Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
KHATIB MAULANA
ISLAM MENJAWAB TUNTUTAN SYAHWAT Antara Zina dan Mut’ah Kontak & Konsultasi:
[email protected] [email protected] Buku ini tidak dilindungi oleh hak cipta. Anda dapat mengutip, memperbanyak, bahkan memperdagangkan sepanjang diniatkan untuk dakwah dan diiringi doa keselamatan bagi penulisnya.
1
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Bab I
ZINA Ketika Rahmat Menjadi Laknat Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (Al Israa':32).
1 Hukum Zina dalam Alquran
A
mina Lawal, menemui ajalnya tahun 2003 setelah dihukum oleh pengadilan syariah Nigeria. Ia divonis telah berzina dan dihukum mati dengan cara rajam, dilempari batu. Amina tidak sendirian. Di negara yang sama dua perempuan lain juga dirajam sampai mati, yaitu Hajara Ibrahim and Daso Adamu. Kejadian mengerikan seperti itu tidak hanya terjadi di Nigeria. Pakistan menerapkan hukum serupa, dan telah menelan korban pula. Pertanyaan kita, apakah sedemikian keras dan kejamnya hukum Islam terhadap para pezina atau orang yang dituduh berzina? Sebagai ummat Islam, pegangan pokok kita adalah Alquran. Hukum apapun yang mengatasinamakan Islam harus merujuk kepada Alquran. Allah SWT berfirman,
Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,.. (Al Baqarah: 2)
Alquran ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang meyakini. (Al Jaatsiyah: 20)
(Alquran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan-Nya, dan supaya mereka 2
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran. (Ibrahim: 52)
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu. (Al Baqarah:147)
Ayat-ayat di atas memberi peringatan kepada kita untuk tidak menggunakan kitab lain sebagai pedoman hidup maupun dasar hukum. Kitab-kitab buatan manusia, setinggi apapun pangkat, popularitas dan sedalam apapun ilmunya, tidak layak untuk dijadikan pedoman. Cukuplah sekedar referensi saja. Alih-alih membantu kita mendekatkan diri kepada Allah, jika tidak waspada, kitab itu dapat menyesatkan kita dari jalanNya. Kewaspadaan sangat penting, sebab sejak dulu kala sampai sekarang banyak sekali kitab yang mengatasnamakan Islam, tapi ajarannya tidak lebih dari sekedar buah pikiran manusia, tidak bersandar sepenuhnya kepada Alquran. Sehingga tidak heran bila kita menemukan hukum-hukum yang seolah-olah hukum Allah SWT, padahal Alquran tidak mengatakan seperti itu. Allah SWT memperingatkan kita,
Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui. (Ali 'Imran:78)
Kembali ke soal zina. Apakah Allah SWT memerintahkan agar merajam orang yang dituduh berzina? Tidak pernah! Allah SWT berfirman,
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
3
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman. (An Nuur: 2)
Jelas sekali, hukuman untuk laki-laki dan perempuan yang melakukan zina hanyalah cambuk, bukan rajam. Bagi perempuan ma malakat aimanukum1 yang berzina hukumannya tidak seratus kali cambuk, tapi hanya lima puluh (An-Nisaa: 25). Sedangkan bagi istri nabi hukumannya dua kali lipat orang biasa (Al Ahzab: 30). Lantas dari manakah munculnya hukum rajam itu? Sumbernya adalah hadis, riwayat dan sejumlah kitab fiqh. Memang ada riwayat yang mengatakan, menurut Khalifah Umar bin Khatab, Allah SWT pernah menurunkan ayat yang mengganjar pelaku zina dengan rajam, tapi tidak dituliskan oleh Zaid bin Tsabit (yang menuliskan Alquran). Alasannya, tidak ada saksi seorang pun. Apakah riwayat ini layak dipercaya? Jika kita yakin bahwa Alquran adalah kitab yang lengkap dan sempurna, riwayat seperti itu tentu berbahaya karena bisa merusak keyakinan kita terhadap Alquran. Kita kuatir janganjangan nanti timbul prasangka bahwa Alquran sudah dikorup, tidak lengkap, dan akhirnya tidak layak dipercaya. Naudzubillahi min dzalik! Oleh karena hukum rajam tidak ada dalam Alquran, kita boleh mengatakan hukuman itu mengada-ada. Riwayat apapun yang berkaitan dengan hukum rajam, baik yang ditemukan dalam hadits, riwayat maupun kitab fiqih adalah bathil. Karena itu ia tidak layak dikutip maupun diceritakan. Tapi penolakan terhadap informasi tadi tidak berarti kita ingin menolak seluruh riwayat secara mentah-mentah, karena itu tentu bukan sikap yang bijaksana. Kita tidak dapat memungkiri bahwa secara umum riwayat, juga hadits, masih tetap diperlukan untuk membantu kita menafsirkan Alquran. Namun perlu digarisbawahi, sikap kritis tidak boleh hilang dalam membaca riwayat atau hadits, agar tidak meyakini sesuatu yang bertentangan atau tidak berpedoman kepada dalil Alquran. Dalam Islam, zina memang bukan masalah sepele. Zina adalah perbuatan keji, fahisyah (Al Israa’: 32) . Ayat-ayat yang diturunkan Allah SWT dalam soal ini tersebar dalam 12 surat, seperti dalam Tabel berikut: Tabel 1: Ayat-ayat tentang Zina dan Perbuatan Keji Nama Surat 3. Ali 'Imran 4. An Nisaa' 6. Al An'aam 7. Al A'raaf 11. Huud: 16. An Nahl 17. Al Israa' 21. Al Anbiyaa' 24. An Nuur 1
No Ayat 135. 15. 16. 19. 25. 156. 151 28, 33. 78 90 32 74. 4, 7. 19. 21.23. 26.
Ma malakat aimanukum artinya yang berada ”dalam genggaman tangan kanananmu”. Istilah ini dalam banyak tafsir diartikan sebagai budak. Arti ini perlu dikritik karena ma malakat aimanukum menunjuk kepada obyek yang spesifik, bukan budak dalam pengertian umum. Pengertian yang lebih pas adalah ”perempuan yang tidak merdeka, tidak punya modal produksi, dan hidupnya tergantung kapada orang lain. Jadi seperti para pegawai atau karyawan”.
4
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
29. Al 'Ankabuut 33. Al Ahzab 65. Ath Thalaaq
45. 30,32. 1.
2 Berzinakah Mereka?
I
stilah zina sering kita dengar dari para ustad, termasuk jenis-jenisnya. Disamping ”zina yang sebenarnya”, disebut juga istilah ”zina mata”, ”zina hati” dan ”zina telinga”. Pembagian zina seperti ini semuanya hasil tafsiran, dari hadis ahad yang dirawikan oleh Abu Hurairah (Shahih Muslim No.4801), yang dalam Alquran sendiri tidak pernah dijelaskan. Dalam Alquran (QS 40:19) hanya ada ungkapan pandangan yang khianat ( ), yang oleh mufasirin ditafsirkan sebagai pandangan penuh birahi terhadap wanita yang bukan muhrim. Tentu saja ini penafsiran yang sangat terbuka untuk perdebatan karena konteks ayat itu sebenarnya tentang tauhid, tidak punya pertalian apa-apa dengan nafsu syahwat. Pengertian “zina yang sebenarnya” adalah hubungan seksual yang dilakukan di luar ikatan pernikahan (da’im maupun mut’ah) yang sah, tidak berada di luar batas yang telah ditentukan (seperti larangan-larangan yang terdapat pada surat An Nisaa’: 23). Apa maksud zina-zina yang lain? Menurut para ahli agama, bukan menurut Alquran, zina mata adalah saling tatap penuh nafsu birahi antara laki-laki dan perempuan. Zina hati sama dengan mengkhayalkan hubungan seksual dengan seseorang, dan zina telinga – istilah yang jarang digunakan – mungkin percakapan cabul antara dua orang yang berlawanan jenis. Sebagai sebuah hasil kreativitas berpikir yang mengandung kebaikan, pembagian-pembagian seperti itu tidak perlu kita perdebatkan. Bila zina diartikan sebagai perbuatan keji (fahisyah), maka perbuatan yang menjijikkan seperti hubungan sejenis (homoseks, lesbian, dan bestial -hubungan seks manusia dengan binatang) juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan zina. Pengertian ini tentu saja membuahkan persoalan yang cukup pelik pada tataran syariat karena pengertian zina kehilangan kekhususannya, padahal hubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan (di luar perkawinan) tidak sama derajat kekejiannya dengan hubungan seksual sejenis atau antara hubungan seks antara manusia dengan binatang. Untuk keluar dari masalah ini sebagian mufasirin membedakan antara fahisyah yang berarti hubungan seks tidak sah antara laki-laki dengan perempuan dan al-fahisyah yang berarti hubungan sejenis. Kehancuran kaum Nabi Luth yang menggemari hubungan sejenis menunjukkan kemurkaan Allah SWT yang lebih besar kepada kaum homo (al-fahisyah) dibandingkan pezina yang negerinya dibiarkan tetap utuh.
5
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Masalah serius yang kita hadapi bukan hanya pada pengertian istilah zina, tapi pembuktiannya. Kapan seorang laki-laki dan perempuan dapat dikatakan berzina sehingga keduanya dapat dihukum? Pembuktian inilah yang sangat rumit, sekaligus menggiring kita pada ranah berpikir yang lain, yaitu tentang pandangan Islam terhadap seksualitas manusia. Namun, kita tuntaskan satu-satu persoalan ini, dengan mendahulukan pembahasan tentang pembuktian zina. Menuduh orang berzina (melakukan hubungan seksual illegal) tidak boleh dilakukan asal-asalan, karena tindakan sembrono seperti itu diancam hukuman yang berat. Allah SWT berfirman,
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya (An-Nisaa':15)
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (An-Nuur: 4).
Dari kedua ayat di atas kita ketahui bahwa pembuktian perbuatan zina memerlukan empat orang saksi (tidak ditentukan jenis kelaminnya). Jika si penuduh tidak dapat mengajukan empat orang saksi, maka tuduhan tersebut dianggap dusta. Karena kebohongan itu, si pendakwa harus diganjar dengan delapan puluh kali cambuk. Oleh sebab itu, kita tidak dapat secara semenamena menuduh seorang perempuan – dengan sendirinya juga laki-laki pasangannya -- telah berzina, kecuali ingin secara sengaja melakukan dosa. Sikap hati-hati menuduh orang berzina dapat dicontoh dari Khalifah Umar bin Khattab ketika mengadili Al- Mughirah ibn Shu’bah. Al-Mughirah dituduh berzina. Untuk pembuktian didatangkanlah empat orang saksi. Tiga saksi tidak memberikan keterangan rinci. Saksi keempat mengatakan telah melihat dua orang dalam kondisi yang mencurigakan. Saksi itu mengatakan, “saya melihat punggung turun naik, dengus nafas kuat, dan saya melihat kaki perempuan itu berada di bahu dia (Al-Mughirah) seperti telinga keledai. Saya tidak tahu lebih dari itu”. Walaupun orang mungkin berpikir bahwa kesaksian 6
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
ini lebih dari cukup untuk mendakwa Al-Mughirah dan pasangannya berzina, kenyataannya tidak demikian. Dengan alasan bahwa kesaksian keempat lakilaki itu tidak cukup spesifik (tidak melihat langsung penis memasuki vagina), Khalifah Umar membatalkan dakwaan. Al Mughirah selamat dari hukuman2. Orang-orang yang tidak terbukti berzina melalui pembuktian -- seperti yang dilakukan terhadap Al-Mughira -- tentu tidak layak menerima hukuman dalam bentuk apapun. Kalau dihukum juga, seringan apapun, hanya karena dicurigai, mereka jelas-jelas dizalimi orang-orang yang tidak dapat menahan hawa nafsu. Jika kita taat dan mengimani Alquran, justru yang menghukum itulah yang pantas dikenai hukuman cambuk sebanyak 80 kali. Ironisnya, kita sering mendengar orang diusir karena tertangkap berduaduaan di sebuah kamar atau rumah, padahal tidak ada seorang saksipun yang melihat dukhul (penis memasuki vagina). Ada juga yang dipermalukan di depan pers setelah kamar hotel tempat keduanya berada didobrak oleh Satpol Pamong Praja, dan keduanya ditemukan berpakaian lengkap. Besoknya pers menulis, ”keduanya ditengarai baru selesai melakukan zina”. Dalam menilai kasus penggrebekan rumah atau hotel ini mari kita lihat lagi firman Allah SWT: 1.
Untuk Satpol Pamong Praja dan masyarakat biasa:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (An Nuur: 27)
Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar. (An Nuur: 23) 2.
2
Untuk Pers:
Kisah ini ditulis oleh Muwaffaq Al-Din Ibn Qudamah, dalam Al-Mughni. (Beirut:Dar al-Kitab al-‘Arabi, n.d) vol. 10 hal. 197-198. Dikutip dari pengutip.
7
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.(An-Nuur:19)3
Apa pesan yang disampaikan kedua ayat di atas? Jelas sekali Allah SWT sangat memelihara hak-hak pribadi atau privasi (privacy) ummatNya. Siapapun tidak boleh berbuat sewenang-wenang terhadap orang lain, tidak boleh melakukan tindakan brutal untuk mendakwa orang berzina. Tindakan warga atau Satpol PP yang mendobrak rumah atau kamar hotel atas nama pemberantasan maksiat jelas sekali bertentangan dengan Surat An-Nuur 27. Perintah tegas dan langsung untuk memberantas maksiat tidak ada dalam Alquran, tapi larangan memasuki rumah orang tanpa izin sedemikian nyata. Jika demikian tindakan warga/tetangga atau Satpol PP yang menggrebek kamar hotel atau rumah yang disangka jadi tempat berzina sama saja dengan memberantas maksiat – yang perintahnya samar-samar -- sambil “menginjak” Alquran. Lagi pula, penggrebekan penuh kekasaran yang mengatasnamakan ajaran Islam justru bertentangan dengan firman Allah SWT berikut:
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya. (Ali 'Imran:159)
Pers atau siapapun tidak pula boleh menyebarluaskan berita perzinaan, apalagi berita tentang kejadian yang tidak dapat dibuktikan. Logikanya, kalau menyebarluaskan berita perzinaan tidak boleh, mendengarkannya atau membaca beritanya pun tentu bukan perbuatan terpuji. Apalagi perbuatan 3
Ayat di atas juga bisa ditafsirkan sebagai bentuk larangan menyebarluaskan informasi atau bahan-bahan bacaan porno ke tengah orang beriman yang menyebabkan rusaknya keimanan mereka.
8
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
yang secara sengaja mencari-cari tahu apakah orang-orang tertentu berzina untuk kemudian disebarluaskan ke tengah masyarakat. Sekarang kita boleh prihatin dengan keadaan yang kita lihat sehari-hari. Berita perzinahan dikibar-kibarkan hampir setiap hari melalui media massa. Banyak orang, khususnya para selebritas, yang dituduh berzina oleh media, tanpa dapat menyodorkan bukti. Gossip murahan seperti itu jadi jualan utama media massa karena penikmatnya juga banyak. Makin nyatalah, kita semakin jauh dari tuntunan Alquran !
3
P
Mengapa Orang Berzina?
ertanyaan “mengapa orang berzina” sangat penting dijawab sebelum kita bergerak kepada pemberantasan zina. Tanpa mengetahui apa penyebabnya, kita tidak mungkin mengatasi perzinaan di tengah masyarakat secara efektif. Kalau perzinaan kita ibaratkan sebagai tumbuhan berbahaya yang harus dibasmi, kita harus paham bahwa perzinaan itu bukan hanya masalah yang ada dipermukaan. Ia mempunyai akar yang dalam, tertanam dalam lahan yang disebut masyarakat. Jadi, banyak atau sedikitnya perzinaan yang terjadi tergantung kepada sikap masyarakat terhadap akar perzinaan itu. Oleh sebab itu perzinaan dapat dikatakan sebagai produk sosial. Akar perzinaan terbentuk dari dua unsur, yaitu 1) dorongan seksual (syahwat) dan 2) ketaatan terhadap aturan agama.
1. Syahwat Syahwat merupakan anugrah Allah SWT kepada makhluknya, kecuali malaikat, untuk berkembang biak. Tanpa syahwat orang tentu tidak akan melakukan hubungan seksual. Agar orang bersedia melakukan hubungan seksual Allah SWT menjadikan syahwat sebagai sebuah kenikmatan ragawi, sekaligus batiniah. Terhadap rahmatnya ini, Allah SWT tidak menghendaki manusia mengingkari dan menjadi kufur nikmat. Oleh sebab itu, kawin merupakan sunnah. Di mata Allah SWT kawin bukan hanya persoalan individual, tapi juga merupakan persoalan masyarakat. Firman Allah SWT:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberianNya) lagi Maha Mengetahui. (An Nuur:32)
9
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Ayat di atas tidak ditujukan kepada individu yang sudah waktunya melakukan hubungan seksual, melainkan kepada ummat secara keseluruhan, yang punya otoritas untuk mengawinkan orang lain, baik karena kedudukan politis maupun hubungan kekerabatannya dengan individu tadi. Sedangkan perintah kepada individu yang nadanya kira-kira seperti: “kawinlah kamu supaya…”, “wajib bagimu kawin…”, atau yang senada dengan itu tidak pernah dikatakan Allah SWT. Dari surat An-Nuur: 32 kita dapat menarik pelajaran bahwa Allah SWT menggariskan bahwa seksualitas manusia bukan urusan individu saja, tapi urusan orang lain di luar diri individu tadi. Dengan kata lain, urusan masyarakat. Tapi dari dua ayat pada Surat Al-Baqarah (232, 234) digariskan lagi bahwa otoritas yang diberikan kepada masyarakat bukanlah untuk menghalang-halangi, kecuali mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Sebaliknya masyarakat harus memberikan jalan agar individu dapat menyalurkan syahwatnya dengan cara-cara yang ma’ruf.
