MU’TAZILAH
Doktrin Mutazilah
Jawab : a. Tauhid (Ke-Esaan) Tauhid di sini maksudnya meng-Esa-Kan Tuhan dari segala sifat dan af’alnya yang menjadi pegangan bagi akidah Islam. Orang-orang Mu’tazilah dikatakan ahli Tauhid karena mereka berusaha semaksimal mungkin mempertahankan prinsip ketauhidannya dari serangan Syi’ah Rafidiyah yang menggambarkan Tuhan dalam bentuk Jisim dan bisa menghindari juga dari serangan agama dualism dan Trinitas. Ketauhidan dari golongan Mu’tazilah adalah : 1. Tuhan tidak bersifat Qadim, kalau sifat Tuhan qadim berarti Allah berbilang-bilang, sebab ada dua zat yang qadim, yaitu Allah dan sifat-Nya, padahal Allah adalah Maha Esa.[1] 2. Mereka menafikan (meniadakan) sifat-sifat Allah, dalam hal ini mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat pada allah. Apa yang dipandang orang sebagai sifat bagi mu’tazilah tidak lain adalah Dzat allah itu sendiri, dalam artian allah tidak mempunyai sifat karena yang mempunyai sifat itu adalah makhluk. Jika tuhan mempunyai sifat berarti ada dua yang qadim yaitu dzat dan sifat sedangkan allah melihat, mendengar itu dengan dzatnya bukan dengan sifatnya. 3. Al-Qur’an adalah makhluk, dikatakan makhluk karena al-Qur’an adalah firman dan tidak qadim dan perlu diyakini bahwa segala sesuatu selain allah itu adalah makhluk.[2] 4. Allah bersifat Aliman, Qadiran, Hayyan, Sami’an, Basyiran dan sebagainya adalah dengan zat-Nya, tetapi ini bukan keluar dari zat Allah yang berdiri sendiri. 5. Allah tidak dapat diterka dan dilihat mata walaupun di akhirat nanti. 6. Mereka menolak aliran Mujassimah, Musyabihah, Dualisme, dan Trinitas. 7. Tuhan itu Esa bukan benda dan bukan Arrad serta tidak berlaku tempat (arah) pada-Nya b. Al-Adlu (Keadilan) Manusia memiliki kebebasan dalam segala perbuatannya dan tindakannya. Karena kebebasan itulah manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya, kalau perbuatan itu baik Tuhan memberikan kebaikan dan kalau perbuatannya buruk atau salah Tuhan akan memberi siksaan, inilah yang mereka maksudkan keadilan. Lebih jauhnya tentang keadilan ini, mereka berpendapat: 1. Tuhan menguasai kebaikan serta tidak menghendaki keburukan. 2. Manusia bebas berbuat dan kebebasan ini karena Qudrat (Kekuasaan) yang dijadikan Tuhan pada diri manusia. 3. Makhluk diciptakan Tuhan atas dasar hikmah kebijaksanaan. 4. Tuhan tidak melarang atas sesuatu kecuali terhadap yang dilarang dan tidak menyuruh kecuali yang disuruh-Nya. 5. Kaum Mu’tazilah tidak mengakui bahwa manusia itu memiliki Qudrat dan Iradat, tetapi Qudrat dan Iradat itu hanya merupakan pinjaman belaka. 6. Manusia dapat dilarang atau dicegah untuk melakukan Qudrat dan Iradat. c. Al-wa’du wal Wa’id (janji dan ancaman) Prinsip janji dan ancaman yang dipegang oleh kaum Mu’tazilah adalah untuk membuktikan keadilan Tuhan sehingga manusia dapat merasakan balasan Tuhan atas segala perbuatannya. Di sinilah peranan janji dan ancaman bagi manusia agar tidak terlalu menjalankan kehidupannya. Ajarannya ialah: 1. Orang mukmin yang berdosa besar lalu mati sebelum taubat ia tidak akan mendapat ampunan Tuhan. 2. Di akhirat tidak aka nada syafaat sebab syafaat berlawanan dengan janji dan ancaman. 3. Tuhan akan membalas kebaikan manusia yang telah berbuat baik dan akan menjatuhkan siksa terhadap manusia yang melakukan kejahatan. d.
Al-Manzilah Bainal Manzilataini (Tempat di antara dua Tempat)
Sebagaimana diuraikan terdahulu bahwa yang dimaksud dengan tempat di antara dua tempat yang dikemukakan oleh kaum Mu’tazilah yaitu tempat bagi orang fasik, yaitu orang-orang Mu’tazilah yang melakukan dosa besar tetapi tidak tidak musyrik, maka mereka dinamai fasik dan nantinya akan ditempatkan di suatu tempat yang berada di antara surga dan neraka. Orang-orang fasik ini tidak akan keluar dari neraka yang agak dingin dan tidak pula masuk surga yang penuh kenikmatan. e. Al-Ammar bil al ma’ruf wa al-nahi An-amunkar Mutazilah sangat memperhatikan perilaku, sebab iman harus dibuktikan dengan perbuatan baik, orang yang mengaku beriman tetapi tidak dibuktikan dengan perbuatan nyata, tetap terancam neraka. Ada bebrapa syrat yang harus dipenuhi seorang mikmin dalam amal ma’ruf nahi munkar yaitu: Ia harus mengetahui perintah itu dengan jelas ma’ruf dan nahi itu jelas munkar Ia mengetahui kemungkaran itu nyata dilakukan orang Ia menegetahui perbuatan amal ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membuat madarat yang lebih besar Ia mengetahui atau menduga tindakannya tidak berbahaya bagi diri dan hartanya.
Asal usul :
Jawab : Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ AlMakhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah). Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
Mu’tazilah 1 dan 2
Jawab : Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari. Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
Tokoh-tokoh :
Jawab : - Wasil bin Atha. Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya,
yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan. Abu Huzail al-Allaf. Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam. Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini. Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah. Al-Jubba’i. Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah). An-Nazzam An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim. [1] Al- jahiz Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam. Mu’ammar bin Abbad Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada
hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada bendabenda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan. Bisyr al-Mu’tamir Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu. Abu Musa al-Mudrar Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala. Hisyam bin Amr al-Fuwati Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka. 1.WASIL BIN ATHA’ ( 80-131 H/699-748 M) Lengkapnya Wasil bin Atha’ al Ghazzal,beliau terkenal sebagai pendiri aliran mu’zilah dan kepalanya yang pertama beliau pulalah yang meletakkan lima prinsip ajaran mu’tazilah. 2.AL- ALLAF ( 135-226 H/752-840 M) Namanya Abdul Huzail Muhammad bin al Huzail al Allaf.beliau merupakan murid dari Usama at Tawil,murid Wasil.puncak kebesarannya terjadi pda msa al Ma’mun.dalam suatu riwayat di sebutkan bahwa ada sekitar 3000 orang yang masuk islam di tangannya hal itu di karenakan hidupnya penuh dangan perdebatan dg orang orang zindiq,skeptik,majusi,zoroaster,dll. Ia menjelaskan bahwa tuhan maha mengetahui dengan pengetahuaNya dan pengetahuan-nya ini adalah zatnya bukan sifat-Nya. Tuhan maha kuasa dengan kekuasaan-Nya dan kekuasaan-Nya adalah zatnya bukan sifatnya demikian seterusnya. 3.AN-NAZZHAM ( wafat 231 H/845 M ) Lengkapnya Ibrahim bin Sayyar Bin Hani an Nazzham,beliau murid dari Al Allaf ,beliau juga merupakan tokoh terkemuka yang fasih bicaranya dan terkean mempunyai otak yang cerdas. Pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu maha adail Dia tidak berkuasa berbuat zalim. 4.AL JUBBA’IE ( wafat 303 H/915 M ) Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad bin Ali al Jubba’ie,beliau murid dari as Syahham ( wafat 267 H/885 M )yang juga tokoh mu’tazilah.beliau juga guru dari Imam Asy’ary,tokoh utam alira al Asy’ariyah. Pendapatnya yang mashur adalah mengenai kalam Allah SWT,sifat Allah SWT, kewajiban manusia dan daya akal. 5.BISYR BIN AL MU’TAMIR ( wafat 226 H/840 M ) Beliau adalah pendiri aliran mu’tazilah bagdad.pandangannya tentang kesusasteraan menimbulkan dugaan bahwa dialah oaring yang pertama mengadakan ilmu balaghah.diantara murid muridnya yang besar pengaruhnya dalam penyebaran aliran mu’tazilah di bagdad adalah Abu Musa Al Mudar,Tsumamah bin al Asyras,dan Ahmad bin Abi Fu’ad. 6.AZ ZAMAIHSYARI ( 467-538 H / 1075-1144 M ) Namanya jar Allah Abul Qosim Muhammad bin Umar kelahiran Zamachsyar,sebuah dusun di negri Chawarazm,Iran.pada diri beliau terkumpul karya aliran mu’tazilah selama kurang lebih empat abad.beliau juga menjadi tokoh dalam ilmu nahwu,tafsir dan paramasastera(lexicology) seperti yang dapat kita lihat dalam kitab Al Kassyaf,Al Faiq dll. 7. ABU MUSA AL-MUDRAR
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin Muktazilah yang sangat ekstrem, karena pendapatnya yang mudah mengkafirkan orang lain. Menurut syahristani, ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Qur’an. Ia juga menolak pendapat bahwa Allah dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat. 8. HISYAM BIN AMR AL-FUWATI Hisyam bin al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surge dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surge dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surge dan neraka. 9. SUMAMAH BIN ASYRAS Ibnu Asyras berpendapat bahwa manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya karena dalam dirinya sudah tersedia daya untuk berbuat. Tentang daya akal ia berkesimpulan bahwa akal manusia sebelum turunnya wahyu dapat mengetahui adanya tuhan dan mengetahui perbuatan baik serta perbuatan buruk,wahyu turun untuk memberikan konfirmasi. 10. AL-KHAYYAT Al- khayyat memberikan penafsiran yang berbeda dengan pemuka Muktazilah lainnya tentang peniadaan sifat-sifat Tuhan. Ia berpendapat bahwa jika tuhan dikatakan berkehendak ,maka kehendak tuhan itu bukanlah sifat yang melekat pada zat tuhan dan bukan pula diwujudkan melalui zat-nya. Jadi kehendak Tuhan itu bukan zat-Nya dan terlebih lagi bukan sifat-Nya melainkan diinterprestasikan dengan Tuhan mengetahui dan berkuasa mewujudkan perbuatan-Nya sesuai dengan pengetahuan-Nya.
