Islam Inquiry Science Bahasa (autosaved) (autosaved).docx

  • Uploaded by: Being K
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Islam Inquiry Science Bahasa (autosaved) (autosaved).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,499
  • Pages: 5
Students’ Experiences in Teaching and Learning Islamic Education Using Philosophical Inquiry Method Oleh: Wan Mazwati Wan Yusoff , Abdul Shakour Preece , Lina Mursyidah Hamzah

Judul

Penulis Tahun Terbit Jurnal Rujukan

: Students’ Experiences in Teaching and Learning Islamic Education Using Philosophical Inquiry Method : Pengalaman Siswa dalam Mengajar dan Belajar Pendidikan Islam Menggunakan Metode Inkuiri Filosofis : Wan Mazwati Wan Yusoff , Abdul Shakour Preece , Lina Mursyidah Hamzah : 2018 : Journal of Education and Learning (EduLearn) Vol.12, No.2, May 2018, pp. 266-274 : Yusoff, W. M. W., Preece, A. S., dan Hamzah, L. M. 2018. Students’ Experiences in Teaching and Learning Islamic Education Using Philosophical Inquiry Method. Journal of Education and Learning (EduLearn). 12(2): 266-274 Abstrak

Penelitian telah menunjukkan bahwa metode pengajaran tradisional dengan ‘kapur’ dan ‘ceramah’ adalah umum di kalangan guru Pendidikan Islam. Pedagogi yang berpusat pada guru tersebut gagal untuk meningkatkan pembelajaran aktif atau interaksi antara guru dan siswa; dan antara siswa dan siswa. Hasilnya adalah kurangnya minat dalam belajar karena siswa tidak dirangsang atau terlibat oleh aktivitas kelas atau pedagogi yang menarik. Sejumlah penelitian yang dilakukan oleh sejumlah negara telah membuktikan bahwa Philosophical Inquiry Method (PIM) / (Metode Inkuiri Filosofis (MIF)) efektif dalam meningkatkan diskusi dan membuat siswa terlibat aktif dalam pembelajaran, karena mereka menemukan makna baru. Setelah pertanyaan tersebut masih sedikit yang dapat diketahui mengenai dampak PIM terhadap keterlibatan siswa Pendidikan Islam Malaysia. Oleh karena itu, studi kasus eksploratif dilakukan untuk mengukur pandangan dan pengalaman siswa dari PIM untuk mengajarkan aqidah (keyakinan). Penelitian ini melibatkan siswa berusia 13 - 14 tahun yang berada di Form 2 di sekolah menengah Islam di Selangor, dengan fokus terutama pada subjek Pendidikan Islam aqidah. Setelah menyelesaikan enam sesi penyelidikan filosofis, empat siswa diwawancarai untuk mengukur tanggapan mereka terhadap program. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa menyatakan pelajaran lebih mudah dipahami, karena mereka menjelajahi di luar isi buku teks dan mereka menikmati pedagogi baru ini. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa PIM memberi siswa pengalaman belajar yang positif untuk subjek aqidah. I. PENDAHULUAN Salah satu tugas terbedsar dalam pendidikan adalah mengikutsertakan siswa dalam proses belajar mengajar. Berdasarkan Swartz dan Perkin, lingkungan kognitif di kelas meningkatkan hubungan antara 'guru-siswa' dan 'siswasiswa' sehingga dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam proses belajar mengajar. Suerya menyatakan bahwa guru memegang peranan dalam mendorong siswa untuk berfikir, dan metodologi pembelajara adalah refleksi dari inisiatif dan kreativitas guru untuk menciptakan lingkungan kognitif. Pendidikan Islam merupakan matapelajaran wajib bagi Muslim di Malaysia. Tujuan dari Pendidikan Islam adalah menciptakan Muslim yang baik yaitu seimbang fisik, psikologi, intelektual, dan spitirualnya. Arketipe dari karakter yang memiliki moral yang baik adalah Nabi Muhammad saw. Langkah pertama yang dilaksanakan Nabi Muhammad dalam mengembangkan karakter moral yang baik adalah membentuk fondasi kuat melalui pemikiran dan tindakan setiap Muslim atau dengan membentuk akidah yang kuat. Oleh karena itu, pendidikan Islam yang diajarkan

