LAPORAN KASUS INFARK MIOKARD DENGAN ELEVASI SEGMEN ST Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepanitraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Tentara Tingkat II Dokter Soedjono
Pembimbing : Kapten (CKM) dr. Ardhestiro H. Putro, Sp.JP. FIHA
Disusun oleh : HELSA AMALIA 1620221228
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA 2018
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS
INFARK MIOKARD DENGAN ELEVASI SEGMEN ST
Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan tugas Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Tk.II dr. Soedjono Magelang
Oleh :
HELSA AMALIA 1620221228
Magelang, Juli 2018 Telah dibimbing dan disahkan oleh, Dokter pembimbing
Kapten (CKM) dr. Ardhestiro H. Putro, Sp.JP. FIHA
2
BAB I PENDAHULUAN
I.I LATAR BELAKANG Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu spektrum keadaan dimana terjadi iskemia/infark akut pada myokardium yang umumnya disebabkan oleh turunnya aliran darah koroner yang cepat dan tiba-tiba. SKA meliputi angina tidak stabil, infark myokardium dengan dan tanpa elevasi segmen ST. SKA disebabkan oleh thrombus yang mengobstruksi pembuluh koroner atherosklerotik. SKA dapat terjadi tanpa adanya plak aterosklerosis, diataranya disebabkan oleh vaskulitis, emboli, vasospasme, diseksi aorta, hipoxemia, hipertiroidisme, dan pemakaian obat-obatan. Sebanyak 1,67 juta orang datang ke terdiagnosis SKA tiap tahunnya, 700 ribu diantaranya merupakan angina tidak stabil, 600 ribu diantaranya NSTEMI, dan 300 ribu lainnya merupakan STEMI. Pria dengan usia diatas 45 tahun, wanita dengan usia 55 tahun, dan siapapun yang mempunyai kerabat dengan SKA memiliki resiko SKA yang lebih tinggi dibanding orang lain yang tidak memiliki faktor resiko tersebut. Faktor resiko yang dapat diubah meliputi kadar lipid, merokok, DM, obesitas, hipertensi, stres, serta jarangnya berolahraga. Karakteristik utama Sindrom Koroner Akut Segmen ST Elevasi adalah angina tipikal dan perubahan EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI. Sebagian besar pasien STEMI akan mengalami peningkatan marka jantung, sehingga berlanjut menjadi infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST-Elevation Myocardial Infarction, STEMI). Oleh karena itu pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.
BAB II LAPORAN KASUS I.1 Identitas Pasien Nama
: Tn.S
Jenis kelamin
: Laki-laki
Umur
: 64 tahun
Status
: Menikah
Agama
: Islam
Suku Bangsa
: Indonesia
Pekerjaan
: Supir Truk
Alamat
: Beran, Magelang
Tanggal Masuk : 25 Juni 2018 No. CM
: 170xxx
Bangsal
: Bougenville
Anamnesis dilakukan secara : Autoanamnesis dan Alloanamnesis pada tanggal 29 Juni 2018 di Ruang Bougenville RST dr. Soedjono Magelang
I.2 Subjektif Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
Keluhan Tambahan : Nyeri dada, keringat dingin, sesak napas, nyeri ulu hati, mual.
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD dengan post penurunan kesadaran 1 jam SMRS. Sebelum pingsan pasien baru pulang dari bepergian. Kemudian tiba-tiba pasien pingsan. Tidak ada riwayat trauma pada kepala. Pasien menyangkal terdapat kelemahan anggota gerak. Pasien tidak mengeluh pusing atau pandangan berputar sebelum pingsan namun pasien sempat merasa nyeri dada di sekitar
4
dada bagian kiri yang belum pernah pasien rasakan. Nyeri dada menjalar hingga tenggorokan. Nyeri dada terasa seperti tertusuk. Pasien tidak ingat lama nyeri dada. Nyeri dada disertai keringat dingin dan sesak napas. Sesak napas dirasa mendadak dan tidak membaik dengan istirahat. Sesak napas tidak disertai batuk atau dipengaruhi cuaca. Pasien mengaku sering terasa sesak bila berjalan jauh. Setelah sadar pasien mengeluh nyeri pada ulu hati. Nyeri ulu hati menjalar ke kerongkongan dan terasa panas. Pasien mengaku sering merasakan keluhan seperti itu. Keluhan disertai mual. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien memiliki riwayat sakit maag dan sering kambuh. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit jantung, hipertensi, diabetes mellitus, penyakit ginjal, dan penyakit paru.
