berbagai kesibukan ketua KPAI jarang di kantor, sehingga ketika ada kasus yang masuk dan membutuhkan tanda tangan dari ketua KPAI untuk segera ditangani menjadi terhambat. Ketiga, tempat tinggal pelapor dan terlapor, salah satu pihak ini biasanya adalah orang asing. Retno Adji Prastiadju menjelaskan “karena salah satu pihak pelapor dan terlapor adalah orang asing (bukan orang Indonesia) sehingga mediasi dapat dilakukan ketika kedua belah pihak ada di Indonesia saja”.

17

Sehingga keadaan seperti ini

keefektivitasan

KPAI dalam melakukan

sangat

mempengaruhi untuk

tugasnya

sebagai

mediator.

Berdasarkan SOP KPAI seharusnya dapat diselesaikan selama 7 (tujuh) hari kerja, namun karena tidak dapat hadirnya salah satu pihak, kasus menjadi tertunda.

17

Wawancara dengan Retno Adji Pratiadju di rumah kediamannya, pada tanggal 22 Oktober 2015.

BAB V PENUTUP

Berdasarkan pemaparan dari bab-bab sebelumnya maka bab penutup ini dapat dikemukakan beberapa kesimpulan dan saran-saran yang berkaitan dengan penelantaran terhadap anak dan mediasi KPAI terhadap kasus penelantaran anak tahun 2014. A. Kesimpulan 1. Jenis penelantaran terhadap anak meliputi Penelantaran dari Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, Penelantaran di bidang kesehatan, Penelantaran di bidang pendidikan, Penelantaran di bidang hak sipil, Penelantaran anak di bidang trafiking dan ekploitasi dan Penelantaran di bidang sosial. Sedangkan Klasifikasi penelantaran anak adalah: a. Penelantaran anak / ekonomi (hak nafkah) b. Pengasuhan anak bermasalah c. Penahanan anak dirumah sakit d. Gizi buruk / gizi kurang / difteri e. Kematian anak dirumah sakit f. Fasilitas dan layanan kesehatan / rumah sakit / puskesmas kurang memadai / buruk g. Sarana dan Prasarana Sekolah Kurang h. Anak korban kebijakan (pungli di sekolah, penyegelan sekolah, tidak boleh ikut ujian dan lain-lain) i. Anak putus sekolah

71

72

j. Akta kelahiran k. Anak jalanan atau anak terlantar l. Ekploitasi seks komersian anak (ESKA) m. Ekploitasi dan pekerja anak n. Perdagangan anak Berdasarkan permasalahan yang dihadapi masyarakat terkait dengan kesejahteraan

anak

faktor

utama

yang

menyebabkan

terjadinya

penelantaran adalah ekonomi. 2. Kinerja KPAI tahun 2014 dalam melakukan tugasnya selaku Mediator kurang Efektiv 3. Kendala yang dihadapi KPAI dalam menjalankan tugasnya selaku mediator kasus penelantaran anak di tahun 2014 adalah kurangnya SDM, komitmen dari anggota untuk hadir kurang dan tempat tinggal pelapor atau terlapor yang jauh dari kantor KPAI.

B. Saran-saran 1. Disarankan

agar

bentuk-bentuk

penelantaran

terhadap

anak

dan

pencegahan yang bisa dilakukan perlu dibacakan pada khutbah jum’at dan perlu dilakukan sosialisasi seputar permasalahan yang berkaitan terhadap anak kepada Masyarakat, SMA, SMU, MAN dan Kampus. 2. Disarankan agar setiap anggota untuk mendapatkan pendidikan khusus terkait dengan SDM sesuai dengan bidangnya masing-masing, setiap komisioner mempunyai sertifikat selaku mediator sesuai dengan bidang masing-masing dan perlu ditingkatkannya koordinasi antara anggota.

73

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Syahrizal, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Media Group, Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2004. Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Jakarta: Kencana Mprenada Media Group, 2009. Ali, Zainuddin, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Anshari, Abu, Yahya, Zakaria, Fathul Wahab, Beirut. Dar AlKutub, 1987. Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta : Raja Grafindo Persada. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan Perkembangan Bahasa, Jakarta: Balai Pustaka. 1998

dan

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1996. Effendy, Kamus Komunikasi. Bandung, Bandung: Informatika, 1989. Folberg dan A Taylor, Mediation : A Comperhensive Guide to Resolving Conflict Litigation Cambridge, Cambridge Univercity Pres, 1884. Gosita, Arief, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta Akademi: Presindo, 1989. Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Hasballah, Ali, ushul Tasyiri’ al-islamy, Indonesia: Menara Kudus. Huraerah, Abu, Kekerasan Terhadap Anak, Cet. Ke-1, Bandung: Nusantara, 2006. Hurlock, E.B., Psikologi Perkembangan, Edisi 5, Jakarta: Erlangga, 1990. Jauhari, Iman, Advokasi Hak-Hak Anak Ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan, Medan: Pusataka Bangsa, 2008. Kamus

Besar Bahasa komisi.html.

