Ijtihad Aku

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ijtihad Aku as PDF for free.

More details

  • Words: 3,270
  • Pages: 12
IJTIHAD DALAM PERSOALAN UMAT A. PENDAHULUAN Istilah ijtihad pada dasarnya sudah ada sejak zaman kenabian Nabi Muhammad saw. Hadits yang menunjukkan ijtihad tersebut banyak sekali diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab Musnad Ahmad yang bunyinya :

َ‫ي بَ َعثَ ُه إِلَى الَْيمَنِ َفقَالَ َك ْيفَ تَصَْن ُع ِإ ْن َعرَضَ َلك‬ َ ِ‫صلّى اللّ ُه َعلَ ْيهِ َو َسلّمَ ح‬ َ ‫عَ ْن مُعَا ٍذ َأنّ َرسُولَ اللّ ِه‬ ُ‫صلّى اللّه‬ َ ‫ب اللّهِ قَالَ فَِإ ْن لَ ْم َيكُنْ فِي ِكتَابِ اللّهِ قَالَ فَبِسُنّةِ َرسُو ِل اللّ ِه‬ ِ ‫قَضَاءٌ قَالَ َأقْضِي ِبمَا فِي كِتَا‬ َ‫صلّى اللّ ُه َعلَيْهِ َو َسلّمَ قَا َل َأجَْتهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَال‬ َ ِ‫َعلَ ْيهِ َو َسلّمَ قَالَ فَِإ ْن لَ ْم َيكُنْ فِي سُنّةِ َرسُولِ اللّه‬ ِ‫حمْ ُد ِللّهِ الّذِي َوفّقَ َرسُولَ َرسُو ِل اللّه‬ َ ‫صلّى اللّ ُه َعلَيْهِ َو َسلّ َم صَدْرِي ثُمّ قَالَ اْل‬ َ ِ‫ض َربَ َرسُو ُل اللّه‬ َ َ‫ف‬ َ1‫سلّم‬ َ ‫صلّى اللّ ُه َعلَيْ ِه َو‬ َ ‫صلّى اللّ ُه َعلَيْهِ َو َسلّ َم ِلمَا ُي ْرضِي َرسُولَ اللّ ِه‬ َ Artinya : “Dari Muadz : Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda, “.Bagaimana anda nanti memberikan keputusan ?”. “Aku memberi keputusan dengan kitabullah”. “Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah?”. “Maka dengan sunah Rasulullah saw.” “Bagaimana kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah?.” “Aku berusaha dengan ra’yu ku dan aku tidak akan menyerah.”. Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah” Pada dalil tersebut Nabi membolehkan sahabat Muadz untuk berijtihad dengan menggunakan akalnya. Akan tetapi legitimasi hadits tersebut oleh para imam hadits masih dipertanyakan tingkat kelegalannya. Termasuk Muslim sendiri juga masih meragukan legitimasi hadits tersebut. Ini dikarenakan sanad dari hadits tersebut dianggap tidak kuat. Kendatipun hadits tersebut di kalangan para imam hadits dianggap tidak kuat toh pada hadits shoheh yang diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhori, hadits dari keduanya juga mengindikasikan adanya ijtihad semenjak zaman kenabian.

1

PCI Nihon, dll, Al Maktaba As Shamela, Musnad Ahmad Juz 5 ( Jepang, Al Meshkat NU, 2006), hlm 230.

