UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
LAPORAN KASUS
Brachial Plexus Injury
Disusun Oleh : Febri Qurrota Aini
1320221136
Pembimbing : dr. Deddy Firmansyah, SpOT
KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN BEDAH RUMAH SAKIT Tk. II Dr. A. K. GANI PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN – UPN ”VETERAN” JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN BEDAH
Laporan Kasus “Brachial Plexus Injury”
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Departemen Bedah Rumah Sakit Tk. II Dr. A. K. Gani Palembang
Disusun Oleh:
Febri Qurrota Aini
1320221136
Telah disetujui oleh : Nama Pembimbing
Tanda Tangan Pembimbing
dr. Deddy Firmansyah, Sp.OT
Tanggal Pengesahan
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus dengan judul “Brachial Plexus Injury”. Laporan ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti ujian kepaniteraan klinik Pendidikan Profesi Dokter di Bagian Bedah Rumah Sakit Tk. II Dr. A. K. Gani Palembang. Dalam menyelesaikan tugas ini penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Deddy Firmansyah, SpOT selaku dokter pembimbing dan teman-teman Co-Ass yang telah membantu dalam proses pembuatan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini banyak terdapat kekurangan dan juga masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan semua pihak yang berkepentingan bagi pengembangan ilmu kedokteran. Amin.
Palembang, September 2015
Penulis
BAB I STATUS PASIEN
I.
IDENTIFIKASI A. Identitas Pasien
II.
Nama
: Tn. S
Tanggal Lahir
: 19 September 1988
Umur
: 27 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Status perkawinan
: Menikah
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Palembang
Tanggal masuk RS
: 4 September 2015
No RM
: 290026
ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pasien datang ke poli Bedah Ortopedi dengan keluhan tangan kanan kurang dapat digerakkan secara maksimal.
Riwayat penyakit sekarang Pasien datang ke poli ortopedi dengan keluhan tangan kanannya tidak dapat digerakkan secara maksimal, tangan pasien tidak bisa digerakkan ke depan dan ke belakang, serta tidak dapat digerakkan pronasi dan supinasi, namun pasien dapat memfleksikan tangannya ketika pasien dalam posisi tidur. Ketika pasien dalam posisi duduk tangan kanan tidak dapat di fleksikan. Jari-jari tangan kanan pasien masih dapat di gerakkan dan masih dapat di fleksikan, namun pasien merasa lengan atasnya bagian medial dan lateral mati rasa. 9 bulan yang lalu pasien mengalami kecelakaan sepeda motor. Setelah kecelakaan pasien mengatakan bahwa tangan kanannya tidak bisa digerakkan dan pasien mengatakan bahwa kanan dan jari tangan kanannya mati rasa setelah kecelakaan tersebut. Lalu hasil roentgen menyatakan bahwa terdapat fraktur di daerah clavivula kanan pasien. Setelah pasien kecelakaan pasien menjalani operasi untuk memperbaiki tulang clavicula kanannya. setelah 1 bulan setelah operasi tulang clavicula kanan pasien mengatakan jari ke 4 dan 5 yang baru bisa digerakkan lalu diikuti dengan jari ke 1,2, dan 3. Namun tangan kanan pasien tetap tidak dapat digerakkan secara maksimal, hanya jari-jari pasien saja yang bisa digerakkan, pasien juga mengatakan tangannya mati rasa. Lalu selama beberapa bulan pasca operasi pasien tidak control ke poli, sehingga kondisi tangan pasien semakin memburuk dan semakin tidak dapat digerakkan, bahu pasien pun terlihat tidak simetris antara bahu kanan dan kiri, pasien juga tidak dapat memfleksikan tangan kanannya sehingga 3 bulan yang lalu pasien menjalani operasi lagi yaitu operasi rekonstruksi of muscle and tendon serta skin flap. Setelah menjalani operasi yang kedua pasien merasa lebih membaik tangan kanannya dan mulai dapat digerakkan namun tidak maksimal, pasien mulai dapat memfleksikan lengan kanannya walaupun hanya dalam posisi tidur, bahu kanan dan kiri pasien pun juga terlihat tidak
simetris serta pasien merasakan mati rasa di lengan atas. Dikarenakan kondisi ini maka diputuskan dilakukan operasi ketiga dengan tujuan agar bahu kanan pasien dapat simetris dengan bahu yang kiri dengan cara memindahkan insersi otot trapeziuz ke otot deltoid. Riwayat penyakit dahulu Hipertensi, diabetes melitus disangkal III.
PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda Vital Tekanan Darah
: 120/70 mmHg
Nadi
: 86 x/menit, reguler, cukup, simetris kanan kiri
Suhu
: 36,7 °C
Pernapasan
: 20 x/menit, teratur
Kepala dan Leher Kepala
: Normosefali, rambut warna hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut,
Mata
: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Hidung
: Bentuk normal, septum deviasi (-), nafas cuping hidung -/-, sekret -/-,
Mulut
: Bibir merah muda, kering (-), sianosis (-)
Lidah
: Tidak dinilai
Tonsil
: Tidak dinilai
Tenggorokan
: Tidak dinilai
Leher
: KGB tidak teraba membesar
Thorax Paru Inspeksi
: Bentuk dada normal, pernapasan simetris
simetris,
gerak
Palpasi
: Gerak napas simetris, vocal fremitus simetris
Perkusi
: Sonor di semua lapang paru
Auskultasi
: Suara napas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-
Jantung Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi
: Redup
Auskultasi
: SISII reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi
: Datar
Palpasi
: Teraba supel, nyeri tekan di seluruh kuadran abdomen (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Ekstremitas
: Akral hangat, edema (-) pada ekstremitas, sianosis (-), CRT <2 detik
PEMERIKSAAN KEKUATAN MOTORIK Ada kemampuan bergerak tapi tidak dapat melawan gravitasi bumi (2)
PEMERIKSAAN LABORATORIUM Hb
: 14.5 g/dl
Waktu Pembekuan darah
: 6 menit
Leukosit
: 6100/µl
Waktu Perdarahan
: 3 menit
Trombosit
: 233.000
Hematokrit
: 43%
Golongan darah : B
IV.
DIAGNOSIS KERJA Brachial Plexus Injury
V.
PENATALAKSANAAN -
VI.
Operasi tendon transfer 4 september 2015 jam 19.30 Antibiotic pre op: Celocid 1 amp Sediaan darah: 1 prc
DISKUSI
Pasien datang dengan post kecelakaan motor dengan keluhan tangan kanan tidak dapat digerakkan dan juga mati rasa. Di duga terdapat fraktur, ketika di roentgen ternyata ditemukan fraktur pada clavicula kanan. Pasien di operasi untuk di lakukan pemasangan ORIF pada tulang clavicula kanan. Namun setelah di lakukan
pemasangan ORIF pasien tetap tidak dapat menggerakan tangan kanannya secara maksimal, keluhan juga disertai dengan adanya mati rasa di lengan atas. Di duga adanya saraf yang terjepit akibat kecelakaan ini. Saraf yang terdapat di sekitar tulang clavicula adalah pleksus brachialis, sehingga di duga keadaan mati rasa dan keterbatasan pasien bergerak karena adanya kerusakan pada pleksus brachialis. Kelainan yang terjadi pada pasien adalah kelemahan ketika memfleksikan siku, serta adanya mati rasa di lengan atas, jari-jari tangan kanan pasien masih dapat digerakkan dan di fleksikan, karena kondisi ini di duga pasien terkena brachial pleksus injury pada supraklavikula. Gejala klinis dr brachial pleksus injury dibagi 2 yaitu pleksopati supraclavicular dan pleksopati infraklavikula, kelainan yang terjadi pada pleksopati supraklavikula dikarenakan lesi di radiks dan trunkus, sedangkan pleksopati infrakalvikula dikarenakan lesi di bagian fasikulus dan saraf terminal. Karena pada pasien tidak terdapat kelainan di bagian jari-jari tangan maka di duga kelainan tidak berasal dari infraklavikula. Pasien di duga mengalami pleksopati supraklavikula di bagian radiks yaitu radiks
C5, hal ini dikarenakan kelemahan pasien ketika
memfleksikan siku dan adanta hipestesi di lengan atas.
