Jogja 27 Mei

  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Jogja 27 Mei as PDF for free.

More details

  • Words: 2,481
  • Pages: 9
jogja 27 may 2006 at 06.38 am until 10.42 am by

tyo

kumatikan mesin motor sekaligus kuambil kuncinya dari stop kontak. gendang telingaku bergetar mendengar suara perempuan memakai bahasa padang yang kukenali tetapi tak tahu artinya. suara itu tak salah lagi berasal dari kos-kosan saudaraku yang tetap berdiri tegap dan tak ada cacat setelah digoncang gempa pagi ini. padahal rumah tetangganya mengalami kerusakan dari yang hanya mengalami keretakan hingga rubuh total, letaknya depan kosan saudaraku. dinding, pintu, jendela, dan atap rumah menyatu dengan tanah. naya menepuk bahu sebelah kiriku.”sudah sampe sini malah bengong sih? ntar kemasukan loh! barangkali aja ada korban dekat-dekat sini.” “mi, saudara kamu tuh ada didepan.” teriak avrini teman satu kosan dengan silmi. “masuk dulu kez, silminya lagi sibuk beresin kamarnya yang berantakan.” kami berdua menuju ke teras kosan, dari arah dalam rumah muncul sesosok perempuan yang mengenakan piama dikotori oleh debu. rambut panjang berantakan yang berwana hitam keputih-putihan atau putih kehitam-hitaman, aku tak jelas melihat warnanya. “aduhhh……., silmi manisku dan cantikku, kenapa jadi nenek sihir gini sih?” “seperti nenek sihir na?” kedua tangan silmi membersihkan piama yang penuh debu. “saudara kamu sekarang lagi jujur loh mi.” ucap naya sambil tersenyum. silmi membalikan arah menuju rumah. “tunggu bentar! aku lupa bawa sapu dulu.” “buat apa mi?” “aku ambil sapu terbang buat buang kalian ke kawah gunung merapi.” silmi membalikan badannya kearah kami dan tersenyum manis. “kalian tidak apa-apa?” “kita sih baik-baik saja. kamu kenapa sampai kotor baget kaya gini?” tanyaku sambil membantu silmi membersihkan rambut indahnya yang ditutupi debu. “dinding kamarku roboh. syukur lah rubuhnya ke tempat jemuran. kalau saja rubuhnya ke kamar, pasti aku tertimbun batu bata.”

“praktis tuh, jadi nga usah nyuruh orang tuk gali kuburan buat kamu.” “ussshhh, mulut kamu pernah disekolah nga seh?” ucap naya yang tanpa disadari tanganya menyikut perutku. “kalian dari dulu berantem terus, nga berubah.” “sorry tadi keceplosan ngomongnya.” “nga pa-pa aku sudah terbiasa sifatmu. kalian mau liat kamar kosku nga?” ajak silmi “yoa, aku mau liat separah apa sih kamar kamu abis kena gempa?” tanya naya. kami bertiga menuju kamar silmi yang letaknya paling belakang kosan. avrini dan teman satu daerahnya mulai mengobrol dengan bahasa padang yang sama sekali aku tak mengerti. aku lewati ruangan yang biasa dipakai penghuni kos untuk menonton tv bersama. ruangan ini lebih terang dari hari-hari biasanya. penyebab terangnya ruangan ini berasal dari cahaya matahari masuk yang tak terhalangi oleh tembok belakang kosan yang rubuh. tembok kamar silmi yang merupakan bagian belakang rumah rubuh setengah. dinding tingginya kira-kira tiga meter menjadi lebih rendah daripada tinggi tubuhku yang tingginya 167 cm. hanya saja tiang bagian belakang mampu menahan langit-langit dan atap rumah. “ini rumah kautnya cuma depannya doank, belakangnya seh rapuh.” sindir naya yang kontarakannya tak ada kerusakan yang berarti. “kenapa yagn rubuhnya kamar aku seeeh? aku musti pindahin barang-barang ke kamar temen-temenku di kos ini.” keluh silmi yang harus merasakan capenya ngangkatin barang-barangnya sendiri. ”klo rubuhnya kearah belakang tapi tembok yang diantara kamar kamu dan sebelahmu, kamu tentunya lebih repot lagi mi.” naya berusaha menghilangkan kegusaran silmi. aku pun ikut mencoba menenagkannya “lagian juga kamu sudah nga jomblo lagi dari pada aku yang masih jomblo. yaahhh lumayan lah buat ngangkat-ngangkat barang. oh ya, gimana kabarnya angga?” “dia baik-baik saja. bentar lagi juga dia kemari.” jawab silmi dengan logat jawa walaupun dengan bahasa indonesia. “kamu tadi bisa telepon?”

