Janji Dalam Sebuah Botol Bekas

  • Uploaded by: Muhammad Ikhsan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Janji Dalam Sebuah Botol Bekas as PDF for free.

More details

  • Words: 2,052
  • Pages: 4
Published By Ikhsan

Kolomkita.com

Janji Dalam Sebuah Botol Bekas Juni 4th, 2007 by Mariska Aku menunggu bus di halte sambil merenung, namun aku bingung harus memikirkan apa? Memikirkan hal yang tidak jelas, begitulah kegiatanku sehabis pulang dari kampus. Ditambah lagi dengan hujan yang begitu deras dan keadaanku yang sedikit basah karena tadi berlari keluar dari kampus dengan tidak menggunakan payung. Akhirnya bus yang menuju arah rumahku datang dan aku akhirnya menaiki bus itu. Aku duduk di tempat duduk pojok paling belakang. Saat itu bus begitu sepi hanya ada beberapa orang. Entah kenapa rasa-rasanya ingin menangis begitu kencang ditambah lagi dengan keadaan tubuhku yang begitu dingin. Air mata hampir jatuh menetes tetapi kutahan. Sambil melihat ke arah kaca bus, aku melihat hujan masih begitu deras. Sepertinya alam begitu mengerti akan isi hatiku yang ingin menangis sekejar-kejarnya dengan ritual mengadakan hujan. *** “Duhh, anak Mama kok basah kuyup kaya gini? Tar kalau sakit gimana?” sambut Mama sambil mengambilkan tasku dan mengambil handuk kecil berwarna hijau muda untukku. “Mangnya hari ini kamu gak bawa payung? Padahal, Mama dan Papa kan sudah menyiapkan mobil, supir dan fasilitas lain. Mengapa kamu tidak mau, sich?” tanya Mama dengan nada heran. “Ini adalah hidupku! Pilihanku! Aku pikir mama sudah tahu alasannya.” jawabku dengan nada sinis dan gemetar karena suhu tubuh yang dingin.. Aku memang sudah jadi anak yang memberontak. Tanpa pikir panjang aku langsung menuju ke kamar dan cepat-cepat mandi agar bisa membersihkan tubuhku dari air hujan. *** Tadinya aku sudah merencanakan untuk menangis sepuas-puasnya di kamar tetapi entah mengapa aku berubah pikiran. Keluargaku adalah keluarga yang bisa dikatakan sangat berada. Ayahku mempunyai 3 perusahaan dan cabang yang sangat banyak. Teman-temanku sangat iri akan kondisi keuangan keluargaku. Namun, bagiku itu hanya sebuah ‘sampah’. Aku benci dilahirkan di keluarga ini. Aku benci menjadi orang yang sangat kaya. Makanya tidak heran jika aku lebih memilih naik bus, hidup sederhana dan bekerja paruh waktu di sebuah restoran cepat saji. Bodoh memang.. Aku melihat ke luar jendela. Ternyata hujan sudah mulai reda dan tiba-tiba terlintas dalam pikiranku ‘Bandung’. Di tempat itulah hidupku bahagia, aku banyak belajar dari kesalahan dan ada orang yang kusayangi di sana. Sekarang, kehidupanku berubah total! Tidak ada lagi orang-orang yang kusayangi di Jakarta, sumpek dan aku sudah menganggap negatif orang-orang di sekitarku termasuk orang tuaku. *** Saat-saat di Bandung… “Hahaha.. Ness, duh, akhirnya kita bisa ya, ngubur botol ini buat kenangkenangan persahabatan kita seumur hidup.” ujar Vania sambil tertawa puas. Aku tersenyum lebar dan mulai membayangkan masa depan kami lima sampai enam tahun mendatang ketika kami bertemu kembali di tempat ini. Tempat yang sangat jarang dikunjungi ketika anak-anak berada di sekolah. Memang tempatnya sangat tidak nyaman dan terasa angker, namun kami tidak percaya pada mitos-mitos yang sering dijadikan buah bibir. Kami berdua tertawa sambil merasa jijik ketika

