Inside : The Red
SATU Cahaya matahari masuk melalui celah ruangan. Menyinari debu-debu kecil yang berterbangan karena tidak bersih tersapu. Seakan debu yang seharusnya berwarna kelam itu tampak lebih bersinar. Melayang seakan mereka tidak memiliki tujuan lagi disini. Dari jendela nampak taman kecil yang hanya ditumbuhi oleh sebuah pohon mangga dan rumput yang seakan menciut didepannya. Tidak terlalu bagus memang, tapi paling tidak masih bisa tertata rapih. Begitu pikirku. Perlahan, setelah mengenakan pakaian rapih berupa kemeja polos dan celana bahan berwarna hitam pekat, aku melangkah menuju meja makan di tengah ruang keluarga. Meja berbentuk persegi yang mungkin hanya bisa ditempati oleh empat orang jika seluruh meja dipenuhi oleh hidangan. Namun keadaan seperti itu tidak pernah terjadi hingga saat ini. Kehidupanku masih sangat sederhana, karena memang aku belum lama memulai semua kehidupan ini. Yang ada saat ini dihadapanku hanyalah sebuah piring melamin yang terdapat setumpuk roti lapis dengan selai strawberry. Aku tidak tahu apakah selai ini memang berasal dari buah strawberry yang sesungguhnya atau tidak. Karena memang aku tidak pernah mencicipinya. Perlahan aku mengambil lipatan koran pagi ini yang baru saja diantarkan oleh penjual koran keliling. Koran ini sudah lebih dulu diambil dari depan rumahku oleh istriku dan ia letakkan di meja makan untuk aku baca. Aku tertarik melihat isi pada halaman utama koran ini. Tidak jauh-jauh, masih seputar kasus bom yang belum lama ini terjadi pada dua hotel mewah di Jakarta. Memang masih belum ada satu bulan dari peristiwa itu terjadi. Tapi topik seputar kasus tersbut masih menarik perhatian media massa. Kugigit roti yang sejak tadi kupegang. Namun, aku seperti tidak bernafsu untuk mengunyahnya. Aku mengunyahnya dengan sangat pelan. Mataku tidak bisa lepas dari berita yang sedang aku baca. Aku memperhatikan kata demi kata. Namun, kemampuan otakku mampu memberikanku kemampuan untuk berpikir pada saat yang bersamaan. Aku mengingat-ingat kembali peristiwa peledakan yang menghebohkan sepanjang sejarah di Indonesia. Setelah hampir empat tahun tidak ada peristiwa semacam itu, kali ini Indonesia kembali dikagetkan. Semua orang yang memang sudah bisa melupakan kenangan pahit tersebut, kini seperti mendapat lanjutan mimpi 1
Inside : The Red buruk. Semua orang seakan-akan terbangun kembali kedalam kenyataan setelah lama berkhayal atas negeri yang indah dan tenang. Kurasakan manis menyelimuti rongga mulutku. Hambar, dan asam, semua menjadi satu. Aku berpikir, apakah ini adalah rasa buah strawberry yang sebenarnya? Rekan-rekanku di tempat kerja yang pernah mencicipinya mengatakan bahwa rasa buah strawberry yang sebenarnya lebih asam ketimbang manis. Lantas apa yang aku rasakan saat ini? Dengan mata yang masih terpaku pada koran yang aku pegang, aku meletakkan roti yang baru aku makan tiga kali gigitan. Setelah menelan sisa kunyahan roti didalam mulutku, aku mengambil cangkir keramik di samping piringku. Cangkir itu berisi teh hangat. Perlahan aku menyeruput cairan berwarna coklat muda keemasan di dalam cangkir tersebut. Kurasakan ada sesuatu yang hangat mengalir di tenggorokanku. Rasa hangat itu terasa sampai dalam perutku. Tidak seperti kebanyakan orang yang lebih suka meminum kopi hangat pada pagi atau malam hari, aku lebih senang bersama teh hangat sebagai teman sarapanku. Namun aku lebih suka meneguk coklat hangat pada saat malam hari selepas kerja. Rasanya seperti bisa melepas semua penat dan stres karena menggunakan