HUKUM SEWA MENYEWA TANAH DALAM ISLAM MISRA Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Darul Da’wa wal Irsyad Polewali Mandar Abstrak Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain, juga senantiasa terlibat dalam akad atau hubungan muamalah. Praktek muamalah yang sering dilakukan diantaranya jual beli, pinjam – meminjam, sewa – menyewa, dan lain sebagainya. Dalam menjalankan praktek muamalah kita tak hanya menggunakan rasio akal tapi juga tetap berpegang pada Al-Qur’an dan hadis sebagai dasarnya. Salah satu bentuk muamalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sewa – menyewa. Sewa – menyewa menjadi praktek muamalah yang masih banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini. Untuk itu, sangat penting untuk membahas secara rinci tentang pengertian, hukum, dasar hukum, rukun, syarat, serta hal-hal yang diperdebatkan oleh ulama tentang sewa – menyewa agar manusia menjadi semakin mantap dengan akad sewa – menyewa yang sering dilakukan dalam kehidupannya.
A. PENDAHULUAN Sewa – menyewa dalam bahasa Arab diistilahkan dengan “Al-Ijarah”, menurut pengertian hukum Islam sewa – menyewa diartikan sebagai “suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian”. Dari pengertian ini terlihat bahwa yang dimaksud dengan sewa – menyewa itu adalah pengambilan manfaat sesuatu benda, jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali. Dengan perkataan lain dengan peristiwa sewa – menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan terasebut dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti rumah, kendaraan, tanah dan sebagainya. Di dalam istilah Hukum Islam orang yang menyewakan disebut dengan “mu’ajjir”, sedangkan orang menyewa disebut dengan “musta’jir”, barang yang disewakan diistilahkan dengan “ma’jur” dan uang sewa atau imbalan atas pemakaian manfaat barang tersebut disebut dengan “ajaran atau ujroh”. [1] Sewa – menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, adalah merupakan perjanjian yang bersifat konsesual, perjanjian ini merupakan kekuatan hukum yaitu pada saat sewa – menyewa berlangsung, dan apabila akad sudah berlangsung maka pihak yang menyewakan berkewajiban untuk menyerahkan barang kepada pihak penyewa, dan dengan diserahkannya manfaat barang atau benda maka pihak penyewa berkewajiban pula untuk menyerahkan uang sewanya.[2] Adapun dasar hukum dari sewa menyewa ini dapat dilihat ketentuan hukum yang terdapat dalam al-Qur’an surat alBaqarah ayat 233 sebagai berikut : “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. (QS. Al-Baqarah: 233).[3] Pengertian lain dari sewa – menyewa, secara etimologis kata ijarah berasal dari kata ajru yang berarti ‘iwadhu (pengganti). Oleh karena itu, tsawab (pahala) disebut juga dengan ajru (upah). Dalam syari’at Islam sewa menyewa dinamakan ijarah yaitu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi. Kalau dalam kitab-kitab fiqh kata ijarah selalu diterjemahkan dengan “sewa menyewa” maka hal tersebut jangan diartikan menyewa barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi dipahami dalam arti luas. Dalam arti luas ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Jadi menjual manfaatnya bukan bendanya.[4] Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sewa – menyewa adalah suatu perjanjian atau kesepakatan di mana penyewa harus membayarkan atau memberikan imbalan atas manfaat dari benda atau barang yang dimiliki oleh pemilik barang yang dipinjamkan. Jika melihat makna ijarah sebagai pemberian imbalan atas suatu manfaat, maka secara garis besar ijarah itu terdiri atas: 1) Pemberian imbalan karena mengambil manfaat dari suatu ‘ain seperti rumah, pakaian, dan lainlain. Jenis ini mengarah pada sewa – menyewa. 2) Pemberian imbalan akibat suatu pekerjaan yang dilakukan oleh nafs, seperti pelayan. Jenis ini lebih tertuju pada upah mengupah. Dan kedua jenis ini menunjukan bahwa perburuhan pun termasuk ke dalam bidang ijarah.[5] Menurut para ulama, sewa menyewa didefenisikan secara berbeda – beda, antara lain sebagai berikut :