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al Baqarah:232)
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteriisteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (Al Baqarah: 234)
Melalui ayat-ayat di atas dapat kita pahami bahwa Allah SWT memperingatkan ummatNya agar tidak membunuh syahwat atau melakukan selibat sebagaimana dilakukan oleh para pastur. Dengan meyakini bahwa di balik setiap larangan Allah SWT pasti ada mudharatnya, maka dari ayat-ayat di atas kita juga mengerti bahwa mengekang syahwat melebihi yang dibolehkan Allah SWT sudah pasti akan muncul berbagai akibat negatif.
10
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Dari Surat An-Nisaa kita dapat pula melihat betapa Allah SWT menunjukkan jalan yang terang lagi mudah kepada manusia agar syahwatnya tersalur secara wajar. Firman Allah SWT:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau ma malakat aimaanukum yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (An Nisaa' 3)
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari ma malakat aimaanukum yang kamu miliki. (An Nisaa' 25)
Kedua ayat di atas menunjukkan adanya alternatif-alternatif bagi manusia untuk menyalurkan syahwat, sesuai dengan kemampuannya. Allah SWT tidak hanya menyediakan satu jalan, melainkan tiga: 1) poligami, 2) monogami jika tidak dapat berlaku adil, atau 3) kawini saja ma malakat aimaanukum. Mengawini ma malakat aimanukum juga jadi pilihan kedua bagi laki-laki yang tidak sanggup mengawini perempuan merdeka karena alasan ekonomi (An Nisaa' 25). Bahkan bagi Nabi pun ma malakat aimaanukum adalah sebuah pilihan yang diberikan Allah SWT setelah beliau dilarang menambah istri, seperti terdapat dalam surat berikut:
Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali ma malakat aimanuka yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. (Al Ahzab:52)
Melalui Surat An-Nisaa:25 Allah ingin meringankan beban orang yang miskin. Seperti difirmankanNya dalam An-Nuur:32, Allah SWT tidak menginginkan manusia terkekang penyaluran syahwatnya karena alasan ekonomi atau kemiskinan. Seharusnya ayat ini menjadi pedoman bagi kita untuk menyadari bahwa orang kaya atau miskin tidak ada bedanya dalam soal syahwat. Kedua golongan itu dianugrahi dorongan yang sama. Syahwat dan kemampuan ekonomi harus dilihat sebagai dua entitas yang berbeda.
11
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Oleh sebab itu, mustinya tidak ada diantara kita yang menghalang-halangi seseorang kawin karena status ekonominya yang rendah. Penting juga kita mengerti bahwa Allah SWT tidak hendak menyiksa ummatnya dengan memberi mereka syahwat. Setelah diberi syahwat, Allah SWT memberikan jalan untuk memenuhi kebutuhan itu. Firman Allah SWT:
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An Nisaa':28.)
Realitas di Sekitar Kita Namun, apa yang kita jumpai sekarang? Pengekangan seksual berbau gereja, disadari atau tidak, telah menjadi bagian dari kehidupan ummat Islam. Pengaturan perkawinan, baik yang dibakukan dalam Undang-undang Perkawinan maupun yang ditradisikan di tengah masyarakat secara formal masih mengacu kepada Alquran, tapi substansinya sudah jauh menyimpang. Undang-undang No. 1 Th. 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan saja) menyatakan bahwa: Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. (Ps.3). Aturan ini sangat jelas tidak sejalan dengan ayat 3 Surat AnNisaa yang meletakan poligami pada urutan pertama sebelum monogami. Memang, kesempatan untuk berpoligami tidak ditutup, tapi seorang lakilaki harus mendapatkan izin dari pengadilan yang hanya akan memberi izin apabila a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan (Ps.4). Aturan seperti ini tidak mempunyai landasan Quranik sama sekali dan cenderung mengada-ada. Allah SWT tidak mensyaratkan apapun untuk berpoligami selain keyakinan akan dapat berlaku adil (An Nisaa: 3 dan 129). Seorang ulama Mesir terkemuka Syekh Muhammad Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287). Di Indonesia pikiran Abduh menjadi sandaran bagi penentang poligami untuk menafikan kehalalan – bahkan upaya mengharamkan -poligami. Pertanyaan kita, apa dasarnya Abduh mengatakan bahwa poligami sebagai sebuah penyimpangan? Sebagai muslim kita boleh bersikap ragu atas kebenaran fatwa seperti itu, karena Abduh termasuk salah seorang ulama yang sudah terkontaminasi pikirannya oleh pikiran Barat, sekalipun namanya dibesar-besarkan sebagai tokoh Islam reformis. Dia dikenal sebagai orang yang punya hubungan baik dengan Lord Cromer dan W.S. Blunt, dua orang tokoh orientalis yang sangat dikenal di dunia Arab4. 4
Lord Cromer mendirikan Akademi Victoria di Iskandariyah. Tujuannya ialah untuk medidik generasi anak-anak para pejabat, tokoh dan pembesar dengan pola Inggris agar mereka bisa menjadi alat transformasi dan penyebaran peradaban Barat di masa mendatang. Sedangkan W.S. Blunt, seorang orientalis kenamaan yang bersama isterinya berkeliling di dunia Arab dengan memakai pakaian Arab dan menyeru nasionalisme Arab serta mendirikan 'Khilafah' Arabiyah sebagai upaya menghancurkan persatuan Islam.
12
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Dalam rangka menghantam poligami, logika aneh lagi menyesatkan ternyata juga dapat diterima kalangan intelektual, khususnya para penyerang poligami. Ada ”tokoh agama” yang mengatakan bahwa Allah memang mengizinkan poligami, tapi pada dasarnya perkawinan dalam Islam adalah monogami. Alasannya sangat sederhana: masa perkawinan Rasulullah yang monogami berjalan lebih panjang (28 tahun) dibandingkan masa beliau melakukan poligami. Rasul, kata mereka hanya berpoligami selama delapan tahun, kemudian beliau meninggal. Pertanyaan kita, apakah Rasul membuat kalkulasi matematis seperti itu, lalu secara sengaja memendekkan masa poligaminya agar ummatnya lebih memilih monogami? Apakah dengan logika seperti itu tidak berarti Rasul sudah tahu kapan beliau akan meninggal? Apakah Rasulullah bukan manusia biasa yang tidak tahu kapan malaikat maut menjemputnya? Penentang poligami juga mentertawakan argumentasi kelebihan jumlah perempuan yang dikemukakan pendukung poligami seraya memperlihatkan data demografi kota Jakarta. Data itu, yang dikatakan sebagai data Sensus DKI dan Nasional tahun 2000, menunjukkan bahwa jumlah perempuan usia 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun lebih sedikit dibandingkan lakilaki5. Bisakah data ini dipercaya? Coba bandingkan dengan data kependudukan Sumatera Barat tahun 1999 yang diambil dari Sumatera Barat dalam Angka 1999: Tabel 2: Kelebihan Penduduk Perempuan Dibandingkan Laki-laki, Sumatera Barat 2003 -2005 Usia 20 - 24 25 - 29 30 - 34 35 - 39 40 - 44
2003 30,385 27,798 6,029 9,884 11,422 85,518
2004 16,472 15,242 19,245 16,886 6,307 74,152
2005 3,446 20,205 16,608 16,261 12,243 68,763
Sumber: BPS 2003 - 2005
Dari data di atas kita ketahui bahwa di Sumatera Barat perempuan dalam rentang usia 20 – 44 memang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Kelebihan perempuan usia 20 – 24 tahun cenderung menurun, tapi data dari sumber yang sama menunjukkan tren menaik pada usia 15 – 19 tahun. Tahun 2004 jumlahnya 2.077, tapi tahun 2005 melonjak jadi 12.593 jiwa. Di Indonesia, perbandingan laki-laki dan perempuan pada rentang usia 20 – 39 tahun adalah sbb.:
Tabel 3: Perbandingan Jumlah Penduduk Laki-laki dan Perempuan, Indonesia 2005
5
Pertalian Abduh dengan kedua tokoh orientalis tersebut sangat jelas ditulis oleh Robert Drayfuss dalam bukunya yang baru saja diterjemahkan ke bahasa Indonesia, Orkestra Iblis. Lihat Faqihuddin Abdul Kodir, ’Benarkah Poligami Sunah..?’, Kompas Cybermedia, Selasa, 13 Mei 2003
13
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Usia
Laki-laki
Perempuan
Selisih
20-24
9,754,543
10,150,607
396,064
25-29
9,271,546
9,821,617
550,071
30-34
8,709,370
9,054,955
345,585
35-39
8,344,025
8,428,967
84,942
Sumber: BPS 2005
Total kelebihan perempuan dibanding laki-laki pada usia antara 20 – 39 tahun adalah 1.376.662 orang. Apa artinya data diatas? Pertama, data lokal maupun nasional mempunyai kecenderungan yang sama pada rentang usia kawin/produktif: perempuan jauh lebih banyak dibandingkan laki-laki. Kedua, tanpa poligami perempuan yang terpaksa hidup sendiri jumlahnya sangat tidak sedikit: puluhan ribu orang di Sumatera Barat, ratusan ribu di Indonesia. Jadi, argumentasi bahwa poligami penting karena perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki sama sekali tidak keliru, karena itu dapat dipertahankan. “Data Sensus DKI” saja tidak dapat dijadikan pedoman untuk melihat realitas yang sebenarnya.
Pengaruh Kepentingan Luar Islam Di Indonesia tidak hanya poligami yang dimusuhi. Negara tidak menganggap sah perkawinan yang tidak tercatat secara resmi di lembaga pemerintahan, sehingga memungkinkan aparat negara menuduh ummat Islam yang kawin siri telah melakukan zina. Padahal dalam Islam zina tidak terpaut apapun dengan legalitas yang diberikan negara. Nikah mut’ah yang mempunyai dasar sangat kuat dalam Alquran – khususnya tentang nikah dengan ma malakat aimaanukum -- juga dimusuhi dan diharamkan. Bukan hanya oleh negara, tapi juga oleh kalangan ulama Sunni yang menganggap mut’ah sebagai tradisi Syiah, lawan mereka. Dari argumen-argumen penolakan yang dikemukakan, jelas sekali para ulama Sunni hanya mendasarkan pendapat mereka kepada golongan (Syiah), bukan hasil penelusuran yang komprehensif terhadap kandungan Alquran. Tapi kita paham, permusuhan golongan Sunni dan Syiah sudah berlangsung sejak wafatnya Rasulullah, dan sekarang pertikaian itu kembali berdarah-darah di Bumi Saddam: Irak. Dalam suasana bermusuhan yang tidak lagi mengindahkan rasionalitas – bahkan peringatan Allah SWT melalui Alquran --, apapun kebenaran yang dikatakan lawan akan diterima sebagai kesesatan. Padahal Allah SWT berfirman:
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (Ali 'Imran105)
Demikianlah, karena ”kepintaran manusia” akhirnya kemudahan yang diberikan Allah SWT kepada manusia untuk menyalurkan syahwatnya secara ma’ruf jadi tersumbat, menyisakan ruang yang sangat kecil. Larangan14
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
larangan yang dibuat negara dan didukung oleh para pemuka agama secara perlahan tapi pasti menimbulkan citra Islam sebagai agama yang sempit, yang tidak toleran dan tidak mampu menjawab persoalan kemanusiaan. Agama yang hanya membatasi, tapi tidak menawarkan solusi. Mereka yang berusaha mengoreksi akan dicap sebagai golongan sesat, tanpa berusaha melakukan introspeksi siapa sebenarnya yang telah sesat dan menyesatkan. Pemikiran yang mengebiri penyaluran syahwat kini sudah diterima oleh ummat Islam sebagai kebenaran, tanpa sikap kritis. Tidak banyak yang sadar bahwa pemikiran seperti itu berasal dari doktrin gereja abad pertengahan, kemudian menyebar ke seluruh dunia pada zaman Ratu Victoria berkuasa di Inggris. Etika Victorian atau ajaran etis Ratu Victoria dikenal sebagai etika yang sangat menentang poligami dan mengagungkan keabadian/kekekalan hubungan laki-laki dan perempuan. Di Indonesia pengaruh itu tampak pada Pasal 1 UU Perkawinan yang berbunyi: Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Oleh karena merujuk kepada doktrin gereja dan etika Victoria, UU Perkawinan menimbulkan dampak yang tidak jauh berbeda dengan yang ditimbulkan referensinya. Kemunafikan! Sudah menjadi rahasia umum, akibat pengekangan seksual yang dilakukan gereja ummat Nasrani – termasuk para pastur – banyak melakukan penyimpangan. Hubungan seksual di luar ikatan perkawinan jadi alternatif bagi penganut Katolik karena institusi perkawinan dibentuk menjadi berhala sosial yang harus dipuja. Ummat Katolik memang mematuhi larangan berpoligami, tapi sepanjang tidak mengkhianati ikatan perkawinan yang disakralkan itu mereka bebas melakukan perzinahan. Tidak heran jika saat ini populasi orang-orang Barat yang tidak menikah, hanya hidup bersama atau berzina, sangat besar. Mereka melahirkan jutaan anak haram yang kemudian meneruskan tradisi orang tua mereka. Belakangan, bukan hanya UU Perkawinan yang membuat ummat Islam semakin terdesak dalam hal penyaluran syahwat. Perkembangan paham feminis yang mendompleng doktrin gereja mendorong terjadinya kontrol yang lebih ketat terhadap poligami. Kaum feminis menghasut para perempuan muslim untuk tidak menerima poligami dengan argumentasi bias gender dan kekerasan rumah tangga. Padahal, tindakan kekerasan lebih banyak terjadi pada keluarga monogami ketimbang keluarga poligami. Tak banyak kaum perempuan yang sadar bahwa kaum feminis telah menyediakan paket pengembangan homoseksualitas dan prostitusi untuk mengatasi ketertekanan seksual. Kaum feminis, terutama feminis radikal adalah pendukung hak-hak kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transexsual) di seluruh dunia. Mereka juga berjuang untuk dekriminalisasi prostitusi (supaya pelacur tidak dianggap prilaku kriminal) dan menuntut agar bisnis prostitusi dianggap sama dengan bisnis jasa yang lain. Di Indonesia perjuangan mereka berhasil mempopulerkan istilah PSK (Pekerja Seks Komersial), terjemahan dari Sex Worker yang mereka anggap sama dengan penyedia jasa lain seperti guru, perawat, sopir, pelayan restoran, dan sebagainya.
2. Ketaatan kepada Ajaran Agama
15
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Memang benar, syahwat dapat dikendalikan dengan mematuhi ajaran agama. Seseorang yang menyadari bahwa zina adalah perbuatan keji dan dimurkai Allah SWT akan menolak melakukan hal itu. Mereka hanya bersedia menempuh jalan yang diredhoi Allah SWT, kendati jalan itu, seperti poligami, kawin siri atau mut’ah sudah dipersempit atau ditutup oleh negara. Bagi mereka hukuman negara tidak seberapa menakutkan ketimbang hukuman Allah SWT. Bila saja seluruh ummat Islam mempunyai sikap seperti itu, tentu dengan sendirinya praktek zina akan habis dari muka bumi. Ummat Islam akan terbebas dari ekses negatif dari perzinahan seperti lahirnya anak-anak haram, aborsi, bisnis prostitusi dan jual beli perempuan (trafficking), penyebaran penyakit menular seksual (PMS) – termasuk HIV/AIDS yang kini justru menggerogoti jutaan ummat Islam di seluruh dunia. Masalahnya, apakah ketaatan seperti itu sesuatu yang real atau hanya sekedar khayalan? Maraknya perzinaan dan aktivitas pelacuran di negaranegara yang mayoritas penduduknya muslim membuktikan bahwa ketaatan kepada agama patut dipertanyakan. Bahkan dapat dipastikan bahwa ketaatan itu hanya milik sekelompok minoritas muslim yang sungguh-sungguh menyadari akan adanya Hari Pembalasan. Bagaimana dengan mayoritas ummat Islam? Mereka terpecah kepada dua golongan: pertama yang menganggap zina sebagai perbuatan wajar, meskipun mereka tidak melakukannya. Kedua, mereka yang tidak mau tahu lagi dengan peringatan Allah SWT dan memperturutkan hawa nafsu. Kelompok yang terakhir ini adalah pelaku zina, liwath (homoseksual dan lesbian), incest (hubungan seksual dengan orang-orang sedarah), dan bestiality (hubungan seksual dengan hewan). Apakah ada hubungan antara ketaatan dengan aturan-aturan manusia yang mempersempit ruang bagi ummat Islam menyalurkan syahwatnya secara ma’ruf? Beribu-ribu kasus zina dan perkembangan moralitas masyarakat Barat membuktikan hubungan itu tidak mungkin disangkal. Seks adalah kebutuhan syaraf (neuron), sedangkan agama adalah kebutuhan rohani. Ketika syaraf dan rohani berebut untuk dipenuhi kebutuhannya, manusia cenderung lebih mudah mendahulukan kepentingan syarafnya. Mereka mudah melupakan larangan agama, lalu berzina, dan menyesal setelah itu karena kesadaran agamanya pulih. Sebagian mungkin bertobat dan bersumpah tidak akan mengulangi perbuatan kejinya. Namun sebagian lain merasa sudah kepalang basah dan memutuskan untuk tidak berhenti. Zina pada umumnya terjadi ketika dorongan syahwat tidak dapat disalurkan secara ma’ruf, ketika jalan-jalan yang dihalalkan Allah SWT ternyata telah diharamkan oleh manusia. Dorongan syahwat yang secara lahiriah adalah ketegangan syaraf tidak mudah dimanipulasi, tidak dapat dilarikan ke kegiatan-kegiatan lain, melainkan harus dikendorkan dengan melakukan hubungan seksual. Tidak sedikit orang akhirnya mengalami masalah kejiwaan (histeria atau psikoneurotik) karena berusaha menahan dorongan syahwatnya. Jadi dapat dimengerti mengapa Allah SWT tidak menghendaki ummatNya melakukan puasa seks atau selibat, karena hal itu dapat menimbulkan kerusakan fisik. Lagi pula, orang yang sedang menghadapi dorongan syahwat sangat kuat tidak mungkin memusatkan pikirannya kepada kegiatan keagamaan. Ia
16
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
mengalami kesulitan berkonsentrasi dan sering gagal melakukan sholat secara khusyuk.
