Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
HIPERTENSI PULMONAL PRIMER
AIDI NASRUL
SUB BAGIAN PULMONOLOGI
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FK UNAND / RS DR. M DJAMIL PADANG 2008
1
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
Kata Pengantar Puji syukur ke hadirat Allah SWT penulis ucapkan karena dengan rahmat dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tinjauan kepustakaan ini. Adapun judul dari tinjauan kepustakaan ini adalah “Hipertensi Pulmonal Primer”. Tinjauan kepustakaan ini merupakan bagian dari kegiatan selama menjalani stase di Sub Bagian Paru Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unand / RS Dr. M. Djamil Padang. Penulis menyadari bahwa tinjauan kepustakaan ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian demi kesempurnaan tinjauan kepustakaan ini. Akhirnya izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar di bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unand / Rs Dr. M. Djamil, khususnya kepada Bapak Prof. dr. H. Zulkarnain Arsyad SpPD-KP yang telah memberikan bimbingan di subbagian paru maupun dalam menyelesaikan tinjauan kepustakaan ini. Padang, September 2008 Penulis
2
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
DAFTAR ISI Kata Pengantar …..…………………………………………………………………
i
Daftar Isi ………………………………………………………………………..…....
ii
Daftar Table …………………………………………………………………………
iii
Daftar Gambar …………………………………………………………….………… BAB I Pendahuluan ……………………………………………………..…….
iii 1
BAB II
Patofisiologi Hipertensi Pulmonal Primer ……………………………
3
2.1 Klasifikasi Klinik Hipertensi Pulmonal …………………………......
3
2.2 Patologi ..……………………………………………………….…..
4
2.3 Etiopatogenesis …….………………………………………….…..
6
2.3.1 Ketidakseimbangan Mediator-mediator Vasoaktif .. …………......
8
2.3.2 Hubungan Dengan Lingkungan . ……………………………..…..
9
2.3.3 Hubungan Dengan Kelainan Genetik …………………………...
10
Diagnosis ………………………………………………………………...
11
3.1 Gambaran Klinis …………………………………………………….
11
3.2 Pemeriksaan Fisik …………………………………………………..
11
3.3 Pemeriksaan Non Invasive ………………………………………..
13
3.4 Pemeriksaan Invasive ……………………………………………….
16
3.5 Laboratorium ………………………………………………………...
20
Penatalaksanaan Hipertensi Pulmonal Primer …………………………
19
4.1 Terapi Konvensional …………………………………………………
19
4.2 Calcium-Channel Blocker .…………………………………………..
19
4.3 Prostanoid …………………………………………………………...
20
BAB III
BAB IV
3
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
BAB V
4.4 Antagonis Reseptor Endotelin………………………………………
23
4.5 Phosphodiesterase Inhibitors . ……………………………………..
24
4.6 NO And Arginine …………………………………………………...
26
4.7 Terapi bedah ………………………………………………………...
27
Kesimpulan Dan Saran ………………………………………………….
29
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………….
29
5.2 Saran ………………………………………………………………... Daftar Pustaka ….………………………………………………………………….
30
29
DAFTAR TABEL Tabel 1. Klasifikasi Klinis Hipertensi Pulmonal, Venice 2003 …………. ……………….. 4 Tabel 2. Gejala Klinis Hipertensi Pulmonal ……………………………………………. 12 Tabel 3. Klasifikasi Fungsional HP (WHO) ..……………………………………………. 12 Tabel 4. Penilaian Ekokardiografi Pada Pasien HP .. ……………………………...……13 Tabel 5. Pengukuran Kateterisasi Jantung Kanan Pada Pasien PH ............................... 16
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Lesi Fleksogenik ………………………………………… …………………… 5 Gambar 2. Tromboemboli Arteriopati …………………………………………………… 6 Gambar 3. Oklusi Vena Pulmonalis .………………………………… …………………… 6 Gambar 4. Patofisiologi Hipertensi Pulmonal Primer … ……………………….……… 7 Gambar 5. Radiografi Torak Pasien Hipertensi Pulmonal ……………………………….. 15 Gambar 6. EKG Pasien Hipertensi Pulmonal . …………………………………………. 15 Gambar 7. Algoritme Diagnosis Hipertensi Pulmonal …………………………………… 18 Gambar 8. Pendekatan Terapi Hipertensi Pulmonal …………………………………… 28
4
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
BAB I PENDAHULUAN
Hipertensi pulmonal primer (HPP) atau idiopatik adalah kelainan paru yang jarang didapat(1) dan sering lambat terdiagnosis(2) . Dimana didapatkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis jauh diatas normal tanpa penyebab yang jelas. Tekanan arteri pulmonalis normal pada waktu istrahat lebih kurang 14 mmHg. Pada HPP tekanan arteri pulmonalis akan lebih dari 25 mmHg saat istrahat, dan 30 mmHg saat latihan. Suatu diagnosis HPP dibuat bila suatu hipertensi pulmonal tidak ditemukan faktor-faktor resiko dan tidak didapatkan adanya penyakit katup jantung kiri, penyakit miokardial, penyakit jantung kongenital dan beberapa penyakit paru lainnya seperti penyakit jaringan ikat atau tromboemboli kronik (kriteria diagnosis National Institute of Health)(3,4). Sehingga HPP juga disebut “unexplained pulmonary hypertension”(4). HPP dan hipertensi pulmonal familial telah dilaporkan berkembang 1–2 kasus per 1 juta orang per tahun di USA. WHO melaporkan insiden kira-kira 2-5 orang per 1 juta penduduk pertahun. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 1:1,7 dan umur rata-rata saat diagnosis adalah 37 tahun (dekade 3-4)(5). Laporan dari Australia, insiden HPP berkembang kira-kira 3–10 kasus per sejuta penduduk tiap tahunnya(6). Data terbaru, tahun 2004 Scottish population melaporkan bahwa insiden HPP diatas usia 16 tahun pada periode 1986–2001, adalah 4 kasus per sejuta penduduk (3.0 laki-laki dan 5.0 perempuan). Tingkat yang sama untuk hipertensi pulmonal sehubungan penyakit jaringan ikat dan kelainan kongenital selama periode yang sama adalah 1-3 kasus persejuta penduduk. Sedangkan di Indonesia belum ada data. Tanpa pengobatan prognosis pasien jelek. The National Institutes of Health (NIH) memfollow-up 187 pasien HPP pada 32 senter tahun 1981-1987, menyimpulkan rata-rata harapan hidup pasien HPP adalah 2,8 tahun(6). Suatu epidemik hipertensi pulmonal yang diinduksi oleh aminoreks terjadi di akhir tahun 1960an. Aminorex fumarate (2-amino-5-phenyl-2-Oxazoline, derivat katekolamin) dijual bebas sebagai obat penekan nafsu makan dan telah ditarik dari peredaran pada Oktober 1968. Epidemik hipertensi pulmonal kedua terjadi diakhir tahun 1990-an di Eropa dan Amerika, timbul karena mengkonsumsi dexfenfluramine dan fenfluramine untuk 5
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
terapi obesitas(7). Laporan dari International Primary Pulmonary Hypertension Study Group, NEJM (1996), terjadi peningkatan 23 kali lipat insiden hipertensi pulmonal setelah mengkosumsi obat selama 3 bulan. Namun obat-obat ini baru ditarik dari peredaran pada September 1997. Sehubungan dengan epidemik ini WHO sudah 3 kali melakukan konfrensi, pertama di Genewa tahun 1973, kedua di Evian tahun 1998, dan ketiga di Venice tahun 2003. Merumuskan klasifikasi dan diagnostik hipertensi pulmonal serta pelarangan beredarnya anoreksigen tersebut(8). Walaupun dilarang sejak 1997-98 sampai sekarang obat penekan nafsu makan tersebut masih tetap beredar di banyak negara dengan nama yang berbeda, terutama melalui internet sehingga kasus-kasus HPP terus berlanjut. Laporan terbaru oleh Souza R et al, Perancis, 2008 bahwa HPP terjadi setelah pemakaian fenfluramin selama 6 bulan(9). Tujuan penulisan tinjauan kepustakaan ini adalah untuk memahami patofisiologi, klasifikasi, diagnosis dan managemen terapi hipertensi pulmonal primer.