otakku sepanjang hari. Kembali aku mengambil roti yang belum termakan setengahnya sejak tadi. Sambil membolak-balik halaman koran yang kupegang, mataku tetap mengamati isi berita yang mungkin membuatku tertarik. Tanpa sadar, aku mulai cepat mengunyah roti yang aku gigit. Aku tidak lagi memikirkan bagaimana rasa selainya. Hanya saja pikiranku masih sedikit tertuju pada koran yang aku pegang. Setelah sampai pada halaman berita olahraga, aku mulai menutup lebaran koran itu. Aku memang tidak terlalu tertarik pada berita olahraga. Bukan karena aku tidak suka berolahraga, namun memang tidak ada isi berita yang bisa membuatku kecanduan. Semua berita tersebut malah seakan menjadi berita gosip selebriti. Namun berbeda jalan, jika selebriti mengikuti jalan artis dan terkait layar kaca, maka berita olahraga hanyalah berita-berita atlet yang berpindah tim atau hasil pertandingan saja. Aku selalu mencari berita terkait masalah-masalah kriminal. Bukan kriminal kecil seperti pencuri jemuran atau preman yang berjudi. Aku lebih tertarik pada berita besar seperti kasus korupsi, peristiwa teror dalam negeri, ataupun segala macam gerak-gerik kalangan atas yang menurutku bisa mengancam stabilitas dalam negeri. Sudah menjadi perkerjaan sehari-hariku seperti ini. Karena aku berkerja untuk Badan Intelijen Negara. Atau masyarakat mungkin lebih mengenalnya sebagai BIN. 2
Inside : The Red Namaku Khairul Syani. Aku baru bergabung dengan BIN sejak awal 2006. Mungkin menjadi pertanyaan bagi kebanyakan orang, khususnya rekanrekanku yang mengetahui apa kerjaku saat ini. Kenapa kamu masuk BIN? Yah, karena aku sudah sering mendapat pertanyaan itu, aku jadi tidak merasa aneh lagi. Bagiku, keputusanku bergabung disini bukanlah karena gaji ataupun fasilitas kerja yang seringkali menjadi alasan utama seseorang berkerja. Aku hanya ingin melakukan sesuatu bagi tanah airku. Sebelum aku bergabung, terjadi serangkaian aksi teror berupa bom sepanjang tahun. Nama baik Indonesia pun tercemar. Meski kita masih belum tahu siapa dalang sebenarnya dari rangkaian teror tersebut, namun status tidak aman telah melekat pada nama Indonesia. Apalagi, Bali sebagai pulau dewata dan salah satu daerah wisata yang paling diminati oleh banyak orang juga mengalami nasib serupa. Alhasil semakin lekatlah gelar Indonesia sebagai negara teroris di mata dunia. Meski sampai sekarang aku tidak tahu, siapakah yang pertama kali memberikan gelar itu kepada Indonesia. Aku kembali mengambil cangkir yang terletak disamping piring melamin berisi roti. Cangkir yang tidak terlalu bagus, namun cukup bagiku menemani sarapanku. Dengan perlahan kuangkat cangkir dengan sedikit uap putih yang terlihat mengembun karena udara dingin dipagi hari. Semalam baru saja terjadi hujan. Jika aku tidak salah, sebelum aku terbangun untuk melakukan solat subuh, aku sudah merasa kedinginan. Tidak kusangka hawa dingin itu masih menyelimuti tubuhku hingga saat ini. Rasa dingin itu kembali sirna saat aku meneguk teh hangatku dalam cangkir. Meski aku tahu tidak akan bertahan lama. Kuhirup nafas dalam-dalam. Berharap apa yang aku lakukan bisa membuatku melupakan udara dingin ini. “Sayang, ayo sarapannya dipercepat. Nanti kamu terlambat”. Istriku memanggilku. Aku yang sedang asik mengunyah gigitan roti dalam mulutku dengan tenang, mulai mempercepat kunyahanku. “Iya. Sedikit lagi koq”. Kebiasaanku ini sebenarnya adalah kebiasaan rutin. Tapi entah mengapa setiap kali aku mendengar istriku mengatakan hal yang sama setiap pagi, aku tidak pernah bosan mendengarnya. Istriku