Indobil.docx

  • Uploaded by: Nabilah Widya Ismaya
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Indobil.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,962
  • Pages: 19
Ken Kawan Soetanto, Arek Suroboyo Peraih Gelar Profesor dan Empat Doktor di Jepang Prof. Dr. Ken Kawan Soetanto (lahir di Surabaya tahun 1951) adalah seorang profesor di School of International Liberal Studies (SILS) dan mantan Dekan Urusan Internasional Divisi Waseda University, dimana ia juga Direktur Klinik Pendidikan dan Science Research Institute (CLEDSI). Sejak tahun 2005 ia juga menjadi profesor di Venice International University, Italia. Sebelumnya menjabat posisi fakultas di Amerika Serikat pada Universitas Drexel dan di Fakultas Kedokteran Universitas Thomas Jefferson. Dr Soetanto adalah pakar yang memegang empat gelar doktor dalam disiplin ilmu yang terpisah (Rekayasa, Kedokteran, Farmasi Sains dan Pendidikan), dan penelitian pada latar belakang yaitu bidang interdisipliner dari bidang kempat ini. Ia telah mempublikasikan secara luas di beberapa bidang, terutama psikologi, pendidikan, pedagogi, mekanisme motivasi, obat-obatan, DDS, pengukuran dan peralatan, serta rekayasa biomedis. Metode perkuliahannya unik dan sangat memotivasi, telah banyak didokumentasikan di Jepang dan lebih jauh sebagai ‘Soetanto Metode’ dan ‘Soetanto Efek’. Dia adalah anggota fellow dari Society Akustik of America, dan The American Institute of Ultrasound Kedokteran, serta anggota senior IEEE, dan telah menjabat sebagai penasihat pemerintah untuk Jepang Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri, dan sebagai anggota dari Visi Pemerintah Jepang inisiatif abad ke-21. Prof Ken Soetanto menggondol gelar profesor dan empat doktor selama bertahun-tahun mengabdikan hidupnya di Jepang. Prestasi akademiknya tersebut diakui di Jepang dan AS dengan menjadi profesor di usia 37 tahun. Pada 1988-1993, Soetanto yang juga direktur Clinical Education and Science Research Institute (CERSI) ini menjadi asosiate professor di Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University, Philadelphia, USA. Ia juga pernah tercatat sebagai profesor di Biomedical Engineering Program University of Yokohama (TUY). Saat ini Prof Ken Sutanto tercatat sebagai prosefor di almameternya, School of International Liberal Studies (SILS) Waseda University, dan profesor tamu di Venice International University, Italia. Gelar itu dirangkap dengan jabatan wakil dekan di Waseda University. Kemampuan otak pria kelahiran 1951 ini sungguh brilian karena mampu menggabungkan empat disiplin ilmu berbeda. Itu terungkap dari empat gelar doktor yang diperolehnya. Yakni, bidang Applied Electronic Engineering di Tokyo Institute of Technology, Medical Science dari Tohoku University, dan Pharmacy Science di Science University of Tokyo. Yang terakhir adalah doktor bidang ilmu pendidikan di almamater sekaligus tempatnya mengajar Waseda University. Di luar status kehormatan akademik itu, Prof Ken Soetanto juga masuk birokrasi di Negeri Sakura dan tercatat sebagai komite pengawas (supervisor committee) di METI (Japanese Ministry of Economy, Trade, and Industry atau semacam Menko Perekonomian di RI). Selain itu juga ikut membidani konsep masa depan Jepang dengan menjadi Japanese Government 21st Century Vision. JAKARTA – Prestasi membanggakan ditorehkan Prof Ken Soetanto. Warga Surabaya ini menggondol gelar profesor dan empat doktor selama bertahun-tahun mengabdikan hidupnya di Jepang. Hebatnya lagi, prestasi akademiknya tersebut diakui di Jepang dan AS dengan menjadi profesor di usia 37 tahun. Pada 1988-1993, Soetanto yang juga direktur Clinical Education and Science Research Institute (CERSI) ini menjadi asosiate professor di Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University, Philadelphia, USA. Ia juga pernah tercatat sebagai profesor di Biomedical Engineering Program University of Yokohama (TUY). Saat ini pria beristri juga perempuan Surabaya ini tercatat sebagai prosefor di almameternya, School of International Liberal Studies (SILS) Waseda University, dan profesor tamu di Venice International University, Italia. Gelar itu dirangkap dengan jabatan wakil dekan di Waseda University. Kemampuan otak pria kelahiran 1951 ini sungguh brilian karena mampu menggabungkan empat disiplin ilmu berbeda. Itu terungkap dari empat gelar doktor yang diperolehnya. Yakni, bidang Applied Electronic Engineering di Tokyo Institute of Technology, Medical Science dari

Tohoku University, dan Pharmacy Science di Science University of Tokyo. Yang terakhir adalah doktor bidang ilmu pendidikan di almamater sekaligus tempatnya mengajar Waseda University. ”Saya sungguh menikmati dengan pekerjaan sebagai akademisi,” tutur Soetanto dalam wawancara khusus dengan koran ini di President University, Jababeka Education Park, Cikarang, Jawa Barat, Sabtu lalu. Soetanto kebetulan berada di Indonesia untuk mendampingi Dr Kotaro Hirasawa (dekan Graduate School Information Production & System Waseda University) dan Yukio Kato (general manager of Waseda University) dalam penandatanganan MoU antara President University dan Waseda University. President University adalah institusi perguruan tinggi berbasis kurikulum bertaraf internasional yang berlokasi di tengah-tengah sekitar 1.040 perusahaan di kawasan industri Jababeka, Cikarang. Sebagian mahasiswa President University berasal dari Cina, Vietnam, dan Jepang. Di luar status kehormatan akademik itu, Soetanto juga masuk birokrasi di Negeri Sakura. Pria yang pernah berkawan dengan mantan presiden RI BJ Habibie ini ini tercatat sebagai komite pengawas (supervisor committee) di METI (Japanese Ministry of Economy, Trade, and Industry atau semacam Menko Perekonomian di RI). Selain itu juga ikut membidani konsep masa depan Jepang dengan menjadi Japanese Government 21st Century Vision. ”Pada jabatan tersebut saya berpartisipasi langsung menyusun GBHN (kebijakan makro)-nya Jepang,” tutur Soetanto yang masih fasih berbahasa Indonesia dan Jawa berlogat Suroboyoan ini. Buah pemikiran Soetanto yang terkenal adalah konsep pendidikan “Soetanto Effect” dan 31 paten internasional yang tercatat resmi di pemerintah Jepang. Dan, mau tahu berapa Soetanto digaji? Jumlahnya sangat mencengangkan untuk ukuran akademisi bergelar profesor atau mereka yang pernah menduduki jabatan tertinggi di perguruan tinggi (rektor). Kementerian Pendidikan Jepang mengganjar Soetanto dengan gaji US$ 15 juta (Rp 144 miliar) per tahun. Sungguh “perhatian” dari pemerintah yang luar biasa! Di antara segudang prestasi itu, bisa jadi yang paling membanggakan, khususnya bagi warga Surabaya, adalah latar belakang sekolah dasar dan menengahnya yang ternyata dihabiskan di kota buaya. Soetanto muda mengenyam pendidikan di SD swasta di Kapasari, SMP Baliwerti, dan SMA Budiluhur yang dulu menjadi jujugan sekolahan warga keturunan Tionghoa. Kritikan untuk pendidikan RI oleh Prof. Dr. Ken Soetanto : Seusai menandatangani MoU, Soetanto memberikan ceramah akademik popular di hadapan ratusan mahasiswa President University. Isi ceramahnya menarik perhatian mahasiswa bahkan beberapa jajaran direksi PT Jababeka, termasuk Dirut PT Jababeka Setyono Djuandi Darmono. Maklum, Soetanto membeber pengalamannya bisa “menaklukkan” dunia perguruan tinggi Jepang kendati dirinya hingga sekarang masih berkewarganegaraan Indonesia . Apalagi, dirinya berasal dari Kota Surabaya yang nyaris tak diperhitungkan di dunia akademisi Jepang. Selebihnya, Soetanto banyak mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang perlu dibenahi untuk menghasilkan produk berkualitas. ”Sistem pendidikan di sini (Indonesia) sudah tertinggal jauh bahkan di bawah Malaysia dan Vietnam,” jelas Soetanto dengan gaya bicara berapi-api. Yang ironis, penghargaan terhadap staf pengajar atau guru di Indonesia juga sangat kurang. Soetanto lantas mencontohkan kecilnya gaji guru yang memaksa mereka harus bekerja sambilan. ”Dan, karena faktor tersebut jangan heran bila banyak ilmuwan Indonesia mencari penghasilan di luar negeri,” pungkas Soetanto.