di sekolah harus memungkinkan siswa untuk memahami aqidah Islam dan menginternalkan pengajarannya dalam kehidupan sehari-hari mereka. Aqidah yang kuat dapat dikembangkan hanya ketika siswa mampu mempertahankan keyakinan mereka dengan bukti dari argumen logis dan dari penyelidikan ilmiah dan historis. Hal ini dilakukan dengan cara menganalisis, menafsirkan, mengevaluasi, membuat kesimpulan, menjelaskan, mengelaborasi, menghasilkan beberapa penjelasan dan mempertimbangkan perspektif pengalaman manusia di masa lalu dan sekarang, serta 'kebenaran yang dilaporkan' dari otoritas suara. Dengan demikian, pendidikan Islam tidak hanya tentang pemindahan informasi dari pikiran guru ke pikiran kepada siswa; sebaliknya itu adalah buah dari aktivitas yang intens dan pemikiran yang rumit. Penelitian menunjukkan bahwa siswa Muslim Malaysia yang terlibat dalam kegiatan tidak bermoral sebenarnya tidak kekurangan informasi tentang aqidah Islam, tetapi bahwa pengetahuan ini tidak diterjemahkan ke dalam perilaku moral. Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap masalah ini, menurut pendapat para peneliti, adalah pemahaman dangkal aqidah Islam. Siswa diminta untuk menghafal fakta dari buku teks atau dari catatan guru di papan tulis tanpa pemahaman yang memadai. Selain itu, pikiran siswa tidak dirangsang oleh pertanyaan tingkat tinggi yang memancing mereka untuk merenungkan secara mendalam. Sebaliknya, metode tradisional yang berpusat pada guru memperlakukan pembelajar sebagai penerima informasi yang pasif sedangkan dialog, diskusi dan perdebatan adalah minimal atau tidak ada. Peluang bagi siswa untuk mengembangkan pemikiran kritis dan kreatif mereka di kelas pendidikan Islam sangat terbatas sehingga siswa cenderung kehilangan minat dalam mempelajari Studi Islam sama sekali. Ini bisa menciptakan penghalang antara siswa dan studi Islam yang dapat menghalangi mereka mengembangkan karakter moral yang baik. Akibatnya, siswa harus didorong dan didukung untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis mereka dengan cara komunikasi dua arah dan diskusi kelas. Menurut al-Ghazali pengetahuan adalah hasil dari pemrosesan informasi menggunakan pemikiran yang sangat baik yang memungkinkan pembawanya untuk berperilaku sesuai dengan pengetahuan ini. Oleh karena itu, informasi yang diperoleh dari guru atau dari buku tanpa proses berpikir tidak harus benar-benar disebut pengetahuan. Memperoleh pengetahuan tidak hanya tentang mampu mendeskripsikan objek pengetahuan, tetapi juga untuk dapat bertindak sesuai dengan tujuan di mana pengetahuan itu dicari dan untuk dapat menerapkannya dalam berbagai konteks. Ini membutuhkan pemikiran tingkat tinggi (High Order Thinking Skills). Sayangnya, metode pengajaran yang lazim di sekolah-sekolah Malaysia untuk menanamkan studi Islam tidak melibatkan siswa dalam diskursus intelektual. Oleh karena itu, guru perlu menggunakan metode berbeda yang melibatkan siswa dalam pemikiran tingkat tinggi untuk memungkinkan mereka membuat keputusan yang benar tentang apa yang harus dipercaya dan bagaimana bertindak. Bagaimanapun, al-Qur’an mengingatkan kita lagi dan lagi untuk menggunakan pikiran kita dan untuk berpikir. 1.1. Pedagogi Penyelidikan Filosofis Mengenai Penyelidikan Filosofis kita menemukan bahwa kata 'inkuiri' berarti penyelidikan untuk menemukan jawaban atas situasi yang bermasalah. Kegiatan utama filsafat adalah mengeksplorasi asumsi dan pandangan orang itu sendiri dan orang lain; juga disebut 'berfilsafat', yang tidak eksklusif bagi para filsuf karena melibatkan mengajukan pertanyaan dan berpikir keras tentang masalah kehidupan mendasar yang mempengaruhi semua orang. Pertanyaan yang menanyakan tentang metafisika, epistemologi dan aksiologi menolak resolusi melalui penyelidikan empiris. Kami juga 'berfilsafat’ ketika kami mempertanyakan norma-norma dan keyakinan yang diterima di sekitar kami, untuk menemukan alasan atau menentang norma-norma dan keyakinan yang diterima, sebelum menerima atau menolaknya. Satu-satunya instrumen yang cocok untuk mencari solusi atas pertanyaan filosofis adalah kecerdasan manusia. Jawaban kami untuk pertanyaan semacam itu sebenarnya adalah klaim mengenai pertanyaan dan masalah paling mendasar dalam hidup, yang didukung oleh alasan dan bukti. Klaim adalah pernyataan yang mengandung nilai kebenaran yaitu pernyataan yang benar atau salah. Karenanya, klaim harus didukung dengan alasan. Dengan demikian, merupakan bagian penting dalam memberikan alasan yang baik. Berfilosofi juga melibatkan analisis kritis dan evaluasi klaim yang dibuat atau alasan yang diajukan oleh filsuf dan individu lain tentang pertanyaan kehidupan yang mendasar. Yaitu, membuat penilaian tentang nilai kebenaran dari klaim tersebut. Filsafat dapat dilakukan sendiri atau dalam komunitas menggunakan dialog. Apakah itu dilakukan sendiri, melalui buku-buku atau dalam suatu komunitas, melakukan filsafat membutuhkan kerja metode pemikiran filosofis yaitu seperangkat keterampilan dan kebiasaan intelektual. Berfilosofi melibatkan komponenkomponen berikut (Woodhause, 2000). 1. Mengidentifikasi jenis klaim yang dibuat 2. Mengklarifikasi makna konsep kunci dalam klaim 3. Mengevaluasi argumen pendukung untuk klaim yang dibuat 4. Menganalisis nilai kebenaran tempat