bernama Anisa, kami baru saja menikah enam bulan yang lalu. Enam bulan, bukanlah waktu yang lama bagiku. Meski pernikahan itu berlangsung pada saat aku memasuki tahun ketiga di tempat kerjaku. Yah, bisa dibilang bahwa kami berada pada masa-masa bahagia. Entah kenapa aku terpikirkan kata orang yang mengatakan bahwa pernikahan itu hanya akan terasa enak pada awalnya. Jika kita tidak bisa berkomunikasi, maka hubungan dengan keluarga sendiri pun akan semakin merenggang. Tapi aku juga memikirkan bahwa selain harus bisa berkomunikasi, kita harus 3
Inside : The Red mengesampingkan ego kita sendiri. Apapun yang terjadi nanti, aku hanya berharap bisa membawa keluargaku ke arah yang lebih baik. Tentu aku juga tidak ingin dibilang orang sebagai kepala rumah tangga yang tidak bertanggungjawab. Aku juga akan berusaha yang terbaik demi anakku yang saat ini berada dalam kandungan istriku. Usianya saat ini dalam kandungan hanya berselisih dua pekan dari usia pernikahanku. Mungkin bagi kebanyakan orang, saat seperti ini merupakan saat yang membahagiakan. Ada seseorang yang akan memecah keheningan dari dua orang suami-istri. Dengan agak bergegas, aku bangkit dari kursiku. Terdengar bunyi berderit dari kursi kayu yang bergerak mundur dan sedikit terangkat ketika aku berdiri. Seakan kursi itu tidak mau aku pergi, aku terpaksa menggeser kursi itu untuk keluar dari hadangan meja makan didepanku. Namun tanganku juga masih memegang cangkir yang berisi sedikit teh hangat yang belum sempat aku habiskan. Aku menyeruput sisa teh dengan agak terburu-buru. Lantas aku menuju ruang tamu untuk mengambil barang-barangku dan segera berangkat. Aku berjalan menuju ruang tamu menyusuri lorong kecil yang hanya memisahkan ruang keluarga dan ruang tamu sejauh satu meter. Aku berjalan melewati lemari kayu berisi pernak-pernik dan benda-benda yang aku anggap bisa sedikit menghias rumahku. Meskipun tidak terbilang kecil, tapi aku ingin rumahku terasa nyaman bagi orang-orang yang berkunjung. Kulihat jaket dan tasku sudah berada diatas kursi tamu. Kursi berbentuk sofa yang hanya bisa diduduki oleh satu orang. Jaket dan tasku seakan seperti milik seorang tamu yang sedang menungguku menghampirinya. Atau mungkin jaket dan tasku itu adalah tamuku sendiri. Aku mengambil jaket terlebih dahulu. Kubungkus tubuhku dengan jaket itu. Bukan maksud apa-apa, tapi aku hanya ingin melindungi diriku dari angin yang akan menerpa tubuhku sepanjang perjalananku ke kantor. Setelah tubuhku terbalut oleh jaket yang cukup tebal itu, aku juga membungkus tanganku dengan menggunakan sarung tangan. Aku tidak ingin tanganku bau akibat keringat dan debu jalanan. Meski begitu, aku tidak terpikirkan dengan bau dari sarung tanganku sendiri. Aku pun memasang masker pada wajahku, karena memang aku sangat membenci udara kotor yang penuh debu dan asap hitam yang selalu berkumpul di pusat kota. Setelah merasa siap, aku mengambil tasku dan menghampiri istriku yang sudah sejak tadi berdiri di depan pintu rumahku. Aku ambil kunci motorku dari saku celana, dan setelah berhasil membuka kuncinya, aku menggiring motorku ke arah pagar dekat istriku berdiri. “Hati-hati ya”. Ujar istriku, yang sebenarnya selalu diucapkannya tiap 4