KISAH HIDUP I decided long ago / Never to walk in anyone’s shadow / If I fail, if I succeed / At least I’ll live as I believe / No matter what they take from me / They can’t take away my dignity Because the greatest love of all / Is happening to me / I found the greatest love of all / Inside of me The greatest love of all / Is easy to achieve / Learning to love yourself / It is the greatest love of all Kutipan lirik lagu The Greatest Love of All di atas, dapat menggambarkan geliat dan pergumulan hati Ken Soetanto, pada saat ia terpaksa harus berhenti bersekolah. Tahun 1965, ketika terjadi

gejolak politik, Chung-Chung High School di Surabaya – Jawa Timur ditutup pemerintah. Padahal waktu itu, ia baru duduk di kelas satu SMA. Maka, selanjutnya ia bekerja di toko milik kakaknya. Sembilan tahun kemudian, akhirnya ia berhasil berangkat ke Jepang untuk melanjutkan sekolah. Gelar profesor dan empat gelar PhD/Doktor dari empat universitas berbeda di Jepang. Yaitu PhD di bidang aplikasi rekayasa elektronika dari Tokyo Institute of Technology (1985), PhD di bidang kedokteran dari Universitas Tohoku (1988), kemudian gelar Doktor ilmu farmasi dari Science University of Tokyo (2000), dan Doktor ilmu pendidikan dari Universitas Waseda (2003). Bahkan dari pengembangan interdisipliner dari keempat ilmu yang dikuasainya, Soetanto telah menghasilkan 29 paten di Jepang dan dua paten di Amerika Serikat. Berbagai penghargaan berhasil diraih Soetanto, di antaranya Outstanding Achievement Awards in Medicine and Academia dari Pan Asian Association of Greater Philadelphia, AS. Juga predikat profesor riset terbaik dan profesor mengajar terbaik selama tujuh tahun berturut-turut di Toin University of Yokohama. Sebuah pencapaian yang bukan hanya sangat luar biasa, akan tetapi bahkan terbilang nyaris mustahil. Mengingat, sebelumnya begitu banyak rintangan yang harus ia hadapi. Mulai dari para akademisi Jepang yang meremehkannya sampai kisah masa kecilnya yang rapuh dan mengidap penyakit TBC saat masih tinggal bersama ibu tirinya. Lalu, dari mana semua keberhasilannya itu ia peroleh? Jawabannya, seperti bunyi pepatah lama “There is no Greatness, without Suffering! Tak ada KEAGUNGAN tanpa PENDERITAAN“. Seperti apa persisnya penderitaan yang di lalui Soetanto di masa kecilnya? Serta bagaimana ia terus berusaha berkelit dari semua rintangan yang datangmenghadang? Berikut kronologinya. Sukses yang Tertunda Saat sekolah SMA-nya ditutup, Soetanto terpaksa bekerja sebagai tukang reparasi radio di toko milik kakaknya. “Setiap tutup toko jam delapan malam, saya belajar sampai jam lima pagi. Saya terus mengotak-atik radio dan tape. Semangat ini masih saya bawa sampai sekarang, dan inilah semangat yang kemudian mendorong saya untuk mengambil sekolah di Jepang,” kisahnya kepada majalah motivasi LuarBiasa. “Setelah saya bisa, kemudian saya mulai muter ke toko-toko elektronik yang ada di Blawuran, untuk menawarkan reparsi secara cuma-cuma. Saya ditanya kamu siapa? Apa bisa reparasi? Waktu itu orang belum percaya kepada saya. Biasanya saya jawab: nanti nggak usah bayar, kalau rusak komponennya saya ganti. Waktu itu saya keliling memakai sepeda.” Meski tokonya kemudian berkembang sangat pesat, sehingga Soetanto pun berhasil mengumpulkan banyak sekali uang, akan tetapi panggilan jiwanya tak berhenti mengusik. Ia tak sedikit pun bermimpi ingin menjadi pedagang, meski bakal berhasil sekaya apa pun. Keinginannya pada waktu itu hanya satu, yaitu ingin terus menuntut ilmu, dan menjadi ilmuwan. Akan tetapi dalam suasana sosial politik di Indonesia pada waktu itu, peluangnya boleh dibilang mustahil. Karena itulah mimpi berikutnya adalah sekolah di Jepang. “Untuk biaya sekolah ke Jepang, kebetulan saya punya tabungan dan kakak saya juga akan membantu separuhnya. Sebetulnya kakak saya menentang, dia bilang: orang yang lulus S1 saja inginnya menjadi manajer, lha kamu yang punya perusahaan sendiri kok mau kembali menjadi kere? Saya ingin sekolah lagi karena saya merasa bahwa selama berusaha mencari uang, perasaan saya hampa, sehingga hanya berjalan begitu-begitu saja. Saya memerlukan teknik, untuk bisa mengabdi kepada masyarakat. Sebetulnya saya punya dua pilihan, yaitu sekolah ke Jerman atau ke Jepang. Tetapi akhirnya saya lebih memilih ke Jepang.” Ketika akhirnya Soetanto berhasil meneruskan sekolah ke Jepang, perjuangan yang sesungguhnya baru dimulai. “Pada saat mulai belajar bahasa di sana, saya diremehkan. Sebab, saat sekolah itu umur saya sudah 27 tahun. Dan di sana, lazimnya pada saat umur 27 tahun, orang sudah lulus S3 dan sudah memperoleh gelar PhD. Kalau dihitung-hitung, saya sudah telat delapan tahun. Rencananya saya mau sekolah di Jepang selama satu tahun, tapi akhirnya sampai empat tahun. Pada saat memasuki tahun ketiga, tiba-tiba perusahaan kakak saya di Pasar Turi, terbakar. Waktu itu sekitar 3.500 sampai 4.500 toko terbakar habis dalam waktu 3 hari. Karena itu kakak saya bilang, ‘Maaf saya sudah sudah tidak bisa membantu biaya kamu lagi, kamu sebaiknya pulang sekarang.’ Saya jawab, ‘Saya pasti lulus! Untuk itu, saya tetap akan meneruskan sekolah tanpa kiriman dari kakak.’ Kebetulan saya di Jepang mengajar privat, dengan penghasilan 40 ribu yen, atau kira-kira sepertiga dari biaya hidup yang saya butuhkan. Singkatnya, never-never give up, saya kejar terus,” kisahnya, tentang masa-masa awal ia menerima cobaan. Soetanto berhasil menyelesaikan S1 dalam waktu empat tahun, S2 selama dua tahun, dan S3 di Tokyo Institut of Technology selama tiga tahun. “Setelah persis tiga tahun lulus S3, saya merasa harus pulang ke Indonesia, untuk membawa istri dan anak saya datang ke Jepang. Kebetulan saya

