HEALTH SAFETY AND ENVIRONMENT IN HOSPITAL
Periode: 26 November 2018 – 4 Februari 2019
Oleh : Ashifa Maulidya Shibly Nadiya Auliesa Davin Caturputra Setiamanah Andini Karlina CH Masayu Shavira Rahmadhani S
04054821719092 04054821820133 04084821820064 04054821820126 04084821820034
BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA 2019
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan portofolio ini dengan judul “Health Safety and Environment in Hospital”. Portofolio ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian IKM-IKK FK UNSRI. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Agita Diora Fitri, S.Kom, MKKK selaku pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan saran yang mendukung sehingga portofolio ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan portofolio ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan portofolio ini, semoga bermanfaat, amin.
Palembang, Januari 2019
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………… .......
i
KATA PENGANTAR………………………………………………… .
ii
DAFTAR ISI………………………………………………………… ....
iii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian HSE di Rumah Sakit ………………………… .
2
2.2 Tujuan Sistem HSE di Rumah Sakit…………………… …
3
2.3 Bahaya Potensial di Rumah Sakit ........................................
4
2.4 Sistem HSE Rumah Sakit ....................................................
5
2.5 Perencanaan .........................................................................
6
2.6 Pengorganisasian .................................................................
6
2.7 Pemantauan dan Evaluasi ....................................................
7
BAB III PENILAIAN HSE DI RSMH 3.1 Hazard Biologis ....................................................................
9
3.2 Hazard Bahan Kimia .............................................................
12
3.3 Hazard Ergonomi………………………………………… ..
13
3.4 Hazard Psikososial …….…………………………………… 14 DAFTAR PUSTAKA………………………………… ..........................
16
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pelayanan
kesehatan
merupakan
sektor
yang
sangat
cepat
berkembangnya. Di US Ada 18 juta pekerja terlibat di dalamnya, dan wanita merupakan 80% darinya. Bahaya yang terlibat dalam kegiatan ini sangat beragam, seperti cedera jarum suntik, cedera punggung, alergi lateks, kekerasan, dan stres. Meskipun hal ini sangat mungkin dicegah, namun terjadi cedera maupun infeksi tetap saja terjadi.1,4 Upaya pelayanan kesehatan seperti pemeriksaan kesehatan selama bekerja belum banyak dilakukan. Menurut WHO, dari 35 juta petugas kesehatan, ternyata 3 juta ditolak oleh patogen yang ditularkan melalui darah, dengan 2 juta dianatanya virus tertular hepatitis B, dan 170.000 adalah virus tertular HIV/AIDS. Menurut NIOSH, untuk kasus-kasus yang non-fatal baik cedera maupun penyakit akibat kerja, sarana kesehatan sekarang semakin meningkat, berbanding terbalik dengan sektor konstruksi dan pertanian yang dulu paling tinggi, sekarang sudah sangat meningkat. Dalam bekerja, Health Safety Environment (HSE) merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. HSE adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.1
1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Health Safety Environment di Rumah Sakit Pelaksanaan Health Safety Environment (HSE) adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi
juga dapat
mengganggu
proses
produksi
secara
menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak pada masyarakat luas. Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Kerja (KK) di kalangan petugas kesehatan dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Jika kita pelajari angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja di beberapa negara maju (dari beberapa pengamatan) menunjukan kecenderungan peningkatan prevalensi. Sebagai faktor penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan pekerja yang kurang memadai. Banyak pekerja yang meremehkan risiko kerja, sehingga tidak menggunakan alat-alat pengaman walaupun sudah tersedia. Dalam penjelasan undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan telah mengamanatkan antara lain, setiap tempat kerja harus melaksanakan upaya kesehatan kerja, agar tidak terjadi gangguan kesehatan pada pekerja, keluarga, masyarakat dan lingkungan disekitarnya.1 Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuan hidupnya. Dalam bekerja, Health Safety Environment (HSE) merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan karena seseorang yang mengalami sakit atau kecelakaan dalam bekerja akan berdampak pada diri, keluarga dan lingkungannya. Salah satu komponen yang dapat meminimalisir Kecelakaan dalam kerja adalah tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan 2
mempunyai kemampuan untuk menangani korban dalam kecelakaan kerja dan dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk menyadari pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Kesehatan, Pasal 23 dinyatakan bahwa upaya Kesehatan dan Keselamatan Kerja (HSE) atau Health Safety Environment (HSE) harus diselenggarakan di semua tempat kerja, khususnya tempat kerja yang mempunyai risiko bahaya kesehatan, mudah terjangkit penyakit atau mempunyai karyawan paling sedikit 10 orang. Jika memperhatikan isi dari pasal di atas maka jelaslah bahwa Rumah Sakit (RS) termasuk ke dalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di RS, tapi juga terhadap pasien maupun pengunjung RS. Sehingga sudah seharusnya pihak pengelola RS menerapkan upaya-upaya HSE di RS.2 Potensi bahaya di RS, selain penyakit-penyakit infeksi juga ada potensi bahaya-bahaya lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di RS, yaitu kecelakaan (peledakan, kebakaran, kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik, dan sumber-sumber cidera lainnya), radiasi, bahan-bahan kimia yang berbahaya, gas-gas anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut di atas, jelas mengancam jiwa dan kehidupan bagi para karyawan di RS, para pasien maupun para pengunjung yang ada di lingkungan RS.3 Managemen HSE di Rumah Sakit adalah Suatu proses kegiatan yang dimulai dengan tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian yang bertujuan untuk membudayakan HSE di rumah sakit. 2.2 Tujuan Sistem HSE di Rumah Sakit 1.
Bagi Rumah Sakit : a. Meningkatkan mutu pelayanan b. Mempertahankan kelangsungan operasional Rumah Sakit c. Menigkatkan citra Rumah Sakit 3
2.
Bagi Karyawan Rumah Sakit : a. Melindungi karyawan dari Penyakit Akibat Kerja (PAK) b. Mencegah terjadinya Kecelakaan Akibat Kerja (KAK)
3.
Bagi Pasien dan Pengunjung a. Mutu layanan yang baik b. Kepuasan pasien dan pengunjung
2.3 Bahaya Potensial di Rumah Sakit Bahaya potensial di Rumah Sakit dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja. Yaitu disebabkan faktor biologi (virus, bakteri dan jamur); faktor kimia (antiseptik, gas anestasi); faktor ergonomi (cara kerja yang salah ); faktor fisika (suhu, cahaya bising, listrik,getaran dan radiasi) faktor psikososial ( kerja bergilir, hubungan sesama karyawan/ atasan). Bahaya potensial yang dimungkinkan ada di RS, diantaranya adalah mikrobiologik, sdesain/fisik, kebakaran, mekanik, kimia/gas/karsinogen, radiasi dan risiko hukum/keamanan.2 Pada umumnya bahaya tersebut dapat dihindari dengan usaha-usaha pengamanan, antara lain dengan penjelasan, peraturan serta penerapan disiplin kerja. Pada kesempatan ini akan dikemukakan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit / instansi kesehatan. Hasil laporan National Safety Council (NSC) tahun 2008 menunjukkan bahwa terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang, tergores/terpotong, luka bakar, dan penyakit infeksi dan lain-lain. Sejumlah kasus dilaporkan mendapatkan kompensasi pada pekerja RS, yaitu sprains, strains : 52%;contussion, crushing, bruising : 11%; cuts, laceration, punctures: 10.8%; fractures: 5.6%; multiple injuries: 2.1%; thermal burns: 2%; scratches, abrasions: 1.9%; infections: 1.3%; dermatitis: 1.2%; dan lainlain: 12.4% (US Department of Laboratorium, Bureau of Laboratorium Statistics, 1983).
