Isi-buku-ilmu-kalam.pdf

  • Uploaded by: Amanda
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Isi-buku-ilmu-kalam.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 32,602
  • Pages: 119
Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

BAB I KERANGKA-KERANGKA ALIRAN ILMU KALAM

1

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

A. Aliran-aliran ilmu kalam Mengkaji aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya merupakan upaya untuk memahami kerangka berfikir dan proses pengambilan keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Perbedaan kesimpulan satu dengan kesimpulan lainnya dalam mengkaji suatu objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural.1 Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, ada dua pendapat diantaranya, yaitu: 1. Ad-Dahlawi; Tampaknya lebih menekankan aspek subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan serupapun pernah dikatakan Imam Munawwir. Ia mengatakan bahwa perbedaan pendapat di dalam Islam lebih dilatarbelakangi adanya beberapa hal yang menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat keputusan. 2. Umar Sulaiman Asy-Syaqar; Ia lebih menekankan aspek objek keputusan sebagai pemicu terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya, ada tiga persoalan yang menjadi objek perbedaan pendapat, yaitu: a.

Persoalan keyakinan (aqa’id),

b.

Persoalan syariah, dan

c.

Persoalan politik.2 Perbedaan metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam,

yaitu kerangka berfikir rasional dan metode berfikir tradisional. Metode berfikir secara rasional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut ini.3 1. Hanya terikat dengan dogma-dogma yang dengan jelas dan tegas disebutkan dalam AlQuran dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qath’i (teks yang tidak diinterpretasi lagi kepada arti lain, selain arti harfinya). 2. Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal. 3. Fokus dalam prinsip berfikir rasional adalah lebih dominannya peran akal sehingga harus lebih ekstra keras berupaya untuk menanamkan suatu ajaran atau konsep kepada orang lain.

1

.Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, CV Pustaka Setia, Bandung, hlm. 31. .Umar Sulaiman Al-Asyaqar. Mengembalikan Citra dan Wibawa Umat: Perpecahan, akar masalah, dan solusinya, Terj. Abu Fahmi, Wacana Lazuardi Amanah. Jakarta. Hlm. 39-55 3. Yunan Yusuf. Corak pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Pustaka Panjimas, Jakarta. 1990. Hlm. 16-17 2

2

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Jadi dominannya aspek rasionalisme dalam ilmu kalam akhirnya menjadikan pemikiran ini jatuh ke wilayah pemikiran metafisika yan lebih bersifat spekulatif dan melampaui batasbatas kemampuan dan daya serap pikiran manusia biasa. Adapun metode berfikir tradisional memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti zhanni (teks yang boleh mengandung arti lain selain dari arti harfinya). 2. Tidak memberikan kebebasan pada manusia dalam berkehendak dan berbuat. 3. Memberikan daya yang kecil kepada akal. Ada tiga berometer, sekurang-kurangnya untuk melihat dan mengetahui suatu aliran, yaitu: kedudukan akal dan fungsi wahyu, perbuatan dan kehendak manusia, serta keadilan atau kehendak mutlak Tuhan. Ciri teologi rasional adalah: 1. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi, karena dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung menggambar arti majazi, 2. Manusia bebas berbuat dan berkehendak. Karena akal kuat, manusia mapu berdiri sendiri 3. Keadilan Tuhan menurut pendapat ini, terlatak pada adanya hukum alam (sunatullah) yang mengatur perjalanan alam ini. 4. Mengatakan bahwa Tuhan bersifat immateri, tak dapat dilihat dengan mata kepala. 5. Mengatakan sabda Tuhan atau kalam bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan. Adapun ciri teologi tradisional: 1. Akal mempunyai kedudukan yang rendah. Karena dalam memahami wahyu, aliran ini cenderung mengambil arti lafzhi atau literal. 2. Manusia tidak bebas bergerak dan berkehendak. 3. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan menurut paham ini, bukanlah sunatullah. Namun benar-benar menurut kehendak mutlak Tuhan. 4. Teologi ini menganggap Tuhan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti. Faham ini sejajar dengan pendapat mereka bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat tajassum atau antropomorphisme, sungguhpun sifat-sifat itu tidak sama dengan sifat jasmani manusia. 5. Mengatakan bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan mestilah kekal. Teologi liberal dengan keadaannya banyak berpegang pada logika lebih sesuai dengan jiwa dan pemikiran kaum terpelajar. Sebaliknya teologi tradisionil, dengan teguhnya berpegang pada arti harfi dari teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis ditambah dengan kurangnya ia menggunakan logika, kurang sesuai dengan jiwa dan pemikiran golongan terpelajar. 3

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Teologi liberal, selanjutnya dengan pembahasanya yang bersifat filosofis, sukar dapat ditangkap oleh golongan awam. Tetapi teologi tradisionil, dengan uraiannya yang sederhana, mudah dapat diterima oleh kaum awam. Aliran teologi yang sering disebut-sebut memiliki cara berfikir teologi rasional adalah Mu’tazilah. Oleh karena itu, Mu’tazilah dikenal sebagai aliran yang bersifat rasional dan liberal. Adapun teologi yang sering disebut-sebut memiliki metode berfikir tradisional adalah Asy’ariyyah. Disamping pengatagorian teologi rasional dan tradisional, dikenal pula pengatagorian akibat adanya perbedaan kerangka berfikir dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kalam.4 1. Aliran Antroposentris Aliran anroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos. Baik yang natural mayupun yang supranatural dalam arti unsur-unsurnya.Manusia adalah anak kosmos.Unsur supranatural dalam diri merupakan sumber kekuatannya.Tugas manusia adalah melepaskan unsur-unsur natural yang jahat.Dengan demikian manusia harus mampu menghapus

kepribadian

kemanusiannya

untuk

meraih

kemerdekaan

dari

lilitan

naturalnya.Orang yang tergolong dalam kelompok ini berpandangan negatif terhadap dunia karena menganggap keselamatan dirinya terletak pada kemampuannya untuk membuang semua hasrat dan keinginannya.Sementara ketakwaan lebih diorientasaikan kepada praktekpraktek pertapaan dan konsep-konsep magis.Tujuan hidupnya bermaksud menyusun kepribadiannya kedalam realita impersonalnya.5 Anshari menganggap manusia yang berpandangan antroposentris sebagai sufi adalah mereka yang berpandangan mistis dan statis. Padahal manusia antroposentris sangat dinamis karena menganggap realitas transenden yang bersifat intrakosmos dan impersonal datang kepada manusia dalam bentuk daya sejak manusia lahir. Daya itu berupa potensi yan menjadikannyamampu membedakan mana yang baik dan mana yamg jahat. Manusia yang memilih kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah (surga), sedangkan manusia yang memilih kejahatan, ia akan memeroleh kerugian melimpah pula (neraka). Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan realitas transenden. aliran teologi yang termasuk dalam kategori ini adalah Qadariah, Mu’tazilah dan Syi’ah.

2. Teolog Teosentris

4.

Muhammad Fazlur Rahman Ansari. Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Terj. Juniarso Ridwan, dkk., Risalah, Bandung. 1984. Hlm. 92 5 .Ibid., hlm. 92

4

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Aliran teosentris menganggap bahwa hakikat transenden bersifat suprakosmos, personal dan ketuhanan. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu yang ada di kosmos ini. Ia dengan segala kekuasaan-Nya- mampu berbuat apa saja secara mutlak. Sewaktu-waktu ia dapat muncul pada masyarakat kosmos. Amnusai adalah makhluk ciptaan-Nya sehingga harus berkarya hanya untuk-Nya.Didalam kondisi yang serba relatif, diri manusia adalah migran abadi yang aka segera kembali kepada Tuhan.Untuk itu manusia harus mampu meningkatkan keselarasan denagn realitas tertinggi dan transenden melalui ketakwaan. Dengan ketakwaannya, manusia akan memperoleh kesempurnaan yang layak, sesuai dengan naturalnya. Dengan kesempurnaan itu pula, manusia akan menjadi sosok yang ideal, yang mampu memancarkan atribut-atribut ketuhanan dalam cermin dirinya. Kondisi semacam inilah yang pada saatnya nanti akan menyelamatkan nasibnya di masa yang akan datang. 6 Manusia teosentris adalah manusia yang statis karena sering terjebak dalam kepasrahan mutlak kepada Tuhan. Sikap kepasrahan menandakan ia tidak mempuyai pilihan. Baginya segala perbuatannya pada hakikatnya adalah aktivitas Tuhan. ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali apa yang telah ditetapkan Tuhan. Denagn cara itu Tuhan menjadi penguasa mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Tuhan bisa saja memasukkan manusia jahat kedalam keuntungan yang melimpah (surga). Begitu pula, Dia dapat memasukkan manusia yang taat dalam situasi yang serba rugi yang terus-menerus (neraka). Aliran teosentris menganggap daya menjadi potensi perbuatan baik atau jahat manusia bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan.Oleh sebab itu, ada kalanya manusia mampu melaksanakan sesuatu perbuatan tatkala ada daya yang datang kepadanya. Sebaliknya ia mampu melaksanakan suatu perbuatan apapun tatkala ia ada daya yang datang kepadanya. Dengan perantara daya, Tuhan selalu campur tangan. Bahkan bisa dikatakan manusia tidak ada daya sama sekali terhadap segala perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam kategori ini adalah Jabbariyah.

3. Aliran Konvergensi atau Sintesis Aliran konvergensi menganggap hakikat realitas transenden bersifat supra sekaligus intrakosmos personal dan impersonal.Lahut dan nashut, makhluk dan Tuhan, sayang dan jahat, lenyap dan abadi, tampak dan abstrak, dan sifat-sifat lainnya yang dikotomik.Ibnu Arabi menamakan sifat-sifat yang semacam ini dengan insijam al-azali (prestabilished harmony).7

6.

Ibid. Hal 56 .Lihat Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyi Ad-Din bin ‘Arabi, Fushush Al-Hikam, Komentar A.R. Nicholson, Jilid II, t.t, hlm. 22 7

5

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Aliran ini memandang bahwa manusia adalah tajjahatau cermin asma dan sifat-sifat realitas mutlak itu.Bahkan, seluruh alam (kosmos), termasuk manusia, juga merupakan cermin asma dan sifat-Nya yang beragam.Oleh sebab itu, eksistensi kosmos yang dikatakan sebagai pencipta pada dasarnya adalah penyingkapan asma dan sifat-sifat-Nya yang azali. Aliran konvergensi memandang bahwa pada dasarnya, sagala sesuatu iyu berada dalam ambigu (serba ganda), baik secara substansial maupun formal.Sesuatu substansial, sesuatu mempunyai nilai-nilai batini, huwiyah dan eternal (qadim) karena merupakan gambaran AlHaq.Dari sisi ini, sesuatu dapat dimusnahkan kapan saja karena sifat makhluk adalah profan dan relatif.Eksistensinya sebagai makhluk adalah mengikuti sunatullah atau natural law (hukum alam) yang berlaku. Aliran ini berkeyakinana bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerja sama antar daya yang transendental (Tuhan) dalam bentuk kebijaksanaan dan daya temporal (manusia) dalam bentuk teknis. Dampaknya, ketika daya manusia tidak berpartisipasi dalam proses peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang transendental yang memproses suatu peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, ia tidak memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan. Sebaliknya, ketika terjadi suatu peristiwa pada dirinya, sementara ia sendiri telah berusaha melakukannya, maka pada dasarnya kerja sama harmonis antara daya transendental dan daya temporal. Konsekuensinya, manusia akan memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan, sebanyak andil temporalnya dalam mengaktualkan peristiwa tertentu. Kebahagiaan, bagi para penganut aliran konvergensi, terletak pada kemampuannya membuat pendulum agar selalu tidak jauh ke kanan atau ke kiri, tetapi di tengah-tengah antara ekstrimitas. Dilihat dari sisi ni, Tuhan adalah sekutu manusia yang tetap, atau lebih luas lagi bahwa Tuhan adalah sekutu makhluk-Nya, sedangkan makhluk adalah sekutu Tuhannya. Ini karena, baik manusia atau makhluk merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan sebagaiman keterpaduan antara dzat Tuhan dan asma serta sifat-sifat-Nya. Kesimpulannya, kemerdekaan

kehendak

manusia

yang

profan

selalu

berdampingan

determinisme

transendental Tuhan yang sakral dan menyatu dalam daya manusia. Aliran teologi yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini adalah Asy’ariyah.

4. Aliran Nihilis Aliran nihilis menganggap bahwa hakikat realitas transendental hanyalah ilusi.Aliran ini pun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi Tuhan kosmos.Manusia hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalam suatu masyarakat yang serba kebetulan.Kekuatan terletak pada kecerdikan diri manusia sendiri sehingga mampu 6

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

melakukan yang terbaik dari tawaran yang terburuk.Idealnya, manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat fisik, yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.8 Semua aliran teologi dalam Islam, baik Asy’ariyah, Maturidiyah apalagi Mu’tazilah sama mempergunakan akal dalam menyelesailkan persoalan-persoalan teologi yang timbul di kalangan umat Islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam derajat kekuasaan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat, Asy’ariah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah. Semua aliran juga berpegang kepada wahyu. Dalam hal ini, perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai teks ayat-ayat alQur’an dan Hadis.Perbedaan interpretasi inilah yang sebenarnya menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu. Hal ini juga tidak obahnya sebagai hal yang terdapat dalah bidang hukum Islam atau Fiqih. Disana juga, perbedaan interpretasilah yang melahirkan mazhab-mazhab seperti yang dikenal sekarang, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali.

8

Ibid., hlm. 92

7

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

BAB II HUBUNGAN ILMU KALAM, FILSAFAT DAN TASAWUF

8

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

A. Ilmu kalam 1. Pengertian Ilmu kalam Secara harfiyah, ilmu kalam berarti pembicaraan atau perkataan. Dalam lapangan pemikiran islam, istilah kalam memiliki dua pengertian : pertama, sabda Allah ( The Word of God ), dan kedua, ‘Ilm Al-kalam ( The science of kalam ).9 Dalam Al-Quran istilah kalam ini dapat ditemukan dala ayat-ayat yang berhubungan dengan salah satu sifat Allah, yakni lafazh kalamullah.dalam surat An-Nisa Ayat 164 : ١٦٤:‫وكلم هللا مو سى تكليما (النسا‬ Artinya : “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.”( QS.An-Nisa ;164 ). Menurut syaikh muhammad abduh(1849-1905) ilmu tauhid atau disebut ilmu kalam,adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah tentang sifat-sifat yang wajib tetap bagi-Nya.sifat sifat yang jaiz disifatkan kepadanya dan tentang sifat mustahi dari pada-Nya.dan

membahas

tentang

rosul

Allah

untuk

memetapkan

kebenaran

risalahnya,apa yang diwajibkan atas dirinya,hal yang jaiz yang dihubungkan/dinisbatkan pada diri mereka dan hal yang terlarang / mustahil menghubungkannya kepada diri mereka. Sebutan kalam, juga dipertegas oleh Nurcholish Madjid, yang mengutip Ali AsySyabi bahwa antara istilah mantiq dan kalam secara historis ada hubungan. Keduanya memiliki kesamaan, lalu antara kaum Mutakallimun ( ahli ilmu kalam ) dan para filosof mengganti istilah mantiq dengan kalam, karena keduanya memiliki makna harfiyah yang sama. Ilmu ini disebut dengan ilmu kalam, disebabkan persoalan yang terpenting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad permulaan hijriyah ialah apakah kalam Allah ( AlQuran ) itu qadim atau hadits. Dan dasar ilmu kalam ialah dalil-dalil pikiran dan pengaruh dalil pikiran ini tampak jelas dalam pembicaraan para Mutakallimin. Mereka jarang mempergunakan dalil naqli ( Al-Quran dan Hadits ), kecuali sesudah menetapkan benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalil-dalil pikiran. Ilmu kalam kadang disebut dengan ilmu tauhid ( mengenai keesaan Allah Swt) , ilmu usluhuddin ( membahas tentang prinsip-prinsip agama islam ) dan ilmu akidah atau aqo’id ( membicarakan tentang kepercayaan islam ).

9.Adeng Muchtar G, perkembangan ilmu kalam dari klasik hingga modern (Bandung : pustaka setia,2005),19.

9

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

2. Sumber-sumber ilmu kalam Sumber utama ilmu kalam ialah Al-Quran dan Al-Hadis yang menerangkan tentang wujudnya Allah Swt,sifat-sifat-Nya,dan persoalan akidah islam lainnya. tidaklah tepat kalau ilmu kalam itu merupakan ilmu ke-islaman yang murni, karena diantara pembahasan-pembahasannya banyak yang berasal dari luar islam, sekurang-kurangnya dalam metodenya. Tetapi juga tidak benar kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu timbul dari filsafat yunani, sebab unsur-unsur lain juga ada. Yang benar ialah kalau dikatakan bahwa ilmu kalam itu bersumber pada Al-Quran dan Al-Hadis yang perumusanperumusannya didorong oleh unsur-unsur dari dalam dan dari luar. Salah satu Faktor timbulnya ilmu kalam karena kebutuhan para mutakallimin terhadap filsafat itu adalah untuk mengalahkan ( mengimbangi,pen ) musuh- musuhnya, mendebat karena dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama, mereka terpaksa mempelajari filsafat yunani dalam mengambil manfaat ilmu logika, terutama dari segi keTuhanannya. Kita mengetahui An-Nazham ( tokoh mu’tazilah ,pen ) mempelajari filsafat aristoteles dan menolak beberapa pendapatnya. Barang siapa yang mengatakan bahwa imu kalam itu ilmu ke-Islam-an yang murni, yang tidak terpengaruh oleh filsafat dan agama-agama yang lain, hal itu tidaklah benar. Tetapi orang-orang yang mengatakan bahwa ilmu kalam itu timbul dari filsafat yunani semata mata itu juga tidak benar. Karena islam menjadi dasarnya dan sumber-sumber pembahasannya. Nash – nash agama banyak dijadikan dalil, disamping filsafat yunani, tetapi kepribadian islam adalah menonjol. Ilmu kalam merupakan puncak dari filsafat islam.

B. Tasawuf 1. Awal munculnya tasawuf Tentang kapan awal munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi mengemukakan, yang pasti, istilah sufi muncul sebelum tahun 200 H. Ketika pertama kali muncul, banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Tasawuf dalam pandangan mereka merupakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akhirat.10 Ada yang mengatakan tasawuf dari kata “shafa”, artinya suci, bersih, atau murni. Karena dari segi niatnya maupun tujuannya setiap tindakan kaum sufi, dilakukan dengan 10.Jaiz, Hartono Ahmad, Kumpulan Buku Hartono ( Tasawuf Belitan Iblis) Buku digital ( Jakarta, 2005)

10

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

niat suci untuk membersihkan jiwa dalam mengabdi kepada Allah SWT. Ada juga yang menyatakan bahwa ahl ash-shuffah adalah komunitas yang hidup pada masa Rasulullah, dan senantiasa menyibukkan diri untuk beribadah kepada Allah. Imam Al-Ghazali dalam Ihya U’lum Ad-Din menyebutkan, Tasawuf adalah budi pekerti. Berarti ia memberikan bekal bagimu atas dirimu dalam tasawuf. Hamba yang jiwanya menerima (perintah) untuk beramal karena mereka melakukan suluk dengan petunjuk islam, orang-orang zuhud yang jiwanya menerima perintah untuk melakukan sebagian akhlak, karena mereka telah melakukan suluk dengan petunjuk (nur) imannya. Mereka memiliki ciri khusus dalam aktivitas dan ibadah mereka, yaitu atas dasar kesucian hati dan untuk pembersihan jiwa dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka adalah orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat.

2. Tujuan Tasawuf Tasawuf banyak diminati oleh para ulama sebagai jalan atau latihan untuk mengembankan kesucian batin atau hati. Ada dua aliran besar yang berkembang dalam dunia tasawuf, yaitu Tasawuf falsafi (Ulama yang meminati dunia filsafat, namun melibatkan diri dalam tasawuf berada dalam aliran ini) dan Tasawuf Sunni (Ulama yang tidak melibatkan diri pada dunia pemikiran filsafat).

3. Syari'at dianggap ilmu lahir hingga aqidahnya rusak Ada golongan lain yang mengikuti jalan tasawuf, menyendiri dengan ciri-ciri tertentu, seperti mengenakan pakaian tambal-tambalan, suka mendengarkan syair-syair, tepuk tangan dan sangat berlebih-lebihan dalam masalah thaharah dan kebersihan. Masalah ini semakin lama semakin menjadi-jadi, karena para syaikh menciptakan topiktopik tertentu, berkata menurut pandangannya dan sepakat untuk menjauhkan diri dari ulama. Memang mereka masih tetap menggeluti ilmu, tetapi mereka menamakannya ilmu batin, dan mereka menyebut ilmu syari'at sebagai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yang mendera perut, mereka pun membuat

khayalan-khayalan yang musykil, mereka

menganggap rasa lapar itu sebagai suatu kenikmatan dan kebenaran. Mereka membayangkan sosok yang bagus rupanya, yang menjadi teman tidur mereka. Mereka itu berada di antara kufur dan bid'ah. Kemudian muncul beberapa golongan lain yang mempunyai jalan sendiri-sendiri, dan akhirnya aqidah mereka jadi rusak. Di antara mereka ada yang berpendapat tentang adanya inkarnasi/hulul (penitisan) yaitu Allah menyusup ke dalam diri makhluk dan 11

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

ada yang menyatakan Allah menyatu dengan makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat mereka dengan berbagai macam bid'ah, sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi mereka.

4. Perintis tasawuf tak diketahui pasti Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi'i ketika memasuki kota Mesir mengatakan, "Kami tinggalkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia; orang yang menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama' (nyanyian). Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi'i adalah orang-orang sufi. Dan assama' yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi'i masuk Mesir tahun 199H. Perkataan Imam Syafi'i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi'i sering berbicara tentang mereka di antaranya beliau mengatakan: Dia (Imam Syafi'i) juga pernah berkata: "Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama 40 hari, lalu akalnya (masih bisa) kembali normal selamanya." Semua ini, menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq, menunjukkan bahwa sebelum berakhirnya abad kedua Hijriyah terdapat satu kelompok yang di kalangan ulama Islam dikenal dengan sebutan Zanadiqoh (kaum zindiq), dan terkadang dengan sebutan mutashawwifah (kaum sufi). Imam Ahmad (780-855M) hidup sezaman dengan Imam Syafi'i (767-820M), dan pada mulanya berguru kepada Imam Syafi'i. Perkataan Imam Ahmad tentang keharusan menjauhi orang-orang tertentu yang berada dalam lingkaran tasawuf, banyak dikutip orang. Di antaranya ketika seseorang datang kepadanya sambil meminta fatwa tentang perkataan Al-Harits Al-Muhasibi (tokoh sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad bin Hanbal berkata:"Aku nasihatkan kepadamu, janganlah duduk bersama mereka (duduk dalam majlis Al-Harits Al-Muhasibi)". Imam Ahmad memberi nasihat seperti itu karena beliau telah melihat majlis AlHarits Al-Muhasibi. Dalam majlis itu para peserta duduk dan menangis --menurut mereka untuk mengoreksi diri. Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yang jahat. (Perlu kita cermati, kini ada kalangan-kalangan muda yang mengadakan daurah/penataran atau 12

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun

nafsi/ mengoreksi diri, atau

mengadakan apa yang mereka sebut renungan, dan mereka menangis tersedu-sedu, bahkan ada yang meraung-raung. Apakah perbuatan mereka itu ada dalam sunnah Rasulullah saw? Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu?). Pada umumnya ajaran tasawuf berdasarkan pada pandangan filsafat bahwa alam adalah merupakan pancaran Tuhan dan puncak pancaran tersebut adalah manusia (filsafat emanasi). Kajian tasawuf dalam islam tidak berbentuk sekaligus,tetapi berkembang menembus perjalanan waktu melewati fase-fase tertentu secara bertahap. Periodesasi tasawuf islam : 1. Tampil dalam bentuk ibadah dan zuhud, seseorang meninggal dunia menuju akhirat serta secara teguh berusaha melakukan hal-hal yang bisa menjadi taat dan dekat (kepada Allah). Seperti rabi’ah al-Adawiyyah sebagai tokoh kaum zuhud wanita. 2. Melakukan kajian teoritis. Pertama mereka melakukan berorientasi pada jiwa untuk disingkap rahasia-rahasianya.mereka membicarakan tentang keasyikan,kerinduan, takut dan harapan. Mereka mencari cinta ilahi dimana saja bisa ditemukan.

C. FILSAFAT Filsafat

berasal

dari

bahasa

yunani philosophia.

Yang

berarti

adalah

cinta philia kebijaksanaan ( sophia ). Menurut analisis, kata ini muncul dari mulut phytagoras yang hidup diyunani kuno pada abad ke-6 sebelum masehi. Oleh karena itu, orang yang mencintai kebijaksanaan disebut sebagai philosophos atau filsuf. Orang yang mencintai kebijaksanaan bukanlah orang yang sudah memiliki kebijaksanaan, melainkan orang yang terus berupaya mencari kebijaksanaan. Menurut plato filsafat tidaklah lain dari pada pengetahuan tentang segala yang ada. Aristoteles kewajiban filsafat adalah menyelidiki sebab dan asas segala benda. Dengan demikian filsafat bersifat ilmu yang umum.11 Berbicara dengan berpikir sesungguhnya erat kaitannya dengan penggunaan sebuah potensi terpenting yang dianugerahkan Allah SWT. Kepada satu-satunya makhluk yang disebut manusia. Potensi terpenting yang dimaksud di sini adalah akal. Dalam Al-Quran, kata “akal” (al’aqlu) diungkapkan dalam kata kerja (fi’il) yang mengandung arti memahami dan mengerti. Seyogianya kita dapat mengoptimalisasi potensi akal tersebut adalah dengan mempelajari salah satu bidang ilmu yang memang

11.