Inside : The Red pagi. Istriku tentu tahu dimana aku berkerja dan apa yang aku kerjakan. Tapi ia tidak pernah menunjukkan rasa cemasnya padaku. Hanya berupa kata-kata yang memintaku untuk tetap waspada dan tidak kehilangan konsentrasi. Aku bukannya tidak peduli, tapi aku juga tidak ingin merasa khawatir saat berkerja. Bisa-bisa aku sendiri yang akan kena celaka akibat kecerobohanku sendiri. Aku bersyukur istriku adalah seorang yang pengertian. Ia selalu mendukungku atas semua hal yang aku lakukan jika aku anggap itu hal yang baik. Aku menatap istriku dan memberikan senyumku padanya. Ia membalasnya dengan senyum manisnya. Kukecup keningnya perlahan, sekejap kulihat ia memejamkan matanya. Kusentuh perutnya perlahan. Aku berpikir, didalam sini ada anakku. Aku tidak ingin mengecewakannya nanti, apalagi jika anakku sudah cukup besar. Aku ingin ada hal dari bapaknya yang bisa membuatnya bangga. Dengan begitu, ia pun akan berusaha membuat aku bangga sebagai bapaknya. “Ayah berangkat dulu ya”. Kuucapkan kata-kata itu dengan lembut. Sebenarnya bukan aku tujukan pada istriku, tapi kulihat ia tersenyum mendengarnya sambil mengelus perutnya. Perlahan aku menaiki motorku. Bukan motor besar seperti yang sering dibanggakan orang. Hanya motor bebek versi lama yang banyak dijumpai di sekitar kita. Bahkan terkadang aku merasa motor yang digunakan tukang ojek lebih bagus dari motorku sendiri. Perlahan aku mulai memacu motorku. Aku tidak berharap banyak di perjalanan. Tapi aku juga tidak menikmatinya. Bagaimana orang tidak stres di jalan. Terlalu banyak kesemrawutan yang membuat kepala ini membutuhkan konsentrasi dua hingga tiga kali lipat bila dibandingkan dengan saat kerja. Mungkin faktor jalan raya juga menjadi sebab produktivitas masyarakat berkurang. Sepanjang perjalanan aku hanya melihat berbagai pelanggaran yang terjadi. Jalan seperti milik masing-masing orang saja. Aku memang pengguna motor. Meski tidak sering, tapi aku akan dengan emosi menyalip kendaraan yang aku anggap lambat dan menghalangi lajuku. Paling sering adalah angkutan umum. Ketika mereka menyalip laju kita dari arah kanan, kita akan berpikir bahwa angkutan tersebut ingin mendahului kita. Namun yang sering terjadi adalah mereka berhenti tepat didepan kita. Entah menaikkan atau menurunkan penumpang. Kadang pengendara motor pun akan kesal ketika ada mobil yang lajunya lambat. Karena dianggap menghalangi jalan. Tapi sebaliknya, pengendara mobil juga akan kesal karena motor sering menyalip tidak karuan. Terlebih jika terdapat kecelakaan, pengendara mobillah yang akan disalahkan. Alasannya: karena mereka pakai mobil! Alasan yang tidak masuk akal sebenarnya. Tapi apa daya aku rasa otak masyarakat di jalan raya sudah kehilangan fungsinya untuk berpikir rasional. Padahal jika kita melihat memang 5
Inside : The Red pengendara motorlah yang paling sering melakukan pelanggaran. Mungkin pelanggaran terbanyak adalah dari para pengendara motor. Coba lihat bagaimana mereka mengabaikan rambu lalu lintas. Mereka sering ditemukan berjalan melawan arah jika hendak menuju jalan yang letaknya hanya sekitar 10 meter. Mereka akan beralasan tanggung. Karena jika mereka harus memutar, akan memakan lintasan yang lebih jauh dan menghabiskan bensin. Atau dengan gagahnya mengendarai motor tanpa kaca spion, helm, atau kelengkapan keamanan lainnya. Kadang mereka memasang bingkai spion tanpa ada kacanya. Akibatnya dengan seenaknya mereka bisa belok kiri dan kanan tanpa tahu bahwa dibelakang, dan disampingnya masih terdapat pengendara lain. Tapi mereka seakan tidak mau tahu dan tidak mau peduli. Begitu pula dengan helm pekerja bangunan yang dipakai untuk mengendarai motor. Seakan semua keamanan itu menjadi hal yang tidak penting, padahal ini terkait masalah nyawa. Tidak masalah jika mereka memang ingin celaka atau mati. Tapi paling tidak, jangan