Hin2.pdf

  • Uploaded by: Independent 2017
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hin2.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 50,898
  • Pages: 198
UNIVERSITAS INDONESIA KEGAGALAN FORMULASI KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DAN LEPASNYA PULAU SIPADAN LIGITAN DARI INDONESIA TAHUN 2002 DALAM PERSPEKTIF GEOPOLITIK NEGARA KEPULAUAN

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Politik

KURNIAWAN SETYANTO 1006745423

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK PROGRAM PASCASARJANA ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA JAKARTA NOVEMBER 2012

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

KATA PENGANTAR

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh terjadinya peristiwa permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan- Ligitan antara Indonesia dan Malaysia yang berlangsung selama 33 tahun dari tahun 1969 sampai dengan tahun 2002. Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk mengangkatnya sebagai topik dalam tesis ini. Selain minat khusus terhadap topik dalam tesis ini, penulis ingin menjunjung kembali akan rasa nasionalisme kebangsaan. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia wilayah teritorialnya harus tetap dipertahankan dari klaim negara lain. Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan nikmat dan rahmat-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis dengan judul “ Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif Geopolitik Negara Kepulauan”. Tesis ini disusun guna memenuhi persyaratan untuk menyelesaikan pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia pada Program Studi Ilmu Politik. Penulis berharap saran dan kritik yang membangun demi perbaikan dan kesempurnaan tesis ini, sehingga lebih bermanfaat bagi penelitian selanjutnya. Penulis menyadari dengan keterbatasan waktu, karena penulis disibukkan dengan aktivitas pekerjaan, maka penelitian ini mungkin jauh dari rasa memuaskan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini dapat diselesaikan bukan semata-mata karena faktor pribadi, tetapi juga karena adanya banyak pihak yang telah membantu. Pada kesempatan ini penulis pertama-tama mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua tercinta ( Bapak Djunawan (Almarhum) dan Ibu Sartini) yang telah memberikan doa, masukan dan dukungan semangat moril dan materiil, sehingga cita-cita melanjutkan S2 di Universitas Indonesia dapat diraih dan Alhamdulillah selesai dengan lancar selama mengikuti perkuliahan sampai dengan

iv

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

proses penulisan tesis ini. Semoga doa orang tua kepada penulis agar menjadi orang yang jujur, disiplin, bertanggungjawab

dan menjadi Perwira Angkatan Darat

yang

tangguh dan trengginas serta mengembalikan kejayaan negara dan bangsa Indonesia demi menuju tercapainya masyarakat yang aman, adil, makmur dan sejahtera dapat terwujud sesuai dengan cita-cita penulis dan para pendiri bangsa Indonesia. Kepada istri ( Niko Fitria, S.H.) yang selama ini selalu memberikan doa, semangat dan masukan saran. Selama proses penyelesaian penulisan tesis ini mungkin sering menerima limpahan emosi, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Penulis juga tidak lupa mengucapkan kepada keluarga besar yang telah memberikan doa dan dorongan semangat. Kepada Mas Bakuh Prakoso

(adik kandung kesembilan dari Jenderal TNI

(Purn) Djoko Santoso) dan keluarga besar di Solo yang selama ini dari awal telah memberikan semangat dan doa selama pertama kali menjadi seorang Perwira AD dan memberikan saran yang baik dalam proses pemilihan jurusan saat mendaftarkan tes masuk S2 di Universitas Indonesia. Kepada Brigjen TNI Tisyanto, S.H., M.H. (Dirkumad) yang telah memberikan motivasi belajar, memberikan tambahan referensi dan memberikan ijin mengikuti perkuliahan. Kepada Mayjen TNI S. Supriyatna, S.H., M.H (Kababinkum TNI) yang telah memberikan motivasi belajar, doa dan semangat serta memberikan ijin mengikuti perkuliahan. Kepada Kolonel Chk Mulyono, S.H., S.IP., M.H. (Wadirkumad) yang selama ini memberikan motivasi belajar dan semangat untuk tetap berbuat yang terbaik serta menjadi orang yang amanah dan disiplin. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kolonel Chk Agus Dhani MD, S.H., M.Hum (Sesditkumad) yang selama ini memberikan arahan dan motivasi.

v

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Kepada seluruh Perwira atasan dan anggota Ditkumad yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang selama ini memberikan semangat dan membantu dalam proses penyelesaian penulisan tesis ini. Kepada Rektor dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia beserta staff yang telah memberikan pelayanan serta fasilitas terbaik selama penulis menempuh kegiatan perkuliahan. Kepada Bapak Meidi Kosandi, S.IP., M.A

sebagai pembimbing Reading

Course dan tesis (pertengahan karena sebelum penulisan tesis sempurna Bapak Meidi melanjutkan pendidikan di Jepang) yang selama ini memberikan masukan dan saran serta diskusi selama melaksanakan bimbingan Reading Course dan tesis (sebagian dari bab dalam tesis telah mendapat persetujuan). Kepada Bapak Cecep Hidayat, S.IP., IMRI sebagai pembimbing tesis yang selama ini mengorbankan waktu dan tenaga untuk melanjutkan bimbingan dan memberikan koreksi, saran dan masukan serta diskusi, sehingga tesis dapat diselesaikan tepat waktu. Dari diskusi dan berbagai masukan dari beliau sangat membantu dalam menyelesaikan tesis ini. Kepada Ketua dan Sekretaris Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI, masing-masing Ibu Dr. Valina Singka Subekti, M.Si dan Bapak Syaiful Bahri, S.Sos., M.Si, saya mengucapkan terima kasih atas segala masukan yang diberikan selama proses pengerjaan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staf Sekretariat yang telah memberikan informasi dan kepada staf pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI yang telah memberikan transfer ilmu pengetahuan selama mengikuti proses belajar selama perkuliahan berlangsung. Kepada Bapak Prof. Dr. Burhan D. Magenda, MA sebagai Penguji Ahli yang telah memberikan masukan positif bagi penulisan tesis ini. Sehingga tesis ini dapat disusun secara sistematis.

vi

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Kepada seluruh teman-teman di Pascasarjana Ilmu Politik UI Angkatan 2010, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bentuk bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung selama dalam proses pengerjaan dan penyelesaian tesis ini. Ucapan terima

kasih khususnya kepada Mas Eko,

Mas Ridho, Mas Lukman,

Mas

Agung, Mbak Sarifah, Mas Moudy yang telah memberikan dukungan dan masukan kepada penulis. Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Ibu Megawati Soekarnoputri (melalui Sekjen PDI Perjuangan Bapak Tjahjo Kumolo), Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Bapak Hassan Wirajuda (mantan Menlu RI), Bapak Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKB), Letjen TNI

(Purn) Syaiful Rizal

(mantan Pangdam IX/Udayana dan Dankodiklat TNI AD) dan Letjen TNI (Purn) Hadi Waluyo (mantan Pangdam VI/Mulawarman dan Pangkostrad) serta narasumber dari Departemen Luar Negeri yaitu Dian Triansyah Djani, MA (Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN) yang ikut terlibat selama proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan narasumber dari Departemen Pertahanan yaitu Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah (Peneliti Puslitbang SDM Balitbang Dephan yang mengikuti proses lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan).

Jakarta,

November 2012 Penulis

vii

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

ABSTRAK Nama Program Studi Judul

: Kurniawan Setyanto : Ilmu Politik : Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif Geopolitik Negara Kepulauan, xvi+182halaman, 45 buku, 2 jurnal,9 artikel koran, 3 majalah, 11 sumber online, 8 wawancara narasumber.

Tesis ini dilatarbelakangi oleh sengketa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan persoalan konflik yang bermuara dari persengketaan dua negara yaitu antara Indonesia dan Malaysia terhadap suatu wilayah yang mana klaim terhadap wilayah tersebut dilandasi oleh tujuan memperoleh keuntungan dan penguatan negara melalui penambahan wilayah. Indonesia dan Malaysia menghadapi sengketa wilayah selama 33 tahun, yakni sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 2002. Pada bulan Desember 2002, Mahkamah Internasional memutuskan untuk memberikan hak kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan kepada Malaysia. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan teori kebijakan publik, teori kebijakan politik luar negeri dan teori geopolitik. Tesis ini lebih menekankan pada teori kebijakan politik luar negeri Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yang menerapkan pula metode historis dan analisis interpretatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Dalam penelitian ini digunakan alat pengumpulan data dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang terkait dengan pokok permasalahan baik berupa buku, surat kabar, majalah, website dan sebagainya yang dikumpulkan dan diolah berdasarkan klasifikasi masalahnya. Data-data yang mendukung penelitian ini akan dikonseptualisasikan, digenerelasikan, dan dianalisis dengan menggunakan kerangka pemikiran yang ada. Perundingan bilateral ditempuh sebagai upaya penyelesaian melalui jalur politik diplomasi, menjadi tidak efektif ketika Indonesia dan Malaysia memiliki tujuan yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Ketidakefektifan dan kebuntuan perundingan bilateral ini membuka jalan bagi penyelesaian melalui jalur hukum melalui Mahkamah Internasional (International Court Justice).Penyelesaian sengketa ini ke Mahkamah Internasional (International Court Justice) adalah jalan damai yang ditempuh oleh kedua negara untuk menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang sudah cukup lama. Kegagalan formulasi kebijakan Pemerintah Indonesia mengakibatkan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia. Indonesia adalah negara kepulauan dan banyaknya wilayah perbatasan yang dimiliki Indonesia, ke depan harus mampu dikelola tidak hanya melalui pendekatan pertahanan dan keamanan namun juga menggunakan pendekatan pembangunan ekonomi wilayah perbatasan. Kata kunci: Kebijakan Pemerintah, Sengketa, Pulau Sipadan-Ligitan

ix

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

ABSTRACT Name : Kurniawan Setyanto Study Programme : Political Science Title : The Failed of Formulating Indonesia Foreign Policy and The Lose of The Sipadan-Ligitan Islands from Indonesian at Year 2002 in Perspective of Geopolitics Archipilagic Country, xvi+182 pages,45 books, 2 journals, 9 articles, 3 magazine, 11online sources, 8 respondents interview. This thesis are directed by dispute on the Sipadan-Ligitan islands was a conflict derived from dispute between two countries, there are Indonesia and Malaysia over the territory, in which the claim on the territory was based on the intention of gaining benefits and nation reinforcement through territorial extension. Indonesia and Malaysia faced this territorial dispute for 33 years, since year 1969 up to year 2002. In December 2002, the International Court Justice decided to give the ownership right of the Sipadan -Ligitan islands to Malaysia. As the theoritical basis, this research used public policy theory, foreign policy theory and geopolitical theory. This thesis more press up that Indonesian foreign policy theory. The method of data collection used in this research was the library research method. This research, the researcher also used equipment for collecting the documentation data by searching for data about items or variables related to the main problems from books, newspaper, magazine, websites and the others. The data that supported the research was conceptualized, generalized and analyzed using the available frameworks. The bilateral negotiation taken as an effort to settle problem through diplomatic course became uneffective when both Indonesia and Malaysia had an opposing intention that could not be compromised. The uneffectiveness and dead lock of the bilateral negotiation had given way to the settlement of the dispute through the law course by the International Court Justice. The settlement to International Court Justice was a peace way taken by both countries to solve their long term problem Sipadan-Ligitan islands. The failed of formulating policy Indonesian Government resulting the release SipadanLigitan islands. Indonesia is archipilagic countries and has many territorial border that, in the future, should be good managed, not only through defense and security approaches but also through those of economics development of the territories. Keywords: Government Policy, Conflict, Sipadan-Ligitan Islands

x

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ... .......................................................................................................... . ..i PERNYATAAN ORIGINALITAS... ................................................................................... . . ii LEMBAR PENGESAHAN... ................................................................................................ . ..iii KATA PENGANTAR............................................................................................................. . .iv LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... ...................................... ...viii ABSTRAK... ............................................................................................................................. . .ix ABSTRACT...................................................................................................................................x DAFTAR ISI............................................................................................................................. .. .xi 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah... .................................................................................................... .1 1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................... . .4 1.3 Tujuan Penelitian... ........................................................................................................12 1.4 Signifikansi Penelitian... ............................................................................................. ..12 1.5 Kerangka Teori... ...........................................................................................................13 1.5.1 Kebijakan Publik dilihat dari Formulasi Kebijakan... .................................... . .13 1.5.2 Kebijakan Politik Luar Negeri........................................................................... .17 1.5.2.1 Realisme Politik oleh Hans J. Morgenthau....................................... ...19 1.5.3 TeoriGeopolitik... ............................................................................................. . ..21 1.5.3.1 Teori Geopolitik Hans J. Morgenthau... ................................................... . ..25 1.5.4 Teori Hukum Internasional... ...............................................................................26 1.5.5 Teori Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia... .......................................... ..27 1.5.6 Teori Regional Coorperation (Kerjasama Regional).................................... .. .28 1.6 Metode Penelitian... ................................................................................................... .. .28 1.7 Sistematika Penulisan... ............................................................................................. .. .30 2. LATAR BELAKANG HISTORIS SENGKETA PULAU SIPADAN -LIGITAN SERTA PENYELESAIANNYA MELALUI INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE (ICJ) 2.1 Kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dalam Perspektif Historis... ................................. . ..31 2.2 Latar Belakang Kasus Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia Terhadap Pulau Sipadan-Ligitan ... .......................................................................................................... .. .39 2.3 Arti Penting Pulau Sipadan - Ligitan bagi Indonesia dan Malaysia.............................. .42 3. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEGAGALAN PEMBUATAN KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI DAN LEPASNYA PULAU SIPADAN-LIGITAN TAHUN 2002 3.1 Kegagalan Pemerintah Indonesia Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Melalui Perundingan Bilateral... ...................................................................................................................... .. .54 3.1.1 Perundingan Bilateral Indonesia dengan Malaysia Tahun 1989... ................ . ..56 3.1.2 Perundingan Melalui Mekanisme Joint Working Group (JWG)..................... ..57 3.1.3 Perundingan Indonesia dan Malaysia Tahun 1995... ...................................... . ..60

xi

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

3.1.4 Perundingan Tingkat Tinggi antara Kepala Negara...................................... ...62 3.2 Faktor yang Menyebabkan Kegagalan Pemerintah Indonesia Membuat Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri... ................................................................ . ..64 3.2.1 Faktor Masyarakat yang Tinggal di Daerah Perbatasan... ............................ ..65 3.2.2 Faktor Internal dan Politik Luar Negeri Indonesia... ...................................... .68 3.2.3 Faktor Aktor Negara Sebagai Pembuat Kebijakan Politik... ......................... ..70 3.3 Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Terkait Lepasnya Pulau Sipadan - Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto dan Presiden Megawati Soekarnoputri............................................................................................. .75 3.4 Politik Luar Negeri Indonesia dalam Usaha Intergritas Teritorial... .........................79 a.) Masa Pemerintahan Presiden prof. Dr.Ing. Dr.Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie.................................................................................................................... . ..79 b.) Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid... ..................................... ..80 c.) Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri................................... ..81 3.5 Aktor Negara yang Menyebabkan Kegagalan Pemerintah Indonesia Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri... ...................................... . .83 3.5.1 Faktor dan Tanggungjawab Aktor Negara Sebagai Pembuat Kebijakan Politik... ................................................................................................................ . ..86 a.) Peran dari Menteri Luar Negeri dan Menteri Politik dan Keamanan dan Keamanan Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri... ..90 b.) Peran dari Lembaga Legislatif (Parlemen) dalam hal ini Komisi I DPR RI... .............................................................................................................................................. .. .92 3.6 Sikap Saling Mempengaruhi antara Menteri Luar Negeri, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dengan Komisi I DPR RI dalam Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan... ................................................................................................. .96 3.7 Hasil Pendapat dari Aktor Negara Berkaitan dengan Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri................................................................................. ...98 4. PROSES GAGALNYA PEMBUATAN KEBIJAKAN POLITIK LUARNEGERI DAN LEPASNYA PULAU SIPADAN - LIGITAN DARI INDONESIA 4.1 Gagalnya Proses Pembuatan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia.................... .102 4.2 Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan-Ligitan melalui International Court of Justice (ICJ)... ...................................... ...113 4.3 Mahkamah Internasional... ....................................................................................... ...118 a. Permanent Court of Arbitration... ....................................................................... ...119 b. Permanent Court of International Justice... ........................................................ ..119 c. International Court of Justice... ............................................................................ . .120 4.4 Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah Atas Pulau Sipadan-Ligitan Melalui International Court of Justice (ICJ)... ..................................................................................122 4.5Proses Persidangan Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan... ...................... ...126 4.5.1 Pokok-pokok Argumentasi Hukum Indonesia dan Malaysia... ...................... .126 4.5.2 Written dan Oral Hearings... ............................................................................. .128 4.53Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional Mengenai Klaim Kedaulatan Atas Pulau Sipadan-Ligitan... ........................................................130

xii

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

4.5.4 Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah Internasional Mengenai Dalil-dalil “Effectivites”... .............................................................................................135 4.6 Hasil Keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) Atas Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan... ...................................................................................... .139 4.7 Konsekuensi yang Harus Dilakukan Indonesia Pasca Keputusan Mahkamah Internasional... .................................................................................................................... ..141 4.7.1 Keputusan Mahkamah Internasional Pengaruhnya Terhadap Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia... ............................................................................... . ..144 4.8 Dinamika Perubahan Politik Indonesia dalam Menyikapi Sengketa Pulau SipadanLigitan................................................................................................................................. . .149 4.9 Usaha Perubahan Kebijakan Politik Luar Negeri Presiden Soeharto... ............... ..160 5. PENUTUP 5.1 Kesimpulan... ........................................................................................................... . .167 5.2 Saran... ........................................................................................................................ .170 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................... ..172

xiii

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

DAFTAR TABEL

Tabel 4.7

Hasil Pendapat dari Aktor Negara Berkaitan dengan Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri... ...................................... .98

xiv

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Peta Letak Pulau Sipadan-Ligitan pada Laut Sulawesi... ............................ . .40

xv

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

DAFTAR LAMPIRAN

Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5

Peta Wilayah Pulau Sipadan-Ligitan... ...................................................... . ..178 Peta Pulau Sipadan dan Resort Yang Telah Dibangun.............................. .179 Papan Tanda Pengumuman Yang Dipasang Malaysia di Pulau Sipadan...............................................................................................180 Foto Daerah Lokasi Sumber Daya Laut Berupa Ikan, Jenis Hewan Laut dan Daerah Penyelaman di Pulau Sipadan................................................. . ..181 Peta Pulau Ligitan Dan Resort Yang Telah Dibangun Malaysia.............. . .182

xvi

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Masalah Wilayah merupakan salah satu unsur terpenting bagi suatu negara, karena

wilayah merupakan tempat negara melaksanakan kedaulatannya. Wilayah merupakan ruang di mana orang menjadi warganegara yang bersangkutan hidup dan menjalankan segala aktivitasnya. Wilayah negara sebagai suatu ruang tidak saja terdiri atas daratan atau tanah tetapi juga perairan dan ruang udara. Wilayah daratan dan wilayah ruang udara dimiliki oleh negara pantai.Mengingat pentingnya wilayah bagi suatu negara, maka

batas-batasnya

harus jelas untuk menghindari kemungkinan sengketa dengan

negara-negara yang lain.1Dalam sejarah manusia maupun negara-negara, kerap terjadi konflik antarnegara yang bersumberkan pada masalah batas wilayah. Konflik ini bisa disebabkan oleh karena keinginan untuk melakukan ekspansi wilayah maupun ketidakjelasan batas-batas wilayah antarnegara.

Salah satu fungsi dari batas wilayah itu telah berkembang menjadi sebuah kontribusi untuk identitas nasional dan sebagai pelindung dari hasil kekayaan sumber daya alam yang langka atau sulit untuk diperbaharui. Sengketa wilayah biasanya dimulai oleh salah satu atau beberapa pihak yang merasa memiliki wilayah tersebut atau berkepentingan besar terhadap wilayah tersebut. Negara yang memulai sengketa itu mempunyai bermacam tujuan yang dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan:2Pertama, klaim terjadi ketika sebuah negara benar-benar menginginkan wilayah tersebut dan percaya bahwa ia akan memperoleh beberapa keuntungan. Tujuan ini berkaitan dengan penguatan negara melalui penambahan wilayah. Peningkatan kekuatan mungkin berasal dari sumber-sumber

yang ditemukan di

wilayah tersebut

atau

dari penduduk yang

tinggal di sana, atau dari peningkatan akses wilayah tersebut melalui laut maupun

1

LB. Moerdani, Menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Pandangan dan Ucapan Jenderal TNI (Purn) LB. Moerdani 1988-1991, Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman, 1992, hlm. 39. 2 Ibid.

1

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

2

saluran-saluran utama komunikasi.

Kedua, klaim dibuat tanpa banyak harapan

memperoleh hasil atau keuntungan. Sengketa dilakukan dalam rangka menjalankan politik dalam negeri atau politik luar negeri. Kadang perbatasan tidak dapat menjamin sengketa atau konflik dapat berakhir secara total. Setelah berjalan beberapa tahun, konflik seringkali masih muncul bahkan menjadi perang (krisis) apabila konflik-konflik kepentingan berubah menjadi situasi yang mengandung ancaman.3 Wilayah perbatasan suatu negara memiliki nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Hal ini dapat terjadi antara lain karena wilayah perbatasan mempunyai dampak penting bagi kedaulatan sebuah negara, mempunyai faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya, mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan antarwilayah maupun antarnegara, dan mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan baik dalam skala regional maupun nasional.Masalah ketidakjelasan batas-batas negara dan status wilayah sering menjadi sumber persengketaan di antara negara-negara yang berbatasan atau berdekatan. Persengketaan muncul akibat

penerapan prinsip

yang berbeda terhadap

penetapan batas-batas landas kontinen di antara negara-negara bertetangga sehingga menimbulkan wilayah “tumpang tindih” yang dapat menimbulkan persengketaan.4 Contoh nyata yang melibatkan Indonesia yaitu permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masingmasing negara ternyata memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Pulau Sipadan-Ligitandinyatakan dalam keadaan status quo, akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ini secara sederhana mengandung makna tradisional sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat dari kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang menjajah

3 4

J.R.VPrescot, Boudaries and Frontiers, London: Croom Helm, 1973, hlm. 90-125. LB. Moerdani, Op. Cit., hlm. 45.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

3

Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan yang tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Itulah yang kemudian membuat sengketa itu berkembang, menurun kepada negara yang mewarisi tanah bekas jajahan tersebut. Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang dikandungnya. Pada tahun

1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua

pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya. Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakanpelajaran bagi Indonesia agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebenarnya Indonesia masih bisa membicarakan masalah tersebut dengan Malaysia dengan menganggap masalah teritorial adalah persoalan politik bukan hanya persoalan hukum. masa

Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan politik pada Pemerintahan

Presiden

Soeharto

hingga

Pemerintahan

Presiden

Megawati

Soekarnoputri.5 Sumber dari permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan adalah kesalahan kebijakan politik pada era Pemerintahan Presiden Soeharto yang hanya mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke Mahkamah Internasional.6 Wilayah kedaulatan negara merupakan suatu permasalahan politik, karena sangat erat dengan suatu perumusan kebijakan politik yang nantinya akan dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah dalam menentukan arah kebijakan politiknya dalam membawa negara Indonesia ke arah yang lebih baik dan mempunyai kedudukan yang dihormati di dunia internasional. Suatu kebijakan yang menyangkut teritorial suatu negara perlu adanya ketegasan kebijakan Pemerintah agar wilayah negaranya aman dari ancaman gangguan permasalahan perbatasan darat maupun laut dengan negara lain. Ancaman terhadap negara yang berubah bukan hanya berasal dari aktor negara, tetapi juga aktor-aktor bukan negara. Bentuk-bentuk ancaman tersebut juga semakin banyak, bukan hanya dari ancaman terhadap kesatuan teritori saja atau yang terkait “Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011 pukul 21.45]. 6 LB. Moerdani, Op. Cit., hlm. 51.

5

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

4

dengan batas wilayah negara, tetapi juga ancaman-ancaman yang bersifat non-politik dan non-ekonomi. Perkembangan teknologi dan industri, termasuk revolution in

military affairs telah semakin menunjukkan betapa dunia kini semakin tanpa batas.7Revolution in military affairs mempunyai maksud yaitu untuk mewujudkan kekuatan minimal (MEF atau Minimal Essential Force) sebagai instrumen negara untuk melaksanakan fungsi negara berdasarkan keputusan politik.Negara adalah aktor penting atau aktor utama dalam dunia internasional, jadi segala urusan dalam dan luar negeri diserahkan pada negara. Maka negara bertanggungjawab atas keamanan nasional dan batas-batas negara. Jadi, aktor-aktor negara mempunyai peranan yang sangat penting terhadap suatu kebijakan politik luar negeri. Dalam permasalahan penyelesaian sengketa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan sebuah kegagalan formulasi kebijakan politik luar negeri Indonesia dan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia pada tahun 2002 dalam perspektif Geopolitik negara kepulauan. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki pulau -pulau terbanyak di dunia, sehingga wilayah teritorialnya harus dijaga dengan baik agar keutuhan dan kedaulatan wilayahnya tidak terusik oleh negara lain.8 1.2

Rumusan Masalah Permasalahan awal dari persengketaan Pulau Sipadan-Ligitanantara Indonesia

dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan Pulau SipadanLigitan ke dalam batas-batas wilayahnya.9 Kedua negara lalu sepakat agar Pulau Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda.10 Pihak Malaysia membangun resort pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati atau diduduki Ibid, hlm. 76. Norman J.G. Pounds, Political Geography, New York: Mogrow-Hill Book co. Inc, 1963, hlm.89. 9 Aspiannor Masrie,“Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum‟ at tanggal 29 April 2011]. 10 Ibid. 7 8

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

5

sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun

1969 pihak

Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Dengan

kondisi demikian maka Pulau

Sipadan-Ligitan terbuka untuk klaim

kepemilikan.Klaim kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan mengandung dua motif, yaitu motif politik dan motif ekonomi. Alasan politis tersebut adalah untuk mewujudkan kedaulatan negara, sehingga dapat menjalankan fungsi eksekutif dan legislatif di kedua pulau yang disengketakan oleh kedua negara. Sedangkan untuk motif ekonomi yang melatarbelakangi klaim tersebut adalah karena Pulau Sipadan-Ligitan mempunyai daya tarik tersendiri untuk pariwisata.11 Dalam

kasus lepasnya

Pulau

Sipadan-Ligitan jelas bahwa

peran kebijakan

politik Pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan kebijakan politik Indonesia yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa pendahulu.12 Pada saat kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari kesalahan Pemerintah pada era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz dalam melaksanakan perumusan kebijakan politik pada saat itu. Dalam perannya sebagai perumus kebijakan politik, Presiden Megawati Soekarnoputri juga dibantu oleh kedua Menteri yang duduk pada masa Pemerintahannya. Kedua Menteri tersebut adalah Menteri Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda. Kedua Menteri tersebut memiliki peranan penting bagi Presiden Megawati Soekarnoputri sebelum mengeluarkan kebijakan politik. Peran penting juga tidak terlepas dari lembaga legislatif, karena lembaga legislatif dalam hal ini DPR yang berperan dalam perumusan kebijakan politik sebelum dikeluarkan oleh Pemerintah yang menyangkut kepentingan negara.13Pemerintah merupakan pengambil keputusan kebijakan politik untuk kepentingan negara, sehingga kesalahan sekecil apapun akan membuat pengaruh besar kepada sistem politik dalam negeri dan luar negeri Indonesia. Suatu sistem politik domestik yang sedang berjalan akan secara otomatis mempengaruhi sistem politik luar negeri. Ibid Ibid. 13 Ganewati Wuryandari , Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2008, hlm. 195. 11 12

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

6

Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakanpelajaran bagi Pemerintah agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan politik pada masa

Pemerintahan

Presiden

Soeharto

dan

Pemerintahan

Presiden

Megawati

Soekarnoputri.14Pada era Pemerintahan Presiden Soeharto penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan hanya mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke Mahkamah Internasional. 15 Wilayah kedaulatan negara merupakan suatu permasalahan politik, karena sangat erat dengan suatu perumusan kebijakan politik yang nantinya akan dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah dalam menentukan arah kebijakan politiknya dalam membawa negara Indonesia ke arah yang lebih baik dan mempunyai kedudukan yang dihormati di dunia internasional. Persoalan kebijakan yang menyangkut teritorial suatu negara perlu adanya ketegasan kebijakan Pemerintah agar wilayah negaranya aman dari ancaman gangguan permasalahan perbatasan darat maupun laut dengan negara lain. Apabila ditelusuri lebih lanjut mengenai lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia justru dari peran aktor-aktor politik baik sebagai eksekutif maupun legislatif. 16 Peran aktor-aktor politik dalam lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan baik dan sinergi, karena saling menyalahkan setelah Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang di Mahkamah Internasional yang menyebabkan akhirnya Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke dalam bagian dari wilayah Malaysia. Sejak masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, persoalan Pulau Sipadan-Ligitan hanya dipandang sebagai permasalahan hukum dan pada kenyataannya Indonesia tidak mempunyai cukup bukti yang dihadirkan selama proses yang panjang selama persidangan di Mahkamah Internasional.17Sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan apabila dibawa dalam

“Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011]. 15 Ibid, hlm. 199. 16 Ibid. hlm. 45. 17 “Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.dephan.go.id. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011]. 14

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

7

permasalahan hukum ke Mahkamah Internasional, maka seharusnya Indonesia harus banyak meratifikasi dasar-dasar hukum yang akan dijadikan sebagai alat bukti kepada Hakim agar dapat dipercaya dan dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh Hakim dalam masa

persidangan

masalah

sengketa

yang

melibatkan

kedua

negara

dalam

memperebutkan Pulau Sipadan-Ligitan.18 Yang

harus

dilakukan

oleh

para

aktor-aktor

politik

adalah

melihat

permasalahan sengketa perbatasan wilayah dari segi politik bukan dari segi hukum. Permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan menyangkut teritorial suatu negara, di mana peran Pemerintah sangat penting dalam mengeluarkan suatu kebijakan politiknya yang tegas tetapi tetap menjaga kaidah politik sesuai dengan Piagam ASEAN yang telah disepakati oleh anggota-anggota negara ASEAN. Sebelum kebijakan politik dikeluarkan oleh Pemerintah, antara Pemerintah dan DPR RI, dalam hal ini khususnya Komisi I DPR RI, telah mengadakan rapat dengar pendapat sebagai tempat untuk berkonsultasi sebelum perumusan kebijakan politik yang disodorkan oleh Pemerintah pada waktu itu mendapat persetujuan dari DPR RI.19 Dari masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga pada saat lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden

Megawati Soekarnoputri, antara Pemerintah dan DPR RI sendiri tetap hanya memandang permasalahan Pulau Sipadan-Ligitan tersebut dari segi hukum saja. Dari permasalahan tersebut jelas bahwa antara Pemerintah dan DPR RI tidak mempunyai konsep dalam perumusan kebijakan politik yang jelas dan terarah, karena kedua lembaga yang berisi aktor-aktor politik tersebut tidak mampu membuat suatu keputusan kebijakan politik luar negeri sebagai arah bagi negara yang mempunyai luas wilayah kepulauan sangat besar.20 Negara yang mempunyai luas wilayah kepulauan yang sangat besar dan memiliki beribu-ribu pulau merupakan suatu ancaman besar dalam permasalahan perbatasan baik di darat maupun di laut. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu 18

“Keputusan Mahkamah Internasional tentang kasus perebutan Pulau Sipadan-Ligitanantara Indonesia dan Malaysia” diperoleh dari http://diplomacy945.blogspot.com. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011]. 19 Ganewati Wuryandari , Op. Cit, hlm. 197. 20 Kasus Sipadan-Ligitan. Dalam http://www.metronews.com oleh Aspiannor Masrie. [Diakses tanggal 29 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

8

lebih fokus terhadap ancaman-ancaman tersebut oleh negara lain terutama aktor-aktor politik yang menduduki lembaga eksekutif maupun legislatif. 21Kenyataannya antara Pemerintah dan DPR RI saling bermanuver menyalahkan dan menyerang atas keputusan politik yang telah dikeluarkan dan hasilnya membuat kerugian yang besar bagi kepentingan negara dan rakyatlah yang sangat kecewa dengan apa

yang telah

dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI.22Rakyat telah memberikan mandat dan kepercayaan penuh kepada kedua lembaga tersebut dalam pengambilan kebijakan politik yang akan membawa negara Indonesia menjadi negara yang mempunyai integritas politik yang tegas dan terarah, sehingga menjadikan negara lain menghormati kebijakan politik Indonesia. Hal tersebut sangat berbeda dengan yang ditunjukkan oleh Presiden Soekarno dalam kebijakan politik pada saat pengambilan kebijakan politik mengenai wilayah Irian Barat dan menjadikan Irian Barat sebagai wilayah Negara Kesatuan Rebublik Indonesia. Kebijakan politik yang diambil Presiden Soekarno pada waktu itu juga tidak terlepas dari peran legislatif yang sangat mendukung langkah langkah yang diambil Pemerintah terutama kebijakan politik.23 Suatu ketegasan kebijakan politik Pemerintah mencerminkan keberhasilan politik dalam negeri sehingga sistem politik luar negeri juga berpengaruh. Permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari peran dan hubungan yang sinergis antara lembaga eksekutif dan legislatif yang seharusnya satu sama

lain mendukung dan bukan

saling menyalahkan

setelah

keputusan kebijakan

politik tersebut diambil. 24Aktor politik yang berada di dalam kedua lembaga tersebut seharusnya menyikapi permasalahan yang berhubungan dengan teritorial negara bukan pada cermin hukum,

tetapi harus bercermin pada politik. Permasalahan perbatasan

sendiri menyangkut pada suatu kedaulatan negara yang seharusnya tidak dapat diganggu gugat dan diusik oleh negara manapun, karena permasalahan perbatasan sangat rentan Ibid. Ganewati Wuryandari , Op. Cit, hlm. 45. 23 Mohammad Hatta, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta: Tintamas, 1953, hlm. 78. 24 Pandangan Morgenthau mengenai konsep ini dapat ditemukan dalam Theodore A. Columbis dan James H. Wolve, “Introduction to International Relations, Power and Justice”, New Jarsey: Prentice Hall, 1982, ditulis di dalam tulisan Bantarto Bandoro dalam Analisis CSIS “Aspek-Aspek Internasional dalam Intergrasi Nasional”, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994. 21 22

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

9

dengan konflik dan berujung pada suatu peperangan antarkedua negara yang sedang bersengketa.25Suatu kebijakan politik

diambil merupakan sebuah keputusan yang

memberikan arah kepada negara tersebut akan suatu integritas dan kedaulatan suatu wilayah. Apabila kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah dinilai oleh Malaysia sangat tegas, maka tidak akan mungkin Malaysia berani membawa permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional.26 Kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah seharusnya merupakan harga mati sebagai bangsa yang besar dengan wilayah kepulauan yang sangat luas, karena apabila kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah tidak diindahkan oleh negara lawan dalam permasalahan perbatasan maka jalan terakhir adalah peperangan.27 Tetapi dalam melihat permasalahan kasus lepasnya

Pulau

Sipadan-Ligitan,

peran dari aktor-aktor politik Indonesia yang berada pada lembaga eksekutifmaupun legislatif tidak tampak.28Hal tersebut terbukti bahwa tidak sinergisnya kedua lembaga tersebut dalam mengambil alih permasalahan dan penyelesaian dengan jalan politik. Hal tersebut dapat dibuktikan setelah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, DPR RI langsung melalui Komisi I DPR RI mengajukan hak interpelasi atau hak bertanya kepada Presiden Megawati Soekarnoputri. Melalui Wakil Ketua Komisi I Effendy Choirie, Ketua Sub Bidang Luar Negeri Amris Hasan,anggota Djoko Susilo, Arief Mudatsir dan Franky Kaihatu, hak menggalang pengajuan hak interpelasi kepada Presiden Megawati berkaitan dengan kekalahan Indonesia di Mahkamah Internasional, Den Haag, atas sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.29 Terlihat

jelas bahwa para aktor politik Indonesia

tidak pernah saling sinergis dalam berhubungan dan bekerjasama untuk kepentingan

25

Aspiannor Masrie,“Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum ‟ at tanggal 29 April 2011]. 26 Ibid. 27 “Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011]. 28 “Nasib Pulau Sipadan dan Ligitan Semakin Jelas”, diperoleh dari http://wap.gatra.com. [Diakses pada hari Senin tanggal 25 April 2011]. 29 Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

10

bangsa dan negara, sehingga kebijakan politik Indonesia yang dikeluarkan Pemerintah masih sangat tumpul.30 Komisi I DPR RI melalui Wakil Ketua Komisi I Effendy Choirie mengatakan bahwa interpelasi itu semata mempertanyakan usaha Pemerintah memperoleh kedua pulau yang selama ini sudah diduduki Malaysia itu.31 Hak interpelasi Komisi I DPR RI itu juga untuk mempertanyakan kebijakan politik Pemerintah dalam mengawasi dan mempertahankan pulau-pulau di perbatasan khususnya pada kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan.32 Setelah peristiwa lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah Indonesia banyak pulau di perbatasan yang sudah dihuni oleh penduduk dari negara tetangga. Dari pihak Pemerintah mempunyai argumen lain dalam menjawab pertanyaan dari Komisi I DPR RI tersebut bahwa pada saat itu Pemerintah memang gencar

melakukan

pendekatan

kegagalan.33Pemerintah

secara Indonesia

politik

dengan

memutuskan

Malaysia,

untuk

tapi

meneruskan

mengalami permasalahan

sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional atas pertimbangan dari DPR RI karena pada waktu itu Pemerintah berpendapat bahwa permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan permasalahan hukum.34 Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan perbatasan khususnya dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan pada umumnya dipengaruhi oleh kegiatan sosial ekonomi di negara tetangga (Malaysia).35 Kondisi tersebut berpotensi untuk mengundang kerawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, namun dimungkinkan adanya kecenderungan untuk bergeser ke soal politik, terutama apabila kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan mempunyai ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal Robert Eyestone, The Threads of Public Policy, Indianapolis: Bobbs Merrill, Ratzel, ditulis di dalam buku RM. Sunardi, 1971, hlm. 57. 31 „Memanasnya Hubungan RI-Malaysia”, diperoleh dari http://www.politik.lipi.go.id. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011]. 32 Ibid. 33 “Statistik Vital Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh dari http://www.unisosdem.org. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011]. 34 Aspiannor Masrie ,“Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh dari http://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum ‟ at tanggal 29 April 2011]. 35 Ibid. 30

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

11

inipun selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa. Untuk itu, diperlukan upaya Pemerintah Indonesia dalam

memperhatikan

permasalahan

penegakan

kedaulatan

negara

dengan

lebih

mengefektifkan kebijakan politik secara tegas. Dalam perumusan atau formulasi kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia, agar memiliki ketegasan

sikap dalam berpolitik, maka diperlukan harmonisasi yang dibarengi dengan maksimalisasi kinerja seluruh elemen dan kesungguhan semua pihak seluruh pihak untuk mewujudkan suatu perumusan atau formulasi kebijakan politik yang akan diambil yang berguna untuk menjadikan sebagai bentuk kedaulatan negara yang nyata.36 Dengan memperhatikan permasalahan gagalnya formulasi kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah diharapkan dapat muncul beberapa pertanyaan yang dapat dibahas dan dievaluasi pada bab berikutnya sesuai dengan latar belakang permasalahan yang sudah diuraikan. Jadi, pertanyaanutama yang akan berusaha dijawab dalam tesis yang berjudul “Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif Geopolitik Negara Kepulauan”adalah: Bagaimana terjadinya proses gagalnya pembuatan kebijakan politik luar negeri sehingga Indonesia tidak dapat mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai bagian dari kedaulatan wilayah Indonesia? Selain itu tesis ini juga berusaha menjawab pertanyaan tambahan, antara lain: 1.) Mengapa Pulau Sipadan-Ligitan menjadi obyek sengketa dan mempunyai arti penting bagi Indonesia dan Malaysia sejak tahun 1969? 2.)

Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan PemerintahIndonesia

gagal menghasilkan formulasi kebijakan politik luar negeri sehingga Pulau Sipadan-Ligitan terlepas pada tahun 2002?

George Modelsky, Theory of Foreign Policy. New York: Praeger, 1962, hlm. 36.