Rangsangan Seksual Makin Banyak Kini, sejalan dengan perkembangan teknologi media dan komunikasi rangsangan ke pusat syaraf yang menimbulkan dorongan syahwat sudah jadi bagian kehidupan sehari-hari. Berjuta-juta gambar porno dalam bentuk still-photo maupun video tersedia dan dengan mudah dapat diakses dari internet. Televisi menyodorkan gambar-gambar perempuan atau laki-laki yang memicu gairah seksual. Disamping itu jutaan keping CD/DVD porno bertebaran di tengah masyarakat. Industri pornografi berkembang dimana-mana. Penelitian mutakhir mengatakan kini orang Indonesia memproduksi dua film porno sehari, dengan hanya bermodal kamera handphone. Kini video porno dapat pula dikirim-kirim melalui handphone dan dikonsumsi oleh para remaja. Media cetak tidak ketinggalan; tidak sedikit yang menyajikan cerita-cerita sensual berikut gambar setengah erotik. Semuanya meningkatkan keinginan melakukan hubungan seksual. Aktivitas manusia modern yang didominasi oleh penggunaan otak daripada otot ikut jadi penyebab tingginya kebutuhan melakukan hubungan seksual. Ketika seluruh perkembangan tadi dikombinasikan dengan pikiran baru yang ingin mendekonstruksi semua ide dan nilai-nilai lama, muncullah apa yang disebut Revolusi Seksual. Tak dapat kita sangkal, revolusi itu kini tengah melanda Indonesia. Haruskah kita menolak kenyataan seperti itu agar orang tidak berzina? Menolak secara ideologis mungkin bisa dilakukan, namun implementasinya di lapangan nyaris tidak masuk akal. Pornografi telah menjadi bagian dari bisnis raksasa yang beraksi dengan cerdik. Memberantas pornografi boleh dikatakan sebagai kegiatan sia-sia belaka. Justru ada yang menilai, gagasan memberantas pornografi adalah pemikiran mundur dan memalukan. Pemberantasan makin tidak mungkin berhasil kalau kita lihat kaitan industri pornografi dengan industri hiburan yang umumnya berbau syahwat. Industri hiburan seperti diskotik, karaoke, bahkan striptease (tari telanjang) dilegalisasi oleh pemerintah, padahal tempat-tempat seperti itu mempunyai spirit yang sama dengan pornografi. Oleh karena itu fatwa-fatwa agar masyarakat menahan diri akan jadi buih di tengah lautan saja. Bak kata pepatah, “anjing menggonggong, khafilah tetap berlalu”. Artinya, tidak akan ada yang mendengarkan. Berpacu di lumpur syahwat sudah jadi bagian hidup manusia modern, koridor depan Revolusi Seksual yang sedang bergolak.
Alquran Tetap Mampu Menjawab Masih berdayakah agama menangkal dampak negatif revolusi seksual? Masih mampukah Alquran memberikan jawaban untuk menyelamatkan ummat Islam dari zina yang dianggap halal dalam revolusi tersebut? Kecuali anda sudah jadi kafir, anda pasti masih percaya bahwa ide-ide dan petunjuk yang terkandung dalam Alquran tidak akan pernah kalah menghadapi Revolusi Seksual. Alquran diturunkan Allah SWT untuk pedoman
17
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
kita hingga akhir zaman, masa yang sudah dalam pengetahuan Allah SWT tentang apa yang terjadi saat itu. Revolusi Seksual berhasil melanda generasi kita tidak lain karena pada saat yang sama kita sudah mengabaikan Alquran. Pada saat yang sama kita menoleh pada doktrin yang menyembunyikan ide-ide gerejani atau atheisme dibelakangnya, sehingga akhirnya anak-anak, bahkan diri kita sendiri menjadi korban. Kesalahan lain, kita terlalu percaya pada figur tokoh yang terkesan sebagai orang saleh, ulama berilmu tinggi, tanpa berusaha mengkritisi kebenaran pendapatnya. Asal ia lancar berbahasa Arab, pernah sekolah di Mesir atau Arab Saudi, aktif di organisasi keagamaan besar, kita langsung yakin pendapatnya benar. Padahal, tidak sedikit diantara mereka yang Snoucker (seperti Snouck Horgronje), ibarat musang berbulu domba: di luar kelihatan baik, didalamnya sangat jahat dan menyesatkan. Tidak sedikit pula diantara mereka yang mengandalkan kemampuan melafaskan ayat-ayat Alquran untuk memutarbalikkan ajaran Islam, baik karena keinginan pribadi maupun atas pesan sponsor tertentu. Tidak semua orang Arab itu di pihak kita, karena banyak juga orang Arab yang Nasrani dan bermaksud jahat terhadap kaum muslimin. Abu Lahab juga orang Arab, dan Allah SWT sudah menjanjikan neraka untuknya. Sikap tidak kritis kita, antara lain karena terlanjur mengambil jarak dengan Alquran, menyebabkan kita mudah ditipu dan disesatkan. Allah SWT memperingatkan,
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan RasulNya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). (At-Taubah:107)
Allah SWT telah membuka jalan-jalan penyaluran syahwat sedemikian rupa agar ummat Islam tidak terjatuh ke lembah zina. Demikian luasnya rahmat Allah, sehingga untuk menuduh orang berzina pun harus melalui pembuktian yang rumit dan kadangkala tidak mungkin dilakukan. Singkatnya, Allah SWT memang membenci zina, tapi Dia tidak zalim dengan syahwat yang diberikannya, untuk itu Dia memberikan kelapangan kepada ummatNya supaya larangan zina tidak dilanggar. Namun, kini kenyataan pahit yang diawali upaya segelintir manusia mempersempit “wilayah” yang telah dihalalkan oleh Allah SWT harus kita hadapi bersama. Ummat Islam yang jatuh ke lembah zina makin hari makin banyak. Perempuan-perempuan muslim berusia muda terpaksa aborsi karena hamil di luar nikah, sementara penyakit menular seksual menghinggapi banyak ummat Islam. Akibat adanya aturan (manusia) yang ketat 18
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
terhadap mekanisme penyaluran syahwat, terjadilah pemberontakan moral. Mereka yang memerlukan hubungan seksual, tapi tidak kuasa menentang aturan yang berlaku, secara diam-diam melakukan zina. Ironisnya, setelah zina marak dimana-mana, tak seorang atau tak satu lembaga pun di negara ini yang merasa bertanggungjawab. Sikap mereka hanyalah menyalahkan pelaku zina, menangkapi, mempermalukan atau memenjarakan tanpa kemauan sedikit pun mengevaluasi perbuatan mereka terhadap masyarakat. Apakah bukan sikap dan tindakan seperti itu yang dikatakan zalim?
4
Belajar dari Kekeliruan
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al Maa'idah:87)
K
ini tingkat perzinaan di kalangan ummat Islam sudah sedemikian rupa. Ribuan orang yang terlahir sebagai muslimah mengais rezeki dari melacurkan diri, baik sebagai profesional kelas kambing maupun kelas atas, atau sebagai pelacur amatiran. Ribuan laki-laki muslim berzina dengan mereka. Ribuan pula perempuan muslimah hamil di luar nikah, kemudian karena malu mereka menggugurkan kandungan dan membuang janin begitu saja. BKKBN mengatakan 2,6 juta aborsi terjadi setiap tahun, atau 300 aborsi per jam. Memang, diantara aborsi itu adalah perempuan yang mengalami gagal KB, tapi ratusan ribu diantara mereka adalah remaja yang belum menikah. Usaha untuk mengatasi zina bukan tidak ada. Ada aturan hukum, ada perda anti-maksiat. Perempuan-perempuan ditekan agar menggunakan pakaian yang “sopan”, berjilbab, berbaju longgar, dengan asumsi pakaian mereka membuat syahwat laki-laki jadi tidak terkendali. Perempuan jadi tumpuan kesalahan, dianggap iblis yang menyesatkan manusia (laki-laki) ke lembah zina. Di tingkat masyarakat, warga sangat sensitif dengan prilaku yang mengarah kepada zina di lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka lalu mematamatai tempat tertentu, kemudian mendobrak rumah yang dicurigai didalamnya ada orang berzina. Mereka tidak peduli peringatan Allah SWT agar masuk ke rumah orang setelah mendapat izin dari pemiliknya (An Nuur: 27). Tidak! Mereka seperti perampok yang tidak sabaran. Kemudian, jika mereka tidak menemukan bukti perzinahan sebagian dari mereka akan menga19
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
rang cerita supaya yang tidak ada jadi ada, yang tidak terbukti jadi terbukti. Mereka berdalih semua dilakukan “demi moral”, padahal Khalifah Umar bin Khatab saja sangat berhati-hati menuduh orang berzina. Ironisnya, tindakan seperti itu seringkali disaksikan dan dibenarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat yang dikenal alim dan tahu agama. Mereka tidak berusaha mencegah warga mengingkari perintah Allah SWT, malah ada pula yang menghasut agar kemungkaran itu dilakukan sambil membawa-bawa nama Allah. Kurangnya pengetahuan warga terhadap firman Allah SWT yang berkelindan dengan perasaan cemburu dijadikan sumber keuntungan pribadi oleh sebagian tokoh. Sementara itu sejak bertahun-tahun lalu tiap sebentar kita disuguhi berita oleh surat kabar atau televisi tentang penggrebekan hotel yang dicurigai jadi tempat zina, penangkapan pasangan “yang berzina”, atau penggarukan pelacur yang berkeliaran mencari mangsa. Aparat penggrebek kemudian tampil di media dengan perasaan puas dan bangga. Mereka berusaha meyakinkan masyarakat telah memberantas maksiat sesuai dengan perintah Allah SWT. Tapi tidak pernah jelas, perintah yang mana. Apa hasilnya? Tindakan itu tidak lebih dari perbuatan sia-sia, mubazir, namun tetap juga dilanjutkan demi citra “anti maksiat” yang diperlukan untuk suatu kedudukan politis. Zina tidak pernah berhenti, pelacur semakin banyak, aborsi juga menjadi-jadi. Anak-anak haram juga makin banyak. Tiap tahun orang-orang yang kena penyakit kotor dan berbahaya karena zina (GO, Sipilis, HIV/AIDS) terus bertambah. Anak-anak muda yang seharusnya sudah menikah tapi terbentur aturan sosial (masih sekolah, belum bekerja, harus membiayai adik, dsb.) makin berani melakukan hubungan seks bebas. Sebuah survei yang dilakukan oleh pengamat kesehatan reproduksi remaja Dr Boy Abidin SpOG di Jakarta bulan Mei 2007 menemukan 22,6% penyebab kehamilan remaja adalah seks bebas (detik.com). Sementara penelitian Dinas Kesehatan Sukabumi pada tahun yang sama menemukan pelajar Kota Sukabumi yang melakukan seks bebas lebih kurang 30% (Hidayatullah.com). Pendek kata, pemberantasan jadi pekerjaan tak berguna, padahal telah menghabiskan uang sangat banyak, yang seyogianya dapat digunakan untuk kemaslahatan lain. Tindakan aparat yang brutal bukannya membuat orang takut berzina, tapi mencoreng muka seluruh ummat Islam yang dinilai tidak punya sopan santun, tidak punya kecerdasan, kasar atau brutal. Penilaian itu tidak terlalu keliru, karena memang peringatan Allah SWT pada ayat 27 Surat An Nuur diabaikan secara terang-terangan. Mengapa tindakan pemberantasan maksiat yang penuh semangat itu tidak ada hasil sama sekali? Kita memang manusia yang sombong dan merasa mampu, tidak mengakui kelemahan kita. Allah SWT sudah memberikan jalan yang terbaik kepada ummatNya agar mereka tidak berzina, tapi kita mengabaikan dan membuat aturan-aturan yang memperturutkan hawa nafsu. Pemahaman yang keliru terhadap Alquran telah mendorong orang-orang yang punya kekuasan mengatur prilaku ummat mengabaikan rahmat Allah SWT dan mengharamkan apa yang dihalalkan. Mereka buat aturan yang menyebabkan kelapangan yang diberikan Allah SWT berubah jadi kesempitan. Apa yang dihalalkan berubah jadi setengah halal bahkan haram dan, kemudian dianggap sebagai kejahatan. Mereka lebih mendengarkan tuntutan ka-
20
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
um feminis yang berusaha keras menyesatkan ummat Islam ketimbang menelaah dengan obyektif firman-firman Allah SWT. Media, perbaikan gizi, perubahan pola kerja dari otot ke otak, mobilitas yang makin tinggi sangat berpengaruh pada dorongan syahwat manusia. Mereka makin memerlukan seks untuk meredakan ketegangan syaraf. Hal-hal yang manusiawi inilah yang tidak dipedulikan lagi. Peraturan yang tidak peduli pada kebutuhan manusia menyebabkan banyak orang memilih zina ketimbang memenuhi kebutuhan syahwatnya secara halal. Jalan halal terlalu sulit untuk mereka tempuh. Tidak ada jalan lain untuk menghindari zina, kecuali kembali kepada perkataan Allah SWT dalam Alquran. Ini harga mati! Jika tidak, marilah kita tanggung akibatnya yang sangat buruk.
