BAB 1 : PENDAHULUAN
Latar belakang Saksi dalam perkahwinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah kerna setiap perkahwinan harus disaksikan oleh dua orang saksi (Ps.24 KHI). Kehadiran saksi dalam akad nikah mutlak diperlukan, apabila saksi tidak hadir pada saat akad nikah dilangsungkan, akibat hukumnya nikah tersebut tidak sah. Pasal Undang-Undang Perkahwinan ayat (1) menegaskan: “perkahwinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Perkahwinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami istri, jaksa dan suami atau istri”.1 Al-Daruquthny meriwayatkan dari Aisyah , bahwa Rasulullah Saw. Bersabda :
ال نكح إال بولي وشاهدي عدل “tidak sah suatu akad nikah kecuali dihadiri wali dan dua orang saksi”(Riwayat al-Daruquthy)2 Kehadiran saksi sebagai rukun nikah, memerlukan persyaratan –persyaratan agar nilai persaksiannya berguna bagi sahnya akad nikah. Saksi, selain merupakan rukun nikah, ia dimaksudkan guna mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di kemudian hari apabila salah satu suami atau istri terlibat perselisihan dan diajukan perkaranya ke pengadilan. Saksi-saksi tersebut yang menyaksikan akad nikah dapat dimintai keterangan sehubungan dengan pemeriksaan perkaranya. Maka dalam pelaksanaannya, selain sakd=si harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah, sakdi diminta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. Kerana itu, nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat kediaman dicamtumkan dalam akta nikah. Rumusan Masalah a. Apa yang dimaksudkan dengan saksi? b. Bagaimana syarat-syarat untuk menjadi saksi? c. Apakah fungsi dan hikmah menjadi wali?
1 Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta:Rajawali Pers, 2015.hlm73 2 Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 6,(Kairo: MAktabah al-Adab,tt.) hlm 126
a. BAB 11: PEMBAHASAN
A. Pengertian saksi Saksi yang dimaksudkan di sini ialah orang yang menyaksikan pernikahan itu, sekurangkurangnya dua orang yang dapat dipertanggungjawabkan kesaksiannya yaitu tidak tuli dan buta, orang gila atau anak-anak. Saksi untuk pernikahan muslim hendaklah orang muslim dan tidak ada halangan untuk anak sendiri jadi saksi pernikahan asal ia telah dewasa. (Nasaruddin Latif,2001:32)3 Pengertian saksi menurut para ulama:4 Salam Madkur mengartikan:
الشاهدة عبارة عن إخبار صدق في مجلس الحكم بلفظ الشهادة إلثبات حق على الغير Kesaksian adalah istilah pemberitahuan seseorang yang benar didepan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menetapkan hak orang lain.” Ibnul Hammam mengartikan:
إخبار صدق إلثبات حق بلفظ الشهادة في مجلس القضاء Kesaksian adalah pemberitahuan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan ucapan kesaksian di depan sidang pengadilan.”
3
Drs.Beni Ahmad Saebani, M.Si. Fikh Munakahat. Hlm 254 Tihami, dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), cet. IV, h. 106 4
Ketentuan saksi dalam Komplikasi Hukum Islam yaitu: 5 Pasal 24 (1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Pasal 25 Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli. Pasal 26 Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan. B. Syarat-syarat saksi Mengikut Pasal 25 dalam KHI yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli. Untuk diterima kesaksian menjadi saksi, seorang saksi harus memenuhi beberapa syarat. dibawah ini akan dikemukakan syarat-syarat saksi: a. Islam Islam adalah syarat untuk dapat diterima kesaksian saksi. Dalam hal ini, Imam Taqiyuddin mengutarakan: “maka saksi tidak dapat diterima dan orang kafir zalim atau kafir harbi, baik kesaksiannya terhadap muslim maupun terhadap kafir.6 b. Baligh Baligh merupakan syarat untuk diterimanya saksi. Sebagaiman firman Allah Swt.