4
Laporan lainnya yakni di Israel, angka prevalensi cedera punggung tertinggi pada perawat (16.8%) dibandingkan pekerja sektor industri lain. Di Australia, diantara 813 perawat, 87% pernah low back pain, prevalensi 42% dan di AS, insiden cedera musculoskeletal 4.62/100 perawat per tahun. Cedera punggung menghabiskan biaya kompensasi terbesar, yaitu lebih dari 1 milliar $ per tahun. Khusus di Indonesia, data penelitian sehubungan dengan bahaya-bahaya di RS belum tergambar dengan jelas, namun diyakini bahwa banyak keluhan-keluhan dari para petugas di RS, sehubungan dengan bahayabahaya yang ada di RS. Selain itu, tercatat bahwa terdapat beberapa kasus penyakit kronis yang diderita petugas RS, yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit ginjal dan saluran kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57% wanita) serta nyeri tulang belakang dan pergeseran diskus intervertebrae. Ditambahkan juga bahwa terdapat beberapa kasus penyakit akut yang diderita petugas RS lebih besar 1.5 kali dari petugas atau pekerja lain, yaitu penyakit infeksi dan parasit, saluran pernafasan, saluran cerna dan keluhan lain, seperti sakit telinga, sakit kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak, gangguan pada saat kehamilan, penyakit kulit dan sistem otot dan tulang rangka. Dari berbagai potensi bahaya tersebut, maka perlu upaya untuk mengendalikan, meminimalisasi dan bila mungkin meniadakannya, oleh karena itu HSE RS perlu dikelola dengan baik. Agar penyelenggaraan HSE RS lebih efektif, efisien dan terpadu, diperlukan sebuah pedoman manajemen HSE di RS, baik bagi pengelola maupun karyawan RS. 2.4 Sistem HSE Rumah Sakit Komitmen dan kebijakan Komitmen diwujudkan dalam bentuk kebijakan (policy) tertulis, jelas dan mudah dimengerti serta diketahui oleh seluruh karyawan RS. Manajemen RS mengidentifikasi dan menyediakan semua sumber daya esensial seperti pendanaan, tenaga HSE dan sarana untuk terlaksannya program HSE di RS. 5
Kebijakan HSE di RS diwujudkan dalam bentuk wadah HSE RS dalam struktur organisasi RS Untuk melaksanakan komitmen dan kebijakan HSE Rs perlu disusun strategi antara lain : 1. Advokasi sosialisasi program HSE RS 2. Menetapkan tujuan yang jelas 3. Organisasi dan penugasan yang jelas 4. Meningkatkan SDM profesional di bidang HSE RS pada setiap unit kerja di lingkungan RS 5. Sumberdaya yang harus didukung oleh manajemen puncak 6. Kajian risiko secara kualitatif dan kuantitatif 7. Membuat program kerja HSE RS yang mengutamakan upaya peningkatan dan pencegahan 8. Monitoring dan evaluasi secara berkala 2.5 Perencanaan RS harus membuat perencanaan yang efektif agar tercapai keberhasilan penerapan sistem manajemen HSE dengan sasaran yang jelas dan dapat diukur. Perencanaan HSE di RS dapat mengacu pada standar sistem manajemen HSE RS diantaranya self assesment akreditasi K3RS dan SMK3. Perencanaan meliputi : 1. Identifikasi sumber bahaya penilaian dan pengendalian faktor risiko 2. Membuat peraturan 3. Tujuan dan sasaran 4. Indikator kerja 5. Program kerja 2.6 Pengorganisasian Pelaksanaan HSE di RS sangat bergantung dari rasa tanggung jawab manajemen dan petugas, terhadap tugas dan kewajiban masing-masing serta kerja dalam pelaksanaan HSE. Tanggung jawab ini harus ditanamkan melalui 6
adanya aturan yang jelas. Pola pembagian tanggung jawab, penyuluhan kepada semua petugas, bimbingan dan latihan serta penegakkan disiplin. Ketua organisasi pelaksana HSE RS secara spesifik harus mempersiapkan data dan informasi pelaksanaan HSE di semua tempat kerja, merumuskan permasalahan serta menganalisi penyebab timbulnya masalah bersama unit-unit kerja, sehingga dapat dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan program, untuk menilai sejauh mana prorgam yang dilaksanakan telah berhasil. Kalau masih terdapat kekurangan, maka perlu diidentifikasi penyimpangannya serta dicari pemecahannya.1 Pelaksanaan SMK3 di Rumah Sakit 1. Penyuluhan HSE ke semua Petugas Rumah Sakit 2. Pelatihan HSE yang disesuaikan dengan kebutuhan dalam organisasi rumah sakit 3. Melaksanakan program HSE sesuai peraturan yang berlaku a.
