Hukum-hukum berkenaan dengan haidhPosted by admin 12/09/2002
4449 clicks
Islam merupakan agama yang sempurna, di dalamnya terdapat petunjuk permasalahan peribadahan kepada Allah dan terdapat juga aturan muamalah sesama manusia. Di dalamnya juga ada aturan-aturan dari masalah kepemerintahan sampai dengan masalah buang hajat. Artikel kali ini membahas hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan haidh yang diambil dari kitab Tanbiihat 'ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu'minat karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan. Definisi Haid Haid menurut bahasa berarti mengalir sedangkan pengertian secara syar'i adalah darah yang keluar dari bagian dalam rahim wanita pada waktu-waktu tertentu, bukan karena sakit atau terluka, tetapi ia adalah sesuatu yang telah diciptakan Allah bagi wanita. Allah menciptakannya di dalam rahim untuk memberikan makan janin saat hamil, lalu menghasilkan susu setelah kelahirannya. Jika wanita itu tidak hamil dan menyusui sementara darah ini ada dan tidak digunakan, maka keluarlah ia pada waktu-waktu tertentu yang dikenal dengan rutinitas atau datang bulan. Umur Wanita Haid Umur wanita haid secara umum minimal berusia sembilan tahun sampai lima puluh tahun. Allah berfirman:Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. (QS. At-Thalaaq : 4). Jadi perempuan-perempuan yang berhenti haid adalah mereka yang sudah berusia lima puluh tahun dan perempuan-perempuan yang belum haid adalah mereka yang masih kecil belum berusia sembilan tahun. Hukum-Hukum Haid 1.Diharamkan bersetubuh dalam kondisi haid, berdasarkan firman Allah Ta'ala: Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: Haidh itu adakah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. (QS. Al-Baqarah : 222). Keharaman ini berlangsung sampai darah haid berhenti darinya, lalu ia mandi. Allah berfirman: dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Bagi suami wanita yang sedang haid dibolehkan untuk bersenang-senang dengannya tanpa bersetubuh, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Sallam :Perbuatlah apa saja kecuali nikah (bersetubuh). (HR. Muslim). 2.Wanita haid harus meningalkan shaum dan sholat di masa haidnya, dan diharamkan melaksanakan keduanya, karena Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Sallam
bersabda:Bukankah jika seorang wanita haidh tidak sholat dan shaum. (HR. Muslim). Jika wanita haid telah suci, maka hendaklah ia membayar kewajiban shaum yang telah ditinggalkan selama haid, dan tidak mengganti kewajiban sholat. Berdasarkan perkataan Aisyah Radliyallah 'anha: Adalah kami haidh di masa Rasulullah, maka kami diperintahkan untuk mengganti shaum dan tidak mengganti sholat. (HR. Bukhari dan Muslim). Perbedaan sholat dan shaum adalah bahwa sholat dikerjakan berulang kali, maka tidak ada kewajiban menggantinya, karena tidak ada kesempatan untuk menggantikannya, yang mana hal itu berbeda dengan shaum. Wallahu A'lam. 3.Diharamkan wanita haid memegang mushaf Al-Qur'an tanpa alat perantara. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. (QS. Al-Waqiah : 79). Dan ketika Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Sallam mengirim surat kepada Amru bin Hazm tertulis : Tidaklah menyentuh mushhaf kecuali orang yang suci. (HE. An-Nasa'i). Hadits ini menyerupai hadits mutawatir, maka hendaklah manusia menerimanya. Syaikhul Ibnu Taimiyah berkomentar, Menurut pendapat imam madzhab yang empat bahwa tidak boleh menyentuh mushhaf kecuali orang yang suci. Sedangkan hukum wanita haid membaca Al-Qur'an dengan tidak memegang mushhaf ada perbedaan pendapat di antara Ahlul 'Ilmi, namun untuk kehati-hatian maka seorang wanita haid sebaiknya tidak membaca Al-Qur'an kecuali dalam kondisi darurat, seperti karena khawatir melupakannya. Wallahu A'lam. 4.Diharamkan bagi wanita haid melakukan thawaf di Baitullah didasarkan atas sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Sallam kepada Aisyah Radliyallahu 'anha ketika ia haid : Kerjakanlah apa-apa yang dikerjakan orang berhaji kecuali Thawaf di Baitullah sampai engkau suci. (HR. Bukhari dan Muslim). 5.Diharamkan bagi wanita haid berdiam diri di dalam masjid, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Sallam: Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan orang junub. (HR. Abu Dawud). Dan sabdanya juga: Sesungguhnya masjid tidak halal bagi wanita haid dan orang junub. (HR. Ibnu Majah) Tetapi diperbolehkan bagi wanita haid sekedar lewat (berjalan) di masjid tanpa berdiam diri di dalamnya. Didasarkan pada hadits Aisyah Radliyallahu 'anha. Ia berkata, Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Sallam bersabda : Ambilkan khumrah (sejenis tikar) itu dari masjid ! Aku katakan, Aku sedang haid. Kemudian beliau bersabda: Sesungguhnya haidmu bukan pada tanganmu. (Diriwayatkan oleh Al-Jamaah kecuali Imam Al-Bukhari, lihat Al-Muntaqa 1/130). Tidak mengapa bagi wanita haid membaca dzikir-dzikir yang disyari'atkan berupa tahlil, takbir, tasbih dan doa-doa, begitu juga boleh membaca wirid-wirid yang disyari'atkan