“aku telepon nga bisa. ku coba lewat sms, laporannya nga ada, ternyata nyampe juga tuh sms. aku ma angga kan pake kartu gsm yang sama. ehh gima……” ucapan silmi terpotong dengan goncangan yang tiba-tiba muncul. ddddrrrrrrrrdddd “gempa susulan. cepat keluar!” teriakan avrini terdengar jelas. ya jelas tercampur dengan suara kayu yang berbenturan dengan tembok yang entah darimana asalnya. secepat mungkin kita bertiga melewati reruntuhan tembok ke tempat jemur pakaian dengan ketakutan akan tertimpa apapun yang jatuh karena getaran yang kuat. gempa terhenti ketika berlindung dibawah tali jemuran yang jika dipikir-pikir tak dapat menahan jatuhnya genting menuju arah kami. tanpa sadar tanganku mencoba nenutupi bagian atas kepala dengan posisi berjongkok seperti tawanan yang baru ditangkap polisi. “untung

gempa

sesaat”

ucap

naya

dengan

nafas

yang

berat

lalu

menghembuskannya. tangannya memegang bahuku untuk manaruh beban badannya saat mengambil posisi berdiri. “kamu sih maunya untung terus.”ucapku sambil mengawasi atap untuk berjagajaga dari genting yang merosot jatuh. “kita keluar yuk! dari pada disini sempit” ajak silmi. aku dan naya menerima ajakan yang pas disaat seperti ini. sesampai kami di luar. aku tercengang melihat orang tua yang berumur diatas 70 tahun terkapar didepan rumah yang rubuh. banyak luka gores disekujur tubuhnya yang masih kotor dari debu yang tercampur oleh darah pada lukanya. orang tua itu tidak bisa berbuat apa-apa hanya terbaring saja. terlihat keputus asaan dari raut wajahnya. “bapak itu kenapa av?” tanyaku. “dia tertimpa balok kayu pondasi genting dan genting didala rumahnya. dia tidak sempat untuk keluar rumah pada saat gempa pertama. lukanya nga hanya ada di kulitnya saja mungkin mengalami patah tulang sampai tidak bisa jalan bahkan untuk gerakan tangannya saja tidak bisa.” setelah avrini menjawab, aku merasa kasihan sekali dan tak tega untuk melihatnya sama seperti lainnya yang melihat orang tua itu. “kalian tau nga pusat gempanya ada dimana?” tanya teman kos silmi sama-sama satu daerah dengan avrini. “paling juga sekitar gunung merapi lahh.” cetus silmi tanpa berpikir lagi. aku,

