Kedokteran Defensif (Defensive Medicine): Implikasi bagi Pasien, Tenaga Kesehatan, dan Rumah Sakit *)
Gea Pandhita S *) neurologist di Rumah Sakit Islam Jakarta
“Kedokteran defensif terjadi ketika dokter mengajukan dan melakukan prosedur medis, pemeriksaan medis, kunjungan pasien, atau menghindari pasien/prosedur risiko tinggi, dengan pertimbangan utama untuk menghindarkan kemungkinan tuntutan malpraktek. Dokter yang mengajukan dan melakukan prosedur/pemeriksaan medis berdasarkan pertimbangan utama menghindarkan kemungkinan tuntutan malpraktek, digolongkan melakukan kedokteran defensif positif. Dokter yang menghindari pasien/prosedur tertentu berdasarkan pertimbangan utama menghindarkan tuntutan malpraktek, digolongkan melakukan kedokteran defensif negatif“ (The Congressional Office of Technology Assessment (OTA), 1994). Kedokteran defensif merupakan suatu deviasi alur praktek kedokteran yang ditujukan untuk menghindarkan kemungkinan ancaman tuntutan malpraktek di kemudian hari. Pertimbangan utama dalam praktek kedokteran defensif lebih untuk menghindarkan pertanggungjawaban hukum dibandingkan untuk kemanfaatan pasien. Aspek Epidemiologis Praktek Kedokteran Defensif Suatu survey terhadap tiga ratus dokter, seratus perawat, dan seratus tenaga administrasi rumah sakit menunjukkan lebih dari 76% dokter menyatakan tuntutan malpraktek mengganggu performance mereka dalam memberikan pelayanan berkualitas terhadap pasien. Kekhawatiran terhadap ekses sistem tuntutan hukum yang berlebihan, mengakibatkan 91% dokter merujuk pasien ke dokter lain untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut, dan 79% dokter mengajukan pemeriksaan medis lebih banyak dibandingkan yang diperlukan. Tujuh puluh persen dokter merujuk pasien ke spesialis lebih sering daripada seharusnya, 51% dokter merekomendasikan prosedur invasif (misal: biopsi) lebih sering daripada seharusnya, dan 41% dokter meresepkan obat lebih banyak daripada yang diperlukan. Semua itu dilakukan dengan pertimbangan utama untuk menghindarkan dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diharapkan. Penelitiam tersebut juga menunjukkan sebagian besar perawat (66%) dan tenaga administrasi rumah sakit (84%) melakukan perawatan berlebihan karena kekhawatiran kemungkinan tuntutan hukum (Manner, 2007). Penelitian lain yang dilakukan terhadap dokter di Unit Gawat Darurat menunjukkan terjadi peningkatan secara bermakna angka rawat inap pasien suspek penyakit jantung iskemik akut risiko rendah dan peningkatan penggunaan alat uji diagnostik, disebabkan oleh kekhawatiran yang berlebihan terhadap kemungkinan tuntutan malpraktek. Dokter yang memiliki tingkat kekhawatiran tinggi terhadap tuntutan malpraktek akan lebih sedikit memulangkan pasien dibandingkan dengan dokter dengan tingkat kekhawatiran lebih rendah (Katz dkk, 2005). Studdert dkk (2005) menyampaikan bahwa di daerah dengan tingkat tuntutan malpraktek berlebihan, sekitar 93% dokter melakukan kedokteran defensif. Praktek kedokteran defensif yang dilakukan berupa melakukan/mengajukan lebih banyak pemeriksaan, prosedur diagnostik, dan merujuk pasien kepada spesialis lain. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan 43% dokter mengajukan pemeriksaan imaging lebih sering dibandingkan yang diperlukan, dan 42% dokter menyatakan menghindarkan melakukan prosedur medis yang berisiko, serta menghindarkan pasien-pasien risiko tinggi, karena kekhawatiran terhadap kemungkinan tuntutan malpraktek di kemudian hari. Aspek Etiologis Kedokteran Defensif Praktek kedokteran defensif dilakukan untuk menghindarkan kemungkinan tuntutan malpraktek. Tuntutan hukum malpraktek merupakan cobaan terberat paling menakutkan, baik secara emosional maupun finansial, yang dapat dialami oleh seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Di lain pihak, ternyata hampir 1