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

kami melihat cacing-cacing tanah yang terdapat pada pinggir pagar pekarangan. Tidak ada orang yang mengetahui kalau kami sering ke tempat ini dan saling curhat mengenai masalah pribadi kami, sampai masalah cowok idaman. Ya, memang saat itu kami membuat janji persahabatan di dalam sebuah botol bekas berwarna hijau yang sudah seperti barang rongsokan dan dikuburkan di dalam tanah dekat pekarangan sekolah. Kamipun berjanji akan menggali kembali tanah itu setelah kami lulus kuliah. Pada saat itu kami masih duduk di kelas 2 SMA. Konyol memang! Tetapi kupikir inilah cara kami mengungkapkannya walaupun kedengarannya sangat kuno. Lalu kami menutup kegiatan ‘pengubuiran’ tersebut dengan tempelan masing-masing jempol kami dan disambut dengan pelukan persahabatan. Aku merasa hidupku sangat sempurna. Di rumah, aku mempunyai kedua orang tua yang sangat menyayangiku meskipun aku hanya anak tunggal, namun di sekolah aku punya sahabat yang baik seperti Vania. *** Tadi siang, Vania memberikanku hadiah yang dibungkus kertas kado Winnie the Pooh. Akupun membuka kado tersebut pelan-pelan dan ternyata isinya sebuah sulaman slayer buatan tangannya sendiri yang terdapat tulisan namaku: ‘Nessya’. Aku mencobanya sambil memandangi tubuhku di depan kaca yang ada dalam kamarku. “Ehmm… cocok juga.” ungkapku dalam hati. Seperti biasa, aku selalu menuliskan buku jurnal setiap malam sambil tidur-tiduran di atas ranjang. Malam ini, aku menuliskan isi buku jurnalku sangat panjang dan banyak cerita yang aku alami. Hidupku sudah sangat bahagia menurutku seperti yang kuceritakan tadi. Ditambah lagi, aku selalu masuk dalam 10 besar di kelasku. Aku terus berpikir apa yang sebenarnya kurang dalam hidupku. Tiba-tiba saja terlintas dalam benakku.. rasa-rasanya aku ingin punya seorang pacar. Mungkin itu bisa mengisi kekosongan dalam hidupku. Namun, kupikir itu hanya keinginan yang bersifat ‘daging’ saja dan belum waktunya aku memikirkan hal itu. Baru saja aku ingin melanjutkan menaruh kata-kata dalam buku jurnalku, aku langsung tertidur di atas tempat tidurku dengan sangat pulas.. *** Aku dibangunkan oleh teriknya sinar matahari dari tirai jendelaku yang dibuka oleh mamaku. Sangat silau.. namun, itulah yang berhasil membangunkanku walaupun sebenarnya aku masih sedikit mengantuk. “Hooamm, duh, Mama emangnya sekarang jam berapa? Kok uda bangunin aku?” tanyaku dengan setengah sadar. “Uda jam 9. Gak biasa-biasanya kamu belum bangun jam segini meskipun lagi libur. Jadi, dibangunin dech.” jawab mama sambil memberiku minum segelas air putih dan segelas susu. “Untung hari ini hari Minggu.” ujarku dalam hati. Aku baru ingat kemain aku lupa mengatur alarm untuk aku bangun. Akupun segera mandi.. “Ness, cepetan turun! Nich, Vania datang katannya mau ngobrol-ngobrol sama kamu.” teriak mama dari bawah. “Iya, Ma tunggu sebentar.” jawabku reflek. Dalam hati aku berpikir sejenak mengapa tiba-tiba Vania datang padahal kami belum membuat janji sebelumnya. Aku menghampiri Vania dengan kaos putih kusam yang lehernya sangat belel ditambah lagi dengan bawahan celana jeans selutut. Vania tersenyum kecil melihat gaya berpakaianku hari ini. Lalu kamipun mengobrol di ruang teras.. “Apee? Loe uda jadian sama si Andrew?” tanyaku spontan dengan nada sangat kaget. “Iya, sori banget baru bilang. Sebenarnya aku malu. Hehehe..” jawab Vania dengan gaya sok imut. Tadinya aku kesal mengapa dia baru cerita hal ini kepadaku sekarang? Pintar sekali ia menyembunyikannya padahal sudah dua minggu lebih Seharusnya, dia langsung menceritakannya, sesuai dengan perjanjian kami dalam botol hijau itu. Tiba-tiba aku jadi teringat ketika mengisi buku jurnal kemarin malam tentang keinginan ‘daging’ku itu lalu aku langsung menceritakannya pada Vania. Mungkin karena ia baru saja berpacaran, ia sangat mendukung keinginanku itu. Memang, kami kebanyakan selalu sepaham dan sependapat. Akhirnya, pikiranku berubah dan aku pikir ini hal yang tepat untuk mengisi kekosonganku

