MAKALAH “Seksualitas Dalam Keluarga” Bimbingan dan Konseling Keluarga
Dosen Pengampu: Urotul Aliyah, M.Pd
Justika Fauzan Lestari
1740606063
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN TAHUN 2019
BAB I PEMBAHASAN
A. Seksualitas 1. Pengertian Seksualitas Seks merupakan kegiatan fisik, sedangkan seksualitas bersifat total, multi-determined dan multi-dimensi. Oleh karena itu, seksualitas bersifat holistik yang melibatkan aspek biopsiko sosial kultural dan spiritual. Identitas seksual adalah pengenalan dasar tentang seks diri sendiri secara anatomis yang sangat berhubungan dengan kondisi biologis, yaitu kondisi anatomis dan fisiologis, organ seks, hormon dan otak dan saraf pusat. Seorang anak dapat menafsirkan secara jelas perilaku orang lain yang sesuai dengan identitas seksualnya, yang bagaimana seorang memutuskan untuk menafsirkan identitas seksual untuk dirinya sendiri atau citra diri seksual (sexual selfimage) dan konsep diri. Peran jender berhubungan dengan bagaimana identitas jender seseorang diekspresikan secara sosial dalam perilaku jenis seks yang sama atau berbeda. Identitas jender mulai berkembang sejak usia 2 hingga 3 tahun yang dipengaruhi oleh faktor biologis (embrionik dan sistem saraf pusat), anatomi genital dan pola orang tua terhadap anak. Dengan demikian, sebenarnya peran jender terbina melalui pengamatan. Dalam hal ini dapat disimpulkan, bahwa pada dasarnya seksualitas tidak terbatas hanya di tempat tidur atau bagian tubuh saja, tetapi merupakan ekspresi kepribadian, perasaan fisik dan simbolik tentang kemesraan, menghargai dan saling memperhatikan secara timbal balik. Perilaku seksual seseorang sangat ditentukan oleh berbagai kebutuhan, antara lain kebutuhan akan cinta dan kasih sayang, rasa aman psikologis, serta harga diri sebagai wanita atau pria. Pada kondisi dimana kesehatannya mengalami gangguan, seseorang kemungkinan besar akan mengalami gangguan pemenuhan kemenuhan kebutuhan seksualitasnya, yang dapat ditampilkan melalui berbagai perilaku seksual.
Seks
umumnya
digunakan
untuk
merujuk
kepada
persoalan
reproduksi dan aktivitas seksual. Sedangkan, gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek nonbiologis lainnya. Berbeda halnya dengan Seksualitas, mengutip Foucault, seksualitas bukanlah dorongan dari dalam atau bersifat biologis tetapi merupakan bentuk perilaku dan pikiran yang ditempa atau ditundukkan oleh relasi-relasi kekuasaan, yang dijalankan untuk tujuantujuan yang lain di luar kepentingan seksualitas itu sendiri. Sejalan dengan itu, Anton Konseng, seperti yang dikutip Ampy Kali, menjelaskan bahwa istilah seks dipahami sebagai aktivitas seksual genital. Sedangkan, istilah seksualitas dipahami sebagai suatu aspek inti manusia sepanjang hidupnya, dan meliputi seks, identitas, peran gender, orientasi seksual, erotisisme, kenikmatan,
kemesraan,
dan
reproduksi.
Seksualitas
dialami
dan
diungkapkan dalam pikiran, khayalan, gairah, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, perbuatan, peran dan hubungan. Secara dimensional, seksualitas dipilah lagi ke dalam dimensi biologi, psikososial, perilaku, klinis, dan kultural.
B. Keluarga 1. Pengertian Keluarga Keluarga berdasarkan asalusul kata yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara (Abu&Nur, 2001: 176), bahwa keluarga berasal dari bahasa Jawa yang terbentuk dari dua kata yaitu kawula dan warga. Didalam bahasa Jawa kuno kawula berarti hamba dan warga artinya anggota. Secara bebas dapat diartikan bahwa keluarga adalah anggota hamba atau warga saya. Artinya setiap anggota dari kawula merasakan sebagai satu kesatuan yang utuh sebagai bagian dari dirinya dan dirinya juga merupakan bagian dari warga yang lainnya secara keseluruhan. Keluarga adalah lingkungan dimana beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah dan bersatu. Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal dalam satu
rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anakanak yang belum menikah disebut keluarga batih. Sebagai unit pergaulan terkecil yang hidup dalam masyarakat, keluarga batih mempunyai peranan-peranan tertentu, yaitu (Soerjono, 2004: 23): Bentuk keluarga di lihat dari jumlah anggota keluarga: a. Keluarga Batih (Nuclear family) adalah kelompok orang yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum memisahkan diri dan membentuk keluarga tersendiri. Keluarga ini bisa juga disebut keluarga conjugal (conjugal family), yaitu keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri bersama anak-anaknya. b. Keluarga Luas (Extended family) Keluarga luas yaitu keluarga yang terdiri dari semua orang yang berketurunan dari kakek dan nenek yangsama termasuk keturunan masing-masing istri Jurnal Holistik, Tahun IX No. 17A / Januari - Juni 2016 5 dan suami. Dengan kata lain keluarga luas ialah keluarga batih ditambah kerabat lain yang memilki hubungan erat dan senantiasa di pertahankan. Sebutan keluarga yang diperluas digunakan bagi suatu system yang masyarakatnya mengiginkan beberapa generasi yang hidup dalam suatu atap rumah tangga. 2. Fungsi sosialisasi keluarga merupakan proses awal dimana kepribadian anak ditentukan lewat interaksi sosial. Agen utama dalam hubungan ini adalah keluarga, dan kontak pertama dari anak hampir hanya dengan anggotaanggota kelompok ini. Tiap-tiap masyarakat seharusnya mengajarkan si anak untuk menjadi anggota yang bertanggung jawab, dan yang paling utama adalah melalui keluarga. Di sini anak belajar menerima norma-norma sosial, sikap-sikap, nilai-nilai serta pola tingkah lakunya menjadi dapat diperkirakan oleh anggota masyarakat lainnya. Bahasa, pola-pola seks, kenyakinan agama, sopan santun dan peletakan berbagai elemenelemen kebudayaan juga ditangani lewat keluarga (Talcot Parson dalam Khairuddin, 1985: 126).