BAB II TINJAUAN TEORI
I. Definisi Lesi pleksus brakhialis adalah lesi saraf yang menimbulkan kerusakan saraf yang membentuk pleksus brakhialis, mulai dari “radiks” saraf hingga saraf terminal. Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan fungsi motorik, sensorik atau autonomic pada ekstremitas atas. Istilah lain yang sering digunakan yaitu neuropati pleksus brakhialis atau pleksopati brakhialis Anatomi Pleksus Brakhialis Pleksus brakhialis merupakan serabut saraf yang berasal dari ramus anterior radiks saraf C5-T1. C5 dan C6 bergabung membentuk trunk superior, C7 membentuk trunk medial, dan C8 dan T1 bergabung membentuk trunk inferior.Trunkus berjalan melewati klavikula dan disana membentuk divisi anterior dan posterior. Divisi posterior dari masing-masing dari trunkus tadi akan membentuk fasikulus posterior. Divisi anterior dari trunkus-trunkus superior dan media membentuk membentuk fasikulus lateral. Divisi anterior dari trunkus inferior membentuk fasikulus medial. Kemudian fasikulus posterior membentuk n. radialis dan n. axilaris. Fasikulus lateral terbagi dua dimana cabang yang satu membentuk n. muskulokutaneus dan cabang lainnya bergabung dengan fasikulus media untuk membentuk n. medianus. Fasikulus media terbagi dua dimana cabang pertama ikut membentuk n. medianus dan cabang lainnya menjadi n. ulnaris.
Gambar 1. Anatomi pleksus brakhialis
II. Penyebab Penyebab lesi pleksus brakhialis bervariasi, diantaranya : 1. Trauma Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa maupun neonatus. Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka, cedera iatrogenic. 2. Tumor Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma, malignant peripheral nerve sheath tumor dan meningioma. Tumor nonneural ; jinak (desmoid, lipoma), malignant ( kangker mammae dan kangker paru)
3. Radiation-induced Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 1,8 – 4,9% dari lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae dan paru. 4. Entrapment Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic outlet syndrome. Postur tubuh dengan bahu yang lunglai dan dada yang kolaps menyebabkan thoracic outlet menyempit sehingga menekan struktur neurovaskuler. Adanya iga accessory atau jaringan fibrous juga berperan menyempitkan thoracic outlet. Faktor lain yaitu payudara berukuran besar yang dapat menarik dinding dada ke depan (anterior dan inferior). Teori ini didukung dengan hilangnya gejala setelah operasi mammoplasti reduksi. Implantasi mammae juga dikatakan dapat menyebabkan cedera pleksus brakhialis karena dapat nmeningkatkan tegangan dibawah otot dinding dada dan mengiritasi jaringan neurovaskuler. 5. Idiopatik Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksitis tanpa diketahui penyebab yang jelas namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Presentasi klasik adalah nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1 – 2 minggu dan kelemahan otot timbul lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan dan pemulihan komplit terjadi dalam 2 tahun. III. Patofisiologi Bagian cord akar saraf dapat terjadi avulsi atau pleksus mengalami traksi atau kompresi. Setiap trauma yang meningkatkan jarak antara titik yang relatif fixed pada prevertebral fascia dan mid fore arm akan melukai pleksus. Traksi dan kompresi dapat juga menyebabkan iskemi, yang akan merusak pembuluh darah. Kompresi yang berat dapat menyebabkan hematome intraneural, dimana akan menjepit jaringan saraf sekitarnya.