Riwayat Penyakit Keluarga : Anggota keluarga tidak ada yang memiliki keluhan serupa. Pada keluarga tidak ada yang memiliki riwayat penyakit jantung atau hipertensi.
Riwayat Sosial Ekonomi a. Community Pasien tinggal daerah diperkampungan. Rumah satu dengan yang lain berdekatan. Hubungan antara pasien dengan anggota keluarga lain, tetangga dan keluarga dekat baik. Jauh dari jalan raya, pabrik, dan kebisingan. b. Occupational Pasien adalah seorang supir truk yang bekerja 7 hari dalam seminggu. Pekerjaan menuntut pasien untuk berangkat pagi dan pulang sore hari. c. Personal Habit Merokok
: pasien merokok 1 bungkus per hari.
Minum alkohol
: Disangkal.
Olahraga
: Tidak penah, hanya aktivitas sehari-hari
5
Gizi
: Makan tidak teratur.
Objektif Pemeriksaan fisik pada 29 Juni 2018. Keadaan Umum
: Tampak sesak.
Kesadaran
: Compos mentis, GCS E4 M6 V5.
Tanda Vital
:
•
Tekanan darah : 130/80 mmHg.
•
Nadi
: 88 x/menit.
•
Suhu
: 36,8 0C.
•
Respirasi
: 28 x/menit.
•
Saturasi O2
: 98 % on nasal kanul
Status Gizi •
BB
: 85 kg.
•
TB
: 165 cm.
•
BMI
: 31.22 obese II
Status Generalis Kepala
:
•
Bentuk mesocephal.
•
Wajah simetris, tidak terdapat oedem maupun parese.
Mata
:
•
Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-).
•
Pupil isokor, RCL (+/+), RCTL (+/+).
Telinga •
Otorrhea (-/-), serumen (-/-), simetris kanan dan kiri (-/-).
Hidung •
:
:
Deviasi septum (-/-), discharge (-/-).
6
•
Nafas cuping hidung (-)
Mulut
:
•
Bibir tampak kering (-).
•
Mukosa mulut lembab
Leher : •
Tidak ada pembesaran KGB leher,
•
JVP normal (5 + 2) cmH2O.
Thorax
Bentuk
Cor
: Normochest.
Inspeksi : Simetris bagian dada kanan dan kiri, tidak tampak ictus cordis, Palpasi
: Ictus cordis teraba di linea midclavicula sinistra ICS V
Perkusi
: Batas jantung kanan di linea parasternal dextra ICS IV Batas jantung kiri di linea midclavicula ICS V Pinggang Jantung di linea parasternal sinistra ICS III
Auskultasi : Bunyi jantung I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Inspeksi
: Pergerakan nafas kedua dada simetris, tidak ada sisi yang tertinggal, tidak terdapat retraksi
Palpasi
: Vocal fremitus pada kedua lapang paru simetris
Perkusi
: Terdengar sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Abdomen : Inspeksi
: Datar.
Auskultasi
: BU (+).
Palpasi
: Supel, nyeri tekan epigastrium (+), undulasi (-), shifting dullness (-), Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba.
Perkusi
: Timpani di seluruh regio abdomen.
7
Ekstremitas: ●
Akral hangat
●
Edema
● CRT < 2 detik.