membawa dan melibatkan orang lain untuk ikut celaka. Karena jalan itu milik semua orang. Jika ada yang beralasan mahal untuk membeli spion, helm dan kelengkapan lainnya, bukankah akan lebih mahal jika harus membayar biaya pengobatan jika terjadi kecelakaan? Hal yang serupa juga pernah aku temui pada para supir angkutan umum. Banyak sekali anak mereka yang tidak bersekolah. Bahkan kadang mereka harus ikut dan dipaksa untuk kerja. Alasannya, tidak ada biaya untuk menyekolahkan anaknya. Untuk makan sehari-hari saja susah, apalagi untuk bersekolah. Yang lucu adalah, para supir itu meski mengaku keadaan ekonominya sulit, tapi mereka mampu selama berkerja seharian itu untuk membeli rokok. Mereka tak kenal kata berhenti merokok. Mengepul seperti lokomotif kereta api batubara. Kata mereka jika tanpa rokok dan kopi, mereka tidak bisa konsentrasi berkerja, ataupun merasa semangat. Satu hari saja, minimal mereka bisa menghabiskan dua pak rokok. Padahal, uangnya bisa mereka gunakan untuk menyekolahkan anaknya. Atau paling tidak, mereka bisa makan dengan layak dan dengan gizi yang cukup. Mungkin alasan lain mereka tidak mau membawa anak mereka ke bangku pendidikan adalah karena dianggap tidak dapat menghasilkan uang. Aku pernah melihat di gerbang masuk utama sebuah kampus negeri terkemuka di daerah Depok, terdapat hasil cat semprot bertuliskan: kembali kesekolah, kembali jatuh miskin. Image pendidikan membawa kita kearah kemiskinan sangat melekat di masyarakat. Tentu saja, semua ini akibat tidak ada pihak yang benar-benar peduli pada pendidikan. Coba lihat, kadang pun para supir kendaraan merokok didalam kendaraan. Cukup mengganggu juga bagi para penumpang. Apalagi, penghirup 6
Inside : The Red asap rokok akan mendapat kadar racun yang lebih daripada si perokok itu sendiri. Aku berpikir lagi, kenapa masyarakat kita jika ingin celaka selalu mengajak orang lain yang mungkin sebenarnya ia tidak mau, tapi karena keadaan memaksa seperti apa yang dialami penumpang angkutan umum yang suprinya merokok dengan asap memenuhi kendaraan itu. Jika ditegur, para pembuat kesalahan itu pasti akan marah, dan meminta kita untuk menerima keadaannya. Tapi mereka tidak mau menerima keadaan kita. Karena alasan itulah, aku tidak pernah menggunakan angkutan umum lagi. Jika terpaksa pergi tanpa kendaraan pribadiku, aku lebih memilih yang agak ekslusif. Daripada bus umum, aku lebih memilih bus AC atau bus dalamkota yang jalurnya saat ini sudah hampir memenuhi satu kota Jakarta. Atau kereta AC yang lebih tertib. Masyarakat kita masih belum menyadari keberadaan orang lain disekitarnya. Entah itu orang lain yang tentu mungkin dapat membantu masalahnya, atau orang lain yang mungkin dapat merugikan kita semua. Namun, ketika semua masalah mulai mencuat dan berada dalam kondisi puncaknya, mereka selalu menimpakan kemarahan pada siapapun yang mereka anggap salah. Jika tidak ada yang bisa disalahkan, mereka akan menyalahkan pihak birokrat dan pemerintah. Aku merasa, ketidakpedulian inilah yang membuat Indonesia seringkali dirundung tragedi terkait terorisme, dan juga dilecehkan negara lain. Dulu sebenarnya lebih baik. Meski dikungkung oleh orang yang dianggap diktator dan tangan besi, tapi Indonesia masih memiliki martabat. Masyarakatnya pun berhasil disatukan. Tapi setelah kemunculan demokrasi, yang ada masingmasing orang ingin muncul ke atas permukaan dengan alasan mereka membawa kepentingan bangsa. Padahal apa yang mereka lakukan atas kepentingan pribadi semata, atau kelompok tertentu. Setiap