Gambar 2. Patofisiologi lesi pleksus brakhialis
IV. Derajat Kerusakan Derajat Kerusakan pada lesi saraf perifer dapat dilihat dari klasifikasi Sheddon (1943) dan Sunderland (1951). Klasifikasi Sheddon, yaitu : a. Neuropraksia Pada atipe ini terjadi kerusakan mielin namun akson tetap intak. Dengan adanya kerusakan mielin dapat menyebabkan hambatan konduksi saraf. Pada tipe cedera seperti ini tidak terjadi kerusakan struktur terminal sehingga proses penyembuhan lebih cepat dan merupakan derajat kerusakan paling ringan. b. Aksonotmesis Terjadi kerusakan akson namun semua struktur selubung saraf termasuk endoneural masih tetap intak. Terjadi degenerasi aksonal segmen saraf distal dari lesi (degenerasi Wallerian). Regenerasi saraf tergantung dari jarak lesi
mencapai serabut otot yang denervasi tersebut. Pemulihan sensorik cukup baik bila dibandingkan motorik. c. Neurotmesis Terjadi ruptur saraf dimana proses pemulihan sangat sulit terjadi meskipun dengan penanganan bedah. Bila terjadi pemulihan biasanya tidak sempurna dan dibutuhkan waktu serta observasi yang lama. Merupakan derajat kerusakan paling berat. Klasifikasi Sunderland lebih merinci kerusakan saraf yang terjadi dan membaginya dalam 5 tingkat, yaitu : 1. Tipe I : hambatan dalam konduksi (neuropraksia) 2. Tipe II : cedera akson tetapi selubung endoneural tetap intak (aksonotmesis) 3. Tipe III : aksonotmesis yang melibatkan selubung endoneural tetapi perineural dan epineural masih intak. 4. Tipe IV : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural, tetapi epineural masih baik. 5. Tipe V : aksonotmesis melibatkan selubung endoneural, perineural dan epineural (neurotmesis).
Gambar 3. Klasifikasi cedera saraf V. Gambaran Klinis Gejala yang timbul umumnya unilateral berupa kelainan motorik, sensorik dan bahkan autonomik pada bahu dan/atau ekstremitas atas. Gambaran klinisnya mempunyai banyak variasi tergantung dari letak dan derajat kerusakan lesi. Lesi pleksus brakhialis dapat dibagi atas pleksopati supraklavikular dan pleksopati infraklavikular.
Gambar 4. Pleksus supraclavikular dan infraklavikular Pleksopati supraklavikuler Pada Pleksopati supraklavikuler lesi terjadi ditingkat radiks saraf, trunkus saraf atau kombinasinya. Lesi ditingkat ini dua hingga tujuh kali lebih sering terjadi dibanding lesi infraklavikuler. 1. Lesi tingkat radiks Pada lesi pleksus brakhialis ini berkaitan dengan avulsi radiks. Gambaran klinis sesuai dengan dermatom dan miotomnya. Lesi di tingkat ini dapat terjadi partial paralisis dan hilangnya sensorik inkomplit, karena otot-otot tangan dan lengan biasanya dipersyarafi oleh beberapa radiks.
Presentasi klinis pada lesi radiks : Radiks
Penurunan
saraf
Refleks
Kelemahan
C5
Biseps brakhii
Fleksi siku
C6
Brakhioradiialis
Ekstensi
Hipestesi/kesemutan
Lateral lengan atas pergelangan Lateral lengan bawah
tangan C7
Triceps brakhii
Ekstensi siku
Jari tengah
C8
-
Fleksi jari2 tangan
Medial lengan bawah
T1
-
Abduksi jari2 tangan
Medial siku
Presentasi klinis diatas adalah untuk membantu penentuan level lesi radiks, sedangkan kelemahan otot yang lebih lengkap terjadi sesuai miotom servikal berikut ini : C5 : Rhomboideus, deltoid, biseps brachii, supraspinatus, infraspinatus, brachialis, brachioradialis, supinator dan paraspinal C6 : Deltoid, biseps brachii, brachioradialis, supraspinatus, infraspinatus, supinator, pronator teres, fleksor carpi radialis, ekstensor digitorum komunis dan paraspinal C7
: Pronator teres, fleksor carpi radialis, ekstensor digitorum komunis, triceps brachii dan paraspinal
C8/T1 : Triceps brachii, fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum profundus, abduktor digiti minimi, pronator kuardatus, abduktor pollicis brevis dan parapinal
Gambar 5. Gambar miotom servikal 2. Sindroma Erb-Duchenne Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya terjadi akibat trauma. Pada bayi terjadi karena penarikan kepala saat proses kelahiran dengan penyulit distokia bahu, sedangkan pada orang dewasa terjadi karena jatuh pada bahu dengan kepala terlampau menekuk kesamping. Presentasi klinis pasien berupa waiter’s tip position dimana lengan berada dalam posisi adduksi (kelemahan otot deltoid dan supraspinatus), rotasi internal pada bahu (kelemahan otot teres minor dan infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator dan brachioradialis) dan pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis longus dan brevis). Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis, brakhialis, pektoralis mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres mayor. Refleks bisep biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada bagian luar (lateral) dari lengan atas dan tangan.