واستشهدواشهيدين من رجالكم
5 6
Pasal 24 s/d Pasal 26 Komplikasi Hukum Islam Tihami, dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap... cet. IV, hlm 111
Artinya: “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki di antaramu” c. Berakal Menurut Syeikh Wahbab al-Zuhaily dalam kitabnya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa tidak sah kesaksian orang gila terhadap pernikahan. Alasannya adalah tidak terealisasikannya tujuan dari pada kesaksian itu sendiri. Pada dasarnya tujuan dari kesaksian itu sendiri ada mengumumkan, memantapkan pernikahan untuk kehidupan masa yang akan datang tatkala terjadi perselisihan dan pengingkaran.7 d. Adil Adil menurut imam Imam Syafi’i adalah orang yang shaleh orang yang tidak fasiq.Prof. Mahmud Yunus mengutip pendapat Ibnu Sam’ani bahwa adil itu harus: a. Memelihara perbuatan taat (amal shaleh) dan menjauhi perbuatan maksiat (dosa), b. Tidak mengerjakan dosa kecil yang sangat keji, c. Tidak mengerjakan yang halal yang dapat merusakkan muru’ah (kesopanan), tidak meng’itikadkan sesuatu yang ditolak mentah-mentah oleh dasar-dasar syara’.8 e. Dapat berbicara Dalam hal ini, sudah barang tentu seorang saksi harus dapat berbicara. Kesaksian orang yang tidak bisa berbicara jelaslah yang demikian ini akan dapat menimbulkan keraguan. Oleh karenanya, apabila tidak bisa berbicara, maka kesaksiannya tidak dapat diterima, sekalipun ia dapat menggunakan dengan isyarat dan isyaratnya itu dapat dipahami, kecuali bila ia menuliskan kesaksiannya itu. f. Ingatannya Baik Kesaksian orang yang kemampuan daya ingatnya sudah tidak normal, pelupa, dan sering tersalah, jelaslah tidak dapat diterima kesaksiannya. Kesaksian orang yang demikian ini diragukan kebenarannya, sebab akan banyak sekali yang ini yang mempengaruhi ketelitiannya, baik dalam mengingat maupun dalam menggunakan kesaksiannya. Oleh karena itu, kesaksiannya tidak dapat diterima.9
7
Wahbah al-Zuhaily,Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Syiria: Dar al-Fikr, t.t.), vol. IX, hlm 6562 Ahmad Kuzari,Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. I,hlm 52 9 Tihami, dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap. . . cet. IV, hlm 113-114 8
g. Bersih dari Tuduhan Bila terjadi suatu kecurigaan atau tuduhan yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan sekitarnya, bahkan bisa jadi dari aparat keamanan yang ditujukan kepada sepasang suami isteri yang sah (tuduhan semacam kumpul kebo) maka keberadaan dua orang saksi sangat menetukan untuk menjelaskan bahwa meraka memang benar-benar sudah melangsungkan akad nikah.10 Di samping itu ada syarat-syarat saksi menurut beberapa imam madzhab:11 Imam Hanafi mengemukakan bahwa syarat-syarat yang harus ada pada seorang saksi adalah: a. Berakal, orang gila tidak sah menjadi saksi b. Baligh, tidak sah saksi anak-anak c. Merdeka, bukan hamba sahaya atau budak d. Islam e. Keduanya mendengar ucapan ijab dan kabul dari kedua belah pihak Imam Hanbali mengutarakan akan syarat-syarat saksi sebagai berikut: a. .Dua orang laki-laki yang baligh, berakal, dan adil b. .Keduanya beragama isla, dapat berbicara dan mendengar c. Keduanya bukan berasal dari satu keturunan kedua mempelai Imam al-Syafi’i menegaskan akan syarat-syarat saksi sebagai berikut ini: a. Dua orang saksi b. Berakal c. Baligh d. Islam e. Mendengar f. Adil
10 Mohammad Asmawi,Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Penerbit Darussalam, 2004), cet.I, hlm 58 11 Tihami, dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), cet.IV, h. 127
Abu Hanifah, Syafii dan Malik telah sepakat bahwa saksi merupakan syarat nikah. Dan mereka berbeda dalam hal apakah saksi dalam pernikahan itu termasuk syarat sempurna yang diperintahkan ketika memasuki pernikahan atau sebagai syarat sah yang diperintahkan ketika akad? Dan mereka bersepakat bahwa saksi tidak diperbolehkan dalam nikah siri(secara diamdiam). Mereka berbeda pendapat tatkala dua saksi itu telah bersaksi dan berwasiat dengan cara menyimpan rahasia, ketika itu terjadi maka problematikanya adalah apakah persaksiannya itu dikategorikan sebagai rahasia (secara diam-diam) atau tidak?Imam Malik berargumen, sasksi tersebut itu rahasia dan merusak. Akan tetapi Abu Hanifah dan al-Syafii mengatakan itu bukan rahasia. Sebab berbedanya mereka adalah apakah saksi itu merupakan bagian dari hukum syariat atau hanya sebagai tujuan untuk menutupi perantara (saddu al-Dzariah) perbedaan atau pengingkaran? Adapun orang yang beranggapan bahwa saksi merupakan hukum syariat maka konsekuensinya adalah saksi merupakan bagian dari syarat sah pernikahan. Kemudian jikalau ada orang yang yakin terhadap hukum syariat maka konsekuensinya pula adalah saksi merupakan bagian dari syarat sempurna.12 Adapun dasar dalam konteks ini adalah hadis yang diriwayatkan dari Ibn Abbas yang berbunyi:
ال نكاح إال بشاهدي عدل وولي مرشد:روى عن ابن عباس Artinya:“Nikah itu dianggap sah ataupun sempurna sebab adanya dua saksi yang adil dan wali yang baik.”