Menurut Hanafiyah sewa – menyewa adalah akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti. Menurut Malikiyah sewa – menyewa adalah nama bagi akad – akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat di pindahkan. Menurut Al-syarbini al-khatib: sewa – menyewa adalah pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat. Menurut Syafi’iyah akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu. Berdasarkan defenisi-defenisi di atas maka dapat di pahami bahwa ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya.[6] Untuk sahnya sewa – menyewa, pertama kali harus dilihat terlebih dahulu orang yang melakukan perjanjian sewa – menyewa tersebut, yaitu apakah kedua belah pihak telah memenuhi syarat perjanjian pada umumnya. Unsur yang terpenting diperhatikan yaitu kedua belah pihak cakap bertindak dalam hukum yaitu punya kemampuan untuk dapat membedakan yang baik dan yang buruk (berakal). Imam Syafi’i dan Hambali menambahkan satu syarat lagi yaitu dewasa (balig), perjanjian sewa – menyewa yang dilakukan oleh orang yang belum dewasa menurut mereka adalah tidak sah, walaupun mereka sudah berkemampuan untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.[7] Sedangkan untuk sahnya perjanjian sewa – menyewa harus terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Masing-masing pihak rela untuk melakukan perjanjian sewa – menyewa, maksudnya kalau didalam perjanjian sewa – menyewa itu terdapat unsur pemaksaan maka sewa – menyewa itu tidak sah. Ketentuan ini sejalan dengan surat An-Nisa’ ayat 29: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Sdan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa’: 29). [8] Harus jelas dan terang mengenai obyek yang diperjanjikan, obyek yang sewa – menyewa yaitu barang yang dipersewakan disaksikan sendiri termasuk juga masa sewa (lama waktu sewa – menyewa berlangsung) dan besarnya uang sewa yang diperjanjikan. Obyek sewa – menyewa dapat digunakan sesuai dengan peruntukannya. Maksudnya kegunaan barang yang barang disewakan itu harus jelas, dan dapat dimanfaatkan oleh penyewa sesuai dengan peruntukannya (kegunaan) barang tersebut, bila barang itu tidak dapat digunakan sebagaimana yang diperjanjikan maka perjanjian sewa – menyewa itu dapat dibatalkan. Obyek sewa menyewa dapat diserahkan, maksudnya barang yang diperjanjikan dalam sewa – menyewa harus dapat diserahkan sesuai dengan yang diperjanjikan, dan oleh karena itu kendaraan yang akan ada (baru rencana untuk dibeli) dan kendaraan yang rusak tidak dapat dijadikan sebagai obyek perjanjian sewa – menyewa, sebab barang yang demikian tidak dapat mendatangkan kegunaan bagi pihak penyewa. Kemanfaatan obyek yang diperjanjikan adalah yang dibolehkan dalam agama, perjanjian sewa – menyewa barang yang kemanfaatannya tidak dibolehkan oleh ketentuan hukum agama adalah tidak sah dan tidak wajib untuk ditinggalkan, misalnya perjanjian sewa – menyewa rumah, yang mana rumah itu digunakan untuk kegiatan prostitusi, atau menjual minuman keras serta tempat perjudian, demikian juga memberikan uang kepada tukang ramal.[9] Adapun syarat-syarat sewa – menyewa adalah sebagai berikut : 1)
Yang menyewakan dan yang menyewa telah baligh, berakal sehat dan sama-sama ridha.