Pemeriksaan keselamatan petugas
b.
Penyediaan Alat Pelindung Diri dan Keselamatan Kerja
c.
Penyiapan pedoman pencegahan dan penanggulangan keadaan darurat
d.
Penempatan pekerja pada pekerjaan yang sesuai kondisi kesehatan
e.
Pengobatan pekerja yang menderita sakit
f.
Menciptakan lingkungan kerja yang higienis secara teratur
g.
Melaksakan biologikal monitoring
h.
Melaksanakan surveilas kesehatan pekerja
2.7 Pemantauan dan Evaluasi Pada dasarnya pemantauan dan evaluasi HSE di rumah sakit adalah salah fungsi manajemen HSE di rumah sakit yang berupa suatu langkah yang diambil untuk mengetahui dan menilai samapai sejauh mana proses kegiatan HSE itu berjalan dan mempertanyakan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan dari suatu kegiatan HSE RS dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.
7
Pemantauan dan evaluasi melalui : 1.
Pencatatan dan pelaporan HSE terintegrasi kedalam sistem pelaporan Rumah Sakit
2.
Insfeksi dan Pengujian merupakan suatu kegiatan untuk menilai keadaan HSE secara umum dan tidak terlalu mendalam
3.
Melaksanakan Audit HSE Audit HSE yang meliputi falsafah dan tujuan, administrasi dan pengelolaan, karyawan dan pimpinan, fasilitas dan peralatan, kebijakan dan prosedur, pengembangan karyawan dan program pendidikan, evaluasi dan pengendalian.
Tujuan Audit HSE : a. Untuk menilai potensi bahaya, gangguan kesehatan dan keselamatan b. Memastikan dan menilai pengelolaan HSE telah dilaksanakan sesuai ketentuan c. Menentukan langkah untuk mengendalikan bahaya potensial serta pengembangan mutu
8
BAB III PENILAIAN HSE DI RSMH Hazard Biologis4 Bloodborne pathogens Patogen yang menular melalui darah merupakan mikroorganisme yang menularkan panyakit melalui kontak dengan darah. Kontak dapat terjadi secara langsung, seperti tusukan jarum suntik atau percikan cairan mengandung darah ke membran mukosa atau luka terbuka, atau secara tidak langsung, seperti ketika permukaan barang yang terkontaminasi darah kontak dengan membran mukosa atau kulit yang terabrasi. Penyedia kesehatan yang terkena blood-borne pathogens dapat memiliki risiko tinggi terinfeksi virus hepatitis B (HBV), hepatitis C (HCV), dan virus HIV. Di RSMH Palembang, juga seperti si rumah sakit lainnya, tentunya terdapat banyak kegiatan penyedia kesehatan yang berhubungan dengan jarum suntik dan cairan tubuh yaitu darah, khususnya di intensive care units (ICU), kamar operasi, IGD, dan juga kamar rawat inap . Tenaga penyedia kesehatan yang sangat berisiko yaitu dokter bedah, perawat, dokter muda, stafd laboratorium, hingga pekerja di bidang laundry, nutrisi dan kebersihan. Cara mengontrol: Melakukan praktik standard precautions. Yaitu mengannggap bahwa semua darah dan cairan tubuh pasien tersebut infeksius, sampai terbukti sebaliknya. Sehingga dapat bersikap lebih hati-hati dengan memperhatikan kebersihan tangan, penggunaan alat pelindung, praktik penyuntikan yang baik dan aman, serta menangani benda dengan permukaan yang infeksius secara hati-hati. Mengurangi penggunaan jarum dan benda-benda tajam jika tidak diperlukan Tidak meninggalkan jarum terbuka tanpa tutup setelah pemakaian
9
Cedera phlebotomy dapat dikurangi dengan penggunaan needle shields (82%), self-blunting needle (76%), hinged needle shield (66%), sliding shield, dan tipe butterfly (23%). Menggunakan proteksi atau alat pelindung diri seperti handscoon, jubah/ apron, dan proteksi mata dan wajah (shield). Vaksinasi wajib untuk tenaga kesehatan tersedia untuk beberapa jenis infeksi seperti hepatitis B dan hepatitis C.
TB and Airbone Disease Tuberkulosis dan penyakit menular melalui udara lainnya banyak diderita oleh pasien-pasien di RSMH seperti pasien HIV, diabetes, malnutrisi dan ESRD. Risiko didapat kan pada personel medis hampir di seluruh bagian RSMH dari administrasi rawat jalan maupun rawat inap, bangsal rawat khususnya penyakit dalam, instalasi bedah, dan laboratorium. Tenaga kesehatan baik dokter, residen, koas dan perawat paling berisiko terkena penyakit ini. Cara mengontrol: Tes tuberkulin rutin bagi tenaga kesehatan yang berisiko Menjaga sistem ventilasi baik alami maupun mekanik Selalu menggunakan masker ketika kontak dengan pasien. CDC merekomendasikan respirator N95 untuk kondisi infeksius yang lebih tinggi seperti paparan terhadap SARS, MERS, anthrax, dan lainnya
Latex Natural latex rubber (NLR) berasal dari getah putih pohon rubber yang tumbuh secara komersial, khususnya Hevea brasiliensis. NLR mengandung protein hevein, chitinase, dan b-1,3-glucanase. Ketika barang-barang mengandung NLR diproduksi, ditambahkan bahan-bahan lain seperti bahan kimia, akselerator, dan curing agents. Terdapat banyak respon alergi terhadap 10
NLR, khususnya hampir seluruh tenaga kesehatan di RSMH
sering
menggunakan handscoon dengan bahan dasar NLR. Handscoon kebanyakan di campur dengan tepung jagung lalu dimasukkan kedalam oven vulkanisasi sehingga protein alergen dapat diserap oleh tepung. Partikel alergen NLR selain kontak dengan kulit dapat menyebabkan alergi via inhalasi karena partikel menetap di udara selama 24 jam. Hal ini dapat menyebabkan reaksi alergi maupun iritan, baik reaksi alergi tipe 1 (sistemik, biasanya berlangsung cepat, via IgE) atau tipe IV (tipe lambat). raksi alergi dapat berupa kulit kering, bersisik, gatal (iritan), atau berupa urtikaria, konjungtivitis, asthma, bronkospasme, sampai shock anafilaktik hingga kematian Cara untuk mengontrol bahaya biologis NLR yaitu dengan mengganti handscoon NLR dengan powder-free glove (non-NLR) seperti vinyl, nitrile, polymer, atau neoprene direkomendasikan sehingga tidak terdapat risiko sama sekali untuk terjadinya reaksi alergi maupun iritan terhadap tenaga kerja kesehatan di RSMH. Sampah Medis Sampah medis di RSMH banyak ditemukan salah satunya mengandung agen-agen infeksius seperti cairan tubuh, bahan-bahan kimia dan radioaktif, benda-benda tajam, kultur-kultur bakteri, dan benda-benda patogen lainnya. Untuk meminimalisir paparan sampah ke orang sekitar termasuk tenaga kesehatan RSMH, sebaikmya diterapkan tindakan pengontrolan sebagai berikut: Inaktivasi dan penghancuran mikroba dan patogen infeksius Menghancurkan benda-benda tajam seperi jarum suntik Mengurangi volume sampah Beberapa metode pengolahan limbah medis yaitu steam autoclav, microwave, dan disinfeksi kimia.