Mihnah
Jawab : Di sisi lain, para hakim dan tokoh-tokoh masyarakat baik dari kalangan ahli fiqh maupun ahli hadis berpendirian bahwa alQuran bukanlah makhluk tetapi qadim. Faham ini yang banyak dianut oleh masyarakat pada waktu itu. Faham seperti itu ditokohi oleh Ahmad ibn Hambal dan Muhammad ibn Nuh yang pada saat diuji tetap berkeras dan tidak mau merubah keyakinan itu. Bagi kaum Mu’tazilah, termasuk al-Ma’mun memandang bahwa faham tersebut adalah suatu kekeliruan dan termasuk syirik yang harus diluruskan dan pelaksanaannya akan berjalan efektif bila dilakukan oleh penguasa melalui pemaksaan kehendak. Pemaksaan kehendak inilah yang melahirkan gerakan al-mihnah. Dengan gerakan al-mihnah agaknya mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan aliran Mu’tazilah, yang mencapai puncak pada masa khalifah-khalifah Abbasiyah yang telah disebutkan sebelumnya. Namun pada masa pasca al-mihnah, pada masa al-Mutawakkil, mulailah pengaruh Mu’tazilah mengalami kemunduran karena faham Mu’tazilah tidak lagi menjadi mazhab negara. Pengertian al-Mihnah Kata Al-Mihnah diambil dari kata mhn, pecahan dari kata mahana, yahmanu, mahnan yang berarti cobaan, menguji, memeriksa. Ahmad Amin dalam bukunya yang berjudul Dhuha alIslam, menyatakan bahwa al-Mihnah dalam kaitannya dengan perjalanan Mu’tazilah dimaksudkan sebagai pemeriksaan untuk mengetahui para ulama dan pejabat kehakiman mengenai kemakhlukan al-Quran. Bagi mereka berpendirian keqadiman alQuran maka siksalah yang diterima, karena keyakinan seperti itu dianggap syirik yang harus dibetulkan dengan cara amar ma’ruf nahyi munkar, dan bila perlu dengan kekerasan. Jadi dapat dipahami bahwa al-Mihnah adalah suatu tuduhan atau introgasi yang dilakukan oleh kaum Mu’tazilah terhadap orangorang yang tidak sepaham dengan mereka. Awal muncul dan Perkembangan Al-Mihnah Al-Mihnah muncul seiring dengan adanya dukungan dan lindungan dari khalifah al-Ma’mun, yang dikenal sebagai khalifah Abbasiyah yang condong ke dunia ilmiah dan pemikiran saintifik terhadap kaum Mu’tazilah. Dengan dukungan dan lindungan ini, kaum Mu’tazilah berada pada posisi yang kuat, bahkan mazhabnya dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Dengan kekuasaan yang dimiliki, Mu’tazilah menghadapi lawan-lawannya dengan cara-cara yang penuh kekerasan. Puncak kekerasan itu ialah diadakanlah alMihnah, yaitu untuk menguji pendapat dan kesetiaan para hakim, pemuka-pemuka dalam pemerintahan dan juga terhadap pemuka-
pemuka yang berpengaruh dalam masyarakat terhadap paham Mu’tazilah disertai tindak kekerasan dan paksaan agar mereka mau menerima paham bahwa al-Qur’an itu makhluk Tuhan. Menurut riwayat, masalah al-Mihnah sudah muncul sebelum masa khalifah al-Ma’mun berkuasa. Masalah ini pernah dibicarakan oleh al-Ja’ad ibn Dirham, akan tetapi tidak berkembang karena ia segera dibunuh oleh Khalid ibnu Abdullah, Gubernur Kufah. Hal yang sama dialami oleh al-Jahm ibnu Safwan. Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, pelaksanaan al-Mihnah dibagi kepada empat macam tingkatan: Pertama, mereka yang menolak tidak dapat lagi diterima kesaksiannya di Pengadilan. Kedua, Mereka yang bekerja sebagai guru atau muballigh, diputuskan tunjangan yang diperolehnya dari Khalifah. Ketiga, Jika masih tetap menolak akan dicambuk dan dirantai kemudian dimasukkan ke dalam penjara. Keempat, Proses terakhir dari segalanya adalah hukuman mati dengan leher dipancung. Tindak kekerasan yang ditempuh oleh Mu’tazilah dalam menyampaikan ajarannya itu berkurang setelah al-Ma’mun meninggal tahun 833 M. Setelah al-Ma’mun, pemerintah dijabat alMu’tashim. Ia adalah tokoh yang kurang memperhatikan masalah ilmiah, teologi dan filsafat. Namun demikian, ia tetap melaksanakan kebijakan yang pernah dilakukan oleh al-Ma’mun sebelumnya. Ia tetap menahan dan memenjarakan Ahmad ibn Hambal selama 18 bulan. Kemudian Ahmad ibn Hambal dikeluarkan dan dibebaskan untuk menyampaikan fatwa sampai al-Mu’tashim meninggal dunia. Kedudukan khalifah selanjutnya dipegang oleh Watsiq putra alMu’tazim. Berbeda dengan ayahnya, ia sangat menaruh perhatian terhadap bidang ilmiah dan teologi, sehingga ada yang mengindetikkannya dengan khalifah al-Ma’mun dan bahkan lebih besar dari al-Ma’mun. Karena ia dalam melaksanakan tindakan alMihnah itu lebih ketat, bahkan memperlakukan para penentangnya dengan sangat kasar. Ahli fiqh seperti Yusuf ibn Yahya al-Buwaity, Ahmad ibn Nasir dan Naim ibn Hammad adalah termasuk orangorang yang mati dalam penganiayaan yang dilakukan oleh al-Watsiq. Namun kepada ibn Hambal, ia agak lunak, karena hanya membatasinya untuk tidak bertemu dengan siapapun serta tidak boleh tinggal di tempat al-Watsiq menetap. Akibatnya, Hambal mengurung diri hingga ia meninggal dunia. Namun pada perkembangan selanjutnya al-Watsiq pun menyesali segala tindakan kekerasan yang berkaitan dengan pemaksaan paham kemakhlukan Alquran, al-Watsiq pada akhir hayatnya berusaha menghapuskan al-Mihnah, karena hal itu merupakan suatu perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar dan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian dapat dipahami bahwa al-Mihnah berkembang pada masa khalifah-khalifah Abbasiyah, al-Ma’mun, al-Mu’tashim dan al-Watsiq, yang menggunakan tindakan pemeriksaan bahkan penyiksaan untuk menyebarkan paham tentang kemakhlukan Alquran. Masa Berakhirnya al-Mihnah Dalam riwayat dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan alWatsiq, para penguasa tidak lagi memberikan siksaan terhadap pihak-pihak yang menolak paham kemakhlukan Alquran, bahkan alWatsiq sendiri telah bertaubat sebelum ia meninggal dunia. Diakhir pemerintahan al-Watsiq, terdapat seorang Syekh bernama Abu Abdu al-Rahman Abdullah ibn Muhammad ibn Ishak al-Azraniy, ketika dihadirkan di hadapan khalifah dalam keadaan terbelenggu karena al-Mihnah, dikatakannya bahwa al-Mihnah yang diperlakukan terhadap manusia bukan ajaran Nabi dan tidak pernah dipraktekkan oleh Rasulullah saw., Abu Bakar, Utsman dan Ali. Mengapa melakukan sesuatu yang tidak pernah dicontohkan Nabi? Mendengar keterangan seperti itu, al-Watsiq terdiam. Dia bangkit dari tempat duduknya dan merenungkan kalimat yang diucapkan syekh tadi, lalu Syekh pun dimaafkan dan dibebaskan. Setelah kejadian itu tidak ada lagi orang yang mendapat siksaan, dan khalifah bertaubat sebelum ia meninggal dunia tahun 847 M. Pada masa al-Mutawakkil, al-Mihnah tidak lagi diperlakukan, karena aliran Mu’tazilah telah dibatalkan sebagai mazhab negara di tahun