mempunyai dome yang murah, sehingga bisa mengajak istri dan anak tinggal di Jepang. Tapi ternyata setelah satu setengah tahun mencari pekerjaan, saya nggak mendapatkannya. Dari lima puluh surat aplikasi (lamaran) yang saya kirim nggak ada satupun yang dijawab! Saya sempat heran, Tokyo Institut of Technology sekolah saya itu, merupakan sekolah yang bagus, setara dengan MIT-nya Jepang. Nilai saya pun juga bagus, tapi nyatanya kok nggak ada satu pun yang mau membalas lamaran saya. Sampai akhirnya saya tahu, bahwa ternyata orang Indonesia atau orang luar negeri nggak mungkin bisa bekerja sebagai akademisi di Jepang. Ada semacam tembok penghalang yang merintangi. Saya terus berusaha mencari jalan keluar, sampai kemudian saya berkesimpulan, bahwa satusatunya cara agar bisa dapat pekerjaan, saya harus melebihi kepintaran orang Jepang. Saya harus lebih pintar, lebih jago dari mereka. Tapi bagaimana caranya? Pada saat itu saya sudah memiliki gelar PhD di bidang elektro,” kenang Soetanto.

Soetanto akhirnya kuliah lagi. Kali ini Soetanto mengincar gelar PhD di bidang kedokteran. “Mestinya, waktu yang saya butuhkan untuk sampai mencapai gelar PhD sekitar tujuh tahun. Tapi syukurnya, dalam waktu 3,5 tahun saya sudah meraih gelar Doktor. Dengan mengaintongi dua gelar PhD, saya merasa menjadi orang top. Kalau istilahnya orang Jepang, seperti ‘hantu yang membawa besi.’ Hantu itu sudah ditakuti, apa lagi masih ditambah membawa besi, maka akan sangat ditakuti dan kuat. Dalam pikiran saya, pasti saya bakal langsung dapat pekerjaan. Karena saya merasa seperti layaknya Doktor lulusan Stanford dan Doktor lulusan Harvard di Amerika. Tapi siapa sangka, pada saat saya kembali mencari pekerjaan, ternyata saya tidak juga mendapatkannya. Padahal biaya hidup, saya sudah nggak punya. Sampai anak istri saya ungsikan ke Hong Kong di tempat kakaknya. Karena tidak punya uang, tempat tinggal saya ganti dengan yang lebih kecil. Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ada telepon dari profesor saya, yang saya panggil dengan sebutan Profesor IT. Profesor ini benar-benar pintar, sangat hebat, patennya hampir mencapai 900 item, tetapi sangat kejam. Dia menelepon saya, memberi kabar bahwa dia sudah pensiun. Kemudian ia minta tolong saya, untuk mengurusi murid-murid kiriman Pak Habibie dari Indonesia. Singkatnya, pada waktu bertemu dia sempat mengeluh, “Aduh, saya pusing menjadi Chairman, karena disuruh mencari dosen Biomedical, di Jepang mana ada?’ Maka segera saya jawab, ‘Pak saya ini dari kedokteran dan biomedical.’ Dia bingung mendengar jawaban saya. Profesor ini dulu dosen saya di S1 dan S2. Tak lama kemudian dia tanya, ‘Apa kamu bisa?’ Singkat cerita, saya dikenalkan ke Rektor. Setelah itu saya dites. Hasilnya? Respektor saya 37, sudah sangat cukup, bahasa Inggris saya juga cukup. Mereka bilang: Ya sudah, besok kirim aplikasinya.” Seketika Soetanto merasa sangat senang sekali! Akhirnya dia berhasil mendapat pekerjaan juga. ‘Tuhan memang mangasihi orang-orang yang tidak putus asa’, begitu pikirnya. “Saking senangnya, aplikasi papernya saya buat serapi mingkin. Sampai saya harus menyiapkan hingga jam lima pagi. Saya nggak berani tidur, karena jam 7 pagi saya mesti sudah berangkat ke universitas untuk menyerahkan aplikasinya. Pada saat saya memasuki kampus, orang-orang nggak ada yang melihat saya. Sudah jam 9, akhirnya saya permisi memperkenalkan diri, ‘Saya ini Soetanto yang kemarin datang bersama profesor IT.’ Sampai saya menunggu selama 45 menit, semuanya masih pada diam. Sekali lagi saya buka suara, ‘Saya ini Soetanto muridnya profesor IT yang kemarin ke sini, Anda kemarin juga ikut menemui saya kan?’ Lagi-lagi, semua tetap diam. Baru sekitar jam setengah 11 siang, profesor keluar dari ruangan, saya senang sekali. Tiba-tiba, si profesor berkata ‘Tanto, ini bukan di Indonesia, ini Jepang, lupakan aplikasi kamu!’ Wah…saya jadi bingung. ‘Yang menyuruh kan Anda? Yang mencari dosen kan Anda? Yang suruh bawa aplikasi juga Bapak sendiri kan?’ Dengan dingin dia bilang kepada saya, ‘Kamu ke sini kan untuk belajar dari orang Jepang.’ Mendengar jawaban itu kontan saya menangis. Profesor itu menambahkan. ‘Kamu itu bisa belajar atas bantuan orang Jepang, kok sekarang mau mengajar orang Jepang? Orang Jepang tidak butuh kamu!’ Hati saya benar-benar hancur saat itu,” tutur Soetanto. Namun, netter yang luar biasa, semua peristiwa pahit yang dialami Soetanto sejak masih kecil hingga berbagai tekanan yang diterimanya di Jepang, seakan memang dimaksudkan “kehidupan,” untuk mempersiapkannya. Sebagaimana tekanan dan panas bumi dalam suhu tinggi yang mampu mengubah batu bara biasa, menjadi berlian yang indah. Begitu pula yang terjadi pada

Soetanto.Beliau kini telah menjelma menjadi “orang besar”. Ia adalah orang pertama dari luar Jepang yang bisa menduduki level jabatan Kepala Divisi di Universitas Waseda-salah satu universitas paling top di Jepang, bahkan dunia, khususnya dalam hal sains. Tahukah Anda? Kementerian Pendidikan Jepang bahkan membiayai risetnya hingga 14 juta dollar AS (sekitar Rp144 miliar) per tahun. Ken Soetanto juga menjadi salah satu dari tiga pemohon paten paling terkemuka di Jepang, yang telah mempublikasikan lebih dari 1100 karya ilmiahnya. Kini, ia menjabat sebagai guru besar School of International Liberal Studies di Universitas Waseda, guru besar di Toin University of Yokohama, Jepang, dan anggota Komite Evaluasi Tokyo Institute of Technology.

