Appendicitis Perforasi 2010.docx

  • Uploaded by: azaliatz
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Appendicitis Perforasi 2010.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,353
  • Pages: 48
Laporan Kasus

PERITONITIS DIFUSA ET CAUSA APPENDISITIS PERFORASI

Disusun oleh: Thalia Viotama

04054821820078

Pembimbing: dr. Yustina, Sp.B, MARS

DEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG 2019

Halaman Pengesahan Presentasi Kasus “Peritonitis Difusa et causa Appendisitis Perforasi”

Oleh: Thalia Viotama

04054821820078

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUD Rabain Muara Enim

Palembang,

Maret 2019

Pembimbing

dr. Yustina, Sp.B, MARS

i

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas segala rahmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kemudahan di setiap langkah penyusunan presentasi kasus ini sehingga atas izin-Nya tugas akhir yang berjudul “Peritonitis Difusa et causa Appendisitis Perforasi” dapat terselesaikan. Laporan kasus ini dibuat dengan maksud sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUD Rabain Muara Enim Palembang Dalam menyediakan laporan kasus ini, penulis memperoleh banyak dukungan dari berbagai pihak dan pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr. Yustina, Sp.B, MARS,selaku pembimbing yang telah membantu memberikan bimbingan dan arahan selama penulisan laporan kasusini. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan kasus ini. Laporan kasus ini masih jauh dari sempurna baik isi maupun penyajiannya sehingga diharapkan saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak guna penyempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palembang,

Penulis

ii

Januari 2019

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... i KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 BAB II STATUS PASIEN ................................................................................ 2 BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 8 BAB IV ANALISIS KASUS ............................................................................. 40 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 15

iii

BAB I PENDAHULUAN Risiko dalam seumur hidup sesorang dapat menderita appendisitis adalah 8,6% untuk pria dan 6,7% untuk wanita, dengan insiden tertinggi terjadi pada dekade kehidupan kedua dan ketiga (Brunicardi, 2015). Appendisitis akut dapat berkembang riwayat perjalanan penyakit menjadi appendisitis perforasi yang umumnya diikuti oleh abses atau phlegmon. Inisiden terjadinya appendicitis perforasi yakni 2 per 100.000 dan tidak terlalu berpengaruh seirig waktu, geografi, dan usia. Proporsi dari appendisitis perforasi umumnya 25% yang kemudian ini digunakan sebagai indikator kualitas pelayanan rumah sakit (Brunicardi, 2015). Insiden appendisitis paling tinggi pada usia 20-30 tahun, dan jarang ditemukan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Pada remaja dan

dewasa muda rasio

perbandingan antara laki-laki dan perempuan sekitar 3 : 2. Setelah usia 25 tahun, rasionya menurun sampai pada usia pertengahan 30 tahun menjadi seimbang antara laki-laki dan perempuan (Williams, 2018) Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis, dan akibatnya terjadi infeksi.. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang dikatakan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris juga dapat menyebabkan sumbatan (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010). Appendisitis akut kemudian dapat berkembang menjadi appendicitis infiltrat atau appendisitis perforasi. Bahaya dari appendisitis perforasi ini adalah terjadinya peritonitis. Peritonitis yang terjadi akibat appendisitis perforasi perlu penanganan yang tepat dan cepat agar prognosis pasien menjadi lebih baik.

1

BAB II STATUS PASIEN

2.1. Identitas Nama

: Khairil Anwar

Jenis kelamin

: Laki-laki

Tanggal lahir

: 15-06-1982

Umur

: 36 tahun

Agama

: Islam

Alamat

: Dusun 1 Desa Muara Danau, Semendo

Pekerjaan

: Petani

Status perkawinan : Cerai No. rekam medis : 254658 Tanggal MRS

: Minggu, 18 Maret 2019

Bangsal

: Lematang 4 bed 5

2.2. Anamnesis (Senin, 18 Maret 2019 pukul 09.00 WIB) 2.2.1.

Keluhan utama

: Nyeri perut kanan bawah

2.2.2.

Riwayat perjalanan penyakit : ± 1 minggu SMRS, Os mengeluh nyeri ulu hati. Mual ada. Muntah tidak ada. Demam tidak ada. Buang angin ada. Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK) tidak ada masalah. Nafsu makan masih normal. Os kemudian datang ke klinik mandiri dokter umum, dikatakan hanya sakit maag. ± 3 hari SMRS, Os mengeluh nyeri ulu hati berpindah ke kanan bawah. Nyeri mengganggu aktivitas. Perut terasa kembung Mual ada. Muntah ada, 1x, isi apa yang dimakan. Nafsu makan menurun. Demam ada. Buang angin masih ada. BAB mencret, 3x, masih ada ampas. BAK tidak ada masalah. Os kemudian datang ke RS Semendho lalu dirawat inap. ± 1 hari SMRS, Os mengeluh nyeri perut kanan bawah semakin berat. Mual ada. Muntah ada, 3x, apa yang dimakan. Nafsu makan menurun. Demam

2

ada. BAB mencret, 3x, cair saja. Buang angin ada. BAK tidak ada masalah. Os kemudian dirujuk ke RS Rabain dengan dugaan peritonitis.

2.2.3.

Riwayat penyakit dahulu

:



Riwayat keluhan yang sama disangkal



Riwayat keluhan nyeri di ulu hati ada

2.2.4.

Riwayat penyakit keluarga

:-

2.2.5.

Riwayat kebiasaan

:

2.2.6.



Riwayat makan mie instan 5x/minggu



Riwayat makan rendah serat



Riwayat minum alkohol disangkal

Riwayat pengobatan

: Pasien lupa nama obat-obatan yang diberikan

2.3. Pemeriksaan Fisik (Senin, 18 Maret 2019 pukul 09.00 WIB) 2.3.1.

2.3.2.

Keadaan Umum a.

Kesadaran

: compos mentis

b.

Tekanan darah

: 110/80 mmHg

c.

Nadi

: 92x/menit

d.

Laju pernapasan

: 18x/menit

e.

Temperatur

: 37,8ºC

Keadaan Spesifik a.

Kepala

:

 Mata

: Konjungtiva anemis (-/-); sklera ikterik (-/-); mata cekung (-/-); pupil isokor; refleks cahaya (+/+)

 Hidung

: deviasi septum (-)

 Telinga

: cairan (-)

b.

Leher

: JVP (5-2) cmH20; pembesaran KGB (-)

c.

Toraks  Pulmo Inspeksi

: simetris statis-dinamis

Palpasi

: stem fremitus normal 3

Perkusi

: sonor di kedua lapang paru

Auskultasi

: vesikuler (+/+); ronki (-/-); wheezing (-/-)

 Cor

d.

Inspeksi

: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: ictus cordis tidak teraba; thrill (-)

Perkusi

: batas jantung dalam batas normal

Auskultasi

: bunyi jantung I dan II normal; murmur (-), gallop (-)

Abdomen Inspeksi

: datar; scar operasi (-)

Palpasi

: defans muskular (+); nyeri tekan seluruh perut (+); Rovsing’s sign (-); Psoas Sign (+); Obturator sign (-)

Perkusi

: timpani

Auskultasi

: bising usus melemah

e.