847 M. Dari sinilah berakhir paham al-Mihnah oleh kaum Mu’tazilah.
Pengaruh Mua’tazilah di Dunia Islam
Jawab : Mu’tazilah dalam menyelesaikan berbagai masalah keagamaan selalu menggunakan kekuatan akal pikiran. Bahkan mereka diberi nama kaum rasionalis. Kamum Mu’tazilah sangat serius membela dan mempertahankan akidah dari mereka yang bermaksud merusaknya. Dalam sejarah, pada masa pemerintahan Abbasiyah, kaum muslimin terancam dari berbagai aliran yang merupakan lawan-lawan kepercayaan Islam. Lawan-lawan itu di antaranya, paham alMujassimah, al-Rafidhah, mulhid dan zindik di samping itu juga dapat menumpas paham reinkarnasi. Karena itu dalam sejarah umat Islam tidak mengenal pembahasan yang bercorak filsafat dan lengkap tentang Tuhan, sifat-sifat dan perbuatannya dengan disertai dalil-dalil akal pikiran dan alasan-alasan naql sebelum lahir aliran Mu’tazilah. Dengan demikian, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Mu’tazilah sangat besar pengaruhnya di dunia Islam, di antaranya: 1. 2. 3. 4.
Bidang orator dan pujangga. Bidang ilmu balaghah (rethorika) Ilmu perdebatan (jadal) Bidang ilmu Kalam (Theologi Islam).
Setelah peristiwa al-mihnah seperti dibahas sebelumnya, aliran Mu’tazilah mengalami kemunduran. Sebagai suatu golongan yang kuat, berangsur-angsur menjadi lemah dan mengalami kemunduran, terutama sesudah al-Asy’ari dapat mengalahkan mereka dalam bidang pemikiran. Akan tetapi kemundurannya tidaklah menghalangi bagi simpatisan dan pengikut yang setia yang selalu menyiarkan ajaran-ajaran Mu’tazilah, antara lain al-Khayyat pada akhir abad ketiga Hijriyah, Abu Bakar al-Zamakhsyari (wafat 320 H./932 M.) pada sepanjang abad keempat Hijriyah, al-Zamakhsyari dengan tafsirnya al-Kassyaf yang pengaruhnya sangat besar dikalangan Ahlussunah waljamaah. Kegiatan orang-orang Mu’tazilah hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongol atas dunia Islam. Tetapi paham dan ajaran Mu’tazilah yang penting masih hidup dikalangan Syi’ah Zaidiah. Harun Nasution mengatakan bahwa di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang, ajaran-ajaran kaum Mu’tazilah yang bersifat rasionil itu
Kamajuan dan kemunduran
Jawab : AL-JABARIYAH DAN AL-QADARIYAH
JABARIYAH
Asal-Usul Pertumbuhan Jabariyah Kata jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa, didalam al-munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.[1].Selanjutnya, kata jabara bentuk pertama setelah ditarik menjadi jabariyah memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Dalam bahasa inggris, jabariyah disebut fatalism atau predestination yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadhar tuhan[2]. Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh ja’d bin dirham kemudian disebarkan oleh jahm bin shafwan dari khurasan. Namu dalm perkembangannya, faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya an-najjar dan ja’ad bin dirrar. Sebenarnya faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini: a. Suatu ketika nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir tuhan. Nabi melarang mereka untuk
mendebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat tuhan mengenai takdir[3]. Khalifah umar bin khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika dientrogasi, pencuri itu berkata” tuhan telah menentukan aku mencuri” mendengar ucapan itu, umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada tuhan. Oleh karena itu, umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir tuhan[4]. b. Pada pemerintahan daulah bani umayyah, pandangan tentang aljabar semakinmencuat ke permukaan. Abdullah bin abbas, melalui suratnya memberikan reaksi kertas kepada penduduk syria yang diduga berfaham jabariyah. Berkaitan dengan kemunculan aliran jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermazhab Qurra dan agama kristen bermazhab Yacobit[5]. Para Pemuka Jabariyah Dan Dokrin-Dokrinnya Menurut Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, ekstrim dan moderat. Diantara dokrin jabariyah ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan oleh dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha’ dan qadhar tuhan yang menghendaki demikian[6]. Diantara pemuka jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut: a. Jahm bin shofwan, nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham Bin Shafwan. Ia barasal dari Khurasan bertempat tinggal di kuffah. Pendapat jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut ini; 1. Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. 2. Syurga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain tuhan. 3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan aliran kaum Murji’ah. 4. Kalam tuhan adalah mahluk. Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. b. Ja’ad bin Dirham, adalah seorang maulana bani hakim, tinggal di damaskus. Ia dibesarkan dalm lingkungan orang kristen yang senang membicarakan tentang teologi. Dokrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan fikiran jahm Al-Ghuraby yang menjelaskan sebagai berikut; 1. Al-quran itu adalah mahluk, oleh karena itu dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatka kepada Allah. 2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar. 3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya. Berbeda dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun yang baik. Tetapi manusia mempunyai bagian dalamnya. Yang termasuk tokoh jabariyah moderat adalah sebagai berikut; a. An-najar, nama lengkapnya adalah husain bin muhammad annajar, para pengiktnya disebut An-Najariyyah atau Al-Husainiyah. Diantara pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut; 1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatanperbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ry[7]. 2. Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat, akan tetapi ia menyatakan bahwa tuhan dapt saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat tuhan[8]. b. Adh-Dhiar, nama lengkapnya adalah Dhirar Bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan husein an-najjar, bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang,
manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Mengenai ru’yat tuhan diakhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui indera keenam.
Asal usul al jabariyah
Golongan Jabariyah pertama kali muncul di Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan Qadariyah, yaitu pada paruh pertama abad ke-2 H / ke-8 M.Paham jabariyah berkembang pesat pada kekuasaan Daulat Umayah (661 – 750 M), dukungan Bani Umayah kepada Jabariyah didasarkan pada pengabsahan teologis yang diberikan kaum Jabariyah atas kekuasaan Umayah. Menurut Jabariyah, khilafat yang dipegang Bani Umayah adalah ketentuan dan takdir Ilahi yang harus diterima setiap orang, meskipun diketahui bahwa kursi kekhalifahan itu dipegang oleh Bani Umayah melalui tipu daya yang sangat licik terhadap Ali bin Abi Thalib. Namun bagi Jabariyah semua itu sudah merupakan ketentuan Allah dan setiap muslim tidak kuasa menghindarinya. Selanjutnya, Jabariyah juga memberikan legimitasi atas system pergantian kekuasaan yang dilakukan Bani Umayah secara turun temurun (monarki). Orang islam pertama yang memperkenalkan paham Jabariyah adalah Ja’ad bin Dirham. Paham ini kemudian diterima dan disebarluaskan oleh Jahm bin Sofwan. Tokoh yang disebut terakhir inilah yang oleh para ahli yang dipandang sebagai tokoh pendiri aliran Jabariyah yang sesungguhnya, sehingga aliran ini sering pula dinisbahkan kepada namanya dengan sebutan aliran Jahmiyah. Mengenai asal – usul aliran Jabariyah di dalam islam, pada umumnya para ahli beranggapan bahwa aliran tersebut muncul sebagai akibat dari paham agama yahudi. Dikatakan bahwa Ja’ad bin Dirham mengambil paham Jabariyah tersebut dari seorang Yahudi di Syam (suriah). Pendapat yang lebih mendetail mengatakan bahwa paham ini bersumber dari fikiran seorang Yahudi yang bernama Thalut bin A’shom yang sengaja diinfiltrasikan ke dalam Islam pada permulaan Khulafaur Rasyidin, kemudian disebarkan oleh Ibban bin Sam’an dan Ja’ad bin Dirham. Namun Abu Zahrah tidak menganggap paham orang yahudi sebagai satu – satunya yang mempengaruhi munculnya paham jabariyah. Kemunculannya sangat mungkin juga karena pengaruh paham orang – orang persia yang berlatar belakang agama zoroaster dan manu. Abu Zahrah menyebutkan adanya sebuah berita, yang menceritakan bahwa seorang laki – laki persia datang kepada Rasulullah SAW seraya berkata ;”Engkau telah melihat orang persia mengawini anak – anak dan saudara perempuannya. Apabila ditanya kenapa mereka berbuat demikian, maka mereka menjawab ini adalah Qada dan Qadar Tuhan.” Lalu Rasulullah berkata;” Akan ada diantara umatku yang berpaham demikian, dan mereka itu majusi umatku.” Bukti – bukti lain juga menunjukkan pada kita bahwa “agama yang lebih tua” dari Islam pun mempunyai sekte yang mempunyai pandangan yang serupa dengan jabariyah, aliran ini disebut serba tentu atau determinisme. Dalam agama Yahudi disebut aliran Qurra, dalam Roma Khatolik dinamakan Agustinus dan dalam Protestan dinamakan Lutheranisme. Jika ingin melihat lebih jauh lagi, ternyata paham serupa dengan Jabariyah sebenarnya telah ada jauh sebelum peradaban Islam. Zeno (350 – 264 S.M) dari Yunani yang merupakan penerus ajaran Plato (Neoplatonisme), mengemukakan sebuah pandangan bahwa benda dan roh itu adalah sama, alam ini terjadi daripada benda yang disukai luar dalam oleh roh benar, sehingga makhluk itu tidak dapat berbuat apa – apa. Terlepas dari benar ada atau tidak adanya pengaruh dari luar seperti yang telah di kemukakan seperti diatas, di dalam Al-Qur’an pun terdapat ayat – ayat yang bisa dikatakan mengarah kepada paham Jabariyah. Ayat – ayat tersebut antara lain adalah firman Allah SWT dalam surat as-Saffat ayat 96 yang artinya;”Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” Pada surat lain Allah SWT berfirman ;”Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh mahfuz) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. 57 ayat 22). Selanjutnya di dalam ayat lain Allah SWT menegaskan ;”Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka,
akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar…” (QS. 8 ayat 17). Kemudian di dalam firman-Nya yang lain Allah SWT menyatakan; ”Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila dikendaki Allah…” (QS. 76 ayat 30). Berbeda dengan aliran Qadariyah, aliran Jabariyah memahami ayat – ayat tersebut dengan pengertian yang cepat ditangkap dari lahiriah ayat – ayat tersebut, sehingga mendukung paham mereka. Dengan demikian, maka paham ini dapat hidup dan berkembang dalam dunia islam, terlepas dari kenyataan ada atau tidak adanya pengaruh dari paham yang masuk dari luar. Harun Nasution melihat bahwa kelahiran Jabariyah tidak bisa dilepaskan dari kenyataan geografis, sosiologis dan historis bangsa Arab yang hidup di tengah padang pasir tandus. Factor geografis tersebut mempengaruhi cara berfikir dan tingkat kebudayaan mereka. Kebudayaan mereka sangat sederhana dan banyak bergantung kepada kehendak alam. Mereka merasa diri lemah dan tidak berdaya menghadapi tantangan yang demikian keras. Hal inilah yang membawa mereka kepada sikap fatalistis SEKTE – SEKTE Menurut Syahrastani, terdapat 3 golongan dalam Jabariyah, yaitu : 1. Jahmiyah Jahmiyah adalah sekte para pengikut Jahm bin Sofwan, salah seotrang yang paling berjasa besar dalam mengembangkan aliran Jabariyah. Ajaran Jahmiyah yang terpenting adalah al Bari Ta’ala (Allah SWT Tuhan Maha Pencipta lagi Maha Tinggi) Allah SWT tidak boleh disifatkan dengan sifat yang dimiliki makhluk-Nya, seperti sifat hidup (hay) dan mengetahui (‘alim), karena penyifatan seperti itu mengandung pengertian penyerupaan Tuhan dengan makhluk-Nya, padahal penyerupaan seperti itu tidak mungkin terjadi. 2. Najjariyah Sekte ini dipimpin oleh Al Husain bin Muhammad an Najjar (w. 230 H / 845 M). Ajaran yang dikemukakan bahwa Allah memiliki kehendak terhadap diri-Nya sendiri, sebagaimana Allah mengetahui diri-Nya. Tuhan menghendaki kebaikan dan kejelekan, sebagaimana ia menghendaki manfaat dan mudzarat. 3. Dirariyah Sekte ini dipimpin oleh Dirar bin Amr dan Hafs al Fard. Kedua pemimpin tersebut sepakat meniadakan sifat – sifat Tuhan dan keduanya juga berpendirian bahwa Allah SWT itu Maha Mengetahui dan Maha Kuasa, dalam pengertian bahwa Allah itu tidak jahil (bodoh) dan tidak pula ‘ajiz (lemah). Dari ketiga golongan ini, syahrastani mengklarifikasikan menjadi dua bagian besar. Pertama, Jabariyah murni yang berpendapat bahwa baik tindakan maupun kemampuan manusia melakukan seutu kemauan atau perbuatannya tidak efektif sama sekali. Kedua Jabariyah moderat yang berpandangan bahwa manusia mempunyai sedikit kemampuan untuk mewujudkan kehendak dan perbuatannya
Secara umum ciri-ciri (yang juga merupakan pendapat dan ajaran ) paham Jabariyah adalah :
1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya. 2. terjadi.
Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum
3.
Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4.
Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya. 6. Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata. 7. surga.
Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk
8.
Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah.
AL QADARIYAH
2.
Pengertian Aliran Qadariah
Qadariah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinyakemampuan dan kekuatan. Sedangkan pengertian menurut terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak terintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut , dapat di fahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran ynag memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[1]
1.
3.
4.