Biografi Nelson Tansu - Profesor Termuda Asal Indonesia di Amerika Serikat Biografi Nelson Tansu. Banyak orang Indonesia yang berprestasi di luar negeri, seperti Nelson Tansu yang dikenal Profesor Termuda di Amerika Serikat. Prof. Nelson Tansu, Ph.D dilahirkan di Medan, Sumatera Utara, tanggal 20 Oktober 1977. Dia adalah anak kedua di antara tiga bersaudara buah pasangan Iskandar Tansu dan Lily Auw yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Kedua orang tua Nelson adalah pebisnis percetakan di Medan. Mereka adalah lulusan universitas di Jerman. Abang Nelson, Tony Tansu, adalah master dari Ohio, AS. Begitu juga adiknya, Inge Tansu, adalah lulusan Ohio State University (OSU). Tampak jelas bahwa Nelson memang berasal dari lingkungan keluarga berpendidikan. Ia adalah lulusan terbaik SMU Sutomo 1 Medan pada tahun 1995 dan juga menjadi finalis Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). Setelah menamatkan SMA, ia memperoleh beasiswa dari Bohn’s Scholarships untuk kuliah di jurusan matematika terapan, teknik elektro, dan fisika di Universitas Wisconsin-Madison, Amerika Serikat. Tawaran ini diperolehnya karena ia menjadi salah satu finalis TOFI. Ia berhasil meraih gelar bachelor of science kurang dari tiga tahun dengan predikat summa cum laude. Setelah menyelesaikan program S-1 pada tahun 1998, ia mendapat banyak tawaran beasiswa dari berbagai perguruan tinggi ternama di Amerika Serikat. Walaupun demikian, ia memilih tetap kuliah di Universitas Wisconsin dan meraih gelar doktor di bidang electrical engineering pada bulan Mei 2003. Selama menyelesaikan program doktor, Prof. Nelson memperoleh berbagai prestasi gemilang di antaranya adalah WARF Graduate University Fellowships dan Graduate Dissertator Travel Funding Award. Penelitan doktornya di bidang photonics, optoelectronics, dan semiconductor nanostructires juga meraih penghargaan tertinggi di departemennya, yakni The 2003 Harold A. Peterson Best ECE Research Paper Award. Setelah memperoleh gelar doktor, Nelson mendapat tawaran menjadi asisten profesor dari berbagai universitas ternama di Amerika Serikat. Akhirnya pada awal tahun 2003, ketika masih berusia 25 tahun, ia menjadi asisten profesor di bidang electrical and computer engineering, Lehigh University. Lehigh University merupakan sebuah universitas papan atas di bidang teknik dan fisika di kawasan East Coast, Amerika Serikat. Saat ini Prof. Nelson menjadi profesor di universitas ternama Amerika, Lehigh University, Pensilvania dan mengajar para mahasiswa di tingkat master (S-2), doktor (S-3) dan post doctoral Departemen Teknik Elektro dan Komputer. Lebih dari 84 hasil riset maupun karya tulisnya telah dipublikasikan di berbagai konferensi dan jurnal ilmiah internasional. Ia juga sering diundang menjadi pembicara utama di berbagai seminar, konferensi dan pertemuan intelektual, baik di berbagai kota di AS dan luar AS seperti Kanada, Eropa dan Asia. Prof Nelson telah memperoleh 11 penghargaan dan tiga hak paten atas penemuan risetnya. Ada tiga penemuan ilmiahnya yang telah dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers. Ketika masih di Sekolah Dasar, Prof. Nelson gemar membaca biografi para fisikawan ternama. Ia sangat mengagumi prestasi para fisikawan tersebut karena banyak fisikawan yang telah meraih gelar doktor, menjadi profesor dan bahkan ada beberapa fisikawan yang berhasil menemukan teori (eyang Einstein) ketika masih berusia muda. Karena membaca riwayat hidup para fisikawan tersebut, sejak masih Sekolah Dasar, Prof. Nelson sudah mempunyai cita-cita ingin menjadi profesor di universitas di Amerika Serikat. Walaupun saat ini tinggal di Amerika Serikat dan masih menggunakan passport Indonesia, Prof. Nelson berjanji kembali ke Indonesia jika Pemerintah Indonesia sangat membutuhkannya.

Dia sering diundang menjadi pembicara utama dan penceramah di berbagai seminar. Paling sering terutama menjadi pembicara dalam pertemuan-pertemuan intelektual, konferensi, dan seminar di Washington DC. Selain itu, dia sering datang ke berbagai kota lain di AS. Bahkan, dia sering pergi ke mancanegara seperti Kanada, sejumlah negara di Eropa, dan Asia. Yang mengagumkan, sudah ada tiga penemuan ilmiahnya yang dipatenkan di AS, yakni bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan high power semiconductor lasers. Di tengah kesibukannya melakukan riset-riset lainnya, dua buku Nelson sedang dalam proses penerbitan. Bukan main!! Kedua buku tersebut merupakan buku teks (buku wajib pegangan, Red) bagi mahasiswa S-1 di Negeri Paman Sam. Karena itu, Indonesia layak bangga atas prestasi anak bangsa di negeri rantau tersebut. Lajang kelahiran Medan, 20 Oktober 1977, itu sampai sekarang masih memegang paspor hijau berlambang garuda. Kendati belum satu dekade di AS, prestasinya sudah segudang. Ke mana pun dirinya pergi, setiap ditanya orang, Nelson selalu mengenalkan diri sebagai orang Indonesia. Sikap Nelson itu sangat membanggakan di tengah banyak tokoh kita yang malu mengakui Indonesia sebagai tanah kelahirannya. "Saya sangat cinta tanah kelahiran saya. Dan, saya selalu ingin melakukan yang terbaik untuk Indonesia," katanya, serius. Di Negeri Paman Sam, kecintaan Nelson terhadap negerinya yang dicap sebagai terkorup di Asia tersebut dikonkretkan dengan memperlihatkan ketekunan serta prestasi kerjanya sebagai anak bangsa. Saat berbicara soal Indonesia, mimic pemuda itu terlihat sungguh-sungguh dan jauh dari basa-basi. "Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan merupakan bangsa yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Tentu saja jika bangsa kita terus bekerja keras," kata Nelson menjawab koran ini. Anak muda itu memang enak diajak mengobrol. Idealismenya berkobar-kobar dan penuh semangat. Layaknya profesor Amerika, sosok Nelson sangat bersahaja dan bahkan suka merendah. Busana kesehariannya juga tak aneh-aneh, yakni mengenakan kemeja berkerah dan pantalon.

Sekilas, dia terkesan pendiam. Pengetahuan dan bobotnya sering tersembunyi di balik penampilannya yang seperti tak suka bicara. Tapi, ketika dia mengajar atau berbicara di konferensi para intelektual, jati diri akademisi Nelson tampak. Lingkungan akademisi, riset, dan kampus memang menjadi dunianya. Dia selalu peduli pada kepentingan serta dahaga pengetahuan para mahasiswanya di kampus. Ada yang menarik di sini. Karena tampangnya yang sangat belia, tak sedikit insan kampus yang menganggapnya sebagai mahasiswa S-1 atau program master. Dia dikira sebagai mahasiswa umumnya. Namun, bagi yang mengenalnya, terutama kalangan universitas atau jurusannya mengajar, begitu bertemu dirinya, mereka selalu menyapanya hormat: Prof Tansu. "Di semester Fall 2003, saya mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang physics and applications of photonics crystals. Di semester Spring 2004, sekarang, saya mengajar kelas untuk mahasiswa senior dan master tentang semiconductor device physics. Begitulah," ungkap Nelson menjawab soal kegiatan mengajarnya. September hingga Desember atau semester Fall 2004, jadwal mengajar Nelson sudah menanti lagi. Selama semester itu, dia akan mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang applied quantum mechanics for semiconductor nanotechnology. "Selain mengajar kelas-kelas di universitas, saya membimbing beberapa mahasiswa PhD dan post-doctoral research fellow di Lehigh University ini," jelasnya saat ditanya mengenai kesibukan lainnya di kampus.

Nelson termasuk individu yang sukses menggapai mimpi Amerika (American dream). Banyak imigran dan perantau yang mengadu nasib di negeri itu dengan segala persaingannya yang superketat. Di Negeri Paman Sam tersebut,ada cerita sukses seperti aktor yang kini menjadi Gubernur California Arnold Schwarzenegger yang sebenarnya adalah imigran asal Austria. Kemudian, dalam Kabinet George Walker Bush sekarang juga ada imigrannya, yakni Menteri Tenaga Kerja Elaine L. Chao. Imigran asal Taipei tersebut merupakan wanita pertama AsianAmerican yang menjadi menteri selama sejarah AS. Negara Superpower tersebut juga sangat baik menempa bakat serta intelektual Nelson. Lulusan SMA Sutomo 1 Medan itu tiba di AS pada Juli 1995. Di sana, dia menamatkan seluruh pendidikannya mulai S-1 hingga S-3 di University of Wisconsin di Madison. Nelson menyelesaikan pendidikan S-1 di bidang applied mathematics, electrical engineering, and physics. Sedangkan untuk PhD, dia mengambil bidang electrical engineering. Dari seluruh perjalanan hidup dan karirnya, Nelson mengaku bahwa semua suksesnya itu tak lepas dari dukungan keluarganya. Saat ditanya mengenai siapa yang paling berpengaruh, dia cepat menyebut kedua orang tuanya dan kakeknya. "Mereka menanamkan mengenai pentingnya pendidikan sejak saya masih kecil sekali," ujarnya. Ada kisah menarik di situ. Ketika masih sekolah dasar, kedua orang tuanya sering membandingbandingkan Nelson dengan beberapa sepupunya yang sudah doktor. Perbandingan tersebut sebenarnya kurang pas. Sebab, para sepupu Nelson itu jauh di atas usianya. Ada yang 20 tahun lebih tua. Tapi, Nelson kecil menganggapnya serius dan bertekad keras mengimbangi sekaligus melampauinya. Waktu akhirnya menjawab imipian Nelson tersebut. "Jadi, terima kasih buat kedua orang tua saya. Saya memang orang yang suka dengan banyak tantangan. Kita jadi terpacu, gitu," ungkapnya. Nelson mengaku, mendiang kakeknya dulu juga ikut memicu semangat serta disiplin belajarnya. "Almarhum kakek saya itu orang yang sangat baik, namun agak keras. Tetapi, karena kerasnya, saya malah menjadi lebih tekun dan berusaha sesempurna mungkin mencapai standar tertinggi dalam melakukan sesuatu," jelasnya. Sisihkan 300 Doktor AS, tapi Tetap Rendah Hati Nelson Tansu menjadi fisikawan ternama di Amerika. Tapi, hanya sedikit yang tahu bahwa profesor belia itu berasal dari Indonesia. Di sejumlah kesempatan, banyak yang menganggap Nelson ada hubungan famili dengan mantan PM Turki Tansu Ciller. Benarkah? NAMA Nelson Tansu memang cukup unik. Sekilas, sama sekali nama itu tidak mengindikasikan identitas etnis, ras, atau asal negeri tertentu. Karena itu, di Negeri Paman Sam, banyak yang keliru membaca, mengetahui, atau berkenalan dengan profesor belia tersebut. Malah ada yang menduga bahwa dia adalah orang Turki. Dugaan itu muncul jika dikaitkan dengan hubungan famili Tansu Ciller, mantan perdana menteri (PM) Turki. Beberapa netters malah tidak segan-segan mencantumkan nama dan kiprah Nelson ke dalam website Turki. Seolah-olah mereka yakin betul bahwa fisikawan belia yang mulai berkibar di lingkaran akademisi AS itu memang berasal dari negerinya Kemal Ataturk. Ada pula yang mengira bahwa Nelson adalah orang Asia Timur, tepatnya Jepang atau Tiongkok. Yang lebih seru, beberapa universitas di Jepang malah terang-terangan melamar Nelson dan

meminta dia "kembali" mengajar di Jepang. Seakan-akan Nelson memang orang sana dan pernah mengajar di Negeri Sakura itu. Dilihat dari nama, wajar jika kekeliruan itu terjadi. Begitu juga wajah Nelson yang seperti orang Jepang. Lebih-lebih di Amerika banyak professor yang keturunan atau berasal dari Asia Timur dan jarang-jarang memang asal Indonesia. Nelson pun hanya senyum-senyum atas segala kekeliruan terhadap dirinya. "Biasanya saya langsung mengoreksi. Saya jelaskan ke mereka bahwa saya asli Indonesia. Mereka memang agak terkejut sih karena memang mungkin jarang ada profesor asal aslinya dari Indonesia,"jelas Nelson. Tansu sendiri sesungguhnya bukan marga kalangan Tionghoa. Memang, nenek moyang Nelson dulu Hokkien, dan marganya adalah Tan. Tapi, ketika lahir, Nelson sudah diberi nama belakang "Tansu", sebagaimana ayahnya, Iskandar Tansu. "Saya suka dengan nama Tansu, kok,"kata Nelson dengan nada bangga. Nelson adalah pemuda mandiri. Semangatnya tinggi, tekun, visioner, dan selalu mematok standar tertinggi dalam kiprah riset dan dunia akademisinya. Orang tua Nelson hanya membiayai hingga tingkat S-1. Selebihnya? Berkat keringat dan prestasi Nelson sendiri. Kuliah tingkat doktor hingga segala keperluan kuliah dan kehidupannya ditanggung lewat beasiswa universitas. "Beasiswa yang saya peroleh sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua kuliah dan kebutuhan di universitas," katanya. Orang seperti Nelson dengan prestasi akademik tertinggi memang tak sulit memenangi berbagai beasiswa. Jika dihitung-hitung, lusinan penghargaan dan anugerah beasiswa yang pernah dia raih selama ini di AS. Menjadi profesor di Negeri Paman Sam memang sudah menjadi cita-cita dia sejak lama. Walau demikian, posisi assistant professor (profesor muda, Red) tak pernah terbayangkannya bisa diraih pada usia 25 tahun. Coba bandingkan dengan lingkungan keluarga atau masyarakat di Indonesia, umumnya apa yang didapat pemuda 25 tahun? Bahkan, di AS yang negeri supermaju pun reputasi Nelson bukan fenomena umum. Bayangkan, pada usia semuda itu, dia menyandang status guru besar. Sehari-hari dia mengajar program master, doktor, dan bahkan post doctoral. Yang prestisius bagi seorang ilmuwan, ada tiga riset Nelson yang dipatenkan di AS. Kemudian, dua buku teksnya untuk mahasiswa S-1 dalam proses penerbitan. Tapi, bukan Nelson Tansu namanya jika tidak santun dan merendah. Cita-citanya mulia sekali. Dia akan tetap melakukan riset-riset yang hasilnya bermanfaat buat kemanusian dan dunia. Sebagai profesor di AS, dia seperti meniti jalan suci mewujudkan idealisme tersebut. Ketika mendengar pengakuan cita-cita sejatinya, siapa pun pasti akan terperanjat. Cukup fenomenal. "Sejak SD kelas 3 atau kelas 4 di Medan, saya selalu ingin menjadi profesor di universitas di Amerika Serikat. Ini benar-benar saya cita-citakan sejak kecil," ujarnya dengan mimic serius.