Genitalia

: dalam batas normal

f.

Ekstremitas

: ekstremitas hangat; CRT <2 detik 4

2.4. Pemeriksaan Penunjang 2.4.1.

Hasil laboratorium (17/03/2019; RS Rabain)

Parameter

Hasil

Unit

Nilai Normal

Interpretasi

Hemoglobin (Hb)

13.7

[g/dL]

M 14-18

Normal

F 12-16 WBC (Leukosit)

22.60

[10^3/uL]

5.0-10

Leukositosis

RBC (Eritrosit)

4.28

[10^6/uL]

M 4.5-6.0

Normal

F4.0-5.5 PLT (Trombosit)

273

[10^3/uL]

150-450

Normal

Differential count

B=0

[%]

Eosinofil = 1-3

Shift to the left

E = 0,9%

Neutrofil = 50-70

N = 86,8%

Limfosit = 20-40

L = 5,5%

Monosit = 2-8

M = 6,8%

2.4.2.

USG abdomen dan appendiks (18/03/2019; RS Rabain) Kesan: Gambaran appendisitis , disertai perforasi lokal

5

2.5. Diagnosis Banding 

Peritonitis difusa et causa Appendisitis Perforasi



Peritonitis lokal et causa Appendisitis Perforasi



Peritonitis et causa Perforasi Ulkus Peptikus



Peritonitis et causa Pankreatitis Akut

2.6. Diagnosis Kerja Peritonitis difusa et causa Appendisitis Perforasi

6

2.7. Tatalaksana 2.7.1

Tatalaksana Non Farmakologis  Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang penyakit pasien dan tatalaksana operatif yang akan dilakukan  Observasi keadaan umum  Persiapan pre-operasi : konsul anestesi; puasa pre-operasi; pemasangan NGT; pemasangan kateter urin

2.7.2

Tatalaksana Farmakologis  IVFD Ringer Lactate gtt XX/menit  Injeksi cefaperazone 1 gram/12 jam (IV)  Injeksi metronidazole 500 mg/8 jam (IV)  Injeksi ranitidin 1 amp/12 jam (IV)

2.7.3

Tatalaksana Operatif – Laparatomi Eksplorasi + Appendektomi

2.7.4

Instruksi Post-Operatif  Observasi tanda-tanda vital  Boleh makan dan minum setelah sadar penuh  IVFD Ringer Lactate gtt XX/menit  Antibiotik: Cefoperazone 1 gram/24 jam IV; Metronidazol 500 mg/8 jam IV  Analgetik: Dexketoprofen 50 mg/8 jam IV  Perawatan luka operasi dengan GV/ 3 hari

2.7.5

Edukasi Post-Operatif  Aktivitas berat setelah operasi harus dibatasi terlebih dahulu  Hindari batuk dan mengedan terlalu keras  Diet bubur atau nasi lunak  Kompres luka 1-2 x sehari menguunakan NaCl 0,9%  Makan makanan tinggi protein untuk mempercepat penyembuhan luka operasi

2.8. Prognosis Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: bonam

Quo ad sanationam

: bonam 7

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Peritonitis 3.1.1. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum Kavum peritoneum adalah kavitas terbesar di tubuh. Luas permukaan dari membrannya (2 m2 pada dewasa) sama luasnya dengan luas permukaan kulit. Membran peritoneum terdiri dari flattened polyhedral cells (mesotelium), satu lapisan tebal, yang menutupi selapis tipis dari jaringan fibroelastik. Membran ini kemudian terbagi menjadi 2 bagian—peritoneum visceral yang melapisi visera dan peritoneum parietal yang melapisi permukaan lain dari kavitas. Di bawah peritoneum, yang disokong oleh sejumlah kecil jaringan areolar, ada jaringan limfatik dan pleksus kapiler yang merupakan tempat terjadinya absorbs dan eksudasi. Pada orang sehat, hanya beberapa milliliter dari cairan peritoneum yang ditemukan di kavitas peritoneal. Cairannya berwarna kuning pucat, sedikit viscid, dan mengandung limfosit dan leukosit; bertugas untuk lubrikasi viscera sehingga dapat terjadi pergerakan dan peristaltik. Porsi parietal disuplai oleh persarafan sehingga ketika terjadi iritasi akan menyebabkan nyeri berat pada lokalisasi area yang terkena. Peritoneum visceral berkebalikan dengan peritoneum parietal. Peritoneum visceral berada di tengah-tengah daerah kaya vaskularisasi dan iritasinya menyebabkan lokalisasi yang buruk ke midline (Williams et al, 2018). Peritoneum memiliki kemampuan untuk absorbs cairan volume yang besar: kemampuan ini digunakan untuk dialisis peritoneal dalam tatalaksana gagal ginjal. Namun peritoneum juga dapat memproduksi cairan yang banyak (ascites) dan eksudat inflamasi ketika ada injuri (peritonitis). Selama ekspirasi, tekanan intraabdominal menurun dan cairan peritoneal aided akibat atraksi kapiler, menuju kea rah atas yakni ke diafragma. Bukti studi eksperimental menunjukkan partikulat dan bakteri diabsorbsi dalam hitungan menit ke jaringan limfatik melalui beberapa “pores” atau pori-pori dalam peritoneum diafragmatika. Sirkulasi dari cairan

8

peritoneal mungkin bertanggung jawab dalam kejadian abses akibat penyakit primer. Jika defek peritoneum parietal terjadi, fase penyembuhan terjadi bukan dari ujung namun dengan perkembangan sel-sel mesotelial baru pada permukaan defek. Dengan cara ini, defek yang besar akan sembuh cepat sama dengan defek ukuran kecil (Williams et al, 2018).

Gambar. Potongan Sagital Abdomen

Sumber: Principles of Anatomy and Physiology, Edisi ke-12, 2009

3.1.2. Pengertian dan Etiologi Peritonitis (Willams et al, 2018) Peritonitis dapat diartikan sebagai inflamasi dari peritoneum yang dapat terlokalisasi atau tergeneralisasi. Umumnya peritonitis disebabkan oleh invasi dari kavum peritoneal oleh bakteri, sehingga peritonitis tidak digunakan istilah peritonitis bakterial akut. Penyebab dari inflamasi peritoneal yakni (1) bakteri, gastrointestinal dan non-gastrointestinal; (2) kimia, seperti asam empedu, barium; (3) alergi, seperti alergi starch; (4) trauma, seperti operative handling; (5) iskemik, seperti usus