C. Seksualitas dalam keluarga Ada beberapa pasal dalam UUP yang secara jelas memperlihatkan konstruksi seksualitas tersebut. Antara lain; pasal 1 yang berbunyi: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Masa Esa. Pasal ini secara langsung menegaskan bahwa yang disebut sebagai perkawinan adalah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Kata “seorang pria dengan seorang wanita” mengindikasikan bahwa hanya satu orang lakilaki dengan satu orang perempuan yang dibolehkan melakukan perkawinan. Jadi ikatan lahir batin seorang laki-laki dengan seorang lakilaki atau seorang perempuan dengan seorang perempuan tidaklah bisa disebut perkawinan. Hal ini menegaskan ideologi heteroseksualitas yang telah lama diadopsi oleh Indonesia. Perkawinan hanya boleh dilakukan oleh yang berlawanan jenis kelamin. Sedangkan, perkawinan yang sejenis sangat dikutuk. Ideologi heteroseksualitas ini tentu berorientasi pada reproduksi. Sehingga aturan pasal ini jelas mengutuk orientasi seksual yang tidak reproduksi. Pada titik inilah norma-norma ideal tentang perempuan diciptakan. Perempuan yang ideal adalah perempuan yang melahirkan dan memiliki peran reproduktif mereka. Walau reproduksi tersebut kemudian juga dibatasi oleh pemerintah. Memang hal ini, dalam kerangka pemahaman masyarakat Indonesia yang didominasi oleh ajaran normatif Islam tidaklah menjadi masalah, yang masalah adalah ketika seorang laki-laki dengan seorang laki-laki atau perempuan dengan perempuan melakukan pernikahan. Namun, permasalahannya bukanlah pada pembolehan perkawinan homoseksual tetapi bahwa ketika perkawinan heteroseksual dibakukan maka di saat itulah perempuan ditempatkan pada posisi yang harus menerima kodrat yang tidak bisa diganggu gugat lagi oleh mereka. Pada saat yang sama, mereka harus mengemban tugas sebagai ibu rumah tangga yang ideal, yang hanya berada dalam wilayah domestik saja, melahirkan, menyusui dan mengurus anak. Sehingga, perempuan seakan harus
patuh dengan kodratnya yang diciptakan, dan pada akhirnya, menjadi objek dari kepentingan-kepentingan penguasa. Selanjutnya pasal 7 ayat (1) tentang usia perkawinan, Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.32 Pasal ini secara tekstual mengatur tentang usia perkawinan. Namun di balik itu semua dapat dilihat bahwa pasal ini tidak saja mengatur kapan seseorang harus kawin, namun juga mengatur kapan seseorang boleh bereproduksi, dan kapan seseorang baru bisa berkontribusi dalam bangsa. Artinya, pasal ini membentuk seseorang dalam hal seksualitasnya untuk menyalurkan hasrat seks dan berkeluarga pada usia tertentu. Sehingga, ketika seseorang belum berusia sebagaimana yang telah diatur belumlah dapat dikatakan sebagai seseorang yang mampu untuk melakukan hubungan seksualitas dan menjalin keluarga. Hal ini berakibat kepada stigma masyarakat tentang pernikahan dini yang dianggap buruk. Sebagian masyarakat mengutuk pernikahan dini. Tentu pasal ini juga menempatkan seksualitas laki-laki lebih matang dari perempuan pada usia yang telah ditentukan. Semisal, laki-laki yang berusia 19 tahun dianggap telah mampu melakukan hubungan seksual, sedangkan perempuan dengan usia 16 tahun dianggap juga mampu. Padahal, jika dilihat dari segi usia dan kematangan seksual, laki-laki dan perempuan adalah sama. Setidaknya, usia perempuan disetarakan dengan laki-laki agar menjalani proses reproduksi dengan baik. Konstruksi inilah yang kemudian menempatkan perempuan pada posisi objek seksual yang dipaksakan usianya untuk melakukan hubungan seksual, berkeluarga, dan bereproduksi. Dalam kerangka normatif Islam, kategori seseorang boleh melakukan pernikahan adalah ketika mereka sudah baligh dan berakal, sudah menstruasi bagi perempuan. Dalam hal ini tidak ditentukan berapa umurnya, kecuali beberapa ulama yang mempertimbangkan kondisi laki-laki dan perempuan ketika itu. Namun, pertimbangan tersebut tentu perlu dikontekstualisasikan dengan masyarakat Indonesia saat ini. Sehingga perlu analisis yang mendalam terkait dengan usia pernikahan yang
dibolehkan sesuai dengan kondisi, kematangan seksual, kematangan jasmani dan rohani calon pasangan suami istri tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Pakey, Yohanis. 2016. Pendidikan Seksualitas Remaja Dalam Keluarga. Jurnal Holistik.
Surau, Arifki. 2016. Konstruksi Seksualitas Dalam Keluarga. Musãwa, Volume 15