naya, dan avrini pun berpendapat sama dengan silmi. “salah! saya tadi ke warung dan dengarkan radio ternyata menurut bmg pusat gempanya di samudra hindia 33 km dari tepi pantai dengan kekuatan 5,3 skala richter.” terangnya dengan nada padang yang melekatnya. “gila. gunung belon meletus, jogja sudah kena gempa duluan dari laut. serem deh jogja sekarang ini.” mimik muka naya seperti menonton film horror dengan kedua tangan dikepalkan di depan mulutnya. “untungnya nga tsunami kaya di aceh. atau jangan-jangan airnya mau kejogja.” “aduh kamu ngomongnya jadi ngawur deh.” timpal avrini. dari arah belakangku terdengar suara motor vespa yang tak asing lagi di kedua kupingku. “pangeran penunggang vespamu datang tuh mi.” ucap avrini yang berada didepanku. aku pinggirkan tubuhku dari tengah jalan tuk memberi jalan si penunggang vespa. begitu juga avrini memberi jalan dan langsung masuk ke dalam kosan. tidak ketinggalan teman satu daerahnya masuk kedalam juga dengan mengucapkan pamit terlebih dahulu. diberhentikan vespa di depan rumah sebelah kosan silmi. yang punya vespa tak mau motornya kena terik matahari lama maka dia parker dibawah pohon yang rindang. setelah memakirkan vespa, angga berjalan menuju kami. “kalian baik-baik saja?” kita sih baik-baik saja, cuma kamar aku tuh ancur.” jawab silmi dengan nada manjanya. “kalau kontarakan kita sih masih kokoh seperti kemarin.” naya langsung membisikkan ketelingaku. “kez, kita cabut yuk!” “sodaraku…aku ma naya mau meneruskan perjalanan ke barat untuk mencari kitab suci.” “kalau mencari kitab suci ke barat, lantas siapa yang menjadi kera saktinya?” tanya angga. “dia” aku dan naya serentak saling menunjuk. “mi! pilih siapa?” mataku melotot kearah silmi. “kamu nga mau kan punya saudara yang jadi kera sakti.” “sesama kera jangan saling menuduh deh.” silmi tersenyum. “sorry banget neh,

kalian kesini tapi nga disuguhin apa-apa.” “nga pa-pa ko’ mi, yang penting kamu baik-baik saja walaupun kamar kamu kaya gitu. keadaan kamu yang sehat sudah buat aku senang.” ucapku sambil merogoh kantong jaket tuk mengambil kunci motor. “terima kasih sepupuku dan naya. ntar kalau ada apa-apa tinggal kabarin saja.” “kita jalan dulu silmi ma angga.” pamit naya dengan melambaikan tangan kanannya. aku menuju motorku dan menaikinya. sambil menghidupkan mesin, aku pandangi orang tua yang terkapar tak berdaya. luka-lukanya sedang dibersihkan seorang ibu dan seorang ayah. dalam pikiranku, jika dia tidak bisa bergerak pasti banyak tulang yang patah. terlihat dalam wajahnya yang hampa, ya benar-benar tatapan hampa. mengalir air mata menuju ke pipi yang berwarna coklat tua. tentu saja dia sedang menangis. menangisi kejadian yang dia alami hari ini. kejadian yang membuat tubuhnya terluka oleh reruntuhan tempat tinggalnya sendiri yang kini rata dengan tanah. kuteliti jalan yang kulalui untuk mencari warung yagn berjualan. akhirnya menemukan warung roko diatas trotoar yang mau mencari nafkah dihari yang pasti tercatat dalam sejarah. “na, kita berhenti diwarung sana dulu! tenggorokan udah kering nih.” “ide yang bagus tuh.” kuparkirkan motor dipinggir jalan dekat warung. setelah di kunci stang, aku menuju penjual yang menyibukkan diri menghisap roko kretek di pinggir warungnya. “ada teh botol yang nga dingin, pa?” “ada.” “na, kamu mau minum apa? “teh botol yang dingin, kez.” “teh botolnya satu lagi pa! tapi yang dingin.” pria itu membuka kedua tutup botol dan memasukkan sedotan kedalamnya. selelah menyerahkan kepadaku, dia melanjutkan menikmati rokok yang dihisapnya sambil mendengar berita di radio yang suaranya terganggu karena radionya yang sewajarnya masuk ke museum.