6
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
BAB II PATOFISIOLOGI HIPERTENSI PULMONAL PRIMER Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan arteri pulmonalis rata-rata (mPAP) > 25 mmHg pada saat istrahat, atau > 30 mmHg selama aktifitas atau tekanan sistolik PAP > 45 mmHg, dengan tekanan baji kapiler paru rata-rata dan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri < 15 mmHg(3,4). Hipertensi pulmonal primer yang sekarang dikenal dengan hipertensi arteri pulmonal idiopatik (IPAH) adalah hipertensi arteri pulmonal (HAP) yang secara histopatologi ditandai dengan lesi angioproliferatif fleksiform sel-sel endotel, muskularis arteriol-arteriol prekapiler, proliferasi sel-sel intima dan penebalan tunika media yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos vaskuler. Sehingga meningkatkan tekanan darah pada cabang-cabang arteri kecil dan meningkatkan tahanan vaskuler dari aliran darah di paru(4,7,10,11). Beratnya hipertensi pulmonal dibagi dalam 3 tingkatan; ringan bila PAP 25-45 mmHg, sedang PAP 46-64 mmHg dan berat bila PAP > 65 mmHg (12,13) 1.
Klasifikasi Klinik Hipertensi Pulmonal Dimasa lalu, hipertensi pulmonal diklasifikasikan sebagai keadaan penyakit primer
(idiopatik) atau sekunder. Pada tahun 2003 pada symposium WHO III di Venice mengenai hipertensi pulmonal, dilakukan revisi klasifikasi klinik, dimana hipertensi pulmonal dikelompokan dalam 5 group yang berbeda berdasarkan patofisiologi penyakit, dan hipertensi pulmonal primer atau idiopatik dimasukan dalam hipertensi arteri idiopatik. (Table 1)(14)
7
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
Tabel 1. Klasifikasi Klinis Hipertensi Pulmonal, Venice 2003 (kutip 14)
2.
Patologi Arteri pulmonalis normal merupakan suatu struktur “complaint” dengan sedikit
serat otot, yang memungkinkan fungsi “pulmonary vaskuler bed” sebagai sirkuit yang low pressure dan high flow(10). Gambaran patologi vaskuler pada HPP tidak patognomonis untuk kelainan ini, karena menyerupai arteriopati pada hipertensi pulmonal dari berbagai macam penyebab. Kelainan vaskuler HPP mengenai arteri pulmonalis kecil dengan diameter 4-10 mm dan arteriol, berupa hiperplasia otot polos vaskuler, hiperplasia intima, dan trombosis in situ(15). Progresif dan penipisan arteri pulmonalis, yang secara gradual
8
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
meningkatkan tahanan pulmonal yang pada akhirnya menyebabkan strain dan gagal ventrikel kanan(1,2,3,6). Pada stadium awal HPP, peningkatan tekanan arteri pulmonalis menyebabkan peningkatan kerja ventrikel kanan dan terjadinya trombotik arteriopati pulmonal. Karakteristik dari trombotik arteriopati pulmonal ini adalah trombosis insitu pada muskularis arteri pulmonalis. Pada stadium lanjut, dimana tekanan pulmonal meningkat secara terus menerus dan progresif, lesi berkembang menjadi bentuk arteriopati fleksogenik pulmonal yang ditandai dengan hipertrofi media, fibrosis laminaris intima konsentrik, yang menggantikan struktur endotel pulmonal normal. Secara patologi HPP dapat dikelompokan dalam 3 subtipe (2,7): 1. Fleksogenik arteriopati primer (30-60 % dari HPP) Secara patologi fleksogenik adalah disorganisasi kapiler pulmonal. Lesi fleksiform merupakan suatu bentuk hipertensi pulmonal berat, kelainan ini ditemui pada pasien yang mempunyai komponen genetik, dimana 7 % adalah familial.
Gambar 1. Lesi Fleksogenik(kutip 7) 2. Tromboemboli arteriopati (45-50% dari HPP) Secara patologi subtipe ini ditandai dengan fibrosis eksentrik tunika intima dan gambaran rekanalisasi thrombosis insitu (jaringan dan septum dalam lumen arterial). Subtipe tromboemboli hipertensi pulmonal terdapat 2 bentuk : bentuk makro tromboemboli, yang biasanya ditemukan pada hipertensi pulmonal sekunder dan berisi gumpalan besar ditengah lumen, dan kedua bentuk mikrotromboemboli dengan thrombus di distal yang menyumbat pembuluh-pembuluh darah kecil.
9
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
Gambar 2. Tromboemboli Arteriopati(kutip 7) 3. Oklusi vena pulmonalis Bentuk yang jarang didapat, disebabkan oleh penipisan tunika intima vena pulmonalis.
Gambar 3. Oklusi Vena Pulmonalis(kutip 7) 3.
Etiopatogenesis Pada HPP, vaskuler paru adalah target eklusif penyakit, meskipun patogenesisnya
masih spekulatif. Dunia luas mendukung teori bahwa orang-orang tertentu memiliki predisposisi untuk terjadinya hipertensi pulmonal primer (IPAH), dimana pada orang tersebut beberapa rangsangan dapat mengawali berkembangannya arteriopati, remodeling dinding vaskuler, vasokonstriksi dan trombosis insitu(3,11,16). Hanya sebagian kecil kelompok dengan resiko tinggi (Penyakit vaskuler kolagen, hipertensi portal, infeksi HIV dan obat-obat penekan nafsu makan) dapat menimbulkan gambaran klinis yang sama dengan HPP(16). Kejadian HPP dalam suatu keluarga menunjukan kepakaan genetik(3). Bentuk kelainan bawaan adalah autosomal dominan dengan ratio wanita dan pria 2
10
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
banding 1. Meskipun melibatkan gen dalam familial HPP belum dapat diidentifikasi, kemungkinan lokasi pada tangan panjang dari kromosom 2 q31. Vasokonstriksi dan hipertrofi media terjadi pada awal HPP. Keadaan ini adalah sekunder terhadap kerusakan sel endotel, yang menyebabkan berkurangnya produksi “endothelium drived vasodilator” atau meningkatkan vasokonstriktor. Kerusakan saluran ion pada sel otot polos arteri pulmonalis berperanan penting dalam regulator kontraksi dan proliferasi otot polos vaskuler. Vasokonstriksi akan diikuti oleh proliferasi dan fibrosis intima, trombosis insitu, dan perubahan fleksogenik. Peningkatan ekspresi vaskuler endothelial growth factor (VEGF), suatu mitogen sel endotel spesifik yang dihasilkan oleh makrofak dan otot polos vaskuler, berperan dalam remodeling vaskuler(10,15,17).
Gambar 4. Patofisiologi Hipertensi Pulmonal Primer(kutip 10) Tiga mekanisme utama yang dikenal pada pasien HPP. (1) Jalur NO : NO dibentuk pada sel-sel endotel oleh NO synthase tipe III (eNOS), yang merangsang konversi Guanylate Cyclase (GC) menjadi Guanosine Triphosphate (GTP) dan akhirnya cGMP, suatu messenger kedua mempertahankan relaksasi otot polos arteri pulmonal dan menghambat proliferasi sel otot polos arteri pulmonal. (2) Jalur Endothelin (ET): Big-ET (atau pro-ET) dikonversi dalam sel endotel menjadi ET-1 (21 amino acids) oleh EndothelinConverting Enzyme (ECE). ET-1 berikatan dengan reseptor ETA dan ETB sel otot polos arteri pulmonal, yang mana menimbulkan kontraksi, proliferasi dan hipertropi otot muskularis arteri pulmonal. (3) Jalur Prostacyclin : produksi PGI2 (prostacyclin) dikatalis oleh Prostacyclin Synthase (PS) dalam sel endotel. PGI2 menstimulasi Adenylate Cyclase (AC), maka meningkatlah produksi ATP dari cAMP, efek yang kedua adalah relaksasi dan menghambat proliferasi.