Asal-usul Kemunculan Aliran Qadariyah
Aliran qadariyah mula-mula timbul pada tahun 70 H/689 M. tokoh utama Qadariyah adalah Ma’bad Al Juhni Al Bisri dan Ja’ad bin Dirham dan Ghailan Al-Dimasyqi, Pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan (685-705 M). Kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang qadar. Semasa hidupnya Ma’bad al-juhani berguru dengan al-Bisri, sebagaiman Washil bin Atha’ tokoh pendiri Muktazilah. Jadi Ma’bad termasuk tabiin atau generasi kedua setelah Nabi. Sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus, ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang yang tertarik engan kata-kata dan pendapatnya. Ayahnya menjadi maulana Ustman bin Affan. Kedua tokoh qadariyah ini amti terbunuh. Mabad al-juahni mati terbunuh dalam pertempuran maelawan Hajjaj tahun 80 H. ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung gubernur Sajistan, Abdurrahman al-Asy’ats, menentang kekuasaan Bani Umayyah. Sedangkan Ghailan al- Dimasyqi di hukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105125H/724-743M), khalifah dinasti Umayyah kesepuluh.hukuman bunuh atas Ghailan dilakukan karena ia terus menyebar luaskan faham qadariyah yang dianggap membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyebar luaskan faham qadariyah di Damaskus sehingga mendapat tekanan dari khalifah umar bin Abdul Aziz (717720M). Meskipun mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktivitasnya hingga umar wafat diganti oleh Yazid II (720-724M). Baru pada masa pemerintahan Hiyam bin Abdul Malik (724-743M) kegiatan Ghailan terhenti dengan eksekusi hukuman mati yang di jatuhkan kepadanya.[2] Latar belakang timbulnya qadariah ini sebagai Isyarat menentang kebijakan politik Bani Umayyah yang di anggapnya kejam . Apabila fikroh Jabariah beependapat bahwa khalifah Bani Umayyah membunuh orang , hal itu karena sudah di takdirkan Allah dan hal ini berarti merupakan topeng kekejaman Bani Umayyah, maka fikroh qadariah mau membatasi qadar tersebut. Mereka mengatakakan bahwa Allah itu adil, maka Allah akan menghukum orang yang bersalah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat kebaikan. Manusia harus bebas dalam dalam menentukan nasibnya sendiri dengan memilih perbuatan yang baik atau yang buruk. Jika Allah itu telah menentukan lebih dahulu nasib manusia, maka Allah itu zalim. Karena itu manusia harus merdeka memilih atau ikhtiar atas perbutannya. Manusia harus mempunyai kebebasan berkehendak . Orang-orang yang berpendapat bahwa amal perbuatan dan nasib manusia itu hanyalah tergantung pada qadar Allah saja, selamat atau celaka seseorang itu ditentukan oleh Allah sebelumnya, pendapat tersebut adalah sesaat. Sebab pendapat tersebut berarti menentang keutamaan Allah dan berarti menganggap-Nya pula yang menjadi sebab terjadinya kejahatankejahatan. Mustahil Allah melakukan kejahatan.[3]
Orang yang berdosa bsar itu bukanlah kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan orang fasikk itu masuk neraka secara kekal. Allah SWT. Tidak menciptakan amal perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang menciptakannyadan karena itulah maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya, dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang salah dan dosakarena itu pula, maka Allah berhak disebut adil. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali, seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar, dan meilahat dengan zatnya sendiri. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat yang menyebabkan baik atau buruk
Diambil dari kitab Fajrul Islam halaman 297/298 oleh Dr. Ahmad Amin, aliran Qadariyah memiliki ajaran pokok sebagai berikut:
TOKOH-TOKOH QADARIYAH
Berikut ini adalah tokoh-tokoh Qadariyah, yaitu: 1. Ma’bad al Juhani Menurut riwayat Ibnu Natabah Ma’bad mengambil paham Qadariyah dari seorang Kristen yang masuk Islam kemudian berbalik lagi (Murtad). Sementara itu Adz Dzahabi dalam “Mizan al-I’tidal” menulis bahwa ia seorang tabi’in yang dapat dipercaya, kendatipun dipandang memberikan contoh yang kurang pas dalam masalah Qadariyah ini.[1] Ma’bad termasuk murid Abu Dzar al-Ghifari. Ia pernah juga berguru kepada Hasan al Bashri. Ia dinyatakan orang pertama yang membahas tentang qadar. Dari sinilah mulai bangkit golongan Muslimin yang berijtihad secara rasional terhadap Nash Alquran dan Sunnah Nabi. Ia yang telah membangkitkan semangat rasional itu ternyata akhir hayatnya dibunuh oleh al-Hajjaj setelah memberontak bersama Ibnu al-Asy’at.[2] Dari sini dapat dikatakan bahwa ia dihukum bunuh karena terlibat persoalan politik dan bukan karena dituduh sebagai seorang Zindiq. 2. Ghaylan ad-Dimasqi Ayah Ghaylan adalah seorang budak yang telah dimerdekakan oleh sahabat Utsman bin Affan. Ghaylan tinggal di Damaskus, ia mahir berpidato sehingga banyak orang yang tertarik kepadanya dan mengikuti paham Qadariyah ini. Karena paham ini dianggap menyesatkan, maka Hisyam bin Abdul Malik menahan dan memerintahkan untuk memotong kaki dan tangannya, kemudian dibunuh dan di salib.[3]
PEMUKA QADARIYAH
Suatu riwayat mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengatakan Qadar adalah Ma’bad al Juhani dan Ghoelan ad Dimasyiqi.[1] Oleh karena itu yang dianggap sebagai bapak pendiri aliran ini adalah Ma’bad yang mengembangkannya sekitar tahun 70 H/689 M. Paham ini muncul pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Ma’bad mengembangkannya di Irak dan Ghoelan di adDimasyiqi daerah Syam. Sementara itu Ahmad Amin menambahkan seorang tokoh bernama Ja’ad bin Dirham. Mereka bertiga itulah yang disebut-sebut sebagai pelopor Qadariyah yang pertama. Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyum, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian beragama Islam dan balik lagi keagama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Sementara itu, W. Montgomery watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan. Hal ini memang menjadi perdebatan, namun yang jelas berdasarkan catatannya terdapat
dalam kitab Risalah ini ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara berbuat baik atau buruk. KHAWARIJ DAN MURJI’AH KHAWARIJ
Asal Usul Khawarij Dalam Kacamata Sejarah Islam
Khawarij adalah bentuk jamak dari “kharij” dan berasal dari akar kata “kharaja” yang berarti keluar, Kata keluar bermaksud “walk out” dari patuh dan loyal kepada pemimpin atau Imam yang sah, seorang khawarij mendemonstrasikan keingkarannya dan membentuk wilayah sendiri yang eksklusif. Ulama Fiqih menyebut Khawarij dengan Istilah “al-Baghi” atau pembangkang. Khawarij adalah sekelompok kaum yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib, karena mereka tidak setuju dengan upaya Tahkim/ arbitrase,1 dalam rangka mencapai perdamaian dalam perang shiffin, keluarnya khawarij dari barisan Ali ibarat keluarnya anak panah daribusurnya. Arbitrase adalah usaha dalam mewujudkan perdamaian sengketa antara dua orang atau kelompok yang berikai dan mereka sepakat untuk menunjuk seseorang yang mereka perangi untuk menyelesaikan sengkerta yang terjadi antara mereka, dan keputusan dari kedua pihak harus dipatuhi dan dijalankan, hakim yang ditunjuk untuk menyelesaikatan sengketa tersebut tidak dari kalangan pemerinta namun kal;angan swasta (lihat Stria Efendi, M Zein, Arbitrase dalam Syari’at Islam, jurnal hokum Islam, No 16 1994, h.53. Al-Khawarij lahir dari konflik yang terjadi pada masa Ali bin abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sofyan, konflik tersebut tidak bias diselesaikan, peristiwa tersebut berawal dari keinginan Ali sebagai Khalifah yang sah untuk