36

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

12

1.3 Tujuan Penelitian Sebagaimana tergambar di dalam perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1. Untuk mengetahui Pulau Sipadan-Ligitan menjadi obyek sengketa dan mempunyai arti penting bagi Indonesia dan Malaysia dan untuk mengetahui

faktor-faktor

apa

saja

yang

menyebabkan

PemerintahIndonesia gagal menghasilkan formulasi kebijakan politik luar negeri sehingga terlepas. 2. Untuk mengetahui aktor-aktor yang terlibat dalam gagalnya perumusan atau formulasi kebijakan politik luar negeri Indonesia sehingga Pulau Sipadan-Ligitan lepas. 3. Untuk mengetahui proses gagalnya pembuatan kebijakan politik luar negeri sehingga Indonesia tidak dapat mempertahankan Pulau SipadanLigitan sebagai bagian dari kedaulatan wilayah Indonesia. 1.4

Signifikansi Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu untuk : 1. Menjadi referensi bagi wacana geopolitik khususnya bagi peneliti yang berminat pada studi ilmu sosial dan politik dimanaPulau Sipadan-Ligitan dapat menjadi obyek sengketa antara Indonesia dan Malaysia. 2. Bermanfaat bagi para ilmuwan sosial untuk mengkaji permasalahan aktor-aktor yang terlibat dalam gagalnya perumusan atau formulasi kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam hal ini kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002. 3. Memberikan sebuah gambaran pentingnya aktor-aktor negara dalam menghasilkan sebuah kebijakan bagi negara kepulauan, khususnya Indonesia, sehingga tidak akan terulang kembali kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

13

1.5

Kerangka Teori Untuk memperoleh interprestasi dan kesimpulan yang lebih terarah di dalam

menganalisis topik tesis ini digunakan teori kebijakan publik, teori politik luar negeri dan teori geopolitik. Teori kebijakan publik sesuai dengan tujuan penulisan tesis ini karena dapat mendeskripsikan formulasi kebijakan Indonesia yang melibatkan elit politik dalam menciptakan suatu kebijakan sedangkan teori politik luar negeri sesuai dengan tujuan penulisan tesis negeri

Indonesia. Teori

karena

geopolitik

dapat

mendeskripsikan kebijakan politik luar

digunakan

karena

Indonesia

sebagai

negara

kepulauan dan harus diberikan perhatian khusus karena wilayah merupakan wujud kedaulatan negara. Teori Hukum Internasional digunakan karena kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan merupakan permasalahan sengketa wilayah antarnegara. Teori kebijakan politik luar negeri Indonesia digunakan sebagai tolok ukur pemerintah dalam pengambilan kebijakan politik luar negeri. Pada penelitian yang dilakukan, teori tersebut sangat bermanfaat sebagai alat analisis dalam mengkaji Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia Tahun 2002 dalam Perspektif Geopolitik Negara Kepulauan. Berikut ini adalah kerangka umum teori-teori yang dikemukakan di atas, yang tentunya akan dibahas lebih mendalam pada uraian di bawah ini. 1.5.1. Kebijakan Publik dilihat dari Formulasi Kebijakan Pengertian kebijakan publik menurut Thomas R. Dye adalah apa yang dipilih oleh Pemerintah untuk dikerjakan atau tidak dikerjakan. Kebijakan publik ini dapat diklasifikasikan sebagai keputusan (decision making), di manaPemerintah mempunyai wewenang

untuk

menggunakan

keputusan

otoritatif,

termasuk

keputusan

untuk

membiarkan sesuatu terjadi, demi teratasinya suatu persoalan publik.37 Definisi lain dari

kebijakan publik menurut Robert Eyestone adalah konsepsi bahwa kebijakan merupakan serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau Pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu di mana terdapat hambatan-hambatan dan kemungkinan-kemungkinan di mana kebijakan tersebut 37

Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, New York: Prentice Hall, 1972, hlm. 12-13.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

14

diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan yang dimaksud.38 Kebijakan yang dirumuskan bermaksud untuk penyelesaian suatu masalah atau tujuan. Kebijakan publik merupakan suatu keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan pejabat Pemerintah. Oleh karena itu, kebijakan publik termasuk dalam otoritas yang dimaksud dalam sistem politik, yaitu para senior, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para Hakim, administrator, penasehat, para raja, dan lain sebagainya. Dalam hal ini ditegaskan bahwa mereka yang terlibat dalam otoritas formulasi kebijakan adalah orang yang terlibat dalam urusan sehari-hari dan mempunyai tanggungjawab dalam suatu

masalah tertentu

di mana dia bertanggungjawab untuk

mengambil keputusan yang berdampak pada kondisi di kemudian hari dan mengikat sebagian besar anggota masyarakat. Kebijakan publik sebagai suatu sistem kebijakan hubungan timbal balik yang terjadi pada tiga unsur yaitu:

(policy system) mencakup (1) kebijakan publik,

(2 )

pelaku kebijakan, dan (3) lingkungan kebijakan. Kebijakan publik merupakan hasil dari sebuah proses atau respons atas berbagai gejala yang terjadi dalam suatu lingkungan. Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah tentunya melalui berbagai tuntutan atau tekanan

maupun dukungan dari masyarakat. Tuntutan dan dukungan dari masyarakat mengindikasikan perbedaan suatu kepentingan tertentu. Artikulasi kepentingan yang berasal dari

kelompok-kelompok

kepentingan, partai

politik,

organisasi-organisasi

kemasyarakatan atau juga internal instansi Pemerintah harus mewujudkan sebagai sebuah proses dalam penetapan kebijakan publik. Dengan demikian, kebijakan merupakan resultante atau hasil dari suatu konflik yang berasal dari sektor atau pelaku kebijakan yang terlibat. Konflik antar pelaku kebijakan disebabkan oleh adanya perbedaan suatu kepentingan. Oleh karena itu, kebijakan publik adalah sebuah proses akhir dari pergesekan kepentingan baik antara masyarakat dan pelaku kebijakan maupun antar sesama pelaku kebijakan. Kebijakan publik yang telah disahkan oleh pejabat berwenang, secara otomatis telah siap untuk diimplementasikan. Implementasi kebijakan publik akan mendapat 38

Robert Eyestone, The Threads of Public Policy, Indianapolis: Bobbs Merrill, 1971, hlm 79.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

15

kesulitan jika diterapkan pada kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki perbedaan kepentingan yang tinggi. Kondisi ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam melakukan interpretasi terhadap implementasi kebijakan tersebut. Tugas Pemerintah adalah menjaga performance (kinerja) dan kualitas kebijakan serta implementasinya. Dalam kenyataannya banyak manajer publik kurang mendiseminasi (mensosialisasikan) kebijakan yang telah ditetapkan kepada masyarakat. Hal ini tentunya dapat menghambat proses pelaksanaan implementasi kebijakan publik tersebut. Untuk itu, proses diseminasi harus dikelola dengan baik sehingga dapat memperlancar proses implementasi kebijakan publik. Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut:39 1. Penyusunan Agenda Agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu yang lain. Dalam agenda setting, sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda Pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Dalam permasalahan sengketa

Pulau

Sipadan-Ligitan antara

Indonesia

Malaysia, Pemerintah Indonesia pada saat proses pengambilan kebijakan politik luar 39 William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1998, hlm. 24.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

dan

16

negeri telah menyusun agenda sebagai langkah awal. Penyusunan agenda sebagai langkah awal tersebut dilakukan antara lain dengan mengumpulkan beberapa bukti sejarah atas status Pulau Sipadan-Ligitan dan kemudian memberikan kajian agar memperoleh bukti yang mendukung dalam proses pengambilan kebijakan politik luar negeri. 2. Formulasi Kebijakan Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam

permasalahan sengketa

Pulau

Sipadan-Ligitan antara

Indonesia

dan

Malaysia dalam hal ini Pemerintah sebelum membuat formulasi kebijakan harus melihat dari hasil penyusunan agenda yaitu dengan memberikan bukti-bukti yang sudah ada dan telah mendapatkan kajian tentang kebenaran atas bukti-bukti tersebut. Sehingga dari bukti-bukti tersebut maka akan dapat dijadikan dasar yang kuat dalam merumuskan suatu formulasi kebijakan. 3. Adopsi atau Legitimasi Kebijakan Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar Pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan dari Pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa

tindakan Pemerintah

yang sah.

Dukungan untuk suatu rezim

cenderung berdifusi, cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan Pemerintah yang membantu anggota mentolerir Pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu, di mana melalui proses ini orang akan belajar untuk mendukung Pemerintah.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

17

Dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia dalam hal ini Pemerintah dalam mengambil kebijakan harus mendapatkan legitimasi. Dalam

permasalahan sengketa kedua pulau

tersebut

Pemerintah

mengupayakan langkah-langkah dengan mengumpulkan bukti-bukti sejarah yang dapat mendukung kebenaran dalam merumuskan suatu kebijakan. Apabila bukti-bukti sejarah tersebut telah cukup untuk memberikan keterangan maka dalam merumuskan suatu kebijakan dalam langkah selanjutnya harus mendapatkan legitimasi dari legislatif. 4. Penilaian atau Evaluasi Secara umum dikatakan evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan yang fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. Dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia dalam hal ini Pemerintah apabila telah menempuh langkah-langkah dalam membuat sautu kebijakan mulai dari menyusun suatu agenda, merumuskan formulasi kebijakan dan memperoleh legitimasi agar mendapatkan dukungan dari semua pihak. Maka langkah terakhir dalam membuat suatu kebijakan adalah dengan memberikan penilaian atau evaluasi dari langkah-langkah yang telah ditempuh mencapai tujuan atau tidak. 1.5.2. Kebijakan Politik Luar Negeri Dalam mempelajari politik luar negeri, pengertian dasar yang harus diketahui yaitu politik luar negeri itu pada dasarnya merupakan “action theory”, atau kebijakan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

18

kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional. 40 Suatu komitmen yang pada dasarnya merupakan strategi dasar untuk mencapai suatu tujuan baik dalam konteks dalam negeri dan luar negeri serta sekaligus menentukan keterlibatan suatu negara di dalam isu-isu internasional atau lingkungan sekitarnya. Salah satu cara untuk memahami konsep politik luar negeri adalah dengan jalan memisahkannya ke dalam dua komponen: politik dan luar negeri. Politik (policy) adalah seperangkat keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak, atau seperangkat aksi yang bertujuan untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Policy itu sendiri berakar pada konsep “pilihan (choices)”: memilih tindakan atau membuat keputusan-keputusan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan gagasan mengenai kedaulatan dan konsep “wilayah” akan membantu upaya memahami konsep luar negeri (foreign). Kedaulatan berarti kontrol atas wilayah (dalam) yang dimiliki oleh suatu negara. Jadi, politik luar negeri (foreign policy) berarti seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang ditujukan ke luar wilayah suatu negara. Pemahaman konsep ini diperlukan agar dapat membedakan antara politik luar negeri dan politik domestik (dalam negeri). Namun, tidak dapat dipungkiri pula bahwasanya pembuatan politik luar negeri selalu terkait dengan konsekuensi konsekuensi yang ada di dalam negeri. Meminjam istilah dari Henry Kissinger, seorang akademisi sekaligus praktisi politik luar negeri Amerika Serikat, menyatakan bahwa “foreign policy begins when domestic policy ends”.41 Dengan kata lain studi politik luar negeri berada pada intersection antara aspek dalam negeri suatu negara (domestik) dan aspek internasional (eksternal) dari kehidupan suatu negara. Oleh karena itu, studi politik luar negeri tidak dapat menisbikan struktur dan proses baik dari sistem internasional

(lingkungan eksternal) maupun dari sistem politik domestik. Sementara

menurut Holsti, lingkup kebijakan luar negeri meliputi semua tindakan serta aktivitas negara terhadap lingkungan eksternalnya dalam upaya memperoleh keuntungan dari

40

Wolfram F. Hanrieder, Comparative Foreign Policy: Theoretical Essays, New York: DavidMcKay Co, 1971, hlm. 15. 41 Ibid. hlm.22.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

19

lingkungan tersebut, serta hirau akan berbagai kondisi internal yang menopang formulasi tindakan tersebut.42 Dalam permasalahan segketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, kebijakan politik luar negeri Indonesia tidak dapat dihasilkan dengan baik. Disebabkan antara Pemerintah dengan DPR RI tidak berjalan secara sinergis dalam merumuskan kebijakan politik luar negeri yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang nantinya akan dijadikan landasan dalam melaksanakan perundingan bilateral sebagai upaya politik untuk memperoleh kedaulatan wilayah atas Pulau Sipadan-Ligitan. 1.5.2.1. Realisme Politik oleh Hans J. Morgenthau Menurut Morgenthau, pria dan wanita secara alami adalah binatang politik, mereka dilahirkan untuk mengejar kekuasaan dan untuk memperoleh hasil dari kekuasaan. Pengharapan kekuasaan bukan hanya menghasilkan pencarian keuntungan relatif tetapi juga pencarian wilayah politik yang terjamin keamanannya yang dapat digunakan untuk memperoleh kebebasan diri dari pihak lain. Gagasan utama Hans J. Morgenthau yang telah menempatkan dirinya sebagai seorang penganut aliran pemikiran realis berkenaan dengan konsepnya tentang “power” sebagai yang dominan dalam politik internasional. Konsep dasar yang dimaksudkan oleh Hans J. Morgenthau adalah Konsep kepentingan (interest) yang dikonseptualisasikan ke dalam istilah “power” antara nalar (reason) yang berusaha memahami politik internasional dengan fakta-fakta

yang merupakan arah memilah-

milah antara fakta-fakta politik dan bukan fakta politik, arah mana akan memberikan suatu tertib sistematis terhadap lingkup politik, yang sekaligus pula akan menempatkan politik sebagai lingkup kegiatan dan pemahaman yang otonom. Artinya, lingkup ini akan membedakan lingkup kegiatan lainnya. Konseptualisasi kepentingan (interest) dalam

42

formulasi “power”

dimanifestasikan

ke

dalam

tataran

politik

K.J. Holsti,Politik International: Suatu Kerangka Analisis, Bandung: Bina Cipta, 1992. hlm. 21.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

20

internasional,mendasari pemikiran teori realisme politik akan memberikan kerangka bangunan teoritis terhadap politik luar negeri.43 Teori realisme politik internasional dicirikan oleh tiga hal yakni (1) negara dan politik luar negeri sebagai unit dan tingkat analisis, (2) konsep power, dan (3) konsep balance of power: 1. Unit analisis dan tingkat analisis dikenakan pada negara -negara sebagai aktor utama dalam panggung politik internasional. Pengamatan terhadap tingkah laku negara, akan terlihat dalam politik luar negeri yang dijalankan oleh Pemerintah negara yang bersangkutan. Negara dan politik luar negerinya merupakan unit dalam tingkat analisanya. 2. Dalam konteks konsep tentang “power” bahwa tingkah laku negara-negara dipanggung politik internasional selalu dilihat sebagai perwujudan atas perjuangannya untuk memelihara, meningkatkan, serta menunjukkan powernya. 3. Pola interaksi hubungan antarnegara yang sama-sama berjuang untuk memelihara,

meningkatkan,

dan

menunjukkan

powernya

digunakan

konsep

perimbangan kekuatan (balance of power). Interest atau kepentingan sendiri adalah setiap politik luar negeri suatu negara yang didasarkan pada suatu kepentingan yang sifatnya relatif permanen yang meliputi tiga faktor

yaitu sifat

politik dalam

dasar dari kepentingan nasional

yang dilindungi,

lingkungan

kaitannya dengan pelaksanaan kepentingan tersebut, dan kepentingan

yang rasional. Kepentingan nasional merupakan pilar utama tentang politik luar negeri dan politik internasional yang realistis karena kepentingan nasional menentukan tindakan politik suatu negara. Apabila menggunakan pendekatan realis atau neorealis maka kepentingan nasional diartikan sebagai kepentingan negara sebagai unitary actor yang penekanannya pada peningkatan national power (kekuasaan nasional) untuk mempertahankan keamanan nasional dan survival dari negara tersebut. Yang dianggap sebagai kepentingan nasional menurut kaum realis mungkin merepresentasikan

43 Antonius Sitepu, Teori Realisme Politik Hans. J. Morgenthau Dalam studi Politik dan Hubungan Internasional, hlm. 52.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

21

kepentingan yang kebetulan pada momen tertentu mempengaruhi para pembuat kebijakan luar negeri. Dalam permasalahan segketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, realisme politik yang dijalankan oleh Pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan baik sehingga perumusan suatu kebijakan politik tidak dapat terlaksana dengan baik. 1.5.3

Teori Geopolitik Geopolitik

menurut

Rudolf

Kjellen

adalah

ilmu

yang

mengkaji

masalahmasalah geografi, sejarah dan ilmu sosial dengan merujuk kepada politik internasional. Salah satu pokok teorinya adalah negara merupakan suatu sistem politik yang meliputi ekonomi

politik.44

Untuk

itu,

negara

harus

mempertahankan

integritas

wilayahnya ekonomi politik yang dijalankan dapat terlaksana sesuai dengan tujuan geopolitik negara tersebut. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut.45 Tetapi apabila konsep tersebut dikaji secara lebih dalam lagi, terutama yang menyangkut aspek mempertahankan identitas fisik, maka sebuah negara yang berdaulat seharusnya juga mempunyai tugas untuk mempertahankan integritas wilayahnya terhadap tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan (TAHG) baik yang datang dari dalam maupun dari luar.46 Upaya negara mempertahankan integritas wilayah, antara lain dilakukan melalui pengembangan doktrin atau konsep-konsep pertahanan tertentu. Selanjutnya Hausshofer mengatakan juga bahwa Geopolitik mengandung pengertian yaitu: a) Suatu doktrin kekuasaan negara di atas permukaan bumi, suatu doktrin perkembangan politik yang didasarkan atas hubungannya dengan bumi. b) Ilmu pengetahuan yang mempelajari organisme politik dalam hubungannya dengan ruang bumi. 44

A. Harsawaskita, Great Power Politics, Bandung: Graha Ilmu, 2007, hlm. 45. Ibid 46 LB. Moerdani, “Menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Pandangan dan Ucapan Jenderal TNI (Purn) LB. Moerdani 1988-1991”, Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman, 1992, hlm. 51. 45

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

22

c) Landasan ilmiah bagi tindakan politik dalam perjuangan mati hidupnya suatu negara untuk mendapatkan ruang hidup (lebensraum, living space).47 Haushofer mengatakan bahwa Geopolitik pada hakikatnya merupakan suatu prasyarat dan harus dipenuhi secara nasional, maka dapat juga disebut sebagai doktrin dasar suatu negara. Sebagai satu doktrin dasar Geopolitik sendiri mengandung empat unsur utama, antara lain yaitu: a) Konsepsi ruang, yang merupakan pengejawantahan dari pemikiran negara sebagai organisasi hidup. b) Konsepsi frontier, yang merupakan konsekuensi dari kebutuhan dan lingkungan hidup. c) Konsepsi politik kekuatan, yang menerangkan tentang kehidupan negara. d) Konsepsi keamanan negara dan bangsa, yang kemudian melahirkan geostrategi.48 Konsep Haushofer yaitu ruang merupakan inti dari Geopolitik, sebab ruang merupakan suatu wadah atau tempat dinamika politik dan militer. Dengan demikian, sesungguhnya Geopolitik merupakan cabang dari ilmu pengetahuan yang mengaitkan ruang dengan kekuatan fisik, di mana pada kenyataannya kekuatan politik selalu

menginginkan penguasaan ruang dalam arti ruang pengaruh, atau sebaliknya, penguasaan ruang secara de facto dan de jure merupakan sebuah legitimasi dari sebuah kekuasaan politik. Intinya, apabila ruang pengaruh diperluas maka akan ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, dan kerugian tersebut akan mengakibatkan menjadi lebih besar lagi apabila hal itu dicapai melalui perang. Geopolitik Indonesia merupakan suatu kajian yang melihat masalah atau hubungan internasional dari sudut pandang ruang atau geosentrik. Konteks teritorial di mana hubungan itu terjadi bervariasi dalam fungsi wilayah dalam interaksi, lingkup wilayah, dan hirarki aktor: dari nasional, internasional, sampai benua-kawasan, juga provinsi atau lokal. Geopolitik adalah suatu studi yang mengkaji masalah-masalah 47

Widoyo Alfandi, Reformasi Indonesia Bahasan dari Sudut Pandang Geografi Politik dan Geopolitik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2002, hlm. 8-9. 48 Ratzel, ditulis di dalam buku RM. Sunardi, Op.Cit., hal. 168.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

23

geografi, sejarah dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada percaturan politik internasional. Geopolitik mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi, yang mencakup lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik mempunyai empat unsur pembangun, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur kebijaksanaan. Keempat unsur tersebut dapat menjadikan sarana bagi pengembangan geopolitik bagi Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau, sehingga potensi pulau-pulau tersebut dapat dimanfaatkan dan dijaga dari gangguan negara lain yang ingin mengklaimnya agar dapat masuk ke dalam wilayahnya dan supaya kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terulang kembali. Negara tidak akan pernah mencapai persamaan yang sempurna dalam segala hal. Keadaan suatu negara akan selalu sejalan dengan kondisi dari kawasan geografis yang mereka tempati. Hal yang paling utama dalam mempengaruhi keadaan suatu negara adalah kawasan yang berada di sekitar negara itu sendiri, atau dengan kata lain, negara-negara yang berada di sekitar (negara tetangga) memiliki pengaruh yang besar terhadap penyelenggaraan suatu negara. Geopolitik dibutuhkan oleh setiap negara di dunia, untuk memperkuat posisinya terhadap negara lain, untuk memperoleh kedudukan yang penting di antara masyarakat bangsa-bangsa, atau secara lebih tegas lagi, untuk menempatkan diri pada posisi yang sejajar di antara negara-negara raksasa dengan cara mengembangkan strategi geopolitik bagi kepentingan nasional untuk menjaga stabilitas nasional dan internasional. Hal ini berkaitan langsung dengan peranan -peranan geopolitik. Adapun peranan-peranan tersebut adalah; 1. Berusaha menghubungkan kekuasaan negara dengan potensi alam yang tersedia. 2.

Menghubungkan kebijaksanaan suatu Pemerintahan dengan situasi dan kondisi alam.

3. Menentukan bentuk dan corak politik luar dan dalam negeri. 4. Menggariskan pokok-pokok haluan negara, misalnya pembangunan. 5.

Berusaha untuk meningkatkan posisi dan kedudukan suatu negara berdasarkan teori negara sebagai organisme, dan teori-teori geopolitik lainnya.

6. Membenarkan tindakan-tindakan ekspansi yang dijalankan oleh suatu negara.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

24

Indonesia merupakan suatu negeri yang amat unik. Hanya sedikit negara di dunia,

yang bila dilihat dari

segi geografis,

memiliki

kesamaan dengan Indonesia.

Indonesia adalah suatu negara, yang terletak di sebelah tenggara benua Asia, membentang sepanjang 3,5 juta mil, atau sebanding dengan seperdelapan panjang keliling bumi, serta memiliki tak kurang dari 17.000 pulau. Hal tersebut merupakan suatu kebanggaan dan kekayaan, yang tidak ada tandingannya lagi di dunia ini. Tapi bila dipikirkan lebih jauh, hal ini merupakan suatu kerugian tersendiri bagi bangsa dan negara

Indonesia.

Indonesia

terlihat

seperti

pecahan -pecahan

yang

berserakan.