kesalahan, selalu dibilang kebobrokan pihak penguasa, hasil pemilihan umum yang dituding ada kecurangan, semua itu adalah bukti nyata bahwa negara kita tidak pantas menyandang nama demokrasi. Apalagi disandingkan dengan paham pancasila yang memakan nyawa para pejuang kita dahulu. Aku tidak mengerti, sebenarnya paham apa yang mereka anut? Jika mereka melakukan sesuatu atas dasar Indonesia, mereka cukup mengatakan pancasila. Tapi semua permasalahan politik selalu dikaitkan dengan nama demokrasi. Kemana pancasila kita? Mereka berdalih, bahwa demokrasi di Indonesia, bukanlah murni demokrasi, tapi demokrasi pancasila. Namun, hingga saat ini tidak ada satupun dari mereka yang bisa menjelaskan konsep dan pelaksanaan dari jenis demokrasi pancasila tersebut pada kita. Aku teringat kenalanku yang merupakan profesor dalam bidang hukum, ia mengatakan dengan lantang bahwa demokrasi pancasila adalah dasar 7
Inside : The Red yang tidak jelas. Aku pernah mencoba merunut peristiwa reformasi Indonesia, tapi aku tidak mendapati siapa sebenarnya yang membawa masuk demokrasi Indonesia itu. Mahasiswa? Pihak yang melakukan kudeta? Atau pihak asing? Yang jelas, semua keruntuhan akibat reformasi sebenarnya dipicu oleh anak bangsa sendiri. Yang tidak puas akan kehidupan saat itu. Kini, jika masyarakat lainnya menuding era pemerintahan saat ini adalah hasil rekayasa pihak tertentu yang ingin menjatuhkan dan memecah belah Indonesia, tapi mereka mendukung proses reformasi dan penegakkan demokrasi pancasila ini, sama saja tanpa sadar mereka mengakui bahwa mereka adalah boneka dari pihak tersebut. Boneka kayu yang tidak punya otak. Hanya ada seutas tali di tiap bagian tubuhnya. Aku berpikir, mungkin Presiden RI pertama akan menangis jika mengetahui bahwa dasar Indonesia, yaitu pancasila yang sejak dulu disusun dengan bertaruh nyawa dan dengan segenap hasil pemikiran dan pertimbangan para intelek muda dan tua Indonesia jaman dulu, kini diubah menjadi dasar demokrasi, atau yang sering disebut demokrasi pancasila. Ada perubahan pada dasar negara, menunjukkan bahwa masyarakat moderen saat ini, sudah tidak lagi mempercayai susunan pemerintahan Indonesia yang diperjuangkan mati-matian pada tahun 1945. Mereka tidak mempercayai para pahlawan bangsa, kaum intelek Indonesia yang menyusun pemerintahan bangsa, dan termasuk mereka tidak mempercayai Presiden dan Wakil presiden pertama Indonesia. Kalau sudah begitu, tidak sepantasnyalah mereka membawa semua nama besar tokoh kemerdekaan Indonesia dalam setiap kampanye demokrasi. Kasihan, para tokoh itu mungkin menangis dalam kuburnya saat ini. Tanpa sadar, aku sudah tenggelam dalam pikiranku sendiri. Memikirkan begitu kompleks masalah yang terdapat dalam masyarakat Indonesia sebenarnya. Satu masalah, selalu terkait masalah yang lainnya. Sehingga menjadikannya lingkaran setan yang tidak akan pernah putus. Merasa mengenal daerah sekitar, aku menyadari saat ini aku sudah hampir mencapai kantorku. Aku membelokkan motorku masuk kedalam parkiran dan dengan hati-hati mengunci motorku disana. Dengan tubuh masih berbalut jaket tebal, aku berjalan menyusuri barisan motor yang terparkir disekelilingku. Tanganku yang masih memakai sarung tangan berusaha untuk melepaskan masker dari wajahku. Aku memperhatikan sekelilingku jika saja ada sosok yang aku kenal. Namun rupanya pagi itu suasana masih terlampau sepi. Apakah aku sudah telat? Batinku agak sedikit khawatir. Aku lihat waktu pada arlojiku menunjukkan waktu pukul 07.48 pagi. Ternyata aku tidak terlambat. Lantas mengapa keadaan 8
