Kisah Pilu Korban Lapindo Dalam sebuah jumpa pers di kantor Komite untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta (4/9), Hari Suwandi, salah seorang korban Lapindo tidak dapat menahan tangisnya. Kisah pilu selama dua tahun menjadi korban Lapindo telah membuat hidupnya tak menentu. Sebelum lumpur Lapindo muncul di kampungnya, ia hidup makmur menjadi pengrajin di dalam industri rumah tangga namun sekarang hidupnya tidak menentu. Alat-alat produksinya telah ditenggelamkan oleh lumpur Lapindo.
Gambar 1 Porong Sebelum muncul Lumpur Lapindo (sumber: http://www.crisp.nus.edu.sg)
_________________________________ www.satudunia.net
Gambar 2 Porong Setelah Muncul Semburan Lumpur Lapindo (sumber http://www.crisp.nus.edu.sg)
“Tenggelamnya alat-alat produksi kami tidak pernah diganti oleh Lapindo,” jelasnya. Derita korban Lapindo itu, menurut Hari, tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah dan Lapindo. “Saya berharap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kali ini mendengar suara kami yang sudah dizhalimi selama dua tahun lebih,” katanya. Lain lagi dengan nasib Pak Budiono. Ayah dari seorang balita ini menceritakan kondisi kampungnya dan rumahnya setelah muncul semburan lumpur Lapindo. Kampungnya memang tidak tenggelam oleh lumpur panas, namun dampak mematikan dari lumpur itu telah menghampiri desanya. “Air sumur yang dulunya digunakan untuk mencuci, mandi dan memasak sudah tidak dapat digunakan lagi,” ujarnya “Bukan hanya itu, kini polusi udara akibat semburan lumpur Lapindo juga telah mengancam keselamatan jiwa warga kampung”
_________________________________ www.satudunia.net
Setelah muncul semburan lumpur Lapindo, anak balita Pak Budiono sering mengalami sesak nafas dan batuk yang berkepanjangan. “Saat anak tersebut muntah, keluar lendir kuning dari mulutnya,” jelasnya. Keinginannya untuk berobat ke dokter ia urungkan karena tidak ada biaya.
Gambar 3. Semburan Lumpur Lapindo (Sumber: www.korbanlumpur.info)
Polusi udara di sekitar semburan lumpur Lapindo ternyata juga telah menimbulkan korban jiwa. Adalah Bapak Yakup beserta istrinya yang meninggal dunia pada bulan April lalu. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan, keduanya meninggal karena sesak nafas akibat menghirup gas beracun. Warga Jatirejo Barat juga mengalami nasib yang sama. Seorang ibu bernama Luluk meninggal dunia pada bulan Maret 2008 lalu. Penyebab kematiannya sama, yakni mengalami sesak nafas akibat menghirup gas beracun di sekitar rumahnya. Hidup dalam resiko bencana dan juga kemiskinan rupanya belum beranjak dari keseharian warga korban Lapindo. Adalah Ibu Jumik, perempuan setengah baya yang sejak beberapa bulan ini selalu menahan sakit di perutnya. Setelah beberapa hari dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo, perempuan korban Lapindo itu terpaksa harus pulang karena tidak sanggup membayar rumah sakit yang mahal.
_________________________________ www.satudunia.net
Jangankan untuk membayar biaya rumah sakit, untuk tetap hidup normal seperti sebelum lumpur Lapindo menenggelamkan kampungnya pun susah. Kini Ibu Jumik dan korban Lapindo lainnya harus hidup di pengungsian yang jauh dari kata layak.
Gambar 4 Ibu Jumik yang sedang menahan sakit di perutnya
Gambar 5 Hasil diagnosa dokter atas sakit yang diderita Ibu Jumik
_________________________________ www.satudunia.net
BOX 1 Ibu Jumik - Butuh Bantuan Kemanusiaan Ibu Jumik (50), salah satu korban Lapindo yang mengungsi di Pasar Baru Porong. Menurut
Dasda cerita Cak Sutari, 36 tahun, saudara lelakinya, Ibu Jumik tiba-tiba merasa sakit di perutnya
pada pertengahan Juni 2008 silam. Lalu ia dilarikan ke RSUD Sidoarjo. Setelah menginap 2-3 hari, tiba-tiba membesar. Ibu Jumik terus-terus merasa sakit di perut, macam sakit maag akut katanya. Setelah dua minggu di rumah sakit karena tak kuat membiayai, keluarga Ibu Jumik membawa pulang kembali ke pengungsian Pasar Baru Porong, tepatnya di Blok R2. Cak Sutari dan keluarga akhirnya cuma pasrah. Ibu Jumik ditangani dengan cara-cara tradisional, dipijat setiap 3-4 hari. Mungkin cuma untuk mengurangi rasa sakit saja. Selebihnya tidak ada perhatian yang semestinya. Di catatan USG itu disebut kista. Saya tidak tahu, ini jenis penyakit apa, kista yang macam apa. Yang saya tahu, ini membutuhkan bantuan sesegera mungkin. Saat saya tulis surat ini, Cak Sutari di samping saya menitip pesan untuk memohon bantuan kepada dermawandermawati, baik yang di rantai email ini maupun yang di luar sana (SCTV Peduli, Kompas Peduli, dan Peduli-Peduli lainnya). Mohon bantuan kesehatan dan biaya. Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi Posko Bersama atau Cak Sutari 031-77680925 (Flexi). Ini sekadar satu contoh dari puluhan ribu korban lumpur yang kesehatannya hancur akibat pencemaran udara dan air oleh Lapindo. Sangat dibutuhan langkah bersama yang konkret, betul-betul konkret, soal ini. Kita tidak tahu, ada berapa Jumik di sana. Ada berapa Luluk, ada berapa Sutrisno, yang tewas oleh cemaran gas Lapindo. Mujtaba Hamdi Posko Bersama Korban Lapindo Jl Kusuma Bangsa 36 Gedang Porong 0343-851823
Masih Adakah Negara ? Anehnya, baik Lapindo maupun pemerintah seakan menutup mata dengan kejadian itu. Tidak ada yang mau bertanggungjawab atas tercemarnya air sumur, polusi udara dan kemiskinan yang melilit kehidupan warga setelah munculnya semburan lumpur Lapindo. “Negara seakan tidak berbuat sesuatu bagi keadilan korban. Kalau begitu, masih adakah negara dalam kasus Lapindo,” ujar mantan Direktur Eksekutif Walhi Nasional Chalid Muhammad di Jakarta (4/9).
_________________________________ www.satudunia.net
Gambar 6 Menteri Aburizal Bakrie, Presiden Yudhoyono dan Ny. Ani Yudhoyono (sumber: www.presidenri.go.id)
Seolah-olah ada kesepahaman kolektif antara para penyelenggara negara yang tidak menganggap penting kasus Lapindo dan korban-korbannya. “Karena pemilik Lapindo Brantas masuk lingkar kekuasaan,” jelas Chalid. Pertanyaan berikutnya tentu saja adalah pelajaran apa yang dapat dipetik dari kejadian tersebut di atas? Setidaknya ada tiga hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi kita atas kejadian-kejadian pilu yang menimpa korban Lapindo itu. Ketidakberdayaan negara berhadapan dengan Lapindo dimulai dari dilanggarnya aturan tentang tata ruang wilayah yang telah menjadi sebuah keputusan bersama antara pemerintah dan wakil rakyat. Peraturan Daerah (Perda) mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo tahun 2003-2013 dengan jelas menyatakan bahwa kawasan Porong, khususnya wilayah Siring, Renokenongo dan Tanggulangin adalah wilayah pemukiman dan budidaya pertanian. Namun dengan berbagai argumentasi yang seakan-akan ilmiah dan masuk akal dari para konsultan perusahaan tambang, RTRW Kabupaten Sidoarjo itu pun dilanggar. Ijin untuk melakukan eksplorasi pertambangan di kawasan padat penduduk pun dikeluarkan. Akibatnya, bukan gas yang keluar namun justru semburan lumpur panas yang muncul. Kini semburan lumpur itu selain telah menenggelamkan sebagian Sidoarjo juga telah