11
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
A. Ketidakseimbangan Mediator-mediator Vasoaktif a. Prostasiklin dan Tromboksan A2 (10,18) Prostasiklin dan tromboksan A2 merupakan metabolit asam arakidonat utama selsel endotel dan sel-sel otot polos. Prostasiklin merupakan vasodilator poten, menghambat agregasi trombosit dan antiproliferatif, sedangkan tromboksan A2 merupakan vasokonstriktor poten. Pada hipertensi pulmonal keseimbangan kedua molekul ini lebih banyak pada tromboksan A2. Prostasiklin sintase adalah enzim yang merangsang produksi prostasiklin, jumlahnya menurun pada arteri-arteri pulmonal pada pasien hipertensi pulmonal terutama HPP. b. Endotelin-1 Endothelin-1 (ET-1) adalah suatu vasokonstriktor poten dan memiliki aktifitas mitogenik pada sel-sel otot polos arteri. Peningkatan kadar ET-1 plasma dan dinding vaskuler pada pasien IPAH. Endothelin-1 (ET-1) adalah suatu asam amino peptide yang dihasilkan oleh enzim konverting endothelium pada sel-sel endotel. Kadar endotelin meningkat pada pasien PAH dan klirennya berkurang pada vaskuler paru. Endotelin beraksi pada 2 reseptor yang berbeda. Reseptor ETA pada sel otot polos vaskuler dan Reseptor ETB pada sel otot polos vaskuler dan sel endotel vaskuler paru. Kedua reseptor menyebabkan proliferasi sel otot polos vaskuler. Kadar ET-1 Plasma berkorelasi dengan beratnya PAH dan prognosis.(19) c. Nitrik Oksida Nitric oxide (NO) adalah vasodilator poten, penghambat aktivasi platelet dan penghambat proliferasi sel otot vaskuler. NO dihasilkan sel endotel dari arginin oleh NO sintase, menimbulkan efek vasodilatasi melalui mekanisme yang komplek dengan cGMP. cGMP mengaktifkan cGMP kinase, menyebabkan terbukanya kanal K+ membran sel, sehingga ion K+ keluar, membran depolarisasi dan menghambat kanal Ca2+. Menurunnya Ca2+ masuk dan menurunnya pelepasan Ca2+ sarkoplasma menyebabkan vasodilatasi. Phosphodiesterase-5 (PDE-5), salah satu enzim PDE yang memecah cGMP. Pasien dengan HPP terbukti menurunnya NO sintase, sehingga timbul vasokonstriksi dan proliferasi sel (10,39). NO berkontribusi dalam menjaga fungsi dan struktur vaskuler dalam keadaan normal (15).
12
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
d. Serotonin Serotonin (5-hydroxytryptamine=5-HT) adalah vasokonstriktor yang meningkatkan hiperplasia dan hipertrofi otot polos. Peningkatan serotonin plasma telah dilaporkan pada pasien HPP, yang menyebabkan vasokonstriksi. Mekanisme seretonergik yang berimplikasi pada PAH(21). Konsumsi dekfenfluramin, terjadi peningkatan release serotonin dan terhambat reuptake oleh platelet(8). e. Adrenomedulin Adrenomedulin mendilatasi vena-vena pulmonalis, meningkatkan aliran darah paru dan disintesa sel-sel paru normal. Kadar dalam plasma meningkat pada pasien HPP, kadar adrenomedulin plasma berkorelasi dengan tekanan rata-rata atrium kanan, tahanan vaskuler paru, dan tekanan arteri paru rata-rata(10,13). f. Vasoactive Intestinal Peptide Vasoactive Intestinal Peptide (VIP) merupakan vasodilator sistemik poten, menurunkan tekanan arteri pulmonal dan tahanan vaskuler pulmonal pada rabbit dan manusia, juga menghambat aktifasi platelet, dan proliferasi sel otot polos. Studi baru baru ini melaporkan penurunan kadar VIP pada pasien HP (13,22). g. Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) Hipoksia akut dan kronik, produksi VEGF meningkat dan yang mana reseptornya, VEGF reseptor-1 dan VEGF-2 pada paru-paru. (13) B. Hubungan Dengan Lingkungan a. Hipoksia Hipoksia menginduksi vasodilatasi vena-vena sistemik tetapi menginduksi vasokonstriksi pada vaskuler paru. Respon vaskuler paru terhadap hipoksia berbeda dengan sirkulasi sistemik untuk mengoptimalkan hubungan antara ventilasi dan perfusi. Hipoksia akut diregulasi oleh produk-produk endotel (seperti endotelin-1 dan serotonin) dan memediasi perubahan aktivitas kanal ion pada selsel otot polos arteri paru. Hipoksia akut menyebabkan perubahan yang reversibel pada tonus vaskuler paru, sedangkan hipoksia kronik menyebabkan remodeling struktur, proliferasi sel-sel otot polos vaskuler, migrasi dan peningkatan deposisi matrik vaskuler(10,13).
13
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
b. Anoreksigen Hubungan antara anoreksigen dan hipertensi pulmonal awalnya diobservasi pada tahun 1960an saat epidemik HPP di Eropa karena pemakaian aminorex fumarate. Studi hipertensi (IPPHS) mendemonstrasikan hubungan kuat antara HAP dan obat anoreksik. Derifat Fenfluramine adalah suatu inhibitor poten uptake serotonin (5HT)(8). Aminorex fumarate (2-amino-5-phenyl-2-Oxazoline, derivat katekolamin), aksinya meliputi pelepasan norepinephrine pada ujung saraf bebas dan meningkatkan kadar serotonin serum. Sehingga terjadi proliferasi atau pertumbuhan sel-sel otot polos arteri paru. Penggunaan obat ini meningkatkan kasus HPP, tergantung dosis dan lama pemakaian. c. Methamphetamine dan Cocaine Methamphetamine dan cocain dilaporkan meningkatkan insiden hipertensi pulmonal. Pada studi autopsi 20 perokok cocain berat, 4 (20%) paru menunjukkan hipertropi medial arteri paru. Mekanisme terjadinya hipertrofi arteri ini masih belum jelas(13). C. Hubungan Dengan Kelainan Genetik 2 gen dalam kelompok reseptor famili TGF-b mempunyai hubungan yang kuat dengan familial hipertensi pulmonal. Gen bone morphogenetic receptor type 2 (BMPR2), memodulasi pertumbuhan sel-sel vaskuler dengan mengaktivasi jalur intraseluler. Dalam keadaan normal BMP menekan pertumbuhan sel otot polos vaskuler. Lebih dari 45 mutasi yang berbeda BMPR2 telah diidentifikasi pada familial hipertensi arterial pulmonal. BMPR2 adalah suatu komponen reseptor pada sel otot polos vaskuler heteromerik, bagian dari transforming growth factor. Mutasi eksonik pengkodean gen BMPR2, yang berpengaruh pada suatu aberasi transduksi sinyal pada sel otot polos vaskuler paru sehingga menimbulkan proliferasi sel. Mutasi BMPR2 telah diidentifikasi 50%-90% pasien dengan diagnosis HAPF, 25% pada pasien HPP dan 15 % pada pasien HAP sehubungan penggunaan fenfluramine(23). Jenifer R et al menemukan bahwa 27 % pasien HPP dengan mutasi BMPR2. R. Souza et al, 2008, pasien dengan mutasi BMPR2 signifikan lebih cepat timbul gejala dibandingkan dengan tanpa mutasi BMPR2(9).
14
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
BAB III DIAGNOSIS Gambaran klinis Hipertensi pulmonal primer sering timbul dengan gejala-gejala yang tidak spesifik. Gejala-gejala itu sukar untuk dipisahkan sehubungan dengan penyebab apakah, dari paru atau dari jantung (primer atau sekunder), kesulitan utama adalah gejala umumnya berkembang secara gradual. Gejala yang paling sering adalah dispnu saat aktifitas 60%, fatique 19% dan sinkop 13%(2,3,4), yang merefleksikan ketidakmampuan menaikan curah jantung selama aktifitas. Angina tipikal juga dapat terjadi meskipun arteri koroner normal tetapi disebabkan oleh karena stretching arteri pulmonalis atau iskemia ventrikel kanan(10). Pemeriksaan fisik Pemeriksan fisik pada HPP sering tidak spesifik untuk menegakan diagnosis, namun dapat membantu meniadakan berbagai penyebab lain dari hipertensi pulmonal (sekunder). Pemeriksaan fisik paru biasanya normal. Gejala lebih awal dan atau temuan tunggal hanyalah aksentuasi komponen pulmonal pada bunyi jantung 2 (P2) hampir 90 %. Peninggian suara P2 dihasilkan dari peningkatan kekuatan penutupan katup pulmonal karena respon peningkatan tekanan arteri pulmonal pada saat diastolik. Temuan fisik tambahan sehubungan dengan HP merefleksikan pengaruh HP pada jantung dan organ lainnya. Paling banyak pada pasien berkembang menjadi trikuspid regurgitasi dalam beberapa derajat karena tekanan overload pada ventrikel kanan. Pembesaran ventrikel kanan, pulsasi vena jugularis meningkat bila terjadi overload cairan dan/atau gagal jantung kanan. Hepatomegali mungkin timbul, asites dan retensi cairan di perifer(2,3,4,10,14).