5. 6. 7.

Menganalisis nilai kebenaran dari asumsi Mengevaluasi masuk akal konsekuensi logis Mengevaluasi kecukupan dan kesesuaian teori filosofis yang dibuat Philosophical Inquiry (PI) adalah penyelidikan atas subjek filsafat menggunakan pemikiran filosofis dalam diskusi filosofis. Tujuan utama P4C, menurut Lipman adalah membantu siswa untuk berpikir secara mandiri dan berpikir lebih bijaksana melalui dialog filosofis di kelas. Dialog ini terdiri dari mempertanyakan, mendiskusikan, dan bereksperimen dengan ide-ide dan merupakan kegiatan inti untuk mengembangkan keterampilan filosofis dan tiba pada kebenaran. Dalam sebuah dialog, pertanyaan diajukan untuk memperjelas makna; untuk mengungkap asumsi yang mendasari; untuk menuntut pembenaran klaim; untuk mengekspos implikasi dan konsekuensi dari tesis filosofis; mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan; dan untuk mencari penjelasan atau perspektif lain yang memungkinkan. Berfilosofi menggunakan dialog menyiratkan bahwa filsafat dilakukan dalam suatu kelompok. Lipman menyebut ini ‘community of inquiry’ (CI). Dalam dialog CI, para peserta dipaksa untuk berpikir cepat dan rasional untuk mengklarifikasi makna dan untuk membenarkan klaim. Dalam upaya untuk memperjelas pandangan dan klaim, masing-masing anggota mencoba untuk membuatnya atau penjelasan atau pembenarannya dipahami. Cara-cara alternatif untuk menjelaskan dapat berupa bentuk analogi, metafora, dan perumpamaan. Inkuiri filosofis dalam suatu komunitas memungkinkan anggotanya memahami pandangan satu sama lain, dan ini memperluas perspektif mereka. Bahkan dapat membantu membangun pandangan dunia mereka. Dalam upaya untuk membenarkan klaim, seseorang dapat menemukan asumsi sendiri yang tidak disadari oleh seseorang. Ini bisa menjadi penemuan yang bermakna dan mengubah hidup yang dapat menyebabkan seseorang mengubah keyakinan seseorang, jika kita menyadari bahwa asumsi tersembunyi kita mendukung beberapa keyakinan yang salah. Terlebih lagi, berfilosofi dalam suatu kelompok memungkinkan peserta untuk menyadari kesalahan dalam penalaran, yang bisa tidak terdeteksi jika dilakukan secara terpisah. Selain itu, anggota komunitas penyelidikan belajar dari pengalaman satu sama lain, menantang satu sama lain untuk menghasilkan opini yang paling masuk akal atau dapat dipertahankan.. 1.2. Komunitas Penyelidikan (community of inquiry) Ruang kelas yang diubah menjadi CI berbeda dari ruang kelas reguler. Di CI, siswa berbagi tujuan bersama dan bekerja secara kolaboratif untuk mencapainya. Di CI, guru mengawasi aspek prosedural inquiri dan menyatu ke dalam komunitas sebagai anggota. Setiap anggota dianggap sama. Menurut Davey [31], ada dua aspek dari CI. Selain aspek prosedural, ada aspek substantif dari inkuiri. Ini berarti dialog di CI harus menghasilkan sesuatu. Oleh karena itu, CI tidak tanpa tujuan. Ini adalah proses yang bertujuan menghasilkan suatu produk. Gardner berpendapat bahwa CI “harus membuat beberapa kemajuan menuju kebenaran untuk menjadi layak dari namanya”. Produk dari CI meliputi pemahaman baru mengenai tentang konsepkonsep tertentu dan permasalahan, penciptaan makna baru, penerapan pengetahuan, perspektif alternatif, kontribusi ide-ide baru, membangun ide-ide orang lain, membuat analogi yang baik dan metafora dan menyatakan implikasi dari teori filosofis. CI menyediakan platform bagi siswa untuk mengembangkan pemikiran mereka, untuk membuat penilaian moral dan untuk terlibat dalam penyelidikan sosial. Ini memberi kesempatan bagi siswa untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Di CI, siswa belajar bersama dengan berbagi pengalaman, dan berkolaborasi untuk sampai pada pemahaman dan penemuan. Makna dan pengetahuan berada di bawah bimbingan seorang fasilitator. Bekerja bersama dalam komunitas menuntut siswa untuk peduli dan menghormati satu sama lain, untuk menjadi reflektif, perhatian, bijaksana, dan masuk akal. Oleh karena itu, CI adalah tempat untuk mengembangkan pemikiran etis, yang diperlukan untuk membuat keputusan berdasarkan informasi mengenai interelasi dengan orang lain dan dengan lingkungan. CI juga memberikan kesempatan untuk pengembangan pandangan dunia yang sistematis karena isinya diskusi adalah tentang isu-isu mendasar kehidupan. Peran guru dalam CI adalah seorang fasilitator yang membimbing siswa selama diskusi filosofis. Guru harus dapat menghubungkan tema filosofis yang dibahas di kelas dengan kehidupan siswa; untuk memperkenalkan perspektif alternatif tentang isu-isu yang didiskusikan; untuk memperluas wawasan siswa; untuk menunjukkan antusiasme untuk keunggulan dalam berpikir dan berperilaku dan yang paling penting untuk menjadi teladan dalam mengejar makna. Lipman mempertimbangkan peran guru selama diskusi filosofis sebagai seorang yang: 1. Menimbulkan pandangan dan klarifikasi dari siswa 2. Menjelaskan dan menafsirkan tanggapan siswa untuk mengkonfirmasi pemahaman 3. Tunjukkan ketidakkonsistenan dalam respon siswa 4. Mencari asumsi yang mendasari klaim siswa 5. Mengidentifikasi kesalahan dalam penalaran siswa 6. Meminta justifikasi