- -
● Sianosis
- -
-
-
-
-
Daftar Masalah Dari Anamnesis 1. Penurunan kesadaran 2. Nyeri dada 3. Keringat dingin 4. Sesak napas 5. Nyeri ulu hati 6. Mual 7. Perokok
Dari Pemeriksaan Fisik 8. BMI obese II 9. Nyeri epigastrium
Hipotesis 1. Angina Pektoris 2. Infark miokard 3. Dispepsia
Planning Diagnostic 1. EKG → untuk memastikan diagnosis infark miokardium dan mengetahui letak infark 2. Cardiac marker → untuk memastikan diagnosis infark miokardium 3. INR → agar tidak terjadi komplikasi perdarahan saat pemberian obat fibrinolitik dan antikoagulan 4. Profil lipid → untuk melihat faktor resiko pasien
8
5. Elektrolit → memantau keadaan kalium karena ekskresi kalium dapat meningkat apabila terdapat peningkatan kadar norepinephrine 6. Kadar gula darah → umumnya pasien dengan infark miokard mempunyai riwayat DM sebelumnya 7. Fungsi ginjal → memeriksa ada tidaknya kerusakan ginjal karena DM 8. Darah rutin → memastikan infark bukan disebabkan oleh anemia, dan umumnya pada infark akut diikuti dengan leukositosis 9. Angiografi → memastikan adanya penyempitan arteri koroner
Hasil pemeriksaan darah perifer lengkap (25 Juni 2018) : Jenis Pemeriksaan
Hasil
Nilai Rujukan
Hemoglobin
16.1
12.0-16.0 g/dl
Hematokrit
47.0
35-47 %
Eritrosit
5.22
3.9-5.5 Juta/µL
Leukosit
10.900
3.600-11.100/µL
Trombosit
172.000
150.000-440.000/µL
MCV
90.00
80-100 fL
MCH
30.9
26-35 pq
MCHC
34.3
31-36 g/dl
HEMATOLOGI
DIFF COUNT % Lym
11.5 %
15 – 50
% Mid
5.7 %
2.0 – 15.0
% Gra
82.8 %
35.0 – 80.0
# Lym
1,2 103/mm3
0.5 – 5.0
# Mid
0,7 103/mm3*
0.1 – 1.5
# Gra
9.0 103/mm3*
1.2 – 8.0
KIMIA KLINIK Fungsi Ginjal Ureum
38
17-43 mg/dL
Kreatinin
1.5
0.9-1.3 mg/dL
9
Fungsi Hati SGOT (AST)
64
0-37
SGPT (ALT)
75
0-41
Gula Darah (26 Juni 2018) Gula Darah Puasa
96
75-115 mg/dL
Gula Darah 2 jam PP
171
75-140mg/dL
CK-MB
7.8
<7 U/L
(28/6/18) Troponin
Positif
Negatif
Enzim Jantung
EKG (25 Juni 2018) Pada saat tiba pertama kali di IGD :
Keterangan : 1. Irama : Sinus Rhytem 2. HR : 70 x/menit. 3. ST elevasi slightly di II, III, AVF
10
4. T inverted di III, AVF
Diagnosis Kerja STEMI inferior
Planning Planning Terapi Farmakologi 1. Lovenox 2x0,5mL SC 2. Aspilet 1x80mg 3. Brilinta 2x90mg 4. Atorvastatin 1x20mg 5. Concor 1x2,5mg 6. Nitrokaf 1x2,5mg 7. Ramipril 1x2,5mg 8. Q10 D5 1x1tab 9. Sukralfat 3x1 10. Lansoprazol 2x1
Non Farmakologi 1. Tirah baring 2. Edukasi diet 3. Konsul TS Interna untuk DM
Planning Monitoring 1. Rawat inap ruang bangsal bougenville 2. Keadaan umum dan vital sign 3. EKG 4. Perbaikan gejala dan efek samping obat
11
Planning Edukasi 1. Tirah Baring 2. Diet rendah garam dan lipid 3. Diet lunak
Prognosis
Quo ad Vitam
: Ad malam.
Quo ad Functionam
: Dubia Ad malam.
Quo ad Sanationam
: Ad malam.
FOLLOW UP BANGSAL Hari/Tanggal/
Hasil Pemeriksaan
Instruksi Dokter
Jam 30 JULI 2018
S : nyeri dada (-), sesak nafas (+), nyeri ulu Therapy: hati (-), mual (-)
Farmakologi
O: KU/KS : tampak sesak
1. Lovenox 2x0,5mL SC
VS : TD : 110/60 mmHg
2. Aspilet 1x80mg
N : 77 x/menit
3. Brilinta 2x90mg
R : 28 x/menit
4. Atorvastatin 1x20mg
S : 36,0o C
5. Concor 1x2,5mg
SpO2: 98% (on Nasal Kanul)
6. Nitrokaf 1x2,5mg
Kepala : normochepal.
7. Ramipril 1x2,5mg
Mata
8. Q10 D5 1x1tab
: CA (-/-), SI (-/-).