15
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
Tabel 2. Gejala Klinis Hipertensi Pulmonal(kutip 10)
WHO mengusulkan klasifikasi fungsional HPP dengan memodifikasi klasifikasi fungsional dari New York Heart Association system. Tabel 3. Klasifikasi Fungsional HP (WHO)(kutip 10)
16
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
A. Pemeriksaan non invasif Pertama kali mencurigai klinis HPP, harus lakukan pemeriksaan konfirmasi dan pemeriksaan untuk mengeklusi tipe lain penyebab hipertensi pulmonal, disamping untuk menentukan beratnya atau prognosis. Baru-baru ini suatu konsensus merekomendasikan pemeriksaan untuk HPP 1. Ekokardiografi Pada pasien yang secara klinis dicurigai hipertensi pulmonal, untuk diagnosis sebaiknya dilakukan ekokardiografi. Ekokardiografi adalah modalitas diagnostik untuk evaluasi atau eklusi penyebab HP sekunder (seperti gagal ventrikel kiri, penyakit jantung katup, penyakit jantung kongenital dengan shunt sistemikpulmonal dan disfungsi diastolik ventrikel kiri). Disamping itu untuk menentukan beratnya hipertensi pulmonal serta prognosisnya(24,25). Dua studi besar yang dilakukan oleh Yeo et all dan Raymon et all menggunakan ekokardiografi untuk konfirmasi diagnosis dan prognosis pasien HPP. Namun demikian ekokardiografi saja tidak cukup adekuat untuk konfirmasi definitif ada atau tidaknya hipertensi pulmonal. Untuk itu direkomendasikan untuk kateterisasi jantung(24,25, 26). Table 4. Penilaian Ekokardiografi Pada Pasien HP 2D measurements Right ventricular size (chamber diameter and volume, and wall thickness) Right ventricular/left ventricular diastolic volume Right ventricular contractility Pericardial effusion (presence, size) Inferior vena cava (IVC) size, respiratory variation Doppler measurements Tricuspid regurgitation (severity and velocity) Left ventricular (LV) early diastolic filling velocity
2. Tes Berjalan 6 Menit Pemeriksaan yang sederhana dan tidak mahal untuk keterbatasan fungsional pasien HP adalah dengan tes ketahanan berjalan 6 menit (6WT). Ini digunakan sebagai pengukur kapasitas fungsional pasien dengan sakit jantung, memiliki prognostik yang signifikan dan telah digunakan secara luas dalam penelitian untuk evaluasi pasien HP yang diterapi. 6WT tidak memerlukan ahli dalam penilaian(13,16).
17
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
3. Tes Latihan Kardiopulmunal (CPET) Suatu tes noninvasive. Pemeriksaan ini juga prognostik yang signifikan, karena mengukur performen kardiovaskuler dan ventilator saat aktifitas. Menariknya, tekanan darah sistolik menunjukan prediktor independen kematian pasien HP yang tidak diobati, dengan SBP < 120 mmHg berkorelasi dengan kematian yang tinggi dibandingkan dengan SBP > 120 mmHg (6,13). Miyamota and colleagues membandingkan kedua cara penilaian diatas 6MWT dan CPET dalam suatu kohor 27 pasien HPP, mereka menemukan suatu korelasi yang bagus antara konsumsi oksigen maksimum dan ketahanan 6MWT. Maka meskipun 6MWT tes latihan yang submaksimal, tetapi ditoleransi oleh mayoritas pasien HPP dan berkorelasi dengan tes latihan maksimal. Pada pasien dengan HAP, CPET dapat mengukur beratnya HAP dengan menilai gangguan kardiovaskuler dan inefisiensi ventilasi. Penurunan konsumsi oksigen (peak VO2) dan meningkatnya inefisiensi ventilasi adalah proporsi beratnya HP, merefleksikan ketidakmampuan pasien HAP secara adekuat meningkatkan aliran darah paru selama aktifitas(6,13,16,27). 4. Tes Fungsi Paru Pengukuran kapasitas vital paksa (FVC) saat istrahat, volume ekspirasi paksa 1 detik (FEV1), ventilasi volunter maksimum (MVV), kapasitas difusi karbon monoksida, volume alveolar efektif, dan kapasitas paru total adalah komponen penting dalam pemeriksaan HP, yang dapat mengidentifikasi secara signifikan obstruksi saluran atau defek mekanik sebagai faktor kontribusi hipertensi pulmonal. Tes fungsi paru juga secara kuantitatif menilai gangguan mekanik sehubungan dengan penurunan volume paru pada HP (27,28). 5. Radiografi Torak Karena radiografi torak adalah noninvasif dan tidak mahal, pasien dengan sesak yang tidak jelas biasanya di skrining dengan radiografi torak. Ro torak sama pentingnya sebagai first-line tes skrining pada pasien PAH untuk melihat penyebab sekunder, seperti penyakit interstisial paru dan kongesti vena-vena paru. Hampir 85 % terdapat kelainan Radiografi torak pada HP, seperti pembesaran
18
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
ventrikel kanan dan/atau atrium kanan, dilatasi arteri pulmonal. Tapi tidak biasanya abnormalitas yang spesifik pada HPP(16).
Gambar 5. Radiografi Torak Pasien Hipertensi Pulmonalkutip 16 6. Eletrokardiografi Gambaran tipikal EKG pada pasien hipertensi pulmonal sering menunjukan pembesaran atrium dan ventrikel kanan, strain ventrikel kanan, dan pergeseran aksis ke kanan, yang juga memiliki nilai prognostik. Kelainan EKG saja bukanlah indikator yang sensitif untuk penyakit vaskuler paru. Penggunaan perubahan EKG sebagai marker progresi penyakit dan atau respon terapi belum ada dilaporkan(3,4,16,19)
Gambar 6. EKG Pasien Hipertensi Pulmonalkutip 16
19
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
7. CT Scan Resolusi Tinggi CT scan dilakukan hanyalah untuk membedakan apakah primer atau sekunder. Tanpa zat kontras, untuk menilai parenkim paru seperti bronkiektasi, emfisema, atau penyakit interstisial. Dengan zat kontras untuk deteksi dan atau melihat penyakit tromboemboli paru(24,28). B. Pemeriksaan invasif 1. Kateterisasi Jantung Kateterisasi jantung kanan dengan mengukur hemodinamik pulmonal adalah gold standard untuk konfirmasi PAH. Dengan definisi hipertensi pulmonal adalah tekanan PAP
25 mHg pada saat istrahat, atau
30 mmHg pada saat aktifitas. Kateterisasi
membantu diagnosis dengan menyingkirkan etiologi lain seperti penyakit jantung kiri dan memberikan informasi penting untuk prognostik hipertensi pulmonal (3,4,10) Tabel 5. Pengukuran Kateterisasi Jantung Kanan Pada Pasien PAH kutip 10 Systemic arterial pressure (BP) and heart rate (HR) Right atrial pressure (RAP) Right ventricular pressure (RVP) Pulmonary artery pressure (PAP) Pulmonary capillary wedge pressure (PCWP) Cardiac output and index Pulmonary vasoreactivity Systemic and pulmonary arterial oxygen saturation
Hemodinamik adalah prognostik untuk HPP, nilai prognostik pengukuran hemodinamik bila RAP < 10 mmHg, angka harapan hidup 50 bulan bila tidak mendapat terapi vasodilator, sedangkan bila RAP
20 mmHg harapan hidupnya
kurang dari 3 bulan(5,28). 2. Tes Vasodilator Vasoreaktifitas adalah suatu bagian penting untuk evaluasi pasien HAP, pasien yang respon dengan vasodilator terbukti memperbaiki survival dengan menggunakan blok kanal kalsium (CCB) jangka panjang. Definisi respon (European Society of Cardiology consensus) adalah penurunan rata-rata tekanan arteri pulmonal paling < 10 mm Hg dengan peningkatan kardiak output. Tujuan primer tes vasodilator adalah untuk menentukan apakah pasien bisa diterapi dengan CCB oral. Rich et al 20
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
1992, mempelajari 64 pasien HPP dengan nifedipin oral (20 mg) atau diltiazem (60 mg), penurunan 20% mPAP dan PVR. Groves et al, 1993, mempelajari respon akut epoprostenol iv pada 44 pasien HPP, peningkatan 14% HR, 5% penurunan mPAP, 47% penigkatan CO, dan 32% penurunan PVR. Respon dengan epoprostenol iv juga dapat memprediksi respon dengan CCB oral. Sitbon et al mengevaluasi 35 pasien terhadap respon vasodilator epoprostenol iv, penurunan 30% PVR. Sitbon 1998, melaporkan hasil tes NO inhalasi (10 ppm) 33 pasien, penurunan mPAP dan PVR 20%. 10 dari 33 pasien yang respon akut positif juga respon dengan CCB, pasien yang tidak respon akut dengan NO juga tidak respon dengan CCB. 3. Biopsi paru Jarang dilakukan karena sangat riskan pada pasien hipertensi pulmonal, biopsi paru di indikasikan bila pasien yang diduga HPP, dengan pemeriksaan standar tidak kuat untuk diagnosis definitif(28,29). C. Laboratorium Pasien-pasien yang diduga hipertensi pulmonal harus dilakukan pemeriksaan laboratorium standar untuk dispnue, yang meliputi pemeriksaan analisa gas darah, pemeriksaan kimia dan darah lengkap. Pemeriksaan HIV direkomendasikan pada pasien dengan faktor resiko. Dilaporkan bahwa hipertensi pulmonal sehubungan dengan infeksi HIV 100 kali lebih sering dibandingkan dengan HPP(28,29). Tes fungsi hati juga harus dilakukan untuk eklusi suatu hipertensi portopulmonal disamping untuk pemberian terapi. Biomarkers Biomarker serum yang telah dipelajari dalam menilai prognosis HPP adalah atrial naturetic peptide (ANP), brain naturetic peptide (BNP), dan katekolamin. Nagaya dan kolega mempelajari 63 pasien HPP antara 1994-1999; ANP dan BNP plasma rendah pada kontrol dan meningkat sesuai fungsional klas pada pasien dengan HPP. ANP dan BNP juga berkorelasi dengan mRAP, mPAP, CO, and TPR. Penelitian tambahan, setelah 3 bulan terapi dengan prostasiklin, 53 pasien terjadi penurunan BNP yang berkorelasi dengan penurunan RVEDP dan TPR.