2) Barang atau sesuatu yang disewakan itu mempunyai faedah yang berharga, faedahnya dapat dinikmati oleh yang menyewa dan kadarnya jelas. 3) Harga sewanya dan keadaannya jelas, misalny: Rumah Rp. 100.000,- sebulan, dibayar tunai atau angsuran. 4) Yang menyewakan adalah pemilik barang sewae. 5) Ada kerelaan kedua belah pihak yang menyewakan dan penyewa yang digambarkan apa adanya ijab Kabul. 6) Yang disewakan ditentukan barang atau sifat-sifatnya 7) Manfaat yang dimaksud bukan hal yang dilarang syara’. 8) Berapa lama waktu menikmati manfaat barang sewa harus jelas. 9) Harga sewa yang harus dibayar bila berupa uang ditentukan berapa besarnya. 10) Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa, tidak menyewakan diri untuk perbuatan ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya.[10] Sedangkan rukun sewa – menyewa yaitu terdiri dari: Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah baligh, dan berakal sehat. Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan karena dipaksa. Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan, atau walinya. Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya. Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak. Berapa lama waktu memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan jelas. Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan jelas serta disepakati bersama. [11] Bercocok tanam adalah salah satu lapangan pekerjaan yang halal dan terbukti mendatangkan hasil. Bahkan hingga saat ini kelangsungan hidup umat manusia terus bergantung kepada hasil pertanian dan perkebunan. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berhasil digapai manusia belum mampu memberikan alternatif lain. Dan mungkin hingga Hari Kiamat kondisi ini akan terus berlangsung, hasil pertanian menjadi sumber kehidupan umat manusia. Allah Ta’ala telah mengisyaratkan akan fenomena ini dalam banyak ayat, di antaranya pada ayat berikut: هاَ ْواَل مجباَ ع ع ع د ْذ ذعل م ع م معتاَ ع ممر ع هاَ ْأ ع م ساَ ع ماَعء ع حاَ ع م ْوعمل عن مععاَ م ج ْ م عاَ ع ع م ع خعر ع ك ْد ع ع ض ْب ععم ع ل ْأمر ع مك ك م عاَ ْل عك ك م هاَ ْ ع هاَ ْوع ع من معهاَ ْ ع عواَملمر ع “Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu” [An-Nazi’at : 30-33]. Fenomena ini menjadi bukti tersendiri akan betapa besarnya jasa para petani. Dengan menikmati hasil kerja keras mereka, umat manusia di dunia dapat mempertahankan hidupnya. Berkat perannya yang senantiasa dibutuhkan oleh masyarakat luas ini, para petani mendapatkan imbalan pahala yang tiada batas: م ل ْمنه ْط عير ْأ عو ْإنساَ ع ل ْ ع ة ْإ م ل ة ع ْعزمر ع ْأ عمو ْي عمزعر ك،َسا صد عقع ة م ة ه ْب م م ماَ ْ م كاَ ع م ة م مم ع ة س ْغ عمر ع م م ن ْل ع ك ن ْأومب عهمي م ع ْفعي عأك ك ل م م ك،َعا ن ْ ك ع ه ْ ع ر ْ ك م م م ْي عغم م سل م م “Tidaklah ada seorang muslim yang menanam satu pohon atau menanam tetumbuhan, lalu ada burung, atau manusia atau hewan ternak yang turut memakan hasil tanamannya, melainkan tanaman itu bernilai sedekah baginya.” [Riwayat Bukhori hadits no 2195 dan Muslim hadits no. 1552] Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Pada hadits-hadits ini terdapat petunjuk tentang keutamaan bercocok tanam dan betani. Pahala sorang petani terus mengalir hingga Hari Kiamat, selama pohon
dan tumbuhan yang ia tanam atau kegunaannya masih bisa dimanfaatkan. Dan sebelumnya, para ulama juga telah berselisih pendapat tentang mata pencaharian yang paling bagus dan utama. Ada yang berpendapat bahwa yang paling utama adalah perdagangan. Ada pula yang berpendapat bahwa perkerjaan paling utama ialah industri. Ada lagi yang mengatakan bahwa pertanian adalah yang paling utama, dan pendapat inilah yang lebih benar.” [Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi 5/396] B. Sewa – Menyewa Tanah dalam Islam Sewa – menyewa tanah dalam hukum perjanjian Islam dapat dibenarkan keberadaannya, baik tanah itu digunakan untuk tanah pertanian atau juga untuk pertapakan bangunan atau kepentingan lainnya. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal perjanjian sewa – menyewa tanah adalah sebagi berikut: Untuk apakah tanah tersebut digunakan, sebab apabila digunakan utnuk lahan pertanian maka harus diterangkan dalam perjanjian jenis apakah tanaman yang harus ditanam ditanah tersebut, sebab jenis tanaman yang ditanam akan berpengaruh pula tehadap jumlah uang sewanya. Namun demikian dapat juga dikemukakan bahwa keaneka ragaman tanaman dapat juga dilakukan asal saja orang yang menyewakan atau pemilik dari tanah tersebut mengizinkan tanahnya untuk ditanami apa saja yang dikehendaki oleh pihak penyewa. Apabila dalam sewa – menyewa tanah tidak dijelaskan untuk apakah tanah tersebut digunakan, maka sewa – menyewa yang diadakan dinyatakan batal (fasid), sebab keagungan tanah sangat beragam. Dengan tidak jelasnya penggunaan tanah itu dalam perjanjian, dikhawatirkan akan melahirkan persepsi yang berbeda antara pemilik tanah dengan pihak penyewa dan pada akhirnya akan menimbulkan persengketaan antara kedua belah pihak. [17] Sedangkan hikmah sewa – menyewa ada dua yaitu: Hikmah dalam persyariatan sewa- menyewa sangatlah besar sekali, karena didalam sewa menyewa terdapat unsur saling bertukar manfaat antara manusia yang satu dengan yang lainnya. Karena perbuatan yang dilakukan oleh satu orang pastilah tidak sama dengan perbuatan yang dilakukan oleh dua orang atau tiga orang misalnya: apabila persewaan tersebut berbentuk barang , maka dalam akad persewaan diisyaratkan untuk menyebutkan sifat dan kuantitasnya. Hikmah dalam persewaan adalah untuk mencegah terjadinya permusuhan dan perselisihan tidak boleh menyewakan suatu barang yang tidak ada kejelasan manfaatnya yaitu sebatas perkiraan dan terkaan belaka dan, barangkali tanpa diduga barang tersebut tidak dapat memberikan faedah apa pun.[18] C. HUKUM MENYEWAKAN TANAH PERTANIAN Jasa dan peran para petani beserta hasil kerjanya begitu penting karena menyangkut hajat hidup orang banyak termasuk Anda. Karena itu, terwujudnya ketahanan pangan bagi seluruh lapisan masyarakat menjadi bagian penting bagi terwujudnya kejayaan mereka. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa pada awal Islam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sahabatnya dari menyewakan ladang atau tanah pertanian. Mungkin salah satu hikmah yang dapat kita petik dari larangan itu ialah guna memeratakan ketahanan pangan. AlMuhalla oleh Ibnu Hazm 8/211, Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusyd 2/179, dan Fat-hul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani 5/24 Kondisi para sahabat, terlebih kaum Muhajirin pada awal hijrah ke kota Madinah, sangat memprihatinkan. Mereka berhijrah ke kota Madinah tanpa membawa serta harta kekayaannya.
Kondisi ini tentu perlu disiasati dengan bijak dan hikmah, sehingga tidak berkepanjangan dan menimbulkan dampak sosial yang berat. Guna menyiasati kondisi ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan beberapa hal, di antaranya dengan: 1. Melarang Penyewaan Ladang: كاَنت ْل عه ْأ عرض ْفعل ميزر ْغ مهاَ ْفعإن ْل عم ْيستط ع م ْوع ع ْ ل حعهاَ ْأ ع ع من ع م ن ْي عمزعر ْع ععهاَ ْوعع ع ع ع ْأ م م م م ع م ع م م مسل م ع ه ْاَل م ك خاَ ك جعز ْع عن معهاَ ْفعل مي ع م ع عم ع ع ن ْ ع ع م ك م ة م م يك ع جمر ع هاَإ ملياَه ك ؤاَ م “Barang siapa memiliki sebidang tanah, maka hendaknya ia menggarap dan menanaminya. Dan bila ia tidak bisa menanaminya atau telah kerepotan untuk menanaminya, maka hendaknya ia memberikannya kepada saudaranya sesama muslim. Dan tidak pantas baginya untuk menyewakan tanah tersebut kepada saudaranya.” [Riwayat Bukhari hadits no. 2215 dan Muslim hadits no. 1536] 2. Mensyari’atkan Kerja Sama Yang Saling Menguntungkan: Hubungan kerja sama yang