Zuhaini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 2008)

13

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

banyak melibatkan akal sebagai alat untuk berpikir, yaitu filsafat. Kajian filsafat pun sebetulnya bertujuan menemukan kebenaran yang sebenarnya. Dan hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan menggunakan metode pemikiran reflektif dalam usaha menghadapi fakta-fakta dunia dan kehidupan. Keduanya menunjukkan sikap kritik, dengan pikiran terbuka dan kemauan yang tidak memihak, untuk mengetahui hakikat kebenaran. Mereka berkepentingan untuk mendapatkan pengetahuan yang teratur. Adapun titik temu antara agama dan filsafat adalah keduanya pada dasarnya mempunyai kesamaan, yaitu memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran yang sejati. Agama yang dimaksud adalah agama samawi, yaitu agama yang diwahyukan oleh Tuhan kepada Nabi dan Rasul-Nya. Dibalik persamaan itu terdapat perbedaan pula. Dalam agama, ada hal-hal yang penting, misalnya Tuhan, kebijakan, baik dan buruk, surga dan neraka, dan lainnya. yang juga diselidiki oleh filsafat karena hal-hal tersebut ada atau paling tidak mungkin ada, karena objek penyelidikan filsafat adalah segala yang ada dan yang mungkin ada. Alasan

filsafat

menerima

kebenaran

bukanlah

kepercayaan,

melainkan

penyelidikan, hasil pikiran belaka. Filsafat tidak mengingkari atau mengurangi wahyu, tetapi ia tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu, tetapi ia tidak mendasarkan penyelidikannya atas wahyu. Lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin sama, tetapi dasarnya amat berlainan. Filsafat pada dasarnya adalah perenungan yang mendalam mengenai sesuatu yanng dianggap atau dinilai bermanfaat bagi kehidupan manusia.12 Menurut Titus, Smith dan Novland tentang definisi filsafat berdasarkan watak dan fungsi adalah : 1. Informal : Sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. 2. Formal : Suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi. 3. Spekulatif : Usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan, artinya filsafat berusaha untuk mengkombinasikan bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten tentang alam.

12

.Nina W. Syam, Filsafat sebagai akar ilmu komunikasi ( Bandung : Simiosa Rekatama Media, 2010), 79

14

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Prinsip-prinsip berfilsafat : 1. Meniadakan kecongkakan maha tahu sendiri. 2. Perlu sikap mental berupa kesetiaan pada kebenaran. 3. Memahami secara sungguh sungguh persoalan-persoalan filsafat serta berusaha memikirkan jawabannya. 4. Latihan intelektual itu dilakukan secara aktif dari waktu ke waktu dan diungkapkan , baik secara lisan maupun tulisan. 5. Sikap keterbukaan diri. (Nina W: 2010 )

D. HUBUNGAN ILMU KALAM, FILSAFAT DAN TASAWUF. 1. Persamaan Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ke-Tuhanan dari segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ke-Tuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sedangkan objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadapNya. Jadi, dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ke-Tuhanan. Baik ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu kalam, dengan metodenya berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia ( yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada diluar atau diatas jangkauannya ), atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf- juga dengan metodenya yang tipikal – berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju Tuhan.

2. Titik perbedaan Perbedaannya terletak pada aspek metodeloginya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika disamping argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika ( dialog keagamaan ). Berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen rasional. 15

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Dan dari segi tempat berpijak, Ilmu kalam berpijak pada wahyu dan kesadaran adanya Tuhan. Dari segi pembinaan, ilmu kalam timbulnya berangsur-angsur dan dimulai dari beberapa persoalan yang terpisah-pisah, akhirnya tumbuh aliran-aliran ilmu kalam. Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Dan metode yang digunakan adalah rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar), intelegral ( menyeluruh ) dan universal (mengalam), tidak terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangan nya sendiri yang bernama logika. Dan berpijak dari akal pikiran dan kesadaran akan wujud diri sendiri. Dari segi pembinaannya, filsafat sejak semula sudah tumbuh diyunani dalam keadaan utuh dan lengkap, sehingga ketika diterima kaum muslim tinggal memberi penjelasan-penjelasan dan mempertemukannya dengan kepercayaan-kepercayaan Islam. Berkenaan dengan keragaman kebenaran yang di hasilkan oleh kerja logika maka didalam filsafat dikenal apa yang disebut: a. kebenaran korespondensi (persesuaian antara apa yang ada dalam rasio dengan kenyataan kebenaran yang ada dialam nyata). b. filsafat koherensi (kesesuaian antara suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanen. Jadi, kebenaran dianggap tidak benar kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama umum). c. Kebenaran pragmatik (sesuatu yang bermanfaat (utility) dan mengkin dapat dikerjakan (workability) dengan dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu dianggap tidak benar jika tidak tampak manfaatnya secara nyata dan sulit untuk dikerjakan).

Ilmu tasawuf adalah ilmu yang menekankan rasa dari pada rasio. Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau ilham, atau inspirasi yang datang dari Tuhan. Kebenaran ini disebut sebagai hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari subjek sendiri. Dalam sains dikenal dengan ilmu yang diketahui bersama atau tacit knowledge, dan bukan ilmu proporsional. Ilmu kalam (teologi) perkembangannya menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Dengan prinsip teologi rasional yakni hanya terikat pada dogma-dogma yang jelas dan tegas dalam Al-Quran dan Hadits Nabi, dan memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal. Prinsip tradisional adalah terikat pada dogma-dogma dan ayat-ayat yang mengandung arti 16

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

selain arti harfiyah, tidak memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat dan berkehendak dan memberikan daya yang kecil pada akal. Perbedaan metode ilmu kalam dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya : 1. Filsafat islam Filsafat yunani telah menarik perhatian kaum muslimin, terutama sesudah ada terjemahan buku-buku filsafat yunani kedalam bahasa arab sejak zaman khalifah alMansur ( 754-775 M) dalam mencapai puncaknya pada masa Al-Makmun (813-833 M) dari khalifah bani Abbasiyah. Antara ilmu kalam dan filsafat islam ada perbedaan cara pembinaannya. Ilmu kalam timbul secara berangsur-angsur dan mula-mula hanya berupa hal yang terpisah. Tetapi filsafat ini seakan-akan serentak. Sebab bahan-bahannya diperoleh dari yunani dan sebagaimana dalam keadaan sudah lengkap atau hampir lengkap. Mereka ahliahli filsafat itu tinggal mempertemukan dengan ajaran-ajaran islam. Filsafat islam memasuki seluruh ilmu-ilmu keislam dimana ilmu kalam adalah merupakan puncak kepribadiannya.

2. Tasawuf Ilmu kalam itu berlandasan nash-nash agama, dipertemukan dalil-dalil pikiran dalam membahas akidah dan ibadah merupakan amal badaniyah yang diupayakan dapat menetap kedalam hati nurani, sehingga bisa membentuk jiwa beragama. Tasawuf lebih banyak menggunakan perasaan (dzauq) dan latihan kejiwaan (riyadlah) dengan memperbanyak amal ibadah. Kekuasaan bani abbasiyah yang telah mulai mantap pada abad ke-2 H, dengan kekayaan negara yang berlimpah, menyebabkan sebagai khalifah dan keluarhanya hidup berfoya-foya, banyak melanggar syara’ dan sebagainya. Keadaan inilah yang mendorong pesatnya gerakan sufi. (Sahilun : 2012)

3. Hubungan Ilmu Kalam dengan Filafat Filsafat yunani menarik sekali perhatian kaum muslimim, sejak zaman Khalifah AlMansur (754-755 M) dan mencapai puncaknya pada masa Al-Makmun (813-833 M) dari khalifah Abbasiyah. Ilmu rektorika, ilmu tentang cara berdebat atau adabul bahtsi wal munadharoh sebagai bagian dari filsafat yunani mendapat perhatian tersendiri dari kaum muslim, sebagai suatu yang membicarakan tentang cara berdebat. Karena ilmu kalam bercorak filsafat yang menunjukkan ada pengaruh pikiran-pikiran dan metode filsafat, sehingga banyak diantara para penulis menggolongkan ilmu kalam kepada filsafat. Sebagai contoh Ibnu Khaldun ( Wafat 808 H/ 1406 M) mengatakan bahwa persoalan17

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

persoalan ilmu kalam sudah bercampur dengan persoalan-persoalan filsafat, sehingga sukar dibedakan satu dengan lainnya. demikian pula penulis barat Tenneman atau H. Ritter memasukkan mutakallimin ke dalam filosof Islam.

4. Hubungan Filsafat dan Tasawuf Keduannya sama-sama berupaya untuk mengantarkan manusia memahami keberadaan Allah, sehingga bersedia melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Upaya untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan itulah yang dapat mengantarkan manusia pada kesempurnaan jiwa. Dan dapat disimpulkan bahwa, filsafat lebih bersifat teoritis, sementara tasawuf lebih bersifat praktis. Artinya, antara filsafat islam dan tasawuf sama-sama berupaya untuk mengantarkan manusia agar memahami keberadaan Allah. Filsafat sebagai sarana teoritis yang dapat mengantarkan manusia kepada keyakinan praktis. Keyakinan praktis inilah yang menjadi wilayah tasawuf. Jadi, tujuan belajar filsafat islam adalah mencapai wilayah tasawuf.13

5. Hubungan ilmu Tasawuf dengan ilmu Kalam Kajian ilmu kalam akan lebih terasa maknanya jika diisi dengan ilmu tasawuf. Sebaliknya, ilmu kalam pun dapat berfungsi sebagai pengendali tasawuf. Jika ada teori-teori dalam ilmu tasawuf yang tidak sesuai dengan kajian ilmu kalam tentang Tuhan yang didasarkan pada Al-Quran dan Al-Hadis, hal ini mesti dibetulkan. Demikian terlihat hubungan timbal balik di antara ilmu tasawuf dan ilmu kalam.

13

Rozak, Filsafat Tasawuf, 57.

.

18

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

BAB III KHAWARIJ DAN MURJI’AH

19

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

A. Latar belakang kemunculan khawarij dan murji’ah Kata khawarij secara etimologis berasal dari bahasa arab kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak.14 Berkenaan dengan pengertian etimologis ini, Syahrastani menyebut orang yang memberontak imam yang sah disebut sebagai khowarij.15 Berdasarkan pengertian etimologi ini pula, khawarij berarti setiap muslim yang memiliki sikap laten ingin keluar dari kesatuan umat islam.16 Adapun yang di maksud khawarij dalam terminology ilmu kalam adalah suatu sekte/kelompok/aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena tidak sepakat terhadap Ali yang menerima arbitrase/tahkim dalam perang siffin pada tahun 37 H/648 M dengan kelompok bughat (pemberontakan) Mu’awiyah bin Abi Sufyan perihal persengketaan khilafah. Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya berada pada pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah dibai’at mayoritas umat islam, sementara Mu’awiyah berada pada pihak yang salah karena memberontak kepada khalifah yang sah. Lagi pula, berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai Mu’awiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib. Ali sebenarnya sudah mencium kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud menolak permintaan itu. Namun, karena desakan pengikutnya seperti Al-asy’ats bin Qais, Mas’ud bin Fudaki at-Tamimi, dan Zaid bin Husein ath-Tha’I dengan sangat terpaksa Ali memerintahkan Al-Asytar (komandan pasukanya) untuk menghentikan peperangan. Setelah menerima ajakan damai, Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damainya, tetapi orang-orang khawarij menolaknya. Mereka beranggapan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri. Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan kitab Allah.Keputusan tahkim, yakni Ali diturunkan dari jabatannya sebagai khalifah oleh utusannya dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah pengganti Ali sangat mengecewakan kaum khawarij sehingga mereka membelot dan mengatakan,”mengapa 14 .Abdu Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al Baghdadi, Al- Farq bain, Al Azhar, Mesir 15 .Abi Al Fath Muhammad Abd Al Karim bin Abi Bakar As Syahrastani Al Milal Wan Nihal, Dar Al Fikr 16. Ali Musthafa Al Ghurabi, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah Wa Nasy’atu IlmiAl kalami ‘Inda Al Muslimin. maktabah Wa mathbaah Muhammad ali Shabih Wa Auladuhu, Haihan al Azhar, mesir ,1958, hlm 264

20

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

kalian berhukum kepada manusia. Tidak ada hukum lain selain hukum yang ada disisi Allah”. Imam Ali menjawab, “itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka artikan keliru”.Pada saat itu juga orang-orang khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung menuju Hurura. Dengan arahan Abdullah al-Kiwa mereka smpai di Harura. Di Harura, kelompok khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada Muawiyah dan juga Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin bernama Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.17

B. Doktorin-doktorin pokok khawarij Doktrin-doktrin yang dikembangkan oleh kaum khawarij dapat dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu: doktrin politik, teologi, dan sosial. 1. Doktrin politik Melihat pengertian politik secara praktis-yakni kemahiran bernegara, atau kemahiran berupaya menyelidiki manusia dalam memperoleh kekuasaan, atau kemahiran mengenai latar belakang , motivasi, dan hasrat mengapa manusia ingin memperoleh kekuasaan. Khawarij dapat dikatakan sebagai sebuah partai politik. Politik juga ternyata merupakan doktrin sentral Khawarij yang timbul sebagai reaksi terhadap keberadaan Muawiyah yang secara teoritis tidak pantas memimpin negara, karena ia adalah seorang tulaqa (bekas kaum musyrikin di Mekkah yang dinyatakan bebas pada hari jatuhnya kota itu kepada kaum muslimin). Kebencian itu bertambah dengan kenyataan bahwa keislaman Muawiyah belum lama. Mereka menolak untuk dipimpin orang yang di anggap tidak pantas. Jalan pintas yang ditempuhnya adalah membunuhnya, termasuk orang yang mengusahakannya menjadi khalifah. Dikumandangkanlah sikap bergerilya untuk membunuh mereka

Doktrin-doktrin dari segi politik yang dikembangkan oleh khawarij: 1. Khalifah atau imam harus di pilih secara bebas oleh seluruh umat islam. 2. Khalifah tidak harus berasal dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang muslim berhak menjadi khalifah apabila sudah memenuhi syarat. 3. Khalifah di pilih secara permanen selama yang bersangkutan bersikap adil dan menjalankan syariat islam. Ia harus dijatuhkan bahkan di bunuh kalau melakukan kezaliman

Ibrahim Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, Dar Al-Ma’arif, Mesir 1947, hlm. 109. 17

21

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

4. Khalifah sebelum Ali adalah sah, tetapi setelah tahun ke tujuh dari masa kekhalifahannya, Utsman ra. Di anggap telah menyeleweng.Khalifah Ali adalah sah tetapi setelah tahkim, ia di anggaptelah menyeleweng.Muawiyah dan Amr bin Ash serta Abu Musa Al Asy’ari juga di anggap menyeleweng dan teleh menjadi kafir, 5. Pasukan perang Jamal yag melewati Ali juga kafir.18

2. Doktrin teologi Selain itu juga dibuat pula doktrin teologi tentang dosa besar sebagaimana tertera pada poin di bawah berikut. Akibat doktrinnya yang menentang pemerintah, khawarij harus menanggung akibatnya. Mereka selalu dikejar-kejar dan di tumpas oleh pemerintah. Kemudian perkembangannya, sebagaimana dituturkan Harun Nasution, kelompok ini sebagian besar sudah musah. Sisa-sisanya terdapat di Zanzibar, Afrika Utara, dan Arabia Selatan.19 Doktrin teologi Khawarij yang radikal pada dasarnya merupakan imbas langsung dari doktrin sentralnya, yakni doktrin politik. Radikalitas itu sangat dipengaruhi oleh sisi budaya mereka yang juga radikal serta asal-usul mereka yang berasal ari masyarakat badawi dan pengembara padang pasir tandus. Hal itu menyebabkan watak dan pola pikirnya menjadi keras, berani, tidak bergantung pada orang lain, dan bebas. Namun, ,ereka fanatik dalam menjalankan agama. Sifat fanatik itu biasanya mendorong seseorang berfikir simplistis, berpengetahuan sederhana, melihat pesan berdasarkan motivasi pribadi, dan bukan berdasarkan pada data dan konsitensi logis, bersandar lebih banyak pada sumber pesan ( wadah) daripada isi pesan, mencari informasi tentang kepercayaan orang lain dari seumber kelompoknya dan bukan dari sumber kepercayaan orang lain, mempertahankan secara kaku sistem kepercayaannya, dan menolak, mengabaikan, dan mendistorsi pesan yang tidak konsisten dengan sistem kepercayaannya. Orang-orang yang mempunyai prinsip khawarij ini menggunakan kekerasan dalm menyalukan aspirasinya. Sejarah mencatat bahwa kekerasan pernah memegang peran penting. Setiap muslim harus berhijrah dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib diperangi karena hidup dalam darul harb (negara musuh), sedang golongan mereka sendiri di anggap darul islam ( negara islam).

18 19

Ibid, hlm.51 Ibid, hlm.53

22

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Doktrin-doktrin dari segi teologi yang dikembangkan oleh khawarij: 1. Seorang yang berdosa besar tidak lagi disebut muslim sehingga harus di bunuh, yang sangat anarkis (kacau) lagi, mereka menganggap bahwa seorang muslim dapat menjadi kafir apabila ia tidak mau membunuh muslim lain yang telah di anggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapakan pula. 2. Seseorang harus menghindari pimpinan yang menyeleweng. 3. Adanya wa’ad dan wa’id (orang yang baik harus masuk surga sedangkan orang yang jahat masuk ke dalam neraka). 20 3. Doktrin teologis sosial Adapun doktrin-doktrin selanjutnya yakni kategori sebagai doktrin teologis sosial. Doktrin ini memperlihatkan kesalehan asli kelompok khawarij sehingga sebagian pengamat menganggap doktrin ini lebih mirip dengan doktrin mu’tazilah, meskipun kebenarannya adalah doktrin ini dalam wacana kelompok khawarij patut dikaji mendalam. Dapat di asumsikan bahwa orang-orang yang keras dalam pelaksanaan ajaran agama, sebagaimana dilakukan kelompok Khawarij, cenderung berwatak tekstualis/skripturalis sehingga menjadi fundamentalis. Kesan skriptualis dan fundamentalis itu tidak nampak pada doktrin-doktrin khawarij pada poindi bawah berikut. Namun, bila doktrin teologis-sosial ini benar-benar merupakan doktrin khawarij, dapat diprediksikan bahwa kelmpok khawarij pada dasarnya merupakan orang-orang baik. Hanya saja, keberadaan mereka sebagai kelompok minoritas penganut garis keras, yang aspirasinya dikucilkan dan di abaikan penguasa, di tambah oleh pola pikirnya yang simplistis, telah menjadikan mereka bersikap ekstrim.21 Doktrin-doktrin dari segi teologi sosial yang dikembangkan oleh khawarij: a. Amar ma’ruf nahi mungkar b. Memalingkan ayat-ayat Al Qur’an yang tampak mutasyabihat (samar). c. Al Qur’an adalah makhluk d. Manusia bebas memutuskan perbuatannya bukan dari Tuhan

4. Perkembangan Aliran Khawarij Pada saat ini Secara

formal, Khawarij sudah

tidak

ada,

tetapi

secara

substansi

paradigma

pemikiran dan ciri-ciri alirannya masih hidup dan berkembang hingga sekarang. Pada masa sekarang, pemberontakan bersenjata dan praktik mengafirkan orang Islam telah terjadi di wilayah Arab bagian timur laut pada peralihan abad ke-19 seperti yang ditulis oleh para 20 21

Ibid.hlm.51-52 .Ibid.hlm.54

23

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

cendekiawan Islam: Istilah Khawarij berlaku bagi kelompok yang bersimpang jalan dengan orang-orang Islam dan menganggap mereka sebagai orang-orang kafir, seperti yang terjadi pada zaman sekarang ini dengan para pengikut Ibn ‘Abd al-Wahhâb yang muncul di Najd dan menyerang dua tempat suci umat Islam. Belakangan ini, beberapa ulama mengritik aliran Wahabi atau “salafî” sebagai kelompok yang secara politik tidak benar. Praktik mengafirkan menjadi ciri utama yang bisa dikenali dari kelompok neo-Khawarij pada masa modern ini. Mereka kelompok yang senang menghantam orang-orang Islam dengan tudingan kafir, bidah, syirik, dan haram, tanpa bukti atau pembenaran selain dari hawa nafsu mereka sendiri, dan tanpa memberikan solusi selain dari sikap tertutup dan kekerasan terhadap siapa pun yang berbeda pendapat dengan mereka. Mereka sama sekali tidak ragu-ragu menjatuhkan hukuman mati terhadap orang-orang yang mereka tuduh kafir, sehingga mereka benar-benar telah meremehkan kesucian jiwa dan kehormatan saudara-saudara mereka sendiri. Imam al-Nawawî berkata, “Orang-orang ekstrem merupakan kelompok fanatik yang sudah melampaui batas, dalam ucapan maupun perbuatan,” dan “keras pendirian.” Melakukan praktik takfîr terhadap sesama muslim merupakan ciri kelompok Khawarij, entah mereka menyebut diri sebagai kelompok “salafi”, Syiah, atau sufi. Mereka mencampuradukkan berbagai hal menurut selera mereka, asalkan sesuai dengan kepentingan mereka. Bahkan, mereka tidak memiliki latar belakang ilmu-ilmu keislaman sedikit pun, dan mereka menggunakan ayat-ayat Al-quran mengenai orang-orang kafir keluar dari konteksnya, dan menerapkannya kepada orang-orang Islam. Seperti yang disebutkan sebelumnya, orang-orang Khawarij tidak terbatas pada masa tertentu, tetapi merupakan karakter yang melekat pada kelompok atau orang yang keluar dari batas-batas agama, dengan menuduh orang Islam sebagai kafir. Inilah metode yang dikembangkan oleh kelompok Khawarij, dulu dan kini, dan kemunculan anak-anak muda Khawarij yang menyesatkan itu telah disinggung 1400 tahun yang lalu oleh Nabi Muhammad SAW. Kelompok Khawarij dewasa ini terdiri dari para pengikut aliran Wahabi atau “Salafi”. Mereka sangat aktif menyebarluaskan kepalsuan ajaran mereka dengan propaganda besar-besaran, melalui ceramah di masjid, internet, televisi, atau penyebarluasan video, koran, buku, majalah, dan brosur. Sementara itu, mereka menekan dan menyembunyikan kebenaran ajaran-ajaran Islam klasik yang menjadi arus utama umat Islam, dan berkomplot untuk membungkam siapa pun yang menentang sikap ekstrem mereka. C. latar belakang Asal-Usul Kemunculan Aliran Murji’ah Asal-usul kemunculan kelompok Murji’ah dapat dibagi menjadi 2 sebab yaitu: 24

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

1. Permasalahan Politik Ketika terjadi pertikaian antara Ali dan Mu’awiyah, dilakukanlah tahkim (arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Mu’awiyah.Kelompok Ali terpecah menjadi 2 kubu, yang pro dan kontra. Mereka memandang bahwa tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an, dengan pengertian, tidak ber-tahkim dengan hukum Allah. Oleh karena itu mereka berpendapat bahwa melakukan tahkim adalah dosa besar, dan pelakunya dapat dihukumi kafir, sama seperti perbuatan dosa besar yang lain. Seperti yang telah disebutkan di atas Kaum khawarij, pada mulanya adalah penyokong Ali bin Abi thalib tetapi kemudian berbalik menjadi musuhnya. Karena ada perlawanan ini, pendukung-pendukung yang tetap setia pada Ali bin Abi Thalib bertambah keras dan kuat membelanya dan akhirnya mereka merupakan golongan lain dalam islam yang dikenal dengan nama Syi’ah. Dalam suasana pertentangan inilah, timbul suatu golongan baru yang ingin bersikap netral tidak mau turut dalam praktek kafir mengkafirkan yang terjadi antara golongan yang bertentangan ini.Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan ini merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa sebenarnya yang salah, dan lebih baik menunda (arja’a) yang berarti

penyelesaian

persoalan

ini

di

hari

perhitungan

di

depan

Tuhan.

Gagasan irja’ atau arja yang dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat islam ketika terjadi pertikaian politik dan juga bertujuan menghindari sekatrianisme.

2. Permasalahan Ke-Tuhanan Dari permasalahan politik, mereka kaum Mur’jiah pindah kepada permasalahan ketuhanan (teologi) yaitu persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang membuat dosa besar, kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin.Pendapat penjatuhan hukum kafir pada orang yang melakukan dosa besar oleh kaum Khawarij ditentangsekelompok sahabat yang kemudian disebut Mur’jiah yang mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir, sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan mengampuninya atau tidak. Aliran Murji’ah menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. 25

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih di anggap mukmindi hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosar besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu, orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Pandangan golongan ini dapat dilihat terlihat dari kataMurji’ah itu sendiri yang berasal dari kata arja’a yang berarti orang yang menangguhkan, mengakhirkan dan memberikan pengaharapan. Menangguhkan berarti bahwa mereka menunda soal siksaan seseorang di tangan Tuhan, yakni jika Tuhan mau memaafkan ia akan langsung masuk surga, sedangkan jika tidak, maka ia akan disiksa sesuai dengan dosanya, setelah ia akan dimasukkan ke dalam surga. Dan mengakhirkan dimaksudkan karena mereka memandang bahan perbuatan atau amal sebagai hal yang nomor dua bukan yang pertama. Selanjutnya kata menangguhkan, dimaksudkan karena mereka menangguhkan keputusan hukum bagi orang-orang yang melakukan dosa di hadapan Tuhan. Disamping itu ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama Murji’ah yang diberikan pada golongan ini, bukan karena mereka menundakan penentuan hukum terhadap orang islam yang berdosa besar kepada Allah di hari perhitungan kelak dan bukan pula karena mereka memandang perbuatan mengambil tempat kedua dari iman, tetapi karena mereka memberi pengharapan bagi orang yang berdosa besar untuk masuk surga. Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah. Nama murji’ah di ambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, dan pengharapan.Yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah.Selain itu, arja’a berarti pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengemudikan amal dari iman.Oleh karena itu murji’ah, artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat kelak. 3. Doktrin-Doktrin aliran Murji’ah Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau nonblok, yang hampir selalu diekspresikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok murji’ah dikenal pula sebagai the queietists (kelompok bungkam). Sehingga membuat 26

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

murji’ah selalu diam dalam persoalan politik. Adapun di bidang teologi, doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi persoalan-persoalan teologis yang muncul pada saat itu. Pada perkembangan berikutnya, persoalan-persoalan yang di tanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir AlQur’an, eskatologi, pengampunan atas dosa besar, hukuman atas dosa (punishment of sins), ada yang kafir (infidel) dikalangan generasi awal islam, tobat (redress of wrongs). Berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, W. Montgomery watt merincinya sebagai berikut ; a. Penangguhan keputusan terhadap Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak. b. Penangguhan Ali untuk menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-khalifah ArRasyidun. c.

Pemberian harapan terhadap orang muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.

d.