Indonesia dapat dikatakan sebagai sebuah negara yang amat sulit untuk dapat dipersatukan. Maka, untuk mempersatukan Bangsa Indonesia, diperlukan sebuah konsep Geopolitik yang benar-benar cocok digunakan oleh negara.Ada beberapa jenis kondisi geografis bangsa Indonesia. Yaitu kondisi fisik serta kondisi Indonesia ditinjau dari lokasinya. Kondisi fisik Indonesia berupa:Letak geografis; Posisi Silang; Iklim; Sumber-Sumber Daya Alam; dan Faktor-Faktor Sosial Politik. Lokasi fisik Indonesia merupakan kondisi geopolitik yang kedua. Keberadaan lokasi adalah faktor geopolitik utama yang mempengaruhi perpolitikan di Indonesia. Berdasarkan kondisi fisiknya, negara Indonesia berada pada dua benua yang dihuni oleh berbagai bangsa yang memiliki karakteristik masing-masing, yaitu benua Asia dan Australia. Selain itu, Indonesia pun berada di antara dua samudera yang menjadi jalur perhubungan berbagai bangsa, yaitu Samudera Pasifik dan Hindia. Selain menjadi daerah Bufferzone, Indonesia pun memperoleh beberapa keuntungan disebabkan kondisinya yang silang tersebut. Tiga keuntungan tersebut antara lain: 1. Berpotensi menjadi jalur perdagangan internasional; 2. Dapat

lebih

memainkan

peranan

politisnya

dalam

percaturan

politik

internasional; 3. Lebih aman dan terlindung dari serangan-serangan negara kontinental. Dalam permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan sebenarnya tidak terlepas dari isu ekonomi banyaknya potensi kandungan minyak dan gas bumi di Laut Sulawesi. Potensi hidrokarbon itulah yang menjadi salah satu faktor pendorong

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

25

Malaysia mengklaim perairan teritorial dan ZEE Indonesia di Laut Sulawesi pasca lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan. Konsep dasar peperangan generasi keempat adalah sikap politik yang lebih kuat dapat mengalahkan kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar. Dengan kata lain, peperangan generasi keempat karakteristiknya bersifat politik, berkepanjangan (protracted) dan terhubung dalam jaringan (networked). Sebagian pihak berpendapat bahwa dalam peperangan generasi keempat, musuh yang dihadapi bukan saja aktor bukan negara, tetapi dapat pula aktor negara yang menggunakan cara-cara non tradisional untuk mengalahkan musuh yang lebih kuat. Cara-cara non tradisional yang dimaksud antara lain adalah ekonomi, diplomatik, cyber, media dan lain sebagainya. 1.5.3.1 Teori Geopolitik Hans J. Morgenthau Geopolitik dapat diartikan sebagai politik atau kebijakan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional suatu negara, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung atau tidak langsung kepada sistem politik suatu Negara. Geopolitik setiap negara membutuhkan suatu perlindungan dari sistem pertahanan negara, oleh karena itu sistem pertahanan negara, demokrasi, politik, ekonomi dan hukum hanya dapat benar-benar terlindungi apabila didasarkan pada kekuatan negara itu sendiri.Kondisi geografis suatu negara atau wilayah menjadi sangat penting dan menjadi pertimbangan pokok berbagai kebijakan, termasuk juga dalam merumuskan kebijakan keamanan nasional (national security) atau keamanan manusia (human security).Teori Geopolitik dari Morgenthau yang dapat diambil berkaitan dengan kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, antara lain:49 1. Stabilitas geografi Bahwa kondisi geografi, letak strategis geopolitik, dan batas wilayah teritorial yang unik sebagai modal kekuatan pertama. 2. Kualitas diplomasi

49

Hans J. Morgenthau, “Politik Antar Bangsa”, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010, hlm. 195.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

26

Bahwa diplomasi yang berkualitas, diisi insan-insan genius yang dimiliki bangsa, selalu menjadi pengawal bagi sebuah negara berdaulat. 3. Kualitas Pemerintahan

Bahwa sebuah negara yang kuat memiliki sususan dan kualitas Pemerintahan yang kuat, yang mampu mensinergikan sumber daya nasional yang kuat dengan kebijakan politik yang ditetapkan. 4. Kesiapan militer Bahwa demi kekuatan defensibilitas, setiap negara berhak membangun

angkatan bersenjata yang kuat dan siap siaga setap saat untuk mempertahankan negara. 1.5.4 Teori Hukum Internasional Pengertian Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan asasasas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antarnegara dengan negara, negara dengan subjek hukum internasional lainnya.50 Dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan maka dihubungkan dengan Hukum Publik Internasional, yaitu hukum internasional yang mengatur negara yang satu dengan lainnya dalam hubungan internasional (hukum antarnegara). Hukum Internasional mempunyai fungsi untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi karena masalah politik dan masalah batas wilayah. Penyelesaian permasalahan sengketa internasional dapat dilakukan dengan 2

(dua) cara antara lain dengan cara damai dan dengan cara paksaan atau kekerasan. Dihubungkan dengan permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, maka dapat dilakukan dengan cara damai yaitu dengan cara arbritasi dan negoisasi (perundingan). Cara arbritasi dalam penyelesaian sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dengan membawa penyelesaian pemasalahan sengketa ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice).

50

Prof. DR. Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: PT. Bina Cipta, 1978, hlm. 34.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

27

Dalam

penyelesaian

permasalahan

sengketa

Pulau

Sipadan-Ligitan

harus

dilakukan dengan cara arbitrasi dan negoisasi (perundingan), maka yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia sudah sesuai dengan prosedur. 1.5.5 Teori Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia

Studi politik luar negeri kerapkali melibatkan tinjauan domestik dan internasional.Banyak

anggapan

bahwa

faktor-faktor

domestik

sama

kuatnya

mempengaruhi out put politik luar negeri. Kerangka teoritis pun selalu mengambil dua pertimbangan yakni unsur domestik dan elemen eksternal.Jika faktor-faktor domestik itu menentukan kebijakan luar negeri maka kondisinegara-negara itupun ditinjau dari segi perkembangan ekonomi memberikan nuansaterhadap perilakunya di dunia internasional. Klasifikasi sederhana terhadap sebuah negaradalam konteks ekonomi adalah negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Ada lima model dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri:51Pertama adalah model strategis ataurasional, Kedua adalah pengambilan keputusan, Ketigaadalah model lain politik birokratik, Keempatadalah model adaptif dan Kelimaadalah pengambilan keputusan tambahan.

Sementara,

untuk

politik

luar

negeri

Indonesia

mempunyai

tiga

model:52Pertama, mempertahankan kemerdekaan bangsa melawan ancaman yang dipersepsikan. Kedua, mobilisasi sumber-sumber eksternaluntuk pembangunan dalam negeri dan Ketiga, mencapai sasaran-sasaran yang berkaitandengan politik dalam negeri seperti mengisolasi salah satu oposisi politik dari dukunganluar negeri, memanfaatkan legitimasi

untuk tuntutan-tuntutan

politik

domestik danmenciptakan

simbol-simbol

nasionalisme dan persatuan nasional. Dalam kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ketiga model politik luar negeri tersebut digunakan dalam melakukan perundingan diplomasi dengan Malaysia, karena sesuai dengan permasalahan yang sedang dihadapi. Ketiga model politik luar negeri tersebut dinilai mendukung dalam pelaksanaan proses penyelesaian kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. 51

Lyod Jensen, Explaining Foreign Policy., New Jersey: Prentice Hall. Inc., 1982, hlm. 5-11. Franklin B Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno toSoeharto, Ithaca: Cornel University Press, 1976, hlm. 58. 52

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

28

1.5.6 Teori Regional Coorperation (Kerjasama Regional) Suatu rezim internasional memungkinkan sebuah negara untuk membentuk pola suatu kerjasama, dan pada akhirnya rezim ini sendiri dapat mampu memfasilitasi dan mengkoordinasikan kebijakan negara-negara sehingga menghasilkan pencapaian dalam bidang

isu

tertentu.53Dijelaskan

terbentuknya suatu institusi

bahwa

melalui

pendekatan

dapat mengurangi jumlah

rasionalis

bahwa

costs berupa informasi,

pengawasan, dan penegakan aturan hukum melalui kerjasama yang efektif berdasarkan kesepakatan norma yang telah dibangun. Kerjasama regional suatu kawasan didefinisikan sebagai sekumpulan negara yang memiliki kedekatan geografis dan struktur masyarakat karena berada pada satu wilayah tertentu.54Dengan adanya kebutuhan dalam memenuhi kepentingan nasional dalam hal sumber daya maka interdependensi menjadi sebuah kecenderungan yang tidak

dapat

55

dipisahkan antar negara satu kawasan. Dari sinilah muncul sebuah keinginan bersama yang terdapat dalam satu region untuk dapat menyelesaikan isu-isu yang bisa mengganggu stabilitas di kawasan. Dalamkasus sengketa

Pulau Sipadan-Ligitan teori ini digunakan karena

Indonesia dan Malaysia masih dalam satu kawasan ASEAN. Sehingga sangat dapat dimungkinkan penyelesaian permasalahan sengketa tersebut dapat dijalankan melalui perundingan diplomasi cukup diserahkan melalui organisasi ASEAN. 1.6 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Pengertian penelitian kualitatif adalah penelitian yang mempelajari suatu gejala atau realita sosial dan mencoba menemukan suatu pemahaman akan interpretasi atau makna terhadap gejala tersebut. 56 Data-data yang mendukung penelitian ini akan dikonseptualisasikan dan dianalisis dengan menggunakan kerangka pemikiran yang ada. 53

Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy, New Jersey:Princeton University Press,1984, hlm. 56-57. 54 Craig A. Snyder, Contemporary security and Strategy, Palgrave: Macmillan, 2008, hlm. 228. 55 Joseph S. Nye, Jr, International Regionalism, Boston: Little Brown & Co, 1968 , hlm. 12. 56 Jane Ritchie and Jane Lewis (ed), Qualitative Research Pratice : A Guide for Social Science Students and Researchers, London : SAGE Publications Ltd., 2003, hlm. 109.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

29

Orientasi yang ditekankan pada penelitian kualitatif lebih banyak mementingkan segi proses dan jalinan peristiwa sehingga penelitian bersifat siklus yang dapat dilakukan berulang-ulang.57 Pendekatan atau penelitian kualitatif ini untuk mengkaji secara mendalam terhadap setiap masalah yang dilakukan dengan mengetahui dan memverifikasi berbagai konsep. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Metode yang seperti ini secara singkat dapat dikatakan sebagai pengamatan terhadap gejala-gejala obyek yang diteliti dengan jalan meneliti dokumen yang digunakan dalam penelitian sebagai sumber data. Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini selain dengan studi kepustakaan (library research), tetapi juga dengan metode wawancara langsung dengan narasumber oleh Ibu Megawati Soekarnoputri (melalui Sekjen PDI-P Tjahjo Kumolo), mantan Menlu RI Hasan Wirajuda, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono Megawati Soekarnoputri), Bapak Effendi Choirie

(mantan Menkopolkam era Presiden (anggota Komisi I DPR RI Fraksi

PKB) dari Departemen Luar Negeri yaitu Dian Triansyah Djani, MA (Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN) yang terlibat selama proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan narasumber dari Departemen Pertahanan yaitu Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah (Peneliti Puslitbang SDM Balitbang Dephan yang mengikuti proses lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan), wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Syaiful Rizal

(mantan Pangdam IX/Udayana dan Dankodiklat TNI AD) dan

wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Hadi Waluyo (mantan Pangdam VI/Mulawarman dan Pangkostrad). Dalam penelitian tesis terkait dengan gagalnya formulasi kebijakan politik luar negeri Indonesia yang mengakibatkan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia pada tahun 2002 dalam perspektif geopolitik negara

kepulauan digunakan alat

pengumpulan data dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabelvariabel yang terkait dengan pokok permasalahan baik berupa traktat, konvensi, jurnal, catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, notulen rapat, agenda dan sebagainya Sugiono, Metode Penelitian Administrasi, Bandung : CV. Alfabeta, 2004, hlm. 15.

57

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

30

yang dikumpulkan dan diolah berdasarkan klasifikasi masalahnya. Dokumen kerapkali digunakan sebagai sumber data yang dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan bahkan untuk meramalkan.58 Perolehan data dokumentasi dalam mendukung penulisan tesis dengan judul

Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Dan

Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan Dari Indonesia Tahun 2002 Dalam Perspektif

Geopolitik Negara Kepulauan dapat diperoleh dari berbagai lembaga terkait, perpustakaan dan internet. 1.7

Sistematika Penulisan Tesis ini terdiri atas beberapa bagian sebagai berikut: Bab 1

Pendahuluan. Yang membahas mengenai latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, kerangka teori, metode penelitian serta sistematika penelitian. Bab I secara garis besar merupakan bab pendahuluan atau pengantar kepada isi penelitian ini. Bab 2 Latar Belakang Historis Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.Yang membahas sejarah Pulau Sipadan-Ligitan sebelum dan sesudah menjadi obyek sengketa dan arti penting bagi Indonesia dan Malaysia. Bab 3 Faktor-Faktor

yang

Menyebabkan

Kegagalan

Pembuatan

Kebijakan Politik Luar Negeri dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan Tahun 2002. Yang membahas faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Pemerintah Indonesia gagal menghasilkan formulasi kebijakan politik luar negeri Indonesia sehingga Pulau Sipadan-Ligitan terlepas pada tahun 2002.

Bab 4 Proses Gagalnya Pembuatan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia. Yang membahas bagaimana proses terjadinya pembuatan kebijakan politik luar negeri Indonesia sehingga Indonesia tidak dapat mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai bagian dari kedaulatan wilayah Indonesia. Bab 5

Penutup. Yang merupakan bab penutup yang terdiri atas kesimpulan dan

saran. Ibid, hlm. 3.

58

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

BAB 2 LATAR BELAKANG HISTORIS SENGKETA PULAU SIPADAN-LIGITAN SERTA PENYELESAIANNYA MELALUI ICJ (INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE)

Bab ini berisi tentang gambaran umum tentang latar belakang historis sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Bahwa hal yang akan dibahas antara lain kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dalam Perspektif Historis,Latar Belakang Kasus Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia Terhadap Pulau Sipadan-Ligitandan Arti penting Pulau Sipadan-Ligitan bagi Indonesia dan Malaysia. 2.1

Kepemilikan Pulau Sipadan - Ligitan dalam Perspektif Historis Konflik Pulau Sipadan dan Ligitan ini secara sederhana mengandung makna

tradisional sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat dari kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang menjajah Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan yang tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Itulah yang kemudian membuat sengketa itu berkembang, menurun kepada negara yang mewarisi tanah bekas jajahan tersebut. Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang dikandungnya. Negara modern selalu berupaya mencari tambahan penghasilan nasional melalui eksplorasi sumber daya alam. Hangatnya sengketa antara Malaysia dan Indonesia ini bisa dikatakan mulai memuncak pada dekade delapan puluhan ketika di dua pulau itu dijumpai potensi pariwisata bawah air yang luar biasa bagusnya. Didorong oleh potensi tersebut, Malaysia membangun kompleks pariwisata di Pulau Sipadan. Menurut survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga dunia, pemandangan bawah laut yang ada di Pulau Sipadan, konon memiliki nilai terbaik di dunia. Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua

31

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

32

negara lalu sepakat agar Pulau Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam keadaan status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resort pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati atau diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya. Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN

di Pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim Pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan

(setara Brimob) melakukan pengusiran semua

warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau. Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu Pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E / 4.1146833°LU 118.6287556°BT / 4.1146833; 118.6287556 dan Pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E / 4.15°LU 118.883°BT / 4.15; 118.883. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN tetapi Malaysia menolaknya. Pada masa sebelum kolonialisme terjadi di kawasan Asia Tenggara, di wilayah Kalimantan bagian timur laut terdapat dua daerah kekuasaan yang diperintah oleh dua Kesultanan. Wilayah utara yaitu Sabah merupakan daerah kekuasaan KesultananBrunei.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

33

Sementara wilayah selatan merupakan daerah kekuasaan Kesultanan Bulungan. Kedua penguasa pada waktu itu tidak pernah terlibat dalam sengketa mengenai batas wilayah masing-masing Kesultanan. Batas wilayah kedua tersebut cukup di dasarkan pada tanda-tanda alam. Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan tidak mungkin dipisahkan dari sengketa perbatasan yang terjadi pada abad ke-19 antara dua kolonialis di Kalimantan yaitu Belanda yang menjajah Indonesia dan Inggris yang menjajah Kalimantan Utara (Malaysia). Sultan Abdul Munim dari Kesultanan Brunei pada tanggal 29 Desember 1877 memberikan konsesi kepada Gustavus Baron de Von Overbeck dan Alfred Dent, kedua

tokoh konglomerat berasal dari Austria dan Inggris. Kedua orang tersebut berhasil mendapatkan hak mengelola wilayah Sabah. Karena kedekatannya dengan Sultan Brunei maka Gustavus Baron de Von Overbeck diangkat sebagai Raja Sabah di Kalimantan Utara dengan kekuasaan penuh yang tidak lagi dapat diganggu gugat. Gustavus Baron de Von Overbeck berhak mengelola kekayaan alam di wilayah kekuasaannya di Sabah meliputi pengelolaan atas seluruh hasil pertanian, peternakan dan tambang di kawasan tersebut. Dan lebih dari itu Gustavus Baron de Von Overbeck juga memperoleh ijin untuk menerbitkan uang, menarik hasil cukai hingga membentuk pasukan darat dan laut sendiri.59 Sebagai ungkapan terima kasihnya atas pengangkatan tersebut Gustavus Baron de Von Overbeck memberikan upeti sebesar $ 12.000 dollar per tahun. Selain memberikan upeti kepada pihak Kesultanan Brunei, Gustavus Baron de Von Overbeck mengirimkan upeti $ 5.000 dollar kepada Sultan Sulu yang pernah mengklaim wilayah Sabah sebagai wilayah kekuasaannya. Upeti diberikan kepada Sultan Sulu atas dasar kesepakatan yang dibuat pada tanggal 22 Januari 1878. Dengan kesepakatan ini, Gustavus de Von Overbeck memperoleh konsesi untuk seluruh wilayah antara aliran Sungai Sebuku sampai aliran Sungai Pandasan di daerah timur laut Kalimantan. Gustavus Baron de Von Overbeck telah menguasai wilayah yang luas di sepanjang pantai Barat Laut dan Timur Laut Kalimantan. Luas wilayahnya diperkirakan 59

Afrizal, “Kasus lepasnya Pulau Sipadan Pulau Ligitan”, dalam Kompas, 20 Februari 1995, hlm.1.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

34

sekitar 30.000 mil dan 850 mil. Akan tetapi Pemerintah Austria tidak mendukung Gustavus Baron de Von Overbeck untuk berkuasa di kawasan tersebut. Untuk menjaga loyalitasnya kepada Pemerintah negaranya, Gustavus de Von Overbeck menjual kepemilikan wilayahnya kepada Alfred Dent yang memperoleh dukungan dari Pemerintah Inggris. Pemerintah Belanda yang sebelumnya telah menguasai wilayah Kesultanan Bulungan dan sebagian wilayah Sabah, termasuk Pulau Sipadan-Ligitan merasa resah dengan penjualan kepemilikan wilayah Gustavus Baron de Von Overbeck. Pada tahun 1891, Belanda kemudian menyewa wilayah Sabah untuk dikembangkan menjadi daerah perkebunan dan pertambangan minyak bumi. Politik Belanda pada saat itu dimaksudkan untuk membendung kemungkinan pedagang Inggris dan Austria mendapatkan konsesi yang besar dari Kesultanan setempat. Spanyol yang menjalankan kolonialisme di Filipina mengeluarkan reaksi dengan penjualan kepemilikan Gustavus Baron de Von Overbeck wilayah. Spanyol yang pernah mendapatkan cessi60 atas sebagian wilayah timur Kalimantan Utara dari Sultan Sulu sejak lama merasa tidak rela wilayahnya dikuasai oleh BNBC (British North Borneo Company)yang didirikan oleh Gustavus Baron de Von Overbeck. Oleh karena itu, Spanyol mengirimkan kapal perang ke Sandakan pada bulan September 1878. Dengan pengiriman kapal perang ke Sandakan, Spanyol mengingatkan Pemerintah Inggris bahwa Spanyol pernah mengadakan perjanjian dengan Sultan Sulu pada tahun 1877. Berdasarkan perjanjian tahun 1877, seluruh wilayah timur laut Borneo (Kalimantan) mulai dari Teluk Maruda sampai wilayah perbatasan yang dikuasai Belanda di bagian selatannya adalah milik Kerajaan Spanyol. Sebagai respon atas tindakan Spanyol, pada bulan Januari

1878 Gustavus

Baron de Von Overbeck dan Alfred Dent serta H.W. Treacher yang menjabat sebagai Gubernur Inggris di Borneo Utara meminta penjelasan Sultan Sulu mengenai cessi yang diberikan kepadanya oleh Sultan Abdul Munim dari Kesultanan Brunei. Hal tersebut 60

Cessi atau penyerahan adalah salah satu cara memperoleh kedaulatan teritorial yang bersandar pada prinsip pemindahan suatu wilayah dari satu negara ke negara lain yang bersifat sukarela. Lihat K.J. Holsti, Politik Internasional:Kerangka untuk Analisis, Jilid 1, Erlangga: Jakarta, 1988, hlm. 22.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

35

dilakukan karena Kesultanan Sulu di Filipina Selatan juga menuntut kepemilikan kedaulatan atas sebagian wilayah Sabah. Pada waktu

itu,

Gustavus Baron de

Von

Overbeck ternyata mendapatkan cessi baru dari Sultan Jamalul Alam dari Sulu di wilayah antara Sungai Pandasan dan Sungai Sebuku. Sebagai imbalannya Gustavus Baron de Von Overbeck harus membayar upeti sebesar $5000 dollar per tahun.

Akan tetapi enam bulan kemudian, Sultan Jamalul Alam dari Sulu memindahkan cessi kepada Spanyol. BNBC milik Inggris yang dikelola oleh Gustavus Baron de Von Overbeck dan Alfred Dent menolak pengalihan

cessi yang pernah

diberikan kepada Gustavus Baron de Von Overbeck. Ketegangan antara Inggris dan Spanyol terjadi dan akhirnya diadakan penyelesaian sengketa dengan cara pembuatan perjanjian dalam Protokol pada tanggal 7 Maret 1885 yang ditandatangani oleh Spanyol, Inggris dan Jerman. Dalam perjanjian tersebut, Spanyol bersedia membatalkan semua tuntutan kedaulatan atas pulau-pulau yang terletak di 9 mil dari pantai Kalimantan Utara. Sebagai penghargaan atas pembatalan tuntutan Spanyol ini, Inggris dan Jerman mengakui Spanyol menjadi penguasa atas wilayah Kepulauan Sulu.61 Sementara itu, persengketaan antara Belanda dan Inggris masih terjadi. Pada bulan September 1879, kapal perang Belanda mendarat di Batu Tinagat yang berjarak sekitar 40 mil di sebelah utara muara Sungai Sebuku. Di wilayah itu terjadi pengibaran bendera Belanda. Setelah Belanda meninggalkan Batu Tinagat, bendera Belanda dibuang oleh penduduk setempat. Kejadian ini merupakan reaksi penduduk setempat atas kedatangan Belanda di wilayah tersebut. Tindakan Belanda pada tahun 1879 itu semakin memancing eskalasi konflik dengan Inggris.