Tapi, orang bakal mahfum jika melihat sejarah hidupnya. Ketika usia SD, Nelson kecil gemar membaca biografi para ilmuwan-fisikawan AS dan Eropa. Selain Albert Einstein yang menjadi pujaannya, nama-nama besar seperti Werner Heisenberg, Richard Feynman, dan Murray GellMann ternyata Sudah diakrabi Nelson cilik. "Mereka hebat. Dari bacaan tersebut, saya benar-benar terkejut, tergugah dengan prestasi para fisikawan luar biasa itu. Ada yang usianya muda sekali ketika meraih PhD, jadi profesor, dan ada pula yang berhasil menemukan teori yang luar biasa. Mereka masih muda ketika itu," jelas Nelson penuh kagum. Nelson jadi profesor muda di Lehigh University sejak awal 2003. Untuk bidang teknik dan fisika, universitas itu termasuk unggulan dan papan atas di kawasan East Coast, Negeri Paman Sam. Untuk menjadi profesor di Lehigh, Nelson terlebih dahulu menyisihkan 300 doktor yang resume (CV)-nya juga hebat-hebat.

Johny Setiawan - Penemu Planet Baru Johny Setiawan adalah astronom asal Indonesia yang bekerja sebagai peneliti di Departemen Pembentukan Bintang dan Planet, Max Planck Institute for Astronomy di Heidelberg, Jerman. Johny Setiawan dikenal sebagai penemu banyak planet ekstrasurya. Pada Juni 2005, kelompok astronom Eropa dan Brasil di bawah pimpinannya berhasil menemukan sebuah planet luar surya yang diberi nama HD 11977 b. Salah satu penemuan berikutnya adalah sebuah planet yang mengitari sebuah bintang yang sangat muda, bernama TW Hydrae . Penemuan ini dipublikasikan di Nature, vol. 451, 38 (2008). Planet tersebut masih dalam piringan cakram debu dan gas yang mengelilingi bintang induknya. Contoh penemuannya yang lain adalah HIP 13044 b, HD 47536 c, HD 110014 b, HD 110014 c, HD 11977 b, dan HD 70573 b.

Biografi Johny Setiawan lahir pada 16 Agustus 1974. Ketertarikan Johny pada astronomi sudah dimulai sejak kecil ketika menonton film Star Trek. Ketertarikan mulai berkembang kala membaca buku Alam Semesta dan Cuaca. Johny kecil yang waktu itu dibesarkan di wilayah Johar Baru akhirnya mulai menggali lebih banyak tentang astronomi, termasuk di bangku sekolah. Sekolah jenjang menengah dihabiskannya di Marsudirini, Matraman, Jakarta Timur. Mulai jenjang S-1 sampai meraih gelar doktor dihabiskannya di Jerman. Program doktor yang diraihnya dengan beasiswa dari European Southern Observatory di Keipenheuer Institute for Solar Physics Univseritas Freiburg mengantarkannya meraih predikat summa cum laude. Sisi lain kehidupan Johny adalah hobinya memasak, fitness, dan melukis. Kemampuan memasak diasahnya ketika bekerja sambilan sebagai koki di Warsteiner Keller selama studi awal di Jerman. Hingga kini, beragam masakan, mulai nasi tumpeng hingga tahu berontak, bisa dibuatnya. Hingga sekarang, ia sering menerima pesanan makanan untuk acara kantor ataupun teman. Untuk fitness, Johny melakukannya 2-3 kali seminggu. Tuntutan bekerja di dua tempat, Jerman dan Cile, dengan kondisi lingkungan yang jauh berbeda membuatnya harus menjaga stamina. Selain itu, ia juga memandang pentingnya ilmuwan menjadi fit dan tampil menarik agar bisa mendukung kariernya.

Penemuan Selama tujuh tahun berkarya sebagai peneliti sejak tahun 2003, Johny telah menemukan 15 planet ekstrasurya alias planet-planet di luar tata surya kita. Planet terakhir yang ditemukannya adalah HIP 13044b, sebuah planet yang mengorbit bintang lansia dan minim kandungan logam, HIP 13044. Penemuan ini mampu membuka cara pandang baru tentang proses pembentukan bintang sebab saat ini diyakini bahwa bintang tua dan minim kandungan logam tak mungkin memiliki planet. Akhir tahun 2010, penemuan HIP 13044b dinobatkan sebagai 10 penemuan sains terbaik 2010 versi majalah Times. Temuan Johny Setiawan itu bisa disejajarkan dengan temuan Gliese 581g yang merupakan planet asing yang mirip Bumi dan temuan para fisikawan di European Organization for Nuclear Research (CERN). Temuan besar Johny lainnya adalah planet TW Hydrae b. Penemuannya tergolong mencengangkan sebab di antara ratusan planet ekstrasurya, tak satu pun yang mengorbit pada

bintang yang berusia muda. Diketahui, TW Hydrae b mengorbit bintang TW Hydrae, bintang yang baru berusia 8-10 juta tahun, 1/500 usia matahari saat ini. Max Planck Institute for Astronomy mengakui penemuan TW Hydrae b sebagai salah satu penemuan spektakuler. Untuk pertama kalinya, ilmuwan berhasil menemukan secara langsung bahwa planet terbentuk dalam lingkaran cakram yang berputar pendek setelah kelahiran bintang. Penemuan itu memungkinkan kajian baru dalam pembentukan bintang dan migrasi planet. Selain dua planet tersebut, Johny juga menemukan planet-planet lain, di antaranya HD 47536b, HD 47536c, dan HD 11014b. Planet yang ditemukannya merupakan bagian dari proyek Search for Exoplanet with Radial-velocity at MPIA.

1. Pesawat CN-235

INILAH.COM, Dakar – Kemampuan pesawat CN 235 buatan Indonesia diakui oleh Menteri Pertahanan Senegal Augustine Tine. “Kami menggunakan pesawat itu untuk berbagai keperluan dan saya puas dengan kemampuannya,” kata Augustine usai bertemu Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin di Dakar, Senegal, Kamis (4/7/2013).