Inside : The Red sepi disini? Apakah karena orang-orang sudah mulai sibuk dengan perkerjaannya masing-masing? Ataukah aku yang memang terlalu santai? Aku menyadari bahwa alasanku datang pagi ini adalah karena ada undangan pertemuan dengan pimpinanku jam delapan nanti. Masih ada waktu sekitar duabelas menit lagi. Namun nampaknya aku harus bergegas menuju ruang pertemuan. Aku tersenyum pada petugas keamanan yang berjaga didepan pintu. Pintu masuk yang aku buka memang tidak seberat kelihatannya, namun tetap saja aku harus berhenti sejenak ketika ingin membukanya. Kini aku merasa begitu mengenal lorong yang aku lalui. Sebuah gang yang hanya bisa dilalui oleh empat orang berbanjar dengan penerangan seadanya. Sepanjang perjalanan aku melalui begitu ruangan yang dibatasi oleh kaca-kaca bertirai. Hingga akhirnya aku masuk kesebuah ruangan cukup besar berisikan beberapa barisan meja kerja dengan berbagai benda diatasnya. Aku berjalan menuju meja kerjaku. Kulihat tidak ada perubahan yang berarti sejak terakhir aku melihat meja itu. Hanya berisikan satu set komputer, tumpukan kertas, dan sekumpulan alat tulis. Paling-paling hanya terdapat beberapa lembar dokumen baru yang nampaknya baru diletakkan pagi ini. Aku ingin tahu apa isinya, namun ketikan aku melihat begitu banyaknya tulisan didalamnya, aku mengurungkan niat. Dokumen itu akhirnya menekuk lemas seraya aku letakkan kembali diatas meja. Aku tidak lagi memikirkan apa isi dokumen tersebut. Saat ini aku hanya memikirkan untuk bergegas menemui atasanku sesegera mungkin. Tubuh ini juga tanpa sadar mencopot tas yang sejak tadi menempel di pundakku, melepas jaket dan sarung tangan yang menyelubungi tubuhku. Dasi yang kupakaipun nampaknya telah bergeser dari tempatnya. Bagaikan merasa sesak dengan dekapan jaket yang melindunginya dari terpaan udara hitam Jakarta. Kuberi sedikit nafas lega hingga akhirnya dasi ini kembali ke tempatnya semula. Setelah melewati lorong yang berbeda aku tiba didepan ruangan pimpinanku. Langkahku terhenti, seakan ragu untuk kembali melangkah maju. Tangankupun begitu kaku. Padahal tidak ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Kutarik nafas panjang, dan akhirnya kurasakan tubuhku lebih rileks dari sebelumnya. Tanganku mulai mau menuruti keinginanku untuk mengetuk pintu pimpinanku dan memutar kenop pintunya setelah terdengar jawaban dengan nada suara yang agak berat dari pimpinanku. Pintu itu kubuka dengan sangat perlahan, namun ia justru menderit kencang. Seakan aku telah menyakitinya, derit itu memecah keheningan pagi di tempatku berada. Nampak sosok pria paruh baya yang duduk dengan tegak mengamatiku dari balik mejanya. Pandangannya begitu tajam hingga hampir saja aku terdiam lagi didepan pintu ini. 9
Inside : The Red “Khairul ya? Masuklah”, nada suaranya semakin besar begitu tahu aku yang mengintipnya dari balik celah pintu yang terbuka. Nada suara ini memang khas miliknya seorang. Hanya milik Imawan Aulia, pimpinanku di BIN ini. Lebih tepatnya sebagai atasan di departemen yang aku tempati. Orangnya memang tegas dan jarang bicara, namun aku sendiri tidak mengetahui banyak tentang beliau, apa yang beliau pikirkan, dan sifat aslinya. Satu hal yang aku ketahui pasti hanyalah beliau memiliki usia yang hampir mendekati dua kalinya usiaku saat ini. Apakah ini suatu pertanda bahwa pengalaman beliau juga mendekati dua kali dari seluruh pengalaman hidupku? “Ada apa Pak? Saya rasa ada yang ingin Bapak sampaikan pada saya”. Pak Imawan tersenyum saja, namun tidak lama. Kulihat ia langsung menampakkan wajah serius seperti yang biasa kutemui. “Bagaimana perkembangan penyelidikan yang Kamu lakukan?”