Doktrin-doktrin murji’ah menyerupai pengajaran (madzhab) para skeptic dan empiris dari kalangan Helenis. Masih berkaitan dengan doktrin teologi murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat

ajaran pokoknya, yaitu ; 1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak. 2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar. 3. Meletakkan (pentingnya) iman dari pada amal. 4. Memberikan pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah. Sementara itu, Abu ‘A’ la Al-Maududi menyebutkan dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap di anggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang di fardhukan dan melakukan dosa besar. Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.22

22 Rozak, Abdul, 2006. Ilmu Kalam ,Bandung : CV.Pustaka Setia.hal: 56-61.

27

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

4. Sekte-Sekte aliran Murji’ah Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim.nMurji’ah moderat berpendirian bahwa pendosa besar tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka di siksa sebesar dosanya, dan bila di ampuni oleh Allah sehingga tidak masuk neraka sama sekali. Harun nasution menyebutkan bahwa subsekte murji’ah yang ekstrim adalah yang berpandangan bahwa keimanan terletak didalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada didalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan. Adapun yang bergolongan ekstrim adalah Al-jahmiyah, Ash- Shalihiyah, AlYunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Hasaniyah. Pandangan kelompok ini dapat di jelaskan seperti berikut ; a. AL-Jahmiyah, kelompok jahm bin shafwan dan para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia. b. Shalihiyah, kelompok Abu Hasan Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula zakat, puasa, dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan. c. Yunusiyah dan ubaidiyah melontarkan pertanyaan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, muqatil bin sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik (polytheist) d. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang mengatakan, “ saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini, “ maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di india atau di tempat lain.

28

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

BAB IV JABARIYAH DAN QODARIYAH

29

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

A. Jabariyah 1. Latar Belakang kemunculan Jabariah Kata jabariah berasal dari kata jabara yang bearti “memaksa”. Didalam Al-munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengadung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu.23 Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat Al-jabar (dalam bentuk mubalaghah),artinya Allah maha memaksa. Ungkapan Al-insan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya kata jabarah (bentuk pertama), Setelah ditarik menjadi Jabariyah (dengan menambah ya nisbah), artinya adalah suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut asy-syahratsany menegaskan bahwa paham al-jabr bearti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah SWT.24 Dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatanya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa inggris, jabriyah disebut fatalism atau free destination, yaitu paham bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadhar tuhan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usul kemunculan dan perkembangan Jabariah, tampaknya perlu dijelskan siapa sebenarnya yang melahirkan dan menyebar luaskan al-jabar serta dalam situasi apa paham ini muncul. Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham (terbunuh 124 H) yang kemudian disebarkan oleh Jahm Shafwan (125 H) dari Kahurasan. Dlam sejarah teologi islam, Jahm tercatat sebagai took yang mendirikan aliran Jamiah dalam kalangan Murjiah. Iya duduk sebagai sekretaris Syuraih bin Alharis dan menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan bani umayyah. Dalam perkembanganya, paham ajabar ternyata tidak hanya dibawa oleh dua tokoh diatas. Masih banyak tokoh-tokoh lain yang berjasa dalam mengembagkan paham ini, diantaranya adalah Al-husain bin Muhammad An-najjar dan ja’d Dirar. Mengenai kemunculan paham al-jabar para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekaatan geokurtural bangsa Arab. Diantara ahli yang dimaksud Ahmad Amin. Dia menggambarkan kehidupan bangsa arab yang dikungkungboleh gurun pasir sahara yang

23 24

L. Mal’uf , Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-‘Alam,Dar Al-Masyriq,Beirut, 1998, hlm 78. Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr, Beirut, hlm.85.

30

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

memberikan ipengaruh besar kedalam cr hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam sahara yang ganas telah mencuatkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat arab tidak banyak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai denagn keinginannya. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak kuasa dalam menghadapi kesukarankesukaran hidup. akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalism.25 Sebenarnya, benih-benih paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam sejarah berikut ini. a. Suatu ketika, nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir. b. Khalifah Umar Bin khatab pernah menangkap seseorangi yang pernah mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata “tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar ucupan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman pada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena mengunakan dalil takdir Tuhan. c. Khalifah Ali Bin Thalib sesuai Perang shiffin ditanya oleh seorang tua tentang kadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya “apabila perjalanan (menuju perang shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannnya, “kemudian Ali menjelaskan bahwa qadhar dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbatan manusia. Ali selanjutnya mjelaska, sekiranya qhadar dan qadar merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah maksa janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas perlaku dosa dan ujiannya bagi orang-orang yang baik. d. Pada pemerintah daulah bani Umayyah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat kepermukaan. Abdullah Bin Abbas melalui suratnya memberikan reaksi keras kepada pendudukan Syiriah yang diduga berpaham “Jabariah”.

Paparan diatas menjelaskan bahwa bibit paham al-jabar telah muncul sejak awal periode islam. Akan tetapi, al-jabar sebagai pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan

25

Nasution, loc. Cit.

31

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

dikembangkan terjadi pada masa-masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, yaitu oleh kedua tokoh yang telah disebutkan.26 Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariah dalam islam, ada teori yang mengatakan kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit. Akan tetapi tanpa pengaruhpengaruh asing itu sesungguhnya paham al-jabar akan muncul di kalangan umat islam.

2. Para pemuka dan doktrin-doktrin pokok jabariah Menurut Asyi-syahrastani, Jabariah ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu ekstrem dan moderat. Diantara doktrin Jabariah ekstrem adalah pendapatnya bahwa segala perbuaatan manusia bukan merupakan perbuatan yangbtimbul dari kemauannya melainkan perbuatan yang dipaksa atas dirinya. Misalnya kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukan terjadi atas kehendak sendiri, melainkan karena qadha dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantaranya pemuka Jabariah ekstrem adalah sebagai berikut.

a. Jahm Bin Shafwan Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shofwan. Ia berasal dari Kehurasan, bertempat tinggal di Kufah. Ia seorang dai yang passih dn lincah (orator). Ia duduk sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada hubungannya dengan Agama. Sebagai seorang penganut dan penyebar paham Jabariah, banyak usaha yang dilakukan Jahm, antara antara lain menyebarka doktrinnya keberbagai tempat, seperti ke Tirmiz dan Balk.

Diantara pendapat-pendapat Jahm beraitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut.27

1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai keehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tetang keterpaksaan lebih terkenal dibandigkan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan (nafyu asifat), dan meliht Tuhan diakhirat. 2. Surga dan neraka tidak kekal tidak ada yang kekal selain Tuhan. 26

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Cet. VI, UI Press, Jakarta, 1986, hlm.37 27 Nasution, Op. Cit, hlm. 34.

32

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

3. Iman adalah makripat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah. 4. Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah Maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia, seperti berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indra mata diakhirat kelak. Dengan demikian, dalam beberapa hal, Jahm berpendapat serupa dengan Murji’ah, Mu’tajilah, dan Asy’ariah sehingga para mengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan AlMu’tajili, Al-murji’I dan Asy’ari. b. Ja’d bin Dirham Al-ja’d adalah seorang Maulana Bani Hakim, tinggal di Damakus. Ia dibesarkan didalam lingkungan orang Kristen yang senang membicaraka teologi semula ia dipercaya untuk mengajar dilingkungan Bani Umayyah, tetapi setelah pikiran-pikiran kontrol persial terlihat, Bani Umayyah menolaknya sehing ia harus lari ke Kufah dan bertemu dengan Jahm yang akhirnya berhasil mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk mengembangkan dan disebar luaskan. Doktrin pokok ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm Al-Ghauraby menjelaskannya sebagai berikut: 1. Al-quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang tidak dapat ditafsirkan kepada Allah. 2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar. 3. Manusia terpaksa oleh Allah daan segala-galanya.

Berbeda dengan Jabariah ekstrem moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagiaan didalamnya. Tenaga yang diciptaakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatanya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (Acquistion). Menurut paham kasab, manusia tidak majbur (dipaksa oleh Tuhan, tidak seperti wayang yang terkendali ditangan dalam dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan. Tokoh yang termasuk dalam Jabariah moderat sebagai berikut. a. Al-najjar Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-najjar (wafat 230 H). para pengikutnya An-najjariah atau Al-husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya adalah: 33

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari.28 Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-najjar. Tidak lagi seperti wayang yang gerakannya bergantung pada dalang. Sebab, tenaga yang diciptakan Tuhan, dalam manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. 2. Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat. Akan tetapi, An-najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat memindahkan potensi hati (makripat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.

b. Adh-Dhirar Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-najjar, yaitu bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya, dan tidak semata-mata dipaksa daalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan satu perbuatan dapat Ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusianya. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Mengenai ru’yat Tuhan diakhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat dikhirat melalui “indra ke-6” ia juga berpendapat bahwa hudjjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.

B. Qadariah 1. Latar Belakang Kemunculan Qadariah Qadariah berasal dari bahasa arab qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.29 Menurut pengertian terminology, Qadariah adalah aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi tangan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Qadariah digunakan untuk nama aliran yang member penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution turut menegaskan bahwa kaum Qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai

28 29

Asy-Syahrastani, Op. Cit. hlm.89. Luwis Ma’luf Al-Yusuf’i , Al-Munjid, Al-Khathulikiyah, Beirut , 1945, hlm 346

34

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan. Seharusnya, sebutan Qadariah diberikan pada aliran yang berpendapat bahwa qadar telah menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Sebutan tersebut telah melekat pada aliran yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak. Demikianlah pemahaman kaum sunni pada umumnya. Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut paham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk pada hadist yang membuat negatif nama Qadariah. Yang artinya: Kaum Qadariah adalah majusinya umat ini. Kapan Qadariah muncul dan siapa tokoh-tokohnya merupakan dua tema yang masih diperdebatka. Ahmad Amin, ada para ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariah pertama dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani (w.80 H) dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’I yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada Hasan Al Bisri. Sementara Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Ustman bin Affan. Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syart Al-uyun, seperti dikutip Ahmad Amin (1886-1954 M), memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan paham Qadariah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan kembali ke agama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil paham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzal adalah Susan.30 Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Helimut Ritter dalam bahasa jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan paham Qadariah yang terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah seorang anak pada tahun 657 pergi ke Basrah dan tinggal di sana sampai akhir dan tinggal disana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Basri orang Qadariah atau bukan, hal ini memang terjadi perdebatan. Akan tetapi, yang jelas berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk. Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi, menurut Watt adalah penganut Qadariah yang hidup setelah Hasan Al-Basri. Apabila dihubungkan dengan keterangan Adz-Dzahabi

30 Al-Bagdadi, Al-Fark Bain Al-Firaq, Maktabah Muhammad Ali Subeih, Kairo, hlm .18.

35

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

dalam Mizan Al-i’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin tang menyatakan bahwa Ma’bad AlJauhani pernah belajar kepada Hasan Al-Basri. Jadi sangat mungkin paham Qadariah ini mula-mula dikembangkan Hasan Al-Basri. Dengan demikian, keterangan yang ditulis oleh Ibn Nabatah dalam Syarh Al-Uyun yang mengatakan bahwa paham Qadariah berasal dari orang Irak Kristen yang masuk Islam kemudian kembali ke Kristen, ada kemungkinan di rekayasa oleh orang yang tidak sependapat dengan paham ini, agar orang-orang tidak tertarik dengan pikiran Qadariah. Menurut kremer, seperti dikutip Ignaz Goldziher, dikalangan gereja timur ketika itu perdebatan tentang butir doktrin “Qadariah” mencekam pikiran para teolognya. Berkaitan dengan persoalan pertama kali Qadariah muncul, penting untuk melirik kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai ini karena ketika itu penganut Qadariah sangat banyak. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri. Pendapat ini dikuatkan oleh pendapat Ibn Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari Irak yang telah masuk Islam dan dari orang ini diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagian yang lain, berpendapat bahwa paham ini mucul di Damaskus disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana khalifah. Paham Qadariah mendapat tantangan keras dari umat islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras terhadap paham Qadariah. Pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat arab sebelum Islam dipengaruhi oleh paham fatalis. Kehidupan bangsa arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah pada keganasan Alam, panas yang yang menyengat serta tanah dan gunung nya yang gundu. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulakan oleh alasan sekelilingnya. Paham itu terus dianut meskipun mereka sudah beragama Islam. Oleh karena itu, ketika paham Qadariah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Paham Qadariah dianggap bertentangan dengan doktrin Islam. Kedua tantangan dari pemerintah. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintah ketika itu menganut paham Jabariah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintah menanggap gerakan paham Qadariah merupakan suatu usaha menyebarkan paham dinamis dan daya kritis rakyat, yang mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, bahkan dapat menggulingkan mereka dari tahta kerajaan. 2. Doktrin-doktrin Pokok Qadariah 36

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, masalah Qadariah disatukan pembahasannya dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah sehingga perbedaan antara kedua aliran ini kurang jelas.31 Ahmad Amin menjelaskan bahwa doktrin Qadar kiranya leebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah, sehingga orang sering menamakan Qadarian dengan Mu’tazilah karena mereka sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan. Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya manusia yang melakukan baik atas kehendak maupun kekuasaannya, dan manusia pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atau kemauan dan dayanya. Salah seorang pemuka Qadariah yang lain, An-Nazza, mengemukakan bahwa manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya. Dari beberapa penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa doktrin Qadariah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, Ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan- kebaikan yang dilakukannya dan berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, apabila seorang diberi ganjaran, baik dengan balasan surga maupun diberi ganjaran siksa sdengan balasan neraka kelak di akhirat berdasarkan pilihan pribadinya, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuan. Paham takdir dalam pandangan Qadariah bukan dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-pebuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Dalam paham Qadariah, takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya berlaku untuk alam semesta beserta seluruh isinya semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatulla. Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain kecuali mengikuti hokum alam. Misalnya, manusia ditakdirkan tidak mempunyai sirip, seperti dimiliki ikan sehingga dapat berenang dilautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang mampu membawa barang berates kilogram, tetapi manusia ditakdirkan mempunyai daya pikir yang kreatif. Demikian juga dengan anggota tubuh lainnya dapat berlatih sehingga dapat

31 Al-Syahras, ani, Op. Cit , hlm. 85.

37

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

tampil membuat sesuatu. Dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil, manusia dapat meniru yang dimiliki ikan sehingga dapat berenang dilaut lepas. Demikian juga, manusia dapat memuat benda lain yang dapat membantunya membawa barang seberat yang dibawa gajah bahkan lebih dari itu. Di sini, terlihat semakin besar wilayah kebebasan yang dimiliki manusia. Bahkan suatu hal yang benar-benar tidak sanggup diketahu, sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia, siapa dapat membatasi daya imajinasi manusia, atau dengan pertanyaan lain dimana batas akhir kreativitas manusia?. Dengan pemahaman seperti ini kaum Qadariah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia pada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam. Banyak ayat Al-Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini misalnya dalam surah Al-Kahf ayat 29, yang artinya: “Dan katakanlah (Muhammad). ‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barang siapa menhendaki (kafir) biarlah dia kafir…” Dalam surah Al-Imran ayat 165 “Dan mengapa kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada perang uhud). Padahal kamu telah menimpahkan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada perang badar) kamu berkata. ‘dari mana dataangnya (kekalahan) ini? ‘katakanlah. ‘itu dari (kekalahan) dirimu sendiri’…” Dalam surah Ar-Ra’d ayat 11 “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka merubah keadaan mereka sendiri….”

38

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

BAB V MU’TAZILA

39

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

A. Latar Belakang Kemunculan Mu’tazilah Secara harfiah kata Mu’tazilah berasala dari i’tazala yang berarti “berpisah” atau “memisahkan diri” yang berati juga “menjauh” atau “menjauhkan diri.”

32

Secara teknis,

istilah Mu’tazilah dapat menunjuk pada dua golongan. Golongan pertama (selanjutnya disebut Mu’tazilah l) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti sikap yang lunak dalam menengahi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan yang netral masa inilah yang sesungguhnya disebut dengan kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok yang menjauhkan diri ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh kemudian hari. Golongan kedua (selanjutnya disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respons persoalan teologis yang berkembang di kalangan kaum khawarij dan Murji’ah karena peristiwa tahkim. Golongan Mu’tazilah ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan di kaji dalam bab ini, yang sejarah timbulnya memiliki banyak versi. Beberapa analisis tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Washil bin ‘Atha ( ...-131 H) serta temannya,’Amr bin ‘Ubaid, dan Hasan Al-Basri ( 31-131 H ) di Basrah. Pada waktu Washil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al- Basri di Masjid Basrah, datang seseorang yang bertanya mengenai pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan AlBasri masih berpikir, tiba-tiba Washil mengemukakan pendapatnya dengan mengatak “saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, melainkan berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian, Washil menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri pergi ketempat lain dilingkungan masjid. Di sana, Washil mengulangi pendapatnya dihadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini Hasan Al-Basri berkata, “Washil menjauhkan diri dari kita (i’tazala ‘anna).” Menurut AsySyahrastani (474-548 H), kelompok yang memisahkan diri pada peristiwa diatas disebut kaum Mu’tazilah. Versi lain yang dikemukakan oleh Al-Baghdadi menyatakan bahwa Washil dan temannya, ‘Amr bin ‘ubaid bin Bab, di usir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnnya karena ada pertikaian di antara tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya

32

Luis Ma’lif, Al-Mujid fi Al-Lughah, Cet, X, Darul Kitab Al-Arabi, Beirut, t.t., hlm. 207.

40

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar itu mukmin dan tidak kafir. Oleh karena itu, golongan itu dinamakan Mu’tazilah. Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’amah pada suatu hari masuk Masjid Basrah dan begabung dengan majelis ‘Amr bin ‘Ubaid yang dikira adlah majelis Hasan Al-Basri. Setelah Qatadah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al-Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata “ ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah. Al-Mas’Udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemuculan Mu’tazilah dengan tidak menyangkut-pautkannya dengan peristiwa antara Washil dan Hasan Al-Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, karena berpendapat bahwa orang berdosa bukan mukmin dan bukan pula kafir, melainkan menduduki tempat di antara kafir dan mukmin( al-manzilah bain almanzilatain).33 Dalam arti, memberi status orang yang berbuat dosa besar jauh dari golongan mukmin dan kafir. Teori baru yang dikemukakan oleh Ahmad Amin (1886-1954 M) menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat sebelum adanya peristiwa Washil dan Hasal Al-Basri, dan sebelum timbulnya pendapat tentang posisi di antara dua posisi. Nama Mu’tazilah diberikan kepada golongan orang-orang yang tidak mau inntervensi dalam pertikaian politik yang terjadi pada zaman Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Ia menjumpai pertikaian disana, yaitu satu golongan mengikuti pertikaian itu, sedangkan golongan lain menjauhkan diri ke Kharbita. Oleh karena itu, dalam surat yang dikirimkannya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamakan golongan yang menjauhkan diri tersebut dengan Mu’tazilin, sedangkan Abu AlFida’ menamakan dengan Mu’tazilah. Dengan demikian, kata i’tazala dan mu’tazilah telah digunakan kira-kira seratus tahun sebelum peristiwa Washil dengan Hasan Al-Basri, yaitu dalam arti golongan yang tidak mau ikut campur dalam pertikaian politik pada zamannya. Golongan Mu’tazilah dikenal juga dengan nama-nama lain, seperti ahl al-adl yang berarti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan dan ahl at-tawhid wa al-‘adl yang berarti golongan yang mempertahankan keesaan murni dan keadilan Tuhan. Adapun lawan Mu’tazilah memberi nama golongan ini dengan Al-Qadariah dengan alasan mereka menganut paham free will and free act,yaitu bahwa manusia itu bebas berkehendak dan bebas berbuat; menamakan juga Al-Mu’aththilah karena golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, dalam arti sifat mempunyai wujud diluar dzat Tuhan; menamakan juga wa’diyyah karena mereka berpendapat bahwa ancaman Tuhan itu pasti akan menimpa orangorang yang tidak taat hukum-hukum Tuhan.

33

Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘ilm Al-Kalam, t.tp., Kairo, 1969, hlm. 75.

41

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

B. Al-Ushul Al-Khamsah : Lima Ajaran Dasar Teologi Mu’tazilah Kelima ajaran dasar Mu’tazilah yang tertuang dalam Al-Ushul Al-Khamsah adalah AtTauhid (pengesanaan Tuhan), Al-Adl (keadilan Tuhan), Al-Wa’d (janji dan ancaman Tuhan), Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy ‘an Al-Munkar (menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran). 1. At-Tauhid At-Tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan inti sari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam Islam memegang doktrin ini. Akan tetapi, bagi Mu’tazilah tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatubyang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya. Tuhan satu-satunya Esa, yang unik dan tidak satupun menyamai-Nya. Oleh karena itu. Hanya Dia-lah yang qadim. Apabila ada yang qadim lebih dari satu, telah terjadi ta’adadud al-qudama’ (berbilangnnya dzat yang tidak berpermulaan). Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tidak ada satupun yang menyerupai-Nya. Dia Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui dan Sebagainya. Akan tetapi, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat, melainkan dzat-Nya. Menurut mereka, sifat adalah sesuatu yang melekat. Apabila sifat Tuhan yang qadim, ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifat -Nya. Washil bin Atha’ seperti dikutip oleh Asy-Syahrastani berkata “siapa yang mengatakan sifat yang qadim berarti telah menduakan Tuhan,” ini tidak dapat diterima karena merupakan perbuatan syirik. Apa yang bisa disebut sebagai sifat menurut Mu’tazilah adalah dzat Tuhan. Abu AlHudzail pernah berkata “ Tuhan mengetahui dengan ilmu dan ilmu itu adalah Tuhan, berkuasa dengan kekuasaan, dan kekuasaan itu adalah Tuhan”.34 Mu’tazilah berpendapat bahwa AlQur’an itu baru (diciptakan) Al-Qur’an adalah manifestasi kalam Tuhan; Al-Qur’an terdiri atas rangkaian huruf, kata, dan bahsa yang antara satu mendahului yang lainya. Harun Nasution mencatat ada sedikit perbedaan antara Al-Jubba’i(w. 321 H 933 M).35 Abu Hasyim atas pernyataan, “ Tuhan mengetahui dengan esensi-Nya.” Tuhan tidak berhajat pada sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui. Menurut Abu Hasyim, Tuhan memiliki keadaan mengetahui. Meskipun demikian, mereka sepakat bahwa Tuhan tidak memiliki sifat. 34 35

Syahrastani, Op. Cit, hlm. 49. Abu Muhammad bin Abd Al-Wahhab Al-Jubbai wafat 195 H.

42

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Terlepas dari adanya anggapan bahwa Abu Al-Hudzail mengambil konsep nafy ashshifat (peniadaan sifat Allah) dari pendapat Aristoteles. Agaknya beralasan apabila para pendiri mazhab ini lebih berbangga dengan sebutan ahl al-adl wa at-tauhid (pengikut paham keadilan dan keesaan Tuhan). Ini terlihat dari upaya keras mereka untuk mengesakan Allah dan menempatkan-Nya benar-benar adil. Doktrin tauhid Mu’tazilah lebih lanjut menjelaskan bahwa tidak ada satupun yang dapat menyamai Tuhan. Begitu pula sebalik-nya, Tuhan tidak serupa dengan Makhluknya. Tuhan adalah immateri. Oleh karena itu, tidak layak bagi-Nya setiap atribut materi. Segala yang mengesankan adanya kejisiman Tuhan, bagi Mu’tazilah tidak dapat diterima oleh akal dan itu adalah mustahil. Mahasuci Tuhan dari penyerupaan dengan yang diciptakan-Nya. Tegasnya, Mu’tazilah menolak antropomorfisme. Penolakan terhadap paham antroporfistik bukan atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuat di dalam Al-Qur’an. Mereka berangkat dari pernyataan AlQur’an yang berbunyi“ ... tidak ada sesuatu yang serupa dengan Dia .....” (Q.S. Asy-Syura 42:11) Tidak dapat dimungkiri bahwa Mu’tazilah –sebagaimana aliran lain- telah terkena pengaruh filsafat Yunani. Akan tetapi, hal itu tidak menjadikannya sebagai pengikut buta Hellenisme. Usaha keras mereka telah mengahbiskan banyak waktu dan energi telah membuahkan hasil. Dengan di dorong oleh semangat keagamaan yang kuat, pemikiran Hellennistik yang telah mereka pelajari di jadikannya senjata mematikan terhadap serangan para penentangnya, yaitu para muhadditsin, rafidhah, dan berbagai aliran keagamaan India. Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat yang secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan, yaitu dengan cara memalingkan arti kata-kata tersebut ke arti lain sehingga hilang kejisiman Tuhan. Tentu, pemindahan arti ini tidak dilakukan dengan semena-mena, tetapi merujuk pada konteks kebahasaan yang lazim digunakan bahasa Arab. Beberapa contoh dapat dikemukakan disini. Misalnya, kata tangan (Q.S. Shad 38 : 75 ) di artikan kekuasaan dan pada konteks yang lain tangan (Q.S. Al-Maidah 5:64 ) dapat diartikan nikmat. Kata wajah (Q.S. Ar-Rahman 55:27) di artikan esensi dan dzat, sedangkan al-arsy (Q.S. Thaha 20 : 5 ) diartikan kekuasaan. Penolakan Mu’tazilah terhadap pendapat bahwa tuhan dapat dilihat oleh mata kepala merupakan konsekuensi logis dari penolakannya terhadap antropormofisme. Tuhan adalah Immateri, tidak tersusun dari unsur, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak berbentuk. Yang dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat, tentu di dunia pun dapat dilihat oleh mata kepalla. Oleh karena itu, kata melihat (Q.S. Al-Qiyamah 75:22-23) ditakwilkan dengan mengetahui (know). 43

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

2. Al-Adl Ajaran dasar Mu’tazilah yang kedua adlah al-adl yang berarti Tuhan Mahaadil. Adil adalah suatu atribut yang paling jelas untuk menunjukan kesempurnaan. Karena Tuhan maha sempurna, sudah pasti Dia adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia. Ajaran tentang keadilan ini berkaitan erat dengan beberapa hal, antara lain sebagai berikut : a. Perbuatan manusia Manusia Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak.36 Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh tuhan pastilah baik dan yang dilarang-Nya tentulah buruk. b. Berbuat baik dan terbaik Kewajiban tuhan untuk bebruat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan bahwa Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil. c. Mengutus rasul Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini. 1. Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus Rasul kepada mereka. 2. Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S. Asy-Syu’ara’ 26:29). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan Rasul. 3. Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain selain mengutus rasul.37 3. Al-Wa’d wa Al-Wa’id Ajaran ini erat hubungannya dengan ajaran kedua diatas. Al-Wa’d wa Al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Mahaadil dan Mahabijaksana, demikian kata Mu’tazilah, 36 37

Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Iskamiyah, Dar Al-Manar, Kairo, 1991, hlm. 122. Mazru’ah, Op. Cit., hlm. 128.