3. Sindroma Klumpke’s Paralysis Lesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior dimana penyebab pada bayi baru dilahirkan adalah karena penarikan bahu untuk mengeluarkan kepala,sedangkan pada orang dewasa biasanya saat mau jatuh dari ketinggian tangannya memegang sesuatu kemudian bahu tertarik. Presentasi klinis berupa deformitas clawhand (kelemahan otot lumbrikalis) sedangkan fungsi otot gelang bahu baik. Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum, interosei, tenar dan hipotenar sehingga tangan terlihat atrofi. Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan ulnaris. Kelainan sensorik berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar dari lengan dan tangan. 4. Lesi di trunkus superior Gejala klinisnya sama dengan sindroma Erb di tingkat radiks dan sulit dibedakan. Namun pada lesi di trunkus superior tidak didapatkan kelumpuhan otot rhomboid, seratus anterior, levator scapula dan saraf supra - & infraspinatus. Trdapat gangguan sensorik di lateral deltoid, aspek lateral lengan atas dan lengan bawah hingga ibu jari tangan. 5. Lesi di trunkus media Sangat jarang terjadi dan biasanya melibatkan daerah pleksus lainnya (trunkus superior dan/atau trunkus inferior) Gejala klinis didapatkan kelemahan otot triceps dan otot-otot yang dipersyarafi n. Radialis (ekstensor tangan), serta kelainan sensorik biasanya terjadi pada dorsal lengan dan tangan. 6. Lesi di trunkus inferior Gejala klinisnya yang hampir sama dengan sindroma Klumpke di tingkat radiks. Terdapat kelemahan pada otot-otot tangan dan jari-jari terutama untuk gerakan fleksi, selain itu juga kelemahan otot-otot spinal intrinsik tangan. Gangguan sensorik terjadi pada aspek medial dari lengan dan tangan.
7. Lesi Pan-supraklavikular (radiks C5-T1 / semua trunkus) Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas pada seluruh ekstremitas atas dan mungkin terdapat nyeri. Otot rhomboid, seratus anterior dan otot-otot spinal mungkin tidak lemah tergantung dari letak lesi proksimal (radiks) atau lebih ke distal (trunkus). Pleksopati Infraklavikuler Pada pleksopati infraklavikuler terjadi lesi ditingkat fasikulus dan/atau saraf terminal. Lesi infraklavikuler ini jarang terjadi dibanding supraklavikuler namun umumnya mempunyai prognosis lebih baik. Penyebab utama terjadi pleksopati infraklavikuler biasanya adalah trauma dapat tertutup (kecelakaan lalu lintas) maupun terbuka (luka tembak). Mayoritas disertai oleh kerusakan struktur didekatnya (dislokasi kaput humerus, fraktur klavikula, scapula atau humerus). Gambaran klinis sesuai dengan lesinya : 1. Lesi di fasikulus lateral Dapat terjadi akibat dislokasi tulang humerus. Lesi disini akan mengenai daerah yang dipersyarafi oleh n. Muskulocutaneus dan sebagian dari n. Medianus. Gejala klinisnya yaitu kelemahan otot fleksor lengan bawah dan pronator lengan bawah, sedangkan otot-otot intrinsik tangan tidak terkena. Kelainan sensorik terjadi di lateral lengan bawah dan jari 1 – III tangan. 2. Lesi di fasikulus medial Disebabkan oleh dislokasi subkorakoid dari humerus. Kelemahan dan gejala sensorik terjadi dikawasan motorik dan sensorik n. Ulnaris. Lesi disini akan mengenai seluruh fungsi otot intrinsik tangan seperti fleksor, ekstensor dan abduktor jari-jari tangan, juga fleksor ulnar pergelangan tangan. Secara keseluruhan kelaianan hampir menyerupai lesi di trunkus inferior. Kelainan sensorik terlihat pada lengan atas dan bawah medial, tangan dan 2 jari tangan bagian medial.