9

terstrangulasi, oklusi vaskular (6) penyebab lainnya seperti, familial Mediterranean fever. Cara terjadinya infeksi peritoneum: (1) perforasi gastrointestinal, seperti ulkus perforasi, appendiks, divertikulum; (2) transolkasi transmural (tidak ada perforasi), seperti pankreatitis, usus iskemik, primary bacterial peritonitis; (3) kontaminasi eksogen, seperti drainase, open surgery, trauma, dialysis peritoneal; (4) infeksi traktus genitalia perempuan, seperti radang panggul; (5) penyebaran hematogen (jarang), seperti septikemia. Jumlah bakteri di dalam lumen traktus gastrointestinal umumnya rendah sampai menuju usus kecil bagian distal. Namun, kelainan yang menyebabkan terjadi stasis dan overgrowth (seperti obstruksi, dan gangguan motilitas akut dan kronik) dapat meningkatkan kolonisasi proksimal. Traktus bilier dan pankreas umumnya bebas dari bakteri, meskipun dapat terinfeksi oleh penyakit, seperti batu empedu. Infeksi peritoneal umumnya disebabkan oleh dua maupun lebih dari strain bakteri. Bakteri gram negatife memiliki endotoksin (lipopolisakardia) pada dinding sel yang dapat menyebabkan efek multitoksik pada host, umumnya dengan menyebabkan pelepasan dari Tumour Necrosis Factor (TNF) dari leukosit host. Absorbsi sistemik dari endotoksik dapat menyebabkan syok endotoksik, dengan hipotensi dan perfusi jaringan gagal. Bakteri lain seperti Clostridium perfringens menimbulkan eksotoksin berbahaya. Bacteriodes sp. umum ditemukan pada peritonitis. Bakteri gram negative, organisme non-spora, meskipun fisiologisnya ditemukan di usus bawah, seringkali dapat lepas dari deteksi akibat sangat anaerobic dan lambat tumbuh pada media kultus kecuali ada cukup karbondioksida di apparatus anaerobic (Gillespie). Laboratorium umumnya, akan membuang kultur yang tidak berkembang dalam 48 jam. Organisme ini resisten terhadap penisilin dan streptomisin namun sensitive terhadap metronidazol, klindamisin, komponen sefalosporin. Sejak penggunaan luas dari metronidazol (flagyl), infeksi Bacteroides dapat berkurang bermakna. Infeksi pelvis via tuba falopii bertanggungjawab dalam peritonitis non gastrointestinal. Ogranisme tersering adalah Chlamydia sp. Dan gonokokus.

10

Organisme ini menyebabkan penipisan mucus serviks sehingga bakteri dapat masuk ke vagina dan uterus selanjutnya duktus ovarium. Ini menyebabkan infeksi dan inflamasi. Variansi dari transperitoneal menyebabkan perihepatitis yaki jaringan scar yang terbentuk pada kapsul Glisson (sindrom Fitz-Hugh-Curtis). Variansi bakteri lain yang dibahas yakni tuberkulosis dan strain Mycobacterial dan penyebab peritonitis primer (pneumococci, staphylococci, dan streptococci). Peritonitis fungi jarang terjadi namun mungkin bisa terjadi pada pasien dengan komplikasi berat.

3.1.3. Klasifikasi Peritonitis Peritonitis menurut cara terjadinya dapat dibagi menjadi primer, sekunder, dan tersier. Penyebaran peritonitis juga dapat dibagi menjadi lokal dan difus. Berikut penjelasannya (Williams et al, 2018). 

Peritonitis Lokal Peritonitis ini terjadi karena adanya sakus peritoneal (peritoneal sac). Sakus ini akan mencegah peritonitis ke lokasi lainnya. Tanda klinis yang menentukan adalah perlekatan (adhesions) yang terbentuk pada organ yang terkena. Peritoneum yang terinflamasi kehilangan penampila glistening (berkilau) mejadi merah dan halus (velvety). Serpihan fibrin muncul dan meyebabkan terjadi loop of intestine sehingga menempel satu sama lain. Ada proses inflamasi yang memproduksi eksudat serosa kaya leukosit dan protein plasma yang segera dapat menjadi keruh. Jika lokalisasi terjadi maka cairan keruh menjadi frank pus. Peristaltik menjadi melemah pada usus yang terkena, hal ini mencegah distribusi infeksi. Omentum mayor, melakukan enveloping dan menjadi adhesi ke struktur yang terinflamasi, seringkali terbentuk barrier yang penting dalam penyebaran infeksi



Perionitis Difusa / Generalisata Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya peritonitis difusa yakni:  Kecepatan dari kontaminasi peritoneal adalah faktor utama. Jika appendiks yang terinflamasi atau organ berongga perforasi sebelum lokalisasi terjadi, akan terjadi efflux dari konten organ tersebut ke kavitas

11

peritoneal. Konten tersebut menyebar ke daerah yang luas secara instan. Perforasi proximal dari obstruksi atau dari separasi anastomosis mendadak bersangkutan dnegan peritonitis difusa berat dan mortalitas tinggi.  Stimulasi dari peristaltik dengan ingesti makan atau air mencegah lokalisasi. Peristaltik yang hebat akibat administrasi dari purgative (obat pencahar) atau enema menyebabkan distribusi luas dari infeksi yang seharusnya terlokalisasi.  Virulensi dari organisme penginfeksi yang sangat hebat sehingga tidak bisa atau sulit untuk sekedar terlokalisasi.  Anak kecil yang memiliki omentum kecil sehingga infeksi lokal tidak efektif  Disrupsi dari infeksi terlokalisasi dengan penangangan gegabah, seperti massa appendiks atau abses perikolik  Kekurangan resistensi alami (immune deficiency) akibat penggunaan obat-obatan (steroid), penyakit (seperti AIDS) atau usia tua. A. Menurut agen 1. Peritonitis kimiawi, misalnya peritonitis yang disebabkan langsung oleh zat kimia. Contohnya stadium awal ulkus duodenum, ekstravasasi urin yang tidak terinfeksi (trauma buli), ekstravasasi cairan bilier (setelah operasi bilier). Bila tatalaksana kondisi ini terlambat, dapat terjadi infeksi sekunder. Rangsangan peritoneum berupa adanya defans muskuler pada umumnya akan tampak jelas, demikian juga leukositosis. 2. Peritonitis septik, merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya karena ada perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke peritonium dan menimbulkan peradangan.

12

B. Menurut sumber kuman 1. Peritonitis primer Peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran secara hematogen. Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh perforasi atau nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan inokulasi bakterial pada rongga peritoneum. Kasus SBP disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh bakteri gram negatif (E.coli, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas, Proteus), bakteri gram positif (Streptococcus pneumonia, Staphylococcus). Peritonitis primer dibedakan menjadi: a. Spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya kuman tuberkulosa. b. Non- spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik, misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik. 2. Peritonitis sekunder Proses infeksi dan peradangan peritoneum akibat translokasi bakteri ke rongga peritoneum dari suatu perforasi isi saluran cerna atau kontaminasi dari luar misalnya pada trauma tembus abdomen. Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, antara lain : a. Invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus genitourinaria ke dalam rongga abdomen, misalnya pada perforasi

appendiks,

perforasi

gaster,

perforasi

kolon

oleh

divertikulitis, volvulus, kanker, strangulasi usus, dan luka tusuk. b. Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris. c. Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheter (Liang et al, 2015)

13

3. Peritonitis tersier Terjadi pada Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise. Organisme penyebab biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative Staphylococcus, S.Aureus, gram

negative

Bacili,

dan

Candida,

Mycobacteri

dan

fungus.