Bahkan, pemerintah Senegal berencana menambah pesawat angkut militer buatan PT Dirgantara Indonesia itu. Sebelumnya, angkatan militer Senegal membeli secara kredit CN 235. “Besok saya akan naik pesawat itu ke daerah. Kadang digunakan untuk ke negara tetangga seperti Mali atau Benin. Saya berharap bisa tambah satu yang generasi baru,” ujar Augustine.

Sjafrie didampingi Dirjen Strategi Pertahanan Sonny Prasetyo dan Direktur Pemasaran PT DI Budiman Saleh datang ke Senegal untuk meningkatkan kerja sama militer. Ia menawarkan pesawat generasi terbaru CN 295 yang lebih hebat. “Terima kasih Senegal sudah menggunakan CN 235, kami tawarkan produk lain seperti senjata dan nonsenjata,” ucap Sjafrie. [ant]

2. Anoa Indonesian Panzer

Inilah salah satu karya anak bangsa Indonesia yang membanggakan, Anoa Indonesian Panzer. Anoa Indonesian Panzer, kendaraan pengangkut lapis baja ini diproduksi oleh PT. Pindad tahun 2006 sebanyak 150. Penamaan Anoa Indonesian Panzer berdesain monocoque terilhami dari hewan mamalia khas Sulawesi dengan tampilan yang tidak kalah dengan

buatan Eropa. Anoa Indonesian Panzer dilengkapi dengan baja anti peluru yang tidak akan tembus oleh AK47 atau M-16. Memiliki kecepatan 90km/jam, dengan enam roda mampu menanjak dengan kemirigan hingga 45 derajat dan mampu melompat selebar satu meter. Meskipun Anoa Indonesian Panzer diproduksi dengan tujuan pertahanan dan keamanan negara, namun beberapa negara menyatakan minatnya untuk membeli Anoa Indonesian Panzer seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Oman, Bangladesh dan Nepal.

3. Senjata Pindad Indonesia

PT. Pindad adalah perusahaan negara yang bergerak di industri manufaktur yang mengkhususkan diri dibidang produk militer. Produk-produk ini dibuat untuk kepentingan komersial yang diekspor keberbagai negara. PT. Pindad memproduksi senjata seperti Sidearms, Submachine Guns, Assault Rifles, Battle Rifles, Machine Guns, Sniper Rifles, Grenade Launchers, Mortar, Pistol, Panser dan lain sebagainya. Produk-produk ini di desain, dikembangkan, rekayasa dan fabrikasi serta perawatannya semua dibuat oleh putra-putri Indonesia yang membanggakan.

4. Robot Tempur TNI

Robot banyak diciptakan untuk mempermudah kerja manusia, ada banyak jenis robot, seperti robot humanoid, robot medis, robot yang menyerupai hewan peliharaan dan robot tempur. Indonesia mampu membuat robot tempur yang diciptakan tahun 2009 yang digerakkan dengan tenaga listrik dari dua baterai. Robot tempur ini diciptakan oleh Lembaga Pengkajian Teknologi (Lemjitek) TNI AD, Karangploso, Kabupaten Malang dan sudah beberapa kali diujicobakan. Robot tempur berukuran 1,5 m kali 0,5 m dengan berat sekitar 100 kg mampu mengangkut beban 150 kg dan memiliki kecepatan maksimal 60 km/jam serta mampu menjelajah hingga 1 km dari pusat kendali. Robot tempur ini adalah karya anak bangsa Indonesia yang membanggakan di bidang pertahanan dan kemanan.

5. Mobil ESEMKA

Karya anak bangsa Indonesia kali ini sangat membanggakan. Siswa SMK 1 Singosari Malang mampu membuat sebuah mobil yang diberi nama Mobil Esemka. Mobil Esemka memiliki 5 jenis varian yaitu SUV, pick up double cabin, sedan, pick up single cabin, dan van. Siswa SMK yang rata-rata masih berusia 16-17 tahun sudah dapat menciptakan cikal bakal kemajuan teknologi Indonesia di bidang transportasi. Pembuatan Mobil Esemka menelan biaya sebesar Rp. 175 Juta untuk 5 jenis mobil Esemka yang lainnya dikerjakan oleh SMK-SMK lainnya. Mobil ini dibandrol Rp. 80 Juta per unit.

6. KRI Krait 827

Indonesia dengan wilayah perairan yang luas memiliki banyak kapal perang sebagai pertahanan dan keamanan negara. Kapal perang Indonesia didominasi oleh produk-produk dari Amerika, Belanda dan Jerman. Namun kini Indonesia sudah mampu memproduksi kapal perang yang dibuat oleh putra-putri bangsa Indonesia. KRI (Kapal Perang Republik Indonesia) Krait 827 adalah hasil kerjasama TNI AL melalui Fasharkan (Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan) Mentigi dan PT Batan Expressindo Shipyard (BES), Tanjung Guncung. KRI Krait 827 berbahan baku aluminium, bertonase 190 DWT dengan jarak jelajah sekitar 2.500 Mil. Dilengkapi dengan radar dengan jangkauan 96 Nautical Mil (setara 160

Km) dengan system navigasi GMDSS area 3 dengan kecepatan terpasang 25 Knots, yang semuanya adalah 100% karya anak bangsa Indonesia yang membanggakan.

7. Laptop Axioo

Laptop atau notebook sudah menjadi device yang paling banyak digunakan. Indonesia patut berbangga karena salah satu karya anak bangsa yang mampu bersaing dan menembus jajaran produk dunia dan menjadi salah satu produk yang mengadopsi prosesor Intel Core generasi kedua. Produk tersebut adalah Axioo. Axioo Neon HNM menjadi notebook 14 inci pertama di dunia yang sudah menggunakan teknologi prosesor yang sebelumnya disebut Sandy Bridge. Axioo adalah salah satu komputer merek lokal yang didirikan oleh Samuel Lawrence dan Singgih Salim.

8. PC Tablet Wakamini

Seakan tidak mau ketinggalan dengan vendor-vendor raksasa (seperti Samsung, Apple, LG, dll) yang mengeluarkan produk device mereka (seperti PC Tablet, smartphone, notebook dll), Indonesia meluncurkan PC Tablet Wakamini. Wakamini adalah karya anak bangsa Indonesia yang membanggakan dan mampu bersaing dengan produk-produk dari luar. Zyrex sebagai produsen peralatan komputer Indonesia memproduksi PC Tablet Wakamini MP 1291 series Multi Touch dan Wakatobi Mini 963 yang diklaim 100% buatan Indonesia dengan harga berkisar 3 juta rupiah. 9. Alat Pembasmi Kanker Otak dari MITI

Kanker otak juga disebut sebagai “silent killer” karena penderita penyakit ini biasanya langsung akut seperti yang diderita komedian Indonesia, Epi Kusnandar. Kanker otak sangat berbahaya berbagai usaha dan penelitian telah dilakukan untuk menyembuhkan kanker otak. Salah satunya adalah dengan yang dilakukan oleh Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI) yang bekerja sama dengan CTech Laboratory yang berhasil menemukan alat pembasmi kanker otak. Cara kerja alat pembasmi kanker otak ini adalah dengan menerapkan metode listrik statis dan sudah diujikan oleh penderita kanker otak kecil. Setelah diaplikasikan selama dua bulan pasien tersebut dinyatakan sembuh total. Metode radiasi listrik statis berbasis tomografi ini, sepenuhnya hasil karya anak bangsa Indonesia yang akan menjadi terobosan dalam dunia kedokteran.