21
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
Gambar 7. Algoritme Diagnosis Hipertensi Pulmonal kutip 11
22
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
BAB IV PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PULMONAL PRIMER
Terapi konvensional Tahanan vaskuler paru secara dramatis meningkat pada saat latihan atau aktifitas pada pasien HP, dan pasien sebaiknya harus memperhatikan dan membatasi aktifitas yang berlebihan. Pemberian oksigen untuk mengatasi sesak nafas dan hipoksia, saturasi oksigen dipertahankan diatas 90 %. Penggunaan digoksin saat ini masih kontroversial, karena belum ada data terhadap keuntungan dan kerugian penggunaan digoksin pada HPP. Penggunaan diuretik untuk mengurangi sesak dan edema perifer, dapat bermanfat untuk mengurangi kelebihan cairan terutama bila ada regurgitasi trikuspidal (2,29). Timbulnya trombosis in situ, gagal jantung kanan dan stasis vena meningkatkan resiko terjadinya tromboemboli paru. Perbaikan survival telah dilaporkan dengan antikoagulan oral, warfarin 1,5-2,5 mg dengan target INR 1,8. Telah banyak penelitian untuk pengobatan hipertensi pulmonal yang dilakukan : golongan vasodilator, prostanoid, NO, penghambat phosfodiestrase, antagonis reseptor endotelin dan anti koagulan(16,29,30). 1.
Calcium-Channel Blocker (CCB) Penggunaan CCB telah banyak diteliti dan digunakan sebagai terapi HPP, perbaikan terjadi kira-kira 25-30 % kasus terutama pada pasien yang tes vasodilator akut positif. Rich dkk 1992, melaporkan hasil studi prospektif non random, pasien yang respon tes vasodilator akut positif diterapi dengan CCB dosis tinggi selama 5 tahun(30). Survival 1 tahun, 3 tahun, dan 5 tahun adalah 94%, 94%, dan 94%. Sementara pasien yang tidak respon 68%, 47%, dan 38%. Ogata et al(29) 1993, melakukan terapi kombinasi antikoagulan dan vasodilator, 7 pasien diterapi dengan antikoagulan warfarin + vasodilator, 3 dengan isoproterenol, dan 4 dengan nifedipine. Survival 5 tahun signifikan lebih tinggi pada kelompok dengan antikoagulan + vasodilator (57%) dibanding yang lain 15%. Nifedipine (120-240 mg/hari) atau diltiazem (540-900 mg/hari) merupakan agen yang paling sering digunakan, sementara verepamil menimbulkan efek inotropik negative. Efek samping yang bermakna seperti hipotensi yang mengancam hidup pasien dengan fungsi ventrikel kanan yang berat. 23
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
2. Prostanoid Telah terbukti bahwa defisiensi prostasiklin berkontribusi dalam patogenesis HPP. Christman et al(16) melaporkan defisiensi prostasiklin pada HPP. Tuder et al(30) memperlihatkan penurunan prostasiklin sintase paru pada pasien HPP berat. Studi klinis membuktikan bahwa terapi jangka lama dengan analog prostasiklin eksogen menguntungkan pada pasien dengan HP sedang sampai berat(16,18). a. Epoprostenol Epoprostenol iv pertama kali disetujui oleh FDA untuk terapi hipertensi pulmonal pada tahun 1995. Pemakaian epoprostenol jangka panjang memperbaiki hemodinamik, toleransi latihan, klas fungsional NYHA, dan survival rate penderita HP. Epoprostenol tidak stabil pada suhu kamar, harus dilindungi selama pemberian infus, half- life pendek dalam aliran darah (< 6 min), tidak stabil pada pH asam, dan tidak bisa secara oral. Dimulai dengan dosis (1-2 ng/kg/min), dan secara perlahan dititrasi 1-2 ng/kg/min, sampai (20 ng/kg/min atau 40 ng/kg/min) (29,30). Dalam suatu trial prospektif, multisenter, random, dengan kontrol selama 12 minggu, infus epoprostenol secara kontinua ditambah dengan terapi konvensional (vasodilator oral, antikoagulan, dsb) dibanding dengan hanya terapi konvensional sebagai kontrol pada 81 orang pasien HPP fungsional klas III dan IV. Kapasitas latihan (6WT) 41 pasien yang diterapi dengan epoprostenol (rata-rata 362m, sebelumnya 315m), dan penurunan pada terapi konvensional saja (sebelumnya 270m dan setelahnya 204m; p < 0.002). Perbaikan kualitas hidup pada pasien dengan terapi epoprostenol (p < 0.01), perbaikan hemodinamik, perubahan tekanan arteri pulmonal rata-rata (mPAP) -8% dibandingkan terapi konvensional +3% dan perubahan rata-rata tahanan vaskuler paru (mPVR) adalah -21% dengan epoprostenol dan +9% pada kontrol. Shapiro et al and McLaughlin et al menggambarkan keberhasilan pada pasien dengan terapi infus kontinua epoprostenol setelah follow-up selama 36,3 bulan, perbaikan fungsional klas, toleransi latihan dan hemodinamik. Efek samping yang sering pada terapi epoprostenol meliputi sakit kepala, flushing, jaw pain, diarrhea, nausea, rash eritematosus, dan nyeri muskuloskeletal.