Gambarannya adalah dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan dengan antibiotika IV atau ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan berdasarkan tipe kuman yang didapat pada tes laboratorium. Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis berulang, abses intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini sebaiknya kateter dialisis dilepaskan (Liang et al, 2015).

3.1.4. Patofisiologi Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus. Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia. Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan

14

lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus strangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

3.1.5. Presentasi Klinis (Williams et al, 2018) 

Peritonitis Lokal Tanda dan gejala awal dari peritonitis terlokalisasi adalah kondisi penyebab (underlying condition-umumnya inflamasi visceral (nyeri abdomen, gejala GI spesifik + malaise, anoreksia, dan nausea). Peritoneum menjadi terinflamasi, nyeri abdomen lebih parah dan peningkatan temperature dan nadi. Tanda patognomonic adalah localised guarding (kontraksi involunter dari dinding abdomen untuk melindungi

15

viscus dari tangan pemeriksaan), positif tanda lepas (rebound tenderness), dan rigidity (kontraksi konstan involunter dari dinding abdomen dari parietal yang terinflamasi). Jika inflamasi meningkat di bawah diafragma, nyeri shoulder-tip (phrenic) dapat terasa nyeri akibat dari dermatokm C5. Pada kasus peritonitis pelvis yang meningkat dari appendix terinflamasi maka posisi pelvis atau dari salpingitis, tanda abdomen yakni umumnya ringnan, mungkin ada deep tenderness dari satu atau kedua kuadran bawah, namun pemeriksaan rektal atau vaginal meningkatkan tenderness dari peritoneum pelvis. 

Peritonitis Difusa 

Awal Nyeri abdomen sangat parah dan menjadi lebih sakit dengan bergerak atau bernapas. Kejadian pertama di lesi tempat original dan menyebar keluar dari poin tersebut. Patien umumnya terbaring. Nyeri tekan (tenderness) dan generalised guarding ditemukan dalam palpasi, jika peritonitis terinfeksi pada dinding abdomen anterior. Bunyi usus yang jarang mungin terdengar pada awal akibat adanya ileus paralitik. Nadi dan temperatur menyebabkan peningkatan dari derajat inflamasi dan infeksi.



Lanjut Jika peritonitis terresolusi atau terlokalisasi dari peritonitis difusa tidak terjadi, maka abdomen menjadi kaku (rigid)—generalised rigidity. Distensi umum terjadi dan bunyi usus menghilang. Ada risiko

terjadi kegagalan pernapasan dengan

cold,

clammy

extremities, mata cekung, lidah kering, nadi yang ireguler, Hippocratic face.

3.1.6. Pemeriksaan Penunjang (Williams et al, 2018) Pengambilan riwayat yang hati-hati dan pemeriksaan fisik yang berulang harus tidak dilupakan. Pada bedside, dapat dilakukan urine dipstix untuk melihat

16

infeksi traktus urinarius; EKG jika membingungkan dapat antara nyeri abdomen atau akibat dari riwayat kardiovaskular. Pemeriksaan darah yang dapat dilakukan adalah dengan baseline urea dan elektrolit; pemeriksaan darah komplit, serta serum amylase. Pemeriksaan penunjang seperti pencitraan juga dapat dilakukan seperti xray erect untuk subdiaphragmatic gas, x-ray abdomen dalam posisi supinasi juga dapat memperlihatkan dilated gasfilled loops of bowel (pada ileus paralitik yang konsisten), dan kebetulan ada organ yang dapat terlihat seperti traktus biliaris, pola faecal yang dapat menjadi penunjuk dalam penyakit kolon. Pasien dengan sakit luar biasa sehingga tidak dapat dalam posisi erect dapat melakukan foto dalam left lateral decubitus untuk melihat udara di dinding abdomen.

3.1.7. Tatalaksana Tatalaksana menurut buku Bailey & Love Short Practice of Surgery Edisi ke 27 yakni dengan koreksi cairan yang hilang dan volume sirkulasi, pemasangan kateter dan NGT dekompresi, terapi antibiotik, terapi analgetik, dan pada beberapa kasus dengan penanganan operasi. Penagangan operasi adalah untuk menyingkirkan penyebab peritonitis atau peritoneal lavage -/+ drainase. Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik spektrum luas, seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x2 gram atau ceftriaxone 1x2 gram), penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam 4x 3,375 gram pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal). Terapi empiris untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada pasien dengan primary bacterial peritonitis (PBP atau SBP). Pasien peritonitis primer umumnya mengalami perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat. Antibiotik dapat diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur darah yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya rekurensi pada SBP, sampai 70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun. Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi 65 mmHg, dan urine output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous pressure CVP antara 8-12mmHg).

17

Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT) pada pasien ileus dengan distensi perut dan mual-muntah yang dominan. Pada pasien penurunan kesadaran dan adanya syok septik perlu dipertimbangkan pemasangan intubasi. Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari kontaminasi (koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan mencegah sepsis. Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan tujuan agar eksplorasi rongga abdomen yang adekuat dan komplit tercapai. Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi tercapai bila bagian yang mengalami perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair (perforasi ulkus). Pada perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus secara sementara sebelum dilakukan tindakan anastomosis usus di kemudian hari (beberapa minggu setelah keadaan umum pasien membaik). Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan cairan normal saline (>3L) hangat dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan tujuan mengurangi bacterial load dan mengeluarkan

pus

(mencegah

sepsis

dan

re-akumulasi

dari

pus).

Tidak

direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan iodine atau agen kimia lainnya. Setelah selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali. Secara ideal, fascia ditutup dengan benang non-absorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kasa basah selama 48- 72 jam. Apabila tidak terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat dilakukan (delayed primary closure technique). Teknik ini merupakan teknik closed abdomen, pada laporan kasus ini tidak akan dibahas secara mendalam mengenai teknik open-abdomen).

3.1.8. Prognosis Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitas yang tinggi adalah etiologi penyebab peritonitis dan durasi penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum penanganan, usia pasien, dan keadaan umum pasien. Tingkat mortalitas dibawah 10% ditemukan pada pasien dengan perforasi ulkus atau appendisitis, pasien usia muda, kontaminasi bakteri yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang buruk (APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan tingkat serum albumin preoperatif yang rendah merupakan

18

pasien resiko tinggi yang membutuhkan penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka mortalitas yang tinggi.

Tabel Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi

Tabel. Skor Boey

19

Tabel. Mannheim Peritonitis Index

Interpretasi dari Mannheim Peritonitis Index : 1. Score 0-5 : 0% Mortality 2. Score 6-13 : 20% Mortality 3. Score 14-21 : 13% Mortality 4. Score 22-29 : 26% Mortality 5. Score 30-39 : 64% Mortality

3.2. Appendistis Akut 3.2.1. Anatomi dan Fisiologi Appendiks Pada dewasa, panjang rerata dari appendiks adalah 6—9 cm; namun panjang tersebut bervariasi dari <1 sampai >30 cm. Diameter luar bervariasi antara 3 dan 8 mm, serta diameter lumen antara 1 dan 3 mm(Liang et al, 2016). Letak appendiks juga bervariasi. Letak terbanyak adalah retrocecal dan pelvis. Berikut ini adalah gambaran variasi letak appendiks. Appendiks terletak di region abdomen kanan bawah—regio iliaca dextra.

20

Gambar. Variasi Letak Appendiks

Sumber: Bailey & Love’s Short Practice of Surgery, Edisi ke-27, 2018

Appendiks menerima suplai darah dari cabang appendicular dari arteri ileocolic. Arteri masuk melalui posterior dari ileum terminal ke mesoappendiks yang dekat dengan basis appendiks. Drainase limfatik dari appendiks alirannya berasal dari limfonodus yang ada sejajar dengan arteri ileocolic. Intervasi appendiks berasal dari elemen simpatis oleh plexus mesenterika superior (T10-L1) dan afferennya dari elemen parasimpatis melalui nervus vagus (Liang et al, 2016). Susunan lapisan appendiks memiliki 3 lapisan yakni lapisan serosa (dari luar)—kelanjutan dari peritoneum; lapisan muskularis—tidak terdiferensiasi baik dan mungkin tidak ada di beberapa lokasi; dan terakhir—submucosa dan mukosa. Limfoid teragregasi ada di lapisan submukosa dan dapat meluas ke mukosa muskularis. Gerbang limfatik banyak di daerah limfoid teragregasi. Mukosa appendiks sama dengan usus besar, kecuali densitas dari folikel limfoid. Kriptakriptanya umumnya berukuran dan berukuran tidak regular. Kompleks neuroendokrin yakni sel-sel ganglion, sel Schwann, fiber neural, dan sel-sel neurosekresi yang terletak di bawah kripta (Liang et al, 2016).

21

Gambar. Appendiks melalui Laparaskopi

Sumber: Bailey & Love’s Short Practice of Surgery, Edisi ke-27, 2018

Appendiks berfungsi dalam sekresi immunoglobulin A. Ada juga penelitian hubungan appendektomi dengan peningkatan risiko terjadinya kejadian Crohn’s disease dan kolitis ulseratif. Appendiks juga berperan sebagai reservoir untuk bakteri flora normal kolon (Liang et al, 2016). Gambar. Vaskularisasi Arteri di Usus

22

Gambar. Vaskularisasi Vena di Usus

3.2.2. Appendisitis Akut Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis, dan akibatnya terjadi infeksi.. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang dikatakan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris juga dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks

karena parasit seperti E. histolytica (Sjamsuhidajat dan Jong,

2010). Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi

23

akan

menaikkan

tekanan

intrasekal,

yang

berakibat

timbulnya

sumbatan

fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010). Peningkatan ukuran dari orifisium apendikularis pada awal masa anak-anak dan penyempitan lumen pada orang tua menjelaskan mengapa apendisitis akut jarang terjadi pada golongan ini. Meskipun apendiks memiliki suplai pembuluh darah yang baik pada anastomosis arterinya, arteri apendikular itu sendiri merupakan arteri yang berada di ujung; letaknya dekat dengan dinding apendiks sehingga menyebabkan arteri ini mudah sekali terjadi trombosis selama apendisitis akut, hal ini juga lah yang menyebabkan tingginya frekuensi perforasi gangren pada penyakit ini (Liang et al, 2016) Appendisitis perforata berkaitan dengan adanya fekalit didalam lumen, usia dan keterlambatan diagnosis dari appendisitis. Etiologi yang biasa terjadi pada usia tua adalah gejala yang samar, keterlambatan berobat, perubahan anatomi berupa penyempitan lumen dan arteriosklerosis. Sedangkan pada anak-anak disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis, omentum yang masih pendek dan anak kurang komunikatif yang akan menyebabkan keterlambatan diagnosis serta sistem imun anak yang belum berkembang dengan baik.

Epidemiologi Appendisitis berkembang pada 8,6% laki-laki dan 6,7% perempuan dengan insidensi terjadi pada dekade kedua dan ketiga masa kehidupan. Insiden apendisitis paling tinggi pada usia 20-30 tahun, dan jarang ditemukan pada anak usia kurang dari 2 tahun. Pada remaja dan dewasa muda rasio perbandingan antara laki-laki dan perempuan sekitar 3 : 2. Setelah usia 25 tahun, rasionya menurun sampai pada usia pertengahan 30 tahun menjadi seimbang antara laki-laki dan perempuan.

24

Klasifikasi Apendisitis 1.

Apendisitis Akut (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010) a. Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Apendisitis) Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa apendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis dan apendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa. b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Apendisitis) Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada apendiks dan mesoapendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum. c. Apendisitis Akut Gangrenosa Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

25

2.

Apendisitis Infiltrat Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat

dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya. 3.

Apendisitis Abses Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),

biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic. 4.

Apendisitis Perforasi Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren yang

menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik. 5.

Apendisitis Kronik Apendisitis kronik merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai

proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding apendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

Patofisiologi Apendisitis Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh fekalit, hiperplasia folikel limfoid, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Fekalit ditemukan sebagai penyebab paling sering dari obstruksi apendiks dengan frekuensi sebesar 40% pada apendisitis akut sederhana tanpa komplikasi, 65% pada apendisitis gangrenosa, dan hampir 90% pada apendisitis perforasi. (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010). Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding

26

apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen, dimana kapasitas lumen apendiks normal adalah hanya ± 0,1 ml. Tekanan yang meningkat sedikit saja akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. . Resolusi dapat terjadi secara spontan maupun dengan respons terapi antibiotik. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding pembuluh darah mencapai musculus propia dan submukosa (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010). Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010). Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010). Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010).

27

Komplikasi apendisitis yang paling berbahaya ialah peritonitis. Peritonitis terjadi karena adanya migrasi bebas dari bakteri pada dinding apendiks yang mengalami iskemia

Manifestasi klinis apendisitis 2.7.1

Gejala Gejala klasik dari appendisitis adalah Nyeri perut yang merupakan gejala

utama dari apendisitis. Nyeri ini muncul tiba-tiba dengan atau tanpa rangsangan peritoneum lokal. Nyeri pada apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium sekitar umbilikus. Nyeri perut ini sering disertai mual serta satu atau lebih episode muntah dengan rasa sakit, dan setelah beberapa jam, nyeri akan beralih ke perut kanan bawah pada titik McBurney. Umumnya nafsu makan akan menurun. Rasa sakit menjadi terus menerus dan lebih tajam serta lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat, akibatnya pasien menemukan gerakan tidak nyaman dan ingin berbaring diam, dan sering dengan kaki tertekuk. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Hal ini sangat berbahaya karena dapat mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat rangsangan peritoneum, biasanya penderita mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010).

2.7.2 Pemeriksaan fisik Temuan

fisik

ditentukan

terutama

oleh

posisi

anatomis

apendiks

vermiformis yang mengalami inflamasi, serta organ yang telah mengalami ruptur ketika pasien pertama kali diperiksa. Tanda vital seperti peningkatan suhu jarang >1oC (1.8oF) dan denyut nadi normal atau sedikit meningkat. Apabila terjadi perubahan yang signifikan dari biasanya menunjukkan bahwa komplikasi atau perforasi

telah

terjadi

atau

diagnosis

(Sjamsuhidajat dan Jong, 2010).

28

lain

harus

dipertimbangkan.

Pasien dengan apendisitis biasanya berbaring dengan terlentang, karena gerakan apa saja dapat meningkatkan rasa sakit. Jika diminta untuk menggerakkan paha terutama paha kanan pasien akan melakukan dengan perlahan-lahan dan hati-hati. Jika dilakukan palpasi akan didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, biasanya di sertai nyeri lepas.. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses periapendikular. Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah: 

Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.



Nyeri lepas (+). Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney.



Defans muskuler (+). Defans muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.



Rovsing sign (+). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah.



Psoas sign (+). Psoas sign terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.



Obturator sign (+). Obturator sign adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium. Pada perkusi ditemukan nyeri ketok., pada auskultasi didapatkan Peristalsis

usus sering didapatkan normal tetapi dapat menghilang akibat adanya ileus paralitik yang disebabkan oleh apendisitis perforate (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010). Uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks vermiformis. Cara melakukan uji psoas yaitu dengan rangsangan otot psoas melalui hiperekstensi sendi panggul kanan atau 29

fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Tindakan ini akan menimbulkan nyeri bila apendiks vermiformis yang meradang menempel di otot psoas mayor.

Gambar. Pemeriksaan Psoas sign

Pada pemeriksaan

uji obturator

untuk melihat

bilamana apendiks

vermiformis yang meradang bersentuhan dengan otot obturator internus.

Gambar. Pemeriksaan Obturator sign

Ketika peradangan apendiks vermiformis telah mencapai panggul, nyeri perut kemungkinan

tidak

ditemukan

sama

sekali,

yaitu

misalnya

pada

apendisitis pelvika. Sehingga dibutuhkan pemeriksaan colok dubur. Dengan melakukan pemeriksaan colok dubur nyeri akan dirasakan pada daerah lokal suprapubik dan rektum. Tanda-tanda iritasi lokal otot pelvis juga dapat dirasakan penderita (Liang et al, 2016) Perforasi apendiks vermikularis akan menyebabkan peritonitis purulenta yang di tandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat berupa nyeri tekan dan defans muskuler yang meliputi seluruh perut, disertai pungtum maksimum di regio iliaka kanan, dan perut menjadi tegang dan kembung. Peristalsis usus dapat

30

menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi diseluruh dinding perut.

2.8

Diagnosis Appendisitis Tabel. Skor Alvarado untuk mendiagnosis apendisitis akut Manifestations Symptoms

Signs

Value

Migration of pain Anorexia

1 1

Nausea and/or vomiting

1

Right

2

lower

quadrant

tenderness

Laboratory Values

Rebound Elevated temperature

1 1

Leukocytosis Left shift in leukocyt

21 1

Count Total Points

10

Interpretasi Alvarado score : -

Skor total 1-4: unlikely to have apendisitis  pasien dipulangkan dengan diberi obat simptomatik dan disarankan untuk kembali apabila gejala bertambah berat atau tidak berkurang.

-

Skor total 5-6: compatible with, but not diagnostic of apendisitis  pasien diberi obat simptomatik dan antibiotik serta dilakukan observasi selama 24 jam dengan memperhatikan penilaian skor ulang. Dapat dilakukan CT-scan pada pasien dengan skor 5-6.

-

Skor total 7-8: have a high likelihood of apendisitis  pasien dipersiapkan untuk dilakukan apendiktomi cito

31

Pada Perforasi apendiks purulenta

yang di

vermikularis

akan

menyebabkan

peritonitis

tandai dengan demam tinggi yang makin tinggi dari awal

munculnya gejala appendisitis, nyeri makin hebat berupa nyeri tekan dan defans muskuler yang meliputi seluruh perut, disertai pungtum maksimum di regio iliaka kanan, dan perut menjadi tegang dan kembung.

Peristalsis usus dapat

menurun sampai menghilang akibat adanya ileus paralitik. Nyeri tekan dan defans muskuler terjadi diseluruh dinding perut.

2.9

Pemeriksaan penunjang

2.9.1

Pemeriksaan laboratorium

2.9.1.1 Leukosit Darah (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010). Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam mendiagnosis apendisitis akut, terutama untuk mengesampingkan diagnosis lain. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan adalah jumlah leukosit darah. Jumlah leukosit darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis. Hitung jumlah leukosit darah merupakan

pemeriksaan

yang

mudah

dilakukan

dan

memiliki

standar

pemeriksaan terbaik. Terjadinya apendisitis akut dan adanya perubahan dinding apendiks vermiformis secara signifikan berhubungan dengan meningkatnya jumlah leukosit darah. Temuan ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit berhubungan dengan peradangan mural dari apendiks vermiformis, yang merupakan tanda khas pada apendisitis secara dini. Beberapa penulis menekankan bahwa leukosit darah polimorfik merupakan fitur penting dalam mendiagnosis apendisitis akut. Leukositosis ringan, mulai dari 10.000-18.000 sel/mm3, biasanya terdapat pada pasien apendisitis akut. Namun, peningkatan jumlah leukosit darah berbeda pada setiap pasien apendisitis. Beberapa pustaka lain menyebutkan bahwa leukosit darah yang meningkat >12.000 sel/mm3 pada sekitar tiga-perempat dari pasien dengan apendisitis akut. Apabila jumlah

32

leukosit darah meningkat >18.000 sel/mm3 menyebabkan kemungkinan terjadinya komplikasi berupa perforasi. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada kasus dengan komplikasi berupa perforasi. Penelitian yang dilakukan oleh Guraya SY menyatakan bahwa peningkatan jumlah leukosit darah yang tinggi merupakan indikator yang dapat menentukan derajat keparahan apendisitis. Tetapi, penyakit inflamasi pelvik terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut. 2.9.1.2 Urinalisis Sekitar 10% pasien dengan nyeri perut memiliki penyakit saluran kemih. Pemeriksaan

laboratorium

urin dapat mengkonfirmasi

atau menyingkirkan

penyebab urologi yang menyebabkan nyeri perut. Meskipun proses inflamasi apendisitis akut dapat menyebabkan piuria, hematuria, atau bakteriuria sebanyak 40% pasien, jumlah eritrosit pada urinalisis yang melebihi 30 sel per lapangan pandang atau jumlah leukosit

yang melebihi 20 sel per lapangan pandang

menunjukkan terdapatnya gangguan saluran kemih (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010).

2.9.2 Radiografi konvensional Pada foto polos abdomen, meskipun sering digunakan sebagai bagian dari pemeriksaan umum pada pasien dengan abdomen akut, jarang membantu dalam mendiagnosis apendisitis akut. Pasien dengan apendisitis akut, sering terdapat gambaran gas usus abnormal yang non spesifik. Pemeriksaan tambahan radiografi lainnya yaitu pemeriksaan barium enema dan scan leukosit berlabel radioaktif. Jika barium enema mengisi pada apendiks vermiformis, diagnosis apendisitis ditiadakan.

2.9.3 Ultrasonografi Ultrasonografi berguna dalam memberikan diferensiasi penyebab nyeri abdomen

akut

ginekologi,

misalnya

dalam

mendeteksi

massa

ovarium.

Ultrasonografi juga dapat membantu dalam mendiagnosis apendisitis perforasi 33

dengan

adanya

abses. Apendisitis akuditandai dengan (1) adanya

perbedaan

densitas pada lapisan apendiks vermiformis/hilangnya lapisan normal (target sign); (2) penebalan dinding apendiks vermiformis; (3) hilangnya kompresibilitas dari apendiks vermiformis ; (4) peningkatan ekogenitas lemak sekitar (5) adanya penimbunan cairan. Keadaan apendisitis dengan perforasi ditandai dengan (1) tebal

dinding

apendiks

vermiformis

yang

asimetris;

(2) cairan

bebas

intraperitonial, dan (3) abses tunggal atau multipel

Pada apendisitis, terdapat distensi dan penebalan dinding (kanan bawah), dan aliran darah meningkat memberikan gambaran a ring of fire. Pada appendisitis perforasi terdapat cairan bebas disekitar appendiks.

2.10

Diagnosis Banding Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis karena

penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan apendisitis, diantaranya: 1.

Gastroenteritis ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut.

2.

Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri tekan perut.

34

3.

Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, dan hematokrit yang meningkat.

4.

Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan apendisitis akut, KET, ruptur kista korpus luteum. Pada pasien dengan salpingitis, biasanya mengeluh nyeri bilateral pada abdomen bawah dan ditemukan vaginal discharge serta infeksi urin. USG membantu memvisualisasikan salpingitis dan KET. Suhu pada salpingitis biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus.

5.

Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.

6.

Meckel’s diverticulitis, sering tumpang tindih dengan appendisitis, namun pada saat eksplorasi appendiks dalam batas normal

7.

Acute Crohn’s ileitis, biasanya diderita oleh pasien dewasa muda yang memiliki riwayat nyeri yang sering kambuh

8.

Ileus obstruktif, nyeri kolik dan muntah, peningkatan bising usus dan ususnya distensi pada X-ray

9.

Perforasi peptic ulcer, onsetnya tiba-tiba

10.

Acute cholecystitis

11.

Pankreatitis

12.

Traktur urogenital: ureteric colic and acute pyelonephritis, urin dan darah harus dicek dan Testicular torsion

13.

Pada Dada: basal pneumonia dapat menyebabkan nyeri abdomen, yang sangat susah dibedakan, terutama pada anak kecil. Auskultasi dan pemeriksaan X-ray menunjukkan adanya pneumonia.

14.

Sistem nervus sentralis: nyeri yang disebabkan karena herpes zoster pada segmen ke 11 dan 12, iritasi pada posterior nerve roots pada pasien dengan spinal disease (tumor invasif atau tuberkulosis) biasanya memiliki gejala yang mirip dengan appendicitis.

35

Pendekatan Umum Pasien dengan Suspek Appendisitis Akut

Sumber: Sabiston Textbook of Surgery, Edisi ke 20, 2017

2.11

Manajemen Awal

a. Appendisitis non-komplikasi Pasien dengan appendisitis non-komplikasi, tindakan operasi merupakan tatalaksana standar sejak ditemukannya McBurney

36

Konsep tindakan tanpa operasi pada appendisitis non-komplikasi berkembang dari 2 pengamatan. Pertama, pasien berada pada lingkungan di mana tidak memungkinkan dilakukan tingdakan bedah (di lepas pantai dan daerah ekspedisi), sedangkan pengobatan antibiotik dinyatakan efektif. Kedua, banyak pasien dengan tanda dan gejala konsisten yang tidak mengikuti pengobatan medis seringkali terjadi resolusi spontan pada penyakitnya. 1,3 Alur Tatalaksana pada Pasien Suspek Appendisitis

Sumber: Sabiston Textbook of Surgery, Edisi ke 20, 2017

b. Appendisitis komplikasi Appendisitis komplikasi berkaitan dengan perforasi appendisitis yang berkaitan dengan abses dan phlegmon. Insidensinya sekitar 2 per 10.000 orang dan memiliki variasi yang sedikit berbeda dari waktu ke waktu. Anak-anak yang berusia

37

kurang dari 5 tahun dan pasien yang berusia lebih dari 65 tahun menduduki peringkat teratas untuk insidensi perforasi. Proporsi perforasi meningkat seiring dengan berapa lama gejalanya. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik,dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu.

1,3

Pasien dengan appendisitis perforasi

dilakukan tatalaksana untuk memperbaiki keadaan umum, pemberian antibiotik dan pemasangan NGT.

2.12

Tindakan Berdasarkan

guideline

dari

SAGES

2010

(Society

of

American

Gastrointestinal and Endoscopic Surgeon), indikasi appendektomi laparoskopi dengan open appendectomy dibagi sebagai berikut: 

Appendektomi laparoskopi o Appendisitis tanpa komplikasi o Appendisitis pada anak-anak o Appendisitis pada ibu hamil



Open appendektomi o Appendisitis perforasi o Appendisitis pada pasien geriatri o Appendisitis pada pasien obesitas

a. Open Appendectomy

38

b. aparoscopi Appendectomy

Pada appendisitis perofrasi dilakukan insisi yang panjang agar mudah dilakukan pencucian pus dan fibrin serta pembersihan kantong nanah. Nanah dan fibrin yang terkumpul didalam rongga abdomen dapat menyebabkan sepsis dan adhesi usus. 2.13

Komplikasi Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10% sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu (Sjamsuhidajat dan Jong, 2010). Appendisitis perforasi dapat menyebabkan peritonitis, perlengketan usus dan terjadi nya sepsis yang akan berujung kepada kematian.

39

BAB IV ANALISIS KASUS Pasien Tn. KA (pria; 36 tahun) datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 3 hari SMRS. Nyeri perut kanan bawah disertai dengan mual, muntah, penurunan nafsu makan, dan riwayat nyeri berpindah dari regio epigastrik (sejak 7 hari SMRS) ke regio iliaka dekstra. BAB berupa mencret, serta buang angin masih ada. Pada ± 1 hari SMRS, nyeri perut kanan bawah menjadi lebih hebat sehingga Os dirujuk ke RS Rabain Muara Enim dengan diagnosis peritonitis. Pada saat pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital ada yang di luar batas normal yakni untuk suhu 37,8 (subfebris) dan pada pemeriksaan abdomen inspeksi datar; palpasi defans muskular (+), nyeri tekan seluruh perut (+), psoas sign (+); perkusi timpani; dan auskultasi bising usus melemah. Pemeriksaan rectal touché juga didapatkan adanya nyeri pada pukul 11. Tn. KA kemudian dilakukan pemeriksaan USG abdomen dan appendisitis didapatkan appendisitis dan peritonitis lokal. Hasil laboratorium didapatkan leukositosis dan shift to the left. USG ditemukan kesan appendisitis dengan perforasi lokal. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka ditegakkan diagnosisnya adalah peritonitis difusa et causa appendisitis perforasi. Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan bawah degan onset akut adalah pankreatitis akut dan perforasi gaster. Pankreatitis akut dicurigai karena adanya nyeri perut yang juga dapat berubah menjadi lebih berat, nausea, vomitus, demam dan diare. Namun pankreatitis akut dapat disingkirkan karena nyeri perut umumnya menjalar ke punggung, penyebab tersering adalah adanya batu dan riwayat minum alkohol—yang mana disangkal oleh hasil USG dan pengakuan pasien, tanda-tanda vital seperti takikardi dan hipotensi tidak ditemukan pada pasien; jaundice yang dapat ditemukan pada beberapa pasien pankreatitis akut juga tidak ditemukan. Dari pemeriksaan laboratorium juga dapat dilakukan pemeriksaan penunjang yakni dengan

40

serum amilase dan lipase. Peningkatan 3x lipat dari nilai normal dapat mengindikasikan adanya pankreatitis akut dengan klinis yang mendukung. Diagnosis banding yang lain adalah perforasi ulkus peptikus. Hal ini dapat mengakibatkan mimickers dari appendisitis karena isi dari duodenum dapat turun ke fossa iliaka kanan sehingga dapat terjadi nyeri abdomen pada daerah tersebut. Pasien ini juga sering mengeluh adanya sindrom dispepsia. Namun, diagnosis banding ini disingkirkan dengan nyeri yang sangat cepat berubah dari epigastrium ke fossa iliaca kanan. Appendisitis sendiri umumnya nyerinya onset lambat untuk berpindah dari nyeri visceral (yang akhirnya dikondisikan nyeri pada daerah sekitar umbilikus— epigastrium; persarafan somatic ke T10-T11) menjadi ke nyeri parietal (yang ada di regio iliaca kanan; sifat nyeri lebih terlokalisasi dan lebih berat). Kedua penyakit ini ada rigidity pada abdomen, namun pada perforasi lebih umumnya lebih rigid pada daerah region hipokondrium. Hasil pemeriksaan erect x-ray dari pasien ini juga menunjukkan tidak adanya gas di bawah diafragma (subdiaphragm gas). Maka dari itu, diagnosis banding ini dapat disingkirkan. Appendisitis akut dapat terjadi karena lumen appendiks tersumbat oleh adanya fecalith atau hiperplasia dari jaringan limfoid. Etiologi lain yang jarang adalah tumor appendiks dan cacing askaris. Appendisitis akut ini kemudian terus berkembang jalan penyakitnya selama obstruksi masih ada maka akan terjadi proses penghasilan mukus terus menerus sehingga terjadi edema dan gangguan limfatik dan gangguan iskemik dari pembuluh darah sehingga barrier mukosa menjadi rusak dapat terjadi translokasi bakteri maka dapat terjadi appendisitis purulenta, appendisitis abses, appendisitis gangren, atau appendisitis perforasi. Ada juga appendisitis infiltrat ditandai dengan terjadinya walling off. Ini merupakan usaha agar tidak terjadi infeksi yang lebih luas. Appendisitis akut dapat dilakukan pengukuran skor Alvarado. Bila nilainya sama dengan lebih besar 7 maka dapat sangat mungkin pasien tersebut menderita appendisitis akut. Penilaian skor Alvarado ini digunakan pada saat dibutuhkan suatu tindakan tatalaksana pasien tersebut apakah perlu appendektomi segera atau dapat dilakukan diagnosis lebih lanjut seperti penggunaan USG abdomen dan appendiks.

41

Pada kasus Tn. KA (pria, 36 tahun) terjadi appendisitis perforasi yakni appendiks yang telah mengalami gangren pecah lalu pus keluar memasuki peritoneum. Appendisitis perforasi merupakan suatu kegawatdaruratan bedah karena dapat

menyebabkan peritonitis

yang dapat

berkomplikasi

menjadi

sepsis.

Appendisitis perforasi ini dapat menyebabkan peritonitis lokal yang dapat berkembang menjadi lanjut. Peritonitis difusa dapat terjadi karena beberapa faktor seperti karena adanya stimulasi dari makan dan minum karena pasien tidak puasa serta adanya virulensi dari bakteri yang lebih besar. Bakteri yang umum ditemukan pada appendistis ini adalah umumnya bakteri aerobik dan anaerobik. Bakterinya adalah Escherichia coli dan Bacterioides. Peritonitis pada pasien Tn. KA ini ditandai oleh adanya defans muscular dan suara bising usus yang melemah. Pemeriksaan penunjang berupa darah rutin dan USG dapat digunakan. Menurut buku Schwartz’s Principle of Surgery (2015) adanya leukositosis >18.000 sel/mm3 dan CRP positif cenderung menunjukkan appendisitis komplikasi yakni perforasi atau abses. Pada kasus Tn. KA ini WBC ditemukan 22.600 sel/mm3 namun CRP tidak dilakukan pemeriksaan. Namun jika pasien telah jatuh dalam sepsis, dapat terjadi leukopenia. Pemeriksaan USG abdomen dan appendisitis akut dapat dilakukan dengan tanda appendisitis yakni diameter appendiks >5 mm, penebalan dinding appendiks, dan cairan periappendiks. Pasien Tn. KA (pria, 36 tahun) ini berdasarkan assesmen maka diperlukan tindakan laparatomi eksplorasi cito dengan appendektomi. Tujuannya adalah untuk menghilangkan fokus infeksi dalam rongga abdomen dan membersihkan organ visera yang sudah terkontaminasi pus dan darah ysng berasal dari appendiks yang terinfeksi. Kompetensi sebagai dokter umum adalah 3A (appendisitis akut) dan 3B (peritonitis). Tatalaksana awal yang dapat kita lakukan adalah meminta pasien untuk “puasa”; melakukan tindakan NGT dekompresi sehingga usus tidak terangsang peristaltiknya; melakukan rehidrasi lalu diikuti dengan pengambilan sampel darah rutin; penggunaan antibiotik spektrum luas dan memasang kateter sebagai evaluasi rehidrasi. Pasien kemudian dirujuk ke fasilitas yang dapat melakukan laparatomi eksplorasi cito serta appendektomi. Pasien harus dirujuk dalam keadaan stabil.

42

DAFTAR PUSTAKA Liang, et al. 2015 Chapter 30: The Appendix. Dalam: Schwartz’s Principle of Surgery. Edisi ke-10. Inggris: McGraw Hill Richmond, et al. 2017. Chapter 53: The Appendix. Dalam: Sabiston Textbook of Surgery. Edisi ke-20. Kanada: Elsevier Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, W. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta: EGC. Williams, N. et al. 2018. Bailey and Love’s Short Practice of Surgery. Edisi ke-27. Inggris: CRC Press.

43

44

Related Documents


More Documents from "Anonymous 4u2w0OL"