10. Robot Jelajah Bawah Air

Peneliti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) berhasil mengembangkan Robot Jelajah Bawah Air (RJBA). Robot ini mampu beroperasi hingga kedalaman 50 meter. “RJBA ini bisa disebut sebagai kapal selam mini tanpa awak. Robot ini diharapkan membantu berbagai observasi di bawah laut, terutama untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi bawah laut selama 24 jam,” kata Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, MSc, ketua tim peneliti penemu. Indra Jaya mengakui, teknologi yang diciptakan tidak bisa dibandingkan dengan Remote Operating Vehicle (ROV) buatan luar negeri yang mampu menjelajahi lautan hingga ribuan meter. “RJBA ini hanya mampu di kedalaman 50 meter, sehingga lebih cocok untuk laut dangkal, seperti perairan Pulau Seribu yang pernah kami ujicobakan,” kata Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB itu. Meski telah berhasil diujicobakan di Perairan Kepulauan Seribu, Indra Jaya mengaku masih belum puas. Ke depan, timnya akan mengembangkan RJBA itu agar bisa menjangkau kedalaman 200 meter. Selain itu, RJBA diarahkan menjadi Autonomous Underwater Vehicle (AUV) yang beroperasi di laut dalam. Model robot AUV memungkinkan penelitian di bawah laut tidak mengandalkan robot yang terhubung dengan kabel di atas permukaan laut.

Lebih Murah RJBA buatan IPB itu lebih murah jika dibandingkan dengan buatan luar negeri. Bisa dimaklumi, bahan-bahan yang digunakan sebagian besar tersedia di dalam negeri. “Beberapa bahan bahkan sudah tersedia di laboratorium IPB di Darmaga dan di pasar-pasar,” kata Indra Jaya, doktor lulusan Department of Applied Mathematics, Rensselaer Polytechnic Institute, Troy, New York, Amerika Serikat itu.

Mobil Listrik “SELO”

Image: bisnis.liputan6.com Siapa yang tak kenal Ricky Elson? Ricky merupakan putra asli Minang, kelahiran Padang, Sumatera Barat, 11 Juni 1980. Putra kebanggaan Sumatera Barat yang dijuluki “Sang Putra Petir ini melanjutkan pendidikan di Jepang bidang keahlian Teknik Mesin di Politechnic University of Japan. Lulus sarjana (S1), Ricky melanjutkan ke jenjang master (S2), dengan predikat “lulusan terbaik”, profesornya lalu merekrut Ricky untuk kerja bersamanya sebagai perancang motor di Nidec Corporation, Kyoto, Jepang. Ini adalah perusahaan elektronik yang memproduksi elemen motor presisi atau mikromotor. Karir Ricky cemerlang di Nidec. Sekitar 80% produk Nidec merupakan karya Ricky. Selama 14 tahun berkarya di Jepang, Ricky telah menghasilkan 14 penemuan teknologi motor listrik. Semua dipatenkan secara internasional atas namanya. Salah satu karyanya adalah sebuah mobil listrik yang diberi nama “Selo”. Sayangnya versi beta Selo karya Ricky ini ditolak pemerintah Indonesia karena dianggap tidak lolos uji emisi ramah lingkungan. Ketika pemerintah Indonesia menolak Selo , pemerintah Malaysia justru tertarik dan meminang produk buatan Ricky tersebut supaya bisa dikembangin lebih lanjut.

Pondasi Ceker Ayam Image: pinterest.com Nama Prof.Dr.Ir. Sedyatmo mungkin terdengar asing di telinga kita. Namun, taukah kamu kalau ternyata ia adalah salah satu orang yang berpengaruh di dunia pembangunan? Salah satu hasil pemikiran kecerdasannya sudah diakui dunia dari karya teknologi pemasangan pondasi yang kokoh di atas tanah labil. Gagasan ini banyak diterapkan di berbagai bangunan di seluruh dunia. Prof.Dr.Ir. Sedyatmo adalah Putra kebanggaan Karanganyar, Jawa Tengah. Sejarah awal mula munculnya gagasan “Pondasi Ceker Ayam” ini adalah saat ia memegang tanggung jawab untuk membangun menara listrik bertegangan tinggi di daerah rawa-rawa di kawasan Yogyakarta dengan persoalan struktur tanah yang lembek dan tidak stabil. Hingga munculah gagasan mendirikan menara di atas pondasi plat beton dengan ditopang oleh pipa-pipa beton di bawahnya.

Pipa atau pelat beton ini kemudian bersatu dan mencekeram tanah yang lembek dengan sangat kuat sehingga menjadi pondasi dasar menara yang kokoh. Sejak saat itulah nama “Pondasi Cakar Ayam” muncul. Sekarang ini, metode ini diterapkan di beberapa daerah di tanah air, seperti pembangunan landasan pacu Bandara Internasional Soekarno Hatta dan ratusan bangunan lainnya di dunia. Gagasan “Pondasi Cakar Ayam” hasil kerja keras Professor Sedyatmo tersebut juga mendapat pengakuan paten dari beberapa negara di dunia.

Jembatan Layang “Sosrobahu”

Image: youtube.com/@sosrobahu.cap Pada tahun 1980an, Ir Tjokorda R. Sukawati menerima tantangan dari pemerintah pusat untuk membangun jembatan layang di atas padatnya lalu lintas Ibukota, Jakarta. Jembatan ini rencananya membentang diantara Cawang hingga Tanjung Priok. Insinyur asal Bali tersebut akhirnya mengajukan sebuah gagasan untuk membangun tiang yang sejajar dengan jalur di bawahnya. Setelah tiang didirikan, struktur lengan dari rancang bangun tersebut yang berbentuk huruf T diputar 90 derajat hingga melintang dan siap digunakan untuk jalan beton diatasnya. Ia juga menggunakan sistem hidrolik sehingga lengan beton seberat 180 ton dapat diputar dengan mudah. Proyek inipun dapat diselesaikan dengan sangat baik dan menuai berbagai pujian dari seluruh kalangan pada waktu itu. Presiden Soeharto meresmikan jembatan tersebut dan memberi nama dengan sebutan “Sosrobahu” untuk metode rancang bangun yang diciptakan Ir. Tjokorda ini. Sosrobahu sendiri diambil dari nama salah satu tokoh dalam cerita Mahabarata. Hasil karya anak bangsa yang membanggakan ini kemudian digunakan oleh beberapa negara di dunia. Diantaranya adalah jembatan Seatle di Amerika Serikat dan jalan raya metro Filiphina. Temuan ini juga sudah mendapatkan lisensi hak paten dari jepang, Malaysia dan Filipina.

More Documents from "Nabilah Widya Ismaya"

Indobil.docx
July 2020 4
Bilbil.docx
July 2020 5
Sejarah.docx
July 2020 3
November 2019 11
Tips Menulis Jurnal.docx
November 2019 13