44

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

tidak akan melanggar janji-Nya. Perbuatan tuhan terikat dan dibatasi oleh janji-Nya. Janji Tuhan untuk memberi pahala masuk surga bagi yang berbuat baik dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka pasti terjadi, begitu pula janji Tuhan untuk memberi pengampunan pada orang yang bertobat nasuha pasti benar adanya. Memberikan pahala bagi orang yang berbuat baik dan dosa bagi orang yang durhaka tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh Tuhan karena sudah dijanjikan. Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapa pun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan; siapapun berbuat jahat akan dibalas dengan siksa yang sangat pedih. Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertobat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali yang telah tobat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabbkan pelauknya masuk neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar. Terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak main-main dengan perbuatan dosa.

4. Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman yang melakukan dosa besar. Seperti tercatat dalam sejarah, khawarij menganggap orang tersebut kafir, bahkan musyrik. Menurut Murji’ah, orang itu tetap mukmin dan dosanya diserahkan kepada tuhan. Mungkin dosa tersebut di ampuni Tuhan. Pendapat Washil bin Atha’ mungkin dosa tersebut di ampuni Tuhan. Pendapat Wahil bin Atha’ lain lagi. Orang tersebut diantaradua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena jaran inilah, Washil bin Atha’ dan ‘Amr bin Ubaid harus memisahkan diri(i’tizal) dari majelis gurunya, Hasan Al-Basri. Berawal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya. Pokok ajaran ini adalah mukmin yang melakukan dosa besar dan meninggal sebelum bertobat bukan lagi mukmin atau kafir, tetapi fasiqulutsu dennga mengutip Ibn Hazm, mengatakan “orang yang melakukan dosa besar disebut fasiq. Ia bukan mukmin, bukan kafir, bukan pula munafik (hiporkit). Mengomentari pendapat tersebut, izutsu menjelaskan bahwa sikap Mu’tazilah adalah membolehkan hubungan pernikahan warisan anatar mukmin pelaku dosa besar dan mukmin lain dan dihalalkannya binatang sembelihannya. Menurut pandangan Mu’tazilah, pelaku dosa besar tidak dapat dikatakan sebagai mukmin secara mutlak karena iman menuntut adanya kepatuhan kepada Tuhan, tidak cukup hanya pengakuan dan pembenaran. Berdosa besar bukanlah kepatuhan, melainkan kedurhakaan. Orang ini tidak dikatakan kafir secara mutlak karena masih percaya kepada 45

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Tuhan, Rasul-Nya, dan mengerjakan pekerjaan yang baik. Hanya, jika meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan ke neraka dan kekal di dalamnya karena akhirat hanya terdapat dua pilihan, yaitu surga dan neraka. Orang mukmin masuk surga dan orang kafir masuk neraka. Orang fasiq dimasukan ke neraka hanya siksaannya lebih ringan daripada orang yang lebih dari pada orang kafir. Mengapa ia tidak dimasukkan ke surga dengan “kelas” yang lebih rendah dari mukmin sejati ? Tampaknya Mu’tazilah ingin mendorong agar manusia tidak menyepelakn perbuatan dosa, terutama dosa besar. 5. Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an Al-Munkar Ajaran dasar yang kelima adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemungkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakan pada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, di antaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam ber-amar ma’ruf nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya. Abd Al-Jabbar ( w.1024), yaitu: a. Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu ma’ruf dan yang dilarang itu munkar. b. Ia mengetahui bahwa kemungkaran telah dilakukan orang. c. Ia mengetahui bahwa perbuatan amar ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa madharat yang lebih besar; d. Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakann diri dan hartanya. Al-Amr bi al-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-munkar bukan monopoli konsep Mu’tazilah. Frase tersebut sering digunakan di dalam Al-Qur’an. Arti asal al-ma’ruf adalah yang telah di akui dan diterima oleh masyarakat karena mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifik lagi, al-ma’ruf adalah yang diterima dan di akui Allah. Adapun al-munkar adalah sebaliknya. Yaitu sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Frase tersebut yaitu berarti seruan untuk berbuat sesuatu yang muncul dan sesuai dengan keyakinan yang sebenarbenarnya serta menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma Tuhan. Perbedaan mazhab Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Lalu, sejarah telah mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya. 46

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

BAB VI SYI’AH

47

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

A. Pengertian dan latar belakang kemunculan syi’ah Syi’ah secara bahasa berarti “pengikut”, “pendukung”, “partai”, atau “kelompok”, sedangkan secara terminologis istilah ini dikaitkan dengan sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW. Atau disebut ahl al-bait. Poin penting dalam doktrin syi’ah adalah pernyataan bahwa segala petunjuk agama bersumber dari ahl al-bait. Mereka menolak pertunjukan-pertunjukan keagamaan dari para sahabat yang bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.i Menurut Ath-Thabathaba’I (1903-1981 M), istilah “syi’ah untuk pertamakalinya ditujukan pada para pengikut’ Ali (syi’ah’ Ali), pemimpin pertama ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad SAW. Para pengikut Ali yang disebut syi’ah, diantaranya adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, Miqdad bin Al-aswad, dan Ammar bin yasir’i Pengertian bahasa dan terminologis diatas boleh dikatakan hanya merupakan dasar yang membedakan syi’ah dengan kelompok islam yang lain. Mengenai kemunculan syi’ah dalam sejarah, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Menurut Abu Zahra, syi’ah mulai ke permukaan sejarah pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan. Selanjutnya, aliran ini tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi thalib.i Watt menyatakan bahwa syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara “Ali dan Mu’awiyah yang dikenal dengan perang shiffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan mu’awiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap Ali di sebut syi’ah dan kelompok lain menolak sikap ali di sebut khawarij. Bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir khumm. Di ceritakan bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari mekah ke madinah, dipadang pasir yang bernama Ghadir Khumm, Nabi memilih sebagai penggantinya di hadapan massa yang penuh sesah menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali sebagai pemimpin umum umat (walyat- I amali), tetapi juga menjadikan Ali sebagaima Nabi, sebagai pelindung (wali) mereka. B. Syi’ah itsna’Asyariah (Syi’ah Dua Belas/syi’ah Imamiah) 1. Asal-usul penyebutan imamiah dan syi’ah itsna’Asyariah Dinamakan syi’ah imamiah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah persoalan iman dalam arti pemimpin religio-politik.i yaitu bahwa ‘Ali berhak menjadi khalifah bukan hannya kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi ia telah ditunjukan dan dipantas 48

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.i Ide tentang hak ‘Ali dan keturunannya untuk menduduki jabatan imam atau khalifah telah ada semenjak Nabi wafat, yaitu dalam perbincangan politik di saqifah Bani Sa’idah.i 2. Doktrin-doktrin syi’ah itsna’Asyariah Di dalam sekte syi’ah itsna’Asyariah dikenal konsep Usul Ad-Din.konsep ini menjadi akar atau fondasi pragmatisme agama. Konsep Usuluddin mempunyai lima akar, yaitu sebagai berikut.

a. Tauhid (the devine unity) Tauhid adalah Esa, baik esensi maupun eksistensi-nya. Keesaan tuhan adalah mutlak. Ia bereksistensi dengan sendiri-nya. Tuhan adalah qadim. Maksudnya, tuhan bereksistensi sebelum ada ruang dan waktu. Ruang dan waktu diciptakan oleh tuhan. Tuhan mahatahu, maha mendengar, selalu hidup, mengerti semua bahasa, selalu benar, dan bebas berkhendak. Keesaan Tuhan tidak murrakab (tersusun). Tuhan tidak membuthkan sesuatu. Ia berdiri sendiri, tidak dibatasi oleh ciptaan-nya. Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata biasa.

b. Keadilan (the devine justice) Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta merupakan keadilan. Ia tidak pernah menghiasi ciptaan-nya dengan ketidak adilan. Karna ketidak adilan dan kezalliman terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidak mampuan, sementara Tuhan

adalah

mahatau

dan

mahakuasa.

Segala

macam

keburukan

dan

ketidakmampuan adalah jauh dari keabsolutan dan kehendak Tuhan. Tuhan memberikan akal kepada manusia untuk mengetahui benar dan salah melalui perasaan. Manusia dapat menggunakan penglihatan, pendengaran, dan indralainnya untuk melakukan perbuatan, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi, manusia dapat memanfaatkan potensi berkehendak sebagai anugrah tuhan untuk mewujudkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya.

c. Nubuwwah (apostleship) Setiap makhluk di samping telah diberi insting, secara alami juga masih membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari tuhan maupun dari manusia. Rasul merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang secara transenden diutus member 49

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

acuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk di alam semesta. Dalam keyakinan syi’ah itsna’Asyariah, tuhan telah mengutus 124.000 Rasul untuk memberikan petunjuk kepada manusia.i Syi’ah itsna’Asyariah percaya tentang ajaran tauhid dengan kerasulan sejak adam hingga Muhammad, dan tidak ada nabi atau rasul setelah Muhammad. Mereka percaya dengan kiamat. Kemurnian dan keaslian Al-Quran jauh dari tahrif, perubahan, atau tambahan. d. Ma’ad (the last day) Ma’ad adalah hari akhir (kiamat) untuk menghadap pengadilan Tuhan di akhirat, setiap muslim harus yakin keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah dinyatakan bersih dan luas dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode transit dari kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat.

e. Imamah (the devine guidance) Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim didegelasikan kepada keturunan Muhammad sebagai Nabi Rasul terakhir.i Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat mahdhah, syi’ah itsna’Asyariah berpihak pada delapan cabang agama yang disebut dengan furu’ ad-din. Delapan cabang tersebut terdiri atas shalat, puasa, haji, zakat, khumus atau pajak sebesar seperlima dari penghasilan, jihad, al-ma’ruf, dan an-nahuyu’an al-munakir. C. Syi’ah sab’iah (syi’ah Tujuh) 1. Asal usul penyebutan syi’ah sab’iah Istilah syi’ah sab’iah “syi’ah tujuh” dianalogikan dengan syi’ah itsna Asyariah. Istilah itu memberikan pengerian bahwa sekte syi’ah yang ini hanya mengakui tujuh imam.i Tujuh imam itu ialah Ali ,Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-Baqir, ja’far Ashshadiq, dan Islmail bin ja’far Ash-Shadiq, syi’ah sabiah disebut juga syi’ah ismailiyah.i Berbeda dengan syi’ah sab’iah, syi’ah itsna Asyariah membatalkan ismail bin ja’far sebagai iman ketujuh karena di samping Ismail berkebiasaan tidak terpuji juga karena dia wafat (143 H/760 M) mendahului ayahnya, ja’far (w. 765). Sebagai gantinya adalah Musa Alkadzim, adik Ismail.i Syi’ah sab’iah menolak pembatalan di atas berdasarkan sistem

50

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

pengangkatan imam dalam syi’ah dan menganggap Ismail tetap sebagai imam ketujuh dan sepeninggalnya diganti oleh putranya yang tertua, Muhammad bin Ismail’i 2. Doktrin imamah dalam pandangan syi’ah sabi’ah Para pengikut syi’ah sab’iah percaya bahwa islam dibangun oleh tujuh pilar, seperti dijelaskan Al-qadhi An-Nu’man dalam Da’aim Al-Islam. Tujuh pilar tersebut adalah: a. Iman, b. Taharah, c. Shalat, d. Zakat, e. Saum, f. Menunaikan haji, g. Jihad. Berkaitan dengan pilar (rukun) pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’man (974 M) memerincinya sebagai berikut: iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah; iman kepada surga; iman kepada neraka; iman kepada hari kebangkitan; iman kepada hari pengadilan; iman kepada para nabi dan rasul; imam kepada imam, percaya, mengetahui, dan membenarkan imam zaman.i Tentang imam zaman, syi’ah sab’iah mendasarkan pada sebuah hadis Nabi Muhammad SAW. Yang terjemahan bahasa inggrisnya, “he who dies without knowing of time when still alive dies in ignorance” (ia telah wafat dan waktu kewafatannya masih belum diketahui sampai kini). Hadis yang seperti ini juga terdapat dalam sekte sunni dan syi’ah itsna Asyariah, tetapi tidak mencantumkan iman zaman.i Dalam pandangan kelompok syi’ah sab’iah, keimanan hanya bisa diterima apabila sesuai dengan keyakinan mereka, yaitu melalui walayah (kesetiaan) kepada imam zaman. Imam adalah seorang yang menuntun pada pengetahuan (ma’rifat) dan dengan pengetahuan tersebut seorang muslum akan menjadi seorang mukmin yang sebenarbenarnya. Untuk itu, mereka berargumen bahwa manusia akan memasuki kehidupan spiritual, kehidupan formal-materiil sebagai individu dan kehidupan sosial yang semuanya memerlukan aturan. Manusia tidak dapat melalui kehidupan itu, kecuali dengan bimbingan. Bimbingan tersebut meliputi kepemimpinan dan pembaharuan kehidupan, pengetahuan, aturan-aturan, dan bimbingan pemerintahan yang semuanya harus berdasarkan Islam. Pribadi yang dapat melakukan bimbingan seperti itu adalah pribadi

51

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

yang ditunjuk Allah dan Rasul-nya. Rasul pun menunjukkan atas perintah Allah. Imam adalah penunjukan melalui wasiat.i Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan syi’ah adalah sebagai berikut. a. Imam harus dari keturunan ‘Ali melalui perkawinan dengan Fatimah yang kemudian dikenal dengan Alhul Bait.i b. Beberapa aliran kaisaniah,pengikut mukhtar Ats-Tsaqafi, mempropagandakan bahwa keimaman harus dari keturunan ‘Ali melalui pernikahannya dengan seorang wanita dari Bani Hanifah dan mempunyai anak yang bernama Muhammad bin Al-Hanifiyah.i c. Imam harus berdasarkan penunjukan atau nash.i Syi’ah sab’iah menyakini bahwa setelah nabi wafat, ‘Ali menjadi imam berdasarkan penunjukan khusus yang dilakukan Nabi sebelum wafat. Sukses keimanan menurut doktrin dan tradisi syi’ah harus berdasarkan nash oleh imam terdahulu. d. Keimanan jauh dari anak tertua. Syi’ah sab’iah menggaris bawahi seorang imam memperoleh keimaman dengan jalan wiratsah (heredity) dan seharusnya merupakan anak paling tua. Jadi, ayahnya yang menjadi imam menunjuk anaknya yang paing tua.i e. Imam harus maksum (immunity from sin an error).i Sebagaimana sekte syi’ah lainnya, syi’ah menggariskan bahwa seorang iamam harus terjaga dari salah satu dosa. Bahkan, lebih dari itu, syi’ah sab’iah berpendapat bahwa jika imam melakukan perbuatan salah, perbuatan itu tidak salah.i Keharusan maksum bagi imam dapat ditelusuri dengan pendekatan sejarah. Pada sejarah iran pra-islam terdapat ajaran yang menyatakan bahwa ajaran merupakan keturunan Tuhan;atau seorang raja adalah penguasa yang dapat tetesan ilahi (Devine Grace) dan dalam bahasa Persia adalah farr-I izadi.iOleh karna itu, seorang raja harus maksum. f. Imam harus dijabat oleh seseorang yang paling baik (best of men). Berbeda dengan Zaidah, syi’ah sab’iah, dan syi’ah dua belas tidak membolehkan adanya imam mafdhul. Dalam pandangan syi’ah sab’iah, perbuatan dan ucapan imam tidak boleh bertentangan dengan syariat. Seorang imam harus sama sifat dan kekuasaannya dengan nabi. Perbedaannya terletak pada kenyataan bahwa nabi mendapatkan wahyu, sedangkan imam tidak mendapatkannya.i 3. Ajaran syi’ah sab’iah lainnya Ajaran-ajaran sab’iah yang lainnya pada dasarnya sama dengan ajaran sekte-sekte syi’ah lainnya. Perbedaannya terletak pada konsep kemaksuman imam, adanya aspek pada setiap yang lahir dan penolakannya terhadap Al-mahdi Al-muntazhar. Apabila dibandingkan 52

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

dengan sekte syi’ah lainnya, sab’iah sangat ekstrem ketika menjelaskan kemaksuman imam. Sebagaimana telah dijelaskan, sab’iah berpendapat bahwa walaupun terlihat melakukan kesalahan dan meyimpan dari syariat, seorang imam sesungguhnya tidak dimiliki manusia biasa. Konsep kemaksuman imam seperti itu merupakan konsekuensi logis dari doktrin sab’iah tentang pengetahuan iamam akan ilmu batin. Ada satu sakte dalam sab’iah yang yang berpendapat bahwa tuhan mengambil tempat dari dalam iamm. Oleh karna itu, imam harus disembah. Salah seorang khalifah Dinasti Fatimah, Al-Hakim bin Amrillah (I. 375 H), berkeyakinan bahwa dalam dirunya terdapat tuhan bahwa dirinya terdapat tuhan karena ia memaksa rakyat supaya menyembahnya. D. Syi’ah Zaidah 1. Asal-usul penamaan syi’ah zaidiah seketika ini mengakui zaid bin ‘ali sebagai imam V, putra imam IV,’Ali zaidah abidin. Ini berbeda dengan sakte syi’ah lain yang mengakui Muhammad Al-Baqir, anak zainal abiding yang lain, sebagai imam V. dari nama zaid bin ‘Ali inilah nama zaidah diambil.i Syi’ah zaidinmerupakan sakte syi’ah yang moderat.i Bahkan, Abu Zahra menyatakan bahwa syi’ah zaidah merupakan sakte paliang dekat dengan sunni. 2. Doktrin imamah menurut syi’ah zaidiah Imamiah sebagaimana telah disebutkan doktrin fundamental dalam syi’ah secara umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang tipikal. Kaum zaidah menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya ditemukan sifat-sifatnya. Ini jelas berbeda dengan sakte syi’ah yang percaya bahwa Nabi Muhammad SAW. Telah menunjuk ‘Alisebagai yang pantas sebagai imam setelah Nabi wafatkarena sifat-sifat itu tidak dimiliki oleh orang lain, selain ‘Ali. Sifat-sifat itu adalah keturunan Bani Hasyim, wara’ (saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik, dan membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka hingga mengakuinya sebagi imam. 3. Doktrin-doktrin syi’ah zaidiah lainnya Bertolak dari doktrin tentang al-imamah al-mafdul, syi’ah zaidiah berpendapat bahwa khalifahan Abu Bakar dan Umar bin khaththab adalah sah dari sudut pandang islam. Dalam pandanagn zaidiah, mereka tidak merampas kekuasaan dari tangan ‘Ali bin Abi Thalib. Dalam pandangan mereka pun,jika ahl al-ahll wa al-‘aqd telah memilih seseorang imam dari 53

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

kalangan kaum muslim meskipun orang yang terpilih itu tidak memenuhi sifat-sifat keimanan yang ditetapkan oleh zaidiah, padahal mereka telah membaitnya, keimanannya menjadi sah dan rakyat wajib berbait kepadanya.i Selain itu, mereka juga tidak mengafirkan seorang pun sahabat. Mengenai ini, zaidd sebagaimana dikutip Abu zahrah mengatakan: “sesunguhnya ‘Ali bin Thalib adalah sahabat yang paling utama. Kekhalifahannya diserahkan kepada Abu Bakar karena mempertimbanagkan kemaslahatan dan kaidah agama yang mereka pelihara, yaiyu untuk meredam timbulnya fitnah dan memenangkan rakyat. Era peperangan yang terjadi pada masa kenabian baru berlalu. Pedang Amir AlMu’minin ‘Ali belum lagi kering dari darah orang-orang kafir. Begitupula kedengkian suku tertentu ntuk menuntut balas dedam belum surut. Sedikitpun hati kita tidak pantas untuk cenderung kesana. Jangan sampai ada lagi leher yang terputus karna masalah itu. melaksanakan pandangan inilah yang dinamakan kemaslahatan bagi orang yang mengenal dengan kelemahlembutan dan kasih sayang, juga bagi orang yang lebih tua dan lebih dahulu memeluk islam, serta yang dpat dengan rasulullah. 4. Syi’ah Ghulat 1. Asal-usul penaman syi’ah ghulat Istilah “ghulat” berasal dari kata ghala-yaghlu-ghulan artinya “bertambah” dan “naik”. Ghala bi ad-din artinya memperkuat da menjadi ekstrem sehingga melampaui batas.i Syi’ah Ghulat berartikan kelompok pendukung ‘Ali yang memiliki sikap berlebihan atau skstrem. Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa syi’ah ekstrem (ghulat) adalah kelompok yang menempatkan ‘Ali pada derajat krtuhanan, dan ada yang mengangkat pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi dari nabi Muhammad. 2. Doktrin-doktrin syi’ah ghulat Menurut syahrastani ada empat doktrin yang membuat mereka ekstrem, yaitu tanasukh, beda’, raj’ah, dan tasbih. Moojan menambahkannya dengan hulul dan ghaybai. Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain. Paham ini diambil dari falsafah Hidup. Penganut agama Hind berkeyakinan bahwa roh disiksa dengan cara berpindah ketubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara berpindah dengan satu kehidupan pada kehidupan yang lebih tinggi.i Syi’ah ghulat merupakan paham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan –seperti Abdullah bin Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far- bahwa roh Allah berpindah kepada Adam dan kepada imam-imam secara turun-menurun.

54

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

BAB VII SALAF

55

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

A. Sejarah Singkat Salaf 1. Definisi salaf Banyak beragam definisi yang telah dikemukakan para pakar mengenai definisi salaf dan khalaf berikut akan dikemukakan beberapa diantaranya.menurut Thablawi Mahmud Sa’ad,salaf artinya ulama terdahulu.salaf terkadang dimaksudkan untuk merujuk generasi sahabat,tabii,tabi tabiin,para pemuka abad ke-3 H,dan para pengikutnya pada abad ke -4 yang terdiri atas para Muhadditsin dan sebagainya.salaf berarti para ulam-ulam saleh yang hidup pada tiga abad pertama islam.imenurut Asy-Syahratsani (474-548 H), ulama salaf tidak menggunakan takwil (dalam menafsirkan ayat-ayat Mutasyabihat)dan tidak mempunyai paham tasybih(antrofomorfisme).iMahmud Al-Bisybisyi dalam Al-Firaq Al-Islamiyah mendefinisikan salaf sebagai sahbat,tabiin dan tabi tabiin yang dapat diketahui dari sikapanya menolak penafsiran yang dalam mengenai sifat-sifat Allah yang menyerupai segala sesuatu yang baru untuk menyucikan dan mengagungkan-Nya. W. Montgomery Watt mwnyatakan bahwa gerakan salafiyah berkembang terutama di Baghdad pada abad ke-13.pada masa itu,terjadi gairah yang menggebu-gebu yang diwarnai fanatisme kalangan kaum Hanbali.sebelum akhir abad itu,terdapat sekolah-sekola Hanbali di Jerussalem dan Damaskus.di Damaskus kaum Hanbali semakin kuat dengan kedatangan para pengungsi dari Irak yang disebakan serangan Mongol atas Irak.diantara para pengungsi itu terdapat satu keluarga dari Harran,yaitu keluarga Ibn Taimiah (1263-1328 M) adalah seorang ullam besar penganut Imam Hanbali yang ketat. Berdasarkan uraian Ibrahim Madzkur,karakteristik-karakteristik ulama salaf atau salafiyah dapat dikemukakan sebagai berikut.i 1. Lebih mendahulukan riwayat(naql)daripada dirayah(aql) 2. Dalam persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin)dan persoalan-persoalan cabang agama (furu’ ad-din), hanya bertolak dari penjelasan-penjelasan Al-Kitab dan AshSunnah. 3. Mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentanng Dzat-nya) tidak pula mempunyai paham antropomorfisme. 4. Memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan makna lahirnya, tidak berupaya untuk mewakilinya. Melihat karakteristik yang di kemukakan ibrahim madzkur di atas,tokoh tokoh berikut dapat di kategorikan sebagai ulama salaf.tokkoh yang dimaksud adalah ‘Abdullah bin 56

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Abbas(68 H),Abdullah bin Umar(74 H), Umar bin Abdul Aziz(101 H),Az-Zuhri(124H), Jafar Ash-Shidiq (148 H), dan para imam mazhab yang empat (Imam Hanafi,Maliki,Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal).Harun Nasution menganggap bahwa secara kronologis,salafia bermula dari Imam Ahmad bin Hanbal.lalu,ajarannya dikembangkan Imam Ibn Taimia,di suburkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahab,dan akhirnya berkembang di dunia Islam secara sporaris.idi Indonesia,gerakan ini berkembang lebih banyak dilaksanakan oleh gerakan gerakan Persatuan Islam (Persis),bahkan Muhammadiyah.gerakan gerakan lainnya,pada dasarnya juga menganggap sebagai gerakan salaf,tetapi teologinya sudah dipengaruhi oleh pemikiran yang dikenal dengan istilah logika.sementara itu,para ulama menyatakan mereka sebagai ulama salaf,mayoritas tidak menggunakan pemikiran dalam membicarakan masalah teologi(ketuhanan). Berikut ini akan dijelaskan beberapa ulama salaf dengan pemikirannya, terutama berkaitan dengan persoalan persoalan kalam. B. Imam Ahmad bin Hanbal (780-855) 1. Riwayat hidup singkat Ibn Hanbal Ibn Hanbal dilahirkan di Baghdad tahun 164 H/780 M, dan meninggal 241/855 M.ia sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bersama Abdillah.ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbali kerena menjadi pendiri mazhab Hanbali .ibunya bernama Shahifa binti Maimunah binti Abdul Malik binti Sawadah binti Hindur AsySyaibani,bangsawan Bani Amir.ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdulllah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Aqabah bin Sya’b bin Ali bin Jadlah bin Asad bin Rabi’al-Hadis bin Nizar.di dalam keluarga Nizar ini tampaknya Imam Ahmad bertemu keluarga dengan nenek moyangnya,Nabi Muhammad SAW. Ayahnya meninggal ketika Ibn Hambal masih berusia muda.meskipun demikian ayahnya telah mengawalinya memberikan pendidikan Al-Quran.pada usia 16 tahun,ia belajar Al-Quran dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama Baghdad.lalu mengunjungi ulama-ulama terkenal di Kufah,Basrah,Yaman,Mekah dan Madinah.diantara guru-gurunya adalah

Hammad

bin

Khalid,Ismail

bin

Aliyyah,Muzaffar

bin

Mudrik,Walid

bin

Muslim,Muktamar bin Sulaiman,Abu Yusuf Al-Qadi,Yahya bin Zaidah,Ibrahim bin Sa’id,Muhammad bin Idris Asy-Syafi’,Abdul Razaq bin Humam dan Musa bin Thariq.dari guru-gurunya,Ibnu Hanbal mempelajari ilmu fiqh,hadis,tafsir,kalam,ushul,dan bahasa Arab.i 57

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Ibnu hambal dikenal sebagai seorang zahid hampir setiap hari ia berpuasa dan tidur hanya sedikit pada malam hari.ia juaga dikenal sebagai seorang dermawan.pada suatu ketika,Khalifa Makmun Ar-Rashid membagikan beberapa keping emas untuk diberikan kepada para ulama hadis,yang merupakan kebiasaan para Khalifa masa itu.Ibn Hanbal justru menolaknya. Diriwayatkan pula, suatu ketika Syaikh Abdul Razak datang untuk menengoknya yang sedang dalam kesulitan keuangan di Yaman.gurunya itu mengambil segenggam dinar dari kantongya dan diberikan kepada Ibn Hanbal,tetapi Ibn Hanbal mengatakan bahwa,”saya tidak membutuhkannya.” Sebagai seorang yang teguh pendirian,ketika Khalifa Al-Makmun mengembangkan mazhab Mu’tazilah,Ibn Hanbal menjadi korban”minhah”(inquistition)i karena tidak mengakui bahwa Al-Quran itu makhluk,sehingga ia harus masuk penjara.nasib serupa dialaminya pada masa pemerintahan para pengganti Al-Makmun,yaitu Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq.setelah AlMutawakil naik tahta,Ibn hanbal memperoleh kebebasan.pada masa ini,ia memperoleh penghormatan dan kemuliaan. Diantara murid murid Ibn Hanbal adalah Ibn Taimiah, Hasan bin Musa,AlBukhari,Muslim,Abu Dawud,Abu Zuhrah Ad-Damsyiqi,Abu Zuhrah Ar-Razi,Ibn Abi Addunia,Abu Bakar Al-Asram,Hanbal bin Isahak Asy-Syaibani,Shaleh,dan Abdullah.kedua orang yang di sebutkan terakhir merupakan putranya. 2. Pemikiran Teologi Ibn Hanbal a. Ayat-ayat mutasyabihat Dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an,Ibn Hanbal lebih menyukai pendekatan lafdzi (tekstual) daripada pendekatan takwil,terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat Tuhan dan ayat-ayat mutasyabihat.ihal itu terbukti ketika ia ditanya tentang penafsiran ayat “(Yaitu) Yang Maha Pengasih,yang bersemayam diatas ‘Arsy.” (Q.S.Thaha 20:5) Dalam hal ini, Ibn Hanbal menjawab:

.‫ف‬ ٌ ‫اص‬ ِ ‫صفَ ِة ييَ ِلغ َها َو‬ ِ ‫ْف شَأ َ َو َك َما شَأ َ ِب ََل َح ِد َو ََل‬ َ ‫إ ْست ََوى‬ َ ‫علَى ْال َع ْر ِش َكي‬ Artinya: “Istiwa’ diatas arasy terserah Dia dan bagaiman Dia kehendaki dengan tiada batas dan tiada seorangpun yang sanggup menyifatinya.”