24
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
Komplikasi lain sehubungan dengan terapi iv jangka lama adalah infeksi, selulitis sampai sepsis, bila pemberian melalui katerterisasi vena sentral harus dilakukan pada senter dengan peralatan lengkap, perawat / dokter yang berpengalaman(29). b. Treprostinil Adalah suatu analog prostasiklin dengan half-life 3 jam. Obat stabil pada suhu kamar dan dapat diberikan secara subkutan. Untuk menguji hipotesa efek hemodinamik treprostinil sama dengan epoprostenol, 14 pasien dengan epoprostenol iv dan kemudian treprostinil iv, kedua obat memberikan efek hemodinamik yang sama. Penurunan 22% PVR dengan epoprostenol dan 20% dengan treprostinil. Untuk menguji pemberian treprostinil secara iv atau subkutan, pada 25 pasien HPP. Penurunan mPAP 6% secara iv dan 13% dengan sc. Dan penurunan PVR 23% secara iv dan 28% secara sc(30). Suatu klinikal trial, random plasebo-kontrol, selama 8 minggu, treprostinil sc, 15 pasien HPP dengan dosis 1,33,1 ng/kg/min dan 9 dengan placebo. Perbaikan 6WT dengan treprostinil sc (37±17 m) dibanding placebo terjadi penurunan (379 m jadi 384 m), juga perbaikan hemodinamik dengan penurunan 20 % PVR. Efek samping seperti sakit kepala, diare, flushing sama seperti epoprostenol, disamping nyeri dan eritem pada tempat penyuntikan. Pemberian secara subkutan ini lebih aman dan efektif pada pasien terutama rawat jalan(18,30). Studi random kontrol-plasebo terbesar (international trial) pemberian treprostinil sc, November 1998 - Oktober 1999 pada 24 senter di North America dan 16 senter di Europe, Australia, dan Israel. 470 pasien secara randam mendapatkan treprostinil sc ditambah terapi konvensional atau placebo (tanpa treprostinil). Setelah 12 minggu, terdapat perbaikan 6 WT pada terapi trepostinil dan tak ada perobahan pada placebo. Juga perbaikan signifikan pada hemodinamik (mRAP, mPAP, cardiac index dan saturasi oksigen(30). c. Iloprost Inhalasi Iloprost adalah prostasiklin analog dengan bentuk kimia stabil, yang tersedia dalam bentuk intravena, oral dan aerosol. Half-live dalam serum 20-25 min. Bentuk inhalasi dalam pengobatan HP adalah konsep yang baik dan praktis dalam
25
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
penggunaan klinik. Iloprost inhalasi mempunyai efek vasodilator yang lebih poten dibandingkan dengan NO inhalasi. Illoprost inhalasi mempunyai aksi yang lebih pendek sehingga pemberiannya bisa 6 sampai 9 kali sehari(16,30). Penelitian selama 3 bulan pada 19 pasien HP dengan berbagai sebab, iloprost inhalasi dengan dosis 50-200 µg perhari (6-12 kali inhalasi perhari), terbukti memperbaiki fungsional klas, kapasitas latihan dan hemodinamik paru. Pada penelitian lain, penelitian selama 1 tahun, tanpa kontrol pada 24 pasien dengan aerosol iloprost dosis 100-150 µg dalam 6-8 kali pemberian perhari terbukti memberikan hasil yang sama. Suatu penelitian random, double-blind, placebokontrol, multisenter di Eropah(30), sebanyak 203 pasien HPP, dengan dosis illoprost 250 µg atau 500 µg perhari dalam 6-9 kali pemberian, terbukti perbaikan 6WT 59 meter dan perbaikan fungsional klas, perbaikan kualitas hidup (p < 0.05) dibandingkan dengan kelompok kontrol. d. Beraprost Beraprost adalah analog prostasiklin secara kimia stabil dan aktif untuk oral. Diabsorbsi secara cepat dalam keadaan puasa, konsentrasi puncak tercapai setelah 30 menit dan half life 35-40 menit setelah pemberian. Sejak tahun 1995, beraprost telah digunakan sebagai terapi di Jepang. Dalam suatu studi retrospektif, Nagaya et al melaporkan perbaikan kualitas hidup 24 pasien HPP dengan beraprost dibandingkan dengan 34 pasien dengan terapi konvensional. 2 studi random, double-blind, kontrol placebo beraprost pada HPP. Studi pertama selama 12 minggu, 130 orang pasien dengan NYHA fungsional klas II dan III Beraprost (dosis rata-rata 80 mg po qd) memperbaiki kapasitas latihan dan 6 WT 45 m pada pasien HPP. Studi kedua evaluasi efek beraprost pada pasien HPP, dengan 116 pasien fungsional klas II dan III, selama 12 bulan, double-blind, random, kontrol plasebo. Hasil studi ini menunjukan perlambatan progresifitas penyakit selama 6 bulan, perbaikan ketahanan 6 WT dibandingkan placebo. Tidak ada perubahan yang signifikan terhadap hemodinamik pulmonal (30,31).
26
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
3. Antagonis Reseptor Endotelin Pada penelitian terakhir Antagonis reseptor Endotelin efektif dalam mengobati hipertensi pulmonal, karena banyaknya bukti peranan patogenik endotelin-1 pada hipertensi pulmonal. Endothelin-1 adalah suatu vasokonstriktor yang poten, dan mitogen pada otot polos yang menyebabkan meningkatnya tonus vaskuler dan hipertrofi vaskuler paru. Dalam studi kontrol kecil pasien IPAH, konsentrasi endothelin plasma berkorelasi dengan PAP and PVR, berkorelasi juga dengan kapasitas latihan(16,1829,30). a. Bosentan Penelitian pertama, random, double-blind, control-placebo, multisenter (2 di US dan 1 di Perancis), menilai efek bosentan terhadap kapasitas latihan dan hemodinamik kardiopulmonal, menilai keamanan dan tolerabilitas pada pasien HPP berat(31). Sebanyak 32 pasien mendapatkan bosentan dan plasebo (2:1 ratio). Bosentan 62.5 mg bid selama 4 minggu, dilanjutkan sampai dosis 125 mg bid. Setelah 12 minggu kelompok terapi bosentan perbaikan ketahanan 6 WT sampai 70 m, dimana tidak ada perubahan dengan plasebo. Perbaikan hemodinamik kardiopulmonal dan penurunan signifikan PVR, penurunan mPAP, penurunan tekanan rata-rata atrium kanan. Dibandingkan kelompok plasebo secara kontras terjadi peningkatan ketiga komponen tersebut. Studi bosentan kedua, doubleblind, control-placebo, mengevaluasi 213 pasien, bosentan 125 bid atau 250 mg bid paling kurang selama 16 minggu. Studi dilakukan di 27 senter di Eropa, Amerika utara, Israel dan Australia. 144 pasien mendapatkan bosentan dan 69 pasien mendapatkan placebo. Terlihat perbaikan ketahanan 6 WT pada pasien terapi bosentan 36 menter sedangkan pada terapi placebo -8 m, tidak ada perbedaan efek yang signifikan sehubungan dengan dosis. Efek samping dari bosentan adalah peningkatan
kadar
alanine
aminotransferase
dan/atau
aspartate
amino
transferase. Gangguan fungsi hati ini berkorelasi dengan dosis, dimana lebih sering terjadi dengan bosentan 250 mg bid. Dan efeknya transien, sehingga USFDA merekomendasikan pemeriksaan fungsi hati paling tidak 1 bulan sebelum terapi (30).
27
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
b. Sitaxsentan Penelitian random, double-blind, kontrol-plasebo, selama 12 minggu, sitaxsentan pada 178 pasien HPP fungsional klas II, III dan IV NYHA, dengan dosis 100 mg po qd, atau 300 mg po qd. Perbaikan fungsional klas dan perbaikan 6 WT, 35 m dengan dosis 100 mg dan 33 m dengan dosis 300 mg (p<0,01). Penurunan yang signifikan PVR dan meningkat pada placebo. Perbaikan yang sama fungsional klas, dan hemodinamik pada kedua kelompok dosis(30). Efek samping terapi dengan sitaxsentan berupa abnormalitas fungsi hati, sakit kepala, edem perifer, nausea, nasal kongestan dan pusing. c. Ambrisentan Suatu studi blind selama 12 minggu penggunaan ambrisentan dosis (1, 2.5, 5, atau 10 mg perhari) terbukti memperbaiki ketahanan 6 WT dan fungsional klas. Studi kedua, 12 minggu, random, double-blind, plasebo-kontrol, multisenter, efikasi ambrisentan pada pasien HAP. Ambrisentan 5/10 mg sekali sehari. Selama followup terbukti perbaikan yang signifikan ketahanan 6 WT dan perbaikan fungsional klas. Tidak terdapat peningkatan transaminase hati (30). 4. Phosphodiesterase Inhibitor Mekanisme yang memodulasi cyclic guanosine 3-5 monophosphate (cGMP) di dalam otot polos vaskuler memainkan peranan dalam regulasi tonus, pertumbuhan dan struktur vaskuler paru. Efek vasodilator NO tergantung pada kemampuannya untuk meningkatkan dan mempertahankan cGMP yang ada pada vaskuler. Sekali diproduksi, NO secara langsung mengaktifasi guanylate cyclase, yang meningkatkan produksi cGMP. cGMP kemudian mengaktifasi cGMP kinase, membuka kanal potassium, dan menyebabkan vasorelaksasi. Efek intraseluler cGMP sangat singkat, sehingga didegradasi cepat oleh phosphodiesterase. Phosphodiesterase merupakan famili enzim yang menghidrolisa cyclic nucleotides, cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan cGMP, dan membatasi signal intraseluler dengan menghasilkan produk inaktif 5-adenosine monophosphate dan 5-guanosine monophosphate. Bagaimanapun juga obat-obat yang menginhibisi spesifik cGMP
28
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
phosphodiesterase (phosphodiesterase type 5 inhibitors) meningkatkan respon vaskuler paru pada NO inhalasi dan endogen pada hipertensi pulmonal.(16,18,29) a. Dipyridamole Studi terdahulu mendemonstrasikan bahwa dipyridamole dapat menurunkan PVR, menurunkan hipertensi pulmonal dan meningkatkan atau memperpanjang efek inhalasi NO pada anak dengan hipertensi pulmonal. Pasien yang gagal dengan inhalasi NO maka dikombinasi dengan dipyridamole(30). Hasil ini menyokong bahwa inhibisi phosphodiesterase type 5 bisa menjadi suatu strategi klinik yang efektif untuk terapi HPP. b. Sildenafil Sildenafil adalah suatu inhibitor phosphodiesterase type 5 yang poten dan lebih spesifik, telah terbukti efektif dan aman untuk terapi disfungsi ereksi. Berdasarkan perkembangnya pemahaman aktifitas phosphodiesterase type 5 dalam sirkulasi paru, suatu studi klinik tanpa kontrol menguji efek hemodinamik akut sildenafil dan potensinya dalam terapi jangka panjang pasien HPP. Dilaporkan bahwa sildenafil memblok vasokonstriksi paru hipoksik pada dewasa sehat dan menurunkan mPAP pasien PAH(30,33) . Michelakis et al mempelajari efek sildenafil pada 13 pasien HPP, melaporkan penurunan mPAP dan PVR, dan meningkatnya kardiak indek. Perbandingan dengan inhalasi NO, sildenafil juga mempunyai efek hemodinamik sistemik dan bila dikombinasi dengan inhalasi NO meningkatkan dan memperpanjang efek NO sehingga dapat mencegah rebound vasokonstriksi setelah memberian inhalasi NO(34). Dalam suatu studi dengan mengkombinasikan inhalasi sildenafil dengan iloprost dilaporkan terjadi penurunan yang besar mPAP dan PVR dibanding bila diberikan tunggal. Bharani et all mengobati 10 pasien dengan sildenafil atau placebo selama 2 minggu, terlihat perbaikan yang signifikan 6 WT dan menurunnya sistolik PAP secara ekokardiografi. Studi lain(35) 29 pasien yang diterapi dengan sildenafil (25-100 mg tid) selama 5-20 bulan dilaporkan perbaikan fungsional klas NYHA dan 6 WT.
