Sulitnya Mempertahankan Idealisme M. Khari Secario 12 Mei 2008 Idealisme, begitu mendengar perkataan ini tentu yang terlintas di benak sebagian orang akan mengarah kepada kegiatan aktivis. Khusunya aktivis yang berasal dari kalangan mahasiswa. Karena, ketika para aktivis tersebut melakukan ”aktivitasnya”, mereka selalu membawa idealisme mereka. Setiap orang tentunya memiliki idealisme sendiri-sendiri. Karena nantinya idealisme itulah yang akan membentuk seseorang untuk menjadi manusia yang seperti apa. Makna dari idealisme sendiri seharusnya adalah pola pikir atau cara pandang seseorang terhadap suatu permasalahan. Yang nantinya akan mengarah pada sikap yang terbentuk pada seseorang. Sesuai asal katanya, ”ideal”, setiap orang akan menganggap bahwa pandangan merekalah yang ”benar”. Umumnya, idealisme yang dimiliki seseorang hanya satu secara keseluruhan. Dan biasanya tidak tepat sama antara yang satu dan yang lainnya. Idealisme seseorang dapat terbentuk dari lingkungan tempat ia banyak melakukan aktivitas sosial atau komunikasi. Namun dapat juga terbentuk dengan sendirinya karena sifat intuisi seseorang. Idealisme orang lain dapat pula memberikan pengaruh dalam membentuk idealisme seseorang. Namun satu hal yang pasti, adalah kita tidak boleh memaksakan idealisme kita kepada orang lain. Kita hanya boleh menunjukkan bahwa seperti inilah wujud idealisme yang kita yakini. Tentunya ada idealisme yang kuat dan lemah. Perlu diketahui, seseorang yang beridealisme kuat biasanya cenderung keras kepala, dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Tentunya hal seperti ini kurang disukai masyarakat umum. Namun, yang bisa dibanggakan dari mereka adalah, mereka bisa mempertahankan idealisme mereka tanpa goyah meskipun mereka sedang berada pada posisi ”diatas” atau ”dibawah”. Ketika yang lain terlena oleh kenikmatan saat berada dipuncak, orang ini bisa dengan tetap menjunjung idealismenya. Begitu pula ketika kita sedang berada diposisi terjepit, mereka tidak bisa melepaskan idealisme mereka walau sebentar. Saat orang lain ”menjilat”, dengan menunjukkan bahwa mereka ”beridealisme” sama seperti orang lain atau seorang pemimpin, orang yang ”keras kepala” (baca:beridealisme tinggi) ini, akan menunjukkan idealismenya apa adanya. Tidak peduli meski ia mendapat tekanan ataupun dipojokkan oleh atasannya dan orang lain. Yang menarik adalah, biasanya orang yang beridealisme ini meski keras kepala, namun dapat mendapat tempat yang disegani oleh orang lain. Meskipun terkadang dalam beberapa hal ia akan ”disingkirkan” karena dianggap mengganggu. Lucunya lagi, banyak orang yang akan kesal ketika berbicara atau 1
berdebat dengan orang yang beridealisme tinggi ini. Umumnya ketika orang lain tidak bisa berkata apa-apa lagi, mereka akan mengatakan sesuatu yang mengarah pada menyalahkan kita karena terlalu keras kepala, kita harus lebih fleksibel dengan pendapat orang lain, atau bahkan semakin ngotot memaksakan idealisme mereka. Intinya, mereka akan menganggap bahwa apa yang kita idealismekan adalah salah, dan kita tidak boleh menganggap idealisme kita yang paling benar. Padahal, dengan berbicara seperti itu mereka sendiri telah mengatakan secara tidak langsung bahwa idealisme merekalah yang paling benar. Biasanya kita melihat sosok yang paling memiliki idealisme yang tinggi adalah para aktivis. Namun, sebenarnya idealisme mereka sendiri telah ”runtuh” karena ”aksi” (baca:demonstrasi) yang mereka adakan sendiri. Maka berikut ini akan saya paparkan alasan-alasan yang menyatakan bahwa para aktivis sebenarnya adalah orang yang beridealisme rendah. Dengan catatan saya tidak menyangkal bahwa tetap ada orang-orang yang beridealisme tinggi diantara para aktivis tersebut. Ketika seorang mahasiswa menjadi aktivis, dan dengan bangganya melakukan aksi demo, mereka mengatasnamakan tindakan mereka sebagai bentuk tuntutan rakyat. Namun, sudah banyak orang yang melakukan sesuatu dengan alasan ”berdasarkan tuntutan”. Yang lebih berat lagi, mereka mengatasnamakan ”untuk rakyat” demi melegalkan tindakan mereka. Disini kita melihat ”seakan-akan” idelisme mereka sangat tinggi. Nyatanya, rakyat yang ”dibela” ini merupakan ”rakyat” yang mana? Tentunya yang mendapatkan manfaat dari aktivitas mahasiswa ini bukan rakyat Indonesia keseluruhan. Namun hanya segelintir orang yang memang memanfaatkan dan mengompori demi keuntungan pribadi. Faktanya, saat saya mengikuti satu acara BEM fakultas (dalam hal ini BEM FMIPA), ada satu bagian acara yang mana kelompok saya mendapat bagian acara untuk mewawancarai warga sekitar mengenai pendapat mereka terhadap pemerintah. Hal pertama yang saya bingungkan, kenapa acara dari fakultas saya (MIPA) malah menanyakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan sains? Malah menjerumus ke arah politik? Lucunya, tanpa diminta, warga tersebut mengatakan bahwa mereka tidak menyukai aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Mereka bahkan mengatakan alasannya dengan jelas. Mulai dari mengganggu ketertiban, membuat suasana menjadi tidak aman, hingga tidak terasa manfaatnya untuk masyarakat. Karena inilah terjadi perdebatan halus antara warga dan anggota kelompok saya, dan saya hanya bisa tertawa dalam hati. Yang membuat lebih lucu lagi, pada aksi tahun ini, disampaikan tugu rakyat (tujuh gugatan rakyat). Memang tulisannya gugatan rakyat, tapi tahukah anda bahwa yang merumuskan hal tersebut sebenarnya dari pihak mahasiswa sendiri. Jadi seharusnya namanya tujuh gugatan mahasiswa. Jelas sekali sebenarnya mahasiswa melakukan aksi bukan semata-mata karena rakyat, tapi mereka ”memaksakan diri” ikut aksi karena rakyat. Yang lebih menyedihkan, yang turut aksi-aksi vital seperti itu adalah mahasiswa. Memang mahasiswa adalah orang yang berintelektual tinggi. Namun apakah mahasiswa yang ikut aksi tidak bisa melakukan sesuatu yang ”lebih intelek”? Menyampaikan aspirasi dengan cara seperti itu hanya akan 2
membuang-buang waktu, tenaga, dan uang sekaligus. Lebih baik ketiga hal tersebut langsung digunakan untuk kepentingan rakyat. Yang turun aksi tidak dapat dihitung jumlahnya, tapi yang turun langsung membantu rakyat masih bisa dihitung dengan jelas tiap tahunnya. Mahasiswa tersebut tidak menggunakan kapasitas mereka sebagai mahasiswa dengan baik. Atau malah mereka tidak mengerti kapasitas mereka sebagai seorang mahasiswa? Harusnya mereka sadar, tidak semua orang bisa memiliki kesempatan emas untuk bisa duduk di bangku universitas (baca:berkuliah). Maka daripada ikut demo yang kuli panggul pun bisa melakukannya, lebih baik kita bersungguh-sungguh menjalani perkuliahan agar bisa memberikan sumbangan yang lebih nyata bagi peradaban bangsa kita. Coba hitung, berapa banyak orang pintar yang dihargai. Sangat sedikit sekali tentunya. Karena kita tidak membiasakan diri menghargai sebuah pendidikan. Ibaratnya, jika dalam satu semester seorang mahasiswa aktivis mengambil 20 sks, maka pembagiannya 12 sks untuk ikut aksi, sedangkan 8 sks untuk meta kuliah lainnya (baca:mata kuliah tambahan atau mata kuliah pilihan bebas-bebas ikut kuliah atau tidak-). Jika kita orang yang berintelektual tinggi tidak memikirkan mutu pendidikan bangsa kita, maka siapa nantinya yang akan memikirkannya? Yang lebih menarik disini adalah aktivis yang berasal dari pengurus masjid, katakanlah rohis fakultas yang terkenal akan ”keilmuannya” atas ilmu-ilmu agama. Salah satu golongan aktivis adalah akhwat-akhwat (wanita) rohis fakultas. Ketika dikampus, mereka dikenal menutup diri dari pandangan umum. Hingga selalu dipasang hijab (pembatas) berupa kain atau triplek sehingga tidak terlihat dari ikhwan (laki-laki) nya ketika shalat di masjid atau mushala. Bahkan ada yang repot-repot memutar supaya tidak melewati bagian depan tempat shalat laki-laki. Tujuannya, agar tidak terlihat. Akhwat-akhwat ini juga tidak mau membaur dengan kerumunan. Khususnya kerumunan laki-laki. Maskipun ditempatkan agak berjauhan dari laki-lakinya. Pokoknya, sebisa mungkin ”tertutup”. Nyatanya, banyak akhwat yang ikut aksi. Padahal, dengan ikut aksi paling tidak ada keinginan untuk ”dilihat” meskipun tidak mereka akui. Meski mereka menyangkal, toh sama saja karena mereka berada ditempat umum dan pasti terlihat. Kecuali jika mereka ikut aksi dengan menutupi kelompok wanitanya dengan berselubung kain atau papan yang bisa menghalangi pandangan orang kepada mereka. Ditambah lagi mereka akan membaur dengan anggota aksi yang laki-laki. meskipun dikelompokan, pasti ada saat dimana mereka semua akan membaur. Apalagi jika terjadi kerisuhan dan suasana tidak terkendali. Bisa jadi sang akhwat ter-”tabrak-tabrak” oleh anggota aksi laki-lakinya. Atau jangan-jangan akhwatnya malah mengharapkan agar bisa ”bertabrak-tabrakan” dengan laki-lakinya? Kita sudah banyak melihat betapa ”idealisme” yang dipertahankan mahasiswa ini tidak banyak memberikan perubahan yang berarti. Terkadang cara yang dilakukan pun tidak mencerminkan kapasitas intelektual mereka. Lihat saja beberapa kasus dimana terdapat aksi menggoyang-goyangkan (baca: merobohkan) pagar yang berarti merusak fasilitas umum meskipun pagarnya tidak roboh, paling tidak sedikit banyak akan terdapat kerusakan. Aksi membakar ban, yang mengganggu ketertiban umum karena membuat macet dan menam3
bah angka jumlah polusi. Mengajak pelajar ikut aksi, yang sama sekali tidak menunjukkan contoh yang baik. Hingga melempari gedung kejaksaan agung dengan telur busuk yang tentu saja mengganggu kenyamanan umum. Pada kasus terakhir ini dilakukan pada sekitar pertengahan 2006. Saya ingat jelas saat itu merupakan awal saya masuk kuliah dan sedang dilaksanakan kunjungan ke BEM universitas. Ketika saya tanyakan hal tersebut ke ketua BEM yang saat itu menjabat, jawabannya hanya mengatakan bahwa itu merupakan simbolisme kekecewaan rakyat. Simbolisme koq seperti ini? Jika memang itu merupakan benar-benar kekecewaan rakyat, tentunya setiap rakyat yang melintas akan melempari kejaksaan agung dengan telur busuk. Tentu saja ini hanya alasan demi membela diri. Parahnya, saya sampai dikatakan didepan umum, jika tidak mau membela rakyat, dipersilahkan untuk keluar dari universitas. Memang siapa dia? Padahal rakyat pun tidak merasa meminta bantuan kepada kita. Mereka saja yang mau sok jadi pahlawan kesiangan. Jadi pahlawan saja kesiangan, musuh sudah kabur duluan. Yang selalu jadi pertanyaan saya, kemana mereka ketika sudah lulus? Jika memang mereka punya idealisme yang kuat, tentu perjuangan ”membela rakyat” akan terus dilakukan. Nyatanya hanya segelintir orang yang masih berjuang ”membela rakyat”. Setidaknya cara mereka membela menjadi lebih baik. Sisanya yang ribuan orang? Tidak jelas kabarnya. Ada beberapa yang menjadi orang sukses. Jelas ini menjadi suatu pergeseran idealisme yang jika mau dikatakan, dari ”membela rakyat” menjadi ”membela perut”. Alhasil, lulusan universitas ternama yang seharusnya menjadi pilar peradaban bangsa, tidak menghasilkan kemajuan apa-apa. Bahkan tidak bisa menjadi pelopor perubahan bangsa. Kenapa tidak bisa? Karena dahulu saat kuliah hanya sedikit yang bisa didapat dari materi kuliahnya karena kala itu ketika jadi mahasiswa sibuk dengan ”aksi”-nya. Wajar jika bangsa ini tidak kunjung berubah. Mahasiswa sebagai bagian penting dari masyarakat tidak bisa menggunakan kapasitasnya sebagai mahasiswa dengan maksimal. Bahayanya, jika tidak ada lagi orang yang bisa menangani permasalahan yang seharusnya kita tangani. Hingga ada satu ungkapan yang terlontar bahwa mahasiswa hanya bisa menggulingkan pemerintahan, tapi tidak bisa membangun dan menata ulang bangsa ini. Wajar jika akhirnya ada pihak yang memanfaatkan mobilitas mahasiswa dengan iming-iming ”demi rakyat”. Bangsa kita sudah terlalu lama duduk enak menikmati sesuatu yang harusnya kita usahakan. Kita jangan hanya bisa menuntut pemerintah. Kita juga harus berusaha sendiri. Jika memang ingin bangsa kita selaras dan berubah, maka rakyat harus bisa mendukung pemerintah. Jangan