58

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Kemudian,ketika ditanya tentang

makna hadis nuzul(tuhan turun ke langit

dunia),ru’yah (orang-orang melihat tuhan di akhirat),dan hadis tentang telpak kaki tuhan,Ibn Hanbal menjawab:

.‫ْف َوَلَ َم ْعنَى‬ َ ‫ن ٴو ِمن بِ َها َون‬ َ ‫صدِق َها َو ََل َكي‬ Artinya:“kita mengimanii dan membenarkannya, tanpa mencari perkelasan cara dan maknanya.” Dari pernyataan diatas, Ibn Hanbal tampaknya bersikap menyerahkan(tafwidh) maknamakna ayat dan hadist mutasyabihat kepada Allah dan Rasul-Nya dari keserupaan dengan makhluk. Ia sama sekali tidak menakwilkan pengertian lahirnya. b. Status Al-Qr’an Salah satu persoalan teologis yang dihadapi Ibn Hanbal Yng kemudian membuatnya dipenjara beberapa kali adalah tentang status Al-Qur’an,apakah diciptakan(makhluk)karena hadis(baru) ataukah tidak diciptakan karena qadim.paham yang diakui oleh pemerintahan resmi pada saat itu,yaitu Dinasti ‘Abbasiah di bawah kepemimpinan Khalifah AlMakmun,Al-Mu’tashim,dan Al-Watsiq adalh paham Mu’tazilah,yaitu Al-Qur’an tidak bersifat qadim,tetapi baru dan diciptakan.sebab,paham adanya qadim di samping tuhan,bagi Mu’tazilah berarti menduakan Tuhan.menduakan Tuhan adalah syirik dan dosa besar yang tidak diampuni Tuhan. Tampaknya,Ibn Hanbal tidak sependapat denagn paham resmi diatas.oleh karena itu,ia kemudian diuji dalam kasus mihnah oleh aparat pemerintah.pandangannya tentang status AlQur’an dapat dilihat dari dialognya dengan Ishaq bin Ibrahim,Gubernur Irak: Ishaq Ibn Hanbal Ishaq Ibn Hanbal Ishaq Ibn Hanba Ishaq Ibn Hanbal

: Apa pendapatmu tentang Al-Qur’an? : Sabda Tuhan : Apakah ia diciptakan? : Sabda Tuhan.saya tidak mengatakan lebih dari itu : Apa dari ayat:Maha Mendengar (sami’) dan Maha Melihat (basir)?(ishaq Ingin menguji Ibn Hanbal tentang paham antropomorpisme). : Tuhan menyipatkan diri-Nya (dengan kata-kata itu). : Apa artinya? : Tidak tahu.Tuhan adalah sebagaimana ia sifatkan pada diri-Nya.

Berdasarkan dialog diatas, Ibn Hanbal tidak ingin membahas lebih lanjut tentang status Al-Qur’ann.ia hanya mengatakan bahwa Al-qur’an. Ia hanya mengatakan bahwa Al59

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Qur’an tidak diciptakan,ini sejalan dengan pola pikirnya yang menyerahkan ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat Allah kepada Allah danRasul-Nya. C. Ibn Taimiah (661-729 H) 1. Riwayat Hidup Singkat Ibn Taimiah Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Taqiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiah. Dilahhirkan di Harran pada hari Senin tanggal 10 Rabiul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam Senin tanggal 20 Dzulqaidah tahun 729 H. Kewafatannya telah menggetarkan seluruh penduduk Damaskus,Syam,dan Mesir,serta kaum muslim pada umumnya.Ayahnya bernama Syihabuddin Abu Ahmad Abdul Halim bin Abdissalam Ibn Abdillah bin Taimiah, seorang syekh, khatib, dan hakim di kotanya. Dikatakan oleh Ibrahim Madzkur bahwa Ibn Tamiah merupakan seorang tokoh salaf ekstrem kareana kurang memberikan ruang gerak pada akal.ia murid mutaqqi,wara,dan zuhud.ia seorang panglima dan penentang bangsa Tartas yang berani denganmengangkat senjata.ia dikenal sebagai seorang muhaddits,mufasir,faqih,teolog,bahkan banyak mengetahui tentang filsafat.ia telah mengkritik Khalifah Umar dan Ali binAbi Thalib.ia juga menyerang Al-Ghazali dan ibn Arabi.kritikannya ditujukkan kepada kelompokn-kelompok agama sehingga mebangkitkan kemarahan pada ulama pada zamannya.berulang Ibn Taimiah hanya karena bersengketa dengan para ulama pada zamannya.i Ibn Taimiah terkenal dengan kecerdesannya sehingga pada usia 17 tahun telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan pandangan mengenai masalah hukum secara resmi.para ulama lawan Ibn Taimiah yang sangat risau oleh serangan serangannya,serta iri hati pada kedudukannyadi istana Gubernur Damaskus,telah menjadikan pemikiranpemikiran Ibn Taimiah sebagai landasan untuk menyerangnya.dikatakan oleh lawan lawannya bahwa pemikiran Ibn Taimiah sebagai klenik,antropomorfisme,sehingga pada awal 1306 Ibn Taimiah dipanggil ke Kairo.sesuai keputusaan pengadilan kilat,akhirnya di penjarakan.i Harus dimaklumi bahwa masa hidup Ibn Taimiah bersamaan dengan kondisi dunia islam yang sedang mengalami disentegrasi,dislokasi sosial,dan dekandasi moral dan ahklak.kejadianya terjadi setelah lima tahun Baghdad dihancurkan pasukan Mongol,Hulagu Khan.oleh karena itu, sangat pantas apabila Ibn Taimiah dalam upayanya mempersatukan umat islam banyak tantangan,bahkan harus wafat di dalam penjara.

60

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

2. Pemikiran Teologi Ibn Taimiah Pikiran-pikiran Ibn Taimiah,seperti dikatakan Ibrahim Madzkur adalah sebagai berikut: a. Berpegang teguh pada nash (teks Al-Qur’an dan Al-Hadis). b. Tidak memberikan ruang gerak yang bebas pada akal. c. Berpendapat bahwa Al-Qur’an mengandung semua ilmu agama. d. Di dalam Islam yang diteladani hanya tiga generasi (sahabat, tabiin,dan tabi tabiin) e. Allah memiliki sifat yang tidak bertentangan dengan tauhid dan tetap mentanzihkanNya. f. Ibn Taimiah mengkritik Imam Hanbali dengan mengatakan bahwa apabila kalamullah qadim, kalamnya pasti qadim pula. Ibn Taimiah adalah seorang tektualis. Oleh karena itu, pandangannya dianggap oleh ulama mazhab Hanbali, Al-Khatib Ibn Al-Jauzi sebagai pandangan tajsim (antropomorfisme) Allah, yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya,oleh karena itu,Al-Jauzi berpendapat bahwa pengakuan Ibn Taimiah sebagai salaf perlu ditinjau lagi. Berikut pandangan-pandangan Ibn Taimah tentang sifat-sifat Allah.i a) Percaya sepenuh hati terhadap sifat-sifat Allah yang ia sendiri atau Rasul-Nya menyipati.sifat-sifat yang dimaksud adalah: 1) Sifat salbiah,yaitu qidam,baqa’,mukhalafatu lil hawaditsi,qiyamuhu bi nafsihi,dan wahdaniyyah; 2) Sifat ma’ani,yaitu qudrah,iradah,sama’,bashar,hayat,ilmu,dan kalam; 3) Sifat khabariah (sifat-sifat yang diterangkan Al-Qur’an dan Hadis meskipun akal bertanya-tanya tentang maknanya),seperti keterangan yang menyatakan bahwa Allah di langit;Allah diatas ‘arasyi;Allah turun ke langit dunia;Allah dilihat oleh orang beriman di surga kelak,wajah,tangan.dan mata Alllah 4) Sifat dhafiah,meng-idhafat-kan atau menyadarkan nama-nama Allah pada alam makhluk,seperti rabb al-‘alamin,khaliq al-kaun, dan falik al-hubb wa an-nawa b) Percaya

sepenuhnya

sebutkan,seperti

terhadap

nama-nama-Nya,yang

Allah

atau

Rasul-Nya

al-awwal,al-akhir,azh-zhahir,al-bathin,al-‘alim,al-qadir,al-hayy,al-

qayyum,al sami’ dan al- bashir.

c) Menerima sepenuhnya sifat-sifat dan nama-nam Allah dengan: 1) Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafaz(min ghair tahrif); 2) Tidak menghilangkan pengertian lafaz(min ghir ta’thil); 3) Tidak mengingkarinya(min ghair ilhad); 61

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

4) Tidak menggambarkan bentuk Tuhan,baik dalam pikiran,hati maupun dengan indra (min ghair takyif at-takyif); 5) Tidak menyerupakan (apalagi menyamakan) sifat-sifat-Nya dengan sifat-sifat makhluk-Nya (min ghair tamsir rabb al-‘alamin). Hal ini disebabkan bahwa tiada sesuatupun yang dapat menyamai-Nya, bahkan yang menyerupai-Nya pun tidak ada Berdasarkan alasan-alasan diata, Ibn-Taimiah tidak mennyetujui setiap penafsiran ayatayat mutasyabihat. menurutnya, ayat-ayat atau hadis-hadis yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak men-tajsim-kan, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk, dan tidak bertanya-tanya tentang itu. Ibn Taimiah mengakui tiga hal dalam masalah keterpaksaan dan ikhtiar manusia, yaitu Allah pencipta segala sesuatu; hamba pelaku perbuatan sebenarnya dan mempunyai kemauan serta kehendak secara sempurna, sehingga manusia bertanggung jawab terhadap perbuatannya;Allah meridhoi perbuatan baik dan tidak meridhoi perbuatan yang buruk. Dikatakan oleh Watt bahwa pemikiran Ibn Taimiah mencapai klimaksnya

dalam

sosiologi politik yang mempunyai dasar teologi.masalah pokoknya terletak pada upayanya membedakan manusia dengan tuhannya yang mutlak.oleh karena itu,,masalah tuhan tidak dapat diperoleh dengan metode rasional,baik dengan metode filsafat maupun teologi.demikian juga,keingina manusia untuk menyatu dengan tuhan sebagai suatu yang mustahi.oleh karena itu,Ibn Taimiah sangat tidak suka pada aliran filsafat yang mengatakan Al-Qur’an berisi dalil khitabi dan iqna’i (penenangan dan pemuas hati);Aliran Mu’tazilah yang selalu mendahulukan dalil rasional daripada dalil Al-Qur’an,sehingga banyak menggunakan takwil;ulama yang memercayai dalil Al-Qur’an,tetapi hanya dijadikan sebagai pangkal penyelidikan akal,meskipun untuk memperkuat isi Al-Qur’an dan Al-Maturidi;mereka yang memercayai dalil-dalil Al-Qur’an,tetapi menggunakan pula dalil-dalil akal disamping AlQur’an (seperti Al-Asy’ari)i

62

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

BAB VIII KHALAF: AHLUSUNNAH (AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)

63

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

A. Latar Belakang Khalaf: Ahlusunnah Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad keIII H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan yang dimiliki salaf. Karakteristik yang paling menonjol dari khalaf adalah penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.i Adapun ungkapan Ahlusunnah (sering disebut dengan Sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu umum dan khusus. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah – sebagaimana juga Asy’ariah – masuk dalam barisan Sunni. Adapun Sunni dalam pengertian Khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian kedua inilah yang digunakan dalam pembahasan ini. Selanjutnya, termasuk Ahlusunnah banyak digunakan sesudah timbulnya aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah.i Dalam hubungan ini, Harun Nasution –dengan meminjam keterangan. Tasy Kubra Zadahmenjelaskan bahwa aliran Ahlusunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan AlAsy’ari sekitar tahun 300 H. B. AL-Asy’ari (875-935) 1. Riwayat Hidup Singkat Al-Asy’ari Nama lengkap Al—Asy’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin ‘Abdillah bin Musa bin Bilal Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Lahir di bashrah pada tahun 260 H/875 M. setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat disana pada tahun 324 H/935 M. Al-Asy’ari menganut paham Mu’tzilah selama 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jamaah Masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan menunjukan keburukan’keburukannya. Menurut Ibn ‘Asakir, yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan AlAsy’ari bermimpi betemu dengan Rasulullah SAW. Sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadan. Dalam tiga kali mimpinya, Rasulullah SAW. Memperingatkannya agar segera meninggalkan paham Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah diriwiyatkan dari beliau.

2. Doktrin-Doktrin Teologi Al-Asy’ari Formulasi pemikiran Al-Asy’Ari, secara essensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi dan mu’tazilah pada sisi lain. Dari segi 64

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

etosnya, pergerakan tersebut memiliki semangat artodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakkan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilh, sebuah reaksi yang tidak bisa 100% menghindarinya.i Corak pemikiran yang sintetsis ini, menurut Watt dipengaruhi teologi Kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab) (w.854 m). Pemikiran-pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah sebagai berikut:

a. Tuhan dan sifat-sifat-Nya Perbedaan pendapat dikalangan mutakilimin mengenai sifat-sifat Allah tidak dapat dihindarkan meskipun merka setuju bahwa mengesakanAllah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan yang ekstrem. Pada suatu pihak, ia berhadapan dengan kelompok sifatiah (pemberi sifat), kelompok mujassimah (antropomorfis), dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah bahwa sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnnya. Pada pihak lain, ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifatsifat Allah tidak lain selain esensi-Nya., dan tangan, kaki, telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah, tetapi haus dijelaskan secara alegoris. Menghadaipi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki, tidak boleh dirtika secara harfih, tetapi secara simbolis (berbeda dengan pendapat kelompok sifatiah). Selanjutnya, Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah unik dan tidak dapt dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi –sejauh menyangkut realitasnnya (haqiqah)- tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya. b. Kebebasan dalam berkehndak (free-will) Manusia

memiliki

kemampuan

untuk

memilih

dan

menentukan

serta

mengaktualisasikan perbuatannya. Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah di antara dua pendapat yang ekstrem, yaitu Jabariah yang fatalistic dan menganut paham pradeterminisme semata-mata, dan Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri. Untuk mengetahui dua pendapat di atas, Al-Asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia). 65

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

c. Akal dan wahyu dan criteria baik dan buruk Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persolan yang memperoleh penjelasan konntradiktif dari akal dan wahyu. Al Asy-ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.

d. Qadimna Al-Qur’an Al-Asy ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam personal qadimnya AlQur’an: Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (Makhluk), dan tidak qadim; serta pandangan mazhab Hanbali dan Zahiriah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Bahkan, Zahiriah berpendapat bahwa semua huruf kata-kata, dan buyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak qadim. Nasution mengatakan bahwa Al-Qur’an bagi Al-Asy’ari tidak diciptakan sebab apabila diciptakan, sesuai dengan ayat ”sesungguhnya firman terhaadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, Jadilah! Maka jadilah sesuatu itu.” (Q.S. An-Nahl 16: 40)

e. Melihat Allah Al-asy’ari tidak sepemdapat dengan kelompok otodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy. Selain itu, Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang meningkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. iAl-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhiran, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptkan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya. f. Keadilan Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam cara pandangan makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan member pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa 66

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Allah tidak memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah Pemilik Mutlak.

g. Kedudukan orang berdosa Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu di antaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab ia tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.

C. Al-Maturidi (w.944 M ) 1. Riwayat Hidup Singkat Al-Maturidi Abu masnsyur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahi secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M. Gurunya dalam bidang fiqh dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Ia hidup pada masa AlMutawakkil yang memerintah tahun 232-274 H/847-861 M. Karier pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqh, sebagai usaha memperkuat pengetahuannya untuk menghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. Pemikiran-pemikirannya sudah banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, di antaranya adalah Kitab Tauhid, Ta’wil Al-Qur’an, Ma’khaz, Asy-Syara’I, Al-Jadl, Ushul fi ushul Ad-Din, Maqalatat fi Al-Ahkam, Radd Awa’il Al-Adillah li Al-Ka’bi, Radd Al-Ushul Al-Khamisah li Abu Muhammad Al-Bahili, Radd Al-Imamah li al-Ba’ad Ar-Rawafidh, dan Kitab Radd ‘ala Al-Qaramithah. Selain itu, ada pula karangan-karangan yang dikatakan dan diduga ditulis oleh Al-Maturidi, yaitu Risalah fi Al-Aqaid dan Syarh Fiqh Al-Akbar.

67

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

2. Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi a. Akal dan wahyu Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama denggan Al-Asy’ari. Akan tetapi, porsi yang diberikan pada akal lebih besar daripada yang diberikan oleh Al-Asy’ari. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung perintah agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan iman terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaan-Nya. Apabila akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, Allah tidak akan memerintahkan manusia untuk melakukannya. Orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarrti meninggalkan kewajiban yang diperintahkan ayat-ayat tersebut. Menurut Al-Maturidi, akal tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya, kecuali dengan bimbingan dari wahyu. Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkitan dengan akal pada tiga macam, yaitu: 1) Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu; 2) Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu; 3) Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburuksn sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu. Mengetahu kebaikan atau keburukan sesuatu dengan akal, Al-Maturidi sependapat dengan Mu’Tazilah. Perbedaannya, Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk didasarkan pada pengetahuan akal. Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu. Dalam persoalan ini, Al-Maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari. Menurut Al-Asy’ari, baik atau buruk tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu itu dipandang baik atau buruk karena perintah syara’ dan dipandang buruk karena larangan syara’. Jadi, yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini, ternyata Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan AlAsy’ari.

68

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

b. Perbuatan Manusia Menurut Al-Maturidi, perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dappat dilaksanakan. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dengan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya (kasb) dalam diri manusia dan manusia bebas menggunakannya. Daya-daya tersebut diciptakan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian, karena daya diciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya sehingga daya itu daya manusia.iBerbeda dengan Al-Maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya tersebut adalah daya Tuhan karena ia memandang perbuatan manuisa adalah perbuatan Tuhan. Berbeda pula dengan Mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum perbuatan itu sendiri. Dalam hal pemakain daya, Al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adnya masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan), kebebasab manusia dalam melakukan baik atau buruk tetap dalam kehendak Tuhan. Tetapi memilih yang diridai-Nya atau yang tidak diridai-Nya. Manuisa berbuat baik atas kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak ada kerelaan-Nya. Dengan demikian, manusia dalam paham Al-Maturidi tidak sebebas manusia dalam pahara Mu’tazilah. c. Kekuasaan dan Kehendak mutlak Tuhan Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau buruk adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi, pernyataan ini menurut AlMaturidi bukan berate Tuhan berkehendak dan berbuat dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya, karena qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut),tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya. d. Sifat Tuhan Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, ia berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti sama’bashar, dan sebagainya. Walaupun 69

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

begitu, pengertian Al-Maturidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. AlAsy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat. Menurut Al-Maturidi, sifat tidak dikatakan sebagai esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan Tuhan itu mulazamah (ad bersama, baca inherent) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ‘ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawa pada pengertian antropomorfisme karena sifat tidak berwujud yang terdiri dari dzat, sehingga berbilang sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang qadim(taaddud al-qudama).i Tampaknya, paham Al-Maturidi tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati paham Mu’tazilah. Perbedan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. e. Tuhan Melihat Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Tentang melihat Tuhan ini dibeeritakan oleh Al-Qur’an, diantara lain firman Allah dalam surat AlQiyamah ayat 22 dan 23. Al-Maturidi lebih lanjut mengatakan bajwa Tuhan kelak di akhirat dapat ditangkap dengan penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud, walaupun ia immaterial. Melihat Tuhan kelak di akhirat tidak meperkenalkan bentuknya (bila kaifa) karena keadaan diakhirat tidak sama dengan keadaan di dunia. f. Kalam Tuhan Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu(hadis). Al-Qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu (hadis). Kalam nafsi dan manusia tidak dapat mendengar atau membacanya, kecuali dengan perantara.i Menurut Al-Maturidi, Mu’tazilah memandang Al-Quran sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata, sedangkan Al-Asy’ari memandang nya dari segi makna abstrak. Berdasarkan setiap pandangan tersebut, kalam Allah menurut Mu’tazilah bukan sifat-Nya dan bukan pula lain dari dzat-Nya. Al-Qur’an sebagai sabda Tuhan bukan sifat, melainkan perbuatan yang diciptakan Tuhan dan tidak bersifat kekal. Pendapat Mu’tazilah ini diterima Al-Maturidi, tetapi AlMaturidi lebih suka menggunakan istilah hadis sebagai ganti Makhluk untuk sebutan Al-Quran. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga ada kesamaan dengan pendapat 70

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Al-Maturidi karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna abstrak, tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan itu sifat kekal Tuhan. g. Perbuatan Manusia Menurut Al-Maturidi tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semua adalah dalam kehendak Tuhan. Kehendak Tuhan tidak ada yang memaksa atau membatasinya, kecuali ada hikmah dan keadiln yang ditentukan oleh kehendak-Nya. Oleh karena itu, Tuhan idak wajib bagi-Nya berbuat ash-ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia). Setiap perbuatan Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajibankewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak terlepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendakinya. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain. (1) Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi Tuhan kemerdekaan dalam kemampuan dan perbuatannya. (2) Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya. h. Pengutusan Rasul Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui hal baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibebankan kepada manusia. Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajibankewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul adalah hal niscaya yang berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul, berarti manusia membebankan akalnya pada sesuatu yang berada diluar kemampuannya. Pandangan Al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah Kewajiban Tuhan, agar manuisa dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya dengan ajaran para Rasul. i. Pelaku dosa besar Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa tidak kafir dan tidak kekal didalama neraka, walaupun ia meninggal sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Berbuat dosa besar selain syirik tidak akan kekal di dalam neraka. Oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidak menjadikan seseorang kafir atau murtad. Menurut Al-Maturidi, 71

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esesnsi iman, kecuali menambah atau mengurangi pada sifatnya.

72

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

BAB IX PERBANDINGAN ANTARA ALIRAN TENTANG PELAKU DOSA BESAR

73

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

A. Perbandingan Antara Aliran Tentang Pelaku Dosa Besar 1.Menurut khawarij tentang pelaku dosa besar Ciri yang menonjol dari aliran khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Kaun khawarij umunya terdiri dari orang-orang arab badawi. sebagai orang badawi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan. Ajaran-ajaran islam sebagai terdapat dalam alquran dan hadits, mereka artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Kaum khawarij memasuki persoalan kufr: siapakah yang kafir dan keluar dari islam.dan siapakah yang disebut mukmin dan dengan demikian tidak keluar dari, tetapi tetap dalam, islam. Pendapat tentang siapa yang sebenarnya masih Islam dan siapa yang telah keluar dari islam dan menjadi kafir serta soal-soal yang bersangkut-paut dengan hal ini tidak selamanya sama, sehingga timbullah berbagai golongan dalam kalangan khawarij.

a).Al-muhakkimah Golongan ini adalah golongan asli pengikut-pengikut asli yang memisahkan diri dan yang menganggap bahwa semua orang yang menyetujui arbitrase bersalah dan menjadi kafir. Orang yang melakukan hal yang keji seperti membunuh, memperkosa dsb, menurut faham mereka orang yang melakukan itu dianggap keluar dari Islam dan menjadi kafir.

b).Al-azaqirah Subsekte tentang pelaku dosa golonagan ini menggunakan istilah yang lebih mengerikan dari pada kafir yaitu polytheist atau musyrik. Dan di dalam Islam syirik atau polytheist merupakan dosa yang terbesar, lebih dari-kufr.

c).Al-Najdat Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar menjadi kafir dan kekal di dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sefaham dengan golongannya. Adapun pengikutnya, jika mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan siksaan di neraka, tetapi pada akhirnya akan masuk surga juga. Dosa kecil baginya akan menjadi dosa besar, kalau dikerjakan terus-menerus dan yang mengerjakannya sendiri menjadi musyrik.

d).Al-Sufriah Subsekte Al-Sufriah membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu dosa yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tidak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan shalat dan puasa. Orang yang berbuat dosa kategori pertama 74

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

tidak dipandang kafir, sedangkan orang yang melaksanakan dosa kategori kedua dipandang kafir.

e).Al-Ibadah Golongan ini merupakan golongan yang paling moderat dari seluruh golongan Khawarij. Menurut mereka orang islam yang tidak sefaham dengan mereka bukanlah mukmin dan bukanlah musyrik, tetai kafir. Sedangkan orang islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid, yang meng-Esa-kan Tuhan, tetapi bukian mukmin dan kalaupun kafir hanya merupakan kafir al-ni mah dan bukan kafir al-millah, yaitu kafir agama. Dengan kata lain, mengerjakan dosa besar tidak membuat orang ke luar dari Islam. 2. Menurut Murji’ah tentang pelaku dosa besar Pandangan aliran murji’ah tentang status pelaku dosa besar dapat ditelusuri dari defimisi iman yang dirumuskan oleh mereka. Tiap-tiap sekte murji’ah berbeda pendapat dalam merumuskan definisi iman itu sehingga pandangan tiap-tiap subsekte tentang status pelaku dosa besar pun berbeda-beda-pula.