_________________________________ www.satudunia.net
menimbulkan pencemaran air sumur dan polusi udara dengan jangkauan yang makin meluas. Ketidakberdayaan negara itu nampak juga pada saat mediasi antara korban Lapindo dan pemerintah di Komnas HAM (29/8). “Di Komnas HAM itu, Lapindo dengan jelas-jelas menolak membayar,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Siti Maemunah. “Padahal disitu ada BPN (Badan Pertanahan Nasional, red) yang telah bilang bahwa tanah yang tidak bersetifikat tidak ada masalah,”
Gambar 7 Lumpur Lapindo Menenggelamkan rumah (sumber : www.korbanlumpur.info)
Menurut catatan di media massa, Menteri Koordinator Kesejahtraan Rakyat (Menko Kesra) melakukan pembelaan terhadap Lapindo Brantas. Seperti yang ditulis Kompas.com pada bulan Juni 2008 lalu, Menko Kesra Aburizal Bakrie tak terlalu memperdulikan hasil penelitian Profesor Richard Davies, geolog dari Universitas Durham, Inggris yang menyimpulkan bahwa semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur, sejak dua tahun lalu dipicu oleh pengeboran Banjar Panji-1. "Itu kan satu dari 100 tanggapan lain," kata Menko Kesra Aburizal Bakrie usai mengikuti rapat persiapan kunjungan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (12/6). Sambil mengayunkan kaki, menuju lokasi kendaraan Lexus bernopol RI 13, pria yang kerap disapa Ical ini mempersilahkan pihak kepolisian Daerah Jawa Timur untuk menggunakannya sebagai berkas penyidikan. "Semua itu boleh dibawa. Ada 100 lawan 1, yang menang ya 100 lah," katanya dengan senyum melebar. Menariknya, pembelaan Aburizal Bakrie itu bertolak belakang dengan kesimpulan pengadilan dan pakar pertambangan dari perguruan tinggi ternama di Indonesia maupun di luar negeri serta hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
_________________________________ www.satudunia.net
Seperti yang ditulis dalam website Walhi, Ir Kersam Sumanta, mantan Direktorat Eksplorasi dan Produksi BPPKA-Pertamina, yang juga mantan anggota Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo, misalnya, menyatakan bahwa ada unsur kekeliruan manusia yang menyimpang dari standar operasional teknik pengeboran hingga menyebabkan terjadinya semburan.
Gambar 8 Skema pengeboran Lapindo. (Sumber: http://rovicky.wordpress.com)
Tak jauh berbeda, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar, Senin (18/2) di Malang, menegaskan, semburan lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, disebabkan kelalaian Lapindo Brantas Inc. Ia juga menolak bencana itu disebutkan sebagai bencana alam. Senada dengan Andang, ahli perminyakan ITB Rudi Rubiandini, yang juga mantan ketua tim investigasi independen luapan lumpur Lapindo, tegas menyatakan tidak banyak pihak yang memegang data tentang Lapindo. Meski begitu, para ahli dari luar negeri telah menyatakan tidak ada kaitannya antara gempa di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 dengan luapan lumpur. “Saya pikir, kesimpulan TP2LS DPR RI ini cukup aneh. Jelas-jelas fakta yang ada seperti itu, tapi pemerintah dalam hal ini DPR masih saja mengambil keputusan di luar fakta,” sesalnya. Diungkapkannya, salah satu penyebab semburan adalah pengeboran dengan tekanan yang terlalu besar di Sumur Banjar Panji I milik Lapindo. Hal itu menimbulkan keretakan tanah, dan lumpur panas akhirnya keluar lewat samping lubang yang belum dipasangi pelindung. Rudi juga menegaskan, kasus lumpur murni karena kesalahan pengeboran yang dilakukan pihak Lapindo, bukan karena peristiwa alam. Hal ini juga tidak ada kaitannya dengan gempa tektonik di Yogyakarta. Lontaran yang diungkapkan Rudi cukup beralasan. Dirinya memiliki data yang lengkap semenjak dirinya melakukan investigasi di awal kejadian, meski Lapindo tak pernah membuka data laporan pengeboran.