Leher : KGB (–) membesar, JVP (n)
9. Sukralfat 3x1
Thorax : Simetris, statis & dinamis,
10. Lansoprazol 2x1
retraksi (-) Pulmo : Ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Non Farmakologi
Cor : BJ I-II, irregular, Murmur (-),
1. Tirah baring
Galoop (-)
2. Edukasi diet
Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium.
12
Ekstremitas
:
akral
hangat,
edema
tungkai (-) A : STEMI INFERIOR DM 03 MEI 2018 07.00
S : sesak (-), nyeri dada (-), nyeri uku hati Planning Therapy : (-), mual (-), BAB tidak ada keluhan
Pasien boleh pulang dengan obat :
O : KU/KS : sakit sedang
1. Aspilet 1x80mg
VS : TD : 130/70 mmHg
2. Brilinta 2x90mg
N : 80 x/menit
3. Atorvastatin 1x20mg
R : 22 x/menit
4. Concor 1x2,5mg
S : 36,0o C
5. Nitrokaf 2x5mg
SpO2: 97%
6. Ramipril 1x2,5mg
Kepala : normochepal. Mata
7. Q10 D5 1x1tab
: CA (-/-), SI (-/-).
Leher : KGB (–) membesar, JVP (n) Thorax : Simetris, statis & dinamis, retraksi (-) Pulmo : Ronkhi (-/-), wheezing (-/-) Cor : BJ I-II, irregular, Murmur (-), Galoop (-) Abdomen: BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium. Ekstremitas
:
akral
hangat,
edema
tungkai (-) A : STEMI INFERIOR DM
13
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
III.1 Definisi Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu spektrum keadaan dimana terjadi iskemia/infark akut pada myokardium yang umumnya disebabkan oleh turunnya aliran darah koroner yang cepat dan tiba-tiba. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi: 1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation myocardial infarction) 2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment elevation myocardial infarction) 3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris) Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan sindrom klinis dengan gejala iskemia miokard khas yang dikaitkan dengan gambaran EKG berupa elevasi ST yang persisten diikuti pelepasan biomarker nekrosis miokard. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya III.2 Etiologi Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah coroner menurun secara mendadak. Sekitar 90% SKA disebabkan oleh thrombus yang mengobstruksi pembuluh koroner atherosklerotik. Plak yang ruptur merupakan pemicu tersering terbentuknya thrombus. SKA dapat terjadi tanpa adanya plak aterosklerosis, diataranya disebabkan oleh vaskulitis, emboli, vasospasme, diseksi aorta, hipoxemia, hipertiroidisme, dan pemakaian obatobatan.
14
III.3 Patofisiologi Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner. STEMI adalah indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium mengalami nekrosis (infark miokard). Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis. III.4 Diagnosis Anamnesis nyeri dada yang khas. Infark mioakrd akut dengan elevasi ST (STEMI) tanpa nyeri lebih sering dijumpai pada diabetes mellitus dan usia lanjut. Keluhan angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal,
15
menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA. Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien dengan karakteristik sebagai berikut : 1. Pria 2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer / karotis) 3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah pintas koroner, atau IKP 4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program) Ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernall >30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI.
Seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis seperti takikardia atau hipotensi. Setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis seperti bradikardia atau hipotensi.
16
Tanda fisik lain S3 dan S4 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat dtemukan murmur midsisstolik atau latae sistolik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Pada minggu pertama pasca STEMI dapat dijumpai peningkatan suhu hingga 380. Pemeriksaan EKG dilakukan dalam 10 menit kedatangan pasien ke IGD. Jika EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI namun terdapat tanda dan gejala maka dilakukan EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sadapan secara kontinyu. Pada STEMI inferior EKG sisi kanan harus diambil untuk medeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV. Sebagian besar pasien dengan elevasi ST diawal mengalami evolusi gelombang Q yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q dan sebagian kecil menjadi infark miokard gelombang non Q.