. “ Yah, untuk saat ini saya hanya bisa mengatakan belum ada kemajuan yang berarti, Pak”. “Hmm...apa kamu mengetahui apa yang dilakukan Lim?”. “Lim...?”, Mulutku berhenti bicara. Lim merupakan ketua tim yang dibentuk untuk menyelidiki jaringan teroris di Indonesia. Lim Sumarta, bagiku ia seperti sosok wanita yang tidak memerlukan pria disisinya. Entahlah, tapi ia memang begitu hebat. Meski wanita, tapi setiap kemampuannya selama aku mengenalnya di BIN ini memang sangat disegani. Namun garis keturunan Tionghua yang berada dalam dirinya juga membuatnya agak diremehkan oleh beberapa orang yang iri dengannya, apalagi ia seorang wanita. “Ya, berita terakhir yang saya dengar memang Ia sedang menyelidiki jaringan teroris ini di daerah Jawa Tengah. Hanya saja saya tidak tahu persisnya. Setelah itu saya tidak mendapatkan lagi berita darinya ataupun tentangnya”. “Tidak ada berita lagi?...”, Pak Imawan memutus ucapannya. Namun aku juga tidak berkata apa-apa karena memang aku menyadari kalimat beliau tidak hanya sampai di situ. “Khairul, memang tidak ada berita apa-apa lagi tentang Lim. Juga mengenai keberadaannya”. Mataku sedikit terbelak, dan kemudian dahiku mengkerut. “Maksud Bapak?”. “Yah...kasarnya bisa saya katakan bahwa Lim menghilang”. “Menghilang?”, tanpa sadar aku menaikkan nada suaraku. Merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan beliau. Namun, ketika aku memastikannya dengan memperhatikan raut wajahnya, Nampaknya memang tidak ada maksud untuk berbohong dari ucapan pak Imawan. “Mohon Kamu tidak berbicara keras tentang ini, Khairul. Baru Kamu saja yang saya beritahukan masalah ini. Saya masih merahasiakannya dari anggota tim yang lainnya”. “Kenapa sampai perlu dirahasiakan begini Pak? Kita tidak bisa memastikan apa yang akan terjadi dengan Lim”. “Saya tahu, tapi saya hanya 10
Inside : The Red merasa untuk menutupinya sementara waktu ini. Tapi ada yang lebih penting dari itu yang ingin saya sampaikan ke Kamu”. “Apa itu Pak?”. “Dengan hilangnya Lim, maka artinya posisi ketua tim penyelidikan menjadi kosong. Secara struktur tim, seharusnya Febrianto yang menggantikannya, mengingat Ia adalah wakil ketua tim ini. Tapi saya ingin Kamulah yang mengisi posisi Lim”. “Saya? Kenapa saya? Saya rasa memang seharusnya Febrianto lah yang menggantikan Lim. Apalagi Ia sudah ikut serta sejak awal tim ini dibentuk. Sedangkan saya bisa dikatakan orang baru di tim ini. Ia yang lebih pantas karena lebih mengetahui apa yang harus dilakukan dengan pengalamannya”. “Saya tahu, Khairul. Saya tahu itu. Tapi saya rasa memilih Kamu adalah pilihan yang jauh lebih baik. Jika kamu masih menolak, maka saya akan mengubah pembicaraan ini menjadi perintah dari atasan. Bukan lagi permintaan dari seseorang bernama Imawan Aulia”. Beliau mengatakan itu dengan nada yang agak tinggi, tapi beliau tidak tampak marah bagiku. Akupun juga akhirnya menerima perintah tersebut. “Baik Pak. Saya akan laksanakan tugas saya semaksimal mungkin”. “Terimakasih Khairul. Satu lagi, saya minta Kamu tidak mengatakan apa-apa terlebih dahulu pada rekan-rekan tim. Biar saya yang akan mengatakan langsung pada mereka”. Aku agak heran dengan pernyataannya, tapi saat ini aku tidak bisa berpikir dengan jernih. “Baiklah Pak, kalau begitu saya permisi dulu”. Kulihat pak Imawan menganggukkan kepala seraya tersenyum. Aku hanya mampu melihat senyumnya dari balik celah pintu yang sedang kututup.
11