21
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Bab 2
MENIKAH BAGI PEREMPUAN 1
T
Tak Menikah = Masalah ?
idak sedikit perempuan yang merasa risih, bahkan rendah diri karena tidak menikah. Dalam pandangan masyarakat usianya sudah tinggi atau sudah cukup lama menjanda. Mereka gelisah lantaran sering dipojokkan sebagai perempuan yang tidak laku dan tidak berharga di mata laki-laki. Seorang perempuan muda bernama Winda mengaku sudah lama tidak pulang ke rumah orang tuanya karena alasan pernikahan itu. Setiap ia pulang, orang tuanya pasti bertanya kapan menikah. Ia tidak bisa menjawab, sebab tidak tahu akan menikah dengan siapa. Seumur hidup ia belum pernah punya pacar, dan tidak pernah pula didekati seorang laki-laki dengan niat hendak berpacaran. Perempuan lain, Astuti, usia 32 tahun, dengan nada putus asa menyatakan, ”Mungkin saya tidak akan pernah kawin seumur hidup.” Mengapa? Ketika berusia 22 ia dihamili salah seorang dosennya, dan ditelantarkan begitu saja. Dengan seorang anak berusia 9 tahun Astuti punya status yang tidak jelas: perawan bukan, janda juga bukan. Hanya keajaiban yang akan mengantarkannya pada seorang laki-laki berjiwa besar yang bisa menerima keadaannya. Ia terpaksa pasrah sebagai perempuan yang tidak terjamah laki-laki secara semestinya. Tapi ada pula perempuan yang tegas-tegas mengatakan tidak akan menikah seumur hidup. Shinta, perempuan berusia 30 tahun dan berparas manis itu tidak sudi dijajah kaum laki-laki dalam institusi rumah tangga. Sikapnya kasar terhadap laki-laki yang berusaha mendekat. Orang menggosipkannya lesbian, tapi ia membantah keras anggapan itu. “Aku orang beragama!” katanya. Tidak seperti Shinta, Eka memutuskan untuk hidup membujang setelah mengalami perdebatan sengit dalam dirinya. Manejer sebuah bank terkenal itu pernah ingin berumah tangga, jadi istri dan ibu dari anak-anak yang lucu. Ia pun menjalin hubungan asmara dengan seorang laki-laki berkarir bagus. Tapi ia membatalkan sendiri segala rencana pernikahan lantaran takut karirnya bakal terganggu. Ia tidak yakin dapat menjadi ibu rumah tangga yang baik sekaligus menjadi wanita karir yang sukses. Berbeda dengan Shinta, Eka tidak membenci rumah tangga. Ia respek kepada perempuanperempuan yang mau meninggalkan karir demi suami dan anak-anak. Lain lagi dengan yang sebaya dengannya, sebut saja Tantri. Ia janda cerai. Rumah tangganya bubar karena suami minggat dengan perempuan
22
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
lain. Tantri sakit hati dan bersumpah tidak akan kembali berumah tangga. Kini ia memenuhi kebutuhan seksualnya dengan tidur bersama sejumlah lakilaki yang tergila-gila kepada kemolekan tubuhnya. Banyak orang mencibirkan sikapnya dan diam-diam menyebutnya pelacur. Dari kasus-kasus diatas kita melihat ada masalah yang cukup kompleks dalam kasus perempuan yang tidak kawin. Winda tidak kawin karena tidak ada laki-laki yang akan mengawini, Astuti terperangkap dalam status yang tidak jelas, Eka lebih mencintai karir, Shinta punya pandangan miring terhadap institusi rumah tangga, dan Tantri mengalami trauma kegagalan. Pertanyaan kita, haruskah mereka ”dipaksa” untuk menikah supaya tidak terpojok terus-menerus dalam pandangan masyarakat? Apakah mereka tidak punya hak untuk berpikir realistis dan mempunyai pandangan sendiri tentang lembaga perkawinan? Winda bukan tidak ingin kawin. Ia ingin jadi istri, seperti kebanyakan perempuan lain. Masalahnya, ia harus bersikap realistis dengan kondisi fisiknya yang tidak begitu menarik bagi laki-laki. Hanya laki-laki ”tersasar” yang akan menjatuhkan pilihan kepadanya, sebab demikian banyak perempuan lain yang lebih cantik dan menarik. Astuti juga harus bersikap realistis, karena itu ia tidak ingin dibunuh oleh angan-angan yang – menurut dia – tidak mungkin jadi kenyataan. Dalam ungkapan yang mirip dengan di atas, hanya laki-laki ”tersasar” yang mau menjadikannya istri. Punya anak luar nikah, atau anak zina, adalah aib besar, yang dijadikan dasar menilai Astuti sebagai perempuan jalang. Padahal, kata Astuti, ia diperdaya dengan minuman, kemudian disetubuhi. Hanya satu kali, namun peristiwa tunggal itu pulalah yang merubah seluruh jalan hidupnya. Menyadari keadaan dirinya, Astuti tidak mau membayangkan dirinya menjadi istri seseorang. Eka juga bersikap realistis dalam kondisi yang berbeda. Kalau Astuti terpaksa realistis, Eka secara sadar memelihara sikap seperti itu dalam dirinya. Ia tidak ingin ada yang jadi korban karena keinginannya memburu karir. Jika ia terus bekerja, tak mungkin ia dapat melayani suami dengan baik, dan jika punya anak, ia tak mungkin jadi pengasuh yang benar. Seperti dialami Shinta, ia juga difitnah sebagai perempuan lesbi. Ada juga yang mengatakan ia membatalkan pernikahan karena takut ketahuan sudah tidak perawan lagi. Shinta berada pada kubu yang lain. Ia idealis, tidak bersikap realistis. Tidak sedikit laki-laki yang mengincar karena sosoknya yang sensual. Tapi ia terpengaruh oleh pikiran yang memandang negatif rumah tangga, persis seperti yang sering ditiup-tiupkan kaum feminis Barat. Ia memang sering membaca referensi yang terkait dengan gerakan feminis. Karena itu Shinta setuju pada pikiran yang menganggap rumah tangga sebagai ”barak yang menyenangkan” atau sangkar emas. Dengan dasar berbeda, Tantri punya pandangan yang sama dengan Shinta. Ia tidak tahu apa-apa tentang teori feminis. Sikapnya terbentuk karena pengalaman langsung. Perempuan-perempuan yang kita bahas di atas adalah representasi ribuan perempuan di Indonesia, bahkan di dunia yang hidup melajang. Kesempatan, pandangan, dan trauma berpilin-pilin dibalik fenoma jomblo tersebut. Namun, apapun alasannya, akhirnya semua terjebak dalam masalah kemanusiaan yang hakiki: pemenuhan kebutuhan seksual.
23
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
2
S
Mengapa Perempuan Kawin?
eks memang hanya salah satu alasan mengapa perempuan mau dan ingin menikah. Keseluruhan, setidaknya ada enam alasan di balik pilihan itu:1) ingin mendapatkan pasangan seksual tetap dan sah; 2) mendapatkan keturunan; 3) meningkatkan status; 4) meningkatkan pendapatan; 5) mendapatkan perlindungan fisik, sosial, dan psikologis; 6) beribadah. Namun seks paling lazim menjadi sumber perpecahan: ketidakpuasan yang diikuti perselingkuhan terbukti telah menyebabkan terjadinya beribu-ribu kasus perceraian. Perempuan yang percaya bahwa hubungan seks hanya boleh dilakukan dalam ikatan perkawinan mendambakan suami untuk mendapatkan seks yang halal. Mereka harus lebih dulu merubah status dari lajang kepada istri sah sebelum melakukan hubungan seks, sehingga jadi istri akhirnya menjadi dambaan. Karena itu suami menjadi bagian dari fantasi seksual mereka. Keturunan paling sering dijadikan alasan bagi perempuan menaiki tangga pernikahan. Dorongan keluarga, masyarakat dan takut hidup kesepian di hari tua saling tumpang tindih mendorong perempuan mendambakan dan mencari jodoh. Meskipun sebenarnya anak bisa saja diperoleh di luar lembaga perkawinan, mereka tidak menempuh jalan itu karena menginginkan anak yang sah secara hukum. Perempuan yang mendambakan anak lebih siap menghadapi laki-laki yang tidak begitu bagus potensi seksualnya, tapi masih sanggup membuahi. Status istri juga didambakan oleh perempuan yang ingin meningkatkan status dari warga biasa menjadi warga yang lebih terhormat. Alasan inilah yang menyebabkan perempuan memilih suami dari keluarga-keluarga terpandang, ningrat, atau punya status sosial tinggi dalam masyarakat modern. Mereka berharap dengan mengawini laki-laki dari keluarga terpandang status keluarganya juga terangkat. Dalam alasan ini seks mungkin tetap penting, karena hal itu manusiawi, tapi mengalahkan keinginan mendapatkan status sosial tertentu. Oleh sebab itu, mengawini laki-laki yang potensi seksualnya sudah menurun lantaran usia tidaklah jadi masalah besar. Mirip dengan alasan kedua, adakalanya perempuan bersedia dinikahi lakilaki karena pertimbangan harta. Kemewahan hidup dan warisan menjadi target utama. Kadang mereka tidak berharap banyak untuk mendapatkan kenikmatan seksual dari suami, karena dengan harta yang berlimpah mereka dapat mencari kepuasan seksual dari laki-laki lain secara rahasia. Alasan keempat bersifat platonik. Perlu diakui, tidak sedikit perempuan yang bersifat dependen, tergantung kepada laki-laki dalam banyak hal. Mereka merasa tidak berdaya kalau tidak didampingi seorang laki-laki yang sanggup memberikan perlindungan fisik, sosial dan psikologis/emosional. Perlindungan ini juga dirasakan lebih penting dibandingkan seks, tapi tidak berarti seks boleh diabaikan begitu saja sepanjang masih memungkinkan. Perempuan-perempuan tua biasanya mempunyai alasan seperti ini ketika mereka menikah atau menikah lagi. Sebagian kecil perempuan menikah dengan alasan ibadah, pengabdian kepada Tuhan. Alasan seperti ini lazim dijumpai di kalangan aktivis kelompok keagamaan tertentu, sekalipun kitab suci mereka tidak pernah mewajibkan 24
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
perempuan menikah. Kelompok mereka menjadikannya wajib karena perempuan-perempuan diposisikan sebagai ”mesin beranak” yang akan memproduksi kader-kader jihad. Pada prakteknya, jarang perempuan kawin dengan alasan tunggal. Umumnya mereka punya dua, tiga atau empat alasan sekaligus, seperti seks, keturunan, dan perlindungan. Atau seks, keturunan, ibadah, dan perlindungan. Seks mungkin muncul pada gugus alasan tertentu, tapi mungkin juga tidak muncul sama sekali, seperti pada alasan-alasan platonik. Uniknya, pemenuhan kebutuhan seksual jarang diakui secara terusterang sebagai tujuan utama perkawinan. Padahal sangat sering kita dengar adanya rumah tangga yang retak gara-gara ketidakpuasan seksual. Suami berselingkuh dengan pembantu, pelacur, atau teman sekantor, meniduri anak tiri atau anak kandung, sementara istri berzina dengan pemuda tetangga, teman sekantor atau atasannya. Kita dengar juga ada pasangan suami istri selalu bertengakar dan akhirnya bercerai karena suami impoten atau penis tidak sanggup ereksi lama, dan sebagainya. Pendeknya, seks menjadi suatu yang sangat penting dalam perkawinan, khususnya bagi pasangan yang masih mempunyai potensi seksual. Namun masyarakat, dengan segala kemunafikan berusaha memanipulasi dorongan seksual atau praktik hubungan seksual dalam kata-kata yang perlu ditafsirkan agar dapat dimengerti. Misalnya, melakukan hubungan seks (coitus) ”dihaluskan” dengan kata bergaul. Kenikmatan seksual dimanipulasi jadi kebahagiaan rumah tangga. Penghalusan ini memang terasa lebih sopan dan beradab dalam citarasa bahasa tertentu, tapi sekaligus memperlihatkan rendahnya tingkat kejujuran dalam melukiskan sebuah aktivitas yang sesungguhnya sangat lazim dan alamiah.
3
M
Hak Seksual yang Diberangus
anipulasi bahasa mempunyai peranan penting dalam mendidik orang, terutama kaum perempuan, agar menyembunyikan hasrat seksualnya. Dalam banyak komunitas hingga kini ekspresi seksual yang terbuka tetap dianggap sebagai pelanggaran atas kesopanan. Perempuan tetap tidak diharapkan menyampaikan keinginan seksualnya dengan kata-kata lugas dan jujur kepada pasangannya, hanya boleh menggunakan isyarat, itupun dalam ruang dan waktu yang khusus. Banyaknya rintangan budaya yang dibuat agar ekspresi seksual tidak muncul secara bebas pada gilirannya menyebabkan perempuan kehilangan alat untuk mempertanyakan hak-hak seksual mereka. Mereka terperangkap dalam aturan-aturan dan tabu yang telah ditetapkan ratusan tahun lalu. Sebagian memang berusaha keluar dari kungkungan dengan menyatakan keinginannya atas laki-laki secara terbuka, dengan resiko dituduh sebagai perempuan tidak berbudi, gatal, atau genit. Sebagian lagi dituduh menyukai sesama perempuan (lesbian) atau frigit ketika mereka secara terbuka pula mengatakan tidak ingin bersuami. Mereka diperlakukan sebagai orang yang menggunakan ’alat bicara’ yang ditetapkan bukan sebagai hak mereka. Dengan adanya batasan-batasan dan tabu itu, hingga kini masih terasa ganjil jika ada perempuan memutuskan untuk tidak menikah atau
25
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
menikahkan diri sendiri. Padahal, perempuan mempunyai hak untuk memilih salah satu dari kedua bentuk keputusan itu. Pemberangusan hak perempuan berjalan seiring dengan kemauan mendorong perempuan hanya memilih satu jalan dalam hidupnya: dinikahkan (dengan persetujuan pihak kerabat/wali). Karena itu kawin paksa dianggap sah. Mendesak perempuan yang ingin membujang untuk menikah juga soal biasa, tanpa peduli konflik batin yang dihadapi perempuan tersebut. Sementara persetujuan wali diletakkan sebagai unsur sangat penting sebelum pernikahan terjadi, karena perempuan dianggap tidak mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Bukan pula karena syariat agama yang hakiki, tapi syariat yang dibuat-buat secara berlebihan. Masalah wali ini akan dibahas lebih jauh pada Bagian 3. Peran wali yang sangat besar ini agak mengherankan. Pasalnya, dalam Alquran tak terdapat sepotong ayat pun yang mewajibkan sebuah pernikahan harus melalui persetujuan wali. Hanya ada tiga ayat yang merujuk kepada wali nikah, yaitu Al Baqarah 232, 234 dan 237, sbb.:
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (2:232)
Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteriisteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (2:234)
26
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteriisterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (2: 237)
Ayat 2:232 memberi peringatan kepada manusia (tidak digunakan kata auliyaa tapi diterjemahkan sebagai para wali, dan tidak jelas siapa mereka) agar tidak menghalangi perempuan janda menikah kembali. Ayat 2:234 mengulangi peringatan pada ayat sebelumnya. Sedangkan pada ayat 2:237 menjadi semakin tidak jelas lagi kedudukan wali. Tapi mengapa kemudian wali jadi syarat wajib dalam pernikahan? Dasarnya tidak lain adalah kitabkitab yang dibuat oleh manusia sebagai hasil interpretasi atas firman Allah SWT, bukan Alquran, dan hukum wajib adanya persetujuan wali itu mempunyai kecenderungan politis, mengada-adakan sesuatu yang tidak pernah ada (tidak pernah diwajibkan), dan karena itu sangat sulit dipertanggungjawabkan di hadapanNya. Sebagian orang boleh saja berpendapat bahwa persetujuan wali itu ada pada ayat 25 Surat AnNisaa yang berbunyi faankihuhunna biizni ahlihinna (diterjemahkan sebagai ‘kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka’). Tapi harus diingat, perintah itu tidak berlaku umum, melainkan khusus untuk nikah dengan perempuan ma malakat aimanukum (lit: yang ada dalam genggaman tangan kananmu). Oleh karena Allah SWT menggunakan kata ahl, bukan auliyaa (seperti pada surat 10:62, 3:28, 4:144, 9:23), maka penetapan siapa sebenarnya orang itu, dan apa hubungannya dengan individu ma malakat aimanukum harus dilakukan secara hati-hati. Kata ahl dapat sama sekali tidak mengacu kepada diri seorang tuan atau induk semang, tapi pada ‘diri’ yang lain, atau dirinya sendiri karena ia tidak mempunyai majikan atau tuan. Secara mengherankan, ketentuan yang samar-samar ini sering menjadi batu sandungan bagi perempuan untuk menikah. Tanpa persetujuan wali, baik dalam soal asal-usul calon mempelai pria, tata cara melamar, hari pernikahan, besaran mahar, sebuah pernikahan bisa batal. Wali dapat menompangkan berbagai kepentingan yang memberatkan perempuan, namun menguntungkan bagi wali tersebut. Kalaupun si perempuan bersikeras tidak mematuhi ia harus siap berhadapan dengan berbagai konsekuensi. Dasar hukum wajib adanya wali adalah hadits dan tafsir. Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a.: Rasullullah SAW bersabda, “Tidak 27
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
sah pernikahan yang tanpa wali; dan penguasa menjadi wali bagi yang tidak memiliki wali” (Musnad Ahmad I/250). Ibnu Taimiyah mengatakan, “Wanita yang tidak memiliki wali, namun di kampung atau desa tempat tinggalnya terdapat wali hakim, maka dialah yang berhak menikahkannya (menjadi walinya). Jika disana terdapat penguasa yang ditaati, maka hendaklah dia menikahkannya setelah ia sendiri setuju si penguasa itu sebagai walinya”. Bila diteliti secara mendalam hadis yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) maupun fatwa (opini) Ibnu Taimiyah tidak bebas dari persoalan. Tidak ada kejelasan dari siapa Imam Hanbali mendapatkan kalimat ucapan Ibu Abbas r.a., padahal penjelasan ini sangat penting untuk mengetahui otentisitas sebuah hadits. Imam Hambali lahir di Bagdad pada Rabiulakhir 164 H/Desember 780 dan meninggal Rabiulawal 241 H/Juli 855 M. Sementara (Abdullah) Ibnu Abbas lahir 3 th Sebelum Hijriah, wafat dalam usia 71 tahun pada tahun 68H. Dengan demikian antara Imam Hanbali dengan Ibnu Abbas terkait usia 167 tahun. Imam Hambali baru lahir setelah Ibnu Abbas meninggal 96 tahun sebelumnya. Jelas, mereka tidak pernah bertemu dan terpisah setidaknya oleh lima generasi (kalau dihitung tiap generasi 20 tahun). Sementara Ibnu Taimiyah lahir 10 Rabiul Awwal 661 H (1263) dan wafat (20 Dzulhijjah 728 H (1328). Saking jauh jarak masa hidupnya dengan Ibnu Abbas maupun Imam Hanbali, jangankan mampu menggambarkan wajah Ibnu Abbas dan Imam Hanbali dengan benar, dalam membayangkannya pun Ibnu Taimiyah akan merasakan kesulitan yang sama dengan kita yang hidup di abad ke-21. Mengingat begitu jauh jarak waktu antara masa hidup Imam Hanbali dan Ibnu Taimiyah dengan Rasulullah tentulah sangat riskan menjadikan fatwa mereka sebagai dasar hukum. Namun anehnya, kita yang hidup di abad ke21 menganggap fatwa keduanya sebagai sebuah hukum yang berlaku mutlak.