Persoalan dosa besar yang ditimbulkan kaum khawarij, mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan pembahasan pula bagi mereka. Kalau kaum khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang berbuat dosa besar, kaum murji’ah menjatuhkan hukum mukmin bagi orang yang serupa itu. Adapun soal dosa besar yang mereka buat, itu ditunda (arja’a) penyelesaiannya kehari perhitungan kelak. Argumentasi yang mereka majukan dalam hal ini ialah bahwa orang Islam yang berdosa besar itu tetap mengucapkan kedua syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang berdosa besar menurut pendapat golongan ini, tetapmukmin,dan-bukan-kafir. Arja’a selanjutnya, juga mengandung arti memberi pengharapan. Orang yang berpendapat bahwa orang islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi tetap mukmin dan tidak akan kekal dalam neraka, memang memberi pengharapan bagi yang berbuat dosa besar untuk mendapat rahmat Allah. Pada umumnya kaum murji’ah dapat dibagi dalam dua golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim Golongan moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya dan oleh karena itu tidak akan masuk neraka sama sekali. 75

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Dalam golongan Murji’ah moderat ini termasuk al-Hasan Ibn ’Ali Ibn Abi Talib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli HadisDi antara golongan ekstrim yang dimaksud ialah al-Jahmiah, pengikut-pengikut Jahm Ibn Safwan. Menurut golongan ini orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir , karena iman dan kufr tempatnya hanyalah dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia. Bahkan orang demikian juga tidak menjadi kafir, sungguhpun ia menyembah berhala, menjalankan ajaran–ajaran agama Yahudi atau agama Kristen dengan menyembah salib, menyatakan percaya kepada trinity, dan kemudian mati. Orang yang demikian bagi Allah tetap merupakan seorang mukmin yang sempurna imannya. Golongan ini berpendapat bahwa, jika seseorang mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan bagi yang bersangkutan. Karena itu perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusakkan iman seseorang, dan sebaliknya pula perbuatan baik tidak akan merubah kedudukan seseorang musyrik atau politheist. 3. Menurut Mu’tazilah Tentang Pelaku Dosa Besar Kemunculan aliran Mu’tazilah dalam pemikiran teologi Islam diawali oleh masalah yang hampir sama dengan Khawarij dan Murji’ah, yaitu mengenai status dosa besar; apakah masih beriman atau telah menjadi kafir. Perbedaanya, bila Khawarij mengafirkan pelaku dosa besar dan Murji’ah memelihara keimanan pelaku dosa besar, Mu’tazilah tidak menentukan status dan predikat yang pasti bagi pelaku dosa besar, apakah ia tetap mukmin atau kafir, kecuali dengan sebutan yang sangat terkenal, yaitu al-manzilah bain almanzilataini. Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada di posisi tengah di antara posisi mukmin dan kafir. Posisi menengah bagi berbuat dosa besar, juga erat hubungannya dengan keadilan tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad; tetapi bukanlah mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, ia tidak dapat masuk surga, dan karena bukan kafir pula, ia sebenarnya tidak mesti masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan di luar surga dan di luar neraka. Tetapi karena di akhirat tidak ada tempat selain dari surga dan neraka, maka pembuat dosa harus dimasukan ke dalam salah satu tempat ini. Penentuan tempat itu banyak hubungannya dengan faham Mu’tazilah tentang iman. Iman bagi mereka, digambarkan, bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman dan oleh karena itu tidak dapat masuk surga. 76

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Tempat satu-satunya ialah neraka. Dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yng ancamannya disebutkan secara tegas dalam nas, sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya, yaitu segala ketidakpatuhan yang ancamannya tidak tegas dalam nas. Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kreteria dasar bagi dosa besar maupun kecil.

4.Menurut Asyariyah Tentang Pelaku Dosa Besar Terhadap pelaku dosa besar, agaknya Al-Asy’ari, sebagai wakil Ahl As-Sunnah, tidak mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (ahl-Qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar.

Adapun

balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut Al-Asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapaat syafaat Nabi SAW. Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau kebalikannya, yaitu tuhan memberikan siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir. 5.Menurut Maturidiyah Tentang Pelaku Dosa Besar Mengenai soal dosa besar al-Maturidi sefaham dengan al-Asy’ari yaitu: bahwa orang yang berdosa besar masih tetap mukmin, dan soal dosa besarnya akan ditentukan Tuhan kelak di

akhirat.

Ia

pun

menolak

faham

posisi

menengah

kaum

Mu’tazilah.

Al-Maturidi berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelim bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balsan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad. Aliran Maturidyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand dan golongan Bukhara. Aliran maturidyah adalah teologi yang banyak dianut oleh umat Islam yang memakai mazhab Hanafi.

6.Menurut Syiah Zaidiyah Tentang Pelaku Dosa Besar Penganut Syi’ah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka, jika dia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah Zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan aneh mengingat Wasil bin Atha, salah seorang pemimpin Mu’tazilah, mempunyai hubungan dekat dengan Zaid. Moojan Momen 77

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

bahkan mengatakan bahwa Zaid pernah belajar kepada Wasil bin Atha. Selain itu, secara etis mereka boleh dikatakan anti-Murjiah.

B. Perbandingan Antar Aliran Tentang Iman Dan Kufur 1. Khawarij Iman dalam pandangan khawarij, tidak semata-mata percaya kepada allah. Mengerjakan segala kewajiban perintah agama juga merupakan bagian dari keimanan. Semua perbuatan yang berbau religious, termasuk didalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan. Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya iman kepada allah dan bahwa Muhammad adalah rasulnya, tetapi tidak melaksanakan kewaiban agama dan malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir 2. Murji’ah Untuk murji’ah yang ekstrim, mereka berpandangan bahwa keimanan terletak didalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya menggambarkan apa yang ada didalam kalbu. Untuk murji’ah moderat, mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidakalah menjadi kafir. Meskipun disiksa dineraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada dosa yang dilakukannya. 3. Mu’tazilah Seluruh pemikir mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsure terpenting dalam konsep iman. Bahkan hamper mengidentikkannya dengan iman. Ini mudah dimengerti karena konsep mereka tentan amal-sebagai bagian penting keimanan-memiliki keterkaitan langsung dengan masalah janji dan ancaman yang merupakan salah satu dari “pancasila” mu’tazilah. 4. Asy’ariyah Al-asy’ari berkata, iman adalah membenarkan dalam kalbu. Sedangkan mengatakan dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama hanyalah merupakan cabang-cabang iman. Oleh sebab itu, siapapun yang memberikan keesaan tuhan dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusannya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman yang semacam itu merupakan iman yang sahih dan keimanan seorang tidak akan hilang kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.i 5. Maturidiyah Maturidiyah samarkad berpendapat bahwa iman adalah tasdiq bi al-qalb, bukan sematamat iqrar bi al-lisan. Sedangkan maturidiyan bukhar berpendapat bahwa iman tidak dapar berkurang, tetapi bias bertambah dengan adanya ibadah-ibadah yang dilakukan. 78

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

C. Perbandingan Antar Aliran Tentang Perbuatan Tuhan Dan Perbuatan Manusia Kewajiban-kewajiban tuhan terhadap manusia: Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajibah-kewajiban terhadap manusia. Bagi kaum asy’ariyah paham tuhan mempunyai kewajiban tidak dapat diterima, karena hal itu bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan yang mereka anut. Kaum maturidiyan golongan bukhara sepaham dengan kaum asy’ariyah. Sedangkan maturidiyan bukhara dapat menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi tuhan. Mu’tazilah berpendapat kewajibah tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Kaum maturidiyan dengan keduan golongannya, juga tidak sepaham dengan kaum mu’tazilah dalah hal ini.Mu’tazilah tak dapat menerima paham bahwa tuhan dapat memberikan kepada manusia beban yang tak dapat dipikul.Asy’ariyah dapat menerima paham pemberian beban yang diluar kemampuan manusia ini.Maturidiyah golongan bukhara sependapat dengan kaum asy’ariyah, sedangkan golongan samarkand sependapat dengan mu’tazilah.Bagi kaum mu’tazilah dengan kepercayaan mereka bahwa akal dapat mengetahui hal-hal terntang alam ghaib, pengiriman rasul-rasul sebebarnya tidak begitu penting.Kaum asy’ariyah, sungguhpun pengiriman rasul-rasul dalam teologi mereka mempunyai arti penting menolak sifat wajibnya pengiriman demikian, karena hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia.Maturidiyah samarkand sepaham dengan kaum mu’tazilah, sedangkan golongan bukhara yang berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia. Mu’tazilah berpendapat bahwa janji dan ancaman merupakan salah satu dari salah satu lima dasar kepercayannya.Asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman.maturidiyah golongan bukhara berpendapat tidak mungkin tuhan melanggar janjinya untuk memberi upah kepada orang yag berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak mungkin tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman terhadap orang yang jahat.Golongan samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang sama dengan mu’tazilah.Dalam persoalan tersebut memahami bahwa manusia tidak berkuasa atas perbuatannya. Hanya allah sajalah yang memutuskan segala amal perbuatan manusia. Aliran qadariyah memahami bahwa manusia itu bebas memilih atas perbuatannya.Dalam persoalan ini aliran mu’tazilah sependapat dengan aliran qadariyah.

79

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Aliran asy’ariyah dalam persoalan ini dengan dengan paham jabariyah daripada paham mu’tzilah. Untuk menggambarkan pahamnnya, mengenai perbuatan manusia asy’ari menggunakan teori al-kasb. Ada perbedaan antar maturidiyah samarkand dan maturidiyah bukhara mengenai perbuatan manusia. Kelompok pertama lebih dekan dengan mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan fahan asy’ariyah.

D. Perbandingan Antar Aliran Tentang Sifat-Sifat Tuhan Mu’tazilah berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai sifat. Jika tuhan mempunyai sifat, sifat itu mestilah kekal seperti halnya dzat tuhan. Jika sifat-sifat itu kekal, yang bersifat kekal bukan hanya satu sifat, tetapi banyak. 1. Asy’ariyah Kaum asy’ariyah berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat. Menurut al-asy’ari tidak dapat diingkari bahwa tuhan mempunyai sifat karma perbuatan-perbuatannya. 2. Maturidiyah Maturidiyah bukhara berpendapat bahwa tuhan mempunyai sifat-sifat. Sedangkan golongan samarkand dalam hal ini tidak sepaham dengan mu’tazilah karena al-maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah tuhan, tetapi tidak lain dari tuhan. 3. Syi’ah Rafidhah Sebagian besar syi’ah rafidhah menolak bahwa allah senantiasa bersifat tahu. Mereka menilai bahwa pengetahuan itu bersifat baru, tidak qadim. Mereka berpendapat bahwa allah tidak tahu terhadap sesuatu sebelum kemunculannya.

E. Perbandingan Antar Aliran Tentang Kehendak Mutlak Dan Keadilan Tuhan Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan tuhan sebenarnya tidak bersifat mutlak lagi. Seperti terkandung dalam uraian nadzir, kekuasaan mutlak tuhan telah dibatasi oleh kebebasan yang menurut paham mu’tazilah yang telah diberikan kepada manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Bagi kaum asy’ariyah tuhan berkuasa dan berkehendak mutlak. Tuhan tidak tunduk kepada siapapun diatas tuhan tidak ada suatu dzat lain yang dapat membuat hokum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat tuhan. Maturidiyah golongan bukhara menganut pendapat bahwa tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Sedangkan golongan samarkand tidaklah sekeras golongan bukhara dalam mempertahankan kemutlakan kekuasaan tuhan.

80

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

1. Aliran Mu’tazilah Kaum mu’tazilah karena percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia, mempunyai tendensi untuk meninjau wujud ini dari rasio dan kepentingan menusia. Memang dalam paham mu’tazilah semua makhluk lainnya diciptakan tuhan untuk kepentingan manusia. 2. Aliran sy’ariyah Kaum asy’ariyah menolak paham mu’tazilah bahwa tuhan mempunyai tujuan-tujuan dalam perbuatannya. Bagi mereka perbuatan tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong tuhan untuk berbuat sesuatu. 3. Aliran Maturidiyan Dalam hal ini kaum maturidiyah golongan bukhara mempunyai sikap yang sama dengan kaum asy’ariyah. Menurut al-badzdawi, tidak ada tujuan yang mendorong tuhan untuk menciptakan kosmos ini. Tuhan berbuat sekehendak hatinya. Kaum matuaridiyah golongan samarkand dalam hal ini lebih dekat dengan kaum mu’tazilah daripada kaum mu’tazilah daripada kaum asy’ariyah. 1. Menurut aliran Khowarij Semua pelaku dosa besar murtabb al- kabiroh , menurut semua sub sekte dari golongan khowarij, kecuali subsekte najah, adalah kafir dan akan disiksa didalam neraka untuk selamanya, bahkan sub sekte yang dikenal ekstrim, yaitu sub sekte azzariqoh’ menggunakan istilah yang lebih mengrikan dari kata kafir, kelompok tersebut menggunakan istilah musyrik. Tuduhan mengkafirkan saudara muslim itu pun sangat biasa dikalangan khowarij bahkan Nafii Bin Azraq, yang digelari Amirul Mu’minin oleh kaum Khawarij menfatwakan bahwa sekalian orang yang membantahnya adalah kafir dan halal darahnya, hartanya, dan anak isterinya. Dalam hal ini mereka menggunakan dalil dalam Al-Quran surat Nuh 26-27). “Nuh berdoa: wahai Tuhanku janganlah engkau biarkan orang-orang kafir itu bertempat dimuka bumi. Sesungguhnya jika engkau biarkan tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba Engkau, dan mereka hanya akan melahirkan anakanak yang jahat dan tidak tahu berterima kasih. Meskipun secara umum subsekte Khawarij berpendapat bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, namun masing-masing sub sekte tersebut masih berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Mereka menggunakan dalil dalam Al-Quran surat Al-Maidah 44: ” Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Alllah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir ( Q.S Al-Maidah 44 ) 81

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Disinilah letak penjelasannya sebagaimana mudahnya golongan Khowarij terpecah belah menjadi subsekte-sub sekte yang banyak, serta dapat pula dimengerti tentang sikap mereka yang terus menerus mengadakan perlawanan terhadap para penguasa pada zamannya.

a. Al-Muhakkimah Golongan ini adalah golongan Khowarij dan terdiri dari para pengikut Ali, menurut golongan ini Ali, Mu’wiyah, dan kedua utusan dari kedua belah pihak yaitu Amr Ibn AlAsh, dan Abu Musa Al Asyari, dan semua yang terlibat dalam arbitrase, dianggap bersalah dan mereka menghukuminya kafir. Menurut golongan ini, hukum kafir diluaskan artinya sehingga pelaku dosa besar pun, seperti berbuat zina, membunuh tanpa adanya alasan yang sah termasuk dalam golongan orang yang berbuat dosa besar dan dihukumi keluar dari islam dan menjadi kafir.

b. Al-Azariqoh Sub-sekte Az-zariqah ini, bersikap lebih radikal lagi dibanding subskte AlMuhakimmah, golongan ini tidak lagi memakai istilah kafir dalm menghukumi pelaku dosa besar, tapi mereka menggunakan term musyrik polytheist, yang mana musyrik merupakan dosa yang paling tinggi tingkatanya. Yang mereka anggap musyrik ialah semua orang isam yang tidak paham dengan mereka, meskipun orang islam yang sepaham dengan golongan ini, tapi tidak mau berhijrah kedalam barisan mereka juga dianggap musyrik dan wajib dibunuh. Karena dalam pandangan golongan ini hanya daerah merekalah yang merupakan negara isam dan yang lain dianggap dar al-kufr. yang mereka anggap harus diperangi. Dan yang mereka anggap musyrik bukan hanya orang dewasa dan anak anakpun ikut mereka anggap musyrik (yang bukan dari golongan mereka).

c. Al-Najdad Najdah Ibn ‘Amr al-Hanafi dari Yamamah adalah pimpinan sub sekte ini. Kelompok ini berlainan pendapat dengan kedua kelompok diatas dalam mensikapi pelaku dosa besar, menurut pendapat subsekte ini pelaku dosa besar yang menjadi kafir dan yang kekal didalam neraka hanyalah orang islam yang tidak sepaham dengan golongan mereka, adapun jika pengikutnya melakukan dosa besar , tetap dimasukkan kedalam neraka dan mendapat siksaan tetapi tidaklah kekal didalamnya dan kemudian akan dimasukkan kedalam surga.Dosa kecil bagi mereka bisa menjadi besar apabila dikerjakan secara berulang-ulang,dan pelakunya akan menjadi musyrik. 82

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Dalam kalangan golangan Khawarij subsekte An-Najdad inilah yang pertama kali memperkenalkan faham taqiah yaitu merahasiakan atau tidak menyatakan keyakinan demi untuk keselamatan seseorang, taqiah menuru mereka bukan hanya dalam bentuk ucapan saja tetapi juga dalam bentuk perbuatan. Jadi seseorang boleh mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan-perbuatan yang mencerminkan bahwa dirinya bukanlah seorang meslim tapi hakikatnya dia adalah seorang yang tetap menganut agam Islam. Tapi dalam hal ini tidak semua dari pengikut An-Najdad yang bisa menyetujui faham tersebut diatas, terutama pada doktrin yang menyatakan bahwa dosa besar tidak menjadikan pengikutnya menjadi kafir dan dosa kecil dapat menjadi besar apabila dilakukan secara berulang-ulang.

d. Al-Ajaridah Subsekte ini adalah pengikut dari Abd Al-Karim Ibn Ajrad, yang menurut alSyahrastani dalamal-Milal adalah salah satu teman dari Atiah Al-Hanafi.Menurut faham golongan Al-jaridah, anak kecil tidak dapat dikatakan berdosa dan musyrik dikarenakan orang tuanya dianggap berdosa dan musyrik.

e. Al-Sufriyah Golongan ini mempunyai pemimpin Zaid Ibn Al-Asfar. Dalam faham mereka lebih cenderung dekat kepada subsekte Al-Azariqah, dan oleh sebab itu mereka dikatakan termasuk golongan yang extrim, tapi dalam beberapa hal mereka agak lunak dalam berpendapat. Dalam sub bahasan berikut penulis akan menyebutkan beberapa pendapat subsekte ini : 1. Orang-orang Sufriyah yang tidak berhijrah tidak dianggap kafir. 2. Mereka tidak berpendapat bahwa anak-anak kaum musyrik boleh dibunuh. 3. Mengenai orang yang melakukan dosa besar, tidak semua dari mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar menjadi musyrik dan dimasukkan kedalam neraka, dalam hal ini ada diantara mereka yang membagi dosa besar dalam dua golongan, yaitu dosa yang ad sangsinya didunia ini, seperti melakukan perkosaan, membunuh tanpa adnya alasan yang dapat mengesahkan. Dan dosa yang tidak mempuanyai efek sangsi didunia ini, seperti meninggalkan shalat, meninggalkan puasa dan lainlain. Menurut pandangan sebagaian golongan ini orang yang melakukan dosa pada kategori dosa yang pertama tidaklah dapat dipandang kafir, dan hanyalah orang yang melakukan dosa pada kategori dosa yang kedua itulah yang dapat dikatakan kafir. 83

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

4. Daerah orang islam yang tidak sepaham dengan mereka bukalah dar harb yaitu daerah yang wajib diperangi tetapi yang wajib diperangi hanyalah camp pemerintah, dan anak-anak dan perempuan tidak boleh dijadikan tawanan. 5. Kafir bagi mereka ada dua macam, yaitu kufur ni’mat kurf bi inkar alnim’ah dan kurf bi inkar al-rububiyah atau menginkari Tuhan, dengan demikian mereka beranggapan bahwa istilah kafir tidak selamanya harus dikatakan keluar dari agama Islam. Disamping pendapat-pendapat yang telah penulis paparkan diatas, ada beberapa pendapat yang lebih spesifik sifatnya. 1. Ta qiah, atau merahasiakan keyakinan demi keselamatan seseorang, hanya boleh dilakukan dalam perkataan dan tidak boleh dilakukan dalam bentuk perbuatan. 2. Meskipun demikian, demi keselamatan dirinya seorang muslimah dibolehkan menikah dengan laki-laki kafir.

Al-Ibadiah Diantara beberapa subsekte dari golongan Khawarij, subsekte inilah yang dapat dikatakan yang paling moderat. Paham kemoderatan mereka dapat dilihat dari doktrin ajaran mereka, dibawah ini penulis akan menyebutkan beberapa ajaran-ajaran mereka : 1. Orang yang tidak sama fahamnya dengan mereka tidaklah dikatakan mu’min dan tidak pula dikatakanmusyrik tapi dikatakan kafir. Dengan orang islam yang demikian itu boleh diadakan ikatan perkawinan dan hubungan waris, Syahadad mereka dianggap masih dapat diterima. Dan orang yang seperti ini haram untuk dibunuh. 2. Daerah orang islam yang tidak sefaham dengan mereka, kecuali camp pemerintah adalah dar tawhidatau daerah orang yang meng Esakan Allah, tidak boleh diperangi. Dan yang harus diperangi hanyalah ma’askar pemerintah atau camp pemerintah. 3. Yang boleh dirampas dalam peperangan hanyalah kuda dan senjata, sedangkan emas perak dan harta- harta yang lainnya harus dikembalikan kepada yang mempunyai. 4. Sedangkan dalam persoalan dosa besar, subsekte ini menganggap pelaku dosa besar adalah muwahhid yang meng-Esakan Tuhan, tetapi tidaklah mu’min. Dan juga bukan kafir millah atau kafir agama, dengan demikian subsekte ini berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak berarti keluar dari agama Islam.

84

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Menurut ajaran Murji’ah Persoalan perbedaan faham terhadap pelaku dosa besar yang ditimbulkan oleh golongan Khawarij mau tidak mau menjadi bahan perhatian dan bahan pembahasan bagi para tokohtokoh Murji’ah. Kalau pada umumnya kaum Khawarij mengkafirkan pelaku dosa besar, lain lagi yang diajarkan golongan Murji’ah, golongan ini menghukumi Tetap Mu,min bagi orang islam yang melakukan dosa besar, adapun masalah dosa yang mereka perbuat, itu ditunda penyelasaiannya/pembalasannya pada hari perhitungan kelak.Argumen yang mereka gunakan dalam mensikapi hal tersebut ialah. Bahwa orang yang melakukan dosa besar itu tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa nabi Muhammmad adalah utusan Allah, dengan kata lain mereka masih mengakui bahwa orang muslim yang melakukan dosa besar tetap mu’min karena masih mengucapkan dua kalimat syahadad yang menjadi dasar utama dari iman, oleh karena itu pelaku dosa besar tetap mu’min dan bukan kafir. Oleh karena itu dalam hal tahkim, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa yang bersalah dan yang benar, mereka menunda bagaimana hukum persoalan tersebut arja’a atau diserahkan kepada Allah. Dengan demikian kelompok Murji’ah pada mulanya merupakan golongan yang tidak mau turut campur dalam pertentangan-pertentangan yang terjadi ketika itu, dan mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kafirkah orangorang yang bertentangan tersebut kepada Allah. Arja’a selanjutnya mempunyai arti memberi pengharapan bagi yang telah melakukan perbuatan dosa besar untuk mendapatkan rahmad Allah, dihari perhitungan kelak. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nama murji’ah diberikan kepada golongan ini bukan karena mereka menunda penentuan hukum terhadap orang islam yang berdosa besar kepada Allah dihari perhitungan kelak dan bukan karena memandang perbuatan mengambil tempat kemudian dari pada iman, tetapi karena mereka memberi pengharapan kepada para pelaku dosa besar untuk dapa masuk kesurga. Secara umum pandangan kaum Murji’ah dalam mensikapi pelaku dosa besar adalah menunda atau menanguhkan persoalan dihadapan Allah nanti dihari pembalasan, namun untuk lebih jelasnya golongan ini memberi hukum pada status pelaku dosa besar penulis akan menyebutkan rincian bagaimana golongan ekstrim dan golongan moderat memberi satatus pada pelaku dosa besar.