11
Tabel 1. Metode Pengolahan Limbah Medis
Hazard Bahan Kimia4 Agen pembersih Produk pembersih dapat ditemukan di RSMH untuk sterilisasi dan disinfeksi baik instrumen medis, lantai, dan permukaan-permukaan di seluruh rumah sakit dan ruang tunggu. Agen dan produk pembersih biasanya menggunakan detergen yang mengandung surfaktan (sulfonat organik), agen alkali yang mengandung silikat dan karbonat, berbagai jenis disinfektan yang mengandung hypochlorite dan aldehida. Paparan yang lama dengan konsentrasi tinggi akan dapat menyebabkan iritasi pada kulit, mata, dan membran mukosa. Risiko tinggi yang terkena paparan ini yaitu salah satunya penyedia tenaga kesehatan di RSMH. Untuk tindakan pengontrolan dapat dilakukan pembuatan ventilasi natural sebanyak mungkin yang sudah tersedia dengan cukup baik di RSMH (selasarselasar terbuka), menggunakan produk pembersih dan disinfektan seperlunya, dan tentunya selalu menggunakan alat pelindung baik sarung tangan dan respirator ketika kontak dengan bahan-bahan pembersih.
12
Merkuri Merkuri dapat ditemukan di termometer dan alat pengukur tekanan darah dalam bentuk merkuri metalik, yang ditemukan dimana-mana di RSMH. Merkuri juga dapat ditemukan di peralatan medis untuk sistem pencernaan, dan pada operasi mata. Merkuri metalik dan bentuk merkuri lainnya dapat diinhalasi dan diabsorbsi kulit. Paparan dapat terjadi pada tenaga kesehatan ketika merkuri terpercik, ketika proses membersihkan alat, atau ketika merkuri dipindahkan dari satu alat ke alat lain. Sistem saraf sangat sensitif terhadap merkuri dan dapat mencapai otak. Paparan lama dan sering terhadap merkuri dapat menyebabkan kerusakan otak permanen, kerusakan ginjal, dan pada kandungan ibu hamil. Salah satu tindakan mengontrol dan pencegahan yaitu dengan membatas peralatan mengandung merkuri seperti tensimeter, termometer raksa, seperti di negara lainnya yang sudah melarang penggunaan peralatan tersebut. Jika pekerjaan mengharuskan kontak dengan peralatan yang mengandung merkuri maka disarankan memakai respirator vapor merkuri dan memastikaan sistem ventilasi ruangan yang baik.
Hazard Ergonomi5 Paparan terhadap ancaman bahaya ergonomi di rumah sakit tetap sama seperti ancaman ergonomi lainya, berupa penggunaan tenaga berlebih seperti mengangkat, mendorong, menarik, postur canggung (awkward position), postur memaksa seperti membungkuk, berputar, geraka berulang, dan getaran. Tidak dapat disingkirkan pula, juga terdapat ancaman bahaya ergonomi berupa posisi duduk, ketidaksesuaian perlatan kerja, dan ukuran fisik pekerja. Terkhusus di RSMH, masih bisa ditemukan beberapa ancaman ergonomi, seperti manual handling, postur duduk, dan postur membungkuk. Patient handling. Tidak jarang ditemukan adanya dokter, perawat, dokter muda, atau siapapun tenaga kesehatan dan oknum yang bekerja di rumah sakit mengalami cedera pada otot dan ligament, nyeri sendi, saraf terjepit (pinched nerves), HNP, dan cedera lain yang berhubungan dengan stresor akibat 13
memindahkan dan menangani kondisi medis pasien. OSHA merekomendasikan untuk mengurangi manual lifting pada pasien di rumah sakit. Maka dari itu, dapat disarankan untuk penggunaan alat-alat berupa mesin pengangkat mekanik, kursi mandi, kursi roda, alat reposisi, dan sebagainya, merupakan engineering control dari manajemen ancaman bahya ergonomi di RSMH. Kontrol adminitrasi yang dapat ditelaah adalah mengajarkan para pelaku medis untuk melakukan teknik “pengangkatan” yang benar serta pengembangan rencana pemindahan pasien agar juga menjaga keamanan pasien di rumah sakit. Awkward position. Posisi canggung yang paling sering ditemukan pada pekerja medis