3. Lesi di fasikulus posterior Lesi ini jarang terjadi. Gejala klinisnya yaitu terdapat kelemahan dan defisit sensorik dikawasan n. Radialis. Otot deltoid (abduksi dan fleksi bahu), otototot ekstensor lengan, tangan dan jari-jari tangan mengalami kelemahan. Defisit sensorik terjadi pada daerah posterior dan lateral deltoid, juga aspek dorsal lengan, tangan dan jari-jari tangan. VI. Pemeriksaan Penunjang
Radiografi Adanya cedera saraf tepi biasanya disertai dengan cedera tulang dan jaringan iikat sekitar yang dapat dinilai dengan pemeriksaan radiografi. Pada kasus cedera traumatik, penggunaan X-foto dapat membantu menilai adanya dislokasi, subluksasi atau fraktur yang dapat berhubungan dengan cedera pleksus tersebut. Pemeriksaan radiografi : 1. Foto vertebra servikal untuk mengetahui apakah ada fraktur pada vertebra servikal 2. Foto bahu untuk mengetahui apakah ada fraktur skapula, klavikula atau humerus. 3. Foto thorak untuk melihat disosiasi skapulothorak serta tinggi diafragma pada kasus paralisa saraf phrenicus. Adanya benda asing seperti peluru juga dapat terlihat. Sedangkan pada kasus cedera pleksus brakhialis traumatik yang berat. Narakas, melaporkan bahwa umumnya terdapat trauma multipel pada kepala atau muskuloskletal lainnya. CT scan dapat digunakan untuk menilai adanya fraktur tersembunyi yang tidak dapat dinilai oleh x-foto. Sedangkan myelografi digunakan pada lesi supraklavikular berat, yang berguna untuk membedakan lesi preganglionik dan postganglionik. Kombinasi CT dan myelografi lebih sensitif dan
akurat terutama untuk menilai lesi proksimal (avulsi radiks). MRI dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai jaringan ikat sekitar lesi dan penilaian pleksus brakhialis ekstraforaminal normal atau tidak normal.
Elektrofisiologi Hasil pemeriksaan kecepatan hantar syaraf untuk Compound Muscle Action Potentials (CMAP) didapatkan amplitudo yang rendah setelah hari ke-9. SNAPs (Sensory Nerve Action Potentials) berguna untuk membedakan lesi preganglionic atau lesi postganglionic. Pada lesi postganglionic, SNAPs tidak didapatkan tetapi positif pada lesi preganglionic. EMG (Elektromiografi) dengan jarum pada otot dapat tampak fibrilasi, positive sharp wave (pada lesi axonal), amplitudo dan durasi. Dimana denervasi terlihat setelah minggu ke-2.
VII.
Penatalaksanaan Penatalaksanaan pada pleksus brakhialis menjadi tantangan, terutama karena beberapa penyebab tidak ada terapi yg spesifik. Penatalaksanaan suportif, dengan berfokus pada kontrol nyeri dan disertai dengan penatalaksanaan aspek rehabilitasi dan tindakan operasi, operasi diindikasikan pada lesi pleksus brakhialis berat dan umumnya dilakukan 3-4 bulan setelah trauma dan tidak dianjurkan jika telah lebih dari 6 bulan karena hasil kesembuhan tidak optimal. Jika lesi sangat luas dan perbaikan keseluruhan tidak
memungkinkan
maka
tujuan
utama
perbaikan
bedah
adalah
mengembalikan fungsi fleksi siku, kemudian dapat dilanjutkan dengan fungsi ekstensi pergelangan tangan dan fleksi jari-jari.