85

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

a. Golongan Murji’ah ekstrim Golongan murji’ah ekstrim berpandangan bahwa iman adalah didalam kalbu, bukan secara demonstartif, baik dalam ucapan ataupun dalam tindakan perbuatan, oleh karena itu menurut golongan ini kalau seseorang telah beriman dalam hatinya, ia dipandang tetap sebagai seorang mu’min sekalipun menampakkan sikap seperti seorang nasrani atau yahudi. jadi menurut golongan ekstrim, kalau melihat dari konsep iman mereka , perbuatan dosa sekalipun dosa itu adalah dosa besar tidak mempunyai pengaruh hukum pada status pelaku dosa besar. b. Aliran Murji’ah Moderat Golongan Murji’ah moderat berpandangan bahwa pelaku dosa besar tidaklah kafir, dan tidaklah kekal didalam neraka, tetapi akan dihukum didalam neraka hanya sesuai dengan besarnya dosa yang mereka perbuat dan ada kemungkinan Tuhan akan memberi ampunan atas dosa yang mereka perbuat, sehingga mereka bisa tidak dimasukkan kedalam neraka sama sekali dikarenakan kehendak / ampunan Tuhan. c. Aliran Mu’tazilah Perbedaan golongan Mu’tazilah dengan golongan lain yaitu bila golongan Khawarij memberi status kafir kepada pelaku dosa besar, dan jika murji’ah menanguhkan setatus orang yang melakukan dosa besar dihadapan Allah kelak dihari pembalasan. Sedang aliran Mu’tazilah tidak menentukan status atau predikat yang pasti bagi para pelaku dosa besar. Jika kita melihat sedikit sejarah tentang masalah berpisahnya seorang tokoh sentral Mu’tazilah yaitu Washil Bin Atha’ dengan sang guru yaitu Hasan Basri seorang Tabiin dari Basrah yang wafat pada tahun 110 H. Pangkal persoalannya yaitu masalah seorang mu’min yang melakukan dosa besar tapi tidak bertaubat sebelum meninggal. Dalam pendapat Imam Hasan Basri, apabila seorang muslim telah melakukan dosa besar seperti melakukan pembunuhan tanpa adanya alasan yang dibenarkan, atau melakukan perbuatan zina, atau mendurhakai orang tuanya, Dan lain lain, menurutnya seorang itu tidaklah dikatakan kafir tetapi dikatakan sebagai mu’min yang durhaka. Jika dia meninggal dalam keadaan belum bertaubat, ia akan dihukum didalam neraka beberapa waktu, dan kemudian dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan surga setelah selesai menjalani hukuman atas dosanya. Sedangkan Washil Bin Atha’ berpendapat lain tentang hal tersebut, menurut tokoh aliran Mutazilah ini bahwa seorang yang telah melakukan dosa besar dan mati atas dosanya tidaklah mu’min dan tidak pula dikatakan kafir, tapi diantara mu’min dan kafir. Pelaku dosa besar tersebut akan dimasukkan kedalam neraka untuk selama-lamanya, seperti hukuman 86

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

untuk orang kafir, tetapi hukumannya diringankan ” nerakannya tidak sepanas untuk orang kafir ” Jadi aliran Mu’tazilah menetapkan status bagi pelaku dosa besar ialah diantara kafir dan

mu’min

atau

dalam

istilah

merka

yang

terkenal

yaitu manzilah

bain

al

manzilatain, dikarenakan istilah itulah mereka dikatakan aliran Mu’tazilah (menurut salah satu versi), dikarenakan mereka membuat orang yang berdosa besar jauh dari ( tidak masuk ) dalam golongan mu’min ataupun kafir. Mengenai perbuatan apa saja yng di katagorikan sebagai dosa besar, aliran mu’tazilah memaparkan lebih dan merumuskannya dengan lebih konseptual dari pada aliran Khawarij, yang dimaksud dosa besar menurut pandangan aliran ini adalah segala perbuatan yang ancamannya telah ditegaskan dalam nash, sedangkan menurut aliran Mu’tazilah yang di kategorikan dosa kecil adalah dosa atau ketidak patuhan yang ancamannya tidak ditetapkan dalam nash.Tampaknya kaum Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kreteria dasar untuk menentukan dosa besar atau dosa kecil. Masih menurut aliran Mu’tazilah pelaku dosa besar bukanlah kafir seperti yang dihukumkan oleh kelompok Khawarij, dan bukanlah dapat dikatakan tetap mu’min seperti kaum Murji’ah memberikan status untuk pelaku dosa besar. Menurut Mu’tazilah pelaku dosa besar dikategorikan fasik, yaitu posisi yang menduduki antara mu’min dan kafir, kata mu’min menurut Washil Ibn Atha’ merupakan sifat baik dan nama pujian yang tidak dapat diberikan fasik dengan dosa besarnya, tapi predikat kafir tidak dapat pula diberikan kepadanya, karena dibalik dosa besar yang dilakukannya ia masih mengucapkan dua kalimat syahadad dan masih melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. d. Aliran Asy’ariyah Dalam menghukumi pelaku dosa besar, aliran Asy’ariyah tidak mengkafirkan orangorang yang sujud kebaitulloh walupun dia melakukan dosa seperti, membunuh tanpa adanya alasan yang mengesahkan. Menurut aliran ini pelaku dosa besar itu masih tetap sebagai orang yang mu’min dengan keimanan yang mereka miliki, sakalipun dia berbuat dosa besar. Tetapi jika perbuatan dosa itu dilakukan dengan anggapan bahwa perbuatan dosa itu dibolehkan atau dihalalkan maka dan tidak meyakini keharaman perbuatan tersebut maka yang demikian itu dihukumi kafir,Adapun balasan bagi pelaku dosa besar nanti diakherat, apabila dia meninggal dalam keadaan tidak sempat bertaubat, menurut aliran ini tergantung akan kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan dapat mengampuni dosa pelaku dosa besar, dan atau pelaku dosa besar bisa mendapatkan Syafaat Nya Nabi Muhammad, sehingga ia dapat bebas dari siksaan atau sebaliknya Tuhan Menghukumnya dengan memberi siksaan neraka sesuai 87

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

dengan dosa yang telah dilakukannya. Meskipun demikian ia tidak akan kekal didalam neraka seperti orang kafir lainnya, dan setelah selesai disiksa ia akan dimasukkan kedalam syurga. Akan lebih jelasnya penulis akan menyapaikan doktrin-doktrin aliran Asy’ariyah mengenai pelaku dosa besar. Orang mu’min yang mengerjakan dosa besar dan meninggal sebelum taubat, maka orang tersebut masih dianggap mu’min, dalam urusan hak saudara muslim, seperti memandikan, mengkafani, dan mensholatkan jenazah orang mu’min yang melakukan dosa besar tersebut, dan mengkuburkan secara mu’min adalah kewajiban kita. Tapi secara hakikat dia adalah orang mu’min yang durhaka.i Mu’min pelaku dosa besar, diakherat nanti akan mendapat beberapa kemungkinan : 1. Boleh jadi Tuhan mengampuni dosanya dengan sifat pemurahNya Tuhan, karena Tuhan Maha Pemurah, dan ia lansung dimasukkan kedalam surga tanpa hisab. 2. Boleh jadi dia mendapatkan syafaat dari nabi Muhammad. yakni dibantu oleh nabi Muhammad, sehingga dia dibebaskan Tuhan dari segala siksaan,dan lansung dimasukkan kedalam surga. 3. Kalau kemungkinan dua diatas tidak terjadi pada pelaku dosa besar maka dia akan disiksa didalam neraka sesua kadar dosanya, dan kemudian dia akan dibebaskan dari siksaan dan dimasukkan surga dan kekal didalamnya karena saat didalam dunia dia adalah seorang yang beriman. Itulah tiga kemungkinan yang diyakini oleh aliran ini untuk orang mu’min yang berdosa besar dan tidak sempat bertaubat.

Adapun dasar dalil yang digunakan aliran ini adalah dalam Al-Quran surat An-Nisa’ ayat: 48. “Bahwasannya Tuhan tidak mengampuni dosa seseorang kalau Ia dipersekutukan, tapi diampuninya selain dari pada itubagi siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang mempersekutukan Tuhan sesungguhnya dai memperbuat dosa yang sangat besar (AnNisa’ 48) Menurut ayat diatas barang siapa yang melakukan perbuatan dosa besar ataupun kecil, kalau dosa itu tidak mempersekutukan Tuhan, maka dia bisa diampuni dan mereka menggunakan hadist dibawah ini sebagai sandaran dalil atas i’itiqad aliran ini mengenai mu’min yang berdosa besar. “Maka Tuhan berfirman: maka demi kegagahan-Ku, demi kebesaran-Ku, demi Ketinggian-Ku, dan demi keagungan-Ku, aku keluarkan dari neraka sekalian orang yang mengucapkan “Tiada Tuhan Melainkan Allah ” (H.R. Bukhori)

88

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Menurut hadits ini, ada sekumpulan orang yang sudah kena hukuman didalam neraka lantas dikeluarkan lagi dan dimasukkan kedalam surga. Menurut aliran ini, itu adalah mereka orang-orang mu’min yang durhaka, dengan melakukan perbuatan dosa semasa hidupnya. Selain dalil diatas, Nabi Muhammad menerangkan pada suatu hari : “Dari Abu Dzar RA, ia berkata: Berkata Rosullulah SAW: Datang pesuruh Tuhan mengabarkan kepada say, bahwa barang siapa meninggal, sedang ia tidak mensekutukan Tuhan sedikitpun, lalu Abu Dzar berkata: walau dai pernah dan mencuri ? jawab Rosulullah: Ya, wlaupun ia pernah melakukan zina dan mencuri” (HR Bukhori Muslim) Aliran ini mengunakan dalil-dalil diatas untuk menguatkan I’itiqad mereka bahwa mu’min pelaku dosa besar tidaklah berada didalam neraka selamanya. Dan penulis menambah cuplikan dari kitab kifayatul Awam, bahwa penganut aliran ini berkewajiban i’itikad bahwa dosa besar tidak menyebabkan kekafiran. “Dan diantara perkara yang wajib mengi’tiqadkannya adalah bahwa jatuh dalam dosadosa besar tidak mengkafirkan (dalam arti) tidak mewajibkan kekafiran. Dan wajib taubat seketika itu walaupun itu dosa kecil berdasarkan qaul yang mu’tamad padanya ( dosa yang kecil) Dan tidak menjadi batal taubat itu dengan sebab kembalinya kepada dosa melainkan wajib bagi dosa itu melainkan dosa yang baru” Pada intinya terhadap pelaku dosa besar, agaknya al-asy’ari, sebagai wakil ahl-asSunah, tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl-al-qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar, apabila ia meninggal dan tidak sempat bertaubat, maka menurut al-asy’ari, hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Esa yang berkehendak mutlaq. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murji’ah, khususnya dalam pernyataan yang tidak mengkafirkan para pelaku dosa besar.

3. Menurut Aliran Maturidiyah Menurut aliran maturidiyah baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya, Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukan nya di 89

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

dunia.Al-maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak dapat dikatakan kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat . hal itu di karenakan Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatanya. kekal dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik. 4. Menurut Aliran Syi’ah Zaidiyah Penganut Syi’ah zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal di dalam neraka, jika ia belum bertaubat dengan taubat yang sesungguhnya. Dalam hal ini, Syi’ah zaidiyah memang dekat dengan Mu’tazilah. Ini bukan sesuatu yang aneh mengingat washil bin Atha’, mempunyai hubungan dengan zaid bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa zaid pernah belajar kepada washil bin Atha’.

90

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

BAB X PERBANDINGAN ANTARA IMAN DAN KUFUR

91

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Agenda persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islamadalah masalah Iman dan Kufur.Persoalan itu dimunculkan pertama kali oleh kaum khawarij ketika mencap kafir sejumlah tokoh sahabat NabiMuhammad SAW yang dipandang telah berbuat dosa besar, antara lain ‘Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, ‘Amr bin ‘Ash, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Zubair bin ‘Awwam,Dan ‘Aisyah, istri Rasulullah SAW.Masalah ini lalu dikembangkan oleh khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar adalah kafir. Pernyataan teologis Khawarij seperti itu selanjutnya bergulir menjadi bahan perbincangan dalam setiap diskursus aliran-aliran teologi Islam yang tumbuh, termasuk aliran Murji’ah, Mu’tazillah, Assa’riyah, dan Mturidiah mengambilbagian dalam polemik tersebut. Bahkan, di dalam setiapaliran tersebut terdapat nuansa perbedaan pandangan di antara sesama pengikutnya. Perbincangan konsep Iman dan kufur menurut tiap-tiap aliran teologi Islam, seperti yang terlihat dari berbagai literatur ilmu kalam, sering nampak menitik beratkan hanya pada satu aspek dari dua tema, yaitu iman dan kufur. Ini dapat dipahami sebab kesimpulan tentangkonsep kufur. MenurutHasan (I. 1935 M)setidaknya ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para teologi muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu : (1) marifah bi al-aql, mengetahui dengan akal; (2) amal, perbuatan baik atau patuh; (3) iqrar, pengakuan secara lisan ;dan (4) tashdiq, membenarkan dengan hati, termasuk di dalamnya marifah bii al-qalb (mengetahui dengan hati.

Keempat istilah kunci di atas, misalnya terdapat dalam hadis Nabi Muhammad SAW. Yang di riwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri Artinya : “Barang siapa di antara kalian yang melihat (marifah) kemungkaran, maka hendaklah kamu mengambiltindakan secara fisik. Jika engkau tidak kuasa, maka lakukanlah dengan ucapanmu.Jika itu pun engkau tidak mampu melakukannya, maka lakukanlah dengan kalbumu (akan tetapi yang terakhir) ini merupakan iman yang paling lemah.

92

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

A. Aliran Khawarij Sebagai kelompok yang terlahir dari peristiwa politik, pendirian teologis khawarij terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur sebenarnya lebih bertendensi politis daripada ilmiah teoritis. Kebenaranpernyataan ini tidak bisa di sangkal karena seperti yang telah di ungkapkan sejarah bahwa khawarij mula-mula memunculkan persoalan teologis seputar masalah, “apakah ‘Ali dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin? “Apakah muawiyah dan pendukungnya telah kafir atau tetap mukmin?” jawaban atas pertanyaan ini kemudian menjadi pijakan dasar dari teologi mereka. Mereka berpendapat bahwa ‘Alidan Muawiyah telah melakukan tahkim kepada manusia, mereka telah berbuat dosa besar.i Iman dalampandangan khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah. Akan tetapi, melakukan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Oleh karena itu, segala perbuatan yang religius, termasuk didalamnya masalah kekuasaan adalah bagian darikeimanan (al-‘amal juz al-iman). Siapa pun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama, bahkan melakukan perbuatan dosa, oleh khawarij di pandang kafir. Lain halnya dengan subsekta khawarij yang sangat moderet, yaituIbadiyah.Subsekte ini memiliki pandangan bahwa setiap pelaku dosa besar tetapsebagai muwahhid (pandangan mengesan tuhan), tetapi bukan mukmin. Pendeknya, ia tetap disebutkafir, tetapi hanya merupakan kafir nikmat dan bukan kafir billah (agama).Siksaan yang akan mereka terima di akhirat nanti adalah kekal di dalam nerakabersama orang-orang kafir lainnya. B. Aliran Murji’ah Abu Hasan Al-Asy’ari mengklasifikasikan aliran teologi murji’ah berdasarkan pandangannya tentang iman sebanyak 12 subsekte, yaitu Al-Jahmiah, Ash- Shalihah, AlYunusiah, Asy Syimriah, As- Saubaniyah, An-Najariah, Al-Kailaniahbin Syabibdan pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya, At-Tumaniah, Al-Marisiah, dan Al-Karamiah. Sementara itu, Harun Nasution dan Abu Zahrahmembedakan Murji’ah menjadi dua kelompok utama, yaitu Murji’ah moderat (Murji’ah sunnah) dan Murji’ah ekstrem (Murji’ah Bid’ah). Iman menurut Abu Hanifah adalah iqrar dan tashdiq. Ditambahkannya pula bahwa iman bertambah dan tidak berkurang.7Hal ini merupakan sikap umum yang di tunjukkan oleh murji’ah, baik ekstrem maupun moderat, seperti AlJahmiah, Asy Syimriah, dan Al-Ghailaniah.Selanjutnya, Abu Hanifah berpendapat bahwa 93

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

seluruh umat Islam sama dalam tauhid dan keimanan. Meskipun demikian, mereka berbeda dari segi intensitas amal perbuatannya.Satu hal yang patut di catat adalah seluruh subsekte Murji’ah yang di sebut oleh Asy’ari, kecuali As-Saubaniah, At-Tuminiah, dan Al-Karramiah, memasukkan unsur ma’rifah (pengetahuan) dalam konsep iman mereka.Pertanyaannya, apa yang mereka maksudkan dengan ma’rifah? Mereka beranggapan bahwa yang di maksud dengan ma’rifah adalah cinta kepada Tuhan dan tunduk kepada-Nya (al- mahabbah wa alkhudhu’) C. Aliran Mu’tazilah Seluruh pemikir mu’tazilah tampaknya sepakat menyatakan bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep iman, bahkan hampir mengidentikannya. Ini mudah dimengerti karena konsep mereka tentang amal sebagai bagian penting keimanan memilikiketerkaitan langsung dengan masalah al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman) yang merupakan satu dari “pancasila” mu’tazilah.Aspek penting lain dalam mu’tazilah tentang iman adalah yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dengan akal).Ma’rifah menjadi unsur penting dari iman karena pandanganmu’tazilah yang bercorak rasional. Ma’rifah sebagai unsur pokok yang rasional dari iman dalam pandangan mu’tazilah berimplikasi pada sikap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain. (al-iman bi attaqlid).13Disini mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan akalbagi keimanan. Apalagibagi mu’tazilah, seperti dijelaskan Harun Nasution, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, bagi mu’tazilah,iman seorang dikatakan benar apabila berdasarkan akal, bukan taqliq kepada orang lain.i Pandangan mu’tazilah seperti di atas,menurut Thoshihiko Isuzu, pakar teologi Islam asal Jepang, sangat sarat dengan konsekuensi dan implikasi yang cukup fatal.Sebab,hanya para mutakkallim (teologi) yang benar-benar menjadi orang yang beriman. Sama halnya masyarakat awam yang mayoritas umat biasa dengan pemikiran teologis, menurut konsepsi mu’tazilah tersebut tidak dipandang memenuhi sebagai orang yang benar-benar beriman. Masalah fluktuasi iman yang merupakan persoalan teologi yang diwariskan aliran Murji’ahdisinggung pula oleh Mu’tazillah. Mu’tazilah berpendapat bahwa seorang manusia meningkatkan dan melaksanakan amal kebaikannya, imannya semakin bertambah.

94

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Sebaliknya, apabila setiap kali berbuat maksiat, imannya semakin berkurang.15 Kenyataan ini dapat dipahami seperti halnya Khawarij, memasukkan unsur amal sebagai unsur penting dalam iman (al-‘amal juz’min al-iman). D. Aliran Asy’ariah Agak pelik sebenarnya memahamimakna iman yangdi berikan oleh Abu Hasan AlAsy’ari. Sebab, di dalam karya-karyanya, seperti maqalat Al-Ibanah dan Al-Luma’,iman di definisikannya secara berbeda satu sama lain. Dalam maqalat dan Al-Ibanah disebutkan bahwa iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah serta berkurang. Dalam Al-Luma’ iman di artikan sebagai tasdhiq bi Allah. Argumentasinya bahwa kata”mukmin” seperti di jumpai dalam Al-Qur’an surat Yusuf

ayat 17 memiliki hubungan makna dengan kata

shadiqin dalam ayat itu. Dengan demikian, menurut Al-Asy’ari, iman adalah tashdiq bi alqalb (membenarkan dengan hati)Diantara definisi definisi Iman yang sesungguhnya di inginkan Al-Asy’ari dapat diperoleh dari penjelasan yang di kemukakan oleh AsySyahrastani, salah seorang teologi Asy’riah. Asy-Syahrastani menulis : Al-Asy’ari berkata,”...Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-qalb bi a-janan (membenarkan dengn qalbu) sedangkan mengatakan (qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amalbi al-arqan) sekedar dengan melakukan furu’(cabangcabang) iman.Oleh sebab itu,siapapun yang membenarkan keesaanTuhandengan kalbu nya dan membenarkan utusan-utusan-Nya beserta yang mereka bawa darinya, imanorang semacam itu merupakan iman yang shahih...dan seseorang tinggal keimananya, kecuali jika mengingkari salah satu dari hal tersebut,” Keterangan Ast-Syahrastani di atas, di samping mengonvergensikan kedua definisi yang diberikan Al-Asy’ari dalam maqalat, Al-Ibanah dan Al-Luma’ pada satu titik pertemuan, yang menempatkan ketiga unsur iman itu (tashdiq, qawl, dan amal) pada posisinya masing-masing. Jadi, bagi Asy’ari dan Asy’ariah, persyaratan minimal untuk adanya iman hanyalah tashdiq, yang diekspresikan secara verbal akan berbentuk syahadatain.

E. Aliran Maturidiah Dalam masalah iman, aliran maturidiah samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bukan semata-mata ikqrar bi al-lisan. Pengertian semacam ini dikemukakan oleh Almaturidi sebagai bantahan terhadap Al- Karamiah, salah satu subsekte Murji’ah. Ia 95

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

berargumentasi dengan Al-Qur’an surah Al-Hujurat. Menurut Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa iman tidak hanya cukup dengan perkataan, semantara kalbu tidakberiman. Apa yang diucapkan dengan lidah dalambentuk pernyataan iman menjadi bantal apabila hati tidak mengakuiucapan lidah. Meskipun demikian, Al-Maturidi tidak berhenti sampai di sana. Tashdiq seperti yang di pahami di atas adalah yang harus di peroleh dari ma’rifah. Tasdhiq hasil ma’rifah menurut Al-Maturidi adalah yang didapatkan melalui penalaran akal. Bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasaripandangannya dengan dalil naqli surah Al-Baqarah ayat 260. Al-Maturidi menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, tidak berarti Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, yang dimaksud dengan Ibrahim adalah agar iman yang dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, bagi Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab hadirnya iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiah Bukhara, seperti yang di jelaskan oleh AlBazdawi adalah tashdiq bi al-qalb dan tashdiq bi lisan. Lebih lanjut di jelaskannya bahwa yang di maksud demgan tasdhiq bial-qalbadalah meyakini dan membenarkan dalamhati akan keesaan Allah dan Rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang di bawa dari-Nya. Adapun tashdiq bi lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok-pokok ajaran Islam secara verbal. Jadi, iman adalah tashdiq yang berisikan pembenaran denagan kalbu dan pengakuan secara verbal. Pendapat Maturidiah Bukhara tampak nya tidak banyak berbeda dengan Asy’riah yang sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan, meskipun dengan pengungkapan yang berbeda pula. Dari penelaahankarya Al-Maturidi, penulis tidak menemukan pendapatnya berkenaan dengan masalah fluktuasi iman. Meskipun demikian, komentarnya terhadap Al-fiqh Al-Akbar karya Abu Hanifah tentang fluktuasi iman bisa di jadikan referensi sebagai pendapatnya. AlMaturidi tidak mengakui adanya fluktuasi iman. Al-Maturidi berbeda dengan Abu Hanifah dalam hal menerima adanya perbedaan individual dalam iman. Halitu dilakukukan dengan sikap penerimaannya terhadap hadist Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan bahwa skala iman Abu Bakar lebih berat dan lebih besar daripada skalaiman seluruh manusia.

96

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Maturidiah Bukhara mengembangkan pendapat yang berbeda dengan di atas. AlBadzawi menyatakan bahwa iman tidak dapat berkurang, tetapi bisa bertambah dengan ibadah-ibadah yang di lakukan. Al-Badzawi menegaskan hal tersebut dengan membuat analogi bahwa ibadah-ibadah yang dilakukan tidak lebih sebagai bayangan dari iman. Jika bayangan itu hilang, yang di gambarkan oleh bayangan itu tidak akan berkurang esensinya. Sebaliknya, dengan kehadiran bayang-bayang(ibadah), iman menjadi bertambah.

97

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

BAB XI ANTARA PERBUATAN TUHAN DAN PERBUATAN PERBANDINGAN MANUSIA

98

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

A. Perbuatan Tuhan Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa tuhan melakukan perbuatanperbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari Dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. 1. Aliran mu’tazilah Aliran mu’tazilah sebagai aliran kalam yang bercorak rasional, berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Ini bukan berarti bahwa tuhan tidak mampu melakukan perbuatan buruk. Perbuatan buruk tidak dilakukan-Nya karena ia mengetahui keburukan perbuatan buruk itu. Bahkan, didalam al quran dikatakan bahwa tuhan tidak berbuat zalim.i Ayat-ayat al quran yang dijadikan dalil oleh mu’tazilah untuk mendukung pendapat diatas adalah surat al anbiya ayat 23 dan ar-rum ayat 8. Qadi abd al-jabbar, seorang tokoh mu’tazilah, mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa tuhan tidak akan ditanya mengenai perbuatan-Nya, tetapi manusia yang ditanya tentang yang mereka perbuat. Al jabbai menjelaskan bahwa tuhan hanya berbuat baik dan maha suci dari perbuatan buruk dengan demikian, tuhan tidak perlu ditanya. Al jabbai menjelaskan bahwa seseorang yang dikenal baik, apabila secara nyata berbuat baik, sebenarnya tidak perlu ditanya kenapa perbuatan itu dilakukan.iAyat terakhir dikatakan al jabbai mengandung petunjuk bahwa tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatanperbuatn buruk. Apabila tuhan melakukan perbuatan buruk, pernyataan bahwa ia menciptakan langit dan bumi serta segala isinya dengan hak, tentu tidak benar atau merupakan berita bohong. Dasar pemikiran di atas serta konsep tentang keadilan tuhan yang berjalan sejajar dengan paham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak tuhan, mendorong kelompok mu’tazilah untuk berpendapat bahwa tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap manusia kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan dalam satu kewajiban, yaitu kewajiban berbuat baik bagi manusia. Paham kewajiban tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran mu’tazilah memunculkan paham kewajiban-kewajiban allah.

a). Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia Memberi beban Di luar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan paham berbuat baik dan terbaik. Oleh karena itu, aliran mu’tazilah tidak dapat 99

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

memberikan kepada manusia beban yang tidak dapat dipikul. Hal ini juga bertentangan dengan paham mereka tentang keadilan tuhan. Tuhan akan bersifat adil jika ia memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.

b). Kewajiban mengirimkan rasul Bagi aliran mu’tazilah dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman rasul seharusnya tidak begitu penting. Akan tetapi mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban tuhan. Argument yang dimajukan mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui yang harus diketahui manusia tentang tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul, tidak dapat memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti. c). Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id) Sebagaimana diketahui bahwa janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran mu’tazilah. Hal ini erat hubungan nya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya, keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi tuhan. 2 Aliran asy’ariah Bagi aliran asyariah paham kewajiban tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran mu’tazilah tidak dapat diterimanya karena bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Hal ini ditegaskan al ghazali (1055-1111) ketika mengatakan bahwa tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran asy’ariah tidak menerima paham tuhan mempunyai kewajiban. Paham mereka bahwa tuhan dapat berbuat sekendak hati-Nya terhadap makhluk, mengandung arti bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa. Sebagaimana dikatakan al ghazali, perbuatan-perbuatan tuhan bersifat tidak wajib (jaiz) dan tidak satu pun darinya yang mempunyai sifat wajib.