1

Namun sekitar akhir abad ke IV Hijriyah, para ulama figh dengan lantangnya menyuarakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Baru kemudian sekitar abad ke 11 Hijriyah suara ijtihad masih terbuka dengan lantang sudah terdengar kembali. B. RUMUSAN MASALAH Berdasar paparan di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas di dalam makalah ini ke dalam beberapa rumusan masalah. Rumusan masalah tersebut adalah: 1. Apakah yang dimaksud Ijtihad ? 2. Bagaimanakah metode ijtihad ? 3. Apakah ijtihad masih terbuka ataukah tertutup ? C. PEMBAHASAN 1. Hakekat Ijtihad Istilah ijtihad berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata kerja jahada yang artinya berusaha dengan sungguh-sungguh.2 Secara bahasa istilah ijtihad ini hampir sama dengan kata “jihad”, Allah berfirman dalam S. Al Ankabut : 6   



Artinya :

 





   

Dan barangsiapa yang berjihad, Maka Sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. ( S. Al Ankabut : 6 ) Jika dikaji dari ayat tersebut seolah-olah orang yang berjihad atau berijtihad itu seharusnya digunakan untuk dirinya sendiri. Maka tidaklah mengherankan jika para imam madzab kenamaan selalu

menyatakan

bahwa

orang

lain

tidak

diperkenankan

mengikuti pendapat mereka jika tidak mengetahui alasan dan dasarnya. Akan tetapi jika pengertian ijtihad tersebut dilihat dari segi istilah, maka akan nampak jelaslah apa yang sebenarnya 2

Ali Almascatie,, Kamus Arab-Inggris-Indonesia, (Bandung :PT Al Ma’arif,1999 ), hlm.177.

2

dimaksud ijtihad. Berikut ini ada beberapa pendapat yang menguraikan tentang pengertian ijtihad dari segi terminologinya, yaitu : o Al-Ghazali menjelaskan ijtihad sebagai, mencurahkan segenap kemampuan dalam melakukan sebuah perbuatan. Kemudian dia melanjutkan, .tetapi kata ini dalam .uruf para ulama digunakan secara spesifik untuk seorang mujtahid yang mencurahkan segenap kemampuannya dalam mencari ilmu tentang hukum-hukum syariat.3 o Al-Dahlawi memberikan penjelasan yang lebih tegas dan rinci dengan berkata, .Hakikat ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukumhukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global kembali keempat macam dalil; Kitab, sunnah, ijma, dan qiyas.4 o Al-Qodhi Abdurrahman bin Ahmad al-Syafi’i al-Adhudi berkata, ijtihad adalah mencurahkan segenap usaha dan kemampuan dalam rangka mendapatkan hukum syariat yang dzanni.5 o Dalam catatan kaki kitab al-Rasail, Imam Khomeini mengatakan, ijtihad adalah keahlian (malakah) atau kemampuan yang dengannya dia dapat menarik kesimpulan hukum dari dalil-dalil.6 Dari definisi-definisi tersebut di atas maka penulis menarik kesimpulan bahwa definisi ijtihad secara istilah artinya mengerahkan kesungguhan untuk mendapatkan hukum syar'i yang pada dasarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang mana orang tersebut sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak diketemukan dalam Al-Qur’an maupun hadis dengan syarat mempunyai keahlian khusus yang dapat mendukung usahanya tersebut. Dari definisi tersebut kiranya sudah jelas bahwa yang bias berijtihad adalah orang yang mempunyai keahlian, dengan kata lain ia membutuhkan disiplin ilmu tersendiri untuk melakukan ijtihad. Dengan demikian maka tidaklah semua orang bisa dan mampu berijtihad, sebab tidak mungin semua orang mempunyai kemampuan dan keahlian dalam suatu bidang ilmu yang sama. Sebagai contoh 3

Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Al-Mustashfa, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1984 ), hlm.55. Ahmad Badaruddin, Tarjamah Ma.alam al-Madrasatain Karya Sayyid Murtadha al-.Askari, ( bandung : Rhosda Karya, 1998 ), hlm.25. 5 Nahlawi, Tarjamah Adwaar-e ijtihad Azdidghah-e Mazaahib-e Islami Karya Ayatullah Ibrahim Jannati, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 9. 6 Ahmad Junaedi, Tarjamah Al-Rasail Karya Ayatullah Khomeini, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995),hlm. 95. 4