29
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
4. NO dan Arginine Pentingnya NO terutama dalam adaptasi normal sirkulasi paru saat lahir. Gangguan NO akan berkembang menjadi neonatal hipertensi pulmonal. NO terus menerus memodulasi tonus dan struktur vaskuler paru sepanjang hidup. NO juga memiliki aktifitas antiplatelet, anti inflamasi dan antioksidan, juga memodulasi efek angiogenesis. NO dihasilkan dalam 3 bentuk NO synthase (NOS), yang muncul dalam sel multiple dan terus menerus aktif (type I dan III) dalam endotelium atau “inducible” (type II) pada sel lainnya seperti makrofag, epitel bronkus dan otot polos vaskuler. Regulasi NOS komplek dan termasuk growth factors hormon (seperti vascular endothelial growth factor), tekanan oksigen, hemodinamik, dan faktor lainnya. Sudah jelas bahwa amino acid, L-arginine, adalah substansi NOS, maka itu penting untuk produksi NO(30,36). Arginine eksogen diperlukan untuk memproduksi NO. Arginine masuk dalam sel dangan transport aktif dan defek pada mekanisme transpor berkontribusi pada ketergantungan arginine dengan meningkatnya kadar ekstraseluler untuk memenuhi kebutuhan(36). Dalam endotel, transpor arginin secara kuat berikatan dengan NOS, bila ikatan ini rusak oleh karena injuri endotel maka kadar normal ekstraseluler mungkin
berkurang
untuk
memproduksi
NO.
Defisiensi
Arginine
telah
memperlihatkan terjadinya PH dan infuse L-arginine (500 mg/kg selama 30 menit pada bayi hipertensi pulmonal terjadi peningkatan PaO2 selama lebih 5 jam. Apakah suplemen arginin jangka panjang dapat mengurangi injuri vaskuler dan menyebabkan perbaikan struktur sirkulasi paru pada pasien PAH belumlah jelas(37). a. NO inhalasi Merupakan suatu vasodilator pulmonal selektif, diberikan secara inhalasi dengan waktu paruh singkat, hal ini bermanfaat sebagai tes vasodilator pada pengobatan hipertensi pulmonal. Efek inhalasi NO pada pasien hipertensi pulmonal primer memperlihatkan perbaikan dalam parameter hemodinamik, efek jangka panjang belum diteliti namun beberapa pasien tampak menunjukan manfaat dengan terapi tersebut untuk jangka lama(30,35)
30
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
b. Suplemen Arginine Pemberian L-arginine (500 mg/kg infuse selama 30 menit) pada 10 pasien HPP menghasilkan penurunan mPAP sampai 15.8 ± 3.6% (p < 0.005) dan PVR sampai 27 ± 5.8% (p < 0.005), dibandingkan dengan titrasi prostasiklin saja sampai dosis maksimal penurunan mPAP 13.0 ± 5.5% (p < 0.005) dan PVR 46.6 ± 6.2% (p < 0.005). Infus L-arginine mengurangi mPAP dengan memediasi vasodilatasi oleh NOS. Studi yang dipublikasikan oleh Nagaya et al mendukung bahwa suplemen oral L-arginine (0.5 g/10 kg BB) memberikan efek yang menguntungkan pada hemodinamik dan kapasitas latihan. 19 pasien diterapi Oral L-arginie (1.5 g/10kg BB perhari), setelah 1 minggu meningkatkan L-citrulline plasma secara signifikan dimana menunjukan meningkatnya produksi NO. L-arginine menimbulkan penurunan 9% mPAP (53 ±4 sampai 48±4 mm Hg, p < 0.05) dan penurunan 16% PVR (30). 5.
Terapi Bedah Atrial Septostomi dan Transplantasi paru Atrial septostomi adalah membuat suatu right-to-left interatrial shunt untuk mengurangi tekanan dan volume overload
di jantung kanan(38). Dengan
berkembangnya strategi terapi obat, maka atrial septostomi hanyalah suatu prosedur paliatif atau sebagai permulaan untuk tranplantasi paru. Pemilihan pasien, waktu dan perkiraan ukuran septostomi adalah hal yang masih krusial. Tranplantasi jantung-paru terutama untuk PAH yang gagal dengan semua strategi terapi. Survival pasien PAH yang mengalami tranplantasi paru kira-kira 66%-75% pada 1 tahun pertama. Dan yagn paling sering adalah bilateral transplantasi.
31
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
Gambar 8.Algoritma terapi hipertensi pulmonal primerkutip 10
32
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. HPP adalah kelainan paru yang jarang dan sering lambat terdiagnosis. Dimana tekanan arteri pulmonalis > 25 mmHg saat istrahat, dan > 30 mmHg saat latihan, tidak ditemukan faktor-faktor resiko. 2. Kelainan vaskuler HPP berupa proliferasi sel-sel vaskuler, vasokonstriksi, dan trombosis in situ. Secara patologi kelainan spesifik vaskuler pada HPP berupa lesi fleksogenik arteriopati. 3. Tiga patofisiologi terjadinya hipertensi pulmonal primer ; ketidakseimbangan mediator-mediator vasoaktif, faktor lingkungan dan faktor genetic. Anoreksigen menyebabkan epidemic hipertensi pulmonal di tahun 1960an dan tahun 1990an. 4. Diagnosis HPP komplek, pemeriksaan non invasive harus dilakukan untuk passien yang diduga HP. Tes berjalan 6 menit sederhana dan mudah dilakukan dapat digunakan untuk menilai kapasitas latihan, diagnosis dan prognosis. Tepatnya kateterisasi jantung kanan direkomendasikan untuk diagnosis PAH dan eklusi penyebab. 5. Strategi terapi HPP sama dengan strategi terapi untuk HAP oleh sebab lainnya, yaitu terapi konvensional, CCB, dan terapi sesuai patofisiologi: jalur prostasiklin, jalur endotelin dan jalur nitrik oksid. Saran 1. Perlunya mempertimbangkan suatu diagnosis hipertensi pulmonal primer pada pasien yang dicurigai hipertensi arteri pulmonal 2. Hati-hati dan waspada dengan banyaknya obat penurun nafsu makan yang beredar di pasaran yang dapat mencetuskan hipertensi pulmonal primer 3. Perlu adanya pencatatan dan penelitan kasus hipertensi pulmonal primer
33
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
KEPUSTAKAAN 1.
Arsyad Z. Hipertensi Pulmonal Primer, Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 3, FKUI, Jakarta 2006, Hal ; 1072
2.
Diah M., Ghanie A, Hipertensi Pulmonal Primer Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 3, FKUI, Jakarta 2006, Hal ; 1697-1702
3.
Gaine SP, Rubin LJ. Primary Pulmonary Hypertension. Lancet 1998;352:719-25.[Erratum, Lancet 1999;353:74.] and in N Engl J Med 1997;336:111-17
4.
Rich S (Ed.). World Health Organisation : Primary Pulmonary Hypertension–Executive Summary, World Symposium, Primary Pulmonary Hypertension 1998. Available At: Http://Www.Who.Int/Ncd/Cvd/Pph.Html (Accessed Nov 2003).