Persengketaan Belanda dan Inggris semakin memanas setelah Inggris mengesahkan pembentukan BNBCpada akhir tahun 1881. Dengan berdirinya perusahaan tersebut, Inggris memulai masa penjajahannya atas wilayah Kalimantan Utara. Tindakan Inggris diprotes Belanda karena dipandang sebagai bentuk pelanggaran

61

Diambil dari artikel J. Soedjati Djiwandono, Intra-ASEAN Territorial Disputes: The Sabah Claim dalam Teh Indonesian Quarterly, Vol. XXII, No. 1, First Quarter, 1994, hal. 36-37 dan Ahmad Syafii Maarif, Sekitar Tuntutan Filipina Atas Sabah: Masihkah Akan Diteruskan? dalam Jurnal Informasi, No. 3, Tahun III, 1973, hlm. 4-6.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

36

terhadap Perjanjian

1824. Karena berdasarkan Perjanjian

1824, Inggris dilarang

menjajah daerah-daerah di Kalimantan. Perebutan hak kedaulatan teritorial antara Belanda dan Inggris akhirnya dapat diselesaikan dengan pembentukan komisi bersama pada tahun 1884. Komisi bersama Inggris dan Belanda mulai menentukan perbatasan kedua negara di timur luat Kalimantan pada bulan Juli 1889. Sengketa perbatasan kemudian diakhiri dengan penandatanganan perjanjian tentang perbatasan di timur laut Kalimantan pada tanggal 20 Juni 1891. Konvensi 1891 memutuskan batas wilayah daratan Inggris dengan Belanda di Kalimantan dengan garis yang ditarik dari Pulau Sebatik. Hal ini tercantum dalam Pasal I dan Pasal IV Konvensi 1891. Adapun Pasal I Konvensi I 1891 menetapkan sebagai berikut: “The boundary between the Netherland possessions in Borneo and those of the British Protected states in the same Island, shall start from 4010’ north latitude on the east coast of Borneo.”62 Di dalam Pasal IV Konvensi 1891 ditetapkan wilayah kekuasaan Inggris dan Belanda di Kalimantan Utara yang ditegaskan sebagai berikut: “From 4010’ north latitude on the east coast the boundary-line shall be continued east ward along the parallel, across the island of Sebatik, that

partion of the island situated to the north of that parallel shall belong unreservedly to the British North Borneo Company and the portion south of that parallel to the Netherlands.”63 Konvensi 1891 antara Inggris dan Belanda inilah yang kemudian menjadi dasar klaim antara Indonesia dan Malaysia dalam masalah sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Indonesia yang merupakan bekas jajahan Belanda dan Malaysia yang pernah dijajah Inggris memiliki perbedaan persepsi mengenai isi Konvensi 1891. Pada tahun 1969 ketika diadakan perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia 62

Lihat “Summary of the Judgment of 17 December 2002” dalam http://www.icjcij.org/icjwww/ipresscom/ipress2002/ipresscom2002-39bis_inma_20021217.htm. [ Diakses pada tanggal 12 Februari 2012]. 63 Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

37

ditemukan ketidakjelasan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan. Kedua negara yang sama-sama menginginkan kedaulatan teritorial atas Pulau Sipadan-Ligitan kemudian mencari bukti-bukti sejarah pada masa lalu. Konvensi 1891 merupakan salah satu perjanjian yang sama-sama dijadikan sebagai alat pembuktian, akan tetapi kedua negara memiliki persepsi yang berbeda tentang Konvensi 1891 ini. Perbedaan persepsi

ini

ditunjukkan dengan pendapat

masing-masing pihak

yang saling bertolak belakang. Malaysia menyatakan bahwa Indonesia tidak memiliki hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan kerena letaknya jauh di luar garis pangkal wilayah laut Indonesia yang ditetapkan Undang-Undang No. 4 Prp. 1960 tentang Perairan Indonesia, yang mana tidak sesuai juga dengan klaim Indonesia berdasarkan Konvensi 1891 karena letaknya yang jauh tersebut. Adapun Malaysia berhak atas Pulau Sipadan-Ligitan berdasarkan prinsip chain of title. Pendapat Malaysia ini didasarkan pada serangkaian transaksi pengelolaan yang dilakukan oleh BNBC yaitu perusahaan yang menjadi cikal-bakal kehadiran Inggris di wilayah koloni dan diperoleh melalui transfer kedaulatan dari Spanyol dan Amerika Serikat. Sesuai dengan bukti sejarah yang tercantum dalam Konvensi 1891 pada Pasal I dan IV, maka kedua pulau tersebut semula merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Sulu dan beralih menjadi milik Malaysia berdasarkan chain of title. Sedangkan

Indonesia

menyatakan

bahwa

berdasarkan

bukti-bukti

sejarah,

wilayah Indonesia meliputi seluruh kekuasaan Hindia Belanda. Oleh karena itu, sejak kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Pulau Sipadan-Ligitan yang pernah dikuasai Belanda berdasarkan Konvensi 1891 secara otomatis masuk dalam kedaulatan teritorial Indonesia menafsirkan Pasal IV Konvensi 1891 sebagai berikut bahwa garis 40 10‟ Lintang Utara memberikan petunjuk tentang batas kepemilikan Belanda dan Inggris sebelah selatan dan utara 40 10‟ Lintang Utara tersebut adalah garis yang memotong Pulau Sebatik dan terus menjulur ke laut di arah sebelah timur pulau tersebut. Indonesia mengklaim kedua pulau tersebut menjadi miliknya karena terletak di sebelah selatan garis batas ini. Perbedaan pendapat ini kemudian berkembang menjadi persengketaan sejak tahun 1969. Sengketa atas Pulau Sipadan-Ligitan dapat dikatakan sebagai warisan sejarah kolonialisme yang pernah terjadi di kawasan Asia Tenggara, di mana pada

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

38

waktu itu Belanda menguasai wilayah Indonesia dan Inggris menjadikan wilayah Malaysia sebagai daerah jajahannya. Pulau Sipadan-Ligitan muncul menjadi sumber persengketaan antara Indonesia dan Malaysia sejak tanggal 19 September 1969 ketika delegasi Pemerintah Indonesia dan Malaysia merundingkan batas landas kontinen kedua negara. Pada waktu itu, Pulau Sipadan-Ligitan merupakan dua pulau yang belum diketahui hak kepemilikannya. Pihak Pemerintah Indonesia dan Malaysia sama-sama belum dapat menentukan negara mana yang berhak memiliki kedua pulau tersebut. Akhirnya status Pulau Sipadan -Ligitan dinyatakan dalam posisi status quo. Artinya, kedua tidak akan menempati, menduduki dan mengelola Pulau Sipadan-Ligitan. Bermula dari ketidakjelasan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan dalam perundingan kedua negara pada tahun 1969, Indonesia dan Malaysia akhirnya terlibat dalam kasus sengketa yang berkepanjangan. Jika ditinjau dari aspek sejarahnya, sengketa antara Indonesia dan Malaysia tidak terlepas dari peranan sejarah di masa lalu. Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang dihadapi Indonesia dan Malaysia adalah bagian dari warisan sejarah kolonialisme Belanda dan Inggris yang terjadi pada abad ke-19. Indonesia mendasarkan kedaulatan atas Konvensi 1891 antara

Belanda

kepemilikannya menurut dua alur

dan

Inggris.

kedua pulau Sedangkan

itu

menurut

Malaysia

Pasal IV

mendasarkan

yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-

Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus mengadministrasi kedua pulau itu. Sengketa ini lalu dibicarakan dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhamad di Yogyakarta pada 1989. Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

39

2.2

Latar Belakang Kasus Sengketa Wilayah antara Indonesia dan

MalaysiaTerhadap Pulau Sipadan-Ligitan Sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia bermula dari pertemuan kedua delegasi dalam penetapan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysiadi Kuala Lumpur pada tanggal 22 September 1969. Pada waktu pembicaraan landas kontinen di laut Sulawesi, kedua delegasi sama-sama mengklaim Pulau Sipadan-Ligitan sebagai miliknya. Pulau Sipadan terletak 15 mil laut sekitar 24 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut sekitar 64 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik di mana bagian utara merupakan wilayah Malaysia dan bagian timur selatan merupakan wilayah Indonesia. Posisi Pulau Ligitan terletak 21 mil laut sekitar 34 kilometer dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut sekitar 93 kilometer dari pantai timur Pulau Sebatik. Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektar dan Pulau Ligitan adalah 7,9 hektar. Konflik Pulau Sipadan dan Ligitan ini secara sederhana mengandung makna tradisional sekaligus modern. Secara tradisional, sengketa tersebut merupakan akibat dari kolonialisme masa lalu yang melanda kawasan Asia Tenggara. Inggris yang menjajah Malaysia dan Belanda yang menjajah Indonesia, menyisakan garis perbatasan yang tidak tegas ketika mereka meninggalkan tanah jajahannya. Itulah yang kemudian membuat sengketa itu berkembang, menurun kepada negara yang mewarisi tanah bekas jajahan tersebut. Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang dikandungnya.

Titik awal

mencantumkan kedua

klaim

Pemerintah Indonesia tampaknya

pulau tersebut dalam Peraturan

lemah dan tidak

Pemerintah Pengganti

UndangUndang yakni, Perpu No. 4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.64 Di pihak lain, kelemahan Malaysia tampakpada peta yang diterbitkan hingga tahun 1970 -an tidak pernah mencantumkan kedua pulau tersebut.

64

Boer Mauna, Hukum Internasional : Perngertian, Peranan dan Fungsi Dalam era Dinamika Global. PT Almuni : Bandung, 2005, hlm. 280.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

40

P. Ligitan P. Sipadan

Gambar 2.1 Peta Letak Pulau Sipadan-Ligitan pada Laut Sulawesi Sumber : David A. Colson, The American Journal of International Law, 2003

Selanjutnya dalam meja perundingan kedua belah pihak baik Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Malaysia sepakat untuk menetapkan sebagai status quo atas kedua pulau tersebut. Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui Memorandum of Understanding (MoU) yang menetapkan Pulau Sipadan-Ligitan dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Namun, mulai tahun 1979 Malaysia berubah sikap dan mengambil langkah-langkah secara unilateral dengan menerbitkan peta-peta

yang menunjukkan kedua pulau sebagai bagian dari

Malaysia, memberikan sejumlah izin kepada sejumlah perusahaan swastanya untuk menyelenggarakan kegiatan pariwisata di Pulau Sipadan dan mendirikan instalasiinstalasi listrik

di pulau tersebut.

Indonesia

menganggap

bahwa

kegiatan-kegiatan tersebut

melanggar kesepakatan yang telah dicapai dalam status quo. Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa antara kedua negara, Indonesia dan

Malaysia

mengadakan

perundingan-perundingan

pada

berbagai

tingkat

sepertiSenior Official Meetings, Joint Working Group Meetings dan Joint Commision Meetings, namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima keduapihak.

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

41

Selanjutnya pada tahun

1996, Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir

Muhammad sepakat untuk mengangkat utusan khusus dari masing-masingnegara untuk mencari solusi alternatif. Setelah melakukan empat kali pertemuanJakarta -Kuala Lumpur secara bergantian, kedua wakil dari Pemerintah Indonesia danPemerintah Malaysia berhasil menemukan solusi, yakni merekomendasikan agarperlu adanya penyelesaian masalah ini lewat Mahkamah Hukum Internasional (ICJ). Selanjutnya, pada tanggal

31 Mei 1997 kedua negara menyepakati Special

Agreement for the submission to the International Court of Justice the dispute between Indonesia and Malaysia concerning the soverignty over Pulau Sipadan andPulau Ligitan. Naskah tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia padatanggal 29 Desember 1997 melalui Keputusan Presiden Nomor 49 tahun 1997 dan oleh Pemerintah Malaysia pada tanggal 19 November 1997. Special Agreement ini merupakan syarat prosedural yang memungkinkan ICJ memiliki kewenanganjuridiksi atas perkara ini. Special

Agreement

tersebut

kemudian

disampaikan

kepada

Mahkamah

Hukum

Internasional pada tanggal 2 November 1998 melalui suatu Joint Letter atau Notifikasi Bersama.

Masalah pokok

yang diajukan dan dimintakan dalam

Special Agreement

adalah agar Mahkamah Hukum Internasional memutuskan siapakah yang berdaulat atas kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang ada, buktibukti dan dokumen-dokumen yangtersedia

dari Pemerintah Indonesia

maupun dari

Pemerintah Malaysia. Special Agreement ini juga mencantumkan putusan Mahkamah Hukum Internasional sebagaibersifat akhir dan mengikat (final and binding).65 Dalam penyampaian Notifikasi Bersama tersebut kepada Panitera Mahkamah Hukum Internasional, maka proses litigasi masalah Pulau Sipadan-Ligitan diforum internasional secara resmi mulai berlangsung dan untuk selanjutnya penyelesaian masalah ini sepenuhnya terletak pada penelitian Mahkamah HukumInternasional. Tanggal 3 hingga 12 Juni 2002 Mahkamah Hukum Internasional telahmendengarkan argumentasi lisan dari Indonesia dan Malaysia sehubungan dengansengketa wilayah (territorial dispute) Pulau Sipadan-Ligitan. Dan padatanggal 17 Desember 2002 65

Steven Y. Pailah, Archipelagic State : Tantangan dan Perubahan Maritim, Klub Studi Perbatasan : Jakarta, 2009, hlm. 45.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

42

Mahkamah Hukum Internasional telah memberikan kedaulatan atas Pulau Sipadan Ligitan kepada Malaysia. Dalam hal iniMahkamah Hukum Internasional tidak terlalu tertarik dengan argumentasi Indonesiatentang akar kepemilikannya

yang didasarkan

pada Perjanjian Belanda-Inggris tahun1891, yang pada Pasal IV menyebutkan bahwa garis batas kedua negara adalah garislintang 4º 10‟ di pantai timur Pulau Kalimantan terus ke Timur memotong PulauSebatik dan menempatkan kedua pulau itu di bawah garis lintang tersebut yang berarti milik Belanda. Menurut Mahkamah Internasional, perjanjian itu adalah perjanjian daratdan sulit diinterpretasikan sebagai perjanjian wilayah laut. Dengan ditolaknya perjanjian ini sebagai perjanjian alokasi laut, maka tidak ada lagi yang dapat diandalkan oleh Indonesia. Berbeda dengan Indonesia, bukti efektif Malaysia ataskedua pulau tersebut dan dalam periode yang cukup lama, antara lain, bahwa Malaysia sejak tahun 1917 telah melakukan fungsi legislatif atas kedua pulau tersebut misalnya dengan dikeluarkannya Peraturan Perlindungan Penyu, serta mengeluarkan Perizinan untuk menangkap telur penyu. Malaysia juga telahmembangun mercusuar di Pulau Sipadan-Ligitan pada tahun 1962 dan 1963 yang terus dipelihara sejak kemerdekaan Malaysia. Kegiatan kedaulatan Malaysia ini menurut pengamatan Mahkamah Internasional tidak pernah diprotes oleh Indonesia.Semua fakta sejarah ini cukup meyakinkan bahwa Malaysia telah menunjukkan kegiatan berdaulatannya atas kedua pulau tersebut dan sudah cukup membuktikanadanya keefektifan untuk syarat kedaulatan suatu negara atas kedua pulau itu. Dalamhal ini, apa pun yang dilakukan oleh Indonesia sejak tahun 1969 seperti halnya menduduki kedua pulau tersebut, tetap tidak akan dapat menghapus keefektifan Inggris atau Malaysia. 2.3

Arti Penting Pulau Sipadan-Ligitan bagi Indonesia dan Malaysia Indonesia dan Malaysia memperebutkan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-

Ligitan, karena kedua pulau tersebut memiliki letak geografis yang strategis dan sumber daya alamnya berpotensi untuk dikembangkan sebagai obyek pariwisata. Berdasarkan kedua alasan tersebut, Indonesia dan Malaysia menambahkan dengan alasan lain yang berupa komitmen untuk mempertahankan kedaulatan teritorial. Alasan-alasan seperti ini dapat dibuktikan dengan melihat letak geografis dan potensi alam yang terdapat di

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

43

Pulau Sipadan-Ligitan.

Dalam

konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini

tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang dikandungnya. Negara modern selalu berupaya mencari tambahan penghasilan nasional melalui eksplorasi sumber daya alam. Hangatnya sengketa antara Malaysia dan Indonesia ini bisa dikatakan mulai memuncak pada dekade delapan puluhan ketika di dua pulau itu dijumpai potensi pariwisata bawah air yang luar biasa bagusnya. Didorong oleh potensi tersebut, Malaysia membangun kompleks pariwisata di Pulau Sipadan. Menurut survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga dunia, pemandangan bawah laut yang ada di Pulau Sipadan, konon memiliki nilai terbaik di dunia. Pulau Sipadan-Ligitan yang menjadi sumber sengketa antara Indonesia dan Malaysia adalah dua pulau kecil yang merupakan rangkaian kepulauan yang terletak di sebelah timur Kalimantan dan Negara bagian Sabah (Malaysia timur) di Laut Sulawesi. Pulau Sipadan-Ligitan secara geografis adalah bagian dari rangkaian kepulauan yang terletak di Laut Sulawesi atau di sebelah tmur Pulau Kalimantan (Indonesia) dan Sabah (Malaysia). Pulau Sipadan berada di posisi 1180 38‟ 02” Bujur Timur dan 40 06‟ 12” Lintang Utara. Luas Pulau Sipadan adalah 10,4 hektare dan terletak 15 mil (24 km) dari pantai daratan Sabah, Malaysia dan 40 mil (64 km) dari pantai timur Pulau Sebatik, Indonesia. Sedangkan Pulau Ligitan lebih kecil daripada Pulau Sipadan. Luas Pulau Ligitan hanyalah 7,9 hektare dan berada pada posisi 1180 53‟ 01” Bujur Timur dan 40 08‟ 03” Lintang Utara. Pulau Ligitan terletak 21 mil (34 km) dari pantai daratan Sabah dan 57,6 mil (93 km) dari pantai Pulau Sebatik. Pulau Sipadan-Ligitan dikenal memiliki pantai yang sangat indah. Kedalaman perairan di sekeliling Pulau Sipadan-Ligitan berkisar antara 10-15 meter dengan temperatur rata-rata 25-300C. Temperatur air laut yang terendah terjadi pada bulan November dan Februari. Akan tetapi kedalaman laut di sekitar Pulau Sipadan memiliki keunikan tersendiri, karena hanya berjarak 15 kaki dari pantai, air laut akan berubah menjadi biru tua karena kedalaman lautnya berubah menjadi 2.850 kaki. Pulau Sipadan memiliki potensi wisata bahari yang indah dan spektakuler, pantai Pulau Sipadan sangat

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

44

bervariasi sebagian landai dan sebagian berupa patahan palung yang kedalamannya mencapai 100 meter, dengan batu-batu karang yang sangat indah. Konon laut Pulau Sipadan yang indah merupakan salah satu tempat wisata terindah di dunia mengalahkan taman laut Bunaken di Sulawesi Utara. Brosur promosi pariwisata Malaysia menyebut Pulau Sipadan sebagai satu-satunya pulau di Malaysia yang berada di lautan “Samudera” yang digambarkan sebagai “pulau surga”. Pulau yang bentuknya seperti tapak sepatu ini memang cukup mempesona karena kelandaian pantainya. Dengan keindahan dalam lautnya ini Pulau Sipadan pernah memenangkan penghargaan “Best Beach Dive in the World” pada tahun 1993.66 Pantainya yang indah dengan pasir putih yang lembut juga menjadi tempat yang nyaman bagi penyu-penyu hijau. Penyu-penyu hijau ini bertelur setiap minggunya bisa mencapai 7.000 butir. Pada tahun 1977, tercatat sebanyak 220.000 butir telur penyu yang dapat dipanen. Pada tahun 1998 jumlah telur penyu yang dapat dipanen mengalami banyak peningkatan menjadi 330.000 butir. Pulau Ligitan adalah sebuah pulau yang berbentuk gundukan terumbu karang yang berada di sebelah timur Pulau Sipadan 916 mil. Ketika air pasang pulau kecil ini seakan-akan tenggelam, bagian daratnya tampak lebih luas pada saat air surut. Pulau Ligitan tidak banyak menyimpan potensi dan tidak berpenghuni. Pulau Ligitan memiliki sumber daya perikanan tangkap yang melimpah dan dikelilingi pepohonan mangrove. Perairan di Pulau Sipadan-Ligitan merupakan tempat pertemuan kehidupan laut yang berasal dari Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Oleh karena itu, kehidupan dasar laut di kedua pulau tersebut dipenuhi oleh ikan-ikan dan spesies laut lainnya yang beranekaragam. Keindahan dasar laut ini didukung pula dengan hamparan pasir putih yang sering digunakan tempat bertelurnya penyu hijau. Pulau Sipadan menjadi pulau yang unik, karena jika dilihat dari dalam laut bentuk pulau ini lebar di permukaan laut dan semakin mengerucut di dasar laut, sehingga dikatakan seperti jamur. Sementara itu, jika dilihat dari atas, Pulau Sipadan 66