3

misalnya seorang dokter tidak mempunyai keahlian seperti halnya pengacara demikian sebaliknya. Untuk menjadi seorang yang ahli atau seseorang dikatakan sebagai seorang ahli pastilah jika telah memenuhi criteria-kriteria tertentu, demikian juga halnya keahlian ijtihad. Kriteria atau persyaratan yang harus dikuasi oleh seseorang sebelum ia berijtihad antara lain adalah a) Mengetahui isi Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang bersangkutan dengan masalah hukum. b) Mengetahui bahasa arab dengan alat-alat yang berhubungan dengan itu, artinya dapat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits secara benar. c) Mengetahui ilmu ushul fiqih dan qaidah-qaidah fiqih yang seluas-luasnya. Al Fakhrurrazi dalam Al Mahsul berkata: “Sepenting-penting ilmu buat seseorang mujtahid, ialah: ilmu ushul” d) Mengetahui soal-soal ijma, hingga tidak timbul pendapat yang bertentangan dengan ijma’ itu. e) Mengetahui nasikh mansukh dari Al-Qur’an dan Sunnah. f) Mengetahui ilmu riwayat dan dapat membedakan mana hadits shohih dan hasan, mana yang dlaif maqbul dan yang mardud. g) At Taftaji menambahkan, selain syarat diatas, seorang mujtahid juga harus mengetahui maqashidu Asy syari’ah (tujuan syari’ah) secara umum. Asy Syathibi mensyaratkan pula agar para mujtahid itu memahami benar-benar maksud –maksud syara’7. Dari kriteria-kriteria tersebut di atas menunjukkan betapa berat dan sulitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang yang akan berijtihad ( mujtahid ). Persyaratan ini semakin mempersempit atau bahkan melarang bagi orang awam untuk berijtihad. Bagi orang yang awam mereka cukup bertanya kepada ahli ilmu jika mendapati sesuatu yang tidak diketahui, bukannya malah berijtihad sendiri. Sesuai dengan yang difirmankan oleh Allah swt dalam Al Qur’anul Karim :  



 

 









Artinya :

7

K.H Mohyiddin Abdusshomad, Fiqih Tradisi Dasar Amalan Warga NU, (Jakarta: DPP PKB,2008),hlm. 39

4

Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui. ( S. Al Anbiya : 7 ) 2. Metode Ijtihad Metode berasal dari bahasa Yunani yang berasal dari kata metodos yang berarti cara atau jalan8. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia metode adalah cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksana kegiatan guna mencapai tujuan yang telah ditentukan9. Dari definisi diatas dapat dikatakan bahwa metode mengandung arti adanya urutan kerja yang terencana, sistematis dan merupakan hasil eksperimen ilmiyah guna mencapai tujuan yang telah direncanakan. Menurut Azlurrohman bentukbentuk metode ijtihad dalam permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat berupa:10 a) Ijma’ Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. asil dari ijma’ adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.11 b) Qiyas Ada beberapa definisi tentang qiyas : o Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.12 o Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.13 o Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan didalam Al-Qur’an atau Al-Hadist dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).14 c) Istihsan Ada beberapa definisi tentang istihsan yaitu: 8

Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002),hlm.87 W.J.S. Poerwadarminto,Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka, 1984),hlm.352 10 Azlurrohman, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: Sinar Baru Algasindo, 1999),hlm.364 11 Ibid… 12 Ahmad Toha, Perpektif Islam, (Bandung: Rosda Karya, 1999),hlm.34 13 Ahmad D. Marimba, Filsafat Islam, (Bandung: Al Ma’arif, 1985),hlm.54 14 Azlurrohman, op cit..hlm.364 9

5

 Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang faqih (ahli fiqih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar. 15  Argumentasi

dalam

pikiran

seorang

faqih

tanpa

bisa

diekspresikan secara lisan olehnya.16  Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.17 Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah



kemudharatan.18  Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.19 c) Mushalat murshalah Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskahnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.20 d) Sududz Dzariah Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.21 e) Istishab Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.22 f) Urf Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adatistiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Al-Qur’an dan Hadis23 Dengan dilatarbelakangi pemahaman ayat Al-Qur’an pada firman Allah dalam surat Al Ahzab ayat 36 berikut:

15

Ahmad Toha, op cit..,hlm.34 Ahmad D. Marimba, op cit..hlm.54 17 Mohammad Aly, Mazhab Fiqih, ( Bandung: Sarana Panca Karsa, 2001),hlm.436 18 Mohammad Ihsan Maulana, op cit..,hlm.347 19 Imam Maulana, op cit..hlm. 57 20 Ahmad Toha, op cit..,hlm.35 21 Ahmad D. Marimba, op cit..hlm.55 22 Azlurrohman, op cit..hlm.367 23 Ibid… 16

6

   

   

 



  











  



 

 

 



 

    Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.24

Maka urusan manusia dalam menjalani hidupnya itu ada yang sudah ditentukan dan ada yang belum ditentukan (oleh Allah [Qur’an] dan Rasulullah Muhammad [Al-Hadist]). Untuk itu uruan-urusan yang sudah ada dan jelas ketetapannya dalam AlQur’an dan Al-Hadist oleh ulama disebut sebagai Asas Syara’ atau pokok ajaran islam. Sedangkan urusan-urusan yang tidak jelas atau tidak ada ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist disebut sebagai Furu’ Syara’ atau cabang ajaran islam. Ijtihad inilah yang tiada lain merupakan cabang ajaran islam itu. Dan hal-hal yang bersifat ijtihadi ini, dalam Al-Qur’an apapun keputusannya sudah dimaafkan oleh Allah SWT. Sifat ketetapan yang termasuk dalam Asas Syara’ ini pada dasarnya mengikat seluruh umat islam, kecuali dalam keadaan darurat. Sedangkan untuk urusan ijtihadi, pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat islam (karena pada dasarnya sudah dimaafkan oleh Allah SWT), kecuali ditetapkan oleh penguasa (ulil amri) untuk diberlakukan dibawah kekuasaannya. Itulah mengapa ketetapan ijtihad bisa berbeda karena beda ruang maupun waktu. Tergantung penguasaan argumentasi masing-masing. Disinilah letak dinamika ajaran islam dalam menghadapi tantangan zaman.25 Hanya saja untuk mengetahui apakah suatu urusan itu sudah ada atau sudah ada ketetapannya dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Tentunya orang yang mengetahuinya adalah orang yang paham betul isi Al-Qur’an dan Al-Hadist dan orang itu tunduk patuh mentaatinya.

24 25

Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Asy Syifa, 2000),hlm.458 Azlurrohman, op cit..hlm.369

7

Orang semacam itulah yang dalam Al-Qur’an disebut sebagai ulama. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Fathir ayat 28 berikut: 

 

                     Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacammacam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulam. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.26 



Jadi, ijtihad berdasarkan pelakunya bisa perorangan dan bisa pula bersamasama. Yang bersama-sama inilah sekarang ini dikenal sebagai ijma’.Lantas, berdasarkan tujuannya ijtihad itu adayang dimaksudkan untuk membangun kemashlahatan umat (selanjutnya dikenal sebagai mashlahatul murshalah) dan adayang dimaksudkan untuk mencegah atau menolak kerusakan (yang selanjutnya dikenal sebagai saddudz-dzaari’ah). Adapun Qiyas adalah salah satu metode dalam memutuskan perkara ijtihad berdasarkan firman Allah dalam surat Al Ahzab ayat 36 berikut:.    