5.
Stewart S, Murphy N, Mcmurray JJ. Incidence, Prevalence And Prognostic Impact Of Pulmonary Arterial Hypertension: A Population-Based Study (Abstract). Eur Heart J 2004: In Press
6.
Fishman, AP Historical Perspective : A Century Of Primary (Idiopathic) Pulmonary Hypertension In Pulmonary Hypertension, Text Book, Boston University, Boston, MA, 2008, 1-13
7.
Eugene J. Mark, MD., Eva D. Patalas, MD., Howard T. Chang , MD, Ph.D., Fatal Pulmonary Hypertension Associated With Short-Term Use Of Fenfluramine And Phentermine 1997 Massachusetts Medical Society. NEJM, Vol 337, No.9, 602-607
8.
Darren B. Taichman, Md, Phda, Jess Mandel, Md, Epidemiology Of Pulmonary Arterial Hypertension Clin Chest Med 28 (2007) 1–22
9.
Souza R, Humbert M, Pavec JL., Et Al. Pulmonary Arterial Hypertension Associated With Fenfluramine Exposure : Report Of 109 Cases, Eur Respir J, 2008,31 ; 343-348.
10.
Vallerie V. Mclaughlin, MD; Michael D. Mcgoon, MD, Reviews In Cardiovascular Medicine : Pulmonary Arterial Hypertension, Circulation 2006;114;1417-1431
11.
Harrison W. Farber, 534 –538 Pathophysiology of Pulmonary Arterial Hypertension In Pulmonary Hypertension, Text Book, Boston University, Boston, MA, 2008, 51-72
12.
Simon Stewart Phd, Carol Black MD, Keith Mcneil, Disease Background And Epidemiology Of Pulmonary Arterial Hypertension, In Pulmonary Arterial Hypertension: A Pocketbook Guide, London And New York A Martin Dunitz Book 2005, Page ;4
13.
Harrison W. Farber, M.D., And Joseph Loscalzo, M.D., Ph.D. Review Article ; Mechanisms Of Disease Pulmonary Arterial Hypertension N Engl J Med 2004;351:1655-65
34
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
14.
Simonneau G, Galie N, Rubin LJ, Et Al. Clinical Classification Of Pulmonary Hypertension. J Am Coll Cardiol 2004;43:Suppl S:5S-12S
15.
Rubin M. Tuder, MD, John C. Marecki, PhD,Amy Richter, Iwona Fijalkowska, PhD, Sonia Flores, PhD, Pathology of Pulmonary Hypertension, Clin Chest Med 28 (2007) 23–42
16.
Nazzareno Galie` (Chairperson), Adam Torbicki, Robyn Barst, et al, Guidelines on diagnosis and treatment of pulmonary arterial hypertension, The Task Force on Diagnosis and Treatment of Pulmonary Arterial Hypertension of the European Society of Cardiology, European Heart Journal (2004) 25, 2243–2278
17.
Peter F. F Edullo, M.D., William R. Auger, M.D., Kim M. Kerr, M.D.,And Lewis J. Rubin, M.D Current Concepts Chronic Thromboembolic Pulmonary Hypertension, N Engl J Med, 2001,Vol. 345, No. 20 ;1465-1472
18.
Marc Humbert, M.D., Ph.D., Olivier Sitbon, M.D., and Gérald Simonneau, M.D. review article, drug therapy, Treatment of Pulmonary Arterial Hypertension, N Engl J Med 2004;351:1425-36
19.
David Langleben, MD, FRCPC Endothelin Receptor Antagonists in the Treatment of Pulmonary Arterial Hypertension Clin Chest Med 28 (2007) 117–125
20.
Big Endothelin-1 And Endothelin-1 Plasma Levels Are Correlated With The Severity Of Primary Pulmonary Hypertension. Chest. 2001;120:1562–1569
21.
Mark J.D. Griffiths, M.R.C.P., Ph.D., and Timothy W. Evans, M.D., Ph.D Review Article, Drug Therapy, Inhaled Nitric Oxide Therapy In Adults. N Engl J Med 2005;353:2683-95
22.
Marcos E, Fadel E, Sanchez O, Humbert M, Dartevelle P, Simonneau G, Hamon M, Adnot S, Eddahibi S. Serotonin-Induced Smooth Muscle Hyperplasia In Various Forms Of Human Pulmonary Hypertension. Circ Res.2004;94:1263–1270
23.
Gunaydin S, Imai Y, Takanashi Y, Et Al. The Effects Of Vasoactive Intestinal Peptide On Monocrotaline Induced Pulmonary Hypertensive Rabbits Following Cardiopulmonary Bypass: A Comparative Study With Isoproteronol And Nitroglycerine. Cardiovasc Surg 2002;10:138–45.
24.
C. Gregory Elliott, MD; Eric W. Glissmeyer, BS; Gregory T. Havlena, BS; John Carlquist, PhD; Jason T. McKinney, MS; Stuart Rich, MD; Michael D. McGoon, MD; Mary Beth Scholand, MD; Relationship of
BMPR2 Mutations to Vasoreactivity in Pulmonary Arterial Hypertension,
Circulation 2006;113;2509-2515 25.
Miryoung Kim, BS; Robert L. Jensen, PhD; Jon W. Schmidt; Kenneth Ward, MDMcGoon M, Gutterman D, Steen V, et al. Screening, early detection, and diagnosis of pulmonary arterial hypertension—ACCP evidence-based clinical practice guidelines. Chest 2004; 126:14S–34S.
35
w.
A B B Y Y.c
om
Y
F T ra n sf o
A B B Y Y.c
bu to re he C
lic
k
he k lic C w.
om
w
w
w
w
rm
y
ABB
PD
re
to
Y
2.0
2.0
bu
y
rm
er
Y
F T ra n sf o
ABB
PD
er
Y
26.
Eduardo B., Bruno DB. Alfredo M and Luigi A. Pulmonary Arterial Hypertension : The key Role of Echocardiography, Chest, 2005, 127;1836-1843
27.
Raymond RJ, Hinderliter AL, Willis PW, et al. Echocardiographic predictors of adverse outcomes in primary pulmonary hypertension. J Am Coll Cardiol 2002; 39:1214–9.
28.
Gibbs JSR, Higenbottam TW for the British Cardiac Society Guidelines and Medical Practice Committee. Recommendations on the management of pulmonary hypertension in clinical practice. Heart 2001; 86 (Suppl I):i1–i13.
29.
Ronald J. Oudiz, Diagnostic Approach to Pulmonary Arterial Hypertension, In Pulmonary Hypertension, Text Book, Boston University, Boston, MA, 2008, 33-50
30.
Rubin LJ. Diagnosis and management of pulmonary arterial hypertension: ACCP evidencebased clinical practice guidelines. Chest 2004; 126: 4S–6S.
31.
David B. Badesch, MD, FCCP; Steve H. Abman, MD; Gregory S. Ahearn, MD et al Medical Therapy For Pulmonary Arterial Hypertension, ACCP Evidence-Based Clinical Practice Guidelines, Chest 2004;126;35-62
32.
Barst RJ, McGoon M, McLaughlin V, et al. Beraprost therapy for pulmonary arterial hypertension. J Am Coll Cardiol 2003; 41:2119–2125
33.
Rubin LJ, Badesch DB, Barst RJ, et al. Bosentan therapy for pulmonary arterial hypertension. N Engl J Med 2002; 346:896–903
34.
Nazzareno Galiè, M.D., Hossein A. Ghofrani, M.D., Adam Torbicki, M.D., original article ; Sildenafil Citrate Therapy for Pulmonary Arterial Hypertension N Engl J Med 2005;353:2148-57
35.
Sastry BK, Narasimhan C, Reddy NK, et al. A study of clinical efficacy of sildenafil in patients with primary pulmonary hypertension. Indian Heart J 2002; 54:410–414
36.
James R. Klinger, MD The Nitric Oxide/cGMP Signaling Pathway in Pulmonary Hypertension, Clin Chest Med 28 (2007) 143–167
37.
Arnal JF, Munzel T, Venema RC, et al. Interactions between L-arginine and L-glutamine change endothelial NO production: an effect independent of NO synthase substrate availability. J Clin Invest 1995; 95:2565–2572
38.
Mehta S, Stewart DJ, Langleben D, et al. Short-term pulmonary vasodilation with L-arginine in pulmonary hypertension.Circulation 1995; 92:1539–1545
39.
Jeffrey S. Sager, MD, MSCEa,*, Vivek N. Ahya, MD Surgical Therapies for Pulmonary Arterial Hypertension, Clin Chest Med 28 (2007) 187–202
36
w.
A B B Y Y.c
om