Solusi Islam terhadap Penyimpangan/Kejahatan Seksual Oleh: Agus Saputera
Akhir-akhir ini berita tentang peristiwa penyimpangan dan kejahatan seksual sering menghiasi berbagai media di Indonesia baik cetak maupun elektronik. Seperti pemerkosaan, sodomi, eksploitasi terhadap anak di bawah umur, orang tua (ayah kandung/tiri) mencabuli anaknya, perzinaan, pembunuhan/bunuh diri berlatar belakang penyimpangan seksual (homoseksualitas, sadisme), dan sebagainya. Saking seringnya kita mendengar berita-berita tersebut, seolah-olah peristiwa itu adalah “wajar” terjadi di zaman sekarang ini. Apakah anggapan ini menunjukkan bahwa kesensitifan Islam kita sudah berkurang, tidak ada lagi ghirah (cemburu) terhadap kesucian Islam dan prihatin terhadap nasib sesama saudara muslim. Bahkan sampai pula kepada prinsip, biarlah aib itu terjadi kepada orang lain asalkan tidak menimpa keluarga sendiri. Dan
yang
sungguh
memprihatinkan,
ternyata
pelaku
dan
korban
peyimpangan/kejahatan seksual adalah mayoritas beragama Islam. Apakah ini menunjukkan bahwa sudah sedemikian bobroknyakah kondisi akhlak kaum muslimin terutama para remajanya saat ini. Begitu picikkah pengetahuan sebagian besar masyarakat kita tentang hukum-hukum agama, sehingga ada keluarga yang dengan kerelaan hati menempuh jalan damai terhadap pemerkosa tanpa sedikitpun mendapat kompensasi, padahal kehormatan anaknya direnggut dengan paksa. Dimanakah letak kekuasaan, wewenang, dan tanggung jawab pemerintah selama ini. Kalau sudah demikian kondisinya, maka masihkah kita tetap berkiblat kepada hukum sekuler yang satu-satunya diterapkan di Indonesia dalam menangani masalah penyelewengan/kejahatan seksual.
1
Kelemahan Hukum Sekuler Ternyata penerapan sistem hukum sekuler di Indonesia belum cukup mampu mencegah kejahatan khususnya yang bermotif seksual. Ini tercermin dari tingginya tingkat penyimpangan/kejahatan seksual yang cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Hukuman penjara (asalnya adalah “penjera”) yang maksudnya agar pelaku kejahatan menjadi jera dan membuat orang menjadi takut atau urung melakukan kejahatan tampaknya tidak efektif. Longgarnya kontrol pemerintah serta tidak adanya sangsi hukum yang tegas terhadap pelanggaran berupa tayangan-tayangan media elektronik, film, dvd/vcd/cd, internet, media cetak, dan show-show artis secara live, telah mempengaruhi gaya dan cara hidup para remaja dalam pergaulan khususnya perilaku sex. Pergaulan bebas, hubungan sex/hamil di luar (sebelum) nikah, aborsi, dianggap hal biasa, wajar. Dan yang lebih fatal lagi anggapan tersebut benar-benar fakta yang disebabkan oleh ketidaktahuan hampir sebagian besar remaja tentang hukum homoseksualitas, perzinahan, aborsi yang digolongkan dosa besar dalam Islam - karena minimnya pengetahuan mereka tentang agama. Kurangnya pendidikan agama tersebut - yang secara formal dapat dilihat dari kwantitas jam pelajaran agama hanya 2 jam/minggu di sekolah-sekolah umum - juga merupakan salah satu faktor penyebab kejahatan/penyimpangan seksual di Indonesia. Dan tidak adanya sangsi hukum yang tegas terhadap pelaku pornografi turut menyumbang terjadinya kejahatan seksual. Berdirinya pusat-pusat hiburan “plus”, diskotik, bar, dan prostitusi
berkedok
panti
pijat/hotel/komplek
perumahan/KTV
belum
sepenuhnya
terawasi/terkontrol oleh pemerintah. Bahkan pemerintah belum mampu (tidak mau) menghapuskan lokalisasi-lokalisasi yang ada di Indonesia secara total sampai ke akarakarnya. Diperburuk lagi dengan pengaruh negatif tayangan televisi yang merupakan satu2
satunya hiburan yang hampir ada di setiap rumah. Belum lagi sikap sebagian besar anggota masyarakat yang masa bodoh terhadap permasalahan seksual karena dianggap urusan pribadi (privacy). Sedangkan kewibawaan ulama sebagai benteng penegak aqidah, pengawal akhlak masyarakat tampaknya semakin melemah terkalahkan oleh arus globalisasi, sekulerisasi, pragmatisme, materialisme, dan kapitalisme.