40% kasus tuntutan malpraktek yang diajukan kepada dokter ditemukan tanpa adanya medical error (Manner, 2007). Hal yang sering melatarbelakangi tuntutan hukum malpraktek yang tidak tepat atau berlebihan adalah berkaitan keterbatasan informasi dan kekurangpahaman mengenai aspek-aspek keputusan klinis (terutama terkait diagnosis dan terapi) dalam praktek kedokteran. Terdapat ekspektasi bahwa diagnosis dokter memiliki akurasi 100%, atau terapi yang diberikan memiliki efektivitas 100%. Ekspektasi ini menimbulkan bias informasi, sehingga dapat menimbulkan kekecewaan berlebihan bagi pengguna jasa medis apabila terdapat ketidaktepatan diagnosis, atau terjadi outcome terapi yang tidak sesuai harapan (Manner, 2007). Pemahaman tentang langkah-langkah pengambilan keputusan klinis dalam praktek kedokteran belum dipahami secara luas. Pengambilan keputusan klinis dalam praktek kedokteran mengacu pada konsep evidence based medicine (EBM). Suatu konsep yang disusun sebagai bagian dari proses multifaset untuk menjamin tercapainya efektivitas klinis pelayanan kesehatan penderita. Evidence-based Medicine merupakan keterpaduan antara (1) bukti-bukti ilmiah yang berasal dari studi yang terpercaya (best research evidence), (2) keahlian klinis (clinical expertise), dan (3) nilai-nilai yang ada pada masyarakat (patient values). Konsep ini mendasarkan hierarki bukti ilmiah (dalam bentuk level of evidence) untuk dijadikan dasar bagi seorang dokter dalam pengambilan keputusan klinis (Sacket dkk, 2001). Keputusan klinis dibuat berdasarkan bukti ilmiah yang terbaik dan terkini (current best evidence) dengan mempertimbangkan clinical expertise dan patient value. Bukti ilmiah dalam ilmu kedokteran diperoleh berdasarkan pengamatan dan analisis data penelitian (yang memiliki kekuatan penelitian dan tingkat kesalahan tertentu), sehingga bukan merupakan suatu ilmu yang sempurna. Oleh karena itu, ekspektasi kesempurnaan secara eksak (misalnya dalam hal efikasi terapi atau ketepatan diagnosis) dalam ilmu kedokteran adalah tidak realistis (Achadiat, 1998; Manner, 2007; Sacket dkk, 2001). Kenyataan tersebut sebenarnya telah tercermin dalam asas perjanjian / perikatan hubungan dokter-pasien yang ditegakkan berdasarkan usaha yang sebaik-baiknya (inspanningverbitenis), bukan berdasarkan hasil (resultaatverbintenis) seperti pada kontrak produsen-konsumen (Achadiat, 1998; Manner, 2007). Masih terdapat keterbatasan informasi dan kekurangpahaman pengguna jasa medis dalam hal ketepatan suatu diagnosis dan kemanjuran suatu terapi. Diagnosis medis ditegakkan menggunakan suatu metode, perasat, atau alat diagnosis tertentu. Setiap alat atau perasat diagnosis memiliki sensitivitas, spesifisitas, dan nilai likelihood ratio tertentu. Besaran-besaran ini menunjukkan seberapa tinggi tingkat akurasi yang dimiliki suatu alat atau perasat diagnosis. Demikian pula suatu obat atau tindakan terapi, masing-masing memiliki besaran Number Needed to Treat (NNT) tertentu yang menunjukkan seberapa tinggi efektivitas suatu obat, atau besaran Number Needed to Harm (NNH) tertentu yang menunjukkan seberapa besar kemungkinan timbulnya efek samping suatu obat (Sacket dkk, 2001). Hasil penelitian kedokteran menunjukkan tidak ada suatu alat atau perasat diagnosis yang sempurna memiliki akurasi 100%, atau suatu terapi yang memiliki efektivitas 100%, atau suatu terapi yang tidak memiliki kemungkinan efek samping sama sekali. Kenyataan tersebut menyebabkan terdapat kemungkinkan terjadi suatu false positive atau false negative dalam penegakan diagnosis, atau diperolehnya hasil terapi yang tidak sesuai harapan, meskipun seorang dokter telah berlaku profesional (Manner, 2007; Sacket dkk, 2001). Hal-hal terkait aspek pengambilan keputusan klinis tersebut di atas seharusnya dikomunikasikan dan dipahami oleh seluruh pihak yang terlibat dalam praktek kedokteran. Apabila terjadi konsekuensi klinis akibat ketidaksempurnaan ilmu kedokteran, seharusnya tidak ada implikasi hukumnya (tidak mendapat tuntutan secara hukum). Namun demikian, ternyata masih banyak tuntutan hukum malpraktek dikarenakan hal tersebut. Hal ini tercermin dalam hasil penelitian yang menunjukkan bahwa hampir 40% kasus tuntutan malpraktek ternyata ditemukan tanpa adanya medical error (Manner, 2007). Tuntutan hukum malpraktek yang tidak tepat atau berlebihan