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac sesific troponin (cTn)T atau cTnI yang dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali batas normal menunjukkan nekrosis jantung. cTn
17
meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak 10-24 jam dan cTnT masih dapat dikoreksi setelah 5-14hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
III.5 Penatalaksanaan Perawatan Gawat Darurat Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik untuk diagnosis dan pengobatan. Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat dugaan ini. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan 18
STEMI. Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien dating. Pusat-pusat kesehatan yang mampu memberikan pelayanan IKP primer harus dapat memberikan pelayanan setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta dapat memulai IKP primer sesegera mungkin di bawah 90 menit sejak panggilan inisial. Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut ini: 1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤10 menit 2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi: • Untuk fibrinolisis ≤30 menit • Untuk IKP primer ≤90 menit (≤60 menit apabila pasien datang dengan awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit yang mampu melakukan IKP) Delay (keterlambatan) Pencegahan delay amat penting dalam penanganan STEMI karena waktu paling berharga dalam infark miokard akut adalah di fase sangat awal, di mana pasien mengalami nyeri yang hebat dan kemungkinan mengalami henti jantung. Defibrilator harus tersedia apabila ada pasien dengan kecurigaan infark miokard akut dan digunakan sesegera mungkin begitu diperlukan. Selain itu, pemberian terapi pada tahap awal, terutama terapi reperfusi, amat bermanfaat. Jadi, delay harus diminimalisir sebisa mungkin untuk meningkatkan luaran klinis. Bila terapi reperfusi yang diberikan adalah fibrinolisis, diusahakan mengurangi delay (waktu kontak pertama dengan tindakan) menjadi ≤30 menit. Di rumah sakit yang mampu melakukan IKP, target yang diinginkan adalah ‘door-to-balloon’ delay ≤60 menit antara datangnya pasien ke rumah sakit dengan IKP primer. Beberapa komponen delay dalam penanganan STEMI
19
Terapi Reperfusi Terapi
reperfusi
segera,
baik
dengan
IKP
atau
farmakologis,
diindikasikan untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang (terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung pilih terapi fibrinolitik. Bila ada, pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi pilihan
adalah
fibrinolitik.
Setelah
fibrinolitik
selesai
diberikan,
jika
memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.
20
1.
Intervensi koroner perkutan primer IKP primer Terapi reperfusi yang lebih disarankan dibandingkan dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama. IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama. Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP primer. Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis. Bila pasien tidak memiliki kontra indikasi terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh
21
terhadap pengobatan, drug-eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS) Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi antiplatelet ganda (DAPT) berupa aspirin dan penghambat reseptor ADP sesegera mungkin sebelum angiografi, disertai dengan antikoagulan intravena. Aspirin dapat dikonsumsi secara oral (160- 320 mg). Pilihan penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain: 1. Ticagrelor (dosis loading 180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari) 2. clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading 600 mg diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau dikontraindikasikan Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Pilihannya antara lain: 1. Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau enoksaparin 2. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa) dapat lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi 3. Fondaparinuks tidak disarankan untuk IKP primer 4. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada pasien yang direncanakan untuk IKP primer
Terapi Fibrinolitik Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada tempattempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa kontraindikasi apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama .
22
Aspirin oral atau intravena harus diberikan. Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin. Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit hingga 5 hari. Antikoagulan yang digunakan dapat berupa: 1. Enoksaparin secara subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi) 2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan infus selama 3 hari 3. Pada pasien-pasien yang diberikan streptokinase, Fondaparinuks intravena secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian
Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan IKP
setelah
fibrinolisis
diindikasikan
pada
semua
pasien
IKP
“rescue”diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada. IKP emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil. Hal ini ditunjukkan oleh gambaran elevasi segmen ST kembali. Angiografi emergensi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok setelah dilakukannya fibrinolisis inisial. Jika memungkinkan, angiografi dengan tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark)
23
diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil. Waktu optimal angiografi untuk pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam Tatalaksana Jangka Panjang Terapi jangka panjang yang disarankan setelah pasien pulih dari STEMI adalah: 1. Kendalikan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes, dan terutama merokok, dengan ketat 2. Terapi antiplatelet dengan aspirin dosis rendah (75-100 mg) diindikasikan tanpa henti 3. DAPT (aspirin dengan penghambat reseptor ADP) diindikasikan hingga 12 bulan setelah STEMI 4. Pengobatan oral dengan penyekat beta diindikasikan untuk pasienpasien dengan gagal ginjal atau disfungsi ventrikel kiri 5. Profil lipid puasa harus didapatkan pada setiap pasien STEMI sesegera mungkin sejak datang 6. Statin dosis tinggi perlu diberikan atau dilanjutkan segera setelah pasien masuk rumah sakit bila tidak ada indikasi kontra atau riwayat intoleransi, tanpa memandang nilai kolesterol inisial 7. ACE-I diindikasikan sejak 24 jam untuk pasien-pasien STEMI dengan gagal ginjal, disfungsi sistolik ventrikel kiri, diabetes, atau infark aterior. Sebagai alternatif dari ACE-I, ARB dapat digunakan 8. Antagonis aldosteron diindikasikan bila fraksi ejeksi ≤40% atau terdapat gagal ginjal atau diabetes, bila tidak ada gagal ginjal atau hiperkalemia III.6 Komplikasi Gagal Jantung
24
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan atau sebagai komplikasi mekanis. Hipotensi Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90 mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis dan berkurangnya urine output. Kongesti Paru Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal, berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada dan perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator. Keadaan Output Rendah Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin. Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi mekanis atau infark ventrikel kanan. Syok Kardiogenik Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan penyebab kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%. Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry SHOCK (SHould we
25
emergently revascularize Occluded coronaries for Cardiogenic shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berat tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek. Pasien biasanya datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia saat istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti paru. Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung 18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya 90 mmHg. Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas, namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 11 ±5 hari sejak infark miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan baru sebesar 28%, VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok AV derajat tinggi sebesar 10% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), sinus bradikardi sebesar 7% (≤30 detak per menit selama ≥8 detik), henti sinus sebesar 5% (≥5 detik), VT berkelanjutan sebesar 3% dan VF sebesar 3%. Kepentingan prognostik jangka panjang VF yang terjadi awal (
26
BAB IV ANALISIS KASUS Pasien datang dengan penurunan kesadaran yang menunjukkan kurangnya perfusi pada pusat kesadaran di batang otak. Hal ini dapat terjadi akibat masalah pada jantung atua pada pembuluh darah. Pasien mengaku tidak mengalami trauma pada kepala serta tidak ada gejala lemahnya ekstremitas yang biasa diakibatkan pecahnya pembuluh darah. Pasien mengeluh nyeri dada yang menjalar ke tenggorokan dan terasa seperti tertusuk. Pasien mengeluh nyeri dada setelah bepergian. Pasien juga mengeluh berkeringat dingin serta mual dan nyeri ulu hati. Namun pasien lupa berapa lama nyeri dada yang dirasakan. Keluhan ini menunjukkan pasien mengalami nyeri dada tipikal yang berarti terdapat masalah di jantung pasien. Pasien tidak menunjukkan riwayat gangguan pada jantung sebelumnya serta tidak ada faktor keluarga yang memiliki masalah jantung. Rokok dapat menjadi salah satu faktor risiko dalam penyempitan pembuluh darah yang dapat mengganggu perfusi tertutama ke jantung. Pada pasien obesitas dapat menjadi faktor risiko disebabkan tumpukan kolesterol. Pada daftar masalah pasien dapat disimpulkan sebagai angina tipikal berupa rasa tertekan/berat daerah retrosternal menjalar ke lengan kiri, leher, area interskapuler, bahu, atau epigastrium; berlangsung intermiten atau persisten (>20 menit); sering disertai diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Rokok dan obesitas menjaddi faktor risiko dari sindrom koroner akut. Peningkatan nilai kreatinin menunjukkan terganggunya fungsi ginjal. Serta meningkatnya gula darah pasien mengindikasikan pasien mengidap DM yang juga merupakan faktor risiko sindromkoroner akut. Peningkatan CK-MB dan tropinin positif merupakan biomarker yang mendukung diagnosis infark miokard. Lovenox mengandiung enoxaparin yang merupakan golongan heparin sebagai fibrinolitik. Aspilet merupakan aspirin yang berfungsi sebagai anti trombotik. Brilinta berisi ticagrelor yang merupakan golongan antagonist reseptor P2Y12 sebagai
27
penghambat agregrasi
trombosit. Concor berisi bisoprolol yang merupakan beta
blocker untuk meredakan nyeri dada sekaligus mengurangi beban jantung. Nitrokaf berisi nitrat sebagai vasodilator dan relaksasi otot jantung. Untuk mengurangi nyeri dada. Ramipril merupakan golongan ACE-inhibitor digunakan sebagai vasodilator dan mengurangi beban jantung. Atrovastatin sebagai antikolesterol golongan statin untuk mencegah plak. Sukralfat dan lansoprazol untuk keluhan nyeri ulu hati dan mual.
28