Lihat“PulauSipadan”dalamhttp://www.marimari.com/content/malaysia/popular_places/islands/sipadan/s ipadan.html. [ Diakses pada tanggal 12 Februari 2012]. Pada sumber data tidak disebutkan keterangan lebih lanjut mengenai lembaga yang memberi penghargaan tersebut.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

45

berbentuk seperti tapak sepatu. Menurut keterangan dari Menlu Hassan Wirajuda, Pulau Ligitan sebagian besar berbentuk karang atol yang jika air pasang seakan-akan pulau tersebut terlihat tenggelam. Kedua pulau tersebut merupakan pulau kecil di wilayah laut Sulawesi, namun meskipun kedua pulau tersebut kecil tetapi kedua pulau tersebut memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi terutama sebagai obyek eksploitasi pariwisata terutama wisata penyelaman di dasar laut. Potensi alam yang dapat diambil dari Pulau Sipadan-Ligitan selain obyek pariwisata yaitu juga dapat dimanfaatkan sebagai usaha perikanan laut. Pertimbangan tersebut didasarkan pada melimpahnya sumber daya perikanan di perairan di Pulau Sipadan-Ligitan. Selain itu, Pulau Sipadan-Ligitan juga dikenal memiliki kandungan bahan-bahan mineral seperti cadangan minyak dan gas yang melimpah.67 Berdasarkan fakta-fakta dalam letak geografis dan potensi alam dari Pulau Sipadan-Ligitan, maka Indonesia dan Malaysia sama-sama menuntut hak kepemilikan

atas kedua pulau tersebut. Apalagi Pulau Sipadan dan Pualu Ligitan juga memiliki potensi strategis di bidang pertahanan dan keamanan untuk menangkal infiltrasi dan agitasi dari kekuatan asing. Apabila Indonesia dapat memiliki Pulau Sipadan-Ligitan maka perairan di sebelah selatan Pulau Sipadan dan di sebelah timur laut Pulau Ligitan akan menjadi bagian dari kedaulatan teritorial Indonesia. Dengan demikian, potensi alam di wilayah tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak Indonesia. Hal tersebut berlaku sama dengan Malaysia, apabila Pulau Sipadan-Ligitan menjadi milik Malaysia, maka Malaysia dapat melanjutkan pengelolaan obyek wisata di Pulau Sipadan-Ligitan yang sudah dilakukan sejak tahun 1980. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari belum bisa disebut memadai. Tapi pulau-pulau itu, segera mengirim

jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang

Pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di

sana diberhentikan dahulu. Alasannya, Pulau Sipadan-Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Alasan-alasan tersebut berkaitan juga dengan adanya 67

Diolah dari berbagai sumber yaitu “Seperti Apa Pulau Sipadan-Ligitan” http://www.freelists.org/archives/geologiugm/12-2002/msg00034.html. [Diakses pada tanggal 12 Februari 2012], Penanganan Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan” dalam http://www.w3.org/TR/REChtml40. [Diakses pada tanggal 12 Februari 2012 dan Suara Pembaruan, 5 Juni 1991].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

46

dugaan bahwa perairan di sekeliling Pulau Sipadan-Ligitan mengandung bahan-bahan mineral. Jika Pulau Sipadan-Ligitan berhasil dimiliki oleh salah satu pihak antara Indonesia dan Malaysia, maka pengembangan sumber daya alam tidak hanya terbatas pada bidang

pariwisata

dan

perikanan

laut

tetapi

pihak

yang

menang

juga

dapat

mengeksploitasi kandungan mineral di kawasan tersebut. Sementara itu bagi negara yang tidak berhasil mendapatkan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan akan menghadapi kesulitan dalam penentuan batas-batas wilayah laut. Sebab negara tersebut akan kehilangan batas landas kontinennya. Landas kontinen suatu negara pantai adalah dasar laut dan tanah di bawahnya dari wilayah dasar laut yang meluas sampai di luar laut teritorialnya melalui perpanjangan alamiah wilayah daratannya. Lebar landas kontinen adalah sampai ujung batas kontinen atau

sampai jarak sejauh 200 mil laut dari garis pangkal yang darinya diukur lebar laut teritorial apabila ujung terluar batas kontinen tidak meluas sampai jarak tersebut. Artinya, apabila batas kontinen dari kontinen meluas sampai melebihi 200 mil laut, lebar landas kontinen diperkenankan sampai sejauh 350 mil laut. Negara-negara pantai memiliki hak-hak berdaulat atas landas kontinen untuk tujuan eksplorasi sumber-sumber alamnya. Hak tersebut bersifat eksklusif dalam arti apabila negara pantai tidak mengeksploitasi landas kontinen atau tidak mengeksploitasi sumber daya alamnya, maka tidak ada satupun negara diperkenankan melakukan aktifitas di kawasan ini tanpa persetujuan negara pantai yang memiliki landas kontinen di tempat tersebut.68 Oleh karena itu, baik Indonesia maupun Malaysia ingin mempertahankan batas

landas kontinen yang telah diklaimnya. Jika salah satu dari kedua negara ini tidak berhasil mempertahankan kedaulatan teritorial atas Pulau Sipadan-Ligitan, berarti negara tersebut akan kehilangan hak-hak eksklusif untuk memanfaatkan sumber-sumber alam di wilayah tersebut.69 Hal ini akan berpengaruh terhadap perubahan batas teritorial yang telah dibuat oleh kedua negara. Pihak yang memenangkan sengketa tentu memiliki K.J. Holsti, Politik Internasional:Kerangka untuk Analisis, Jilid 1, Erlangga: Jakarta, 1988, hlm. 68. Prof.DR. Hasjim Djalal, Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan, Interpelasi?, dalam Kompas, Jakarta, 13 Januari 2003.

68

69

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

47

peluang untuk mendapatkan batas-batas yang lebih luas daripada batas yang dibuat sebelumnya dalam perundingan pasca sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Akhirnya sengketa Indonesia dan Malaysia tentang hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan memiliki dimensi kepentingan yang luas bagi kedua negara. Adapun kepentingan utama Indonesia dan Malaysia adalah kepentingan atas kedaulatan teritorial yang akhirnya didukung dengan kepentingan ekonomi. Hal ini akan terbukti apabila satu negara dapat memperoleh kedaulatan teritorialnya atas Pulau Sipadan-Ligitan, maka negara tersebut akan memanfaatkan hak-hak eksklusif untuk mengelola sumbersumber alam di Pulau Sipadan-Ligitan. Di antara kedua negara yang bersengketa, Malaysia memang telah terlebih dahulu membuktikan keinginannya untuk mengelola potensi alam Pulau Sipadan-Ligitan dengan cara membangun fasilitas pariwisata dan telah melakukan promosi wisata negara-negara lain sejak tahun 1980. Soal ini bukan hanya memancing ketidaksenangan beberapa wakil rakyat, tapi

juga Menhankam L.B. Moerdani. Dalam kesempatan rapat kerja dengan Komisi I, Moerdani mengkritik Malaysia yang cenderung tidak mengindahkan kesepakatan status quo atas kedua pulau itu, bahkan ceroboh membiarkan daerah tersebut dijadikan obyek pariwisata. Namun, kasus dua pulau itu bukan satu-satunya soal yang akhir-akhir ini mengganggu hubungan dua negeri sesama rumpun Melayu itu. Perundingan penetapan landas kontinen tahun

1969 gagal menetapkan status pemilik kedua pulau tersebut.

Indonesia berpendirian, bila garis batas lurus dibuat dari Pulau Sebatik, yang sudah dibagi dua dengan Malaysia, dua pulau itu mestinya masuk wilayah Indonesia. Malaysia berpendapat, garis batas itu hanya sampai Pulau Sebatik, sehingga kedua pulau itu bisa diklaim sebagai wilayah Sabah. Karena gagal dicapai kesepakatan, akhirnya, disepakati pulau itu bersifat status quo. Artinya, tidak ada kegiatan apa pun di sana sebelum ada penyelesaian. Namun, Desember 1979, Malaysia mengklaim dua pulau itu sebagai

miliknya berdasar peta baru. Walau Indonesia sudah mengirim nota protes, negara tetangga itu menegaskan de facto dan de jure, kedua pulau itu miliknya, meski ada juga kesediaan mereka untuk berunding. Belum lagi perundingan dibuka, Indonesia sudah membuat nota peringatan kembali tahun 1988 karena adanya kegiatan di Pulau Sipadan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

48

Pulau Sipadan-Ligitan adalah merupakan pulau yang tak berpenghuni, keduanya menjadi penting bagi Indonesia karena bisa dijadikan titik untuk menentukan lebar laut wilayah, landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif. Oleh karena itu, pulau tersebut menjadi penting bukan hanya karena pertimbangan ekonomi tetapi juga untuk keutuhan wilayah negara.70 Pengakuan Malaysia atas Pulau Sipadan-Ligitan merupakan upaya Malaysia dalam power seeking. Dengan mengambil alih Pulau Sipadan-Ligitan berarti wilayahnya bertambah luas dan tentunya Malaysia berhak mengelola segala sesuatu (Sumber Daya Alam) yang ada di kedua pulau maupun yang terkandung di dalam lautnya. Bahkan ada kemungkinan untuk mengakui wilayah lain di Indonesia sebagai miliknya. Padahal Malaysia tahu bahwa kedua pulau tersebut merupakan wilayah Indonesia, hal ini terbukti melalui peta zaman Belanda yang dikukuhkan Malaysia pada tahun 1979 di mana tertera Pulau Sipadan-Ligitan merupakan bagian dari wilayah Indonesia. Upaya Malaysia untuk merebut Pulau Sipadan-Ligitan membuat Indonesia semakin berusaha untuk mempertahankan kedua pulau tersebut. Indonesia berusaha mempertahankan kawasan tersebut sebab secara historis dalam Peta zaman Penjajahan Belanda kedua pulau tersebut masuk dalam wilayah Indonesia walaupun tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Indonesia beranggapan bahwa penduduk yang ada di kedua pulau tersebut adalah penduduk Indonesia. Alasan ini tidak kuat sebab seperti yang diketahui bahwa Indonesia dan Malaysia merupakan satu rumpun yaitu Rumpun Melayu sehingga sangatlah susah untuk membedakan hanya dari ciri fisik dan bahasa yang dipergunakan. Apalagi penduduk yang berada di daerah perbatasan merupakan campuran dari kedua negara bersangkutan. Dalam konteks modern, sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan nasional suatu negara akan sumber daya alam yang dikandungnya. Negara modern selalu berupaya mencari tambahan penghasilan nasional melalui eksplorasi sumber daya alam. Hangatnya sengketa antara Malaysia dan 70

Lihat http://www.icj-cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=3&k=df&case=102&code=inma&p3=0 Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

49

Indonesia ini bisa dikatakan mulai memuncak pada dekade delapan puluhan ketika di dua pulau itu dijumpai potensi pariwisata bawah air yang luar biasa bagusnya. Didorong oleh potensi tersebut, Malaysia membangun kompleks pariwisata di Pulau Sipadan. Menurut survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga dunia, pemandangan bawah laut yang ada di Pulau Sipadan, konon memiliki nilai terbaik di dunia. Karena itu, Malaysia telah berhasil meraih jutaan dolar dari sektor pariwisata di pulau itu sebelum kemudian dihentikan sementara menyusul proses ini dibawa ke Mahkamah Internasional. Di tengah makin berkurangnya energi minyak di seluruh dunia, potensi pariwisata menjadi rebutan sebagai lahan penyumbang devisa nasional. Pulau Sipadan-Ligitan menjadi arti penting sebagai obyek sengketa, karena kedua pulau tersebut dapat dijangkau dengan menggunakan kapal hanya dengan waktu 30 menit. Kekayaan alam laut berupa biota laut dan taman laut yang sangat indah yang ada di perairan Pulau Sipadan-Ligitan mempunyai beranekaragam spesies yang jarang ditemukan di perairan laut di belahan bumi. Karena perairan yang terdapat di Pulau Sipadan-Ligitan merupakan pertemuan arus dari Laut Sulawesi, sehingga banyak ikanikan yang bermigrasi dan melewati di sekitar perairan di Laut Sulawesi. Pulau SipadanLigitan semenjak di klaim oleh Malaysia banyak didirikan resort-resort sebagai tujuan wisata. Pulau Sipadan terletak di jantung Indo-Pasifik cekungan, pusat salah satu habitat laut terkaya di dunia. Lebih dari 3.000 spesies ikan dan ratusan spesies karang telah diklasifikasikan dalam

ekosistem

ini.71

Pulau

Sipadan telah dinilai oleh para

penyelam banyak dunia sebagai salah satu tujuan utama untuk menyelam di dunia. Sering terlihat di perairan laut di sekitar Pulau Sipadan oleh para penyelam bahwa di sekitar Pulau Sipadan terdapat penyu hijau dan penyu sisik (yang menetap dan

bersarang di Pulau Sipadan). Di Pulau Sipadan juga terdapat pula berbagai spesies pelagis seperti pari manta, pari elang , hiu martil dan hiu paus juga mengunjungi Pulau Sipadan.72 Pulau Sipadan sendiri menurut para peneliti kelautan (oceanografi) diduga memiliki kekayaan alam bawah laut yang sangat indah dengan ribuan habitat penyu 71

Lihat http://www.sabah.gov.my/pd.sprn/sipadan.html. Lihathttp://www.scubatravel.co.uk/topdives.html.

72

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

50

dengan tebaran karang menjalar dari utara ke selatan dan diduga memiliki kandungan

bahan-bahan mineral, minyak dan gas bumi yang dapat dimanfaatkan dan dikelola secara maksimal sebagai bahan bakar yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat digunakan sebagai penambah devisa negara dalam menumbuhkan perekonomian negara. Untuk itu, Pulau Sipadan-Ligitan menjadi arti penting bagi Indonesia maupun Malaysia untuk diperebutkan, karena kedua pulau tersebut memiliki keistimewaan dalam berbagai hal selain kekayaan laut yang dapat dimanfaatkan sebagai obyek

pariwisata yang dapat menumbuhkan perekonomian negara tetapi juga dapat dimanfaatkan sebagai garis pertahanan pulau terluar bagi kedua negara dalam menjaga kedaulatan negara dari serangan negara lain. Sehingga, antara Indonesia dan Malaysia dalam memperjuangkan argumentasi dengan membawa bukti-bukti yang dimiliki ke tingkat internasional harus memakan banyak biaya yang tidak sedikit. Indonesia bahkan dalam memperjuangkan Pulau Sipadan-Ligitan untuk tetap menjadi bagian dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia harus mengeluarkan uang negara sebesar 16 miliar rupiah pada waktu itu untuk membayar pengacara.73 Dalam kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sehubungan dengan terus

bertambahnya jumlah penduduk dunia serta semakin meningkatnya intensitas pembangunan (industrialisasi), maka perebutan wilayah perbatasan dengan motif utama penguasaan sumber daya alam baik yang terbarukan (renewable resources) maupun tak terbarukan (non-renewable resources),74 akan semakin menggejala di masa-masa mendatang. Terlebih-lebih perairan laut dan pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan Indonesia pada umumnya kaya akan sumber daya alam. Pulau Sipadan-Ligitan memiliki potensi kekayaan laut yang mempunyai potensi yang banyak dimanfaatkan. Karena di dalam laut terutama di perairan laut Pulau Sipadan-Ligitan terdapat aneka ragam potensi, seperti ikan yang tak pernah habis, bahan tambang dan mineral, minyak dan

73

Hasil wawancara dengan Dian Triansyah Djani, MA (Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN) Kemenlu RI pada tanggal 10 November 2011. 74 Lihathttp://www.sabah.gov.my/pd.sprn/sipadan.html.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

51

gas, energi yang ditimbulkan dari air pasang surut, tenaga ombak, tenaga angin laut, serta tenaga panas air laut. Jika dikaji dari aspek ekonomi, bangsa Indonesia telah mengalami kerugian yang tidak dapat di hitung baik dari segi kerugian akan sumberdaya hayati perairan pesisir dan laut, maupun dari segi luasan wilayah. Perubahan garis pantai yang secara jelas mengandung makna bahwa dengan hilangnya Pulau Sipadan-Ligitan memberikan arti penting dalam perubahan luasan wilayah teritorial kawasan laut Indonesia. Dengan adanya kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan telah memberikan jawaban bagi negara lain yakni betapa lemahnya Kedaulatan Negara Indonesia. Indonesia sebagai bangsa yang besar dan yang memiliki sumber kekayaan alam laut yang begitu melimpah perlu melakukan berbagai tindakan preventif dalam mengatasi tindakan-tindakan negara lain yang sengaja ingin merampas akan kedaulatan negara ini selangkah demi selangkah. Pulau Sipadan-Ligitan menyediakan sumber daya alam yang produktif untuk dapat dikembangkan misalnya terumbu karang, padang lamun (sea grass),

hutan

mangrove, perikanan dan kawasan konservasi serta menjadi faktor penting dalam menggerakkan pariwisata bahari. Kekayaan alam tersebut dapat memungkinkan adanya pertumbuhan ekonomi yang pesat khususnya yang bersumber dari kekayaan alam tersebut. Kekayaan laut di Pulau Sipadan-Ligitan itulah yang menjadi sumber sengketa antara Indonesia dan Malaysia, karena pemanfaatan kekayaan alam itu nantinya akan dapat menumbuhkan geliat sektor pariwisata sebagai sumber perekonomian. Menurut peneliti dari lembaga kelautan bahwa di sekitar perairan Pulau Sipadan-Ligitan memiliki kandungan mineral, gas dan minyak bumi.

Bahkan para peneliti tersebut

mengatakan bahwa kandungan minyak bumi yang berada di sekitar perairan Pulau Sipadan-Ligitan intensitas cadangan minyak bumi hampir sama dengan cadangan minyak bumi yang berada di Pulau Ambalat. Oleh karena itu, Indonesia dan Malaysia memperebutkan Pulau Sipadan-

\

Ligitan yang sempat mengakibatkan ketegangan hubungan bilateral di kedua negara. Pulau Sipadan-Ligitan memang pulau yang tidak berpenduduk, tetapi memang sebelumnya Malaysia telah membangun sebuah mercusuar di Pulau Sipadan. Malaysia juga telah membangun berbagai resort bahkan menambah resort-resort tersebut karena

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

52

pariwisata di Pulau Sipadan semakin ramai dan Malaysia juga mendirikan cagar alam bagi penangkaran penyu-penyu hijau yang menetaskan telurnya di Pulau Sipadan. Keindahan pasir putih yang disuguhkan di Pulau Sipadan-Ligitan sangat menarik wisatawan yang mengunjungi Pulau Sipadan-Ligitan. Pulau Ligitan sendiri memang lebih sedikit kekayaan lautnya yang dapat dimanfaatkan daripada Pulau Sipadan, tetapi Pulau Ligitan sangat cocok untuk berbagai olah raga air karena keindahan lautnya yang jernih dan bersih serta gelombang laut yang sedikit besar dibandingkan dengan Pulau Sipadan yang gelombang lautnya lebih kecil, sehingga banyak biota laut dan ikan-ikan laut yang berkumpul di perairan laut di sekitar Pulau Sipadan. Akhirnya sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan memiliki dimensi kepentingan yang luas bagi kedua negara. Adapun kepentingan utama kedua negara adalah kepentingan atas kedaulatan teritorial yang akhirnya didukung dengan kepentingan ekonomi. Hal ini akan terbukti jika satu negara dapat memperoleh kedaulatan teritorialnya atas Pulau Sipadan-Ligitan, maka negara tersebut akan memanfaatkan hak eksklusif untuk mengelola sumber-smber alam Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan terbukti bahwa kepentingan ekonomi begitu kuat mempengaruhi proses penyelesaian sengketa Pulau Sipadan-Ligitan bagi Indonesia dan Malaysia. Kepentingan ekonomi mempengaruhi proses

penyelesaian

sengketa,

karena

diyakini

Pulau

Sipadan-Ligitan

memiliki

kekayaan sumber daya laut yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat dan dipergunakan sebagai devisa negara dari sektor pariwisata. Kedua negara yang sedang bersengketa sangat menginginkan Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke kedaulatan wilayah salah satu negara yang bersengketa karena nilai ekonomi yang menjadi alasannya. Lepasnya

Pulau

Sipadan-Ligitan dari wilayah kedaulatan negara

Indonesia

merupakan bukti nyata bahwa upaya politis yang dilaksanakan oleh Pemerintah hanya setengah-setengah. Justru upaya hukum yang diambil dengan membawa penyelesaian sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional (ICJ atau International

Court of Justice) dan selanjutnya hasil dari keputusan para Hakimakan ditulis ICJ. Dengan keyakinan memiliki bukti-bukti sejarah dan argumentasi yang mendukung

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

53

permasalahan tersebut Pemerintah menempuh penyelesaian permasalahan sengketa tersebut melalui upaya hukum, karena upaya politis gagal ditempuh Pemerintah.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

BAB 3 FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KEGAGALAN PEMBUATAN KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI DAN LEPASNYA PULAU SIPADANLIGITAN TAHUN 2002

Bab ini berisi tentang gambaran umum tentang faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan pembuatan kebijakan politik luar negeri dan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tahun 2002. Bahwa hal yang akan dibahas antara lain Kegagalan Pemerintah Indonesia Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri dalam Upaya

Penyelesaian

Sengketa

Melalui

Perundingan

Bilateral,

Faktor yang

Menyebabkan Kegagalan PemerintahIndonesia Membuat Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri, Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Terkait Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan Pada Masa Presiden Megawati Soekarnoputri, Politik Luar Negeri Indonesia dalam Usaha Integritas Teritorial,Aktor Negara yang Menyebabkan Kegagalan Pemerintah Indonesia Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri,Sikap Saling Mempengaruhi antara Menteri Luar Negeri, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dengan Komisi I DPR RI dalam Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan-Ligitandan Hasil Pendapat dari Aktor Negara Berkaitan dengan Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri. 3.1

Kegagalan Pemerintah Indonesia Menghasilkan Formulasi Kebijakan

Politik Luar Negeri dalam Upaya Penyelesaian Sengketa Melalui Perundingan Bilateral Pada tanggal 9-22 September 1969 adalah awal dari sengketa terhadap kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan di mana saat itu diadakan perundingan bilateral mengenai batas landas kontinen antara Indonesia dengan Malaysia. Dalam perundingan bilateral yang akan merumuskan batas-batas wilayah Indonesia dan Malaysia itu ternyata Pulau Sipadan-Ligitan belum diketahui secara jelas kepemilikannya. Pada waktu proses pelaksanaan perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia belum ditentukan negara mana yang mempunyai hak atas kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.