tentu akan menimbulkan kegamangan profesionalitas dokter. Suatu kejadian sebagai konsekuensi logis akibat tidak-sempurnanya ilmu kedokteran, disamakan dengan kejadian yang diakibatkan oleh pengambilan keputusan klinis yang menyalahi standar (malpraktek), sehingga menuntut pertanggungjawaban hukum. Sedangkan di pihak lain, praktek kedokteran alternatif yang sebagian besar tanpa didasari oleh bukti-bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, relatif aman terhadap tuntutan hukum, meskipun pada praktek kedokteran alternatif lebih sering terjadi ketidaktepatan penegakan diagnosis dan efek terapi yang tidak sesuai dengan harapan. 2
Tingginya kasus tuntutan hukum malpraktek yang tidak tepat / berlebihan, dan kekhawatiran terhadap ekses tuntutan malpraktek (termasuk ekses akibat publikasi malpraktek yang tidak tepat / berlebihan di media massa) merupakan salah satu pemicu utama terjadinya praktek kedokteran defensif (Manner, 2007). Implikasi Kedokeran Defensif Suatu penelitian di Amerika Serikat pada tahun 2006 menunjukkan bahwa biaya yang ditimbulkan akibat praktek kedokteran defensif menghabiskan 10% dari total biaya kesehatan yang dikeluarkan. Data pada tahun 1992 menunjukkan terdapat kenaikan biaya kesehatan dari US$ 25 milyar pada tahun sebelumnya menjadi US$ 50 milyar, akibat dokter menerapkan kedokteran defensif (Price Waterhouse Coopers, 2006; Sjamsuhidajat, 2007). Data kesehatan di Inggris pada tahun 2005 menunjukkan terdapat peningkatan operasi sesar (caesarean section) dari 22% menjadi 22,7% karena dokter menghindari prosedur non-operatif yang berisiko. Hal ini terkait kekhawatiran terhadap kemungkinan tuntutan malpraktek apabila terjadi hal-hal yang tidak diharapkan (Panting, 2005). Di Pennsylvania, daerah dengan tingkat tuntutan malpraktek yang berlebihan, dilaporkan bahwa sepertiga peserta pendidikan dokter spesialis kebidanan/kandungan (obstetri/ginekologi) menyatakan setelah lulus akan berpraktek di luar Pennsylvania untuk menghindarkan kemungkinan tuntutan malpraktek yang berlebihan. Suatu studi di Florida menunjukkan terdapat kecenderungan penurunan peminatan pendidikan spesialis obstetri/ginekologi berkaitan kekhawatiran tuntutan malpraktek yang berlebihan. Penerapan kedokteran defensif tersebut tentu akan berimbas pada ketersediaan tenaga dokter spesialis di suatu daerah (Mello dan Kelly, 2005; Deutsch dkk, 2006). Seorang dokter yang menerapkan defensive medicine untuk menurunkan risiko semaksimal mungkin terhadap kemungkinan tuntutan malpraktek, akan melakukan berbagai pemeriksaan medis secara berlebihan terhadap pasien yang ditanganinya. Seorang pasien influenza dapat saja harus menjalani berbagai pemeriksaan laboratorium secara lengkap (darah, urine, hati, ginjal, dan lain-lain), pemeriksaan elektrokardiografi (EKG), foto rontgen, dan sebagainya. Tujuannya supaya dokter dapat mendeteksi kondisi medis tertentu atau risiko klinis tertentu (meskipun dengan kemungkinan kejadian terkecil sekalipun). Selanjutnya setelah terdeteksi adanya kondisi medis tertentu, dapat saja dokter tidak bersedia mengobati atau bahkan merujuk pasien ke tempat lain. Hal ini tentu akan sangat merugikan pasien. Contoh lain adalah dalam penanganan kasus nyeri kepala berat. Standar pelayanan medis di suatu institusi kesehatan di Amerika Serikat merekomendasikan pemeriksaan CT-scan kepala atau pungsi lumbal untuk menyingkirkan kemungkinan adanya aneurisma. CT-scan kepala resolusi tinggi memiliki negative predictive value sebesar 99,8%, artinya terdapat kemungkinan false negative sebanyak 1 diantara 500 pasien. Meskipun kemungkinan terjadinya false negative sedemikian kecil, namun dokter yang melakukan praktek kedokteran defensif akan mengeliminir seminimal mungkin false negative tersebut, sehingga setelah melakukan pemeriksaan CT-scan kepala, tetap juga melakukan pemeriksaan pungsi lumbal. Biaya akan meningkat sekitar US$ 300 – US$ 500, dan disamping itu akan terjadi 499 pemeriksaan pungsi lumbal yang tidak perlu untuk setiap penegakan 1 (satu) diagnosis aneurisma. Akibat praktek kedokteran defensif