Bentengi Keluarga Dengan kondisi seperti di atas - tidak berdayanya pemerintah dan kurang efektifnya peran ulama - maka mau tidak mau setiap individu muslim terutama orangtua sebagai kepala rumah tangga harus membentengi diri, keluarga, dan anak-anak mereka agar tidak terimbas oleh kejahatan/penyimpangan seksual dengan cara mencari, menambah ilmu pengetahuan, dan memperluas wawasan yang berkaitan dengan pendidikan bagi anak-anaknya. Paling tidak mampu memulai dari keluarga sendiri, mendidik anak-anak berakhlaq al-karimah agar terhindar dari terjerumus ke dalam neraka seperti yang diperintahkan dalam Q. S. At-Tahrim (66): 6, “Hai orang-orang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari (siksaan) api neraka.” Untuk itu Islam diturunkan agar mengatur segenap aspek kehidupan manusia meliputi fisik, mental spiritual, akal, nafsu, dan jiwa, baik terhadap diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat agar tercapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Termasuk mengatur tentang tata cara dan perilaku manusia dalam menyalurkan kebutuhan, insting seksualnya. Sebab Islam adalah agama fitrah, karena itu Islam menyalurkan fitrah seksual manusia di jalan yang benar. Dengan mengikuti petunjuk yang benar seperti digariskan agama dalam Al-Quran dan Hadits akan mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan/kejahatan seksual tersebut.
3
Solusi Islam Ada beberapa instrumen di dalam Islam yang mengatur perilaku, naluri seksual manusia agar disalurkan secara sah, sehat, dan normal sehingga terhindar dari penyimpangan/kejahatan seksual, antara lain: (1). Institusi Perkawinan. Lembaga perkawinan disyariatkan oleh Islam tak lain adalah sebagai pemenuhan naluri atau kecenderungan kepada lawan jenis agar manusia berjalan bersama fitrah seksualnya dengan penuh keharmonisan dan kesesuaian, tanpa diancam oleh suatu akibat negatif atau dipengaruhi fitnah. Islam mengharamkan upaya menghindarkan diri dari perkawinan agar dapat mengintensifkan beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan, terutama sekali jika seseorang telah mampu untuk biaya kawin dan segala sarananya mudah didapatkan. Cara hidup rahbaniyyah (kependetaan, hidup membujang) sangat ditentang, dibenci dalam Islam karena bertentangan dengan fitrah, naluri, dan kecenderungan manusia. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan rahbaniyyah dengan hanafiyyah yang luhur”. (H. R. Baihaqi), di hadits lain berbunyi, “Barangsiapa mampu untuk kawin, kemudian ia tidak kawin, maka ia bukan termasuk umatku”. (H. R. Thabrani). Hikmah perkawinan (pernikahan) yang sedemikian besarnya dalam Islam sudah terbukti ampuh dalam melindungi masyarakat dari kerusakan moral, terhindar dari penyakit yang belum ada obatnya seperti HIV, AIDS, dan dari berbagai macam penyakit menular seksual
lainnya.