saling menguntungkan ini diwujudkan dalam bentuk musaqaah atau muzaraah. Melalui dua skema kerja sama ini, kaum Anshar mempekerjakan Muhajirin di ladang mereka, dan kemudian di saat musim panen tiba, mereka membagi hasilnya sesuai perjanjian. Adanya kerja sama ini nampak dengan jelas pada penuturan sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu berikut ini: ع ع:ْ ل ْعقاَ ع،ل خي ع ْ َفوُعنا ْت عك م ك:ْ َقاَعلوُا ل ْفع ع ن ْإ م م وُاَن معناَاَلن ل م م ْاَقم م ه ْع عل عي م م عقاَل ع م ه ْوع ع سل ل ع صللىَّ ْاَلل ل ك ىَّ ْ ع ت ْاَلن م ع خ ع سم ْب عي من ععناَ ْعو ْب عي م ع صاَكر ْمللن لب م ى ع معمعناَوعأ ع م ْمفىَّ ْاَل ل ة ْوعن ك م َطععنا مكئوُن ع ع س م معر م ْعقاَكلوُاَ ْ ع،ة ش ع شرمك كك ك م اَل م ع “Orang-orang Anshar berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Bagilah ladang kurma kami menjadi dua bagian, satu bagian untuk kami dan yang lain untuk saudara-saudara kami Muhajirin.” Namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab usulan ini dengan bersabda: Tidak. Lalu beliau menawarkan solusi lain melalui sabdanya:”Bila demikian, kalian mempercayakan kepada kami urusan ladang kalian, dan selanjutnya kami turut serta bersama kalian dalam menikmati hasilnya.” Spontan kaum Anshar menyambut tawaran beliau ini dan berkata: “Ya, kami mendengar dan patuh kepada petunjuk ini.” [Bukhari hadits no. 2200] Demikianlah kondisi ini berlangsung hingga beberapa saat lamanya. Adapun setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para sahabat berhasil menundukkan musuh-musuhnya, maka terbukalah lahan pertanian yang melimpah ruah. Sejak saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganulir larangannya dan merestui penyewaan lahan pertanian. Walaupun hal kedua, yaitu kerja sama dengan skema musaqaah atau muzaraah tetap dibiarkan, karena solusi ini terus dibutuhkan adanya hingga akhir masa. Walau demikian satu ketentuan yang hendaknya Anda indahkan ketika Anda hendak menyewakan ladang Anda. Ketentuan ini bertujuan menjaga tercapainya keadilan dan tranparasi dalam akad sewa menyewa ladang. D. KEPASTIAN DAN KEJELASAN MASA SEWA DAN NILAI SEWA. Sewa-menyewa termasuk ladang pertanian, sejatinya adalah bentuk pertukaran harta kekayaan. Karena itu kejelasan merupakan satu hal penting yang harus Anda wujudkan padanya. Semua itu demi menghindari perselisihan dan silang pemahaman antara kedua belah pihak. Dan dengan cara ini, masing-masing pihak mendapatkan haknya secara utuh tanpa ada yang terkurangi. Ketentuan ini merupakan aplikasi nyata dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut: ع ه ْع عل عي م م أ ل ه ْوع ع سل ل ع صللىَّ ْاَلل ل ك ي ْ ع م ْن ععهىَّ ْع ع م ن ْاَلن لب م ى ن ْب عي ممع ْاَل مغععررم
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli untung-untungan (gharar).” [Riwayat Muslim hadits no. 1513] Nilai sewa atau masa sewa yang tidak jelas, menjadikan akad tersebut terlarang dalam Islam. Karena itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyewakan ladang dengan upah berupa bagian dari hasil ladang itu, yang nominal atau jumlahnya tidak dapat ditentukan. ل ْ ع ع ع ل ْ ع قاَ ع ْ ه ق ْفع ع ن ْ ع حن مظ عل ع ك س ْب م م ت ْعراَفم ع ع ى ْعقاَ ع ع سأل م ك ل ْعبأ ع ض ْمباَلذ لهع م س ْاَلن م ع خد مي ممج ْع ع م صاَرم ى ة ْب م ك ب ْعواَل موُعرم م ع ْب م م ن ْقعي م م ن ْك معراَمءاَلمر م ع ع م م ع ل ع ل ل ع ع م م ع ل ْوعأشعياَعء ن ْع علىَّ ْ ع ماَذ معياَعناَ م ه ْع علي م م عه م ج ع ل ْاَل ع جكرو ع ماَ ْكاَ ع ه ْوع ع م ْع علىَّ ْاَل ع سل ع صلىَّ ْاَلل ك س ْي كؤاَ م إ من ل ع ي ْ ع ن ْاَللناَ ك داَوم م ت ْوعأقعباَ م د ْاَلن لب م ى ع ع ع ك ذاَ ْفعل مذ عل م ع س ْك معراَةء ْإ م ل ك ك ع ل ْهع ع ع ع ع ع ْ ،ه َنا لل ْ ن ك ي ْ م ل ف ْ َذا ه ْ ك ل يه و ْ َذا ه ْ م ل س ي و ْ َذا ه ْ م ل س ي و َذا ه ْ ك ل يه ع ف ع ر ز ن ْاَل م م ع م ع ع ع م م ل م ع ع ع ع ع ل م م جعر ْع عن م ك ك ْكز م م ك ك م ع ع ع م ع م ع ن ْفع ع ماَ ْ ع س ْب مهم موُ ة م م معمكلوُ ة ض ك م ْ ع ىَّةء ْ ع فعأ ل ل ْعبأ ع ش م Pada suatu hari, Hanzhalah bin Qais al-Anshari bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal hukum menyewakan ladang dengan uang sewa berupa emas dan perak. Maka Rafi’ bin Khadij menjawab, “tidak mengapa. Dahulu semasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masyarakat menyewakan ladang dengan uang sewa berupa hasil dari bagian ladang tersebut yang berdekatan dengan parit atau sungai, dan beberapa bagian hasil tanaman. Dan kemudian di saat panen tiba, ladang bagian ini rusak, sedang bagian yang lain selamat, atau bagian yang ini selamat, namun bagian yang lain rusak. Kala itu tidak ada penyewaan ladang selain dengan cara ini, maka penyewaan semacam ini dilarang. Adapun menyewakan ladang dengan nialai sewa yang pasti, maka tidak mengapa.”[Muslim hadits no. 1547] Hadits ini menjelaskan ketentuan uang sewa: 1. Bila sewa ladang dengan uang baik dinar atau dirham atau uang lain yang serupa, maka insya Allah tidak mengapa. 2. Namun, bila uang sewa berupa hasil tanaman yang ditanam di ladang tersebut maka ada dua kemungkinan: Kemungkinan Pertama: Uang sewa ditentukan dengan hasil ladang tertentu. Misalnya penyewa atau pemilik ladang atau keduanya menyepakati bahwa hasil ladang bagian atas, atau yang dekat dengan parit adalah sebagai uang sewa. Kesepakatan semacam inilah yang dilarang dalam hadits Rafi’ bin Khadij di atas. Alasannya, bisa jadi tanaman di ladang tidak semuanya menghasilkan. Ada kemungkinan yang mengahasilkan hanya sebagian saja, sehingga sangat dimungkinkan terjadi perselisihan, karena salah satu pihak merasa dirugikan. Wajar bila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, demi menjaga keutuhan persatuan dan persaudaraan antara umat Islam. Kemungkinan Kedua: Uang sewa ditentukan bentuk nisbah (persentase). Bila uang sewa adalah bagian dari hasil ladang, dan nominalnya ditentukan dalam bentuk nisbah persentase tertentu dari hasil ladang maka akad semacam ini insya Allah tidak mengapa. Walau pun banyak dari ulama yang melarangnya, pendapat Imam Ahmad dan lainnya yang membolehkan akad ini lebih kuat, dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Hukum asal setiap akad adalah halal. b. Tidak ada dalil yang melarang. c. Akad ini, walaupun secara lahir adalah akad sewa-menyewa, sejatinya akad ini adalah akad musaqah atau muzaraah. Alasan ini berdasarkan satu kaidah dalam ilmu fiqih yang menjelaskan bahwa standar hukum suatu akad adalah substansi atau hakikatnya dan bukan sekedar teks dan ucapannya. [Al-Qawaid al-Kulliyyah wadh-Dhwabith al-Fiqhiyyah oleh Muhammad Utsman Syabir hlm.121]
Berdasarkan kaidah ini dapat kita simpulkan bahwa akad diatas, walaupun menggunakan kata-kata sewa dan uang sewa, secara hukum adalah akad musaqaah atau muzaraah. Serupa dengan akad sewa ladang yang terlarang pada hadits ini adalah menyewakan lahan untuk dibangun suatu gedung perhotelan atau lainnya, sedang pada akad sewa tersebut disepakati bahwa bila masa sewa telah berlangsung 30 tahun- misalnya- maka gedung hotel beserta seluruh hasilnya menjadi hak pemilik lahan. Dengan demikian, selama 30 tahun pertama pemilik lahan tidak mendapatkan uang sewa, atau mendapatkannya namun dalam nominal yang relatif kecil. Anda pasti sepakat bahwa tidak seorangpun tahu bagaimana kira-kira kondisi gedung setelah berlalu 10 tahun (apalagi 30 tahun, Red). Kondisi demikian dapat dipastikan rentan memancing munculnya sengketa dan silang pemahaman. Solusi dari akad sewa semacam ini ialah degan menjadikan harga tanah sebagai bentuk penyertaan modal. Dengan demikian, kepemilikan hotel, gedung, dan tanahnya dimiliki bersama antara investor dan pemilik lahan. Segala keuntungan dibagi berdua sesuai dengan perjanjian dan persentase modal yang mereka sertakan. Dengan solusi ini, kejelasan dalam berbagai