kusandarkan punggungku di batang pohon pinggir trotoar. ku sedot teh tuk membasahi tenggorokan yang kering. jalan semakin lama semakin ramai, anehnya keramaian hanya dari arah selatan. dari arah kejauhan terdengar suara gemuruh menusuk ketelingaku. butuh dua detik untuk mencerna suara gemuruh itu, ternyata suara itu adalah suara berbagai jenis motor dan berbagai bunyi knalpot berbeda-beda dengan jumlah yang sangat banyak. beberapa detik kemudian motor dan mobil melewati depanku. aku yakin dan sadar jalan yang berada di depan mataku bukanlah jalan yang sedang dipakai untuk mengadu kecepatan mesin. tetapi kendaraan itu beradu kecepatan. bukankah balapan memakai standar pengamanan untuk sang pengemudi. setidaknya helm dipakai untuk yang mengendarai sepeda motor. hanya sedikit pengemudi motor yang memakai helm disaat kendaraan-kendaraan saling mendahului. tak jarang pula sepeda motor yang dinaiki oleh 3 orang. bahkan ada yang satu keluarga, kedua orang tuanya beserta dua orang anaknya. “tsunami, ada tsunami” terdengar teriakan dari suara yang berbeda. “air laut naik kedarat. cepat lari!” “ayo kez, kita kabur dari sini!” rengek naya. tangannya menarik lengan sebelah kiriku. aku cerna isu tsunami yang masih segar ditelinga dan orang-orang yang sedang panik dala pandanganku. “tenang dulu, na!” “ayo cepetan donk!” tangan kiriku ditariknya lebih kuat lagi. “begini na.” kulepaskan cengkraman tangannya dengan tangan kananku.”jika dibandingkan tsunami aceh karena gempa dengan kekuatan 9 skala richter saja kecepatan rata-ratanya 500 km/jam menempuh 100 kilo meter diperkirakan jeda waktunya 12 menit. gempa kira-kira dua jam yang lalu, na. jarak disini dari pingir pantai kira-kira 25 km. kalau pun ada tsunami pasti sudah dari tadi airnya sampai ke sini. “aku nga butuh keterangan dan sok tahunya kamu, pokoknya kita pergi dari sini.” bentak naya dengan kesal. tangannya merogoh kantong jaketku untuk mengambil kunci motor. dari arah belakangku seorang ibu berlari menghampiri kami dengan nafas yang terpongoh-pongoh. “mbak cepet lari dari sini, kata pak rt air lautnya sudah sampe kota bantul.” selesai memberitahu kami, ibu itu meninggalkan kami dengan lari terbirit-birit.

ditengah-tengah suasana panik ini. aku berusaha keras memakai logika dan merasa yakin bahwa tsunami tidak ada dan tiu hanya ketakutan yang berlebihan saja. “kalau kamu mau tinggal di sini ya udah” dengan nada kesal. “aku pinjem motor kamu. mana kuncinya?” naya menjulurkan telapak tangan yang terbuka didepan wajah ku. tanpa basa-basi lagi kuberikan kunci motorku dari saku celana pendek yang aku kenakan. “kamu jangan lupa kesini lagi tuk jeput aku!” naya menghiraukan ucapanku. dia kelihatan kesal karena aku menghambat dia pergi dari sini atau aku tetap tinggal disini hanya untuk membuktikan apa yang aku yakini itu benar yaitu tak terjadi tsunami. aku pun tak tahu pastinya naya kesal karena apa. kulihat naya menjalankan motorku dan menghilang dikeramaian yang dihantui oleh tsunami akan memporak-porandakan kota jogja. kuraih teh botol yang aku letakkan di atas trotoar. semakin lama semakin banyak kendaraan yang memenuhi jalan. tentunya semakin sakit telingaku mendengar suara knalpot yang semakin berisik. terpecah perhatianku atas kepanikan oleh suara pria yang serak.”mba, bayar teh botolnya besokbesok lagi.” “eh…pak!” hirauanku tak digubris oleh penjual itu. dia mengayuh sepeda yang sudah tidak jelas lagi warna catnya. sekuat tenaga dia mengayuh untuk menghilang dari penglihatan dari tubuhku yang tidak beranjak kemana-mana. orang-orang panik mendengar isu tsunami dan berhamburan menuju kedataran yang lebih tinggi lagi yaitu gunung merapi. tak ada mobil, motor pun bisa. tak ada motor, sepeda pun dapat dipakai. tak ada kendaraan, tuhan pun memberi manusia kedua kaki untuk berlari disaat yang mereka rasakan sangat genting. sebuah sepeda motor berhenti di hadapanku. motor itu dinaiki oleh tiga orang, dua orang laki-laki yang lebih muda dariku dan seorang kakek yang digotong oleh laki-laki yang bukan pengemudi. pria yang menggotong kakek dengan tergesa-gesa mengangkat sang kakek. si kakek diletakkan diletakkan dibawah pohon yang rindang merupakan pohon yang sama tempat aku berteduh dari sinar matahari. si kakek terkapar dan tidak melakukan apa-apa sedangkan laki-laki yang menggotongnyalansung menuju motor. hampir dia menaiki motor dia berbalik arah dan menghampiri si kakek dengan rasa bersalah. “ mbah, maafkan aku dan temanku”. dia merebahkan tubuhnya untuk bersudud kearah si kakek. “sekali lagi tolong maafkan aku dan temanku.” selesai meminta maaf ke