Published By Ikhsan

Kolomkita.com ***

Kalau selama ini aku selalu cuek dan tidak pernah memberi harapan pada semua orang yang melakukan pendekatan, kali ini agak berbeda. Aku sudah tidak terlalu cuek lagi, bahkan aku sudah sangat siap untuk membuka ‘pintu’ tetapi aku tidak sembarangan dalam menyukai seseorang. Waktupun berlalu.. Ada satu orang yang selama ini… Setelah aku menyelidiki seluruh perasaanku ternyata.. aku merasa jatuh cinta untuk pertama kalinya. Orang itu adalah Kosasih, ya temanku dari kelas sebelah. Orangnya sangat baik, tampan, perhatian, pintar, humoris dan tahu bagaimana caranya mengerti perasaan wanita. Ternyata, dia juga menyukaiku. Aku sangat senang karena sepertinya Tuhan selalu mengabulkan apa yang aku mau. Yang paling berkesan adalah ketika Kosasih menyatakan perasaannya kepadaku di Valley tepat di bawah lampu-lampu warna warni yang menyerupai pohon natal bentuknya. Aku tidak bisa melupakan ketika ia berkata: “Nessya, maukah kamu menjadi orang yang terpenting dalam hidupku?” sambil menyodorkan setangkai bunga mawar putih ke arahku dengan gaya berlutut. Rupanya, selama ini dia masih ingat warna kesukaanku. Aku tidak ragu untuk mengatakan ‘ya’ karena inilah saat yang kutunggu-tunggu. *** Tentu saja orang yang pertama kali aku ceritakan adalah Vania. Ia sangat senang mendengar kabar ini. Kami berempat, aku, Vania, Andrew dan Kosasih sangat sering jalan bareng, kumpul-kumpul dan juga belajar bersama. Nilai-nilaiku masih stabil sampai saat ini. Kosasih sangat sayang kepadaku. Dia mampu memperlakukan aku layaknya seorang ratu. Sehingga, aku tidak sanggup dalam menolak berbagai keinginannya. Kami sering mengungkapkan perasaan sayang kami lewat bahasa kasih seperti kata-kata dan ‘sentuhan’. Awalnya aku merasa ada yang salah ketika aku semakin ‘dekat’ dengannya, namun setelah kami semakin ‘dekat’, ia selalu berkata: “Aku sangat sayang sama kamu.” Dan juga “Aku tidak akan pernah meninggalkan kamu.” Entah mengapa hanya kata-kata simpel seperti itu bisa membuat perasaan bersalahku hilang dalam sekejap dan aku sangat percaya akan kata-katanya. Hubungan kamipun semakin jauh.. aku merasa telanjur akan apa yang sudah aku lakukan. Aku semakin membutuhkan Kosasih dalam setiap waktu. Bahkan, kami sudah sampai petting segala. Hampir saja, kami jatuh dalam hubungan yang lebih intim tetapi kami masih bisa menahan diri. Aku membuka keran shower di dalam kamar mandi pribadiku sampai pada volume dimana air keluar paling deras seraya duduk di bawah shower sampai seluruh tubuhku basah semua. “Tuhan, aku bodoh dan sangat kotor! Aku pikir selama ini aku adalah orang yang paling cerdas dan beruntung memiliki segalanya.” teriakku hanya dalam hati karena jika aku benarbenar berteriak orang-orang di rumah pasti akan bertanya mengapa aku berbuat seperti ini. Aku tidak berhenti-berhentinya membersihkan tubuhku dengan sabun agar bebas dari bayang-bayang sentuhan Kosasih. *** Tidak ada orang yang bisa kupercaya untuk menyimpan semua ini, kecuali Vania. Aku merasa sudah cukup lama kami tidak mengunjungi tempat rahasia kami dekat pekarangan sekolah. Tibatiba aku menjadi tidak sabar untuk mengutarakan apa kejadian buruk yang sedang terjadi dalam hidupku kepadanya di tempat itu. “Namun, mengapa hari ini dia tidak kelihatan di kelas?” tanyaku dalam hati. Tidak seperti biasanya jika ia tidak masuk sekolah, ia pasti memberitahukan kepadaku lewat SMS atau telepon. Aku berkali-kali melihat ke HPku tetapi tidak ada SMS darinya. Aku juga sudah SMS dan telepon berkali-kali tetapi tidak ada balasan atau jawaban telepon darinya. Dadaku mendadak sakit, perasaanku juga tidak enak, aku tidak bisa konsentrasi dalam belajar hari ini. Pulang sekolah, aku langsung buru-buru menyetop taksi dan pergi menuju rumah Vania. Kosasih?