Beberapa tindakan operasi yang dilakukan pada lesi pleksus brakhialis adalah: 1. Pembedahan primer Pembedahan
dengan
standart
microsurgery
dengan
tujuan
memperbaiki injury pada plexus serta membantu reinervasi. Teknik yang digunakan tergantung berat ringan lesi. Neurolysis : Melepaskan constrictive scar tissue disekitar saraf Neuroma excision: Bila neuroma besar, harus dieksisi dan saraf dilekatkan kembali dengan teknik end-to-end atau nerve grafts Nerve grafting : Bila “gap” antara saraf terlalu besar, sehingga tidak mungkin dilakukan tarikan. Saraf yang sering dipakai adalah n suralis, n lateral dan medial antebrachial cutaneous, dan cabang terminal sensoris pada n interosseus posterior Neurotization : Neurotization pleksus brachialis digunakan umumnya pada kasus avulsi pada akar saraf spinal cord. Saraf donor yang dapat digunakan : hypoglossal nerve, spinal accessory nerve, phrenic nerve, intercostal nerve, long thoracic nerve dan ipsilateral C7 nerve. Intraplexual neurotization menggunakan bagian dari root yang masih melekat pada spinal cord sebagai donor untuk saraf yang avulsi. Perbaikan primer yang segera biasanya direkomendasikan bila laserasi saraf bersih dari benda tajam. 2. Pembedahan sekunder Tujuan untuk meningkatkan seluruh fungsi extremitas yang terkena. Ini tergantung saraf yang terkena. Prosedurnya berupa tendon transfer, pedicled muscle transfers, free muscle transfers, joint fusions and rotational, wedge or sliding osteotomies. Perbaikan operatif sekunder setelah 2-4 minggu secara umum direkomendasikan untuk cedera tumpul atau cedera dengan kerusakan jaringan lunak yang luas dimana cedera saraf sangat berat dan perbaikan
primer atau grafting tidak memungkinkan, neurotization dengan anastomosis satu saraf dengan yang lain dapat menjadi pilihan lainnya. VIII. Prognosis Prognosis
lesi
pleksus
brakhialis
bervariasi
tergantung pada
patofisiologi yang mendasari, meliputi tempat dan derajat kerusakan saraf dan kecepatan mendapat terapi. Proses regenerasi saraf terjadi kira-kira 1-2 mm/hari atau 1 inci/bulan, sehingga mungkin diperlukan beberapa bulan sebelum tanda pemulihan dapat dilihat. Neuropraksia merupakan tipe kerusakan yang paling ringan dan mempunyai prognosis yang paling baik, dimana perbaikan spontan dapat terjadi beberapa minggu hingga bulan (3-4 bulan setelah cedera). Pada tipe aksonotmesis, perbaikan diharapkan dapat terjadi dalam beberapa bulan dan biasanya komplit kecuali terjadi atrofi motor endplate dan reseptor sensorik sebelum pertumbuhan akson mencapai organ-organ ini. Perbaikan fungsi sensorik mempunyai prognosis lebih baik dibandingkan motorik karena reseptor sensorik dapat bertahan lebih lama dibandingkan motor endplate (kira-kira 18 bulan). Sedangkan neurotmesis, regenerasi dapat terjadi namun fungsional sulit kembali sempurna. Faktor-faktor yang mempengaruhi keluaran yaitu luasnya lesi jaringan saraf, usia (dimana usia tua mengurangi proses pertumbuhan akson), status medis pasien, kepatuhan dan motivasi pasien dalam menjalani terapi. Untuk lesi pleksus brakhialis yang berat, hasil yang memuaskan dapat terjadi pada lebih dari 70% pasien postoperatif setelah perbaikan primer dan 48% setelah graft saraf. Kira-kira 50-85% pasien dengan TOS nonneurogenik mengalami perbaikan dengan latihan.
Prognosis lesi pleksus brakhialis pada daerah supraklavikular kurang memuaskan dibanding daerah infraklavikular, oleh karena biasanya disertai dengan adanya avulsi radiks. Pada neonatus dengan lesi pleksus brakhialis bila terdapat sedikit kontraksi pada bulan pertama dan kontraksi pada bulan kedua maka kita dapat mengharapkan pemulihan spontan yang komplit. Jika kontraksi belum terlihat pada bulan ketiga biasanya pemulihan tidak akan mencapai fungsi normal sepenuhnya.