54

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

55

Akhirnya pada tahap akhir perundingan bilateral

yaitu pada tanggal 22 September 1969

kedua negara membuat kesepakatan bahwa Pulau Sipadan-Ligitan dinyatakan dalam posisi status quo. Artinya bahwa Pulau Sipadan-Ligitan tidak boleh ditempati dan diduki oleh pihak manapun baik Indonesia maupun Malaysia. Kesepakatan pada tahun 1969 ini ternyata dilanggar oleh Malaysia. Pada tahun 1976, Direktorat Pemetaan Negara Malaysia dan Department of Lands and Surveys Sabah

memasukkan Pulau

Sipadan-Ligitan ke

dalam Peta Bumi Sabah di wilayah

hukum Samporna. Peta yang dikeluarkan pada tahun 1976 merupakan pengganti dari Peta Bumi Sabah Sarawak yang dikeluarkan Directorat of National Mapping Malaysia pada tahun 1972. Di dalam peta tahun 1972 tidak dicantumkan Pulau Sipadan dalam Peta Bumi Wilayah Malaysia, tetapi peta yang dibuat pada tahun 1976 telah memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan secara resmi ke dalam kedaulatan wilayah teritorial Malaysia. Pihak Malaysia juga sekaligus menarik garis pangkal (base line) laut teritorial yang ditetapkan secara sepihak di Laut Sulawesi dan Malaysia yang menghubungkan bagian dari Pulau Sebatik dengan Pulau Sipadan-Ligitan. Kebijakan Pemerintah Malaysia yang memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam peta nasionalnya ini masih dilanjutkan dengan melakukan pengelolaan keindahan Pulau Sipadan-Ligitan menjadi sebuah objek pariwisata. Sehingga dari kegiatan tersebut Pemerintah Indonesia melakukan protes terhadap Pemerintah Malaysia, namun tidak mendapatkan tanggapan dari Pemerintah Malaysia.

Serangkaian aksi unilateral yang dilakukan Malaysia yang melanggar kesepakatan status quo dengan Indonesia mengenai wilayah teritorial Pulau SipadanLigitan pada tahun 1969 menjadi sebuah awal persengketaan antara Indonesia dan Malaysia. Upaya untuk menyelesaikan persoalan mengenai status Pulau SipadanLigitan serta sekaligus untuk mengantisipasi berkembangnya konflik, maka antara Indonesia

sepakat

mengambil

jalan politis dengan mengadakan berbagai rangkaian

perundingan bilateral dengan Malaysia sebagai bentuk penyelesaian sengketa secara diplomatik. Penyelesaian secara politis yaitu dengan mengadakan perundingan bilateral yang diupayakan Indonesia merupakan langkah pertama yang dapat dilakukan dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

56

Karena paling sedikit ada

empat

cara penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan pada waktu itu, yaitu Pertama mengadakan perundingan bilateral. Kedua, yaitu dengan status quo selama lima tahun dan baru diadakan kembali perundingan. Ketiga, yaitu melalui Dewan Agung (High Council) seperti yang termaktub dalam Treaty of Amity and Coorporation in Southeast Asia atau dikenal sebagai Deklarasi Bali tahun 1976. Keempat, yaitu melalui Jasa Baik (Good Office) Negara yang menjadi Ketua ASEAN Regional Forum (ARF Chair). Pemerintah Indonesia mengambil langkah pertama yaitu melalui jalan politis dengan mengajak Malaysia mengadakan perundingan bilateral dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan secara politis

yang

dilakukan oleh Indonesia melalui

perundingan bilateral telah sesuai dengan Pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang berbunyi “Sengketa Internasional harus diselesaikan melalui penyelesaian diplomatik, penyelesaian regional atau cara-cara dari penyelesaian pilihan para pihak yang bersengketa”. Perundingan bilateral yang dilaksanakan oleh Indonesia dengan Malaysia dalam penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan antara lain terdiri dari: 3.1.1.Perundingan Bilateral Indonesia dengan Malaysia Tahun 1989 Perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia dimulai pertama kali pada tahun 1989. Presiden Soeharto (Indonesia) dan PM Mahathir Mohammad (Malaysia) mengadakan sebuah pertemuan di Yogyakarta. Kedua pemimpin negara tetangga di kawasan Asia Tenggara tersebut membahas penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia. Kesepakatan di antara kedua belah pihak ternyata tidak tercapai, bahkan Presiden Soeharto dan PM Mahathir Mohammad mengaku kesulitan menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dalam kerangka perundingan bilateral. Dalam perundingan

bilateral tersebut bahkan belum dapat mencapai kesepakatan mengenai cara penyelesaian yang harus dilakukan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

57

Setelah pertemuan di Yogyakarta pada tahun

1989 tidak menghasilkan

kesepakatan antara kedua belah pihak, pada bulan Juni tahun Lautan

1991 TNI Angkatan

Republik Indonesia menangkap sebuah kapal nelayan berbendera Malaysia

yang menagkap ikan di perairan dekat Pulau Sipadan-Ligitan yang sedang menjadi obyek sengketa. Aksi penangkapan tersebut dilakukan oleh pihak Indonesia dengan maksud untuk memperingatkan Malaysia bahwa Pulau Sipadan-Ligitan masih dalam status quo. Di samping itu Malaysia juga mengembangkan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai lokasi pariwisata.75 Pada tanggal 5 Juni 1991, Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas meminta Malaysia untuk menghentikan pembangunan tempat wisata (resort) di Pulau SipadanLigitan, karena status Pulau Sipadan-Ligitan masih bergantung pada kesepakatan pembicaraan dalam perundingan bilateral yang masih berlangsung. Kesepakatan dalam pembicaraan dalam perundingan bilateral tersebut bahwa Pulau Sipadan-Ligitan dalam keadaan status quo. Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1991 diadakan pertemuan ke-16 Komite Perbatasan Bersama (GBC atau General Border Committee)Indonesia dan Malaysia di Yogyakarta yang membahas tentang Survey dan Pemetaan Daerah Perbatasan. Kemudian, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk tidak melakukan aktivitas apapun di Pulau Sipadan-Ligitan sampai ada kejelasan status kepemilikan. 3.1.2.Perundingan Melalui Mekanisme JWG(Joint Working Group) Perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia pada tanggal 22 Juli 1991 di Kuala Lumpur kemudian berhasil membentukJCM (Joint Commission Meeting)Indonesia-Malaysia

atau

Komisi

Bersama

Indonesia-Malaysia.

Komisi

Bersama Indonesia-Malaysia ini kemudian membentuk sub komisi untuk mengatasi sengketa wilayah di Pulau Sipadan-Ligitan yang disebut dengan Joint Working Group in Sipadan and Ligitan (JWG). Dengan pembentukan komisi ini, persoalan Pulau Sipadan-Ligitan diharapkan dapat diselesaikan dengan kerangka perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia. Pada pertemuan Komisi Perbatasan Bersama (GBC) 75

“Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan Takkan Ganggu Hubungan Indonesia-Malaysia” dalam Kompas, 30 Juni 1993 hlm .9.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

58

Indonesia-Malaysia ke-20 di Kuala Lumpur tanggal 28 Januari 1992, Indonesia dan Malaysia menyetujui suatu kebijakan non agresi untuk menyelesaikan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Perundingan diadakan lagi pada tanggal 6 Juli 1992 bertempat di Jakarta

yaitu

Pertemuan Kelompok Kerja Gabungan (JWG atau Joint Working Group) tentang Pulau Sipadan-Ligitan. Antara Indonesia dan Malaysia pada pertemuan tersebut saling menyerahkan dokumen dan peta yang dimiliki mengenai posisi Pulau Sipadan-Ligitan. Dokumen yang diserahkan oleh Indonesia dan Malaysia antara lain adalah Konvensi 1891, Traktat Paris 1898, Konvensi Amerika Serikat-Spanyol 1930, Konvensi InggrisAmerika Serikat 1930 dan Traktat antara Sultan Sulu dan Spanyol. Pada pertemuan tersebut yang menjadi Ketua Delegasi Indonesia adalah Direktur Jenderal Politik Departemen Luar Negeri Wiryono Sastrohandoyo dan adapun dari pihak Malaysia dipimpin oleh Ketua Setia Usaha Malaysia (Sekjen Kemenlu Malaysia) Tan Sri Ahmad Kamil Jaafar.76 Setelah pertemuan yang diadakan pada tanggal 6 Juli 1992 yang bertempat di Jakarta, kemudian Deputi Perdana Menteri Malaysia Ghafar Baba mengeluarkan pernyataan yang bernada konfrontatif pada tanggal 20 Desember 1992. Pernyataan dari Deputi Perdana Menteri Malaysia Ghafar Baba berisi bahwa mengharapkan Indonesia mencabut klaimnya atas kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Tetapi pernyataan Deputi Perdana Menteri Malaysia Ghafar Baba tersebut tidak mendapatkan tanggapan apapun dari pihak Indonesia. Perundingan antara Indonesia dan Malaysia dilanjutkan kembali pada tanggal 5 Februari 1993. Pertemuan Komisi Bersama Indonesia-Malaysia (JCM atau Joint Commission Meeting) bertempat di Jakarta. Di dalam kesempatan tersebut, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menangguhkan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan untuk kemudian dibicarakan dalam pertemuan lanjutan kelompok kerja bersama Indonesia-Malaysia tentang Pulau Sipadan-Ligitan. Selanjutnya pada tanggal 17 Juli 1993 Presiden Soeharto bertemu dengan Perdana Menteri Mahathir Mohammad 76

Lihat“Indonesia-Malaysia Tukar Menukar Dokumen Tentang Pulau Sipadan-Ligitan” dalamKompas, 8 Juli 1992 hlm. 6.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

59

dalam rangkaian kunjungan atas undangan Perdana Menteri Malaysia. Dalam pertemuan tersebut bahwa kedua pemimpin negara sepakat akan segera menyelesaikan permasalahan sengketa kepaemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang telah terjadi sejak tahun 1969 dan hingga sampai saat ini belum ada titik temu penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Pada tanggal 26-28 Januari 1994 berlangsung pertemuan Kelompok Kerja Gabungan (JWG atau Joint Working Group) Pulau Sipadan-Ligitan di Kuala Lumpur, Malaysia. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Izhar Ibrahim sementara delegasi Malaysia

dipimpin oleh Budiarto Shambazy. Ketua delegasi Indonesia pada waktu itu mengharapkan agar pertemuan Kelompok Kerja Gabungan Pulau Sipadan-Ligitan dapat menghasilkan sebuah langkah maju dam penyelesaian sengketa secepatnya. Izhar Ibrahim juga menegaskan perlu adanya peningkatan usaha untuk menuntaskan sengketa antara Indonesia dan Malaysia. Untuk itu, argumen-argumen yang dikemukakan oleh masing-masing pihak harus dibahas secara rinci. Pihak Indonesia dan Malaysia sepakat untuk mencari bukti-bukti tambahan untuk memperkuat argumen dan posisi mereka di perundingan selanjutnya.77 Pada tanggal 7-9 September 1994 diadakan pertemuan ke-3 JWG

(Joint

Working Group) di Jakarta. Indonesia menyatakan posisinya yang kuat sebagai pemilik sah atas Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam perundingan bilateral tersebut Indonesia mengajak Malaysia untuk menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilkikan Pulau Sipadan-Ligitan ke Dewan Tinggi ASEAN sebagai mekanisme yang memadai untuk menuntaskan sengketa tersebut. Karena Indonesia menganggap bahwa perundingan bilateral masih diperlukan dan mekanisme penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan harus melibatkan pihak ketiga. Dan pelibatan pihak ketiga yang dimaksud menurut Indonesia sebaiknya melalui Dewan Agung ASEAN atau ASEAN High Council. Dewan Agung ASEAN atau ASEAN High Council merupakan sebuah lembaga yang didirikan untuk menyelesaikan konflik antar angota 77

Lihat “Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan Agar Lebih Cepat Selesai” dalam Kompas, 27 Januari 1994, hlml. 4 dan “Pulau Sipadan-Ligitan Dibahas Bulan Mei di Indonesia” dalam Kompas, 29 Januari 1994 hlm. 9.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

60

negara-negara ASEAN. Dan pada pertemuan ke-3 Kelompok Kerja Bersama (JWG atau Joint Working Group) di Jakarta ini tidak membuahkan kesepakatan bersama. Akhirnya kedua delegasi akan melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada Menteri Luar Negeri masing-masing negara melalui JCM atau Joint Commission Meeting. 3.1.3.Perundingan Indonesia dan Malaysia Tahun 1995 Pada tanggal 13 Februari 1995, Malaysia menyelidiki laporan bahwa Indonesia telah memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah kedaulatan Indonesia di peta nasionalnya. Untuk meredam situasi yang mengarah kepada ketegangan antara Indonesia dengan Malaysia, maka pada tanggal 22 Februari 1995 Menteri Luar Negeri Malaysia

Abdullah

Badawi

mendesak

diselenggarakannya

perundingan

bilateral

lanjutan antara Indonesia dan Malaysia. Oleh karena itu, Pemerintah Malaysia mengusulkan Pemerintah

untuk

melaksanakan

Indonesia.

Permintaan

perundingan Pemerintah

bilateral Malaysia

tingkat untuk

tinggi

dengan

dilaksanakan

perundingan bilateral tingkat tinggi tersebut dipenuhi oleh Pemerintah Indonesia. Pada tanggal

6-9 Juni

1995 diadakan Pertemuan Komisi Bersama

IndonesiaMalaysia bertempat di Jakarta. Indonesia dan Malaysia sepakat segera menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan secara bilateral dengan jalur konsultasi informal yang bersifat politis di tingkat Menteri. Indonesia dan Malaysia juga sepakat menunjuk wakil khusus, untuk Indonesia diwakili oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono dan Malaysia diwakili oleh Wakil Perdana Menteri Anwar Ibrahim. Wakil khusus yang ditunjuk oleh kedua negara tersebut akhirnya mengadakan 4 (empat) pertemuan perundingan bilateral yaitu pada tanggal 17 Juli 1995 bertempat di Jakarta, 22 September 1995 bertempat di Kuala Lumpur, 26 September 1995 bertempat di Jakarta, dan 21 Juni 1996 bertempat di Kuala Lumpur. Pertemuan wakil khusus yang diadakan pada tanggal 17 Juli 1995 bertempat di Jakarta membahas dan mempelajari serta mengevaluasi hasil perundingan bilateral yang

telah dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam rangka Komisi Kerja Bersama (JWG atau Joint Working Group). Berdasarkan pertemuan tersebut, kedua wakil khusus menyatakan bahwa dokumen-dokumen dan argumentasi-argumentasi baik dari pihak

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

61

Indonesia maupun dari pihak Malaysia yang disampaikan dalam perundinganperundingan bilateral terdahulu ternyata tidak dapat menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Akhirnya kedua wakil khusus tersebut menegaskan perlu diadakannya perundingan bilateral lanjutan untuk mencari solusi atas permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dengan mempertimbangkan suasana bersahabat antara Indonesia dan Malaysia sebagai negara yang bertetangga. Pertemuan kedua wakil khusus diadakan kembali pada tanggal 22 September 1995 bertempat di Kuala Lumpur. Pertemuan tersebut diadakan dalam 3 tahap perundingan bilateral, yaitu 2 tahap perundingan pribadi dan 1 tahap perundingan yang melibatkan senior officials dari Indonesia dan Malaysia yang menyampaikan verbal presentation dan counter-arguments.78 Setelah penyampaian verbal presentation dan counter-arguments,

kemudian kedua

argumentasiargumentasi

wakil khusus menyatakan bahwa

yang disampaikan tidak jauh berbeda dengan

argumentasi-argumentasi pada perundingan-perundingan bilateral yang terdahulu, sehingga tidak ada arguments dan counter-arguments yang baru. Kedua wakil khusus tersebut menyadari bahwa permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan sulit untuk diselesaikan karena pihak-pihak yang bersengketa merasa mempunyai atau memiliki bukti-bukti yang kuat yang terus dipertahankan.

Pertemuan wakil khusus yang diselenggarakan kembali pada tanggal 26 September 1995 bertempat di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut, kedua wakil khusus kedua negara mencari penyelesaian yang tepat. Akhirnya kedua wakil khusus kedua negara menyepakati bahwa penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan adalah melalui hukum internasional. Langkah tersebut diambil karena menurut kedua wakil khusus bahwa melalui jalur hukum internasional akan mendorong negara-negara lain yang terlibat permasalahan sengketa akan menyelesaikan sengketa secara bilateral. Dari langkah yang telah disepakati tersebut, maka Indonesia

78

Lihat “Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan”, diperoleh dari http://www.dephan.go.id. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

62

mau tidak mau harus mengikuti kesepakatan penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui jalur hukum internasional dengan melibatkan pihak ketiga yaitu Mahkamah Internasional. Untuk itu Indonesia harus menerima konsekuensi tersebut, karena dari hasil keputusan Mahkamah Internasional nantinya hasilnya tidak akan dapat mendukung dalam proses perumusan kebijakan politik internasional. 3.1.4.

Perundingan Tingkat Tinggi antara Kepala Negara Sebagai tindak lanjut dari pertemuan antara wakil khusus kedua negara

tersebut, maka pada tanggal 7 Oktober 1996 Presiden Soeharto (Indonesia) dan Perdana Menteri Mahathir Mohammad (Malaysia) setuju menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui Mahkamah Internasional. Sementara itu Pemerintah Malaysia sejak tanggal 19 Oktober 1996 memutuskan untuk menghentikan proyek-proyek di Pulau Sipadan-Ligitan. Selanjutnya pada tanggal 13 Desember 1996 antara Indonesia dan Malaysia sepakat untuk membentuk sebuah tim tingkat pejabat tinggi guna memformulasikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau SipadanLigitan yang sebenarnya untuk dibawa ke Mahkamah Internasional. Pada tanggal 31 Mei 1997 bertempat di Kuala Lumpur, Indonesia dan Malaysia resmi memulai proses penentuan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan dengan menyerahkan

permasalahan sengketa

kepada

Indonesia dan Malaysia menandatangani

Mahkamah

Internasional.

Kemudian,

“Special Agreement for the Submission the

International Court of Justice on the Dispute between Indonesian and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan.79 Indonesia dan Malaysia saling tukar menukar naskah Piagam Ratifikasi Persetujuan Khusus bagi penyempurnaan ke Mahkamah Internasional pada tanggal 14 Mei 1998. Proses pertukaran

instrumen ratifikasi

ditandatangani oleh Direktur

Jenderal

Politik

Departemen Luar Negeri Indonesia Nugroho Wisnumurti dan Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Dato‟ Zainal Abidin bin Alias. Akhirnya pada tanggal 2 November 79

Lihat “Kesepakatan Soeharto-Mahathir bawa Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional”, diperoleh dari http://www.hamline.edu.[Diakses pada hari Senin, 25 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

63

1998 Indonesia dan Malaysia menyampaikan Notifikasi Bersama mengenai Pengajuan Sengketa Kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional. Dengan langkah yang telah disepakati yaitu menyerahkan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, maka Indonesia tidak dapat melanjutkan langkah politisnya yaitu melalui perundingan bilateral agar dapat mendapatkan hasil yang akan digunakan dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri. Permasalahan

sengketa

Pulau

Sipadan-Ligitan

berlanjut

pada

masa

pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri dengan mengutus Menlu Hasan Wirajuda dan Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono pada saat itu. Sebagai kepala negara, Presiden Megawati Soekarnoputri bertanggungjawab atas segala kebijakan politiknya yang berdampak pada politik dalam negeri dan luar negeri. Peran Presiden Megawati Soekarnoputri dalam penyelesaian sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sebagai pengambil kebijakan politik untuk menentukan arah Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri bukannya tidak melakukan langkah-langkah nyata dalam proses penyelesaian sengketa

Pula

Sipadan-Ligitan.