mereshufle semua gubernur yang diangkat oleh khalifah Usman bin Affan, tetapi Mu’awiyyah selaku Gubernur Siria menolak dan tidak mentaati keputusan Ali, sehingga terjadilah konflik antara keduanya, selanjutnya Mu’awiyyah menuntut Ali segera menemukan dan menangkap dan menghukum para pelaku pembunuhan Usman, maka tidak ada alternative lain bagi Ali bi n Abi thalib kecuali memerangi Muawiyyah yang dianggapnya sebagai pembangkang. Sebanyak 50.000 balatentara dipersiapkan Alibin abi thalib berangkat menuju utara tempat tersebut bernama shifin, dan bertemun dengan pasukan Muawiyyah yang berjumlah 80.000, peperanganpun meletus, dengan kemenangan dipihak Ali. melalui juru runding Amr bin Ash Muawiyyah meminta Ali berdamai dan menghentikan peperangan, kemudian kedua pihak sepakat mengakhiri peperangan dan selanjutnya melaksanakan perundingan (arbitrase) Dalam pelaksanaannya arbitrase yang dilakukan oleh khalifah Ali bin AbiThalib dengan Muawiyyah bin Abi Sofyan di tunjuklah juru bicara masingmasing dari fihak Muawiyyah ditunjuklah Amr ibnu Ash, sementara fihak Ali menginginkan Abdullah Ibni Abbas, tetapi ditolak oleh pasukannya, sehingga pilihan suara terbanyak mengarah kepada Abu Musa AL-As’aryi, walaupun sebenarnya Ali tidak menginginkan Abu Musa al-Asari Dari fakta dioatas jelas bagi kita, bahwa dari kedua sosok perunding tersebut terdapat kepentingan yang bertolak belakang. Amru bin Ash sangat berkepentingan dalam melanggengkan status quonya, dengan Muawiyyah selain hubungan keluarga, sementara Abu Musa AL-As’aryi ia tidak memiliki hubungan darah dengan Ali dan juga tidak ada kepentingan politis, karena ia merupakan korban dari Ali dalam meresufle gubernur dan digantikan oleh Ammarah ibnu Syhihab, namun pergantian tersebut ditolak oleh penduduk Kuffah, dan tetap mempertahankan Abu Musa AL-As’aryi. Dengan demikian tidak mengherankan Amru bin Ash mati matian membela Muawiyyah semenatara Abu Musa AL-As’aryi tidak, inilah indikasi
kekalahan dalam arbitrase tesebut, arbitrase tersebut dilakukan pada bulanRamadhan 37H (Januari 659H) di suatu tempat yang bernama Dumat al-Jandal,antara Madinah dan Damaskus, adapun materi perundingan tersebut ada dua yaitu Siapa yang tepat menjadi Khalifah dan apakah Usman terbunuh secara zalim, setelah upaya lobi dan upaya serius yang ditempuh oleh Amru bin Ash, akhirnya berhasil meyakinkan Abu Musa Al-As’aryi, sehingga lahirlah keputusan bahwa Usman terbunuh secara zalim dan Muawiyah pantas menuntut balas atas kematiannya,ii dan Abu Musa al-Asari menginginkan Abdullah bin Umar sebagai Khalifah, sementara Amr bin Ash menginginkan Muawiyyah bin Abi Sofyan, karena tidak tercapai kesepakatan maka masing-masing perunding memutuskan menjatuhkan Ali dan Muawiyyah dari jabatannya dan selanjutnya keputusan diserahkan kepada umat Islam. Pada saat hasil perundingan yasng telah disetujui itu diumumkan kepada umat Islam, pada saat Amr bin Ash tampil dalam penyampaian keputusan tersebut mengeluarkan pernyataan bahwa Muawiyyah ditetapkan sebagai Khalifah, pernyataan tersebut menimbulkan suasana gaduh dan kerkecewaan dikalangan umat Islam.iii, dari peristiwa ini jelas bagi kita bahwa Arbitrase bagi Muawiyyah hanyalah sebuah upaya untuk menghindari kekalahan waktu berperang dan untuk merebut posisi khalifah, makas keputusan Amr bin Ash tersebut ditolak oleh Ali karena sudah menyimpang dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW, oleh karena dia menyatakan dirinya tetap sebagai Khalifah dan Muawiyyah sebagai pembangkang Keadaan setelah peristiwa tersebut semakin tidak stabil dan menjadikan umat islam berada dalam ketidak stabilan, sebagian umat menyalahkan Ali kenapa mau menerima Abitrase bahkan ada juga yang mengkafirkan Ali, namun ada juga pengikut Ali yang tetap mendukung Ali dan tidak menyalahkannya sedikitpun, ada juga yang bersikap netral, seja itulah islam tebagi kepada beberapa sekte. Pendukung setia Ali adalah orang-orang yang pertama mempersalahkan dalam menerima tawaran tahkim, karena menurut mereka arbitrase tidak sesuai dengan syari’at islam, bahkan mereka menyatakan setiap orang yang terlibat dalam Tahkim tersebut adalah kafir, golongan inilah yang dinamakan dengan sekte alKhawarij. Mereka memilih Jargon dan ungkapan yang menjadi landasan utama dari membentuk barisan mereka yaitu” Tidak ada hokum kecuali hokum dari Allah”. Oleh karena itu mereka menganggap Ali dan Mu’awiyyah telah menyimpang dari Islam. Landasan atau Jargon Khawarij ini diambil dari firman Allah Swt yang terdapat dalam surat al-Ma’idah ayat 44 : Artinya : Dan sesiapa Yang tidak menghukum Dengan apa Yang telah diturunkan oleh Allah (kerana mengingkarinya), maka mereka itulah orang-orang kafir. Berdasarkan ayat ini, maka mereka menjatuhkan vonis kepada Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, Abu Musa al-‘Asaryi dan Amr bi Ash sebagai Kafirv, setelah itu theology al-khawarij mengalami perkembangan dalam mengkategorikan sesorang itu kafir, seperti setiap pelaku dosa besar juga dianggap kafir. Arbitrase ini berakibat kepada hilangnya dukungan dari pengikut Ali yang militant dan marah dengan upaya Tahkim tersebut. Mereka membentuk kelompok yang bernama “al-Syurat” yaitu : Orangorang yang menjual diri secara totalitas kepada Allah dan rela berkorban demi Agama yang benar. Maka sebutan al-Syurat nama lain dari al-khawarij itu sekaligus memberikan gambaran tentang hakikat dan sifat gerakan mereka, yaitu gerakan dengan semangat, dengan sendirinya kelompok ini berkembang menjadi kelompok dengan tingkat ekstrim dan militansi yang tinggi, sehingga tidak terhindari lagi membawa mereka kepada situasi yang mudah sekali terpecah dan saling bermusuhan dan akhirnya melenyapkan mereka sendiri. Egalitarinisme yang radikal dari kelompol ini membawa mereka kepada konsep-konsep social dan poloitik yang sesungguhnya lebih dekat kepada cita-cita Islam yang diletakkan oleh Rasulullah saw dan merupakan kelanjutan cita-cita universal dalam tradisi bangsa-
bangsa. Namun karena cita-cita tersebut dibawa dengan militantsi yang tidak terkendali, konsep tersebut melahirkan hijrah; yaitu semua orang harus menyingkir dari tatanan yang mapan dan bergabung dengan mereka atas dasar Iman yang benar, korban yang menjadi target utama mereka adalah Ali ra sendiri, tokoh yang pernah mereka sanjung dan kultuskan namun akhirnya mereka habisi dalam drama pembunuhan akibat factor politis. Al-khawarij terkenal dengan kekerasan dalam berprinsip, mereka tidak mau berkompromi dalam hal penyimpangan agama selain dari ajaran Islam yang mereka yakini. Prinsip tersebut terbawa-terbawa daripada sejarah kaum khawarij itu sendiri. Mereka umumnya kaum badui yang hidup di padang pasir tandus, kehidupan sehari-hari mereka menyebabkan mereka menjadi pemberani, tegas dan tidak mau bergantung kepada orang lain. Disisi lain pula kehidupan sebagai badui membuat mereka terus semakin jauh dari ilmu Islam, oleh karena itu mereka memahami al-Qur’an dan hadis secara harfiah saja. Akibat dari aktifitas mereka yang selalu merongrong tatanan dan aturan Islam yang sudah mapan mereka juga di gelar sebagai kaum “al-hururiyun” Nisbah kepada Oase al-Hurura dekat Kufah (Markas mereka). Seperti dikatakan tadi mereka ini mengalami penghancuran diri sendiri (self annihilation) karena watak mereka yang ekstrem, akibatnya mereka perlahan-lahan punah dan hamper hilang dari peta umat Islam hingga saat ini. Walaupun secara fisik khawarij hilang dari peta umat islam saat ini, namun pada hakikatnya secara doctrinal justru dia tetap hidup dan dipakai pada faham-faham keagamaan yang saat ini berkembang.