4
K
Wajib Jadi Istri = Mengada-ada ?
asus-kasus yang saya kemukakan di awal tulisan ini menegaskan betapa kaum perempuan tidak punya banyak pilihan, khususnya dalam perkawinan. Ketika seorang perempuan memutuskan untuk tidak menikah ia dihadapkan kepada berbagai sangkaan yang menyakitkan. Tidak ada penghargaan terhadap pilihan itu, kendati sangat rasional. Namun ketika seorang perempuan menyediakan diri untuk menikah, seperti Astuti, ia ditolak dengan alasan punya anak di luar nikah, oleh sebab itu – menurut masyarakat -- pastilah ia perempuan bejad. Perempuan hanya boleh dinikahkan, bukan menikah yang bisa berkonotasi menikahkan diri sendiri. Dengan demikian, hak perempuan untuk menikah atau tidak menikah adalah hak yang ditentukan oleh manusia, bukan Allah SWT. Sebuah kekeliruan yang telah berlangsung ratusan tahun! Kasus Astuti makin banyak sejalan makin maraknya perzinahan di tengah masyarakat. Namun tetap saja belum sebanding dengan kasus Winda yang
28
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
secara moral tidak punya salah apa-apa. Orang-orang seperti Winda menjadi korban tidak imbangnya perbandingan populasi laki-laki dan perempuan: lakilaki lebih sedikit sehingga dapat memilih. Winda dan rekannya senasib makin terpojok karena poligami terlanjur dianggap sebagai perbuatan tercela. Setiap ummat Islam seharusnya tahu bahwa poligami tidak tercela, halal, meskipun pada prakteknya sangat berat. Akibat ”pengharaman” terhadap poligami, Winda dan rekan senasibnya kehilangan kesempatan jadi istri kedua atau ketiga setelah harapan jadi istri pertama sudah sangat tipis. Akhirnya kaum perempuan terjepit dalam posisi yang sangat dilematis: membujang salah, bersedia menikah tidak ada pasangan. Mereka dizalimi oleh keadaan. Ketika pilihan untuk membujang dihujat, perkawinan langsung jadi ”wajib” bagi perempuan. Memang bukan kewajiban agama, karena Allah SWT tidak pernah mewajibkan hal itu kepada individu, tapi kewajiban kultural atau kewajiban yang berdasarkan kepada fiqih tanpa hujjah yang jelas. Allah SWT hanya mewajibkan kepada ummat Islam secara keseluruhan dalam firmanNya yang berbunyi:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hambahamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (An Nuur:32)
Kenapa dikatakan wajib? Surat An-Nuur dimulai dengan peringatan yang keras:
(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya. (An Nuur:1)
Artinya, masyarakatlah yang mempunyai kewajiban dan tanggungjawab kepada Allah SWT untuk mengawinkan orang-orang yang telah pantas kawin, tidak membiarkan mereka hidup dalam kesendirian. Masyarakat tidak boleh menjadi penghalang bagi dua insan yang ingin melakukan hubungan seksual secara sah, dengan alasan diluar ketentuan Allah SWT. Sementara orangorang yang sendirian itu tidak dibebani tanggungjawab setara dengan yang diberikan kepada masyarakat. Tanggungjawab individu hanya konsekuensi dari perintah yang disampaikan Allah SWT kepada masyarakat atau ummat Islam disekitarnya. Dengan demikian kawin bukanlah perintah yang keras atau kewajiban bagi individu, dan bagi perempuan tidak ada kewajiban untuk menjadi seorang istri. Meskipun demikian kesediaan menjadi istri (kalau ada calon suami yang disukai) tetap dipandang sebagai pilihan yang lebih baik dibandingkan 29
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
membujang. Dengan menjadi istri seorang perempuan telah membantu masyarakat menjalankan sebagian dari kewajibannya melaksanakan perintah Allah SWT. Maka jelaslah, pelecehan atau pandangan miring terhadap perempuan yang membujang tidak bersandar kepada firman Allah SWT. Memojokkan perempuan membujang dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang berlebih-lebihan. Dapat pula dikatakan sebagai pengalihan kewajiban secara semena-mena dari masyarakat ke individu perempuan. Kesemena-menaan makin terlihat ketika kewajiban itu dibebankan di tengah-tengah sulitnya mendapatkan suami akibat sedikitnya laki-laki dibandingkan perempuan. Kewajiban perempuan menjadi istri, yang adakalanya berbuah kawin paksa, datang dari masyarakat yang menetapkan hukum-hukum sosial lebih penting daripada hukum agama, tanpa ada keinginan untuk bersikap lentur terhadap kondisi yang sedang dihadapi. Tak ada pula keinginan memikirkan jalan keluar yang sesuai dengan zamannya. Alquran yang seharusnya menjadi pedoman dalam menetapkan hukum-hukum sosial justru diabaikan, atau didustakan (dimanipulasi). Pada sisi lain, masyarakat juga adakalanya melakukan persekongkolan untuk mempersulit pernikahan dengan menetapkan berbagai syarat yang tidak pernah difirmankanNya. Untuk apa lagi semua itu kalau bukan untuk memperlihatkan kekuasaan kepada orang-orang yang sedang membutuhkan? Syarat yang bermacam-macam akhirnya menambah sempitnya ruang gerak bagi perempuan, membuat mereka semakin terjepit. Sangat disayangkan, terhadap kewajiban sosial yang berlebihan dan salah kaprah ini para ulama cenderung diam atau tidak menunjukkan sikapnya. Padahal masyarakat sangat memerlukan penjelasan mereka bahwa dalam Islam perempuan dapat memilih: jadi istri atau tidak jadi istri/membujang. Tentu saja setiap pilihan mempunyai konsekuensi sendirisendiri bagi individu perempuan maupun masyarakat.
5
P
Tak Bersuami, Seks dengan Siapa?
erempuan membujang/tak bersuami sering dipandang dengan rasa kasihan sebagai makhluk yang tidak punya kesempatan menyalurkan syahwatnya. Ada juga yang memandang mereka sebagai makhluk yang menyia-nyiakan farji (vagina) dan rahim yang telah diberikan Allah SWT kepada mereka. Lebih hebat lagi, mereka dinilai sebagai orang-orang yang tidak punya kepribadian baik sehingga tidak disukai laki-laki, bahkan kena kutukan, atau berpotensi mengganggu rumah tangga orang lain dan berzina untuk menyalurkan syahwatnya. Pendek kata, berbagai keburukan dituduhkan kepada mereka. Apapun penilaian masyarakat, itulah realitas pahit yang harus dihadapi perempuan lajang. Masyarakat tidak mau tahu apa sebabnya seorang perempuan membujang: apakah karena kemauan pribadi atau karena sebab-sebab sosiologis dan politis yang memperkecil kesempatan bagi perempuan untuk bersuami? Tentulah benar, perempuan lajang menghadapi masalah dengan penyaluran syahwat secara normal, legal dan halal karena ia tidak punya
30
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
suami. Apalagi di tengah masyarakat yang hanya memberikan satu pilihan, yaitu menjadi istri, agar bisa menyalurkan syahwatnya tanpa celaan. Tidak ada lagi pilihan di luar itu. Pikiran demikian sejalan dengan ’hukum wajib bersuami’ atau ’hukum wajib kawin’ yang tadi kita bicarakan. ’Hukum wajib bersuami/kawin’ itulah yang perlu dikritisi dan digugat. Bagaimana mungkin perempuan dapat bersuami atau kawin ketika jumlah perempuan jauh melampaui laki-laki dan poligami dipersulit? Apakah tidak ada alternatif lain bagi perempuan selain bersuami agar dapat menikmati seks secara halal? Disinilah nikah mut’ah atau nikah temporer dapat tempat yang sangat penting. Allah SWT melalui lebih kurang 10 ayatnya yang tersebar dalam 5 surat telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi kita untuk menerima mut’ah sebagai jalan halal bagi perempuan lajang memperoleh hak-hak seksualnya. Kelima surat tersebut surat yang utama adalah An-Nisaa’ (3 ayat), An-Nuur (3 ayat), Al-Mu’minuun, Al-Maarij, An-Nahl dan Al-Ahzab (masing-masing 1 ayat). Jadi, untuk dapat memahami kedudukan nikah mut’ah dalam hukum perkawinan Islam kita harus memahami esensi dari kesepuluh ayat tersebut. Banyaknya ayat yang mendasari mut’ah menunjukkan betapa mut’ah sebenarnya lebih istimewa dibandingkan poligami yang hanya hadir dalam satu ayat (An-Nisaa ayat 3). Bagian 3 dari buku ini akan menguraikan lebih dalam kedudukan Nikah Mut’ah dalam konstelasi ajaran Islam. Namun sebelum berdalam-dalam dengan hal itu perlu digarisbawahi bahwa Mut’ah adalah karunia Allah SWT yang sangat besar kepada perempuan-perempuan yang membujang (perawan tua atau janda), baik karena pilihan sadar maupun karena nasib tidak menghendakinya menjadi seorang istri. Karunia ini semakin mempertebal keyakinan kita bahwa Allah SWT Maha Tahu tentang segala sesuatu yang dialami ummatNya. Ia tidak menghendaki naluri seks menjadi beban hidup, jadi sumber penderitaan dan penyakit, karena syahwat adalah karunia yang harus disyukuri, disalurkan dan dinikmati sesuai dengan jalan yang telah ditunjukkanNya kepada kita. Allah SWT berfirman:
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An Nisaa':28)
Hanya saja manusia sering bersikap kufur nikmat dan lebih mendahulukan kepentingan pribadi, golongan atau kekuasaannya. Atas kekufuran itulah nikmat Allah SWT dikebiri, dengan maksud agar manusia tetap bisa menguasai manusia lain yang lebih lemah.
6
D
Tabu Perlu Didobrak
engan adanya nikah mut’ah perempuan tidak perlu terlalu berobsesi menjadi istri dan takut kehilangan karir sebagai perempuanperempuan pekerja atau profesional gara-gara menikah. Tanpa status 31
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
istri mereka dapat melakukan nikah mut’ah sesuai dengan kebutuhan seksualnya, tanpa harus kehilangan karir atau terganggu meningkatkan prestasi kerja. Persepsi bahwa nikah permanen (da’im) yang merubah status lajang mereka jadi istri bukanlah satu-satunya cara untuk dapat menikmati seks yang halal, sudah saatnya dirubah. Kalau saja orang-orang seperti Winda, Astuti, Shinta, Eka atau Triana memahami hakekat nikah mut’ah mereka tidak harus merasa jadi korban ‘hukum wajib nikah’. Mereka tidak pula harus menjadi perempuan-perempuan aseksual. Perempuan seperti Triana tidak harus mencari jalan penyelesaian trauma pernikahannya dengan berzina terus-menerus. Namun jalan halal itu kini masih tersumbat oleh berbagai persepsi dan aturan yang dipaksakan. Ini pertanda bahwa hukum perkawinan masih belum berpihak kepada perempuan; belum menyentuh hak-hak seksual perempuan secara keseluruhan. Oleh sebab itu, tidak ada jalan lain bagi perempuan lajang kecuali mendobrak tabu yang mengharamkan mut’ah. Mereka harus yakin, mut’ah adalah jalan yang diberikan Allah SWT, tidak haram, tapi diharamkan sebagian manusia untuk tujuan-tujuan politis. Dengan mendobrak tabu para perempuan tidak hanya memperoleh hakhak seksualnya yang terpasung, tapi juga menyelamatkan masyarakat yang diberi tanggungjawab oleh Allah SWT menikahkan mereka-mereka yang sendirian. Tentu saja akan sangat mengherankan bila sebagian para penentang mut’ah tetap mempertahankan argumentasinya ketika nikah mut’ah justru meringankan tanggungjawab mereka terhadap Allah SWT dan masyarakat.
Bab 3
NIKAH MUT’AH
Jalan Halal untuk Hindari Zina Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisaa:28)
1
K
Kembali ke Alquran
ini ummat Islam berhadapan dengan dua perkara besar. Pertama, makin meluasnya perubahan pandangan terhadap seks yang menjurus kepada kebebasan mutlak. Tidak mungkin dipungkiri bahwa telah makin banyak ummat Islam yang terlibat dalam perzinahan dan prostitusi, 32
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
sehingga memperjelas bahwa ummat Islam sedang larut dalam revolusi seksual yang dimotori oleh Barat. Kasus skandal Yahya Zaini dan Maria Eva (jika benar mereka berzina dan mohon maaf jika sebenarnya mereka nikah mut’ah) makin meyakinkan bahwa benteng keimanan ummat Islam telah makin rapuh digerogoti dorongan syahwat yang kian susah dikendalikan. Banyak orang percaya, para pemimpin yang sering berzina sudah sangat mengkhawatirkan jumlahnya, sehingga melarang anak-anak muda melakukan hal yang sama hanya dipandang sebagai kemunafikan belaka. Perkara kedua, tidak adanya terobosan baru (ijtihad) di tingkat pemikiran maupun fiqih, sehingga ummat Islam makin sukar melihat peranan agama dalam arus deras revolusi seksual. Para ulama maupun ahli agama kontemporer masih bertahan dengan dalil halal-haram yang bersumber dari kitabkitab fiqih dan berbagai referensi yang ditulis antara 100 – hingga 300 tahun setelah Rasulullah wafat, oleh penulis-penulis yang – tentu saja -- sama sekali tidak pernah berjumpa dengan Rasulullah. Ketergantungan kepada kitabkitab kuno tersebut, ironisnya, menyebabkan sumber tertinggi hukum Islam, yakni Alquran, cenderung terabaikan. Padahal, sangat sering disebut bahwa Alquran diturunkan Allah SWT sebagai pedoman bagi ummat Islam hingga akhir zaman. Kecenderungan menggunakan kitab-kitab kuno, dalam kadar tertentu memang positif, karena kitab tersebut memberi informasi bagaimana ayatayat Alquran diinterpretasi pada kurun waktu tertentu. Tapi ketika kitab-kitab tersebut telah dipandang sebagai ”Alquran kedua atau ketiga”, ummat Islam telah terperangkap ke dalam kesesatan. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya diantara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan: "Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah", padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah sedang mereka mengetahui (Ali 'Imran: 78)
Bagaimanapun harus dipahami bahwa kitab atau referensi kuno adalah buah pikiran manusia yang sangat mungkin salah dalam menafsirkan Alquran. Tidak ada salahnya mengingatkan, tanpa bermaksud menolak secara mutlak, bahwa Hadits Sahih Bukhari pun baru ditulis lebih 200 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW. Penggunaan referensi yang sudah sangat tua punya dampak negatif pula terhadap rekonsiliasi kekuatan ummat yang terpecah belah sejak zaman Ummaiyah dan Abbasyiah. Pada masa kedua dinasti itu berbagai buku ditulis dengan mengedepankan kepentingan dan pandangan politik yang mengorbankan agama dan ummat Islam. Dengan sendirinya referensi-referensi
33
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
tersebut mengekalkan semangat pemusuhan antar firqah atau mazhab (khususnya Sunni – Syiah) yang hingga kini sudah berusia lebih seribu tahun. Akibatnya ummat Islam makin sulit mendapatkan pemahaman baru tentang kandungan ayat-ayat Alquran, sebab pemahaman atau ijtihad kelompok satu akan ditentang oleh pemahaman kelompok lain atas dasar kepentingan politik firqah, bukan kepentingan agama maupun ummat. Dalam menghadapi revolusi seksual yang merambah berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, para pemuka agama Islam seharusnya telah memikirkan “jalan penyelamatan” bagi ummat yang potensial tersesat dan terperangkap. Sebagai kelompok yang lebih menguasai ilmu agama, para pemuka agama mempunyai tanggung jawab dunia dan akhirat yang sangat besar. Mereka seharusnya tidak berdiam diri atau bertahan dengan tafsirtafsir lama yang telah jelas kian rapuh dan tergilas oleh kegilaan zaman. Apa yang harus mereka kerjakan adalah memfokuskan perhatian kembali ke Alquran, mengabaikan permusuhan purba antar firqah, mengevaluasi kehandalan dan relevansi referensi-referensi kuno dengan zaman sekarang, kemudian menemukan solusi yang sesuai dengan firman Allah SWT sekaligus dapat diterima oleh ummat. Tanpa itu, dapat diyakini Islam akhirnya hanya jadi keyakinan formal yang tidak berdampak apa-apa pada prilaku masyarakat. Bahkan hanya akan menjadi beban bagi ummat karena agama dapat dijadikan alat politik untuk tujuan kekuasaan semata. Haruskah kita gigit jari karena akhirnya makin banyak ummat Islam yang meninggalkan agamanya (melalui perbuatan sehari-hari) karena merasa tidak memperoleh apa-apa kecuali cerita-cerita berbau ancaman neraka? Tulisan ini bermula dari berkembangnya wacana tentang mut’ah (nikah berjangka waktu) di tengah-tengah masyarakat yang tidak hanya sekedar resah dan mengumpat ketika menyaksikan dekadensi moralitas seksual yang terjadi di segala lapisan masyarakat. Mereka melihat mut’ah sebagai sebuah jalan keluar yang selama ini seolah-olah sengaja disembunyikan, bahkan tidak boleh didiskusikan, padahal masyarakat tengah menunggu adanya pemikiran yang segar. Mereka adalah golongan yang tidak lagi yakin akan retorika penegakan hukum – karena penegak hukum juga termasuk golongan bermasalah --, dan tidak pula dapat menerima anjuran agar menahan diri. Anjuran itu makin tidak masuk akal di tengah gencarnya serbuan media, tidak seimbangnya populasi laki-laki dan perempuan, gaya hidup yang berorientasi seks bebas, model pakaian perempuan yang semakin menggoda syahwat (meskipun kepala sudah ditutup jilbab), dan berbagai tawaran penuh rayu dari orang-orang yang hidup dari bisnis seks. Sebagian menaruh harapan terhadap mut’ah, namun pada saat yang sama mereka dilanda keraguan akan kehalalan mut’ah tersebut. Pasalnya, para penganut paham anti-mut’ah bertahan kukuh dengan pendirian mereka yang jelas-jelas tidak merujuk kepada Alquran. Apalagi tahun 1999 Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa haram dengan argumentasi yang tidak meyakinkan sama sekali, bahkan cenderung membodoh-bodohi ummat. Tulisan ini bermaksud membuka pintu-pintu dan tabir yang selama ini seperti sengaja ditutup agar mut’ah tidak diketahui banyak orang. Penutupan tabir, selain merupakan pembodohan, juga bagian dari upaya yang sistematis menjauhkan ummat Islam dari tuntunan Allah SWT, melestarikan dendam kesumat antara golongan Sunni – Syiah yang telah berlangsung sejak wafatnya Rasulullah SAW, dan menjerumuskan mereka pada perbuatan keji. De-
34
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
ngan rasa takut kepada azab Allah SWT di dunia dan akhirat penulis berusaha mendobrak tabir tersebut. Dalam tulisan ini penulis berusaha menjelaskan bagaimana pandangan Islam yang sebenarnya tentang seks, dengan benarbenar merujuk kepada Alquran. Dengan menjelaskan mut’ah kepada pembaca hendaknya tidak diartikan sebagai bentuk penyebaran paham Syiah, karena hal itu tidak benar sama sekali. Penulis tidak banyak mengenal paham tersebut. Selain itu, penulis ingin memulai dari sendiri untuk tidak larut dalam perpecahbelahan ummat Islam yang dipicu kepentingan politik, bukan untuk menegakkan Asma Allah. Kini, ummat Islam dari firqah manapun tengah menghadapi persoalan yang sama, yaitu kehancuran moralitas seksual. Perzinahan, pelacuran, liwath (homoseksualitas), kehamilan akibat hubungan di luar nikah yang diikuti aborsi tak sehat dan pembuangan bayi ke tong sampah, trafficking (jualbeli manusia) tumbuh subur bak cendawan di musim hujan di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, khususnya Indonesia. Tak sedikit yang menghubungkan kerusakan moral ini dengan seringnya terjadi bencana alam di negara-negara tersebut. Lantas, masih adakah alasan bagi kita untuk berpecah belah menghadapi masalah bersama ini? Apakah kepentingan firqah masih lebih penting dibandingkan kebenaran agama dan kemaslahatan ummat?