Indonesia

Online:

http://artikata.com/arti-335802-

Kurniawan, Agung, Transformasi Pelayanan Publik Yogyakarta: Pembaruan, 2005. LBH Jakarta, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum” LBH Jakarta: Jakarta, 2012.

74

Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Nisa’ Haula al-Rasul, diterjemahkan oleh Ahmad Sarbaini dengan judul Isteri-isteri dan Puteri-puteri Rasulullah Saw serta Peranan Beliau terhadap Mereka Cet. II; Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2003. Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005. Mughniyah, Muhammad, Jawad, Fiqih Lima Madzhab, pen: Masykur A.B.dkk, cet. ke-3, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2004. Muhammad, Abdurrahman bin, Bugyah al-Mustarsyidin, Beirut: Dar al-Fikr Mulyanto, Model Pengembangan Anak Dalam Perlindungan Khusus, Laporan Penelitian Pada Konfeksi Nasional Kesejahteraan Sosial Ketiga, DNIKS, Bukittinggi. Nasir, MJA, Membela Anak Dengan Teater, cet. Ke-1; Yogyakarta: Purwangga, 2001 Pedoman Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Daerah, Nomor : SK13/KPAI/II/2015. Poerdaminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1992. Prabowo, Budy, Anak-anak Korban Tsunami : Mereka Perlu Perlindungan Khusus, (Media perempuan Edisi No.6 Biro Umum dan Humas Kementerian Pemberdayan Perempuan Republik Indonesia), Jakarta, 2004. Prawirohamidjojo, Soetojo dan Martha Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, Surabaya: Airlangga University Pres, 2000. R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Bandung: PT. Karya Nusantara, 1989. Rahmadi, Takdir, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2010. Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 1995. Satria, Efendi, M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2004 Muhammad Husein Zahabi, Al-Syari‟ah al Islamiya: Dirasah Muqaranah Baina Mazahib Ahlu Sunnah Wal alMazahib al-Ja‟fariyah, Mesir: Dar al Kutub al Hadisah, 1968 Siregar, Bismar, Dalam Irma Setyowati, Jakarta: Bumi Aksara, 1990.

Aspek Hukum Perlindungan Anak,

75

Suharto, Edi, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Bandung: Refika Aditama, 2009. Supriono, Sistem Pengendalian Manajemen, Jakarta: Erlangga, 2000. Syarbani, Muhammad, Al-Iqna’, Beirut : Dar al-Fikr. Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1999. Tim Penyusunan Pusat Pembimbing dan Pengembangan Bahasa DEPDIKBUD, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991. Tim Prima Pena, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Gitamedia Pres. Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam,Bandung: Nuansa Aulia, 2008. Tutik, Titik, Triwulan, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, 2008. Wadong, Maulana, Hasan, Pengantar Advokasi dan Perlindungan Anak, Jakarta : PT Gramedia Widasrana Indonesia, 2000.

Internet http://koleksi.org/pengertian-efektifitas-menurut-para-ahli/. http://puskesmaskebumen1.blogspot.co.id/2011/02/mengenal-kekerasan-terhadapanak-kta.html. http://sp.beritasatu.com/home/45-juta-anak-rentan-penelantaran/87250 http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/05/19/nolj27-tiga-dari-limaanak-utomo-positif-gizi-buruk. http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2012/03/22/18307/fatwa-muitentang-kedudukan-anak-hasil-zina-dan-perlakuanterhadapnya/;#sthash.AEfZlcAO.dpbs. https://perludiketahui.wordpress.com/dampak-kekerasan-terhadap-anak/.

Lampiran I BAB II Pengasuhan (hadhanah) UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. BAB II Tentang Hak dan Kewajiban Orangtua Terhadap Anak UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 26 1) Orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; b. menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada Anak. UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Hak antara Orangtua dan Anak Pasal 45 1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak -anak mereka sebaik-baiknya. 2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orangtua putus. BAB II Penelantaran Anak UU No 23 Tahun 2004 tentang Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pasal 9 1) setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharan.

Lampiran III Dokumentasi

LAMPIRAN II PSP WAWANCARA I Narasumber

: Retno Adji Pratiaju SH.

Jabatan

: Kepala Sekretariat KPAI

Tempat dan waktu

: Kantor KPAI 25 Mei 2015

Pertanyaan 1. Bagaimana pengertian mediasi di KPAI? 2. Sejauh ini bagaimana hasil dari mediasi kasus penelantaran anak yang dilakukan KPAI? 3. Apa saja jenis penelantaran yang biasanya dilaporkan masyarakat kepada KPAI? 4. Apa saja kendala yang dihadapi KPAI dalam melakukan mediasi? 5. Setelah dilakukan mediasi langkah selanjutnya yang dilakukan KPAI terhadap kasus tersebut bagaimana? 6. Apa saja faktor penelantaran terhadap anak? 7. Bagaimana KPAI menjelankan tugas dalam menangani kasus penelantaran terhadap anak? 8. Apa harapan KPAI kedepannya?