ajaran pokok :
1. Kaum muslimin yang melakukan dosa besar adalah kafir. 2. Kaum muslimin yang terlibat dalam perang Jamal, yakni perang antara Aisyah, Thalhah, dan Zubair melawan 'Ali ibn Abi Thalib dan pelaku arbitrase (termasuk yang menerima dan membenarkannya) dihukumi kafir. 3. Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslimdari golongan manapun bisa menjadi kholifah asalkan mampu memimpin dengan benar .
tokoh :
1. Urwah bin Hudair 2.Mustarid bin Sa'ad 3.Hausarah al-Asadi 4.Quraib bin Maruah 5. Nafi' bin al-Azraq 6. 'Abdullah bin Basyir
sekte :
Sekte Muhakkimah, yang merupakan sekte pertama, yakni golongan yang memisahkan diri dari 'Ali bin Abi Thalib. Sekte Azariqoh yang lebih radikal, sebab orang yang tidak sepaham dengan mereka dibunuh. Sekte Najdat yang merupakan pecahan dari sekte Azariqoh. Sekte al-Ajaridah yang dipimpin 'Abd Karim bin Ajrad, yang dalam perkembangannya terpecah menjad i beberapa kelompok kecil seperti Syu'aibiyyah, Hamziyyah, Hazimiyyah, Maimuniyyah, dll. Perpecahan itulah yang menghancurkan aliran Khawarij. Satu-satunya yang masih ada, Ibadidari Oman, Zanzibar, dan Maghreb menganggap dirinya berbeda dari yang lain dan menolak disebut Khawarij.
MURJI’AH
SEJARAH LAHIRNYA ALIRAN MURJI’AH
Golongan Murji’ah ini mula-mula timbul di Damaskus, pada akhir abad pertama hijriah.[1] Nama Murji’ahberasal dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan, dan pengharapan. Kata arja’a bermakna juga memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan Rahmat Allah. Selain itu, arja’a juga berarti meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu orang yang mengutamakan iman dari pada amal. Oleh karena itu, Murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa (yakni Ali dan Muawiyah serta pengikut masing-masing) kelak di hari kiamat.[2] Ada beberapa teori yang berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian politik dan untuk menghindari sektarianisme. Murji’ah sebagai kelompok politik maupun Teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij. Yang mana kelompok Murji’ah merupakan musuh berat Khawarij.[3] Teori lain mengatakan bahwa gagasan irja muncul pertama kali sebagai gerakan politik yang diperlihatkan oleh cucu Ali bin Abi Tholib yaitu Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah sekitar tahun 695 M. Dengan gerakan politik tersebut Al-Hasan bin Muhammad Al-Hanafiyah mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia mengelak berdampingan dengan kelompok Syi’ah yang terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari Khawarij yang menolak mengakui ke khalifahan Muawiyah.[4] Teori lain mengatakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan Arbitrase (Tahkim) atas usulan Amr bin Ash (kaki tangan Muawiyah). Kelompok Ali terpecah menjadi dua kubu, yang pro dan kontra. Kelompok kontra yang akhirnya menyatakan keluar dari Ali disebut Khawarij. Khawarij berpendapat bahwa Tahkim bertentangan dengan Al-Qur’an atau dalam pengertian, tidak bertahkim berdasarkan hukum Allah dikatakan dosa besar dan pelakunya dihukumi dengan kafir sama dengan perbuatan dosa besar lainnya, seperti: berzina, riba, membunuh tanpa alasan, durhaka kepada orang tua, dan menfitnah wanita baik-baik. Pendapat tersebut ditentang sekelompok sahabat yang kemudian disebut Murji’ah. Murji’ah mengatakan bahwa pembuat dosa besar tetap mukmin, tidak kafir sementara dosanya diserahkan kepada Allah, apakah dia akan diampuni atau tidak.[5] Adapun secara istilah, murjiah adalah kelompok yang mengesampingkan atau memisahkan amal dari keimanan, sehingga menurut mereka suatu kemaksiatan itu tidak mengurangi keimanan seseorang.[6]
TOKOH :
Tokoh utama aliran Murji'ah ialah Hasan bin Bilal Al-Muzni, Abu Salat As-Samman, dan Tsauban Dliror bin 'Umar. Penyair Murji’ah yang terkenal pada pemerintahan Bani Umayah ialah Tsabit bin Quthanah, mengarang syair kepercayaan-kepercayaan kaum Murji’ah.[7]
AJARAN POKOK ALIRAN MURJI’AH
Iman adalah cukup dengan mengakui dan percaya kepada Allah dan rasulNya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasan hal ini seseorang tetep dianggap mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melekukan dosa besar.
Amin menerangkan: “kebanyakan aliran Murji’ah berpendapat bahwa iman ialah hanya membenarkan dengan hati saja, atau dengan kata lain iman ialah makrifat kepada Allah SWT. Dengan hati, bukan pengertian lahir. Apabila seseorang beriman dengan hatinya, maka dia adalah Mukmin dan Muslim, sekalipun lahirnya dia menyerupai orang Yahudi atau Nasrani dan meskipun lisannya tidak mengucapkan dua kalimat syahadat. Mengikrarkan dengan lisan dan amal perbuatan seperti shalat, puasa, dan sebagainya, itu bukan bagian dari pada iman.” Dasar keselamatan adalah iman semata-mata, selama masih ada iman dihati, setiap maksiat tidak dapat mendatangkan madarat atau gangguan atas seseorang. Untuk mendatangkan pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam keadaan akidah tauhid.[9] Dengan kata lain, kelompok murji’ah memandang bahwa perbuatan atau amal tidaklah sepenting iman, Yang kemudian meningkat pada pengertian bahwa, hanyalah imanlah yang penting dan yang menentukan mukmin atau tidak mukminnya seseorang, perbuatanperbuatan tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Iman letaknya dalam hati seseorang dan tidak diketahui manusia lain, selanjutnya perbuatan-perbuatan manusia tidak menggambarkan apa yang ada dalam hatinya. Oleh karena itu ucapan-ucapan dan perbuatanperbuatan seseorang tidak mesti mengandung arti bahwa ia tidak memiliki iman. Yang penting ialah iman yang ada dalam hati. Dengan demikian ucapan dan perbuatan- perbuatan tidak merusak iman seseorang. Walaupun perbuatan-perbuatan yang dilakukan melanggar syariat Islam, tetapi kalau hatinya iman, aliran tersebut masih mengatakan orang itu mukmin. Adapun mengenai orang yang lalai dalam menunaikan kewajibankewajiban, atau dia melakukan dosa-dosa besar, maka sebagian dari tokoh-tokoh Murji’ah berpendapat: tiadalah mungkin menentukan hokum bagi orang itu di dunia ini. Hal itu haruslah ditangguhkan (diserahkan saja) kepada Tuhan untuk menentukannya di hari kiamat. Dari sini timbulnya istilah ”Murji’ah”, yaitu berasal dari kata “irja’” yang berarti “menangguhkan”.[10] I’tiqad murji’ah 1.
2.
3.
4.
5.
Sudah mengetahui dalam hati atas wujudnya tuhan dan sudah percaya dalam hati kepada Rasul-rasulNya maka menjadi otomatis mukmin, walaupun mengucapkan dengan lidah hal-hal yang mengkafirkan, seperti menghina nabi, menghina al-qur’an dan lain sebagainya. Golongan murji’ah juga mengatakan, bahwa orang mukmin yang percaya dalam hati adanya Tuhan dan percaya pada rasul-rasul maka ia adalah mukmin walaupun dia mengerjakan segala macam dosa besar ataupun dosa kecil. Dosa bagi kaum murji’ah tidak apaapa kalau sudah ada iman dalam hati, sebagai keadaannya perbuatan baik tak ada gunanya kalau sudah ada kekafiran didalam hati. Orang yang telah beriman dalam hatinya, tetapi ia kelihatan menyembah berhala atau membuat dosa-dosa besar yang lain, bagi murji’ah orang ini masih mukmin. I’tiqad menangguhkan dari kaum murji’ah, yaitu menangguhkan orang yang bersalah sampai kemuka tuhan sampai hari kiamat, hal ini ditentang oleh kaum ahlussunnah wal jama’ah karena setiap orang yang salah harus dihukum didunia ini. Kalau kita ikuti faham golongan murji’ah ini maka ayatayat hukum seperti menghukum pencuri dengan memotong tangan, menghukum rajam orang yang berzina, menghukum bayar kafart dan lain-lain yang banyak tersebut dalam Qur’an tidak ada gunanya lagi karena sekalian kesalahan akan ditangguhkan sampai ke muka Tuhan saja.