  

 

  

  













  

 

 



     Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.27 

 



Dan juga dalam surat Al Maidah ayat 101 

 



  

    

 

    

 



 

     

        “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Qur’an itu diturunkan, niscaya akan

26 27

Departemen Agama RI, op cit,hlm.458 Departemen Agama RI, op cit, hlm.458

8

diterangkan kepadamu, Allah SWT memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”28 3. Metode Ijtihad Dalam Merespon Persoalan Umat Ijtihad terus berlaku sampai kapan pun dan keberadaannya termasuk dalam bagian ilmu atau pembahasan masalah ilmiah. Perlu dicatat bahwa seorang mujtahid harus berusaha mengerahkan kesungguhannya dalam mencari kebenaran untuk kemudian berhukum dengannya. Seseorang yang berijtihad kalau benar mendapatkan dua pahala; pahala karena dia telah berijtihad dan pahala atas kebenaran ijtihadnya, karena ketika dia benar ijtihadnya berarti telah memperlihatkan kebenaran itu dan memungkinkan orang mengamalkannya, dan kalau dia salah, maka dia mendapat satu pahala dan kesalahan ijtihadnya itu diampuni, karena sabda Nabi:

ٌ‫ِإذَا حَ َكمَ الْحَاكِمُ فَاجَْتهَدَ ثُمّ َأصَابَ َفَلهُ َأ ْجرَا ِن وَِإذَا حَكَ َم فَا ْجَتهَدَ ثُمّ أَ ْخطَأَ فََلهُ أَ ْجر‬ Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan cara berijitihad dan temyata benar, maka dia mendapat dua pahala dan apabila dia ternyata salah, maka dia mendapat satu pahala. (HR. Bukhari dan Muslim).29 Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama islam. Meski Al-Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al-Qur’an maupun Al-Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al-Qur’an dengan kehidupan moderen. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan ajaran islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al-Qur’an atau AlHadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an atau Al-Hadist itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadist, pada saat itulah maka umat islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al-Qur’an dan Al-Hadist. Jadi tujuan ijtihad adalah 28 29

Ibid..hlm.678 Umar Bakry, Terjemah Shahih Bukhori Muslim, (Semarang: Wicaksana, 1987),hlm.643

9

untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah SWT di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu. Adapun sumber fiqh yang tidak disepakati seluruh ulama fiqh atau yang disebut juga dengan al-masadir at-Taba’iyyah (sumber selain Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW) terdiri atas Istihsan, Maslahat, Istishab, Irf, Sadd az-Zari’ah, Mazhab Sahabi, dan Syar’u Man Qablana. Bagi ulama fiqh yang menyatakan bahwa al-Masadir al-Asasiyyah hanya terdiri dari Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW, Ijma’, Qiyas, dan yang termasuk al-Masadir at-Taba’iyyah tersebut dikatakan sebagai dalil atau metode untuk memperoleh hukum syara’ melalui ijtihad. Alasannya, metode-metode tersebut merupakan metode penggalian hukum Islam yang tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus disandarkan kepada Al-Qur’an dan atau sunnah Nabi SAW. Oleh sebab itu, ada diantara metode ijtihad tersebut yang keabsahannya sebagai dalil diperselisihkan ulama usul fiqh. Misalnya, metode istihsan diterima oleh ulama Mazhab Hanafi, Maliki dan sebagian Mazhab Hanbali sebagai dalil; sedangkan ulama Mazhab Syafi’i menolaknya. Karenanya dalam suatu kasus akan ditemukan beberapa hukum, apabila landasan yang dipakai adalah salah satu dari al-Masadir at-Taba’iyyah tersebut. Munculnya perbedaan ini disebabkan karena perbedaan metode yang digunakan dalam berijtihad terhadap kasus tersebut. Misalnya, kasus perselisihan dalam jual beli. Pembeli tidak mau menyerahkan uang sebelum barang yang dibelinya ia terima, sedangkan penjual tidak mau pula menyerahkan barang sebelum uang sebesar harga yang dituntutya diserahkan. Dalam kasus seperti ini, pembeli dan penjual berstatus sama-sama penggugat disatu pihak dan tergugat dipihak lain. Menurut qaidah umum (qiyas), penggugat wajib mengemukakan alat bukti untuk membuktikan kebenaran gugatannya. Namun persoalannya adalah bagaimana menentukan penggugat dan tergugat dalam kasus di atas.30 Ulama Mazhab Hanafi menyelesaikan persoalan itu melalui istihsan. Caranya dengan menetapkan bahwa keduanya sama-sama tergugat dan penggugat. Jika qiyas diterapkan dalam kasus ini, maka tidak bisa ditentukan siapa yang tergugat dan siapa yang menggugat, karena keduanya dalam waktu yang sama berstatus sebagai tergugat dan penggugat. Oleh sebab itu, baik melalui qaidah maupun metode istihsan masing-masing, mereka harus mengemukakan alat bukti atas gugatan mereka. Pembeli harus mengemukakan alat bukti bahwa penjual 30