2
D
Seksualitas dan Ummat
omain terpenting yang harus ditemukan dalam Alquran adalah pandangan Islam terhadap seksualitas manusia. Masalahnya, perzinahan tidak lain adalah bagian dari seksualitas manusia yang terkait erat dengan sebuah sistem pengaturan prilaku. Tanpa pemahaman komprehensif terhadap seksualitas manusia serta tuntunan Allah SWT mengenai cara-cara mengendalikannya di tingkat individu dan sosial, maka terbuka lebarlah jalan bagi munculnya aturan-aturan pseudo-islami (seolah-olah Islami) yang secara substansial bertentangan dengan ajaran Islam. Hal terburuk adalah diterimanya aturan yang mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah SWT, atau sebaliknya. Padahal Allah SWT telah berfirman, yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al Maa'idah: 87)
Pertautan antara seksualitas dengan Islam terwujud dalam dua bentuk: 1) bentuk yang dipraktekkan pada masa kenabian, dan 2) yang dipraktekan
35
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
pada masyarakat setelah masa kenabian, yang dinisbatkan kepada Islam karena disebut sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Islam. Yang pertama adalah bentuk yang telah selesai, sementara yang kedua masih berproses, mulai sejak wafatnya Rasulullah hingga zaman sekarang. Bentuk yang telah selesai mempunyai hubungan sangat erat dengan apa yang difirmankan Allah SWT melalui Alquran, sebab merupakan perwujudan konsep Ilahiah yang langsung didemonstrasikan oleh utusanNya, kemudian diikuti para sahabat dan pengikut lainnya. Sementara bentuk kedua menyandarkan nilai-nilainya kepada hasil interpretasi para ulama terhadap apa yang pernah dipraktekan Rasulullah. Dengan kata lain, kitab fiqih menjadi rujukan penting dalam menentukan halal atau haramnya sebuah hubungan, dan jika tidak hati-hati kedudukannya bisa berada di atas Alquran (hukumnya bisa lebih keras atau lebih lunak dibandingkan hukum Allah SWT sendiri). Demikian jauhnya rentang waktu antara masa kenabian dengan masa sekarang (lebih kurang 1,5 milenium), serta kuatnya kedudukan para ulama dalam masyarakat menyebabkan konsepsi Ilahiah (yang ada dalam Alquran) tentang seks mengalami percampuran yang signifikan antara kemurnian konsep dengan interpretasi/tafsir. Masyarakat yang sangat menggantungkan pemahaman keagamaannya kepada para ulama serta tidak mampu menafsirkan sendiri teks Alquran biasanya mengalami kesulitan membedakan ketentuan-ketentuan tentang seksualitas berdasarkan sumbernya. Mereka yang masuk kategori awam cenderung tidak tahu apakah kehalalan sebuah tindakan bersumber dari Alquran, hadits, atau pendapat para ulama. Pilihan mereka hanya satu, yaitu mengikuti saja fatwa yang disampaikan para ulama, kendati fatwa tersebut mungkin pseudo-islami belaka karena telah dibebani kepentingan politik atau kepentingan firqah. Keadaan seperti ini, tanpa banyak disadari telah mengantarkan ummat Islam ke wilayah yang berbahaya. Pertama, tidak mudah bagi ummat untuk kembali ke Alquran ketika fatwa-fatwa pseudo-islami tadi ternyata tidak menyebabkan ummat merasakan adanya rahmat, melainkan hanya beban. Kepercayaan yang terbangun bertahun-tahun, bahkan berabad-abad kepada kalangan ulama menyebabkan ummat tidak berani belajar sendiri hukumhukum Islam langsung ke Alquran. Takut salah! Mereka hanya mampu mengharapkan adanya fatwa-fatwa baru yang lebih sesuai dengan harapan, tapi belum tentu terwujud karena adanya kepentingan politik untuk mempertahankan fatwa lama. Kedua, akan semakin banyak ummat Islam yang menganggap sepi segala aturan Allah SWT, tetap melangsungkan perbuatan zina, meskipun mereka masih menjalankan ritual agama dan tampil sebagaimana orang soleh lainnya. Dengan kata lain, sifat-sifat orang munafik akan menghinggapi sebagian besar ummat, mulai dari pemimpin sampai pada rakyat jelata. Bila telah terjadi keadaan seperti ini, tentu yang paling bertanggungjawab terhadap moralitas masyarakat di akhirat kelak adalah mereka-mereka yang dianggap sebagai ulil-amri. Masalahnya, apakah para ulil-amri itu masih mengingat adanya kehidupan setelah mati?
Seks dalam Alquran Bagaimanakah pandangan Islam tentang seks? Terkait dengan penjelasan di atas, yang disebut “pandangan Islam” biasanya terbelah menjadi: 1) 36
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
konsep Ilahiah yang hanya ditemukan dalam Alquran, 2) konsep yang merupakan tafsir para ulama terhadap Alquran dan hadits. Kedua konsep ini mungkin saja sejalan, tapi bisa jadi bersimpang karena adanya kesalahan dalam menyusun tafsir, atau tafsir sangat terkait dengan konteks waktu, sehingga tafsir pada zaman tertentu tidak lagi relevan diaplikasikan pada zaman yang lain. Selanjunya kita fokuskan perhatian kepada konsep Ilahiah: apa yang ada dalam Alquran. Tafsir kuno, apalagi yang hemat penulis sudah kehilangan relevansi dengan keadaan sekarang, tidak akan digunakan untuk membaca hal-hal yang dianggap mutasyabihaat. Penulis memegang teguh keyakinan bahwa Alquran diturunkan oleh Allah SWT untuk ummat Islam hingga akhir zaman, sehingga kontekstualisasi dan aktualisasi pemahaman terhadap ayatayat Allah SWT harus dilaksanakan, dan tidak patut lagi ummat di zaman sekarang menggantungkan tafsirnya secara penuh kepada para ulama yang hidup sekian abad yang silam. Seperti halnya pemahaman ummat yang hidup di zaman ini terhadap kondisi ketika ulama itu hidup, para ulama itu pun tidak kenal keadaan yang dialami ummat zaman ini, yang hidup dengan teknologi serba canggih, canggih juga dalam bermaksiat, lebih individualistik, dan semakin meragukan eksistensi Tuhan. Konsep Ilahiah tentang seksualitas tersebar dalam paling kurang 79 ayatayat Alquran, terutama di Surat An-Nisaa (17 ayat), Al Baqarah (17), An-Nuur (10), Al Ahzab (10), Ath Thalaaq (5), Al Mu’minuun, dan Al Maarij (Lihat Tabel 4). Konsep deskriptif yang rinci dan rumit atau bernuansa akademik memang tidak ditemukan dalam ayat-ayat tersebut, karena – dapat dipahami – itu bukan tugas kitab suci. Ayat-ayat tersebut merupakan ketetapan hukum yang harus diyakini dan ditaati, sementara konsep Ilahiahnya tersembunyi di balik ketetapan tersebut. Tugas kita sebagai ummat Islam adalah memahami ketetapan hukumnya, sekaligus menemukan prinsip dan pandangan yang tersirat atau tersembunyi. Sejumlah ayat dalam surat yang disebut di atas menetapkan aturan hubungan antara dua makhluk yang berlainan jenis kelamin. Oleh sebab itu topik-topik yang dikemukakan adalah seputar masalah nikah, zina, cerai/ talak, perempuan yang boleh dan haram dinikahi, syarat sah nikah, kewajiban suami-istri, cara-cara memperlakukan istri, sampai kepada konflik antara suami-istri (seperti li’an atau menuduh istri berzina).
Tabel 4: Surat-surat dalam Alquran yang Menerangkan Masalah Hubungan Laki-laki dan Perempuan. No 1 2 3 4 5 6 7
Nama Surat An-Nisaa Al Baqarah An Nuur Al Ahzab Ath Thalaaq Yusuf At Tahrim
Jml ayat
No
17 17 10 10 5 3 2
11 12 13 14 15 16 17
Nama Surat Ar Ruum Ar Raa’d Ali Imran Al Qashash Al Mu’minuun Al Maa’idah Al Ma´aarij
Jml ayat 1 1 1 1 1 1 1 37
Khatib Maulana
8 Al Mumtahanah 9 Al Mujaadilah 10 Az Zukhruf
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
2 2 1
18 Al Furqaan 19 Al A’raaf 20 Adz Dzaariyaat
1 1 1
Secara lebih spesifik, Surat Al Baqarah mengandung ketetapan tentang kawin dengan perempuan musyrik; kawin dengan wanita yang sedang dalam masa 'iddah; pertunangan; kebebasan memilih wanita; hukum nikah muhallil; syarat adanya wali dalam akad nikah; wali; mahar; ukuran nafkah keluarga; etika bersetubuh dan pergaulan; talak; menzalimi isteri; ilaa (sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya); dan iddah (masa tunggu). Surat An Nisaa mengandung ketetapan tentang perintah nikah dan kebolehan menikahi lebih dari satu perempuan; wanita yang tidak boleh dinikahi; cara terbaik memilih wanita; hukum menikahi hamba wanita; wali ; mahar; prinsip hubungan suami istri; bersetubuh dengan hamba; kesetiaan; prinsip berpoligami; dan konflik suami istri. Di Surat An-Nuur ditemukan ketetapan tentang menikahkan orang yang sendirian; muhrim perempuan; memilih wanita yang soleh; hukum menikahi hamba wanita; melihat wanita; hukum wanita melihat laki-laki; hukum nikah; hukum dan cara-cara li'an . Sedang Surat Al Ahzab menetapkan haramnya menikahi istri-istri Nabi; kebolehan Nabi kawin lebih dari empat; muhrim perempuan; bersetubuh dengan hamba; syariat talak; kebebasan memilih istri; talak sebelum dukhul (senggama); iddah wanita yang belum digauli; dan hukum zhihar (menyamakan istri dengan ibu sendiri).
3
A
Konsepsi Ilahiah Tentang Seks
lquran menyebutkan bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan. Firman Allah SWT. :
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri berpasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak berpasanganpasangan (pula), dijadikanNya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (Asy Syuura: 11)
38
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
..dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita. (An Najm:45)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa penciptaan laki-laki dan perempuan mengandung maksud reproduktif: agar manusia, seperti halnya hewan, berkembang biak. Namun berbeda dengan hewan, proses reproduksi manusia harus mengikuti hukum-hukum perkawinan (juga perceraian) yang telah ditetapkan pada ke-20 surat yang ada pada Tabel 4. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah perbuatan yang disyariatkan, sebagaimana dikatakan Allah SWT pada surat An Nuur (24:32), sbb.:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hambahamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Melalui ayat di atas Allah SWT memberi perintah (“kawinkanlah”) kepada orang-orang di sekitar individu “yang sendirian”, bukan kepada yang bersangkutan. Artinya ada kewajiban ummat secara bersama-sama – fardhu kifayah -- untuk tidak membiarkan adanya individu-individu yang hidup membujang karena alasan ekonomi atau alasan-alasan lain. Perintah mengawinkan individu yang membujang merupakan perintah yang keras karena Surat An Nuur dimulai dengan ayat yang berbunyi:
(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya. (24: 1)
Perintah yang keras itu hendaknya disadari sebagai sebuah peringatan bahwa membiarkan individu yang membutuhkan penyaluran kebutuhan biologis (seks) tetap hidup membujang – atau tidak mendapatkan pasangan yang sesuai untuk menyalurkan dorongan syahwatnya -- pasti akan menimbulkan mudharat bagi individu itu sendiri maupun masyarakat. Jika perintah ditujukan hanya kepada individu yang membujang akibat buruknya boleh jadi hanya untuk individu itu saja, tapi dengan adanya perintah kepada orang-orang di luar diri individu tersebut jelaslah bahwa dampak negatif dari adanya orang-orang yang hidup membujang akan meluas sampai kepada masyarakat. Akibat yang sangat jelas dari terhalangnya penyaluran hasrat seksual adalah penyakit kejiwaan, prilaku menyimpang, dan tindakan kekerasan.
39
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Allah SWT telah memberikan peringatan itu pada manusia di abad ke 6 M. , namun baru pada awal abad ke-20 teori psikoanalis dapat menjelaskan secara ilmiah hubungan antara seks dengan penyakit yang telah dikenal sejak berabad-abad sebelumnya, yaitu histeria. Penyakit ini, menurut Hippocrates, dokter Yunani kuno yang pertama kali mengidentifikasinya, mempunyai gejala fisik yang kompleks. Penderita histeria mengeluhkan berbagai penyakit seperti sakit jantung, kelumpuhan, sakit perut, muntah-muntah, lengan atau kaki lemah, bingung, dan sulit mengontrol perasaan. Hippocrates sebenarnya telah menghubungkan keluhan-keluhan tersebut dengan seks, karena itu ia menamakannya histeria, yang diambil dari hystera, kata Yunani untuk uterus (bagian dari vagina). Namun hubungan tersebut terkesan sebagai olok-olok dalam dunia kedokteran dalam waktu yang sangat panjang, dan baru dikenal luas melalui teori psikoanalisis Sigmund Freud. Seperti Hippocrates, Freud juga menghubungkan kesakitan yang dialami manusia dengan seks dan memberi tekanan kepada sexual repression (ketertekanan secara seksual) sebagai penyebab munculnya histeria. Dalam bukunya Three Contributions to the Theory of Sex, Freud (1920) menulis: In this manner it (histeria – pen.) has been discovered that the symptoms represent the equivalent for the strivings which received their strength from the source of the sexual impulse……... The hysterical character evinces a part of sexual repression which reaches beyond the normal limits, an exaggeration of the resistances against the sexual impulse which we know as shame and loathing.