12 Ibn Rusyd al-Qurthuby,Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid ,(Mesir; Maktabah al-Bab alHalby, 1950 M), cet. II, h. 17
C. Fungsi saksi Ada beberapa fungsi saksi menurut Tihami dan Sohari Sahrani sebagai berikut: 13 a. Membantu hakim dalam menundukkan dan memutuskan perkara b. Mendorong terwujudnya sifat jujur c. Untuk menegakkan keadilan d. Saksi sebagai salah satu alat bukti.
D. Hikmah saksi Hikmah disyaratkannya saksi dalam pernikahan itu untuk menjelaskan penting dan urgennya saksi dalam pernikahan, jelasnya keberadaan saksi diantara manusia untuk menolak keraguan dan tuduhan dari pernikahan itu sendiri. Di samping kesaksian dalam perkawinan itu untuk membedakan antara yang halal dan haram, keadaan halal itu jelas, dan keadaan haram itu tertutup biasanya. Melalui kesaksian, akan menjadi nyata kepercaan terhadap urusan perkawinan dan kehati-hatian dalam menetapkan perkawinan tatkala dibutuhkan.
13 Tihami, dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), cet.IV, h. 115-121
BAB 111: PENUTUP
Kesimpulan Saksi ialah orang yang menyaksikan pernikahan itu, sekurang-kurangnya dua orang yang dapat dipertanggungjawabkan kesaksiannya yaitu tidak tuli dan buta, orang gila atau anak-anak. Saksi untuk pernikahan muslim hendaklah orang muslim dan tidak ada halangan untuk anak sendiri jadi saksi pernikahan asal ia telah dewasa. Mengikut Pasal 25 dalam KHI yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli. Imam Hanafi mengemukakan bahwa syarat-syarat yang harus ada pada seorang saksi adalah berakal, orang gila tidak sah menjadi saksi, baligh, tidak sah saksi anak-anak, merdeka, bukan hamba sahaya atau budak ,islam, keduanya mendengar ucapan ijab dan kabul dari kedua belah pihak Imam Hanbali mengutarakan akan syarat-syarat saksi sebagai berikut dua orang laki-laki yang baligh, berakal, dan adil, keduanya beragama isla, dapat berbicara dan mendengar , keduanya bukan berasal dari satu keturunan kedua mempelai Imam al-Syafi’i menegaskan akan syarat-syarat saksi sebagai berikut ini dua orang saksi berakal, baligh, islam, mendengar, adil. Ada beberapa fungsi saksi menurut Tihami dan Sohari Sahrani sebagai berikut membantu hakim dalam menundukkan dan memutuskan perkara, mendorong terwujudnya sifat jujur, untuk menegakkan keadilan, saksi sebagai salah satu alat bukti.
Daftar pusaka
Ahmad Kuzari,Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. I Drs.Beni Ahmad Saebani, M.Si. Fikh Munakahat. Ibn Rusyd al-Qurthuby,Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtasid ,(Mesir; Maktabah al-Bab al-Halby, 1950 M), cet. II Mohammad Asmawi,Nikah Dalam Perbincangan dan Perbedaan, (Yogyakarta: Penerbit Darussalam, 2004), cet.I Tihami, dan Sohari Sahrani,Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2004), cet.IV Pasal 24 s/d Pasal 26 Komplikasi Hukum Islam Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta:Rajawali Pers, 2015. Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz 6,(Kairo: MAktabah al-Adab,tt.) Wahbah al-Zuhaily,Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Syiria: Dar al-Fikr, t.t.), vol. IX