Konstruktivisme adalah teori yang tepat untuk penelitian karena menjelaskan bagaimana individu belajar melalui pemahaman dan interpretasi mereka sendiri tentang pengalaman pribadi dan pengetahuan dunia. Inkuiri filosofis memungkinkan siswa untuk menginterpretasi makna pelajaran dengan cara mereka sendiri. Untuk tujuan ini, guru perlu memilih konten pelajaran dengan hati-hati agar sesuai dan mengembangkan kemampuan kognitif siswa. 1.3. Pandangan Cendekiawan Muslim tentang Penyelidikan Filosofis Evaluasi dari kritikus Al-Ghazali menyimpulkan bahwa metode filosofis dapat menjadi ukuran pengetahuan. Dia menulis dalam Qistas al-Mustaqim (Just Balance) bahwa seseorang tidak dapat bergantung pada pemimpin agama untuk menyelesaikan masalahnya sepanjang waktu. Akan ada saat-saat ketika dia harus menggunakan alasannya sendiri untuk mengevaluasi pengetahuan. Dia menyarankan bahwa metode penalaran filosofis adalah skala yang adil untuk mengevaluasi pengetahuan, untuk menjauh dari tiruan tiruan. Ibnu Rusyd mengemukakan bahwa penalaran intelektual adalah kewajiban agama, dan karena penalaran intelektual adalah metode filsafat, ia juga menyimpulkan bahwa studi tentang filosofi adalah kewajiban agama. Kaloti melaporkan bahwa Jamaluddin Afghani mendesak umat Islam untuk memasukkan filsafat dalam pendidikan mereka karena hal itu meningkatkan pikiran untuk memahami secara intelektual dan dengan demikian membebaskan umat Islam dari alasan yang lemah. Murid Afghani, Muhammad Abduh, mengklaim bahwa kebingungan intelektual yang melanda komunitas Muslim adalah konsekuensi dari kurangnya pemikiran rasional. 1.4. Pandangan Siswa tentang Philosophical Inquiry Stabile dan Leckey menemukan bahwa siswa dilibatkan oleh dan berpartisipasi aktif dalam diskusi penyelidikan filosofis. Sampai mereka diperkenalkan untuk penyelidikan filosofis, para siswa mengklaim bahwa mereka tidak melihat relevansi pembelajaran ilmu sosial. Mereka merasa bahwa penyelidikan filosofis membahas masalah kehidupan nyata yang mempengaruhi mereka secara langsung. Hashim, Hussein dan Imran melakukan penelitian kuantitatif yang mengkonfirmasi temuan penelitian sebelumnya. Mereka melaporkan bahwa 73% dari 188 siswa di sekolah internasional di Malaysia menikmati PIM dan mengklaim bahwa metode tersebut membantu mereka untuk berpikir lebih baik. Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa metode ini menarik. Profesor Rosnani Hashim dan timnya di International Islamic University Malaysia (IIUM) telah berjuang keras untuk mempromosikan PIM dengan menghasilkan bukti empiris tentang dampak positif pada keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa, keterlibatan dalam pembelajaran dan efek non-kognitif lainnya. Karena siswa adalah pemangku kepentingan utama dari sistem pendidikan, pandangan mereka tentang apa yang menarik minat mereka dan apa yang mereka temukan perlu dinikmati.

2. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian iteratif yang bermutu, yaitu, studi kasus eksploratif, karena ia mencoba untuk menyelidiki secara empiris fenomena yang ada dalam pengaturan yang sebenarnya di mana garis demarkasi antara masalah yang diselidiki dan konteks di mana blem pro terjadi tidak jelas [48] . Selanjutnya, studi kasus memberikan informasi yang mendalam dan kaya tentang penerapan PIM dalam lingkungan belajar yang dipilih untuk tujuan evaluasi [49]. Studi kasus kualitatif juga memungkinkan para peneliti untuk menggunakan berbagai instrumen pengumpulan data, seperti: wawancara kelompok terfokus, wawancara individu dan observasi [50]. Secara khusus, penelitian ini menggunakan studi kasus eksplorasi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam tentang fenomena PIM yang digunakan untuk setiap aqidah dalam konteks Malaysia. Ini dilakukan untuk mengukur pandangan siswa dan pengalaman penyelidikan filosofis di kelas. Namun, temuan penelitian ini hanya menjelaskan perilaku siswa dari kelas yang dipilih. Hasilnya tidak dapat digeneralisasikan ke seluruh populasi siswa sekolah, atau ke sekolah lain yang mengalami pembelajaran menggunakan PIM. Data yang dikumpulkan oleh penelitian ini diambil dari pandangan dan pemikiran siswa tentang pengalaman mereka selama belajar dengan PIM. Sebanyak ttyty-seven Secondary Two siswa setuju untuk diamati untuk tujuan penelitian. Mereka dijamin anonimitas dan privasi dan bahwa informasi itu dikumpulkan murni untuk tujuan penelitian. Enam sesi PIM dilakukan untuk belajar, untuk memberi para siswa cukup paparan dan pengalaman dari metode untuk membentuk opini dan pandangan yang diinformasikan tentang PIM. Setiap sesi memakan waktu sekitar 40 menit dan perilaku siswa diamati selama sesi PIM untuk menentukan tingkat partisipasi mereka dalam diskusi dan kegiatan pemikiran terkait. Para peneliti menyimpan catatan lapangan yang terperinci, berdasarkan daftar keterampilan berpikir. Setelah empat sesi, para siswa diwawancarai secara individual tentang pengalaman mereka selama sesi PIM. Beberapa nama disarankan oleh guru untuk wawancara, empat di antaranya setuju untuk diwawancarai. Para narasumber terdiri dari dua siswa

perempuan dan dua laki-laki yang diberi kode: P1 ke P4. Data yang dikumpulkan dari wawancara kemudian dianalisis menggunakan analisis tematik. Dua tema utama muncul yang kemudian divalidasi oleh dua ahli inter-penilai untuk keandalan.

3 4.

HASIL DAN ANALISIS KESIMPULAN Ada kebutuhan mendesak untuk meninjau metode pengajaran yang digunakan dalam Studi Islam di

Related Documents


More Documents from ""

Arcl.docx
December 2019 20
Lkm Masalah.docx
December 2019 28
Voorjaar09 Karcher Bv Nv
December 2019 36
October 2019 46