100

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Karena percaya pada kekuasaan mutlak tuhan dan berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban, aliran asy’ariah dapat menerima paham pemberian beban yang diluar kemampuan manusia. Al asy’ari dengan tegas mengatakan dalam al-luma’ bahwa tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat dipikul manusia. Al ghazali mengatakan demikian juga dalam al iqtishad. Meskipun pengiriman rasul mempunyai arti penting dalam teologi, aliran asy’ariah menolaknya sebagai kewajiban tuhan. Hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban terhadap manusia. Paham serupa ini dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya tuhan tidak mengutus rasul kepada umat manusia, hidup mereka akan mengalami kekacauan karena tanpa wahyu manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan buruk. Manusia berbuat yang dikehendakinya. Sesuai dengan paham asy’ariah tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, hal ini tidak menjadi permasalahan bagi teologi mereka. Tuhan berbuat yang dikehendaki-Nya. Apabila ia menghendaki manusia hidup dalam masyarakat kacau, itu tidak menjadikan apa-apa. Tuhan dalam paham aliran asy’ariah tidak berbuat untuk kepentingan manusia.i Karena tidak mengakui kewajiban-kewaiban tuhan, aliran asy’ariah berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam al-quran dan hadist. Akan tetapi, disini timbul persoalan bagi aliran asy’ariah karena dalam al quran dengan tegas dikatakan bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk surga dan siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata arab man, alladzina dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, oleh asy’ari diberi interpretasi “siapa” dalam ayat “barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, ia sebenarnya menelan api masuk ke dalam perutnya” mengandung arti bukan seluruh, malainkan sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan kata lain, yang diancam akan mendapat hukuman bukan semua orang, melainkan sebagian orang yang menelan harta anak yatim piatu. Adapun yang sebagian interpretasi demikian, al- asy’ari mengatasi persoalan wajib nya tuhan menepati janji dan menjalankan ancaman.i

3. Aliran maturidiah Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara maturidiah Samarkand dan maturidia Bukhara. Aliran maturidiah Samarkand, yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, berpendapat bahwa perbuatan tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik. Dengan demikian, tuhan mempunyai kewajiban melakukan 101

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman rasul dipandang maturidiah Samarkand sebagai kewajiban tuhan.i Maturidiah Bukhara sejalan dengan pandangan asy’ariah mengenai paham bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan oleh badzawi, tuhan harus menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, meskipun tuhan membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan maturidiah Bukhara tentang pengiriman rasul, sesuai dengan paham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan, tidak bersifat wajib, tetapi bersifat mungkin. Aliran samarkhand memberi batasan-batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan. Dengan demikian dapat menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan hukuman. Mengenai memberikan beban kepada manusia di luar batas kemapuannya (taklif ma la yutaq) aliran maturidiah Bukhara dapat menerimanya. Al-bazdawi berkata tuhan tidak mustahil meletakkan atas diri manusia kewajiban-kewajiban yang tidak dapat dipikulnya. Aliran maturidiah Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan mu’tazilah. Menurut syarh al-fiqh al-akbar al maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran asy’ariah karena al quran mengatakan bahwa tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tidak terpikul. Pemberian beban yang tidak terpikul sejalan dengan paham golongan Samarkand bahwa manusia sebenarnya yang mewujudkan perbuatannya, bukan tuhan. Tentang kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan dalam aliran maturidiah golongan Bukhara mempunyai paham yang sama dengan aliran asy’ariah. Pengiriman rasul menurut mereka tidak bersifat wajib, dan hanya bersifat mungkin. Adapaun pendapat aliran maturidiah Samarkand tentang persoalan ini dapat diketahui dari keterangan al-bayadi. dalam isyarat almaram, al-bayadi menjelaskan bahwa keumuman maturidiah sepaham dengan mu’tazilah mengenai wajibnya mengirim rasul. Mengenai kewajiban tuhan memenuhi janji dan ancaman-Nya, aliran maturidiah Bukhara tidak sepaham dengan aliran asy’ariah. Dalam pendapat mereka sebagaimana dijelaskan oleh badzawi, tuhan tidak mungkin melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya tuhan tidak mungkin membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu, nasib orang yang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak tuhan. Jika tuhan berkehendak untuk memberi ampunan kepada orang yang berdosa, tuhan tidak memasukkannya ke dalam neraka untuk sementara atau untuk selama-lamanya. Bukan tidak 102

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

mungkin bahwa tuhan memberi ampunan kepada seseorang, tetapi tidak memberi ampunan kepada orang lain meskipun dosanya sama. Uraian bazdawi di atas mngandung arti bahwa tuhan wajib menepati janji untuk memberi upah kepada yang berbuat baik. Dengan demikian tuhan dalam paham al bazdawi mempunyai kewajiban terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan dengan pendapatnya yang dijelaskan sebelumnya bahwa tuhan tidak mempunyai kewajiban terhadap manusia. Menurut paham al-bazdawi, kekuasaan dan kehendak tuhan mutlak, seperti yang dianut oleh aliran asy’ariah. Bagi aliran asy’ariah, tuhan boleh melanggar jani-janji Nya. Bagi maturidiah golongan Bukhara, tuhan tidak mungkin melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang orang yang berbuat baik golongan samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang sama dengan aliran mu’tazilah. sebagaimana dilihat bahwa upah dan hukuman tuhan tidak boleh terjadi kelak.

B. Perbuatan manusia Masalah perbuatan manusia berawal dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok jabariah (pengikut ja’d bin dirham dan jahmbin safwan) dan kelompok qadariah (pengikut ma’bad al-juhani dan ghailan ad-dimasyqi), yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh filosofis aliran mu’tazilah, asy’ariah, dan maturidiah.

Akar masalah dari perbuatan manusia. Selanjutnya, tuhan bersifat mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Dari sini, timbul pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan tuhan bergantung pada kehenak dan kekuasaan tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya oleh tuhan? Apakah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan?

1. Aliran jabariah Tampaknya ada perbedaan pandangan antara jabariah ekstrem dan jabariah moderat dalam masalah perbuatan manusia. Jabariah ekstrem berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, apabila seseorang mencuri, perbuatan itu bukan terjadi atas kehendak sendiri, melainkan timbul karena qadha dan qadar tuhan yang menghendaki. demikian.Bahkan, jahm bin shafwan, salah satu tokoh jabariah ekstrem

103

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

mengatakan bahwa manusia tidak mampu untuk bebuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.

Berbeda dengan jabariah ekstrem, jabariah moderat mengatakan bahwa tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian didalam nya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquition).i Menurut paham kasab, manusia tidak majbur (dipaksa oleh tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan tangan dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan tuhan.i

2. Aliran qadariah Aliran qadariah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan berhak mendapatkan hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Berkaitan dengan ini, apabila seseoang diberi ganjaran, baik dengan balasan surga di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka di akhirat. Itu berdasarkan pilihan pribadinya, bukan oleh takdir tuhan. Sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya. Paham takdir dalam pandangan qadariah bukan dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Dalam paham qadariah, takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya berlaku untuk alam semesta beserta seluruh isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam istilah al quran adalah sunatullah. Aliran qadariah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia pada perbuatan tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin islam. Banyak ayat-ayat al quran yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat al-kahf ayat 29.

104

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Artinya : “Dan katakanlah (Muhammad), kebenaran itu datangnya dari tuhanmu, barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.”

Dalam surat al imran ayat 165

Artinya : “dan wahyu kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada perang uhud), padahal kamu telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmupada perang badar) kamu berkata dari mana datangnya (kekalahan) ini? Katakanlah, itu dari kesalahan dirimu sendiri.”

Dalam surat Ar-rad ayat 11 Artinya “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”

Dalam surat an-nisa ayat 111 Artinya : “Dan barang siapa berbuat dosa, maka sesungguhnya dia mengerjakannya untuk (kesulitan)dirinya sendiri. 3. Aliran mu’tazilah Aliran mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Oleh karena itu, mu’tazilah menganut paham qadariah atau free will. Menurut al-jubba’I dan abd al-jabbar, manusia lah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada tuhan adalah atas kehendak dan kemauan sendiri. Daya (al-istithah) untuk mewujudkan kehendak itu telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.i Perbuatan manusia bukan diciptakan tuhan pada diri manusia, melainkan manusia yang mewujudkan perbuatan. Lalu, bagaiman dengan daya? Apakah diciptakan tuhan untuk manusia, atau berasal dari manusia? Mu’tazilah dengan tegas menyatakan pendapatnya bahwa daya berasal dari manusia. Daya yang terdapat pada diri manusia adalah tempat terciptanya 105

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

perbuatan. Jadi, tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia.i Aliran mu’tazilah mengecam dengan keras paham yang mengatakan bahwa tuhan yang menciptakan perbuatan. Bagaimana mungkin, dalam satu perbuatan akan ada dua daya yang menentukan?Dengan paham diatas, aliran mu’tazilah masih mengakui tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang mempunyai kreasi untuk mengubah bentuknya. Meskipun berpendapat bahwa Allah tidak menciptakan perbuatan manusia dan tidak pula menentukannya, kalangan mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azali Allah yang mengetahui segala yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Pendapat inilah yang membedakannya dari penganut qadariah murni. Untuk membela pahamnya, aliran mu’tazilah mengungkapkan ayat berikut Artinya; “yang memperindah segala sesuatu yang dia ciptakan” (QS As-sajdah(32):7)

Kata ahsan pada ayat di atas adalah semua perbuatan tuhan itu baik. Dengan demikian perbuatan manusia bukan perbuatan tuhan karena di antara perbuatan-perbuatan manusia terdapat perbuatan-perbuatan jahat. Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapat balasan atas perbuatannya. Sekiranya perbuatan manusia adalah perbuatan tuhan, balasan dari tuhan itu tidak ada artinya. Di samping argumentasi naqilah diatas, aliran mu’tazilah mengemukakan argumentasi rasional berikut ini: a. Jika Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia tidak mempunyai perbuatan, batal lah taklif syar’I karena syariat adalah ungkapan perintah dan larangan keduanya merupakan thalab. Pemenuhan thalab tidak dapat terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan. b. Jika manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannnya, runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dari konsep paham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman) karena perbuatan itu menjadi tidak dapat disandarkan kepadanya secara mutlak sehingga berkonsekuensi pujian atau celaan. c. Jika manusia tidak mempunyai kebebasandan pilihan, pengutusan para nabi tidak ada gunanya. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah, dan dakwah harus disertai dengan kebebasan dan pilihan.

106

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Konsekuensi lain dari paham di atas, mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat dalam penentuan ajal karena ajal itu ada dua macam. Pertama, al-ajal ath thabi’i. ajal seperti inilah yang dipandang mu’tazilah sebagai kekuasaan mutlak tuhan untuk menentukannya. Kedua, ajal yang dibuat manusia, misalnya membunuh seseorang, bunuh diri di tiang gantungan, atau minum racun. Ajal yang ini dapat dipercepat dan diperlambat. 4.Aliran asy’ariah Dalam paham asy’ariah manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak mempunyai pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran asy’ariah lebih dekat dengan paham jabariah daripada dengan paham mu’tazilah.i Untuk menjelaskan dasar pijakannya, asy’ari menggunakan teori al-kasb (acquisition, perolehan). Teori al kasb asy’ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, dan menjadi perolehan bagi orang muktasib (yangmemperoleh kasab) sehingga perbuatan itu timbul. Sebagai konsekuensi dari teori kasab, manusia kehilangan keaktifan, sehingga bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya. Argument yang dimajukan oleh al-asy’ari untuk membela keyakinannnya adalah firman allah Artinya “Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (qs assaffat (37):96) Wa ma ta’malun pada ayat di atas diartikan al-asy’ari dengan “apayang kamu perbuat”, bukan “apa yang kamu buat”. Dengan demikian, ayat ini mengandung arti bahwa Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam paham asy’ariah yang mewujudkan kasab atau perbuatan manusia sebenarnya adalah tuhan. Pada prinsipnya aliran asy’ariah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah. Daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Alah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan adalah ciptaan Allah dan kasab (perolehan) bagi manusia. Dengan begitu, kasab mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi pada penerimaan bahwa perbuatan manusia disertai dengan daya kehendaknya, dan bukan atas daya kehendak-Nya.

107

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

5.Aliran maturidiah Sebagaimana masalah perbuatan tuhan, terdapat perbedaan antara maturidiah Samarkand dengan maturidiah Bukhara. Jika yang pertama lebih dekat dengan paham asy’ariah. Kehendak dan daya berbuat pada diri manusia, menurut maturidiah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti sebenarnya, bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat diciptakan tidak sebelumnya, tetapi bersama-sam dengan perbuatan bersangkutan. Daya yang demikian porsinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam paham mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam paham al-maturidi tidak sebebas manusia dalam mu’tazilah. Maturidiah Bukhara dalam banyak hal sependapat dengan maturidiah Samarkand. Hanya, golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya. Menurutnya, untuk perwujudan perbuatan perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya tuhan yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan tuhan baginya.

108

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

BAB XII ILMU KALAM MASA KINI

109

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

A. Ismail Al-Faruqi (1921-1986) 1. Biografi Singkat Ismail Al-Faruqii Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921. Pendidikan dasarnya dimulai dari madrasah, dan pendidikan menengahnya di Colleges des Freres, dengan bahasa pengantar Perancis. Kemudian pada tahun 1941 lulus dari American University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea. Pada tahun 1948, Palestina dijarah Israel. Faruqi terusir dari tanah kelahirannya. Ia tercatat sebagai Gubernur Galilea terakhir yang berdarah Palestina. Satu tahun menganggur, pada tahun 1949, Faruqi hijrah ke Amerika Serikat untuk melanjutkan kuliahnya. Ia mendapat gelar master filsafat dari Universitas Indiana. Dua tahun kemudian, gelar master filsafat kembali ia raih dari Universitas Harvard. 2. Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi Pemikiran kalam Ismail al Faruqi tertuang dalam karyanya yang berjudul Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Dalam karyanya ini beliau ini mengungkapkan bahwa: 3. Tauhid sebagai inti pengalaman agama Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadatmenempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benarbenar merupakan obsesi yang agung. 4. Tauhid sebagai pandangan dunia Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir. 5. Tauhid sebagai intisari Islam Esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri, dan esensi islam adalah tauhid atau pengesaan Tuhan. Tidak ada satu perintah pun dalam islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, islam tidak akan ada. Tanpa tauhid, bukan hanya sunnah Nabi yang patut diragukan, bahkan pranata kenabian pun menjadi sirna. 110

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

6.

Tauhid sebagai prinsip sejarah Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika

ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. 7.

Tauhid sebagai prinsip pengetahuan Berbeda dengan iman Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada

pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. 8. Tauhid sebagai prinsip metafisika Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi ciri dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam. 9. Tauhid sebagai prinsip etika Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya. 10.

Tauhid sebagai prinsip tata sosial Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat

Islam harus mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim keislamannya. 11. Tauhid sebagai prinsip ummah Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menentang etnisentrisme yakni tata sosial Islam adalah 111

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang citacita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia.Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas manusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa dan tempat. 12. Tauhid sebagai prinsip keluarga Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat dengan tauhid. 13. Tauhid sebagai tata politik Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan sebagai kesepakatan tiga dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal). 14. Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi Al-Faruqi melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu: pertama, tak ada seorang atau kelompok pun yang dapat memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk membatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri. 15. Tauhid sebagai prinsip estetika Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kreativitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.

112

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

B. Hassan Hanafi (1935-) 1. Biografi Singkat Hassan Hanafi Hasan Hanafi dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935, di Kairo. Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalill Agha, Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Hasan Hanafi adalah pengikut Ikhwanul Muslimin ketika dia aktif kuliah di Universitas Kairo. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dalam Islam. Ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan perubahan sosial. Dari sekian banyak tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam,meskipun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat 2. Pemikiran Kalam Hassan Hanafi a. Kritik terhadap teologi Tradisional Dalam gagasannya tentang rekonstruksi teologi tradisiobal, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan sesuai dengan konteks politik yang terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptual lama pada masamasa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan. Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan pendefenisian beliau tentang definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam Sabda-Nya yang berupa wahyu. 113

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Menurut Hasan Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat manusia hal ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat. b. Rekontruksi Teologi Sebagai konsekuensi atas pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama tradisional telah gagal dalam menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran rekontruksi teologi. Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu: 1. Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah pertarungan globalisasi ideologi. 2. Pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya tetapi juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah. 3. Kepentingan teologi yang bersifat praktis (‘amaliyah fi’liyah) yang secara nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi menghendaki adanya teologi dunia, yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat Islam di bawah satu orde. C. H.M. Rasjidi (1915-2001) 1. Biografi Singkat H. M. Rasjidi H. Mohamad Rasjidi (Kotagede, Yogyakarta, 20 Mei 1915 – 30 Januari 2001) adalah mantan Menteri Agama Indonesia pada Kabinet Sjahrir I dan Kabinet Sjahrir II.Fakultas Filsafat, Universitas Kairo, Mesir (1938) Universitas Sorbonne, Paris (Doktor, 1956) Guru pada Islamitische Middelbaare School (Pesantren Luhur), Surakarta (1939-1941) Guru Besar Fakultas Hukum UI Direktur kantor Rabitah Alam Islami, Jakarta Karya Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Bulan Bintang, 1977, Strategi Kebudayaan dan Pembaharuan Pendidikan Nasional, Media Dakwah, 1979. Kebebasan Beragama, Media Dakwah, 1979. Janji-janji Islam, terjemahan dari Roger Garandy, Bulan Bintang, 1982.

114

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

2. Pemikiran Kalam H.M. Rasjidi Pemikiran kalam beliau banyak yang berbeda dari beberapa tokoh seangkatannya. Hal ini dilihat dari keritikan beliau terhadap Harun Nasution, dan Nurcholis Majid. Secara garis besar pemikiran kalamnya dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Tentang Perbedaan Ilmu Kalam dan Teologi. Rasyidi menolak pandangan Harun Nasution yang menyamakan pengertian ilmu kalam dan teologi. Untuk itu Rasyidi berkata, “…Ada kesan bahwa ilmu kalam adalah teologi Islam dan teologi adalah ilmu kalam Kristen.”i Selanjutnya Rasyidi menelurusi sejarah kemunculan teologi. Menurutnya, orang Barat memakai istilah teologi untuk menunjukkan tauhid atau kalam karena mereka tak memiliki istilah lain. Teologi terdiri dari dua perkataa, yaitu teo (theos) artinya Tuhan, dan logos, artinya ilmu. Jadi teologi berarti ilmu ketuhanan. adapun sebab timbulnya teologi dalam Kristen adalah ketuhananNabi Isa, sebagai salah satu dari tri-tunggal atau trinitas. Namun kata teologi kemudian mengandung beberapa aspek agama Kristen, yang di luar kepercayaan (yang benar), sehingga teologi dalam Kristen tidak sama dengan tauhid atau ilmu kalam. b. Tema-Tema Ilmu Kalam Salah satu tema ilmu kalam Harun Nasution yang dikritik oleh Rasyidi adalah deskripsi aliran-aliran kalam yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi umat Islam sekarang, khususnya di Indonesia. Untuk itu, Rasyidi berpendapat bahwa menonjolnya perbedaan pendapat antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah, sebagaimana dilakukan Harun Nasution, akan melemahkan iman para mahasiswa. Rasyidi mengakui bahwa soal-soal yang pernah diperbincangkan pada dua belas abad yang lalu, masih ada yang relevan untuk masa sekarang, tetapi ada pula yang sudah tidak relevan. Pada waktu sekarang, demikian Rasyidi menguraikan, yang masih dirasakanlah oleh umat Islam pada umumnya adalah keberadaan Syi’ah. c. Hakikat Iman Bagian ini merupakan kritikan Rasyidi terhadap deskripsi iman yang diberikan Nurcholis Madjid, yakni “percaya dan menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Dan sikap apresiatif kepada Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan seseorang. Sikap ini disebut takwa. Takwa diperkuat dengan kontak yang kontinyu dengan Tuhan. Apresiasi ketuhanan

menumbuhkan

kesadaran

ketuhanan

yang

menyeluruh,

sehingga 115

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

menumbuhkan keadaan bersatunya hamba dengan Tuhan.”i Menanggapi pernyataan di atas Rasyidi mengatakan bahwa iman bukan sekedar menuju bersatunya manusia dengan Tuhan, tetapi dapat dilihat dalam dimensi konsekuensial atau hubungan dengan manusia dengan manusia, yakni hidup dalam masyarakat. Bersatunya seseorang dengan Tuhan tidak merupakan aspek yang mudah dicapai, mungkin hanya seseorang saja dari sejuta orang. Jadi, yang terpenting dari aspek penyatuan itu adalah kepercayaan, ibadah dan kemasyarakatan. D. Harun Nasution (1919-1998) 1. Biografi Singkat Harun Nasution Harun Nasution lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara pada tahun 1919. Kemudian bersekolah di HIS (Hollandsche Indlansche School) dan lulus pada tahun 1934. Pada tahun 1937, lulus dari MIK (Moderne Islamietische Kweekschool). Ia melanjutkan pendidikan di Ahliyah Universitas Al-Azhar pada tahun 1940. Dan pada menjadi pegawai Deplu RI di Brussels dan Kairo pada tahun 1953-1960. Dia meraih gelar doktor di Universitas McGill di Kanada pada tahun 1968. Selanjutnya, pada 1969 menjadi rektor di IAIN Syarif Hidayatullah dan UNJ. Pada tahun 1973, menjabat sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah.Hasan Nasution wafat pada tanggal 18 September 1998 di Jakarta.Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang memuji aliran Muktazilah (rasionalis), yang berdasar pada peran akal dalam kehidupan beragama. Dalam ceramahnya, Harun selalu menekankan agar kaum Muslim Indonesia berpikir secara rasional. Harun Nasution juga dikenal sebagai tokoh yang berpikiran terbuka. Ketika ramai dibicarakan tentang hubungan antar agama pada tahun 1975, Harun Nasution dikenal sebagai tokoh yang berpikiran luwes lalu mengusulkan pembentukan wadah musyawarah antar agama, yang bertujuan untuk menghilangkan rasa saling curiga. 2. Pemikiran Kalam Harun Nasution a. Peranan akal Harun Nasution memilih problematika akal dalam sistem teologi Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas McGill, Montreal, Kanada. Besar kecilnya peranan akal dalam system teologi dalam suatu aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis, “akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akal, 116

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

manusia mempunyai

kesanggupan untuk

menaklukan kekuatan

makhluk lain

disekitarnya. Bertambah tinggi akal manusia, bertambah tinggi kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan manusia, bertambah rendah pula kesanggupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain. Tema islam agama rasional dan dinamis sangat kuat bergema dalam semua tulisantulisan Harun Nasution, terutama dalam buku akal dan wahyu dalam islam,teologi islam: aliran-aliran, sejarah, analisa perbandingan, dan Muhammad Abduh dan teologi rasional Muhammad Abduh. Dalam ajaran islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak digunakan, bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, melainkan juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaam islam. Penggunaan akal dalam islam diperintahkan Al-Quran. Bukan tidak ada dasar jika ada penulis-penulis, baik dikalangan islam maupun dikalangan non islam, yang berpendapat bahwa islam adalah agama yang rasional. b. Pembaharuan teologi pembaharuan teologi yang menjadi predikat Harun Nasution, pada dasarnya dibangun diatas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat islam Indonesia disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini serupa dengan pandangan kaum modernis pendahulunya (Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Al-Afghani, Sayid Amer Ali, dan lainnya) yang memandangan perlu untuk kembali pada teologi islam yang sejati. Retorika ini mengandung pengertian bahwa umat islam dengan teologi fatalistic, irasional, predeterminisme, serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam, menurut Harun Nasution, umat islam hendak mengubah teologi mereka menuju teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori modernisasi ini menemukan teologi dalam khazanah islam klasik, yaitu teologi mu’tazilah. c. Hubungan akal dan wahyu salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an.

117

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

Orang yang beriman tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segalasegalanya. Wahyu tidak menjelaskan bahwa semua permasalahan keagamaan. Dalam pemikiran islam, baik dibidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi dibidang ilmu fiqh, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tunduk pada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap mutlak benar. Akal digunakan hanya untuk memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi interpretasi terhadap teks wahyu sesuai dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi interpretasi. Pertentangan dalam sejarah pemikiran islam sebenarnya bukan akal dengan wahyu, melainkan penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran lain dari teks wahyu itu. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam islam adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.

118

Ilmi Kalam : Aliran – Aliran dan Pemikiran

DAFTAR PUSTAKA Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, Cet. III, CV Pustaka Setia, Bandung. Umar Sulaiman Al-Asyaqar. Mengembalikan Citra dan Wibawa Umat: Perpecahan, akar masalah, dan solusinya, Terj. Abu Fahmi, Wacana Lazuardi Amanah. Jakarta. Yunan Yusuf. Corak pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar. Pustaka Panjimas, Jakarta. 1990. Muhammad Fazlur Rahman Ansari. Konsepsi Masyarakat Islam Modern, Terj. Juniarso Ridwan, dkk., Risalah, Bandung. 1984. Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyi Ad-Din bin ‘Arabi, Fushush Al-Hikam, Komentar A.R. Nicholson, Jilid II, t.t. Adeng Muchtar G, perkembangan ilmu kalam dari klasik hingga modern (Bandung : pustaka setia,2005). Jaiz, Hartono Ahmad, Kumpulan Buku Hartono (Tasawuf Belitan Iblis) Buku digital (Jakarta, 2005). Zuhaini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 2008). Nina W. Syam, Filsafat sebagai akar ilmu komunikasi ( Bandung : Simiosa Rekatama Media, 2010), 79 Abdu Al-Qahir bin Thahir bin Muhammad Al Baghdadi, Al- Farq bain, Al Azhar, Mesir Abi Al Fath Muhammad Abd Al Karim bin Abi Bakar As Syahrastani Al Milal Wan Nihal, Dar Al Fikr. Ali Musthafa Al Ghurabi, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah Wa Nasy’atu IlmiAl kalami ‘Inda Al Muslimin. maktabah Wa mathbaah Muhammad ali Shabih Wa Auladuhu, Haihan al Azhar, mesir ,1958. Ibrahim Madzkur, Fi Al-falsafah Al-Islamiyah, Manhaj wa Tathbiquh, Juz II, Dar Al-Ma’arif, Mesir 1947. L. Mal’uf , Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-‘Alam,Dar Al-Masyriq,Beirut, 1998. Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr, Beirut. Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Cet. VI, UI Press, Jakarta, 1986. Luwis Ma’luf Al-Yusuf’i , Al-Munjid, Al-Khathulikiyah, Beirut , 1945. Al-Bagdadi, Al-Fark Bain Al-Firaq, Maktabah Muhammad Ali Subeih, Kairo. Luis Ma’lif, Al-Mujid fi Al-Lughah, Cet, X, Darul Kitab Al-Arabi, Beirut, t.t. Ahmad Mahmud Subhi, Fi ‘ilm Al-Kalam, t.tp., Kairo, 1969. Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Iskamiyah, Dar Al-Manar, Kairo, 1991. 119

More Documents from "Amanda"

6631-11423-1-pb.pdf
June 2020 29
25
November 2019 41
December 2019 33
Anova Lab
May 2020 33