SEKTE-SEKTE ALIRAN MURJI’AH
Kemunculan sekte-sekte aliran Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini, terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannyaantara lain- adalah ada beberapa tokoh aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut Murji’ah, tetapi tidak diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah washil bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah.[11] Oleh karena itulah, Ash-Syahrastani, menyebutkan sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut:[12] 1.
2. 3.
4. 5.
Murji’ah Khawarij, mereka adalah Syabibiyyah (pengikut Muhammad bin Syabib) dan sebagian kelompok Shafariyyah yang tidak mempermasalahkan pelaku dosa besar. Murji’ah Qadariyah, mereka adalah orang yang dipimpin oleh Ghilan Ad Damsyiki sebutan mereka Al Ghilaniah Murji’ah Jabariyah, mereka adalah Jahmiyyah (para pengikut Jahm bin Shafwan), Mereka hanya mencukupkan diri dengan keyakinan dalam hati saja. Dan menurut mereka maksiat itu tidak berpengaruh pada iman dan bahwasanya ikrar dengan lisan dan amal bukan dari iman. Murji’ah Murni, mereka adalah kelompok yang oleh para ulama diperselisihkan jumlahnya. Murji’ah Sunni, mereka adalah para pengikut Hanafi, termasuk di dalamnya adalah Abu Hanifah dan gurunya Hammad bin Abi Sulaiman juga orang-orang yang mengikuti mereka dari golongan Murji’ah Kufah dan yang lainnya. Mereka ini adalah orang-orang yang mengakhirkan amal dari hakekat iman.
Sementara itu, Muhammad Imarah menyebutkan 12 sekte Murji’ah, yaitu:[13] a. Al-Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shufwan b. Ash-Shalihiyah, pengikut Abu Musa Ash-Shalihi c. Al-Yunushiyah, pengikut Yunus as-Samary d. As-Samriyah, pengikut Abu Samr dan Yunus e. Asy-Syaubaniyah, pengikut Abu Syauban f. Al-Ghailaniyah, pengikut Abu Marwan al-Ghailan bin Marwan adDimsaqy g. An-Najariyah, pengikut al-Husain bin Muhammad an-Najr h. Al-Hanafiyah, pengikut Abu Hanifah an-Nu’man i. Asy-Syabibiyah, pengikut Muhammad bin Syabib j. Al-Mu’aziyah, pengikut Muadz ath-Thaumi k. Al-Murisiyah, pengikut Basr al-Murisy l. Al-Karamiyah, pengikut Muhammad bin Karam as-Sijistany Harun Nasution secara garis besar mengklasifikasikan Murji’ah menjadi dua sekte, yaitu golongan moderat dan golongan ekstrim. Murji’ah moderat berpendapat bahwa iman itu terdiri dari tasdiqun bil qolbi dan iqrorun bil lisan. Pembenaran hati saja tidak cukup ataupun dengan pengakuan lidah saja, maka tidak dapat dikatakan iman. Kedua unsur iman tidak dapat dipisahkan. Iman adalah kepercayaan dalam hati yang dinyatakan dengan lisan. jadi pendosa besar menurut mereka tetap mukmin, tidak kafir, tidak pula kekal di dalam neraka. Mereka disiksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah maka tidak masuk neraka sama sekali. Iman ini tidak bertambah dan tidak berkurang. Tak ada perbedaan manusia dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadist.[14] Murji’ah ekstrim mengatakan, bahwa iman hanya pengakuan atau pembenaran dalam hati (tasdiqun bil qolbi faqoth) bahwa orang islam yang menyatakan iman kepada Tuhan kemudian berkata kufur secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati bukan yang lain. Kemudian shalat, zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan, bukan ibadah, karena yang disebut ibadah ialah iman.[15] Adapun yang termasuk kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, AshShalihiyah, Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
Al-jahmiyah, pengikut jahm ibnu sofwan. Menurut golongan ini orang islam yang percaya pada tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanya dalam hati bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia,tetapi dalam hati sanubari. Al-shalihiyah, pengikut abu al-hasan al-shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kufur adalah tidak tahu pada Tuhan. Dalam pengertian bahwa mereka shalat bukan merupakan ibadah kepada Allah, melainkan sekedar menggambarkan kepatuhan. Karena yang disebut ibadah adalah iman kepadanya dalam arti mengetahui Tuhan. Al-Yunusiah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugian orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik. Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan, “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang mengatakan ”saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah ka’bah di India atau tempat lain.” PENGARUH ALIRAN MURJI’AH
Pengaru negatif dari aliran ini adalah: 1. Aliran Murji’ah meyakini bahwa suatu perbuatan (amal) tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sehingga banyak orang menyatakan yang penting “hatinya”, dan perbuatan maksiat yang dilakukannya tersebut seakan-akan tidak mempengaruhi keimanan di hatinya. 2. Aliran Murji’ah menyamakan antara orang yang shalih dengan yang tidak, dan orang yang istiqamah di atas agama Allah dengan orang yang fasik. Sebab menurut mereka, amal shalih tidak mempengaruhi keimanan seseorang, sebagaimana juga perbuatan maksiat tidak mempengaruhi keimanan. 3. Menghilangkan unsur jihad fi sabilillâh dan amar ma`ruf nahi mungkar. 4. Munculnya pemikiran Murji’ah ini telah menyebabkan banyak hukum-hukum Islam menjadi hilang, sehingga menjadi penyebab hilangnya syari’at. Pemikiran mereka juga telah merusak keindahan Islam, sehingga menjadi penyebab manusia berpaling dan tidak mengagungkan syari’at Allah. 5. Pemikiran Murji’ah membuka pintu bagi orang-orang yang rusak membuat kerusakan dalam agama, dan merasa tidak terikat dengan perintah dan larangan syari’at. Sehingga akan memperbesar kerusakan dan kemaksiatan di tengah kaum Muslimin. Bahkan akhirnya sangat mungkin mereka membuat melakukan perbuatan kekufuran dan kesyirikan, dengan alasan bahwa hal itu merupakan amalan, dan tidak merasa bisa menyebabkan imannya menjadi berkurang atau hilang. Na’udzubillâhi min-zhalik. Pengaruh positif aliran ini salah satunya yaitu golongan ini memberi harapan kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah SWT.
Adapun hal-hal yang melatar belakangi kehadiran murji’ah antara lain:
Ø Adanya pertentangan pendapat aantara orang-orang syi’ah dan khawarij, mengkafirkan pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan Ali dan mengkafirkan orang-orang yang terlibat dan menyetujui adanya tahkim dalam perang shiffin. Ø Adanya pendapat menyalahkan pihak Aisyiah, cs.yang menyebabkan pecahnya perang shiffin.
Ø Adanya pendapat yang menyalahkan orang yang ingin merebut kekuasaan Utsman ibnu Affan.
PENGERTIAN ILMU KALAM
Pengertian kalam secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang artinya ialah perkataan, firman, ucapan dan pembicaran. 1. Menurut Musthafa Abdul Razik ilmu kalam ialah ilmu yang berkaitan dengan akidah imani. Ilmu ini dibangun atas dasar argumentasi rasional yang dibangun atas nalar. 2. Al Farabi menyatakan, bahwa ilmu kalam ialah disiplin ilmu yang membahas zat dan sifat Allah beserta semua eksistensinya yang ada. Eksistensi itu meliputi perkara-perkara dunia hingga perkara sesudah kematian. Ilmu ini disimpulkan sebagai ilmu ketuhanan secara filosofis. 3. Ibnu Khuldun berpendapat bahwa ilmu kalam ialah disipilin ilmu yang mengandung bermacam-macam argumentasi tentang akidah imani yang didukung oleh dalil-dalil rasional. 4. Menurut Tahanuwi ilmu kalam ialah ilmu yang digunakan untuk menetapkan kebenaran akidah agama dengan mengemukakan hujah-hujah dan menolak berbagai kesamaran.