aspek akad dapat terwujud, sebagaimana kedua belah pihak berkewajiban menanggung risiko usaha sebesar persentase modalnya. E. ANTARA MENYEWAKAN DAN MENGGADAIKAN LADANG Diantara bentuk akad yang banyak dilakukan masyarakat, terlebih mansyarakat pedesaan, ialah menggadaikan lahan pertanian mereka. Berdasarkan akad ini mereka mendapatkan sejumlah piutang, dan sebagai konsekuensinya mereka menyerahkan ladangnya untuk digarap oleh kreditor. Sebagaimana pada saat jatuh tempo, debitor (penghutang) berkewajiban mengembalikan utangnya dengan utuh tanpa dikurangi sedikit pun. Demikianlah gadai sawah atau ladang yang banyak dilakukan oleh masyarakat. Akad gadai semacam ini, walaupun telah merajalela, bukan berarti akad ini tanpa masalah alias halal. Akad ini sejatinya adalah akad yang mengandung unsur riba, karena akad ini adalah akad piutang yang mendatangkan keuntungan, sehingga haram secara hukum syari’at. Sahabat Fudhalah bin Ubaid Radhiyallahu anhu: كك ى َوُ ْرمعبا من مفععع ع ض ْ ع جلر ْ ع ة ْفعهك ع ل ْقعمر م “Setiap piutang yang mendatangkan manfaat maka itu adalah riba.” [Rriwayat al-Baihaqi 5/350] Ucapan serupa juga ditegaskan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salam dan Anas bin Malik Radhiyallahu anhum sebagaimana disebutkan oleh al-Baihaqi pada kitabnya di atas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,”Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, diantaranya sahabat Abdullah bin Salam dan Anas bin Malik.” [Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah 29/334] Coba Anda renungkan: Debitur (penghutang) semasa masih menggarap ladangya ternyata mengalami kesulitan, sehingga berhutang. Tentu setelah ladangnya ia gadaikan, kondisinya semakin parah. Karena itu pada kenyataannya di masyarakat, orang-orang yang menggadaikan lahannya dengan cara semacam ini kesulitan untuk melunasi piutangnya, dan banyak dari mereka terpaksa menjual lahannya. Kondisi semacam ini tentu tidak baik dan mengancam kerukunan masyarakat. Karena itu, pada kesempatan ini saya menawarkan dua solusi halal dan jauh dari riba: Solusi Pertama: Akad Sewa
Menyewakan lahan kepada investor selama beberapa waktu, dapat menjadi alternatif pengganti akad gadai yang mengandung riba. Sebagai pemilik lahan, Anda dapat menyewakan lahan kepada orang lain (investor) dalam batas waktu tertentu, dengan uang sewa yang Anda inginkan dan disetujui oleh penyewa. Dengan hasil penyewaan ini Anda dapat memenuhi keburuhan Anda, tanpa harus terjerumus dalam praktik riba. Solusi Kedua : Kerja Sama Diantara solusi yang lebih adil dan jauh dari perselisihan ialah dengan menjalin kerja sama antara pemilik lahan dengan penggarap. Berdasarkan kerja sama ini kedua belah pihak berhak mendapatkan bagian dari hasil ladang sesuai dengan persentase yang disepakati. Dan sebaliknya bila ladang gagal menghasilkan, maka penggarap ladang bebas dari kewajiban apapun selain mengembalikan ladang kepada pemiliknya. Akad kerja sama antara dua belah pihak ini dapat menggunakan skema musaqah bila ladang telah ditanami dengan tanaman yang dapat menghasilkan dalam jangka waktu panjang. Dengan skema kerja sama ini pengelola –biasanya- bertanggung jawab merawat tanaman dan kemudian memanen hasilnya. Sementara itu, pengadaan lahan dan juga penanaman pohon adalah tanggung jawab pemodal alias pemilik lahan. Sebagaimana dapat pula di jalin hubungan dengan skema muzaraah bila tanaman yang ditanam hanya menghasilkan dalam masa yang pendek atau bahkan sekali panen. Solusi ini pernah diterapkan langsung oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama penduduk negeri Khaibar. Sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma mengisahkan : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempercayakan pengelolaan ladang negeri Khaibar kepada orang-orang Yahudi, agar mereka yang menggarap