ketika masuk pagi dan sore hari ketika mau tidur dan bangun tidur. Dan tiak mengapa membaca-baca buku-buku kelilmuan seperti tafsir, hadits dan fiqh. Faedah dalam Hukum Syafrah dan Kadarah Syafrah adalah cairan kotor seperti nanah berwarna kuning, sedangkan kadarah adalah cairan seperti kotor yang keruh. Maka apabila syafrah dan kadarah keluar dari seorang wanita pada waktu ia biasa haid, berarti ia sedang haid, akan tetapi jika hal itu keluar selain waktu haid berarti tidak ada masalah, wanita itu suci karena ada perkataan Ummu 'Athiyah Radliyallahu 'anha, Kami tidak menghitung kadarah dan syafrah setelah suci sedikitpun. (HR Abu Dawud). Imam Bukhari meriwayatkan tanpa lafadz setelah suci. Hadits ini adalah marfu' karena mengandung ketetapan dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Sallam. Maka dapat dipahami bahwa kadarah dan syafrah sebelum suci adalah haid (yaitu berhukum seperti haid). Faedah Lainnya Pertanyaan : Ciri apa yang bisa diketahui, bahwa seorang wanita telah berhenti haid ? Jawaban : Hal itu biasa diketahui dengan berhentinya darah mengalir dan dapat diketahui dengan salah satu dari dua tanda sebagai berikut : 1.Keluarnya cairan putih yang mengikuti darah haid seperti air kapur, terkadang air tersebut tidak berwarna putih dan terkadang ia keluar dengan warna yang berbeda, sesuai dengan kondisi wanita tersebut. 2.Kering, hal ini bisa diketahui dengan maemasukkan secarik kain atau kapas ke dalam vagina wanita dan setelah dikeluarkan kain atau kapas itu, ia tetap dalam keadaan kering tanpa darah kadarah atau syafrah. Sesuatu yang Harus Dilakukan Wanita Setelah Haid Bagi wanita yang telah usai dari haidnya, hendaklah ia mandi dengan menyiramkan air suci ke seluruh tubuhnya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Sallam: Jika datang masa haidmu maka tinggalkanlah sholat dan jika berakhir maka mandilah dan sholatlah. (HR. Al-Bukhari). Caranya: Hendaklah ia berniat menghilangkan hadast atau besuci untuk sholat atau lainnya, kemudian membaca basmallah lalu menyiramkan air ke seluruh tubuhnya, kemudian membasahi pangkal rambut kepalanya dan tidak perlu melepasnya jika rambutnya diikat tetapi cukup membasahi dengan air, dan akan lebih baik jika air itu dicampur dengan daun bidara atau alat pembersih lainnya. Setelah mandi disunnahkan memakai parfum atau wangi-wangian lain dengan memakai kapas untuk diletakkan (diusapkan) pada farji (vagina)-nya. Hal ini sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa Sallam kepada Asma'
Peringatan Penting Jika wanita haid atau nifas telah suci sebelum tenggelamnya matahari, maka pada hari itu hendaklah ia mengerjakan sholat dhuhur dan ashar. Dan jika ia suci sebelum terbit fajar, maka pada malam itu hendaklah ia mengerjakan sholat maghrib dan isya' karena waktu sholat yang kedua adalah termasuk waktu sholat yang pertama di saat seseorang berada pada kondisi udzur. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah memberi komentar dalam Majmu' Fatawa 22/434, Dengan demikian menurut jumhur ulama seperti Malik, As-Syafi'i dan Ahmad, apabila wanita haid sebelum tenggelamnya matahari maka hendaklah ia sholat dhuhur dan ashar dengan cara dijama'. Dan jika ia suci di penghujung malam, maka hendaklah ia sholat maghrib dan isya dengan dijama'. Hal ini seperti dinukil dari Abdur Rahman bin Auf, Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, karena waktu sholat-sholat itu mengikuti sholat yang lain dalam kondisi udzur. Dan jika ia suci di akhir siang sementara waktu dhuhur masih ada maka hendaklah ia sholat dhuhur sebelum datang sholat ashar, sedangkan ia suci di waktu malam sementara waktu maghrib masih ada, maka hendaklah ia sholat maghrib sebelum tiba waktu isya'. Adapun jika telah masuk waktu sholat, kemudian seorang wanita kedatangan haid atau nifas sedangkan ia belum sholat maka pendapat yang paling kuat adalah tidak ada kewajiban baginya untuk mengganti (mengqadla') sholat itu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah dalam Majmu' Fatawa 23/335 berpendapat dalam masalah ini, Dan alasan yang paling jelas adalah madzhab Abu Hanifah dan Malik, Bahwasannya bagi wanita itu tidak ada kewajiban untuk mengqadla' sholat, karena mengqadla' sholat hanya diwajibkan bagi masalah baru, sedangkan urusan ini tidak diwajibkan untuk mengqadla' karena keterlambatan wanita itu melakukan sholat bukan karena ia sengaja. Adapun jika ketiduran atau terlupa tidak sengaja, maka sholat yang ia lakukan bukanlah qadla', tetapi yang ia lakukan itu adalah waktu sholat yang menjadi haknya ketika ia bangun dan ingat. [Dikutip dari Kitab Tanbiihat 'ala Ahkamin Takhtashshu bil Mu'minat, karya Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan]