[HOTD] syaRiah dan Riba Hadist riwayat Abu Said Al-Khudri ra., ia berkata: Dinar ditukar dengan dinar, dirham dengan dirham harus sama nilainya. Barang siapa menambah atau meminta tambahan berarti ia telah melakukan riba. Maka aku berkata kepadanya: Sesungguhnya Ibnu Abbas ra. tidak mengatakan demikian. Ia berkata: Aku telah menemui Ibnu Abbas ra. lalu aku bertanya kepadanya: Apa pendapatmu mengenai apa yang kamu katakan, apakah itu sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah saw. atau kamu temukan dari Kitab Allah? Maka ia berkata: Aku tidak mendengarnya dari Rasulullah dan tidak mendapatkannya dari Kitab Allah, tetapi Usamah bin Zaid berkata kepadaku bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Riba itu terdapat dalam penundaan pembayaran Links: [hukum bunga bank dan kaRakteRistik bank syaRiah] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/18706 [Riba] http://awaludinz.blogspot.com/2006/10/riba.html [dasaR peRhitungan cicilan pinjaman muRObahah] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/11357 [Riba menuRut al-quRan] http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Riba.html [kaRtu kRedit] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/9924 [antaRa syaRi'ah dan fiqh] http://irdy74.multiply.com/journal/item/132 [apa bOleh meneRima imbalan daRi pinjaman] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/9920 [waspada ancaman bahaya Riba] http://www.e-masjid.com/modules.php?name=News&file=print&sid=133 [bunga bank kOnvensiOnal untuk mushOla] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/9515 [bunga depOsitO bank syaRiah dan paRa pengawas syaRiah] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/8337 [kOpRasi Riba / halal : sistem kOpeRasi apakah mengandung unsuR Riba atau tidak ?] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/8178 [lewat mana menyaluRkan uang Riba ?] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/7651 [hukum menabung dan investasi di bank kOnvensiOnal] http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/7382 -perbanyakamalmenujusurga-
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/18706 Konsultasi : Muamalat Hukum Bunga Bank Dan Karakteristik Bank Syariah Pertanyaan: Assalamu'alaikum wr.w. Ust, bagimana hukum bunga dalam bank. Apakah yang dimaksud dengan bank syariah? produk apa yang ada di bank syariah? Apa bedanya dengan bank konvensional?& apa beda bunga pada bank syariah dengan bagi hasil pada bank syariah? Jazakumullah
Wassalamu'alaikum wr. wb Anissa Jawaban: Assalamu’alaikum wr.wb. Hukum bunga bank menurut jumhur ulama adalah haram sebab, ia jelas-jelas merupakan riba. Dalilnya adalah QS. 2: 275. (Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba). Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya adalah memberikan kredit dan jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta perderan uang yang beroperasi disesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Produk dalam Bank Syariah, misalnya: giro, tabungan, deposito, inkaso, transfer, Lc, surat berharga, safe deposit box, pembiayaan proyek, pembiayaan modal kerja, sewa, dsb. Perbedaan Bank Syariah dan bank konvensional 1. Dari segi falsafah, bank syariah tidak berdasarkan bunga, spekulasi, dan gharar (ketidakjelasan). Sementara, bank konvensional berdasarkan bunga. 2. Dari segi operasional, dana masyarakat dalam bank syariah berupa titipan dan investasi yang baru akan mendapatkan hasil jika diusahakan terlebih dahulu. Sementara, pada bank konvensional dana masyarakat berupa simpanan yang harus dibayar bunganya pada saat jatuh tempo. Selain penyaluran bank syariak pada usaha yang halal dan menguntungkan. Sementara, penyaluran pada bank konvensional tidak mempertimbangkan unsur kehalalan. 3. Dari segi organisasi bank syariah memilih dewan pembina syariah. Sementara dalam bank konvensional, tidak. Perbedaan bunga (dalam bank konvensional) dan bagi hasil (dalam bank syariah): 1. Penentuan bunga ditetapkan pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung. Sementara, besarnya rasio bagi hasil ditentukan pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi. 2. Besarnya prosentase berdasarkan jumlah uang/modal yang dipinjamkan. Sementara, rasio bagi hasil berdasarkan jumlah keuntungan yang diperoleh. 3. Pembayaran bunga tetap seperti dijanjikan tidak peduli apakah proyek yang dijalankan nasabah untung atau rugi. Sementara, dalam bagi hasil untung dan rugi ditanggung bersama. 4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat meskipun jumlah keuntungan berlipat/keadaan ekonomi sedang boming. Sementara jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan. 5. Eksistensi bunga diragukan atau bahkan dikecam oleh umat Islam. Sementara, tidak ada yang meragukan bagi hasil. Demikian. Wallahu a’lam bi al-shawab. Wassalamu ‘alaikum wr.wb.
http://awaludinz.blogspot.com/2006/10/riba.html
Thursday, October 19, 2006 Riba
Istri saya, paling anti dengan yang namanya bekerja di bank. Ketika saya berandai-andai, bagaimana nanti kalau suamimu ternyata bekerja di sana suatu hari? Dia lalu mengatakan bahwa dia tidak akan mendoakan saya untuk lolos tes masuknya. Intinya, istri saya tidak ridhodengan berbagai alasan yang cukup rasional. Yusuf Qardhawi, dalam salah satu fatwanya di media.isnet.org, menjelaskan bahwa bunga bank adalah haram. Kenapa? Karena bunga tersebut adalah riba. Apa itu riba? Riba adalah semua tambahan yang disyaratkan atas pokok harta. Artinya, apa yang diambil seseorang tanpa melalui usaha perdagangan dan tanpa berpayah-payah sebagai tambahan atas pokok hartanya, itu adalah termasuk riba. Saya recommend tulisan ini untuk bacaan lebih lanjut tentang bunga bank ini. Silakan diakses di http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/BungaBank.html. Harta dari riba ini, menurut Qardhawi, tidak ada manfaatnya untuk dizakati, karena zakat itu tidak dapat mensucikannya. Yang dapat mensucikan harta ialah mengeluarkan sebagian darinya untuk zakat. So, bila sudah jelas haram, lalu apa yang harus dilakukan dengan harta riba tadi? Qardhawi menyarankan, ketimbang itu ngendon di bank tersebut dan menjadi milik bank sehingga dapat memperkuat posisi bank dalam bermuamalat secara riba, lebih baik semuanya (riba) di sedekahkan ke kaum fakir dan miskin. Kemudian saya juga ingin mengutip sebuah hadist, masih terkait dengan riba (diambil dari http://www.alsofwah.or.id): Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam"Allah melaknat orang yang memakan (pemakai) riba, orang yang memberi riba, dua orang saksi dan pencatat (dalam transaksi riba), mereka sama saja". (HR. Muslim dan Ahmad) Voila. Bunga bank itu tentu saja diberikan oleh bank, sehingga bolehlah kita berikan label: pemberi riba. Siapa pencatat transaksi riba? Ya pegawainya dong. Dan sesuai dengan hadist shohih tersebut, mereka berada dalam laknat Allah. Sehingga dengan demikian, bilamanakah hukum bekerja di bank? Dalam fatwa alsofwah.or.id tentang hal ini, bekerja di bank ribawi adalah tidak boleh hukumnya sebab bekerja di dalamnya masuk dalam kategori bertolong-menolong di dalam dosa dan melakukan pelanggaran. Allah sudah berfirman: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolongmenolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Sesungguhnya Allah amat pedih siksaan-Nya”. (Al-Ma'idah:2). Ok. Lanjut ke bagian terakhir, adalah ancaman Allah dan Rasul-Nya tentang aktivitas ribawi ini. Dari Quran sendiri, coba cek di Al Baqarah ayat 276 dan 279. Untuk kali ini, saya tertarik untuk mencuplik 2 hadist Nabi: Dosa riba memiliki 72 pintu, dan yang paling ringan adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (Shahih, Silsilah Shahihah no.1871) "Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari hasil riba dan dia paham bahwa itu adalah hasil riba maka lebih besar dosanya daripada berzina 36 kali". (HR. Ahmad, dengan sanad yang shahih)
Terus terang, saya mendapati hadist ini tidak lebih dari 3 atau 4 minggu yang lalu. Maklum lah, islam abangan. Tapi saya gak bisa membayangkan, ust. Yusuf Mansyur saja bilang bahwa tidak akan barokah hidup kita kalau kita melakukan zina dan tidak bertobat kepada Allah. Lha apalagi riba ini. Semoga kita dijauhkan. Semoga kita dijauhkan. Semoga kita dijauhkan. Wassalam.
http://awaludinz.blogspot.com/2006/10/riba-lanjut.html Riba (Lanjut) Masih melanjutkan pembicaraan tentang riba: Bilamana ada sebuah pertanyaan "Tetapi bank juga mengolah uang para nasabah, maka mengapa saya tidak boleh mengambil keuntungannya?" Benar bahwa bank memperdagangkan/menginvestasikan uang tersebut (ketokan driji nek ora), tetapi apakah sang nasabah ikut melakukan aktivitas dagang tersebut? Sudah tentu tidak. Apabila nasabah bersekutu atau berkongsi dengan pihak bank sejak semula, maka akadnya adalah akad berkongsi, dan sebagai konsekuensinya nasabah akan ikut menanggung apabila bank mengalami kerugian. Seorang teman yang lagi 'promosi' tentang sebuah bank syariah, ketika saya tanya hal tersebut, dia menjawab "oo.. InsyaAllah tidak akan rugi kok mas. Tetep dapet bagi hasil." Hmm.. Tapi kenyataannya, pada saat bank mengalami kerugian atau bangkrut, maka kita, para nasabah, menuntut dan meminta uang kita untuk kembali, dan bank pun tidak mengingkarinya. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa LPS menjamin uang para nasabah yang tersimpan di bank. Sehingga apapun force maejure yang terjadi pada bank, uang nasabah tetap akan kembali.
Ini yang lalu membuat saya berpikir, gak ada bedanya antara bank konvensional dengan kebanyakan bank syariah. Syariah saya kira hanya label saja untuk meng attract penduduk muslim negeri ini yang notabene menjadi mayoritas. Tentang bagi hasil? Ah, itu hanya beda penyebutan saja. Firman Allah dalam Al Quran: "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (Al Baqarah 278-279) Berdasar ayat di atas, saya menyarankan diri saya sendiri dan rekan-rekan yang ‘terpaksa’ harus memakai rekening di bank-bank ribawi, ambillah pokok hartanya saja, dan tinggalkan kelebihannya yang sudah jelas riba itu. Lebih baik lagi adalah, berikan semua kelebihan itu kepada kaum fakir dan miskin.
Di tulisan berikutnya, saya akan informasikan tentang jenis riba dan praktiknya yang sudah marak di masa ini. Wassalam.
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/11357 Konsultasi : Muamalat Dasar Perhitungan Cicilan Pinjaman Murobahah Pertanyaan: Assalamu'alaikum Wr. Wb. Pak Ustadz, saya ingin menanyakan apakah dasar perhitungan pinjaman Murobahah dari bank2 syariah. Karena saya pernah menanyakannya dan dijawab dasar mereka adalah margin yang besarnya antara 18-20%. Lalu apakah bedanya hal ini dengan bunga bank konvensional? Terlebih lagi dari simulasi cicilan yang saya peroleh ternyata besarnya cicilan dari bank syariah jauh lebih besar dari bank konvensional yang tentunya hal ini sangat memberatkan. Terimakasih atas bantuannya. Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Tri Wijayanto Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,
Margin yang besarnya 18-20 % itu menjadi halal bila dihitung dari besarnya keuntungan yang akan diperoleh. Bukan dari nilai uang yang dipinjamkan oleh pihak bank. Bila pihak bank menetapkan margin 18-20 % dari uang yang dipinjamkannya kepada peminjam, maka itu adalah akad ribawi. Dan tentunya haram dilakukan meski yang melakukannya adalah sebuah bank yang menyandang predikat bank syariah. Sebab transaksi itu adalah transaksi ribawi yang paling asli sejak masa nabi. Dan transaksi itulah yang telah diharamkan secara total dalam Al-Quran. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman.(QS. Al-Baqarah : 278) Pastikan bahwa nilai margin yang ditetapkan oleh bank itu bukan dari besarnya uang yang dipinjamkan, tetapi dari keuntungan yang akan didapat. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
http://media.isnet.org/islam/Quraish/Membumi/Riba.html
Riba Menurut Al-Quran Tulisan berikut tidak akan membahas kehalalan atau keharaman riba, karena keharamannya telah disepakati oleh setiap Muslim berdasarkan ayat-ayat Al-Quran serta ijma' seluruh ulama Islam, apa pun mazhab atau alirannya. Yang dibahas adalah apa yang di maksud sesungguhnya oleh Al-Quran dengan riba yang diharamkannya itu? Para ulama sejak dahulu hingga kini, ketika membahas masalah ini, tidak melihat esensi riba guna sekadar mengetahuinya, tetapi mereka melihat dan membahasnya sambil meletakkan di pelupuk mata hati mereka beberapa praktek transaksi ekonomi guna mengetahui dan menetapkan apakah praktek-praktek tersebut sama dengan riba yang diharamkan itu sehingga ia pun menjadi haram, ataukah tidak sama. Perbedaan pendapat dalam penerapan pengertian pada praktek-praktek transaksi ekonomi telah berlangsung sejak masa sahabat dan diduga akan terus berlangsung selama masih terus muncul bentuk-bentuk baru transaksi ekonomi. Perbedaan-perbedaan ini antara lain disebabkan oleh wahyu mengenai riba yang terakhir turun kepada Rasul saw. beberapa waktu sebelum beliau wafat, sampai-sampai 'Umar bin Khaththab r.a. sangat mendambakan kejelasan masalah riba ini.164 Beliau berkata: "Sesungguhnya termasuk dalam bagian akhir Al-Quran yang turun, adalah ayat-ayat riba. Rasulullah wafat sebelum beliau menjelaskannya. Maka tinggalkanlah apa yang meragukan kamu kepada apa yang tidak meragukan kamu."165 Keragu-raguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan itu menjadikan para sahabat, sebagaimana dikatakan 'Umar r.a., "meninggalkan sembilan per sepuluh yang halal".166 Sebelum membuka lembaran-lembaran Al-Quran yang ayat-ayatnya berbicara tentang riba, terlebih dahulu akan dikemukakan selayang pandang tentang kehidupan ekonomi masyarakat Arab semasa turunnya Al-Quran. Sejarah menjelaskan bahwa Tha'if, tempat pemukiman suku Tsaqif yang terletak sekitar 75 mil sebelah tenggara Makkah, merupakan daerah subur dan menjadi salah satu pusat perdagangan antar suku, terutama suku Quraisy yang bermukim di Makkah. Di Tha'if bermukim orang-orang Yahudi yang telah mengenal praktek-praktek riba, sehingga keberadaan mereka di sana menumbuhsuburkan praktek tersebut. Suku Quraisy yang ada di Makkah juga terkenal dengan aktivitas perdagangan, bahkan Al-Quran mengabarkan tentang hal tersebut dalam QS 106. Di sana pun mereka telah mengenal prktekpraktek riba. Terbukti bahwa sebagian dari tokoh-tokoh sahabat Nabi, seperti 'Abbas bin 'Abdul Muththalib (paman Nabi saw.), Khalid bin Walid, dan lain-lain, mempraktekkannya sampai dengan turunnya larangan tersebut. Dan terbukti pula dengan keheranan kaum musyrik terhadap larangan praktek riba yang mereka anggap sama dengan jual beli (QS 2:275). Dalam arti mereka beranggapan bahwa kelebihan yang diperoleh dari modal yang dipinjamkan tidak lain kecuali sama dengan keuntungan (kelebihan yang diperoleh dari) hasil perdagangan. Riba yang Dimaksud Al-Quran Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Sehingga bila kita hanya berhenti kepada arti "kelebihan" tersebut, logika yang dikemukakan kaum musyrik di atas cukup beralasan. Walaupun Al-Quran hanya menjawab pertanyaan mereka dengan menyatakan "Tuhan menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS 2:275), pengharaman dan penghalalan
tersebut tentunya tidak dilakukan tanpa adanya "sesuatu" yang membedakannya, dan "sesuatu" itulah yang menjadi penyebab keharamannya. Dalam Al-Quran ditemukan kata riba terulang sebanyak delapan kali, terdapat dalam empat surat, yaitu Al-Baqarah, Ali 'Imran, Al-Nisa', dan Al-Rum. Tiga surat pertama adalah "Madaniyyah" (turun setelah Nabi hijrah ke Madinah), sedang surat Al-Rum adalah "Makiyyah" (turun sebelum beliau hijrah). Ini berarti ayat pertama yang berbicara tentang riba adalah AlRum ayat 39: Dan sesuatu riba (kelebihan) yang kamu berikan agar ia menambah kelebihan pads harts manusia, maka riba itu tidak menambah pads sisi Allah ... Selanjutnya Al-Sayuthi, mengutip riwayat-riwayat Bukhari, Ahmad, Ibn Majah, Ibn Mardawaih, dan Al-Baihaqi, berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun kepada Rasulullah saw. adalah ayat-ayat yang dalam rangkaiannya terdapat penjelasan terakhir tentang riba,167 yaitu ayat 278-281 surat Al-Baqarah: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba, jika kamu orang-orang yang beriman. Selanjutnya Al-Zanjani,168 berdasarkan beberapa riwayat antara lain dari Ibn Al-Nadim dan kesimpulan yang dikemukakan oleh Al-Biqa'i serta orientalis Noldeke, mengemukakan bahwa surat Ali 'Imran lebih dahulu turun dari surat Al-Nisa'. Kalau kesimpulan mereka diterima, maka berarti ayat 130 surat Ali 'Imran yang secara tegas melarang memakan riba secara berlipat ganda, merupakan ayat kedua yang diterima Nabi, sedangkan ayat 161 Al-Nisa' yang mengandung kecaman atas orang-orang Yahudi yang memakan riba merupakan wahyu tahap ketiga dalam rangkaian pembicaraan Al-Quran tentang riba. Menurut Al-Maraghi169 dan Al-Shabuni,170 tahap-tahap pembicaraan Al-Quran tentang riba sama dengan tahapan pembicaraan tentang khamr (minuman keras), yang pada tahap pertama sekadar menggambarkan adanya unsur negatif di dalamnya (Al-Rum: 39), kemudian disusul dengan isyarat tentang keharamannya (Al-Nisa': 161). Selanjutnya pada tahap ketiga, secara eksplisit, dinyatakan keharaman salah satu bentuknya (Ali 'Imran: 130), dan pada tahap terakhir, diharamkan secara total dalam berbagai bentuknya (Al-Baqarah: 278). Dalam menetapkan tuntutan pada tahapan tersebut di atas, kedua mufassir tersebut tidak mengemukakan suatu riwayat yang mendukungnya, sementara para ulama sepakat bahwa mustahil mengetahui urutan turunnya ayat tanpa berdasarkan suatu riwayat yang shahih, dan bahwa turunnya satu surat mendahului surat yang lain tidak secara otomatis menjadikan seluruh ayat pada surat yang dinyatakan terlebih dahulu turun itu mendahului seluruh ayat dalam surat yang dinyatakan turun kemudian. Atas dasar pertimbangan tersebut, kita cenderung untuk hanya menetapkan dan membahas ayat pertama dan terakhir menyangkut riba, kemudian menjadikan kedua ayat yang tidak jelas kedudukan tahapan turunnya sebagai tahapan pertengahan. Hal ini tidak akan banyak pengaruhnya dalam memahami pengertian atau esensi riba yang diharamkan Al-Quran, karena sebagaimana dikemukakan di atas, ayat Al-Nisa' 161 merupakan kecaman kepada orang-orang Yahudi yang melakukan praktek-praktek riba. Berbeda halnya dengan ayat 130 surat Ali 'Imran yang menggunakan redaksi larangan secara tegas terhadap orang-orang Mukmin agar tidak melakukan praktek riba secara adh'afan mudha'afah. Ayat Ali 'Imran ini, baik dijadikan ayat tahapan kedua maupun tahapan ketiga, jelas sekali mendahului turunnya ayat Al-Baqarah ayat 278, serta dalam saat yang sama turun setelah turunnya ayat AlRum 39. Di sisi lain, ayat Al-Rum 39 yang merupakan ayat pertama yang berbicara tentang riba, dinilai oleh para ulama Tafsir tidak berbicara tentang riba yang diharamkan. Al-Qurthubi171 dan Ibn Al-'Arabi172 menamakan riba yang dibicarakan ayat tersebut sebagai riba halal. Sedang Ibn Katsir menamainya riba mubah.173 Mereka semua merujuk kepada sahabat Nabi, terutama Ibnu 'Abbas
dan beberapa tabiin yang menafsirkan riba dalam ayat tersebut sebagai "hadiah" yang dilakukan oleh orang-orang yang mengharapkan imbalan berlebih. Atas dasar perbedaan arti kata riba dalam ayat Al-Rum di atas dengan kata riba pada ayat-ayat lain, Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan174 menafsirkan sebab perbedaan penulisannya dalam mushhaf, yakni kata riba pada surat Al-Rum ditulis tanpa menggunakan huruf waw [huruf Arab], dan dalam surat-surat lainnya menggunakannya [huruf Arab]. Dari sini, Rasyid Ridha menjadikan titik tolak uraiannya tentang riba yang diharamkan dalam Al-Quran bermula dari ayat Ali' Imran 131.175 Kalau demikian, pembahasan secara singkat tentang riba yang diharamkan Al-Quran dapat dikemukakan dengan menganalisis kandungan ayat-ayat Ali 'Imran 130 dan Al-Baqarah 278, atau lebih khusus lagi dengan memahami kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut, yaitu (a) adh'afan mudha'afah; (b) ma baqiya mi al-riba; dan (c) fa lakum ru'usu amwalikum, la tazhlimuna wa la tuzhlamun. Dengan memahami kata-kata kunci tersebut, diharapkan dapat ditemukan jawaban tentang riba yang diharamkan Al-Quran. Dengan kata lain, "apakah sesuatu yang menjadikan kelebihan tersebut haram". Pelbagai Pandangan di Seputar Arti Adh'afan Mudha'afah Dari segi bahasa, kata adh'af adalah bentuk jamak (plural) dari kata dha'if yang diartikan sebagai "sesuatu bersama dengan sesuatu yang lain yang sama dengannya (ganda)". Sehingga adh'afan mudha'afah adalah pelipatgandaan yang berkali-kali. Al-Thabraniy dalam Tafsirnya mengemukakan sekitar riwayat yang dapat mengantar kita kepada pengertian adh'afan mudha'afah atau riba yang berlaku pada masa turunnya Al-Quran. Riwayat-riwayat tersebut antara lain: Dari Ibn Zaid bahwa ayahnya mengutarakan bahwa "riba pada masa jahiliyah adalah dalam pelipatgandaan dan umur (hewan). Seseorang yang berutang, bila tiba masa pembayarannya, ditemui oleh debitor dan berkata kepadanya, "Bayarlah atau kamu tambah untukku." Maka apabila kreditor memiliki sesuatu (untuk pembayarannya), ia melunasi utangnya, dan bila tidak ia menjadikan utangnya (bila seekor hewan) seekor hewan yang lebih tua usianya (dari yang pernah dipinjamnya). Apabila yang dipinjamnya berumur setahun dan telah memasuki tahun kedua (binti makhadh), dijadikannya pembayarannya kemudian binti labun yang berumur dua tahun dan telah memasuki tahun ketiga. Kemudian menjadi hiqqah (yang memasuki tahun keempat), dan seterusnya menjadi jaz'ah (yang memasuki tahun kelima), demikian berlanjut. Sedangkan jika yang dipinjamnya materi (uang), debitor mendatanginya untuk menagih, bila ia tidak mampu, ia bersedia melipatgandakannya sehingga menjadi 100, di tahun berikutnya menjadi 200 dan bila belum lagi terbayar dijadikannya 400. Demikian setiap tahun sampai ia mampu membayar.176 Mujahid meriwayatkan bahwa riba yang dilarang oleh Allah SWT adalah yang dipraktekkan pada masa jahiliyah, yaitu bahwa seseorang mempunyai piutang kepada orang lain, kemudian peminjam berkata kepadanya "untukmu (tambahan) sekian sebagai imbalan penundaan pembayaran", maka ditundalah pembayaran tersebut untuknya.177 Sementara itu, Qatadah menyatakan bahwa riba pada masa jahiliyah adalah penjualan seseorang kepada orang lain (dengan pembayaran) sampai pada masa tertentu. Bila telah tiba masa tersebut, sedang yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk membayar, ditambahlah (jumlah utangnya) dan ditangguhkan masa pembayarannya.178
Riwayat-riwayat di atas dan yang senada dengannya dikemukakan oleh para ulama Tafsir ketika membahas ayat 130 surat Ali 'Imran. Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut riwayat-riwayat yang dikemukakan tersebut. Pertama, penambahan dari jumlah piutang yang digambarkan oleh ketiga riwayat tidak dilakukan pada saat transaksi, tetapi dikemukakan oleh kreditor (riwayat ke-2) atau debitor (riwayat ke-3) pada saat jatuhnya masa pembayaran. Dalam hal ini, Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1883-1951) berkomentar dalam Tafsirnya: "Riba pada masa jahiliyah adalah riba yang dinamai pada masa kita sekarang dengan riba fahisy (riba yang keji atau berlebih-lebihan), yakni keuntungan berganda. Tambahan yang fahisy (berlebih-lebihan) ini terjadi setelah tiba masa pelunasan, dan tidak ada dari penambahan itu (yang bersifat keji atau berlebihan itu) dalam transaksi pertama, seperti memberikan kepadanya 100 dengan (mengembalikan) 110 ataukah lebih atau kurang (dari jumlah tersebut). Rupanya mereka itu merasa berkecukupan dengan keuntungan yang sedikit (sedikit penambahan pada transaksi pertama). Tetapi, apabila telah tiba masa pelunasan dan belum lagi dilunasi, sedangkan peminjam ketika itu telah berada dalam genggaman mereka, maka mereka memaksa untuk mengadakan pelipatgandaan sebagai imbalan penundaan. Dan inilah yang dinamai riba al-nasi'ah (riba akibat penundaan). Ibn 'Abbas berpendapat bahwa nash AlQuran menunjuk kepada riba al-nasi'ah yang dikenal (ketika itu).179 Kedua, pelipatgandaan yang disebutkan pada riwayat pertama adalah perkalian dua kali, sedangkan pada riwayat kedua dan ketiga pelipatgandaan tersebut tidak disebutkan, tetapi sekadar penambahan dari jumlah kredit. Hal ini mengantar kepada satu dari dua kemungkinan: (1) memahami masing-masing riwayat secara berdiri sendiri, sehingga memahami bahwa "riba yang terlarang adalah penambahan dari jumlah utang dalam kondisi tertentu, baik penambahan tersebut berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda; (2) memadukan riwayat-riwayat tersebut, sehingga memahami bahwa penambahan yang dimaksud oleh riwayat-riwayat yang tidak menyebutkan pelipatgandaan adalah penambahan berlipat ganda. Pendapat kedua ini secara lahir didukung oleh redaksi syah. Dalam menguraikan riwayat-riwayat yang dikemukakan di atas, dan riwayat-riwayat lainnya, AlThabari menyimpulkan bahwa riba adh'afan mudha'afah adalah penambahan dari jumlah kredit akibat penundaan pembayaran atau apa yang dinamai dengan riba al-nasi'ah. Menurut AlThabari, seseorang yang mempraktekkan riba dinamai murbin karena ia melipatgandakan harta yang dimilikinya atas beban pengorbanan debitor baik secara langsung atau penambahan akibat penangguhan waktu pembayaran.180 Kesimpulan Al-Thabari di atas didukung oleh Muhammad Rasyid Ridha yang menurutnya juga merupakan kesimpulan Ibn Qayyim.181 'Abdul Mun'in Al-Namir, salah seorang anggota Dewan Ulama-ulama terkemuka Al-Azhar dan wakil Syaikh Al-Azhar, menyimpulkan bahwa: "Riba yang diharamkan tergambar pada seorang debitor yang memiliki harta kekayaan yang didatangi oleh seorang yang butuh, kemudian ia menawarkan kepadanya tambahan pada jumlah kewajiban membayar utangnya sebagai imbalan penundaan pembayaran setahun atau sebulan, dan pada akhirnya yang bersangkutan (peminjam) terpaksa tunduk dan menerima tawaran tersebut secara tidak rela."182 Di atas telah dikemukakan bahwa kata adh'afan mudha'afah berarti berlipat ganda. Sedangkan riwayat-riwayat yang dikemukakan ada yang menjelaskan pelipatgandaan dan ada pula yang sekadar penambahan. Kini kita kembali bertanya: Apakah yang diharamkan itu hanya yang penambahan yang berlipat ganda ataukah segala bentuk penambahan dalam kondisi tertentu? Yang pasti adalah bahwa teks ayat berarti "berlipat ganda". Mereka yang berpegang pada teks tersebut menyatakan bahwa ini merupakan syarat keharaman. Artinya bila tidak berlipat ganda, maka ia tidak haram. Sedangkan pihak lain menyatakan bahwa teks tersebut bukan
merupakan syarat tetapi penjelasan tentang bentuk riba yang sering dipraktekkan pada masa turunnya ayat-ayat Al-Quran. Sehingga, kata mereka lebih lanjut, penambahan walaupun tanpa pelipatgandaan adalah haram. Hemat kami, untuk menyelesaikan hal ini perlu diperhatikan ayat terakhir yang turun menyangkut riba, khususnya kata-kata kunci yang terdapat di sana. Karena, sekalipun teks adh'afan mudha'afah merupakan syarat, namun pada akhirnya yang menentukan esensi riba yang diharamkan adalah ayat-ayat pada tahapan ketiga. Di sini yang pertama dijadikan kunci adalah firman Allah wa dzaru ma bagiya min al-riba. Pertanyaan yang timbul adalah: Apakah kata al-riba yang berbentuk ma'rifah (definite) ini merujuk kepada riba adh'afan mudha'afah ataukah tidak? Rasyid Ridha dalam hal ini mengemukakan tiga alasan untuk membuktikan bahwa kata al-riba pada ayat Al-Baqarah ini merujuk kepada kata al-riba yang berbentuk adh'afan mudha'afah itu.183 Pertama, kaidah kebahasaan, yaitu kaidah pengulangan kosakata yang berbentuk ma'rifah. Yang dimaksud oleh Rasyid Ridha adalah kaidah yang menyatakan apabila ada suatu kosakata berbentuk ma'rifah berulang, maka pengertian kosakata kedua (yang diulang) sama dengan kosakata pertama. Kata al-riba pada Ali 'Imran 130 dalam bentuk ma'rifah, demikian pula halnya pada Al-Baqarah 278. Sehingga hal ini berarti bahwa riba yang dimaksud pada ayat tahapan terakhir sama dengan riba yang dimaksud pada tahapan kedua yaitu yang berbentuk adh'afan mudha'afah. Kedua, kaidah memahami ayat yang tidak bersyarat berdasarkan ayat yang sama tetapi bersyarat. Penerapan kaidah ini pada ayat-ayat riba adalah memahami arti al-riba pada ayat AlBaqarah yang tidak bersyarat itu berdasarkan kata al-riba yang bersyarat adh'afan mudha'afah pada Ali 'Imran. Sehingga, yang dimaksud dengan al-riba pada ayat tahapan terakhir adalah riba yang berlipat ganda itu. Ketiga, diamati oleh Rasyid Ridha bahwa pembicaraan Al-Quran tentang riba selalu digandengkan atau dihadapkan dengan pembicaraan tentang sedekah, dan riba dinamainya sebagai zhulm (penganiayaan atau penindasan). Apa yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha di atas tentang arti riba yang dimaksud oleh Al-Quran pada ayat tahapan terakhir dalam Al-Baqarah tersebut, masih dapat ditolak oleh sementara ulama --antara lain dengan menyatakan bahwa kaidah kebahasaan yang diungkapkannya itu tidak dapat diterapkan kecuali pada rangkaian satu susunan redaksi, bukan dalam redaksi yang berjauhan sejauh Al-Baqarah dengan Ali 'Imran, serta dengan menyatakan bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang keadaan yang lumrah ketika itu, sehingga dengan demikian kaidah kedua pun tidak dapat diterapkan. Walaupun demikian, menurut hemat penulis, kesimpulan Rasyid Ridha tersebut dapat dibenarkan. Pembenaran ini berdasarkan riwayat-riwayat yang jelas dan banyak tentang sebab nuzul ayat Al-Baqarah tersebut. Kesimpulan riwayat-riwayat tersebut antara lain: (a) Al-'Abbas (paman Nabi) dan seorang dari keluarga Bani Al-Mughirah bekerja sama memberikan utang secara riba kepada orang-orang dari kabilah Tsaqif. Kemudian dengan datangnya Islam (dan diharamkannya riba) mereka masih memiliki (pada para debitor) sisa harta benda yang banyak, maka diturunkan ayat ini (Al-Baqarah 278 untuk melarang mereka memungut sisa harta mereka yang berupa riba yang mereka praktekkan ala jahiliyah itu.184 (b) Ayat tersebut turun menyangkut kabilah Tsaqif yang melakukan praktek riba, kemudian (mereka masuk Islam) dan bersepakat dengan Nabi untuk tidak melakukan riba lagi. Tetapi
pada waktu pembukaan kota Makkah, mereka masih ingin memungut sisa uang hasil riba yang belum sempat mereka pungut yang mereka lakukan sebelum turunnya larangan riba, seakan mereka beranggapan bahwa larangan tersebut tidak berlaku surut. Maka turunlah ayat tersebut untuk menegaskan larangan memungut sisa riba tersebut.185 Atas dasar riwayat-riwayat tersebut dan riwayat-riwayat lainnya, Ibn jarir menyatakan bahwa ayat-ayat tersebut berarti: "Tinggalkanlah tuntutan apa yang tersisa dari riba, yakni yang berlebih dari modal kamu..."186 Karena itu, sungguh tepat terjemahan yang ditemukan dalam Al-Qur'an dan Terjemahnya, terbitan Departemen Agama, yakni "Tinggalkanlah sisa riba yang belum dipungut." Atas dasar ini, tidak tepat untuk menjadikan pengertian riba pada ayat terakhir yang turun itu melebihi pengertian riba dalam ayat Ali 'Imran yang lalu (adh'afan mudha'afah). Karena riba yang dimaksud adalah riba yang mereka lakukan pada masa yang lalu (jahiliyah). Sehingga pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa riba yang diharamkan Al-Quran adalah yang disebutkannya sebagai adh'afan mudha'afah atau yang diistilahkan dengan riba al-nasiah. Kembali kepada masalah awal. Apakah hal ini berarti bahwa bila penambahan atau kelebihan tidak bersifat "berlipatganda" menjadi tidak diharamkan Al-Quran? Jawabannya,menurut hemat kami, terdapat pada kata kunci berikutnya, yaitu fa lakum ru'usu amwalikum (bagimu modal-modal kamu) (QS 2:279). Dalam arti bahwa yang berhak mereka peroleh kembali hanyalah modal-modal mereka. jika demikian, setiap penambahan atau kelebihan dari modal tersebut yang dipungut dalam kondisi yang sama dengan apa yang terjadi pada masa turunnya ayat-ayat riba ini tidak dapat dibenarkan. Dan dengan demikian kata kunci ini menetapkan bahwa segala bentuk penambahan atau kelebihan baik berlipat ganda atau tidak, telah diharamkan Al-Quran dengan turunnya ayat tersebut. Dan ini berarti bahwa kata adh'afan mudha'afah bukan syarat tetapi sekadar penjelasan tentang riba yang sudah lumrah mereka praktekkan. Kesimpulan yang diperoleh ini menjadikan persoalan kata adh'afan mudha'afah tidak penting lagi, karena apakah ia syarat atau bukan, apakah yang dimaksud dengannya pelipatgandaan atau bukan, pada akhirnya yang diharamkan adalah segala bentuk kelebihan. Namun perlu digarisbawahi bahwa kelebihan yang dimaksud adalah dalam kondisi yang sama seperti yang terjadi pada masa turunnya Al-Quran dan yang diisyaratkan oleh penutup ayat Al-Baqarah 279 tersebut, yaitu la tazhlimun wa la tuzhlamun (kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya). Kesimpulan yang diperoleh dari riwayat-riwayat tentang praktek riba pada masa turunnya AlQuran, sebagaimana telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa praktek tersebut mengandung penganiayaan dan penindasan terhadap orang-orang yang membutuhkan dan yang seharusnya mendapat uluran tangan. Kesimpulan tersebut dikonfirmasikan oleh penutup ayat Al-Baqarah 279 di atas, sebagaimana sebelumnya ia diperkuat dengan diperhadapkannya uraian tentang riba dengan sedekah, seperti dikemukakan Rasyid Ridha, yang menunjukkan bahwa kebutuhan si peminjam sedemikian mendesaknya dan keadaannya sedemikian parah, sehingga sewajarnya ia diberi bantuan sedekah, bukan pinjaman, atau paling tidak diberi pinjaman tanpa menguburkan sedekah. Kemudian pada ayat 280 ditegaskan bahwa, Dan jika orang yang berutang itu dalam kesulitan (sehingga tidak mampu membayar pada waktu yang ditetapkan) maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan, dan kamu menyedekahkan (sebagian atau semua utang itu) lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. Ayat-ayat di atas lebih memperkuat kesimpulan bahwa kelebihan yang dipungut, apalagi bila berbentuk pelipatgandaan, merupakan penganiayaan bagi si peminjam.
Kesimpulan Kesimpulan terakhir yang dapat kita garisbawahi adalah bahwa riba pada masa turunnya AlQuran adalah kelebihan yang dipungut bersama jumlah utang yang mengandung unsur penganiayaan dan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan jumlah utang. Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan paktek Nabi saw. yang membayar utangnya dengan penambahan atau nilai lebih. Sahabat Nabi, Abu Hurairah, memberitahukan bahwa Nabi saw. pernah meminjam seekor unta dengan usia tertentu kepada seseorang, kemudian orang tersebut datang kepada Nabi untuk menagihnya. Dan ketika itu dicarikan unta yang sesuai umurnya dengan unta yang dipinjamnya itu tetapi Nabi tidak mendapatkan kecuali yang lebih tua. Maka beliau memerintahkan untuk memberikan unta tersebut kepada orang yang meminjamkannya kepadanya, sambil bersabda, "Inna khayrakum ahsanukum qadha'an" (Sebaikbaik kamu adalah yang sebaik-baiknya membayar utang). Jabir, sahabat Nabi, memberitahukan pula bahwa ia pernah mengutangi Nabi saw. Dan ketika ia mendatangi beliau, dibayarnya utangnya dan dilebihkannya. Hadis di atas kemudian diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.187 Benar bahwa ada pula riwayat yang menyatakan bahwa kullu qardin jarra manfa'atan fahuwa haram (setiap piutang yang menarik atau menghasilkan manfaat, maka ia adalah haram). Tetapi hadis ini dinilai oleh para ulama hadis sebagai hadis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya, sehingga ia tidak dapat dijadikan dasar hukum.188 Sebagai penutup, ada baiknya dikutip apa yang telah ditulis oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar, setelah. menjelaskan arti riba yang dimaksud Al-Quran: "Tidak pula termasuk dalam pengertian riba, jika seseorang yang memberikan kepada orang lain harta (uang) untuk diinvestasikan sambil menetapkan baginya dari hasil usaha tersebut kadar tertentu. Karena transaksi ini menguntungkan bagi pengelola dan bagi pemilik harta, sedangkan riba yang diharamkan merugikan salah seorang tanpa satu dosa (sebab) kecuali keterpaksaannya, serta menguntungkan pihak lain tanpa usaha kecuali penganiayaan dan kelobaan. Dengan demikian, tidak mungkin ketetapan hukumnya menjadi sama dalam pandangan keadilan Tuhan dan tidak pula kemudian dalam pandangan seorang yang berakal atau berlaku adil."189 Catatan kaki 164 Dalam beberapa riwayat dinyatakan bahwa ayat terakhir turun sembilan hari sebelum Rasulullah saw. wafat. 165 Lihat Ibn Hazm, Al-Muhalla, Percetakan Al-Munir, Mesir, 1350 H, Jilid VH1, h. 477. 166 Ibid. 167 Lihat Jalaluddin Al-Suyuthiy, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an, Percetakan Al-Azhar, Mesir, 1318, H, Jilid I, h. 27. 168 Abdullah Al-Zanjaniy, Tarikh Al-Qur'an, Al-'Alamiy, Beirut, 1969, h. 60. 169 Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1946, jilid III, h. 59 dst. 170 Muhammad 'Ali Al-Shabuniy, Tafsir Ayat Al-Ahkam, Dar Al-Qalam, Beirut, 1971, jilid I, h. 389. 171 Muhammad bin Ahmad Al-Anshariy Al-Qurthubiy, Al-Jami' li Ahkam Al-Qur'an, Dar Al-Kitab, Kairo, 1967, jilid XIV, h. 36. 172 Abu Bakar Muhammad bin Abdillah (Ibn Al-'Arabiy), Ahkam Al-Qur'an, tahqiq Muhammad Ali Al-Bajawi, 'Isa Al-Halabiy, 1957, Jilid III, h. 1479.
173 Isma'il Ibn Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Perc. Sulaiman Mar'iy, Singapura, t.t., jilid III, h. 434. 174 Lihat Badruddin Al-Zarkasyiy, Al-Burhan 'Ulum Al-Qur'an, Tahqiq Muhammad Abu Al-Fadhil, Isa Al-Halabiy, Mesir, 1957, jilid I., h. 409. 175 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, Mesir, 1376 H., jilid III, h. 113. 176 Lihat Muhammad Ibn Jarir Al-Thabariy, Jami'Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur'an, Isa Al-Halabiy, Mesir 1954, Jilid IV, h. 90. 177 Ibid, Jilid III, h. 101. 178 Ibid. 179 Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy, op. cit., Jilid IV, h. 65. 180 Al-Thabariy, op. cit., Jilid III, h. 101. 181 Rasyid Ridha, op. cit., Jilid II, h. 113-114. 182 Abdul Mun'im Al-Nandr, Al-Ijtihad, Dar Al-Suruq, Kairo, 1986, h. 351. 183 Rasyid Ridha, loc. cit. 184 Al-Thabariy, op. cit., Jilid III, h. 106-107. 185 Ibid. 186 Ibid. 187 Muhammad bin 'Ali Al-Syawkaniy, Nayl Al-Authar, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1952, Jilid V, h. 245. 188 Muhammad bin Isma'il Al-Kahlaniy Al-Shan'aniy, Subul Alssalam, Mushthafa Al-Halabiy, Mesir, 1950, Jilid III, h. 53. 189 Rasyid Ridha, loc. cit. Bahasan Riba oleh Ulama lain Bunga Bank, Hukum Kerja di Bank oleh Yusuf Qardhawi MEMBUMIKAN AL-QURAN Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat Dr. M. Quraish Shihab Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996 Jln. Yodkali 16, Bandung 40124 Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038 mailto:
[email protected] Indeks Islam | Indeks Quraish Shihab | Indeks Artikel | Tentang Penulis
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/9924 Konsultasi : Muamalat Kartu Kredit. Pertanyaan: Ass.wr.wb. Pak Ustadz yang kami hormati. Kami mau tanya Pak Ustadz,mengenai Kartu Kredit. Pak Ustad gimana hukumnya kalo kita bikin kartu Kredit. Atas bantuan Pak Ustadz kami haturkan terima kasih. Jatsa kummullah khairon katsiroh. Wass.
Alie Ciputat. Jakarta. Alie Rakhman Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba�d.
Kartu kredit itu pada hakikatnya adalah pinjaman uang untuk belanja sesuatu yang untuk itu dikenakan kewajiban untuk mengembalikan plus bunganya. Selain itu ada iuran yang harus Anda bayarkan setia tahun di luar uang yang Anda pinjam itu. Meski terkadang bila belum jatuh tempo, belum lagi dikenakan bunga. Sehingga ada celah dimana penggunaannya memang tidak dalam praktek pembungaan uang pinjaman. Di zaman ini berbelanja dengan menggunakan kartu kredit memberikan banyak manfaat dan kelebihan, selain urusan gengsi. Pertama, masalah keamanan. Seseorang tidak perlu membaya uang tunai / cash kemana-mana. Cukup membawa sebuah kartu kredit dan biasanya kartu itu bisa diterima dimanapun di belahan dunia ini. Seseorang tidak perlu merasa khawatir untuk kecopetan, kecurian atau kehilangan uang tunainya. Bahkan bila kartu kredit ini hilang, seseorang cukup menghubungi penerbit kartu itu dan dalam hitungan detik kartu tersebut akan diblokir. Kedua, masalah kepraktisan. Membawa uang tunai apalagi dalam jumlah yang besar tentu sangat tidak praktis. Dengan kartu kredit seseorang bisa membawa uang dalam jumlah besar hanya dalam sebuah kartu. Ketiga, masalah akses. Beberapa toko dan perusahaan tertentu hanya menerima pembayaran melalui kartu kredit. Misalnya toko online di internet yang sangat mengandalkan pembayaran dengan kartu kredit. Kita tidak bisa membeli sebuah produk di amazon.com dengan mengirim wessel pos. Namun tidak berarti kartu kredit itu bisa sukses di setiap tempat. Untuk keperluan belanja kecil dan harian, penggunaan kartu kredit tidak banyak berguna. Untuk jajan bakso di ujung gang, masih sangat dibutuhkan uang tunai. Tukang bakso tidak menerima American Visa dan sejenisnya. Selain itu dengan maraknya kasus carding atau pemalsuan kartu kredit di internet terutama dari Indonesia, sampai-sampai transaksi online bila pemesannya dari Indonesia tidak akan dilayani. Pada dasarnya, prinsip kartu kredit ini memberikan uang pinjaman kepada pemegang kartu untuk berbelanja di tempat-tempat yang menerima kartu tersebut. Setiap kali seseorang berbelanja, maka pihak penerbit kartu memberi pinjaman uang untuk membayar harga belanjaan. Untuk itu seseorang akan dikenakan biaya beberapa persen dari uang yang dipinjamnya yang menjadi keuntungan pihak penerbit kartu kredit. Biasanya uang pinjaman itu bila segera dilunasi dan belum jatuh tempo tidak atau belum lagi dikenakan bunga, yaitu selama masa waktu tertentu misalnya satu bulan dari tanggal pembelian. Tapi bila telah lewat satu bulan itu dan tidak dilunasi, maka akan dikenakan bunga atas pinjaman tersebut yang besarnya bervariasi antara masing-masing perusahaan.
Jadi bila dilihat secara syariah, kartu kredit itu mengandung dua hal : Pertama, Pinjaman tanpa bunga yaitu bila dilunasi sebelum jatuh tempo. Kedua, Pinjaman dengan bunga yaitu bila dilunasi setelah jatuh tempo. Bila seseorang bisa menjamin bahwa tidak akan jatuh pada opsi kedua, maka menggunakan kartu kredit untuk berbelanja adalah halal hukumnya. Tapi bila sampai jatuh pada opsi kedua, maka menjadi haram hukumnya karena menggunakan praktek riba yang diharamkan oleh Allah SWT. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
http://irdy74.multiply.com/journal/item/132 Antara Syari'ah dan Fiqh
Jun 14, '06 5:50 PM for everyone
Oleh : Nadirsyah Hosen Di bawah ini saya tuliskan sedikit penjelasan tentang Syari'ah dan Fiqh. Seringkali kita tidak bisa membedakan keduanya, sehingga kita menjadi "alergi" dengan perbedaan pendapat. Atau, biasanya, kita "ngedumel" kepada ulama yang punya pendapat lain, seraya berkata, "kita kan umat yang satu, kenapa harus berbeda pendapat!". Dari penjelasan di bawah ini nanti akan terlihat bahwa kita bersatu pada masalah Syari'ah dan dimungkinkan untuk berbeda pendapat dalam masalah Fiqh. Syari'ah memiliki pengertian yang amat luas. Tetapi dalam konteks hukum Islam, makna Syari'ah adalah Aturan yang bersumber dari nash yang qat'i.Sedangkan Fiqh adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nash yang zanni. Penjelasan singkat ini membawa kita harus memahami apa yang disebut Qat'i dan apa pula yang disebut zanni. 1. Nash Qat'i Qat'i itu terbagi dua: dari sudut datangnya atau keberadaannya dan dari sudut lafaznya.Semua ayat al-Qur'an itu merupakan qat'i al-tsubut. Artinya, dari segi "datangnya" ayat Qur'an itu bersifat pasti dan tidak mengalami perubahan. Tetapi, tidak semua ayat Qur'an itu mengandung qat'i al-dilalah. Qat'i al-dilalah adalah ayat yang lafaznya tidak mengandung kemungkinan untuk dilakukan penafsiran lain. Jadi, pada ayat yang berdimensi qat'i al-dilalah tidaklah mungkin diberlakukan penafsiran dan ijtihad, sehingga pada titik ini tidak mungkin ada perbedaan pendapat ulama. Sebagai contoh: Kewajiban shalat tidaklah dapat disangkal lagi. Dalilnya bersifat Qat'i, yaitu "aqimush shalat" Tidak ada ijtihad dalam kasus ini sehingga semua ulama dari semua mazhab sepakat akan kewajiban shalat. Begitu pula halnya dengan hadis. Hadis mutawatir mengandung sifat qat'i al-wurud (qat'i dari segi keberadaannya). Tetapi, tidak semua hadis itu qat'i al-wurud (hanya yang mutawatir saja) dan juga tidak semua hadis mutawatir itu bersifat qat'i al-dilalah. Jadi, kalau dibuat bagan sbb:
• •
Qat'i al-tsubut atau qat'i al-wurud: semua ayat Al-Qur'an dan Hadis mutawatir Qat'i al-dilalah: tidak semua ayat al-Qur'an dan tidak semua hadis mutawatir
2. Nash Zanni Zanni juga terbagi dua: dari sudut datangnya dan dari sudut lafaznya. Ayat Qur'an mengandung sejumlah ayat yang lafaznya membuka peluang adanya beragam penafsiran. Contoh dalam soal menyentuh wanita ajnabiyah dalam keadaan wudhu', kata "aw lamastumun nisa" dalam alQur'an terbuka untuk ditafsirkan. Begitu pula lafaz "quru" (QS 2:228) terbuka untuk ditafsirkan. Ini yang dinamakan zanni al-dilalah. Selain hadis mutawatir, hadis lainnya bersifat zanni al-wurud. Ini menunjukkan boleh jadi ada satu ulama yang memandang shahih satu hadis, tetapi ulama lain tidak memandang hadis itu shahih. Ini wajar saja terjadi, karena sifatnya adalah zanni al-wurud. Hadis yang zanni al-wurud itu juga ternyata banyak yang mengandung lafaz zanni al-dilalah. Jadi, sudah terbuka diperselisihkan dari sudut keberadaannya, juga terbuka peluang untuk beragam pendapat dalam menafsirkan lafaz hadis itu. • •
zanni al-wurud : selain hadis mutawatir zanni al-dilalah : lafaz dalam hadis mutawatir dan lafaz hadis yang lain (masyhur, ahad)
Nah, Syari'ah tersusun dari nash qat'i sedangkan fiqh tersusun dari nash zanni. Contoh praktis: 1. (a) kewajiban puasa Ramadlan (nashnya qat'i dan ini syari'ah), (b) kapan mulai puasa dan kapan akhi Ramadlan itu (nashnya zanni dan ini fiqh) Catatan: hadis mengatakan harus melihat bulan, namun kata "melihat" mengandung penafsiran. 2. (a) membasuh kepala saat berwudhu itu wajib (nash qat'i dan ini Syari'ah) (b) sampai mana membasuh kepala itu? (nashnya zanni dan ini fiqh) Catatan: kata "bi" pada famsahuu biru'usikum terbuka utk ditafsirkan. 3. (a) memulai shalat harus dengan niat (nash qat'i dan ini Syari'ah) (b) apakah niat itu dilisankan (dengan ushalli) atau cukup dalam hati (ini Fiqh) Catatan: sebagian ulama memandang perlu niat itu ditegaskan dalam bentuk "ushalli" sedangkan ulama lain memandang niat dalam hati saja sudah cukup 4. (a) Judi itu dilarang (nash qat'i dan ini Syari'ah) (b) apa yang disebut judi itu? apakah lottere juga judi? (ini fiqh) Catatan: para ulama berbeda dalam mengurai unsur suatu perbuatan bisa disebut judi atau tidak. 5. (a) riba itu diharamkan (nas qat'i dan ini syari'ah) (b) apa bunga bank itu termasuk riba? (ini fiqh) Catatan: para ulama berbeda dalam memahami unsur riba dan 'illat (ratio legis) mengapa riba itu diharamkan 6. (a) menutup aurat itu wajib bagi lelaki dan perempuan (nash qat'i dan ini Syari'ah) (b) apa batasan aurat lelaki dan perempuan? (ini fiqh) Catatan: apakah jilbab itu wajib atau tidak adalah pertanyaan yang keliru. Karena yang wajib adalah menutup aurat (apakah mau ditutup dg jilbab atau dg kertas koran atau dengan kain biasa). Nah, masalahnya apakah paha lelaki itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Apakah rambut wanita itu termasuk aurat sehingga wajib ditutup? Para ulama berbeda dalam menjawabnya. 7. dan lain-lainnya
Jadi, tidak semua hal kita harus berbeda pendapat. Juga tidak semua perbedaan pendapat bisa dihilangkan. Kita tidak berbeda pendapat dalam hal Syari'ah namun boleh jadi berbeda pendapat dalam hal fiqh. (mengenai sebab-sebab ulama berbeda pendapat silahkan lihat tulisan saya "Mengapa Ulama Berbeda Pendapat") Kalau ulama berbeda dalam fiqh, nggak usah diributkan karena memang wilayah fiqh terbuka beragam penafsiran. Juga tidak perlu buru-buru mencap "ini bid'ah dan itu sesat" Apalagi sampai menuduh ulama pesanan. Perhatikan dulu apakah perbedaan itu berada pada level syari'ah atau level fiqh. Wa Allahu A'lam. Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/9920 Konsultasi : Muamalat Apa Boleh Menerima Imbalan Dari Pinjaman Pertanyaan: Pak Ustadz, Saya meminjamkan uang ke teman saya tanpa bunga, tapi teman saya itu ingin memberikan imbalan kemudian saya katakan terserah karena dia memaksa. Apakah halal bila saya menerima imbalan tersebut. Nurhasanah Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba�d.
Bila yang dipinjamkan itu bukan berupa uang melainkan benda-benda seperti kendaraan, rumah, perkakas dan lainya, maka Anda boleh menerima imbalan. Dan transaksi itu namanya adalah sewa. Sedangkan uang tidak boleh disewakan atau dipinjamkan dengan imbalan. Imbalan atas pemimjaman uang adalah riba yang diharamkan Allah SWT. Sebab praktek inilah yang dahulu dilakukan oleh arab Mekkah sebagai pelaku bisnis. Mereka seringkali meminjamkan modal kepada para pedagang yang ingin berniaga. Dengan perjanjian uang itu harus dikembalikan plus imbalannya. Sebailknya, ketika Rasulullah SAW berdagang dengan Khadijah, beliau menerapkan sistem bagi hasil, bukan imbalan atas sewa uang. Bila kondisi Anda memang tidak berniat meminjamkan uang dengan imbalan, sebaiknya Anda tolak saja pemberian imbalan itu. Agar tidak ditafsirkan sebagai imbalan atas jasa penyewaan uang. Tetapi kalau pemberian itu bisa dijamin sama sekali tidak terkait dengan uang yang pernah Anda pinjamkan, pastikan sekali lagi tidak ada keterkaitannya. Dan pemberian hadiah secara umum hukumnya halal.
Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
http://www.e-masjid.com/modules.php?name=News&file=print&sid=133
WASPADA ANCAMAN BAHAYA RIBA Tarikh: Friday, March 04 @ 23:11:08 AST Tajuk: Catatan/Artikel Menarik Definisi RIBA Perkataan riba berasal dari bahasa Arab yang membawa erti lebih atau tambahan. Ia dijelaskan dalam firman Allah, ".......disebabkan adanya satu golongan yang lebih ramai dari golongan lain......" (Surah An-Nahl ayat 92) Terdapat perbezaan pendapat ulama mengenai takrif riba dari segi istilah. Ulama mazhab Syafie mentakrifkan riba sebagai akad atas barangan tukaran atau gantian yang tertentu atau tidak diketahui persamaan timbangan syarak ketika akad, atau dua barang yang dilewatkan penyerahannya atau salah satu daripadanya. Riba menurut mazhab Hanafi ialah lebihan yang sunyi daripada pertukaran menurut ukuran syarak dengan syarat-syarat bagi salah seorang dari dua orang yang berakad dalam pertukaran. Mazhab Maliki pula menakrifkan riba sebagai lebihan pada bilangan atau timbangan yang benar atau di syaki dan melewatkannya. Manakala mazhab Hanbali pula berpendapat riba sebagai penambahan pada sesuatu yang tertentu. Imam Abu Al-'Ala al-Maududi telah merumuskan takrif riba sebagai pinjaman wang apabila dibayar kembali mempunyai dua ciri iaitu tambahan atau lebihan dari jumlah yang dipinjam dan ditetapkan terlebih dahulu kadar pertambahan itu berdasarkan kepada tempoh pinjaman. Kesimpulannya, walaupun terdapat perbezaan pendapat mengenai makna riba tetapi sebenarnya ia membawa maksud yang sama. Jenis Riba Daripada takrif riba di atas, secara umumnya riba dibahagikan kepada dua jenis iaitu :
1. Riba al-Nasiah
2.
Sebarang lebihan yang diambil kerana kelewatan menjelaskan hutang yang sudah sampai tempoh kemudian ditetapkan tempoh baru. Tidak kira sama ada hutang itu merupakan harga barang yang di jual ataupun hutang wang. Riba jual-beli (al-buyu') Riba yang terdapat dalam enam jenis iaitu emas, perak, gandum, barli, garam dan buah tamar. Ianya disebabkan jual beli yang tidak sama timbangan atau sukatan atau
masa penyerahan barang tertentu atau matawang pada ketika akad (kontrak) atau menukar barang tersebut. Dalil Pengharaman Riba
1. Larangan di dalam al-Quran Larangan yang terdapat di dalam al-Quran diturunkan bukanlah sekaligus, tetapi secara berperingkat-peringkat. Pengharaman riba di dalam al-Quran muncul dalam lapan ayat di dalam empat peringkat yang berasingan. Berikut adalah firman Allah yang mengharamkan riba yang diwahyukan mengikut susunan. Ayat pertama yang dturunkan di Mekah menekankan tentang harta yang mengandungi riba tidak akan mendapat keredhaan Allah. "Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keredhaan Allah maka (yang berbuat demikian) itulah orang yang melipatgandakan (pahalanya)" - (Surah ArRum ayat 39). Wahyu kedua yang diturnkan di zaman awal Madinah berupa kutukan keras dari Allah ke atas riba selaras dengan pengharamannya di dalam kitab-kitab terdahulu. "Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan kerana mereka memakan harta orang dengan jalan batil, kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu seksa yang pedih" (Surah An-Nisa' ayat 161) Wahyu yang ketiga dengan jelas menyeru seluruh umat Islam supaya menjauhkan diri dari riba sekiranya mereka benar-benar mengingini kebahagiaan hakiki menurut Islam. Ayat ini diturunkan di Madinah selepas peperangan Uhud. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul supaya kamu diberi rahmat" (Surah Ali Imran ayat 130-132) Wahyu yang keempat diturunkan di Thaif ketika kerasullan Nabi Muhammad s.a.w hampir sempurna. Wahyu terakhir ini memberi amaran keras kepada orang yang memakan riba dan menjelaskan perbezaan di antara perniagaan dan riba serta menyeru umat Islam meninggalkan saki baki riba. "Orang yang memakan (mengambil) riba itu dapat berdiri betul melainkan sebagaimana berdirinya orang dirasuk syaitan dengan terhuyung hayang kerana sentuhan (syaitan) itu, yang demikian ialah disebabkan mereka mengatakan, "bahawa sesungguhnya berjual beli itu sama sahaja seperti riba." Padahal Allah telah menghalalkan berjual beli dan mengharamkan riba. Oleh itu sesiapa yang telah sampai kepada peringatan (larangan) dari Tuhannya, lalu ia berhenti, maka apa yang diambilnya dahulu (sebelum pengharaman itu) adalah menjadi haknya, dan perkaranya terserahlah kepada Allah. Dan sesiapa yang mengulangi lagi maka mereka itulah ahli neraka, mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap di dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. Sesungguhnya orang-orang yang beriman mengerjakan amal salih, mendirikan solat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhuatiran terhadap mereka dan mereka tidak bersedih hati. Hai orangorang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipunggut) jika kamu orang-orang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahawa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui" (Surah Al-Baqarah ayat 275-278)
2. Larangan Di Dalam al-Hadis Di samping itu, Rasul s.a.w juga banyak bersabda dan menerangkan tentang aktiviti riba serta memberi amaran-amaran yang berupa peringatan kepada manusia yang mahu berfikir dan mengambil pengajaran. Hadis Rasullullah s.a.w berkenaan dengan riba ini meliputi penerangan ke atas riba dan juga balasan yang diterima di atas dosa riba. Antaranya ialah hadis yang dirawayatkan Imam Muslim, Abu Hurairah melaporkan bahawa Rasulullah s.a.w bersabda, "Emas mestilah di bayar dengan emas dan berat yang sama, serupa dengan serupa, dan perak mestilah dibayar dengan perak dan berat yang sama, serupa dengan serupa. Dia yang membuat tambahan atau meminta tambahan adalah berurusan dengan riba" Di riwayat oleh Ubadah Ibnu as-Samit bahawa Rasullullah s.a.w bersabda, "Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barli dengan barli, kurma dengan kurma, garam dengan garam, serupa dengan serupa, seimbang dengan seimbang, bayaran di buat dari tangan ke tangan. Sekiranya jenisnya berbeza, maka juallah sebagaimana yang kamu kehendaki sekiranya bayaran dibuat dari tangan ke tangan." (Hadis riwayat Imam Muslim) Di riwayatkan oleh Abdallah Ibnu Hanzalah bahawa Rasullullah s.a.w bersabda, "Satu dirham dari wang riba yang di makan oleh seorang, padahal ia tahu (adalah riba) lebih berat (dosanya) daripada tiga puluh enam perzinaan" (Hadis riwayat Imam Ahmad) Rasul s.a.w juga telah memberi amaran keras untuk diingati oleh umat Baginda terutamanya yang berada di akhr zaman tentang bahaya ancaman riba ketika menerangkan tentang wahyu ketiga berkenaan riba dengan sabda Baginda yang terkenal yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, "Akan sampai ketikanya untuk manusia apabila seseorang itu tidak peduli bagaimana memperolehi harta sama ada halal atau haram," (Hadis riwayat Imam Bukhari) Rujukan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Al-Quran al-Karim Muhammad Ibnu Ismail al-Bukhari (t.t), "Sahih Bukhari" Muslim Ibnu al-Hajjaj al-Qushairy (t.t)"Sahih Muslim" Ahmad Ibnu Hanbal (1992), "Musnad al-Imam Ahmad" Ibrahim al-Bajuri (t.t). "Hasyah al-Bajuri ala sharh Ibnu Qasim" Muhammad Amin Ibnu Abidin (1966), "Hasyiah Rad al-Mukhtar ala al-Dur al-Mukhtar" Ali Ibnu Ahmad as-Saidi al-Adwi al-Maliki (t.t), "Hasyiah al-Adwi Bahaisi al-Kahrsi" Abu al-'Ala al-Maududi (t.t), "Ar-Riba" Wahbah az-Zuhaili (Dr.)(1989), "Al-Fiqh al_islami wa Adillatuhu
Dan sesiapa yang melakukan kejahatan atau menganiaya dirinya sendiri (dengan melakukan maksiat), kemudian dia memohon ampun kepada Allah, nescaya dia akan mendapati Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani.(An-Nisaa' : 110)
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/9515 Konsultasi : Muamalat Bunga Bank Konvensional Untuk Mushola Pertanyaan: Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Apakah boleh bunga bank konvensional dipergunakan untuk membangun mushola? Yang saya baca di jawaban ustadz pada pertanyaan yang lain adalah bahwa bunga bank konvensional boleh digunakan untuk kepentingan umum seperti jalan, penerangan, dll. Apakah mushola termasuk kepentingan umum tsb? Terima kasih atas penjelasan dari Ustadz, jazakalloh khoiron katsiir.... Wassalamu'alaikum Wr.Wb. Ny. Alia I. Baehaqi Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba�d.
Kepentingan umum disini tentu bukan yang terkait dengan praktek beribatan ritual. Sebab meski sama-sama untuk kepentingan umum, namun nilainya tetap berbeda. Musholla atau masjid itu untuk sarana ibadah dan taqarrub kepada Allah Subhanahu Wata`ala. Tentu orang-orang yang melakukan ibadah di dalamnya harus datang dengan hati suci dan bersih. Demikian juga uang untuk membangun musholla itu harus juga yang benar-benar suci, jauh dari noda riba, hasil penipuan atau penggelapan serta hasil pencucian uang haram (money loundring). Maka amat tidak layak bila masjid atau musholla dibangun justru dengan uang haram. Sedangkan sarana jalan, saluran air atau penerangan umum tidak terkait dengan taqarrub kepada Allah Subhanahu Wata`ala. Siapa saja bisa memanfaatkannya tanpa terkecuali. Termasuk orang kafir, orang fasik, orang munafik dan juga orang atheis sekalipun boleh lalu lalang disitu dan mendapatkan manfaat dari saran umum. Bahkan penjahat, pezina dan germo sekalipun bebas mendapatkan manfaat dari sarana umum itu. Tentu kita tidak bisa menerima kalau masjid itu dimanfaatkan oleh jenis sampah masyarakat seperti ini, kecuali kalau mereka sudah tobat dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata`ala di dalam masjid / musholla. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/8337 Konsultasi : Muamalat Bunga Deposito Bank Syariah Dan Para Pengawas Syariah Pertanyaan: Assalamualaikum Wr Wb. Halalkah bunga deposito dari Bank-bank yang memakai sistem Syariah (Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri dan sejenisnya) Terima kasih. Wassalam
Teddie Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba�d.
Bank-bank syariah umumnya telah sepakat untuk menjalankan sistem yang halal dan sesuai dengan syariah Islam. Meski namanya deposito, tetapi dalam prakteknya tentu berbeda dengan deposito bank konvensional. Deposito pada bank konvensional menggunakan sistem riba yang diharamkan Allah Subhanahu Wata`ala. Sedangkan deposito pada bank syariah menggunakan sistem mudharabah atau bagi hasil. Sistem ini dibenarkan oleh syariah Islam dan termasuk transaksi yang halal. Di sisi lain, setiap bank syariah memiliki para pakar syariah yang bertindak sebagai pengawas syariah. Mereka adalah para tokokh yang tergabung di dalam Dewan Syariah Nasional, sebuah badan yang merupakan elemen dari Majelis Ulama Indonesia. Sehingga untuk masalah yang lebih mendetail tentang sejauh mana praktek syariah telah dijalankan di dalam bank-bank syariah, ada baiknya anda langsung menghubungi para pakar tersebut. Berdasarkan buku Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional 9Untuk Lembaga Keuangan Syariah) Edisi Pertama tahun 2001, mereka yang menjadi pengawas atas bank syariah adalah nama-nama berikut ini : 1. Bank Muamalat Indonesia : o KH MA Sahal Mahfudh o Prof Dr. KH Ali Yafie o Prof Dr. Ibrahim Hosen, LML o Prof Dr. Umar Shihab o Prof. Dr. H. Muwardi Chatib 2. Bank Syariah Mandiri : o Prof Dr. KH Ali Yafie o Prof Dr. H Said Agiel Munawar o Drs. Moh Hidayat MBA o HM Syafi`i Antonio, MSc 3. BNI Syariah : o KH. Makruf Amin o Drs. Hasanudin, M.Ag 4. Bank IFI Syariah : o Dr. KH. Didin Hafidudin, Msc o Prof Dr. H Said Agiel Munawar o Ikhwan Abidin, MA, MSC 5. Bank Bukopin Syariah o Dr. KH. Didin Hafidudin, Msc o PRof. KH. Ali Mustafa Ya`qub, MA o Ikhwan Abidin, MA, MSC 6. BRI Syariah o Prof. Drs. KH. Asmuni Abdurrahman o Drs. H. Karnaen Perwwataatmadja, MPA
o H. Cholid Fadhlullah, SH 7. Bank Jabar Syariah o Prof. Drs. Atjep Jazuli o Drs. KH. Abdurrahman o Drs. KH. Agus Sihabuddin, MA Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/8178 Konsultasi : Muamalat Koprasi Riba / Halal : sistem koperasi apakah mengandung unsur Riba atau tidak ? Pertanyaan: Assalamu'alaikum Wr.Wb Ustd. bagaimana dengan masalah sistem koperasi apakah mengandung unsur Riba atau tidak ? kalau ya apa dalilnya / penjelasannya. terimakasih. Wassalamualaikum Wr.Wb. M.yusuf Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba�d.
Sebenarnya apapun istilah atau nama badan usahanya, bisa saja melakukan trnasaksi yang halal dan haram sekaligus. Sebab koperasi hanyalah sebuah jenis badan usaha, bukan sebuah sistem transaksi tertentu. Maka yang harus diperhatikan justru adalah sistem transaksinya, bukan bentuk badan usahanya. Sebagai contoh perbandingan, sebuah koperasi simpan pinjam yang memberi jasa peminjaman uang kepada anggotanya, bisa saja melakukan transaksi yang diharamkan. Yaitu bila ada ketentuan kewajiban untuk mengembalikan uang pinjaman dengan kelebihan. Kelebihan ini adalah bunga, seberapapun kecil dan apapun istilah yang disematkan. Karena pada prinsipnya, semua jenis pinjaman uang kepada seseorang yang mewajibkan kelebihan pada pengembaliannya adalah riba. Sesuai dengan kaidah berikut ini : Kullu qardhin jarra manfa�atan fa huwa riba Maka meski trnasaksi itu dilakukan internal kepada anggota koperasi, tetap saja transaksi demikian termasuk riba yang diharamkan oleh Allah Subhanahu Wata`ala. Maka jalan keluarnya adalah bisa dengan melakukan sistem syariah, mislanya sistem mudharabah tau murabahah. Sistem ini meski bukan dilakukan oleh badan usaha yang bermerk
syar`i, tetapi bila dilakukan tentu merupakan hal yang baik dan diredhoi Allah Subhanahu Wata`ala. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/7651 Konsultasi : Muamalat Lewat Mana Menyalurkan Uang Riba ? Pertanyaan: Assalamualaikum wr wb Pak ustadz yang dirahmati Allah, saya agak bingung nich. Saya mau ambil tabungan dari bank "ribawi", supaya bisa dimanfaatkan umum (untuk wc, atau yang lain) saya harus menyalurkannya lewat mana? lewat siapa? Mohon jawaban secepatnya. Jazakallah Wassalamualaikum wr wb Atmojo Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba�d. Masalah ini sebenarnya sederhana saja dan tidak perlu dilembagakan. Anda bisa berjalan ke luar rumah dan melihat orang sedang membangun jembatan, jalan, saluran air atau fasilitas umum lainnya. Nah, segera keluarkan isi kantong Anda dan berikan kepada mereka yang sedang melakukan pembangunan atau pemeliharaan sarana umum itu dan selesai. Sebab uang itu adalah uang haram yang tidak boleh dimiliki, tidak boleh dibelanjakan, tidak boleh digunakan dan tidak boleh diberikan kepada fakir miskin sekalipun. Tetapi uang itu pun tidak boleh dimusnahkan, dibakar atau di buang ke laut. Uang itu tetap harus dimanfaatkan. Tetapi siapakah yang berhak memanfaatkannya ? Tentu saja bukan orang per orang melainkan seluruh masyarakat secara umum. Namun juga bukan buat sarana ibadah seperti membangun masjid, sebab masjid yang diperuntukkan buat orang Islam saja. Maka jalanan, penerangan, saluran air dan sarana yang benar-benar milik publik bisa meanmpung uang haram itu. Berikan secara langsung dan selesai. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/4/cn/7382 Konsultasi : Muamalat Hukum Menabung Dan Investasi Di Bank Konvensional Pertanyaan: Bagaimana hukumnya apabila ada orang yang menolak menabung di bank syariah dan tetap
memilih menabung di bank konvensional? Bagaimana mengubah kebiasaan masyarakat menabung di bank konvensional dan berpindah ke bank syariah? Moch. Amin Yusup Jawaban: Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa ba`du,
Kalau ada lapisan masyarat yang hingga siang seterik ini masih saja berselimut dengan kejahiliyahan, sebenarnya memang agak keterlaluan. Sebab matahari sudah menyorot sekuat tenaga menerangi semua bagian bumi, tetapi saudara kita yang satu ini masih asyik dengan selimut tebalnya, mengunci rapat pintu dan jendela dan masih menganggap bahwa hari masih gelap. Padahal di luar, roda kehidupan sudah bergerak dengan cepatnya. Itulah gambaran tentang saudara-saudara kita yang masih belum mengerti tentang haramnya bunga bank. Padahal semua informasi sudah terbuka. Hampir di setiap saat dan kesempatan, ada kajian tentang haramnya bunga bank konvensional. Bahkan jauh sebelum MUI mengeluarkan fatwa yang secara tegak tidak memberikan pilihan kepada umat Islam untuk bermain api riba, sudah berdiri sekian banyak bank syariah. Maka semua alasan darurat yang dulu bisa dijadikan tempat berlindungnya umat Islam dari keharaman menabung di bank konvensional sudah roboh dan rata dengan tanah. Hari ini sudah tidak ada alasan lagi untuk membolehkan menyimpan uang di bank konvensional, kecuali karena salah satu dari dua faktor saja. Pertama telat mikir atau kedua bandel. Kemungkinan pertama adalah telmi alisan telat mikir. Rasanya agak aneh di zaman serba maju dalam dunia informasi kalau ada seorang muslim tidak tahu informasi tentang haramnya bunga bank. Juga agak aneh kalau tidak tahu sudah ada bank syariah. Tidak ada yang salah dalam hal sarana informasi. Kemungkinan besar memang kemampuan berpikirnya terbatas atau yang kita sebut dengan telmi itu tadi. Barangkali dalam kepala orang ini, paradigma lama masih bercokol, yaitu menabung di bank dan bank itu adalah bank konvensional. Kemungkinan kedua adalah bandel. Tipe ini bukan tidak tahu informasi, juga bukan telat mikirnya. Tapi dalam hatinya masih ada penyakit untuk tidak percaya kepada hukum Islam. Atau tidak mau ambil peduli. Atau tidak mau tahu bahwa ternyata agama Islam ini bukan semata-mata urusan sujud dan zikir semata, tetapi juga terkait dengan masalah pengaturan ekonomi dan juga perbankan. Atau juga tergiur dengan iklan promosi dan hadiah dari bank-bank konvensional. Yang penting dapat untuk, adapun urusan apakah rezeki itu hukumnya halal atau haram, itu nomor dua puluh tujuh. Selama dua faktor ini masih bercokol dalam sendir kehidupan umat, tentu kita masih akan melihat pemandangan seperti yang sekarang ini kita lihat. Maka bagi kita, wajiblah hukumnya memberitahukan kepada saura-saudara kita yang muslim dan masih punya nilai keimanan dalam
dadanya tentang keharaman riba. Dan khususnya tentang bermuamalah dengan bank konvensional. Lalu bila seorang sudah diberitahukan dengan sejelas-jelasnya tentang hal itu, tetapi masih saja membandel, tugas kita sudah cukup. Sebab kita tidak bisa memaksa orang untuk mendapat hidayah. Sebab memberi hidayah itu urusan Allah SWT. Dan apa yang akan Allah SWT timpakan kepada orang yang membandel dan membangkan, itu pun urusan Allah SWT juga. Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab, Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.