pada si kakek, mereka berdua kabur meninggalkan kakek yang berada di sampingku. aku perhatikan secara baik-baik si kakek. “ya tuhan…...” dia adalah pria tua tetangga depan kosan silmi. pria tua yang mengalami patah tulang dan mengalami banyak sekali luka tergores pada kulitnya. yang membuat sedikit berbeda dari tadi dikosan silmi yakni kulit beserta luka-lukanya sudah dibersihkan dari tanah dan debu. kedua, bajunya sudah diganti dengan yang bersih. “mereka jahat sekali.” gumanku. berani-beraninya mereka menelantarkan kakek ini untuk menyematkan diri sendiri dari rasa ketakutan akan tsunami. tak salah lagi dari daerah kosan silmi menuju rumah sakit melewati jalan ini. seharusnya mereka memasukkan kakek ini kerumah sakit. malah menelantarkannya di dekatku. aku merasa kesal dan marah ke mereka. tapi bagaimana lagi mereka berdua sudah tidak ada lagi dan yang ada adalah seorang kakek yang membutuhkan pertolongan. sebenarnya aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali yang aku miliki saat ini adalah teh botolnya naya yang masih sisa setengah botol. teh botol milik naya kusodorkan sedotannya dekat sekali dengan mulut si kakek. “mbah minum dulu!” tak lama, ujung sedotan masuk kedalam mulutnya. setelah meminum teh botol walaupun tidak sampai habis, dia menatapku. tak ada sepatah kata pun yang di ucapkannya. tetapi tatapannya mengisyaratkan untuk berterimah kasih kepadaku dengan senyumannya. aku duduk diatas trotoar untuk menunggu naya dan kedua orang jahat itu. suasana kepanikan mereda setelah mobil polisi lewat dengan pengeras suara untuk memberitaukan apa yang aku duga yaitu tak ada tsunami, yang ada hanya isu bohong belaka. beberapa puluh menit kemudian arus keramaian berbalik arah untuk pulang ke tempat tinggalnya masing-masing. kedua pemuda itu pun kembali untuk membawa si kakek. “terima kasih, mbak. sudah mau menjaga kakek saya” tangannya mengangkat si kakek untuk dinaikkan keatas motor. “oh jadi kamu cucunya?” tanyaku dengan nada yang tinggi. “iya mbak.” kepalanya mengangguk kebawah. “dasar cucu yang nga tau rasa terima kasih.” ocehku dengan nda yang judes. “lain kali jangan kaya gini lagi.” “maaf mbak.” katanya dengan nada yang merasa bersalah.

“minta maafnya kekakek kamu lah. untung kamu nga dikutuk sama kakek kamu.” “ah mbak bisa saja.” selesainya aku memberikan sedikit ceramah. mereka berdua pergi melawa arus kemacetan hingga jalan menuju rumah sakit tersendat-sendat oleh pengemudi yang egois memakai lajur kanan jalan. juli 2007 sahabat, kawan, atau teman ku yang baik klo dah bacanya kasih komentarnya ya!!!! 1. penggambaran tentang suasana atau kondisi yang digambarkan masih kurang nga?? 2. lucunya jayus nga?? 3. dibagian sedihnya menyentuh perasaan nga?? 4. tolong kasih kritikannya yang lain???

Related Documents

Jogja 27 Mei
November 2019 12
Prijswinnaars 27 Mei 2007
November 2019 19
Jurnal Jogja
May 2020 48
Peta Jogja
December 2019 48
Peta Jogja
December 2019 62