Istilah sexual repression yang dipopulerkan Freud mengacu kepada tindakan penguasa gereja yang berusaha menindas gairah seksual manusia, bahkan menegasikan, karena gairah tersebut dipandang sebagai kehendak syetan. Dalam pandangan seperti itu seksualitas manusia disamakan dengan keinginan melakukan hal-hal yang menjijikkan dengan menggunakan organ genital, baik secara sendiri-sendiri (masturbasi) maupun bersama orang lain (coitus). Ia dianggap menjijikkan karena – menurut gereja -- organ genital tidak dimaksudkan untuk mendapatkan kesenangan, melainkan semata-mata untuk tujuan reproduksi manusia. Kesulitan menyalurkan gairah seksual secara normal pada gilirannya mempermudah terjadinya perzinahan, hubungan seksual sejenis, dan pemerkosaan. Kini jutaan orang yang tidak dapat melegalisasi hubungan mereka terjerembab dalam perbuatan zina berkepanjangan. Sekitar 15 persen remaja usia 10 tahun hingga 24 tahun di Indonesia, yang jumlahnya mencapai 62 juta, telah melakukan hubungan seksual di luar nikah (PKBI, 2006). Setiap tahun terjadi 2,6 juta kasus aborsi di negara yang mayoritas penduknya muslim ini. Jika dirata-rata, setiap jamnya terdapat 300 wanita telah menggugurkan kandungannya (Republika Online, 3 Desember 2006). Jutaan orang pula yang memilih hubungan sejenis (homoseks dan lesbian). Orang-orang yang mengalami ketertekanan seksual sehingga tidak mampu mengontrol prilakunya nekad melakukan pemerkosaan, baik terhadap wanita dewasa maupun anak-anak. Sebagian lain akhirnya menderita depresi dan sakit jiwa. Siapakah yang bertanggungjawab atas segala kegilaan ini? Perintah Allah SWT untuk mengawinkan orang-orang yang sendirian menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang anti seks, dan bertolak be-
40
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
lakang dengan paham yang dianut kaum gerejani: Islam tidak menganggap seks sebagai kehendak syetan dan tidak pula menjijikkan. Bahkan sebaliknya menganggap seks sebagai bagian yang penting, yang harus disalurkan dan tidak boleh dikait-kaitkan dengan kondisi ekonomi seseorang. Orang-orang miskin atau kaya, berpangkat atau tidak berpangkat, bangsawan atau jelata mempunyai gairah seksual yang sama, dan kewajiban manusia adalah memfasilitasi sesama manusia, bukan menghalang-halanginya. Lebih tegas lagi, Alquran (24: 32) memberikan ketetapan wajib kepada ummat manusia secara bersama-sama (fardhu kifayah) untuk membantu sesama ummat menyalurkan hasrat seksualnya di jalan yang halal. Implikasi hukumnya, perzinahan yang terjadi di tengah-tengah komunitas muslim tidak seutuhnya dapat dipandang sebagai kesalahan para pezina itu, melainkan juga bagian dari kesalahan ummat Islam secara keseluruhan yang telah menghalang-halangi mereka menikmati seks secara halal. Dengan demikian pembatasan perkawinan dan penerapan aturan-aturan buatan manusia yang menyulitkan para lajang atau orang-orang yang membutuhkan penyaluran kebutuhan biologis secara normal, dengan alasan-alasan yang tidak merujuk kembali kepada Alquran, dapat dianggap sebagai perbuatan yang mengingkari dan bertentangan dengan kehendak Allah SWT. Aturan hanya boleh ditegakkan sepanjang tidak berbenturan dengan hukumhukum yang telah ditetapkan, seperti kewajiban laki-laki membayar mahar sebelum mencampuri seorang perempuan sebagaimana dikatakan pada Surat An Nisaa: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan (4:4). Namun kewajiban membayar mahar inipun masih diberi kelonggaran, sesuai kelanjutan ayat di atas: Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya. Hukum lain yang telah ditetapkan adalah larangan menikahi sejumlah perempuan. Pada Surat An Nisaa (4:23) dijelaskan perempuan-perempuan mana saja yang tidak boleh dikawini itu, sbb.:
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kan41
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
dungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An Nisaa :23)
Maka, ketentuan-ketentuan yang pernah ada di tengah ummat Islam dari dulu hingga sekarang berdasarkan kitab-kitab fiqih harus dilihat kembali secara kritis, apakah benar-benar telah merujuk kepada ketentuan Allah SWT atau sebaliknya. Pembatasan usia yang ditetapkan dengan hukum negara, keharusan adanya wali dan saksi (keduanya disebutkan secara sangat samarsamar dalam Alquran sehingga cenderung tidak ada ketetapan wajib sama sekali), keharusan mempunyai pekerjaan/menamatkan pendidikan sebelum menikah, pemberian kewajiban kepada calon pengantin pria untuk bisa membaca Alquran atau mempraktekan shalat harus dievaluasi kembali agar ummat Islam tidak terperangkap dalam perbuatan bid’ah yang bertentangan dengan kehendak Allah SWT. Dalam konteks itu kita harus mengingat firman Allah SWT: ”Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihlebihan” (Al A'raaf: 31). Peraturan kawin yang berlebih-lebihan pada gilirannya akan membuat ummat Islam lebih memilih jalan sesat, seperti yang terjadi di kalangan ummat Kristiani yang dijajah oleh doktrin gerejanya.
Perempuan-perempuan yang Boleh Digauli Disamping ada larangan, perempuan mana sajakah yang boleh digauli? Dalam Surat Al Mu’minuun (23:1–6) diterangkan sbb.: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman; (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya; dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna; dan orang-orang yang menunaikan zakat; dan orang-orang yang menjaga kemaluannya: kecuali terhadap istri-istri mereka atau ma malakat aimanuhum yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Ayat-ayat dari Surat Makkiyah (yang turun di Makkah) di atas, khususnya ayat 6 menjelaskan adanya dua golongan wanita yang boleh digauli (melihat kemaluan seorang laki-laki), yaitu istri-istri dan ma malakat aimanuhum. Kebolehan yang sama juga ditemukan dalam Surat Al Ma’aarij (70:30) yang juga turun di Makkah. Istri-istri adalah perempuan yang dinikahi secara da’im (permanen), lalu siapakah yang disebut ma malakat aimaanukum itu?
Tabel 5: Penggunaan Istilah Ma malakat aimaanukum dan Konteksnya dalam Alquran Nama Surat
An Nisaa An Nuur
No Aya t 24 25 3 31
Ma malakat aimaanuku m x x x x
Istilah lain
Konteks
Mengawini Sda Sda Sda
42
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Al Mu’munuun Al Baqarah
32 33 58 6 221
Al Ma´aarij An Nahl Al Mujaadilah Al Maa'idah
30 71 3 89
x x x x x x x x x
Mengawinkan Mengawini etika Mengawini Perbandingan perempuan musyrik Sda Pembagian rezeki Hukuman menzhihar isteri kaffarat (melanggar sumpah)
Ma Malakat Aimanukum Istilah ma malakat aimaanukum (kadang jadi ma malakat aimanuhum atau ma makalat aimanuka) digunakan Alquran berulang kali pada ayat-ayat pada Tabel 5. Arti harfiahnya adalah ”yang ada dalam genggaman tangan kananmu” (what your right hands possess). Umumnya para ulama, termasuk pada penerjemah dan penafsir Alquran mengartikan ma malakat aimaanukum sebagai budak atau hamba sahaya. Apakah memang demikian terjemahan tepatnya? Penerjemahan ma malakat aimaanukum menjadi budak atau hamba sahaya hampir tidak pernah diperdebatkan atau diterima apa adanya. Padahal, implikasinya sangat luas. Orang-orang awam akhirnya dengan mudah menganggap bahwa ayat yang menggunakan istilah itu tidak lagi berlaku karena sistem perbudakan telah dihapus. Anggapan demikian bukan saja menegasikan atau membantah hukum yang ditetapkan dalam ayat tersebut, tapi lebih berbahaya lagi karena akhirnya menegasikan keberadaan Alquran sebagai petunjuk bagi ummat manusia hingga akhir zaman. Konsekuensi yang paling ringan adalah luputnya perhatian ummat pada golongan perempuan yang disebut Allah SWT sebagai ma malakat aimaanukum berikut hak-hak seksualnya. Dengan mempercayai bahwa Alquran diturunkan untuk digunakan selama-lamanya kita pun wajib meyakini bahwa ma malakat aimaanukum akan terus ada dalam masyarakat hingga hari kiamat, tidak hilang karena hapusnya sistem perbudakan. Kita ulangi lagi pertanyaan, ”Siapakah sebenarnya perempuan ma malakat aimaanukum itu?” Allah SWT memang tidak menjelaskan arti dari istilah tersebut secara jelas dalam Alquran. Tapi bukankah manusia dituntut berpikir melalui Kalimatullah seperti afalaa ta’kiluun atau la’allakum tatafakaruun yang diulang hingga seratus kali? Artinya, adalah tugas kita sebagai ummat Islam menggunakan akal pikiran dan ilmu pengetahuan yang telah dikaruniakanNya untuk dapat memahami apa maksud yang tersirat dari tanda-tanda maupun istilah-istilah yang digunakan dalam Alquran. Untuk mengerti apa yang dimaksud dengan ma malakat aimaanukum yang paling penting dipahami adalah setting sosial masyarakat Arab pada masa kenabian. Ketika Islam turun di Hijaz (Arab Saudi sekarang) perekonomian masyarakat di kawasan itu digerakan oleh kaum budak, mirip dengan sistem ekonomi Romawi. Sistem ekonomi selanjutnya membentuk stratifikasi sosial kalangan perempuan. Perempuan yang berasal dari kalangan bangsawan, punya harta kekayaan dan tidak harus bekerja untuk bisa makan 43
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
disebut ’perempuan merdeka’ (perempuan yang tidak harus bekerja untuk hidup). Status sosial mereka sangat tinggi. Di pihak lain ada perempuan yang tidak mempunyai harta, alat produksi, dan harus bekerja untuk dapat hidup. Mereka terikat kepada para tuan yang memberi mereka pekerjaan dan upah. Perempuan inilah yang disebut oleh Alquran sebagai ma malakat aimaanukum atau ma malakat aimaanuhum yang di Indonesia di terjemahkan sebagai ’budak’. Padahal, kalau dicermati, Alquran tidak menekankan pada status budaknya, karena dalam bahasa Arab budak itu adalah abd (untuk laki-laki) dan amah (untuk perempuan). Kedua istilah ini pernah diganti Rasulullah SAW menjadi fata (untuk laki-laki) dan fatat (untuk perempuan). Ada Sekarang ma malakat istilah lain, yaitu rakaba, raqeeq aimanukun masih tetap ada, dan jariah. Tapi mengapa Allah tidak habis karena berakhirnya SWT tidak menggunakan istilahzaman perbudakan, tapi istilah Arab tersebut untuk ayatdengan status sosial yang ayat yang berkaitan dengan kawin lebih tinggi, yaitu perempuanatau seks? Ini menandakan perempuan ma malakat perempuan karir, para aimaanukum bukanlah budak pegawai rendah sampai tinggi dalam konsepsi Arab, tapi go(level manejer atau direktur, longan perempuan yang bahkan mentri), atau peremmempunyai ciri universal, yang puan muda yang tergantung ada sepanjang zaman. Dalam pandangan yang lebih makro, mereka adalah perempuan yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan, bukan perempuan yang kaya raya dan dapat hidup tanpa bekerja. Mereka adalah penerima upah, pegawai, tapi karena tidak ada konvensi perlindungan terhadap pegawai, mereka diperbudak, dieksploitasi, bahkan diperjualbelikan. Sekarang mereka itu masih tetap ada, tidak habis karena berakhirnya zaman perbudakan, tapi dengan status sosial yang lebih tinggi, yaitu perempuan-perempuan karir, para pegawai rendah sampai tinggi (level manejer atau direktur, bahkan mentri), atau perempuan muda yang tergantung hidup pada orang tuanya. Bedanya, ma malakat aimaanukum zaman modern telah terlindungi hak-haknya secara hukum, lebih berpendidikan dan digaji lebih tinggi. Namun, sebagaimana halnya ma malakat aimaanukum pada zaman Rasulullah SAW, hingga sekarang pun mereka sulit menjadi istri yang ideal/baik (yang selalu melayani suami) karena harus bekerja, meninggalkan suami, bahkan hingga berhari-hari. Meminta mereka berhenti bekerja untuk melayani suami tentu bukan tindakan bijaksana karena dapat merugikan mereka. Juga akan merugikan masyarakat karena memperkecil partisipasi perempuan di sektor ekonomi. Di zaman Rasulullah SAW menjadikan mereka sebagai istri dapat berakibat lumpuhnya ekonomi Hijaz. Bila semua jadi istri, siapa lagi yang mau bekerja? Tidak mungkin para tuan mau melakukan pekerjaan yang sebelumnya dipegang oleh ma malakat aimaanukum. Oleh sebab itu, menikahi ma malakat aimaanukum ditempatkan sebagai alternatif kedua setelah kebolehan menikahi perempuan merdeka, sebagaimana disebutkan dalam Surat An Nisaa ayat 25:
44
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari ma malakat aimaanukum yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini ma malakat aimaanukum) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada ketidakmampuan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(An Nisaa:25)
Ayat di atas dengan tegas mengatakan bahwa tujuan mengawini ma malakat aimaanukum adalah untuk menjaga diri, menghindari zina (lihat bagian yang digarisbawahi – pen). Tidak sama dengan tujuan mengawini perempuan merdeka. Inilah perkawinan yang disebut mut’ah, yang akan dijelaskan pada Bagian 5. Ayat tersebut juga mempertegas bahwa ma malakat aimaanukum tidak sama derajatnya dengan perempuan merdeka (yang ideal sebagai istri) dalam konteks perkawinan. Namun dengan derajat demikian Allah SWT tidak membebani mereka dengan hukuman yang sama dengan perempuan-perempuan merdeka jika berzina. Hal ini perlu dipahami sebagai isyarat bahwa perempuan merdeka yang dijadikan istri mempunyai beban dua kali lebih berat dibandingkan ma malakat aimaanukum dalam hal pengabdian dan kesetiaan terhadap suami. Penegasan Allah SWT tentang adanya dua golongan perempuan sekaligus mengisyaratkan adanya pilihan bagi perempuan: jadi istri atau jadi ma malakat aimaanukum. Tidak seluruh perempuan harus jadi istri; mereka bisa menjadi ma malakat aimaanukum tanpa harus kehilangan hak-hak seksualnya. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Islam sebenarnya tidak menghendaki adanya peran ganda perempuan karena akan sangat memberatkan hidup mereka.
45
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
4
Jawaban Islam untuk Kondisi Aktual
U
mmat Islam zaman sekarang menghadapi tantangan yang sangat besar akibat terjadinya perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan peta demografis, dan pertumbuhan media komunikasi yang spektakuler. Perubahan sosial mencakup perubahan pikiran dan perasaan yang melandasi hubungan-hubungan antar manusia. Berbagai posisi sosial yang dulu memiliki status terhormat, lengkap dengan hak-hak istimewanya, sekarang tergusur menjadi posisi yang tidak lagi begitu dihormati. Guru yang dulunya dihormati, kini tinggal sebagai profesi biasa yang kehilangan kehormatannya. Perempuan merdeka yang dihormati Allah SWT sebagai kalangan yang paling layak untuk menjadi istri sekarang dianggap sebagai pesakitan yang terpenjara oleh institusi rumah tangga. Sedangkan ma malakat aimaanukum yang pada zaman Rasulullah SAW disetarakan dengan budak kini justru lebih dihormati dibandingkan perempuan yang hanya tinggal di rumah untuk mengurusi anak dan suami. Pendek kata, ini zaman serba terbalik-balik. Prilaku seks bebas yang saat ini makin subur di berbagai lapisan masyarakat merupakan produk bersama perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan peta demografis dan perkembangan media. Dengan demikian ia menjadi fenomena yang sangat kompleks, sehingga untuk menggiring semua orang kembali menjadi puritan – hanya melakukan hubungan seksual dalam institusi perkawinan yang selama ini dianggap sah -- boleh dikatakan sebagai kemustahilan belaka. Seiring dengan perjalanan waktu justru eksistensi institusi perkawinan semakin dipertanyakan derajat kemaslahatannya, karena tidak lagi berfungsi optimal. Nyatanya hubungan seksual tidak lagi terjadi dalam institusi itu saja, anak dibesarkan di lingkungan sekolah, dan perempuan (istri) tidak dapat menemani suami sepanjang hari karena bekerja. Kalau begitu, demikian yang bertanya, apa lagi gunanya institusi perkawinan? Bagi Islam, institusi perkawinan yang dikonstruksi berdasarkan Alquran tidak akan pernah kehilangan gunanya, sekalipun zaman telah berubah. Pada zaman bagaimanapun, zina dan liwath tetap perbuatan keji, karena itu diharamkan. Banyaknya ummat Islam yang terlibat zina atau liwath tidak dapat menjadi pembenaran bagi perbuatan demikian. Tapi apakah persoalan dapat selesai begitu saja dengan mengulang-ulang penegasan bahwa perbuatan itu haram? Realitasnya, sekalipun Islam mengharamkan, ummatnya sendiri diam-diam maupun terang-terangan justru membenarkan. Ketetapan Allah SWT akhirnya tertinggal di belakang, jadi penghias bibir, tidak lagi diamalkan. Mencermati keadaan demikian kita dihadapkan kepada pertanyaan: Apakah ketentuan Allah SWT akan hancur karena ketetuanNya bertolak belakang dengan keinginan manusia? Perzinahan adalah perbuatan yang disebabkan dorongan syahwat. Syahwat itu sendiri pemberian Allah SWT kepada manusia, sesuatu yang tidak diberikan kepada para malaikat. Karena itu tidak ada yang salah dengan syahwat. Yang dapat disalahkan adalah penggunaan yang diluar ketentuan yang telah disyariatkanNya.
46
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Ayat-ayat Alquran, khususnya An Nuur (32) dan An Nisaa (3:24-25) secara sangat jelas menunjukkan kepada kita bahwa ketentuan Allah SWT sama sekali tidak bertentangan dengan keinginan manusia menyalurkan hasrat seksualnya. Perintah Allah SWT yang mewajibkan ummat mengawinkan orang-orang yang sendirian diantara mereka menunjukkan bahwa hasrat seksual bukan hanya boleh disalurkan, tapi harus/wajib. Perbuatan yang ditentang atau diharamkan Allah SWT hanyalah penyaluran syahwat yang berada di luar ketentuan. Apa-apa yang dilarang sudah pasti mengandung mudharat bagi individu maupun masyarakat. Allah SWT juga tidak membatasi secara semena-mena keinginan manusia yang tidak sama. Bagi mereka yang tidak puas hanya dengan satu istri terbuka jalan untuk berpoligami (An Nisaa:3). Jika tidak mampu berbuat adil, kata Allah, pilihlah satu, atau kawinilah ma malakat aimaanukum. Perempuan juga dapat mempunyai suami baru setelah berakhir masa iddahnya. Tidak hanya itu. Allah SWT juga memberi kesempatan kepada ummatnya untuk melakukan pernikahan yang lebih rendah derajatnya dengan perempuan yang Ia sebut ma malakat aimaanukum (An Nisaa: 25). Pernikahan inilah yang disebut Nikah Mut’ah, pernikahan yang tujuan utamanya adalah untuk menghindari perzinahan, bukan untuk membangun rumah tangga. Sayangnya, kemudahan inilah yang tidak disyukuri banyak kalangan, sehingga banyak ummat Islam yang tidak sanggup menikah, belum mampu membangun rumah tangga, atau tidak sanggup berpoligami, tapi senantiasa didera oleh dorongan syahwat, akhirnya terjerumus dalam perbuatan zina.
Jadi banyaknya perzinahan sekarang ini tidak dapat hanya ditafsirkan sebagai kemungkaran, tapi juga akibat manusia tidak mensyukuri kemudahan yang diberikan Allah SWT dan lebih suka membuat hukum-hukum sendiri dengan mencatut nama Allah SWT. Hukum Allah SWT tidak sempit, melainkan manusialah --- dengan kekuasaan dan ambisi politiknya – yang berusaha membuat hukum Allah SWT jadi sangat sempit. Dilihat dari sisi demografis sekarang jumlah perempuan jauh melebihi jumlah laki-laki. Apabila ummat Islam ditekan untuk hanya melangsungkan perkawinan monogami, jutaan perempuan tidak akan mendapatkan suami. Kalau perempuan-perempuan itu masih kokoh imannya dan tidak mau berzina maka mereka akan hidup sebagai makhluk aseksual sepanjang umur. Karena mereka bukanlah malaikat, mereka sangat berpotensi mengalami histeria dan depresi seksual akut. Di pihak lain, jumlah perempuan yang aktif di dunia kerja terus meningkat. Sangat banyak diantara mereka yang sukses membangun karir dan mempunyai kontribusi besar kepada pembangunan ekonomi. Tidak sedikit perempuan yang memegang jabatan strategis di pemerintahan maupun badan-badan usaha berskala nasional atau internasional. Bagi mereka menikah atau menjadi istri mungkin sebuah keinginan, tapi kecintaan terhadap karir yang sudah dibangun bertahun-tahun dapat mengalahkan keinginan tersebut. Atau, dibalik kesuksesan karir mereka menyisakan keluarga
47
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
yang berantakan, anak yang tidak terurus atau suami yang terzalimi hak-hak seksualnya, kemudian berselingkuh dengan pembantu rumah tangga. Sebagian perempuan lajang sadar, jika memaksakan diri menjadi istri, mereka akan berhadapan dengan persoalan rumah tangga yang pelik. Mereka tidak hanya terbebani oleh peran ganda (di rumah dan di luar rumah) yang pasti sangat melelahkan, tapi juga menyebabkan suami mereka kehilangan sebagian hak-hak seksualnya, dan mendorong suami melampiaskan hasrat seksnya kepada perempuan lain. Singkat kata, mereka mustahil memenuhi kewajiban sebagai istri sebagaimana dikatakan Allah SWT dalam Alquran. Atas pertimbangan seperti itu pilihan mereka akhirnya jatuh pada karir dan hidup membujang. Dengan memilih karir apakah mereka akan menjadi makhluk aseksual seperti malaikat? Tidak mungkin demikian. Sebagai manusia normal mereka tetap mempunyai nafsu seks. Suasana seperti zaman kenabian, ketika perempuan-perempuan pekerja atau para ma malakat aimaanukum melepaskan hajat seksualnya dengan berzina, sudah terbukti kembali lagi pada zaman ini. Tidak sedikit perempuan pegawai melakukan zina dengan pegawai laki-laki sekantor dengannya. Di kota-kota besar sudah sangat lazim perempuan karir hidup dengan memelihara brondong (laki-laki bayaran yang tidak menikahi mereka). Salahkah mereka? Ya. Bagaimanapun zina tetap sebuah perbuatan terlarang. Tapi tidak adil jika hanya menimpakan kesalahan kepada mereka. Orang-orang yang menutup jalan yang diberikan Allah SWT juga harus bertanggungjawab. Padahal Allah telah memberikan jalan bagi ma malakat aimaanukum atau perempuan-perempuan karir yang tidak ingin kehilangan pekerjaan apabila menikah untuk sekedar boleh menikmati seks yang halal.
5
D
Nikah Mut’ah
engan mencermati Surat An Nisaa (25) dan An Nuur (32) kita memperoleh kepastian bahwa para perempuan karir itu tidak perlu menikah da’im yang menyebabkannya harus mengabdi kepada suami dan berperan ganda. Mereka juga tidak perlu berzina, tapi boleh melakukan mut’ah barang satu hari, satu minggu atau seberapa ia perlukan untuk meredakan dorongan syahwatnya. Selama melakukan mut’ah ia tidak dibebani kewajiban sebagai seorang istri: tidak perlu memasak atau mencucikan pakaian untuk pasangan mut’ahnya. Apakah benar mut’ah ada dalam Alquran? Para ulama yang percaya bahwa mut’ah tidak pernah diharamkan Allah SWT mengatakan kalimat “Fa mastamta’tum bihi minhunna…” pada ayat 24 Surat An Nisaa menunjuk kepada nikah mut’ah. Dalam bahasa Arab, kata muta, mut’a atau mut’ah adalah akar kata mastamta’tum. Dibandingkan poligami yang hanya ada dalam dua ayat (An Nisaa: 3, 129), dasar hukum mut’ah justru lebih kuat 48
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
karena terdapat dalam begitu banyak ayat Alquran. Tidak hanya itu. Dalam hadits pun petunjuk yang membolehkan hubungan seksual dengan ma malakat aimanukum (dalam nikah mut’ah) sangat banyak. Mut’ah adalah bentuk perkawinan sementara (sebelum mampu menikah secara da’im) yang telah dipraktekkan pada masa Rasulullah, Khalifah Abu Bakar Siddik, dan sebagian masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Anak Abu Bakar Siddik, Asma, juga melakukan mut’ah dengan Zubayr al-Sahabi, melahirkan dua anak: Abdullah ibnu Zubayr dan Urwah ibnu Zubayr. Tapi mut’ah kemudian dilarang oleh Khalifah Umar bin Khattab setelah Rabia ibnu Umayya menghamili perempuan yang ia nikahi secara mut’ah (Al Muwatta, 28.18.42). Khalifah Umar marah, tapi alasannya tidak begitu jelas. Kemudian Khalifah Umar melarang dua mut’ah, yaitu mut’ah haji dan mut’ah perempuan. Menurut laporan Ibnu Suwadah kedua larangan itu telah dicabut oleh Umar saat menerima Ibnu Suwadah yang menyatakan keberatannya, sebab mut’ah dibolehkan pada masa Rasulullah dan Abu Bakar Siddik (al-Tabari, English Version, Vol. 14, hal. 139-140) Praktek mut’ah dikalangan sahabat membuktikan bahwa mut’ah adalah halal, disamping adanya ayat-ayat Alquran yang memberi petunjuk, yaitu ayat-ayat Surat Al Mu’minuun (1-6), Al Maarij (30), An Nisaa (25) dan An Nuur (33). Kehalalan mut’ah juga dapat merujuk kepada Hadis Sahih Muslim Buku ke-8 No. 3243 (tentang laporan Abdullah bin Mas’ud), No. 3246 (laporan Jabir bin Abdullah dan Salama bin al-Akwa), No. 3248 (laporan Ibnu Uraij) dan No. 3250 (laporan Abu Nadra). Sedangkan laporan Sabra al Juhani, anaknya Rabi dan Umar ibn Abd al-'Aziz yang sering dirujuk – bahkan dijadikan satusatunya rujukan oleh kaum Sunni -- untuk mengharamkan mut’ah merupakan hadits-hadits ahad yang sangat lemah (dhoif) karena tidak didukung oleh laporan lain. Ibnu al-Qayyim al-Jawziyya, ulama Sunni abad ke-14 mengatakan hadits pelarangan mut’ah yang disampaikan Sabra tidaklah otentik. Ulama-ulama yang mengkritisi hadis ini merasa heran mengapa “perkara larangan” yang besar itu hanya disampaikan Rasulullah SAW hanya kepada Sabra? Mereka bertanya, apakah sahabat lainnya tuli? Berbeda dengan nikah da’im (permanen), mut’ah adalah pernikahan berjangka waktu yang disepakati dan disebutkan secara eksplisit sebelum dibacakan akad nikah. Ulama Syiah menetapkan waktunya mulai dari satu jam hingga 99 tahun. Syarat sah nikah yang lain, seperti mahar, akad, tidak ada bedanya. Mut’ah juga mengenal iddah bagi perempuan, tapi lebih pendek dari yang berlaku pada nikah da’im, yaitu hanya satu kali suci. Aturan ini disampaikan oleh Ibnu Abbas RA, sahabat Rasulullah SAW yang berdialog dengan seseorang: Ibnu Abbas ditanya: apakah mut’ah itu perzinahan atau perkawinan? Ia menjawab: bukan yang satunya atau yang lainnya. Penanya bertanya lagi: Jika begitu, apa itu? Ibnu Abbas menjawab: Itu mut’ah, Allah saja yang mengatakan. Penanya meneruskan: Apakah ada iddah dalam mut’ah? Ia menjawab: Ya, satu kali suci (menstruasi). Ia juga ditanya: Apakah suami atau istri saling mewarisi? Ia jawab: Tidak. (dari Imam Fakhr al-Razi, Tafsiir-e-Kabir, Volume 3, hal. 286)
Iddah satu kali suci ini juga dijelaskan oleh sahabat lainnya yaitu Abu Sa'id al-Khudri (Hadits Sunan Abu Dawud, Volume 2, No. 2150, Hadits Sahih Muslim, Buku 8, No. 3432).
49
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Perbedaan lain, dalam mut’ah tidak ada istilah cerai (talak) dan hukum waris tidak berlaku bagi mereka. Begitu jangka waktu mut’ah yang disepakati telah habis dengan sendirinya hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan langsung menjadi zina/haram. Bukankah talak adalah cara memutus perkawinan yang tidak mempunyai batas waktu (da’im)? Karena batas waktu nikah mut’ah sudah jelas sejak awal, dinyatakan dalam perjanjian, talak tidak lagi diperlukan. Jika salah seorang diantara mereka meninggal dalam menjalankan mut’ah mereka tidak saling mewarisi karena status masing-masing bukanlah suami atau istri. Tujuan mut’ah semata-mata untuk kesenangan atau kepuasan seksual, bukan untuk membentuk keluarga dan reproduksi. Namun apabila terjadi kehamilan, tidak seperti halnya zina, anak tetap diakui sebagai anak yang sah dan diketahui siapa ayahnya, sehingga ia pun mempunyai hak waris atas kekayaan ayahnya. Nikah mut’ah dipraktekkan para mujahiddin dalam peperangan maupun dalam masa damai dengan perempuan ma malakat aimaanukum. Rasulullah sendiri mendapatkan izin dari Allah SWT melakukan mut’ah melalui firmanNya dalam Surat Al Ahzab:
Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan ma malakat aimanuka yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu... (Al Ahzab: 50)
Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali ma malakat aimanuka. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. (Al Ahzab:52)
Ayat 50-51 Al Ahzab melarang Nabi mengawini (secara da’im) perempuan-perempuan lain selain yang telah dikawini, namun Allah SWT masih mengizinkan beliau menggauli ”yang ada dalam genggaman tangan kanan”.
50
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Nikah mut’ah tidak ada hubungannya dengan firqah tertentu dalam komunitas Islam, melainkan sesungguhnya wujud kemudahan yang dianugerahkan Allah SWT kepada ummatnya (An Nisaa: 28). Adalah keliru besar bila ada pihak-pihak tertentu mengatakan mut’ah sebagai bentuk kesesatan kelompok tertentu karena semua dalilnya ada dalam Alquran. Tabel 6: Nama-Nama Sahabat Rasulullah yang Meyakini Mut’ah adalah Halal 1. Khalifah Ali bin Abithalib (AS), 2. Abu Dhar, 3. Jabir Ibn Abdillah, 4. Abdullah Ibn Abbas, 5. Abdullah Ibn Masud, 6. Zubair Ibn al-Awwam, 7. Imran Ibn Husain,
12.Awka' Ibn Abdillah, 13.Salamah Ibn al-Awka', 14.Khalid Ibn Muhajir, 15.'Amr Ibn Huraith, 16.Rabi'a Ibn Umayya, 17.Suhair, 18.Sa'id Ibn Jubair Tawoos, 19.Qotadah, 20.Mujahid, 21.Ataa al-Madani alSuddy, 22.Hasan bin Ali (AS)
8. Abdullah Ibn Umar, 9. Ubay Ibn Ka'ab, 10.Abu Sa'id al-Khudri, 11.Salamah Ibn Umayyah,
6
Penutup
A
llah SWT telah menjelaskan melalui Alquran pandangan Islam tentang seks berikut jalan untuk menghindari zina. Islam tidak memandang seks sebagai sesuatu yang menjijikkan dan harus dihindari sebagaimana diyakini kaum Nasrani. Bahkan, sebaliknya, bagi Islam seks adalah sesuatu yang harus disalurkan dan diperlakukan dengan penuh rasa hormat dalam batas-batasan yang telah ditentukanNya. Namun ”kebebasan seksual” a la Islam ini telah mengalami degradasi yang menyedihkan karena munculnya berbagai bentuk pengekangan buatan manusia. Akibatnya, karena jalan yang halal ditutup untuk mereka, demikian banyak ummat yang akhirnya terjerembab dalam lumpur zina.
51
Khatib Maulana
Islam Menjawab Tuntutan Syahwat
Pengekangan yang mempersempit ”ruang halal” yang telah diberikan Allah SWT menimbulkan sangkaan buruk bahwa Allah sengaja menyiksa manusia dengan syahwat yang diberikannya. Padahal Allah SWT telah menegaskan bahwa Ia hendak memberikan keringanan kepada manusia karena kelemahan manusia itu (An Nisaa:28). Allah SWT juga berfirman bahwa ”Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (Al Hajj: 78). Dengan demikian wajarlah apabila ada sekelompok orang yang menilai pengekangan-pengekangan berlebihan, sehingga menyerupai doktrin Nasrani, sebagai cara-cara terselubung untuk menyesatkan ummat. Mut’ah adalah jalan yang telah dikaruniakan Allah SWT untuk kita, ummat Islam untuk menghindari zina. Jalan inilah yang telah ditutup demi kepentingan politik golongan, kepentingan yang diletakkan lebih tinggi daripada Asma Allah dan kepentingan ummat. Kini kita tidak punya jalan lain untuk menyelamatkan ummat dari kehancuran moralitas seksual, kecuali dengan ”membuka paksa” jalan yang telah ditutup itu. Singkatnya, mut’ah harus dikembangkan dan dijalankan di tengah masyarakat, untuk mereka yang mengalami masa-masa darurat (tidak mampu memenuhi syarat nikah da’im), kendati para penutupnya tidak pernah berlapang hati dan rela. Tugas kita adalah membuat sistem dan ’aturan main’ agar mut’ah tidak diselewengkan menjadi prakterk perzinahan, bukan mengharamkan yang halal! Bagi pezina yang sadar perbuatannya salah --- hati kecil mereka menjerit, namun tidak mudah meninggalkan perbuatan itu --- mut’ah adalah jalan keluar terbaik. Praktis dan murah. Setelah melengkapi hubungannya dengan perjanjian lama berhubungan (beberapa jam, minggu atau beberapa bulan), kesepakatan jumlah mahar (biasanya tidak besar-besar agar tidak berpretensi prostitusi) dan akad nikah, hubungan seksual yang mereka lakukan langsung berubah status dari haram ke halal. Semoga Allah SWT senantiasa bersama kita. Amin.
52