hanya bisanya menuntut dan menuntut. Karena yang sekarang terlihat adalah betapa perhatian pemerintah sudah sangat besar untuk rakyat. Namun, rakyatnya selalu tidak puas. Ingin lebih. Merasa ada ketidak adilan. Wajar saja jika pemerintah terasa begitu. Harusnya kita berpikir, bukan hal mudah menjadi pemimpin dari bangsa dengan jumlah masyarakat yang sangat banyak. Cina bisa maju, karena masyarakatnya mau diatur oleh pemerintah. Sedangkan kita tidak. Masing-masing masyarakat ada maunya sendiri. Tentu sulit mewujudkan permohonan dari sekian ratus juta orang. Harus ada yang mengalah. Sedangkan terlihat jelas, masyarakatlah yang tidak mau mengalah. 4
Salah satu ”kekurang-ajaran” kita adalah mengenai harga minyak. Di luar sana, harga BBM selalu berfluktuasi tiap harinya tergantung harga minyak dunia. Jadi harga hari ini dan kemarin bisa berbeda. Bisa naik atau turun keesokan harinya. Tapi di Indonesia, harga BBM selalu sama hinga ada keputusan naik dari pemerintah. Artinya, pemerintah berusaha mati-matian mencari cara mensubsidi harga BBM ketika harga minyak dunia melambung tinggi seperti sekarang. Hingga nantinya bukan hal aneh jika terjadi ledakan harga BBM. Parahnya lagi, kita selalu marah Ketika BBM naik. Harusnya kita sadar, tidak mungkin terlena dengan menikmati BBM murah terus-menerus. Bisabisa pemerintah bangkrut. Apalagi, dengan sistem subsidi yang saya sebutkan sebelumnya akan membuat kemungkinan harga BBM turun menjadi mustahil meskipun harga minyak dunia menjadi amat sangat murah. Tapi kita tidak pernah mau mengerti. Seperti itukah wujud idealisme yang dibanggakan sebagian masyarakat kita, khususnya para aktivis? Bangsa ini tidak bisa berubah dengan mudah seperti kita membalikan telapak tangan. Semua harus ada proses yang sangat panjang. Namun, masih saja ada orang yang menuntut program 100 hari kerja atau sejenisnya. Yang terpenting adalah menjalankan apa yang memang menjadi kapasitas kita, sesuai peran kita saat ini. Jika kita yang mampu menjalani suatu peran malah memilih peran lain, maka siapa lagi yang bisa? Jika dikatakan semua itu demi idealisme, maka perlu ditanyakan lagi idealisme siapa dan apa idealismenya. Karena terlihat jelas seperti inilah wujud sebenarnya dari idealisme mereka para aktivis meskipun mereka berkilah macam-macam. Saya tekankan, saya tidak menyalahkan sama sekali idealisme apa yang mereka para aktivis anut. Sekalipun saya tidak pernah menyalahkan dalam tulisan ini. Saya hanya mempertanyakan sebenarnya idealisme apa, siapa, dan untuk apa yang mereka anut. Yang utama, saya hanya ingin menunjukkan betapa sulit mempertahankan idealisme yang kita junjung. Mungkin terasa lebih mudah ketika posisi kita ”di atas” meski banyak godaannya bila dibandingkan ketika posisi kita ”di bawah”. Seperti halnya contoh yang saya sebutkan. Sulitnya mempertahankan idealisme yang benar-benar membela rakyat ditengah pengaruh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan situasi. Sulitnya mempertahankan idealisme kita sebagai mahasiswa, ketika baru masuk kuliah kita berambisi belajar dan berprestasi namun akhirnya menjadi aktivis. Hingga sulitnya mempertahankan idealisme keyakinan (baca:agama) yang akhirnya runtuh hanya karena satu momen yang sama sekali tidak ada maslahatnya. Tentu dapat dikatakan bahwa bentuk tulisan ini merupakan satu bentuk idealisme yang saya yakini. Namun saya membuat ini dengan harapan agar orang lain mengerti idealisme saya, karena saya berulang kali mendapat tekanan atas idealisme yang saya junjung. Saya tekankan sekali lagi bahwa saya tidak menyalahkan idealisme lain di tulisan ini, hanya mempertanyakan idealisme tersebut. Juga saya tidak ada maksud untuk memaksakan idealisme saya. Tapi saya hanya memaparkan seperti apa idealisme saya dengan maksud agar pihakpihak yang menekan saya dapat mengerti dengan jelas apa idealisme saya dan betapa sulitnya mempertahankan idealisme. Seperti apa yang saya alami dalam mempertahankan idealisme saya. 5