tersebut, risiko kejadian efek samping akibat tindakan pungsi lumbal juga akan meningkat. Aspek lain sebagai implikasi tidak langsung terkait praktek kedokteran defensif adalah rumah sakit harus menggaji para risk manager dan pengacara untuk menjaga segala kemungkinan apabila terjadi tuntutan-tuntutan. Para dokter harus diasuransikan untuk risiko-risiko selama ia bertugas. Hal-hal tersebut memerlukan biaya yang tidak sedikit. Biaya ini tentu sedikit-banyak juga akan dibebankan kembali ke pengguna jasa rumah sakit, sehingga biaya pemeliharaan kesehatan menjadi membengkak. Dampak selanjutnya adalah masyarakat semakin tidak mampu menjangkau pelayanan kesehatan (Achadiat, 1999). Bagaimana Meminimalisir Praktek Kedokeran Defensif Hubungan dokter-pasien merupakan hubungan ikatan kepercayaan / saling percaya dalam hal bersamasama memecahkan permasalahan kesehatan yang dialami oleh pasien. Ikatan ini didasarkan pada asas usaha yang sebaik-baiknya (inspanningverbitenis). Berkaitan dengan hal tersebut, dokter dan pasien (serta pihak lain yang juga terlibat) harus sama-sama berlaku profesional dan proporsional untuk saling mendukung dalam 3
memecahkan permasalahan kesehatan. Dokter harus selalu memegang profesionalitas dalam menjalankan profesinya, dan mengkomunikasikan secara proporsional segala aspek yang terkait dengan pengambilan keputusan klinis. Pengambilan keputusan klinis harus selalu mempertimbangkan patient safety dengan mengacu pada konsep evidence based medicine (EBM). Hal tersebut akan membuat dokter tidak khawatir terhadap tuntutan malpraktek, karena telah menjalankan tugas profesinya sesuai kaidah etika dan ilmu kedokteran. Pasien harus memahami aspek-aspek yang terkait pengambilan keputusan klinis dengan berkomunikasi secara proporsional kepada dokter, sehingga mengetahui manfaat dan risiko setiap tindakan klinis terhadap dirinya. Pihak-pihak lain juga harus memahami aspek-aspek dalam pengambilan keputusan klinis praktek kedokteran dengan belajar dari sumber referensi yang valid dan reliabel. Tuntutan hukum malpraktek yang tepat akan mendukung peningkatan profesionalitas praktek kedokteran, namun tuntutan hukum malpraktek yang tidak tepat atau berlebihan akan menimbulkan saling ketidakpercayaan dalam ikatan dokter-pasien, sehingga akan memicu terjadinya praktek kedokteran defensif dengan segala implikasinya. Daftar Pustaka Achadiat, 1998. Sering Kandas Tuntutan Perkara Tidak Medik, Surat Kabar Harian Kompas, edisi Februari, Jakarta Deutsch A, McCarthy J, Murray K, 2006. Why are fewer medical students in Florida choosing OB/GYN? Transactions of Florida Obstetric and Gynecological Society (FOGS) annual meeting Katz, Williams, Brown, dkk, 2005. Emergency Physicians' Fear of Malpractice in Evaluating Patients With Possible Acute Cardiac Ischemia, Ann Emerg Med, 46(6):525-33 Manner, 2007. Practicing defensive medicine, Not good for patients or physicians, The AAOS Medical Liability Committee Mello MM, Kelly CN, 2005. Effects of a Professional Liability Crisis on Residents’ Practice Decisions, Obstet Gynecol, Jun;105(6):1287-95 Office of Technology Assessment (OTA), U.S. Congress, 1994. DefensiveMedicine and Medical Malpractice, OTA-H--6O2, U.S. Government Printing Office, Washington, DC Panting, 2005. Doctors on the defensive, SocietyGuardian.co.uk Price Waterhouse Coopers, 2006. The Factors Fueling Rising Healthcare Costs, Prepared for America’s Health Insurance Plans, America’s Health Insurance Plans Sacket D. L., Straus S. E., Richardson W. S., Rosenberg W., Haynes R. B., 2001. Evidence based medicine: how to practice and teach ebm, Oxford university press Studdert, Mello, Sage, et al, 2005. Defensive medicine among high-risk specialist physicians in a volatile malpractice environment, JAMA, 1;293(21):2609-17 Sjamsuhidajat, 2007. UU No 29 Sebabkan Dokter Terapkan Praktek Defensif, Media Indonesia online, Jakarta
Alamat korespondensi: dr. Gea Pandhita S, M.Kes, SpS Asisten Direktur Medis Rumah Sakit Islam Jakarta – Pondok Kopi Jl. Raya Pondok Kopi Jakarta Timur 13460 Telepon: 021-8602160
4