Ibid..

10

menyerahkan barang yang dibeli sesuai dengan harga barang yang menurutnya telah disetujui bersama, sebaliknya penjual harus pula mengemukakan alat bukti bahwa harga yang dikehendakinya bukan seperti yang dikemukakan pembeli. Pihak yang tidak bisa mengemukakan alat bukti dinyatakan kalah dan harus menyerahkan tuntutan pihak lainnya.31

D. KESIMPULAN Dari pembahasan diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa: 1. Hakekat ijtihad dalam Islam adalah suatu cara berusaha yang sangat keras untuk mencapai tujuan. Jika dihubungkan dengan suatu permasalahan maka ijtihad dapat diapahami sebagai suatu usaha dengan mengarahkan segenap kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan secara benar dan bijak, bukan hanya sekadar mengikuti hawa nafsu saja. Dengan demikian tidaklah benar jika ijtihad digunakan untuk mengikuti hawa nafsu pribadi sendiri dalam mencari kemudahan dan keringanan. 2. Metode ijtihad dalam Islam meliputi urf, istishab, istihsan dan mashalihul mursalah. 3. Metode ijtihad dalam merespon persoalan umat Islam masih sangat dibutuhkan mengingat berkembangnya persoalan kaum muslimin di dunia. Meski Al-Qur’an sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al-Qur’an maupun Al-Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya AlQur’an dengan kehidupan moderen. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan ajaran islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.

31

Bakry Nazar, op cit, hlm..569

11

DAFTAR PUSTAKA Ahmad Badaruddin, Tarjamah Ma.alam al-Madrasatain Karya Sayyid Murtadha al-.Askari, Bandung : Rhosda Karya, 1998. Ahmad D. Marimba, Filsafat Islam, Bandung: Al Ma’arif, 1985. Ahmad Junaedi, Tarjamah Al-Rasail Karya Ayatullah Khomeini, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1995. Ahmad Toha, Perpektif Islam, Bandung: Rosda Karya, 1999. Ali Almascatie,, Kamus Arab-Inggris-Indonesia, Bandung : PT Al Ma’arif,1999 Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2002 Azlurrohman, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Sinar Baru Algasindo, 1999 Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, Semarang: CV. Asy Syifa, 2000 Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, Al-Mustashfa, Jakarta : Rineka Cipta, 1984. Mohammad Aly, Mazhab Fiqih, Bandung: Sarana Panca Karsa, 2001 Nahlawi, Tarjamah Adwaar-e ijtihad Azdidghah-e Mazaahib-e Islami Karya Ayatullah Ibrahim Jannati, Jakarta: Rineka Cipta, 2000. PCI Nihon, dll, Al Maktaba As Shamela, Musnad Ahmad Juz 5, Jepang, Al Meshkat NU, 2006 Umar Bakry, Terjemah Shahih Bukhori Muslim, Semarang: Wicaksana, 1987 W.J.S. Poerwadarminto,Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984.

12

Related Documents

Ijtihad Aku
April 2020 14
Ijtihad
July 2020 15
Ijtihad
April 2020 20
Ijtihad
November 2019 20
Taqleed & Ijtihad
December 2019 21
Aku
June 2020 38