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

Ah, dalam keadaan cemas seperti ini, aku tidak sempat memikirkannya, bahkan SMS dan telepon darinya tidak aku tanggapi. Pintu pagar rumahnya ternyata tidak dikunci dan aku langsung masuk ke rumahnya. ‘Kaget’, ya, itulah gambaran perasaanku ketika melihat ada dokter dan suster yang baru saja keluar dari kamarnya. Ditambah lagi orang tuanya yang menangis dengan sangat kejar sambil duduk di sofa. Aku langsung menuju ke kamarnya. Aku shock karena melihat sesosok wajah yang pucat pasi, terbujur kaku dan tidak bernapas, di atas ranjangnya yang penuh darah. Mayat itu adalah Vania. Badanku menjadi lemas dan hampir saja ingin pingsan. Air mata keluar setetes dan akhirnya menjadi deras karena aku bingung mengapa ini bisa terjadi. Rasanya, dari kemarin hanyalah mimpi yang dari hari ke hari semakin buruk. Saat itu keadaan di rumah Vania seperti habis terjadi peristiwa ‘bom Bali’. Air mata dan jerit tangis terdengar sampai ke luar rumah. Keadaan mulai mereda dan aku menanyakan langsung kejadian itu pada mama Vania. “Tante, mengapa Vania mengalami ini semua?” tanyaku sambil memberikan segelas air putih pada mamanya. “Vania ternyata hamil dan ia baru saja melakukan aborsi tanpa sepengetahuan tante dan ia mengalami pendarahan hebat ketika tadi pagi pulang.” jawab mamanya sambil menangis terisak-isak, tangisannyapun semakin kencang dan menjadi-jadi. Aku terdiam sejenak dan sangat shock karena tidak menyangka bahwa Vania bisa jatuh sedalam itu dengan Andrew. “Mengapa lagi-lagi ia tidak bercerita padaku?” tanyaku dalam hati sambil melanjutkan tangisan. *** Kabar mengenai Vania hamil dan melakukan aborsi sudah tersiar luas di sekolah. ada yang mengucilkan tetapi banyak pula yang simpati karena Vania sudah meninggal. Andrew dikeluarkan dari sekolah dan ia pindah sekolah ke luar kota. Tadinya aku marah besar dan ingin kubunuh saja si Andrew tetapi untung aku masih mempunyai akal sehat. Lagipula, jika kulakukan tidak akan bisa membuat Vania hidup kembali. Dalam hal ini aku belajar banyak untuk tidak sampai jatuh terlalu dalam. Ya, Vania yang mengajakannya. Kosasih dua hari yang lalu sudah kembali lagi ke kampung halamannya di Medan karena orang tuanya ada proyek besar di sana. Hubungan kami berakhir begitu saja. Kupikir, memang sudah saatnya mengakhiri hubungan yang tidak sehat seperti ini. Orang tuaku kecewa karena mereka menganggap Vania adalah anak yang baik. Mereka tidak menyangka Vania meninggal karena aborsi. Mereka dengan sesuka hati membuat keputusan agar kami sekeluarga pindah ke Jakarta dan tidak akan menginjak Bandung lagi untuk selama-lamanya. Mereka juga tidak memikirkan perasaanku dengan menyuruhku untuk melupakan Vania selamanya karena mereka merasa malu akan status keluarga yang selama ini dibangun dengan baik, jika aku bersahabat dengannya. Padahal mereka tidak tahu perbuatan tidak senonoh yang dilakukan juga oleh anaknya. Aku hanya bisa pasrah mngikuti keinginan orang tuaku untuk ke Jakarta. Aku juga berharap di sana aku bisa melupakan Kosasih. Namun, Vania tidak akan kulupakan. Aku berjanji suatu saat akan kembali ke Bandung untuk menggali janji kami, walaupun hanya sendiri. *** SELESAI

Related Documents


More Documents from ""