Ilmu
kedokteran
menyatakan
bahwa
terjadinya
pembibitan,
perkembangbiakan, dan penyebaran penyakit berbahaya yang tidak ada obatnya tersebut (HIV/AIDS) hampir tidak pernah dialami oleh pasangan suami istri sah. Ia justru mudah terjadi pada mereka yang melakukan hubungan tidak sah, perzinaan, pasangan di luar nikah,
4
gonta-ganti pasangan, prostitusi, praktek sex sejenis, sodomi, dan lebih parah (jika diiringi dengan penyalahgunaan narkoba), dan sejenisnya. (2). Membentengi anak-anak semenjak dini dari pintu-pintu masuknya syahwat, birahi, yang mendorong kepada penyimpangan seksual dengan membekali mereka pendidikan agama. Di dalam pendidikan dan penerapan ajaran agama kepada anak-anak sebenarnya terdapat “aspek-aspek pendidikan sex”. Sebab pendidikan sex bukanlah diartikan secara sempit seperti anggapan sebagian besar kita selama ini yaitu tentang pengetahuan anatomi alat reproduksi manusia dan tehnik berhubungan. Pendidikan agama terhadap anak dalam Islam - yang di dalamnya terdapat aspekaspek seksual - adalah bertujuan agar manusia (anak-anak) terhindar dari bahaya yang timbul karena dorongan-dorongan syahwat, berahi (akibat pengaruh hormonal dan psikologis masa pertumbuhan remaja) dengan mengarahkan mereka agar selamat dari bahaya kematangan seksual terlalu dini sampai mereka mencapai usia siap ke jenjang perkawinan yang sah. Contoh dari pendidikan dalam Islam yang terdapat nilai-nilai pendidikan seksual seperti: memerintahkan anak perempuan berpakaian menutup aurat apabila sudah mencapai akil baligh, memisahkan tidur anak yang meningkat dewasa dari orangtua dan antara anak lakilaki dengan perempuan, meminta izin kepada orang tua ketika memasuki kamar terutama di waktu-waktu sebelum subuh, setelah zuhur dan isya’ - dikhawatirkan pada saat itu peluang aurat terbuka sangat besar. Memelihara dan menundukkan pandangan terhadap lawan jenis, termasuk menghindari dari hal-hal yang merangsang, mendorong terjadinya perzinaan seperti bacaan, tontonan, gambar, dan tayangan berbau pornografi. Islam memerintahkan kepada orangtua agar mengambil cara-cara positif dan sarana preventif di dalam menghindarkan anak dari gejolak berahi dan rangsangan seksual sehingga mereka tumbuh baik dan terdidik dengan pendidikan dan akhlak mulia. 5
(3). Menetapkan hukuman yang tegas dan keras terhadap pelaku perzinaan (hudud) baik yang sejenis (homoseksual) maupun berlainan jenis, pemerkosaan, sodomi, prostitusi, dan sebagainya. Seperti dengan merajam atau melempari pezina muhsan (yang telah beristri/suami) dengan batu sampai mati dengan disaksikan oleh sekelompok kaum muslimin. Sedangkan bagi yang belum pernah berkawin (ghairu muhsan), maka ia dicambuk seratus kali. Hukuman tersebut ditimpakan agar si pelaku merasakan pedihnya akibat perbuatan kejinya itu, merasa dipermalukan dan dihinakan. Terhadap pelaku pembunuhan dan/atau perkosaan disertai pembunuhan dikenakan hukum jenayah Qishash, yaitu melakukan pembalasan hukum yang sama (bunuh) terhadap orang yang melakukan kesalahan. Lihat Q. S. Al-Maidah (5): 45, “Dan kami telah tetapkan atas mereka di dalamnya bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka ada qishashnya.” Penerapan sangsi yang sedemikian menimbulkan efek jera, takut, bagi yang lain sehingga akan terhindar untuk melakukan perbuatan keji tersebut. Demikianlah penegakan dan pemberdayaan hukum dalam Islam menjadi solusi yang tepat, efektif, ces pleng, terhadap penyimpangan dan kejahatan seksual yang semakin marak terjadi dewasa ini di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan institusi perkawinan di dalam Islam adalah sangat ampuh untuk menyalurkan insting seksual manusia secara sah, wajar, normal, dan sehat, sekaligus mencegah terjadinya kerusakan akhlak di tengah masyarakat dan terhindar dari penyebaran penyakit seperti HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual lainnya. Disamping itu tindakan preventif dilaksanakan untuk membentengi diri dan keluarga dengan menerapkan pendidikan Islam kepada anak-anak semenjak dini (yang di dalamnya terdapak aspek-aspek pembinaan dan pendidikan seksual) dimulai dari rumahtangga masing-masing. Sebab fakta menunjukkan bahwa hukum sekuler dan penerapan sangsinya sudah tidak efektif lagi sebagai solusi terhadap masalah kriminal dan penyimpangan seksual. 6
Merupakan tanggung jawab pemerintah beserta penyelenggara pemerintahan, anggota dewan, para ulama, cendekiawan dan seluruh anggota masyarakat agar berani membuka mata dan hati untuk menghapuskan/mengurangi tindak kriminal seksual (kemaksiatan) yang sudah marak tersebut. Segera keluarkan (berdayakan) Perda tentang pengaturan tempat-tempat hiburan, hotel, pertunjukan, media cetak dan elektronik, film, internet dan sebagainya, dan tegakkan sangsi hukum yang tegas tanpa pandang bulu terhadap siapa saja yang melanggarnya.
Published August 15, 2008.
Agus Saputera Pegawai Subbag Hukmas dan KUB Kanwil Depag Provinsi Riau, peminat dan pemerhati masalah sosial keagamaan
7