_________________________________ www.satudunia.net
BOX 2
Ali Azhar Akbar, penulis buku Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo, mengatakan, titik Akhirnya untuk pertama kalinya dalam sejarah (setau saya), tim Lapindo (yang berpendapat bahwa semburan Lumpur adalah kelalaian Lapindo adalah lumpur circulation material disuntikkan “bencana alam”) dipertemukan - head to head - atau denganloss tim oposisi yang berpendapat bahwa(LCM) semburan yang lumpur adalah dampak dari operasi pengeboran di sumur Banjar Panji #1. Pertemuan tsb difasilitasi oleh Forum Komunikasi Masyarakat Jawa Timur, kebertempat dalamdi Sheraton sumur- Surabaya, untuk pada mengatasi persoalan terlalu berat. Akibatnya, gas memecah hari Kamis, tanggal 28 March February 2008. lapisan tanah di sampingnya dan mencari jalan hingga akhirnya muncul ke permukaan Tim Lapindo terdiri dari: tanah. Tak lama kemudian, lumpur 1. Mas Edi Sutriono - VP Drilling EMP 2. Dr. Ir. Agus Guntoro - Geologist (Univ. Trisakti) 3. Prof. Sukendar Asikin - Pakar geology tektonik dan dosen senior ITB 4. Dr. Ir. Dody Nawangsidi - Pakar dan dosen Teknik Perminyakan ITB 5. Dr. Adriano Manzini - Geologist dan pakar mud volcano dari Norwegia (?) Tim oposisi terdiri dari: 1. Dr. Ir. Rudi Rubiandini - Pakar pengeboran dan dosen Teknik Perminyakan ITB 2. Ir. Kersam Sumanta - Pakar pengeboran yang berpengalaman dalam mematikan semburan liar (Pertamina) 3. Prof. Koesoemadinata - Pakar geology dan dosen senior ITB 4. Dr. Ir. Andang Bachtiar - Pakar geology dan mantan ketua IAGI 5. Harry Eddyarso - Tukang Ngebor Secara substansi, isi presentasi dari kedua tim tidak banyak berbeda dari pertemuan2 sebelumnya, namun kali ini dengan tambahan data yang semakin melengkapi data2 sebelumnya. Justru yang terbaru (pertama kali saya liat) adalah presentasi tentang drilling dari Mas Edi Sutriono yang menyampaikan presentasi dengan berapi-api, mungkin udah lama menahan diri (bahasa Jermannya: “ngampet“) untuk muncul ke permukaan karena mungkin belum dapat “green light” dari manajemen Lapindo. Inti dari presentasi Mas Edi itu pada dasarnya adalah untuk menangkis pendapat tim oposisi yang mengatakan semburan itu akibat dari kelalaian pengeboran. Beliau sekaligus menegaskan bahwa secara konsep dan procedural tidak ada yang salah dalam operasi pengeboran sumur Banjar Panji #1. Jadi, semburan itu keluar dari “lubang lain” yang direkahkan oleh gempa Yogya (gak ada hubungannya dengan lubang sumur Banjar Panji #1) - jadi murni bencana alam. Case 1 Adapun argumentasi yang digunakan Mas Edi Sutriono di antaranya adalah: * Di annulus yang keluar adalah air dengan berat 8.9ppg (ada di daily drilling report), sehingga dengan casing pressure 1054psi masih di bawah tekanan rekah formasi di 13-3/8″ casing shoe @ 3580ft, jadi tidak mungkin merekah. * Casing design dibuat dengan menggunakan Landmark software dengan kick tolerance = 0.5ppg –> jadi tetap aman dengan 6000ft open hole section tanpa memasang casing 9-5/8″. Padahal program asli mengatakan bahwa casing 9-5/8″ harus di pasang di kedalaman 8500ft. * Ditambahkan lagi: data2 drilling yang dipakai oleh Pak Rudi Rubiandini tidak factual (statement ini ditulis lagi di harian Kompas besoknya - Jumat, 29 Maret 2008) Case 2Sedangkan dari tim oposisi, semakin banyak data yang kami sempat “intip” dan semuanya semakin mengarahkan panas menyembur.. (memperkuat dugaan) pada kemungkinan merekahnya formasi akibat dampak dari aktifitas pengeboran. Bahkan kami bisa memperkirakan tanggal dan jam serta pada tindakan apa, formasi tsb mulai rekah berdasarkan data2 drilling tsb. sebelum semburan itu terlihat ke atas secara kasat mata oleh drilling crew di lokasi dan oleh masyarakat di hari berikutnya. Adapun untuk ketiga argumentasi Mas Edi di atas, saya menanggapinya sbb.: * Selain pressure di casing annulus, orang2 drilling selalu memakai patokan pressure di drill pipe sesuai dengan kaidah2 ilmu “well control“. Kenapa? Karena kita tau pasti bahwa yang di drill pipe adalah semuanya lumpur bor (homogen) dengan berat 14.7ppg (ini juga ada di daily drilling report) sehingga bisa dihitung dengan tepat tekanan hidrostatik di setiap kedalaman. Sedangkan di casing annulus, fluidanya (influx) pasti campuran air formasi, gas, lumpur formasi dan lumpur pengeboran dengan proporsi perbandingan yang hanya Tuhan yang tau. Influx selalu berasal dari bawah ke atas, gak bisa langsung ujug2 ada di atas / permukaan. Dalam ilmu “well control“, pressure di casing casing dipakai sebagai data penunjang, tapi bukan sebagai patokan utama untuk menghitung tekanan hidrostatik dan “kill mud weight“. Case 3* Dalam drilling practice, idealnya Kick Tolerance yang dipakai adalah at least 1 ppg. Bila kick tolerance antara 0.5ppg dan 1 ppg, kita harus sangat hati2 (ini menurut drilling manual Mobil Oil yang menjadi referensi teman2 Lapindo). Padahal menurut hitungan kami, kick tolerance yang dipakai Lapindo adalah 0.49ppg. Amankah? Ya aman2 aja bila operasi drilling berjalan dengan normal tanpa gangguan, tapi bila ada kick, semuanya bisa menjadi berantakan. * Tentang data2 drilling: Setelah melihat sendiri data2 tsb, data2 yang dipakai Pak Rudi SESUAI dengan fakta yang ada. Justru data2 yang dipakai / dilaporlkan oleh Lapindo lah yang perlu dipertanyakan. Misalnya: data casing pressure maximum yang 1054psi, cuma dilaporkan 450psi. Juga tekanan rekah yang dilaporkan = 16.4ppg EMW, sementara di drilling report nya PT. Medici (kontraktor pengeborannya) tekanan rekah dilaporkan cuma 15.7ppg EMW (atau MASP = 277psi). Lalu yang mana yang benar?
_________________________________ Sumber: Dikutip dari http://rovicky.wordpress.com/2008/03/06/harry-edyarso-lusi/ www.satudunia.net
Gambar 9 Rumah terendam akibat lumpur Lapindo (Sumber: www.korbanlumpur.info)
Godaan untuk dapat mencapai target angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi rupanya telah memperdaya negara sehingga tidak memiliki sikap tegas terhadap industri tambang. Sementara di lain sisi meninggalkan korban untuk berhadapan dengan perusahaan. Akhirnya, kasus semburan lumpur Lapindo adalah cermin dari buruknya pengelolaan sumber daya alam di negeri ini. Jika hal itu terus dipelihara maka bukan tidak mungkin akan segera muncul kecelakaan-kecelakaan industri tambang lainnya yang lebih mematikan daripada kecelakaan industri tambang Lapindo di Sidoarjo. Semoga kita semua mau belajar!
_________________________________ www.satudunia.net