Jawaban atau hasil wawancara 1. Mediasi adalah proses mempertemukan antara pelapor dan terlapor agar menemukan titik temu guna kepentingan terbaik bagi anak. 2. Hasil yang dilakukan KPAI terhadap kasus penelantaran anak, ada yang berhasil dan ada yang tidak dan kebanyakan berhasil. 3. Jenis penelantaran anak beraneka ragam seperti penelantaran dalam ekonomi, misalnya anak tidak diberikan nafkah. 4. Kendala yang dihadapi KPAI dalam memdiasi baiasanya salah satu pelapo dan terlapor tidak mau dipertemukan dan terhambatnya mendapatkan tanda tangan dari ketua KPAI.

5. Setelah selesai mediasi dan menghasilkan kesepakatan KPAI masih melakukan pengawasan terhadap keluarga dan anak tersebut, namun untuk kasus yang tidak dapat diselesaikan di KPAI maka kasus tersebut dirujuk kepengadilan atau lembaga terkait. 6. Faktor yang menyebabkan penelantarani tuterjadi adalah ekonomi. 7. KPAI dalam menjalankan tugasnya, bekerjasama dengan lembaga lainnya, seperti komnas anak. 8. Ya pasti harapan kedepannya semoga setiap permasalahan di KPAI dapat diselesaikan dengan proses mediasi

WAWANCARA II Narasumber

: Retno Adji Pratiaju SH.

Jabatan

: Kepala Sekretariat KPAI

Tempat dan Waktu

: Rumah Kediaman Ibu Retno Adji Pratiaju, Sabtu 26

September 2015

Pertanyaan Berdasarkan wawancara sebelumnya dan dari data yang diterima dari KPAI seputar kasus yang ditangani terhadap anak, saya telah menyusun pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa saja peneleantaran yang termasuk dalam bidang agama? 2. Apa saja penelantaran dalam bidang pendidikan dan masalah utamanya? 3. Apa saja penlantaran dalam bidang kesehatan? 4. Apa saja penelantaran dibidang hak sipil? 5. Apa saja penelantaran anak dibidang sosial? 6. Apa saja penelantaran anak di bidang trafiking dan eklpoitasi? 7. Apa saja penelantaran dibidang keluarga dan pengasuhan alternatif? 8. Menurut ibu sejauh ini berdasarkan kasus yang masih dalam proses dan close bagaimana keefektivitasan KPAI dalam melakukan mediasi?

Jawaban atau hasil 1. Untuk kasus dalam bidang agama saya rasa tidak ada, karena itu termasuk dalam pendidikan anak, bisa jadi itu karena pengaruh lingkungan. 2. Penelantaran dalam bidang pendidikan anak anak korban kebijakan seperti anak tidak dapat mengikuti ujian karena telat dalam pembayaran, anak putus sekolah karena orang tuanya tidak dapat membiayai sekolahnya, walaupun sekarang sekolah katanya gratis namun banyak bayaran lainnya seperti bayaran gedung dan lain sebagainya, penelantaran ini walaupun kareana keadaan seharusnya orangtua memperbaiki perekonomiannya agar anak mendapatkan pendidikan, sarana dan prasarana sekolah yang kurang bagus

juga termasuk dalam penelantaran anak, karena itu mempengaruhi proses belajar anak di sekolah. 3. Penahanan anak di rumah sakit karena tidak bisa membiayai rumah sakit, gizi anak buruk karena makanan yang kurang bagus untuk dikonsumsi missal ibu yang masih menyusui yang tidak memperhatiakan pola makannya sehingga berpengaruh kepada anak yang sedang mengkonsumsi susunya, kematian anak di rumah sakit karena terlambatnya pelayanan dari pihak rumah sakit dan fasilitas layanan kesehatan rumah sakit yang kurang bagus sehingga anak tidak mendapatkan perawatan yang layak. 4. Untuk penelantaran dalam bidang hak sipil yang ditangani KPAI anak tidak mendapatkan akta kelahiran karena orangtua tidak memperhatikan hak anak untuk mendapatkannya. 5. Penelantaran anak dibidang sosial, biasanya anak disuruh turun kejalanan untuk membantu memenuhi kebutuhan perekonomian kelarga, sehingga pendidikan dan kesehatan anak tidak terjaga. 6. Perdagangan anak, ekploitasi dan pekerja anak dan ekploitasi seks komersian anak 7. Untuk kasus dalam bidang ini, biasanya anak diterlantarkan dari segi ekonomi misalnya nya anak tidak diberikan nafkah, uang jajan dan sebagainya. pengasuhan alternatif seperti anak ditipkan dipanti asuhan yang seharusnya anak hidup bersama orangtuanya dan pengasuhan. 8. Kalau dilihat dari SOP KPAI mediasi yang dilakukan kurang efektiv yang seharusnya dapat diselesaikan sekian hari namun faktanya melebihi dari SOP tersebut,ini terjadi karena pelapor dan terlapor susah untuk dipertemukan dan kebanyakan salah satu pelapor dan terlapor warga asing sehingga, ketika dia ada di Indonesia saja bisa dpertemukan dan juga kurangnya SDM.

More Documents from "Damar Sinatria"

Jumili-fsh.pdf
May 2020 14
June 2020 20
Interview Indo.docx
December 2019 26
Kalimat.docx
December 2019 20