dan menanamnya. Sebagai imbalannya, mereka berhak mendapatkan separuh dari hasilnya” [Bukhari hadits no. 2165] Kebijakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Demikian pula halnya Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu, terutama pada awal pemerintahannya. Namun, setelah mempertimbangkan berbagai hal, Khalifah Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu akhirnya menghentikan kerja sama ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Barangsiapa mencermati perdalilan prinsipprinsip ini, niscaya ia mengetahui bahwa akad ini (muzaraah dan musaqaah) lebih dekat dengan prinsip-prinsip syariah tersebut. Kedua akad ini lebih selaras dengan nalar sehat dan lebih jauh dari hal-hal yang terlarang dibanding akad menyewakan ladang. Bahkan lebih selaras dibanding berbagai akad jual beli dan sewa-menyewa yang telah disepakati oleh ulama akan kehalalannya. Mengingat kedua akad ini mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat luas tanpa ada efek negatif yang mengancam mereka. [al-Qawa’id an-Nuraniyyah : 242] F. PENUTUP Kesimpulan: Sewa – menyewa dalam bahasa Arab diistilahkan dengan “Al-Ijarah”, menurut pengertian hukum Islam sewa – menyewa diartikan sebagai “suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Pengertian lain dari sewa – menyewa, secara etimologis kata ijarah berasal dari kata ajru yang berarti ‘iwadhu (pengganti). Hal-hal yang menyebabkan batalnya perjanjian: terjadinya aib pada barang sewaan, rusaknya barang yang disewakan, Rusaknya barang yang diupahkan, terpenuhinya manfaat yang diakadkan, Adanya uzur.
Sewa – menyewa tanah dalam Islam. Dalam hukum perjanjian Islam dapat dibenarkan keberadaannya, baik tanah itu digunakan untuk tanah pertanian atau juga untuk pertapakan bangunan atau kepentingan lainnya. Semoga paparan singkat tentang hukum menyewakan lahan pertanian ini menambah khazanah ilmiah dan meningkatkan iman Anda kepada syari’at Islam. Syari’at Islam tentang hukum menyewakan tanah ini menjadi satu bukti tesendiri tentang kesempurnaan Islam. Sebagaimana dapat pula menjadi bukti nyata bahwa Islam dalam segala aspek kehidupan menusia telah menyajikan solusi jitu dan terbaik. Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita semua sebagai umat Islam yang senantiasa patuh dan taat dengan segala perintah dan syari’atNya. Wallahu a’lamu bish shawab.
G. Daftar Pustaka Al-Qur’an Terjemahan , Kudus, Penerbit Menara Kudus, 1427 H Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, Cet. 4., Jakarta, Sinar Grafika, 2004 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1997 Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Jakarta Bulan Bintang, 1970 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 11, Jakarta, Pena Pundi Aksara, 1987 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, jilid 14, Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1988 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2010 [1]Chairuman Pasaribu, “Hukum Perjanjian dalam Islam”. (Jakarta; Sinar Grafika; 2004; Cet. 4), hal.52. [2] Ibid [3] Al-Qur’an Terjemahan , (Kudus; Penerbit Menara Kudus; 1427 H), hal. 37. [4] Helmi Karim, “Fiqh Muamalah”. ( Jakarta; PT Raja Grafindo Persada; 1997), hal. 29. [5] Ibid, hal. 30. [6] Ibid, hal. 33. [7] Hukum Perjanjian dalam Islam … hal. 53. [8] Al-Qur’an Terjemahan … hal. 84-83. [9] Ibid, hal. 54. [10] Hasbi Ash-Shiddieqy, “Hukum-Hukum Fiqih Islam”. (Jakarta; Bulan Bintang; 1970), hal. 490. [11] Ibid, hal. 491. [12] Sayyid Sabiq, “Fiqh Sunnah”. (Jakarta; Pena Pundi Aksara; 1987; Jilid. 11), hal. 203. [13] Ibid, hal. 205. [14] Sayyid Sabiq, “Fiqh Sunnah”. (Bandung; PT. Al-Ma’arif; 1988; Jilid. 14), hal. 34. [15] Al-Qur’an Terjemahan … hal. 388. [16] Al-Qur’an Terjemahan … hal. 559. [17] Sulaiman Rasjid, “Fiqh Islam”. (Bandung; Sinar Baru Algesindo; 2010), hal. 303