di RSMH adalah posisi punggung yang hiperekstensi ataupun hiperfleksi, posisi berputar (twisting), meraih sesuatu, serta side bending. Postur ataupun posisi canggung ini akan meningkatkan gaya yang dibentuk oleh tulang belakang dan sendi, sehingga akan berpengaruh pula pada kejenuhan ataupun keletihan pada otot dan tendon serta nyeri pada sendi. Gaya yang dibentuk oleh otot akan semakin besar pada postur tubuh yang canggung karena otot tidak dapat bekerja secara efisien.Banyak pekerjaan di RSMH yang membentuk postur canggung, salah satunya adalah dokter spesialis radiologi dan koas yang bertugas untuk membaca dan menelaah rontgen baik yang sudah dicetak ataupun melalui sistem PACS di komputer. Pada dasarnya, pekerjaan di depan komputer dapat menyebabkan postur canggung. Engineering control yang dapat ditelaah pada keadaan ini adalah kursi yang digunakan setidaknya harus senyaman mungkin, serta posisi light source untuk membaca foto rontgen harus mudah terjangkau. Pada kondisi yang mengharuskan berdiri terlalu lama, misalnya dokter triase, perawat, bidan dan lain-lain, disarankan untuk menggunakan sepatu yang sangat nyaman dengan teknologi anti-fatigue mat. Hazard Psikososial5 Permasalahan jam kerja dokter muda ataupun residen di RSMH sangatlah padat. Umumnya residen dan dokter muda memulai aktivitas pukul 6.30 dan jam kerja selesai pukul 16.00. Sehingga dapat dikatakan bahwa jam kerja harian para residen dan dokter muda adalah sekitar 10 jam. Apabila di hari yang sama 14
merupakan hari jaga (jaga mulai pukul 16.00 – 07.00), maka jam kerja harian ditambah lagi dengan 14 jam, sehingga dalam satu hari jam kerja residen dan dokter muda adalah 24 jam. Setelah jam jaga selesai, para residen dan dokter muda akan melanjutkan jam kerja lagi sesuai dengan aturan stase pagi yang dimulai pukul 07.00 hingga pukul 16.00, sehingga apabila diakumulasikan, total jam kerja residen dan dokter muda yang jaga adalah 34 jam. Waktu istirahat diperkirakan berkisar antara 3 jam ketika jaga dan 1 jam apabila tidak jaga. Tentunya hal ini dapat mengganggu psikis dan mental pekerja kesehatan sehingga performa bekerja akan menurun. Selain dari pada memberikan pelayanan, dokter muda dan residen tetap pula harus mengerjakan tugas dan belajar. Kemudian, bisa juga para residen yang sudah berkeluarga dan tidak berdomisili di Palembang tidak memiliki waktu untuk berkumpul dengan keluarganya. Hingga saat ini belum ada regulasi untuk memberikan jadwal libur kepada residen, tidak seperti halnya pada koas, yang memiliki waktu libur selama 2,5 minggu dalam menjalankan kepaniteraan klinik selama 2 tahun. Residen di RSMH pun tetap harus membayar tuition fee yang cukup besar, namun ketika mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan dokter spesialis, tentunya mereka tidak memiliki waktu untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan tetap, kecuali sebelum melanjutkan pendidikan para residen sudah menjadi PNS. Faktor-faktor dapat memicu terjadinya gangguan baik psikis ataupun mental yang menyebabkan menurunnya performa pelayanan para residen dan dokter muda di RSMH.
15
DAFTAR PUSTAKA
1.
Silalahi B. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo; 1995.
2.
Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (1992)
3.
Undang-Undang republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja, (1970).
4.
Gorman, T., J. Dropkin, J. Kamen, et al. Controlling Health Hazards to Hospital Workers. 2013. A Journal of Environmental and Occupational Health Policy. Vol. 23 pg. 16-71
5.
Saleh, N. Environmental Safety in Hospitals. 2016. Asian Hospital and Healthcare Management. Issue:38
16