Perundingan

diplomasi

dengan

Malaysia yang dilakukan oleh Menlu Hasan Wirajuda dan Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono telah dilaksanakan dengan optimal tetapi tidak mendapatkan hasil yang diharapkan oleh Pemerintah. Pemerintah berharap dari setiap perundingan yang dilaksanakan dengan Malaysia dapat menghasilkan keputusan yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan politik luar negeri. Peran Menlu Hasan Wirajuda adalah sebagai ketua delegasi dalam perundingan diplomasi dengan Malaysia telah melaksanakan tugas sesuai arah diplomasi dan misi yang dibawa oleh pemerintah Indonesia. Menlu Hasan Wirajuda dalam setiap perundingan diplomasi mengajak Malaysia untuk menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ke tingkat regional dengan cukup membawa permasalahan sengketa tersebut ke Dewan Agung ASEAN atau ASEAN High Council. Dikatakan demikian, karena Indonesia dan Malaysia merupakan bagian dari negara ASEAN dan merupakan negara penggagas berdirinya ASEAN, sehingga tidak perlu permasalahan sengketa

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

64

tersebut dibawa ke Mahkamah Internasional. 80Menlu Hasan Wirajuda hanya bertugas melanjutkan perundingan secara diplomasi agar dapat membujuk Malaysia untuk tidak meneruskan permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional. Sedangkan peran Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono dalam proses diplomasi adalah sebagai mediator politik dalam kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono mempunyai tugas menjembatani proses diplomasi dengan Malaysia untuk langkah-langkah secara politik yang harus diambil supaya penyelesaian sengketa diselesaikan pada tingkat ASEAN. Bukan hal yang mudah untuk membujuk Malaysia agar tetap melaksanakan perundingan secara diplomasi meskipun hasil yang dicapai mengalami kebuntuan, karena setiap hasil perundingan tersebut sangat berpengaruh terhadap pengambilan kebijakan politik luar negeri oleh Pemerintah. Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono terus mencari solusi untuk membujuk wakil delegasi Malaysia untuk menyelesaikan permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan cukup di tingkat ASEAN melalui Dewan Agung ASEAN atau ASEAN High Council. 3.2

Faktor Yang Menyebabkan Kegagalan PemerintahIndonesia Membuat

Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dengan jalan membawa persoalan sengketa ke Mahkamah Internasional dipandang merupakan langkah yang salah. Indonesia melalui wakil khususnya memberanikan diri untuk memutuskan bahwa dalam menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melului pihak ketiga tetapi ditempuh lewat jalur hukum internasional dan membawa persoalan sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional. Wakil khusus dari Indonesia dengan berbagai pertimbangan bahwa telah cukup dengan adanya bukti-bukti yang dimiliki Indonesia maka apabila diselesaikan melalui jalur hukum internasional akan diperoleh hasil yang diharapkan, karena menurut wakil khusus Indonesia penyelesaian permasalahan sengketa 80

Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di Gedung Kemlu RI).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

65

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui upaya politis yaitu dengan cara perundingan bilateral telah mengalami kebuntuan. Sehingga hasil yang diharapkan Indonesia dari perundingan bilateral yang akan dijadikan dasar dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri selalu mengalami kegagalan. Upaya politis Indonesia melalui perundingan bilateral gagal diupayakan, karena dengan sikap yang optimis wakil khusus lebih mempercayakan penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum internasional. Apabila diperjuangkan dengan sungguh-sungguh tanpa harus membawa bukti-bukti sejarah, Indonesia bisa terus melanjutkan upaya politisnya melalui Dewan Agung ASEAN atau ASEAN High Council.81 Indonesia melalui wakil khusus seharusnya mampu mengajak Malaysia untuk lebih mengutamakan membawa penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan apabila dalam berdiplomasi lebih profesional. Karena Indonesia merupakan penggagas berdirinya ASEAN,

sehingga

dengan kekuatan

politiknya

dapat

mempengaruhi

anggota

negaranegara ASEAN lainnya untuk membantu dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan pada saat itu pula Malaysia juga sedang berkonflik dengan Filipina yaitu mengenai perbatasan. Faktor-faktor

yang menyebabkan

kegagalan

PemerintahIndonesia

membuat

formulasi kebijakan politik luar negeri antara lain terdiri dari: 3.2.1

Faktor Masyarakat yang Tinggal di Daerah Perbatasan Masalah batas negara merupakan masalah politis dan kompleks, di mana

perubahan batas negara terkadang terjadi setiap saat yang diakibatkan karena masalah fenomena alam. Masalah yang berkaitan dengan fenomena alam misalnya tsunami, kenaikan permukaan laut, abrasi dan reklamasi pantai, serta masalah aktivitas manusia yang dapat menyebabkan terjadinya Perubahan Garis Pangkal. Permasalahan lain adalah pergeseran dalam struktur dan tata kehidupan politik, bisa terjadi akibat perang, 81

Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

66

persetujuan-persetujuan baru ataupun penggabungan wilayah. Faktor penduduk di daerah perbatasan juga sangat penting untuk dibina. Karena ditemukan bahwa dalam kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sebelum diperebutkan antara Indonesia dan Malaysia, bahwa penduduk Pulau Sipadan-Ligitan telah banyak yang memiliki Kartu Tanda Penduduk Malaysia, sehingga kedudukannya menguatkan bagi Malaysia padahal Pulau Sipadan-Ligitan masih dalam sengketa.82 Untuk memperkuat penduduk di perbatasan dalam hal ini penduduk di Pulau Sipadan-Ligitan, seharusnya Pemerintah Indonesia memberikan fasilitas-fasilitas untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat atau penduduk di Pulau SipadanLigitan. Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus mengusahakan agar perekonomian masyarakat atau penduduk di Pulau Sipadan-Ligitan lebih sejahtera dibandingkan dengan perekonomian Malaysia. Biasanya patok atau pagar perbatasan dapat saja

berpindah tempat karena dipindahkan oleh penduduknya sendiri yang merasa kehidupannya tidak diperhatikan oleh negaranya atau dalam hal ini Pemerintah pusat. Artinya, karena di wilayah negara tetangganya lebih makmur dan diperhatikan kesejahteraannya, sehingga kemakmuran tersebut ternyata hanya dibatasi oleh garis pembatas negara. Faktor masyarakat juga menjadi salah satu penyebab Indonesia kehilangan wilayah kedaulatan, yaitu lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan. Pemerintah Indonesia mengakui sangat kesulitan dalam mendata penduduk yang tinggal di pulau-pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke karena penduduknya yang tinggal menyebar. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia mengalami hambatan dalam upaya perundingan bilateral salah satunya dengan adanya penduduk yang telah mempunyai kartu tanda penduduk Malaysia secara otomatis penduduk tersebut telah menjadi warga negara Malaysia.83 Hambatan tersebut diakui oleh Pemerintah Indonesia karena tidak adanya perhatian dari Pemerintah pusat akan tingkat kesejahteraan ekonomi, sehingga penduduk sekitar Pulau Sipadan-Ligitan lebih baik meninggalkan kewarganegaraan 82

Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo pada hari , Senin, 10 Desember 2012. 83 Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di Gedung Kemlu RI).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

67

demi memperbaiki kualitas hidupnya. Upaya tersebut merupakan usaha politik ekonomi yang sengaja dilakukan Malaysia untuk memberikan kesempatan kepada penduduk yang berada di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan.84 Pemerintah Indonesia sebenarnya berupaya untuk memberikan kesejahteraan ekonomi dan kehidupan yang layak bagi penduduk di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan dengan cara memberi alokasi dana melalui Pemerintah daerah setempat tetapi kurang optimal. Upaya politik lain Pemerintah Indonesia selain melalui perundingan bilateral dengan upaya mengajak penduduk di sekitar

wilayah Pulau

Sipadan-Ligitan untuk

kembali ke wilayah Indonesia melalui pemahaman wawasan nusantara. Faktor masyarakat merupakan salah satu penyebab kegagalan Pemerintah Indonesia dalam proses perumusan pembuatan kebijakan politik luar negeri, karena PemerintahIndonesia tidak mendapatkan dukungan politik dari penduduk di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan mengenai persoalan penyelesaian permasalahan sengketa yang melibatkan Malaysia.85 Hal lain penyebab masyarakat tidak memberikan atas proses politik Pemerintah Indonesia, karena penduduk di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan kecewa atas ketidakadilan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan perekonomian yang diberikan Pemerintah pusat.Kurangnya rasa kesadaran bangsa Indonesia terhadap negaranya sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara. Belum tumbuh dan berkembangnya pemahaman dan rasa bangga terhadap realita “Indonesia sebagai Negara Kepulauan” juga menjadi faktor utama penyebab masyarakat kurang mendukung Pemerintah dalam pembuatan perumusan kebijakan politik luar negeri. Penduduk yang tinggal di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan merasa telah diberikan kesejahteraan ekonomi oleh Pemerintah Malaysia, sehingga

enggan untuk kembali

menjadi warga negara Indonesia. Upaya Malaysia menurut Pemerintah Indonesia merupakan upaya politik ekonomi guna memberikan pengaruhnya kepada penduduk di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan yang masih menjadi obyek sengketa antara Indonesia dan 84

Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada hari Kamis, 13 Desember 2012. 85 Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

68

Malaysia. Fungsi kesejahteraan dan kemakmuran terletak pada negara, untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat diperlukan campur tangan dan peran aktif dari

negara. Jadi, faktor masyarakat juga mempengaruhi dalam proses perumusan pembuatan kebijakan politik luar negeri, karena masyarakat dibutuhkan guna mendapatkan masukan dan saran yang dapat dijadikan pertimbangan bagi Pemerintahdalam

proses

perumusan

kebijakan

politik

luar

negeri.

Pertimbanganpertimbangan dari masyarakat juga sebagai bentuk kepedulian terhadap keutuhan wilayah

negara

Indonesia.

Di

samping

itu,

peran

aktif

masyarakat

khususnya masyarakat atau penduduk di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan sangat dibutuhkan karena masyarakat atau penduduk tersebut yang mempunyai informasi tentang

aktivitasaktivitas yang dilakukan Pemerintah Malaysia dalam berbagai hal

menyangkut proses penyelesaian permasalahan sengketa. Faktor masyarakat merupakan dukungan bagi suatu proses perumusan kebijakan politik luar negeri, karena kurangnya dukungan suara dan peran aktif dari masyarakat akan mendapatkan hasil yang kurang maksimal dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri. Dibutuhkan suatu desakan dari Pemerintah Indonesia untuk memobilisir seluruh sumber daya yang ada dalam masyarakat untuk membantu mendukung proses perundingan bilateral atau diplomasi internasional Indonesia dalam mengatasi persoalan permaslahan sengketa wilayah kedaulatan. Hal tersebut diperlukan, karena tantangan politik luar negeri Indonesia sebagai negara kepulauan semakin keras, belum lagi perubahan-perubahan permasalahan di dunia internasional yang begitu mendadak dan sulit untuk segera dilakukan antisipasi. 3.2.2 Faktor Internal dan Politik Luar Negeri Indonesia Kembalinya minat atau keinginan untuk memainkan peranan internasional yang lebih efektif dalam menyikapi penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan hendaknya harus diimbangi dengan upaya secara politis dengan sungguh-sungguh. Politik luar negeri tidak hanya dapat dijalankan berdasarkan keinginan para elit negara sebagai pembuat keputusan (Pemerintah) dan pelaksana kebijakan (diplomat). Di samping pentingnya memperhitungkan konteks strategis di

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

69

lingkungan internasional yang telah banyak berubah sejak dirumuskannya politik luar negeri bebas aktif pada tahun 1948, Indonesia juga harus memperhitungkan keadaan dan perubahan-perubahan dalam konteks domestik. Keinginan-keinginan di bidang politik luar negeri harus selalu disesuaikan dengan kapasitas, kepentingan dan keadaan di dalam negeri. Dengan kata lain, dibutuhkan suatu desain politik luar negeri yang baru, yang tidak lagi terpenjara dalam romantisme masa lalu atau bukti-bukti sejarah, namun lebih mencerminkan kebutuhan masa sekarang dan masa depan. Faktor-faktor internal mempengaruhi proses perumusan kebijakan politik luar negeri dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, sehingga menyebabkan suatu kegagalan:86Pertama, politik luar negeri yang dijalankan oleh Pemerintah selama perundingan belum sepenuhnya diabdikan untuk kepentingan nasional. Hal demikian terjadi, karena Pemerintah belum menjamin hak dan kebutuhan masyarakat atau penduduk di sekitar wilayah Pulau Sipadan-Ligitan untuk memperoleh kehidupan yang layak sebagai tujuan inti nasional yang harus dipenuhi. Kedua, opini dari masyarakat atau publik dalam proses perumusan kebijakan kurang mendapatkan respon atau tanggapan dari Pemerintah, terutama pada masa Pemerintahan Orde Baru. Politik luar negeri tidak dapat lagi dianggap sebagai ranah (domain) eksklusif para elit negara sebagai pembuat kebijakan. Sebagai negara demokrasi, politik luar negeri Indonesia harus mencerminkan aspirasi publik atau masyarakat secara luas. Namun terkadang opini publik atau masyarakat tidak selalu rasional dan ada kalanya dapat menjadi kontraproduktif bagi kepentingan nasional sehingga perlu untuk dikaji ulang. Ketiga, berubahnya struktur pengambilan keputusan di mana Pemerintah bukan

lagi merupakan satu-satunya aktor dalam sebuah perundingan bilateral untuk memperoleh hasil sebagai dasar proses perumusan kebijakan politik. Seiring dengan terkonsolidasinya demokrasi, maka peran masyarakat warga (civil

society)

akan

semakin penting. Dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan peran masyarakat untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan politik sama sekali tidak ada. Dunia semakin ditandai oleh kecenderungan koalisi dan 86

Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

70

interaksi yang semakin intensif yang bersifat lintas batas negara

(transnational) di

antara organisasi-organisasi masyarakat warga. Oleh karena itu, keikutsertaan masyarakat warga dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri merupakan suatu keniscayaan apabila Pemerintah menginginkan adanya politik luar negeri yang legitimate serta didukung secara luas oleh konstituen di dalam negeri. Faktor

lain

yang

menyebabkan

Pemerintah

Indonesia

dinilai

gagal

merumuskan kebijakan politik luar negeri antara lain:87 1. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap isu tapal batas (border). 2.

Kurang fokusnya Pemerintah dalam mengakomodasikan aspek geopolitik dalam menentukan kepentingan pertahanan.

3.

Kurang akuratnya analisis Pemerintah terhadap perkembangan negara-negara major power di kawasan regional.

4. Belum optimal dan seriusnya pemerintah dalam memperhatikan karakteristik geografi/wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia guna mengakomodasikan geopolitik berkaitan dengan pembangunan. 3.2.3

Faktor Aktor Negara Sebagai Pembuat Kebijakan Politik Aktor negara sebagai pembuat kebijakan politik merupakan elemen paling

utama bagi kepentingan nasional. Sebagai aktor negara (Pemerintah) seharusnya

mengikutsertakan peran masyarakat warga untuk ikut aktif dalam mengikuti perkembangan dan situasi politik di dalam negeri maupun luar negeri melalui opini publik. Kepemimpinan sebagai aktor negara diperlukan dalam mengeluarkan sebuah kebijakan politik. Di mana kebijakan politik luar negeri dapat digunakan sebagai alat untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikannya. Di Indonesia telah mengalami pergantian rezim atau masa Pemerintahan, dari Orde Lama menjadi Orde Baru dan sampai saat ini masa Reformasi. Masa transisi masing masing Pemerintahan memiliki catatan-catatan politik luar negeri yang berbeda-beda. 87

Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

71

Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan telah muncul sejak tahun 1967 pada masa Pemerintahan Orde Baru

(Presiden Soeharto) sampai dengan masa

Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Dalam

kasus lepasnya

Pulau

Sipadan-Ligitan jelas bahwa

peran kebijakan

politik Pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan kebijakan politik Indonesia yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa pendahulu. Pada saat kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari kesalahan Pemerintah pada era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz dalam melaksanakan perumusan kebijakan politik pada saat itu. Dalam perannya sebagai perumus kebijakan politik, Presiden Megawati Soekarnoputri juga dibantu oleh kedua Menteri yang duduk pada masa Pemerintahannya. Kedua Menteri tersebut adalah Menteri Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda. Kedua Menteri tersebut memiliki peranan penting bagi Presiden Megawati Soekarnoputri sebelum mengeluarkan kebijakan politik. Peran penting juga tidak terlepas dari lembaga legislatif, karena lembaga legislatif dalam hal ini DPR yang berperan dalam perumusan kebijakan politik sebelum dikeluarkan oleh Pemerintah yang menyangkut kepentingan negara. Pemerintah merupakan pengambil keputusan kebijakan politik untuk kepentingan negara, sehingga kesalahan sekecil apapun akan membuat pengaruh besar kepada sistem politik dalam negeri dan luar negeri Indonesia. Karena sistem politik domestik yang sedang berjalan akan secara otomatis mempengaruhi sistem politik luar negeri. Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakan pelajaran bagi Pemerintah agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebenarnya

Indonesia

masih bisa

membicarakan masalah tersebut dengan

Malaysia dengan menganggap masalah teritorial adalah persoalan politik bukan hanya persoalan hukum.88

Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan

politik pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sumber dari permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan 88

Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

72

adalah kesalahan kebijakan politik pada era Pemerintahan Presiden Soeharto yang hanya mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke Mahkamah Internasional. Wilayah kedaulatan negara merupakan suatu permasalahan politik, karena sangat erat dengan suatu perumusan kebijakan politik yang nantinya akan dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah dalam menentukan arah kebijakan politiknya dalam membawa negara Indonesia ke arah yang lebih baik dan mempunyai kedudukan yang dihormati di dunia internasional. Karena kebijakan yang menyangkut teritorial suatu negara perlu adanya ketegasan kebijakan Pemerintah agar wilayah negaranya aman dari ancaman gangguan permasalahan perbatasan darat maupun laut dengan negara lain.Lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke tangan Malaysia adalah kegagalan Pemerintah dalam mempertahankan wilayah Republik Indonesia, bahwa ini adalah persoalan lama sejak tahun 1997 dan proses hukumnya pun merupakan kemauan bersama antara Indonesia dan Malaysia.89 Apabila ditelusuri lebih lanjut mengenai lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia justru dari peran aktor-aktor politik baik sebagai eksekutif maupun legislatif. 90 Peran aktor-aktor politik dalam lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan baik dan sinergi, karena saling menyalahkan setelah Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang di Mahkamah Internasional yang menyebabkan akhirnya Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke dalam bagian dari wilayah Malaysia. Karena sejak masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, persoalan Pulau Sipadan-Ligitan hanya dipandang sebagai permasalahan hukum dan pada kenyataannya Indonesia tidak mempunyai cukup bukti yang dihadirkan selama proses yang panjang selama persidangan di Mahkamah

Internasional.91 Karena dalam membawa permasalahan hukum ke Mahkamah Internasional, maka seharusnya Indonesia harus banyak meratifikasi dasar-dasar hukum yang akan dijadikan sebagai alat bukti kepada Hakim agar dapat dipercaya dan dapat 89

Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di Gedung Kemlu RI). 90 Ganewati Wuryandari , Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2008, hlm. 45. 91 Lihat “Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan”, diperoleh dari http://www.dephan.go.id. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

73

dijadikan bahan pertimbangan oleh Hakim dalam masa persidangan masalah sengketa yang melibatkan kedua negara dalam memperebutkan Pulau Sipadan-Ligitan. Yang

harus

dilakukan

oleh

para

aktor-aktor

politik

adalah

melihat

permasalahan sengketa perbatasan wilayah dari segi politik bukan dari segi hukum. Karena permasalahannya menyangkut teritorial suatu negara, di mana peran Pemerintah sangat penting dalam mengeluarkan suatu kebijakan politiknya yang tegas tetapi tetap menjaga kaidah politik sesuai dengan Piagam ASEAN yang telah disepakati oleh

anggota-anggota negara ASEAN. Sebelum kebijakan politik dikeluarkan oleh Pemerintah, antara Pemerintah dan DPR RI, dalam hal ini khususnya Komisi I DPR RI, telah mengadakan rapat dengar pendapat sebagai tempat untuk berkonsultasi sebelum perumusan kebijakan politik yang disodorkan oleh Pemerintah pada waktu itu mendapat persetujuan dari DPR RI.92 Dari masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga pada saat

lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, antara Pemerintah dan DPR RI sendiri tetap hanya memandang permasalahan Pulau Sipadan-Ligitan tersebut dari segi hukum saja.Dari permasalahan tersebut jelas bahwa antara Pemerintah dan DPR RI tidak mempunyai konsep dalam perumusan kebijakan politik, karena

kedua lembaga

yang berisi aktor-aktor politik

tersebut tidak mampu membuat suatu keputusan kebijakan politik sebagai arah bagi negara yang mempunyai luas wilayah kepulauan sangat besar.93 Permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan setelah pemerintahan Orde Baru telah diupayakan untuk dibicarakan atau diselesaikan kembali melalui jalan diplomasi tetapi seringkali mengalami kebuntuan. Malaysia tetap ingin kasus sengketa tersebut diselesaikan di Mahkamah Internasional. Permasalahan yang ada karena pada bahwa masa pemerintahan Orde Baru menginginkan sengketa tersebut dibawa ke Mahkamah Internasional dengan membawa bukti-bukti dan dokumentasi yang dirasa cukup dan beberapa prinsip yang berlaku di Mahkamah Internasional salah satunya adalah

Ganewati Wuryandari , Op. Cit., hlm. 197. Lihat “Kasus Sipadan-Ligitan”. Dalam http://www.metronews.com oleh Aspiannor Masrie. Diakses tanggal 29 April 2011. 92

93

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

74

sengketa yang masuk harus

dengan persetujuan pihak-pihak yang bersengketa.94

Presiden Megawati Soekarnoputri juga telah meminta Malaysia untuk bersama -sama mencabut gugatan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan tetapi Malaysia menolak. Suatu negara yang mempunyai luas wilayah kepulauan yang sangat besar dan memiliki beribu-ribu pulau merupakan suatu ancaman besar dalam permasalahan perbatasan baik di darat maupun di laut. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu lebih fokus terhadap ancaman-ancaman tersebut oleh negara lain terutama aktor-aktor politik yang menduduki lembaga eksekutif maupun legislatif. 95 Jangan sampai antara Pemerintah dan DPR RI saling bermanuver saling menyalahkan dan saling menyerang atas keputusan politik yang telah dikeluarkan dan hasilnya membuat kerugian yang besar bagi kepentingan negara dan rakyatlah yang sangat kecewa dengan apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI.96 Karena rakyat telah memberikan mandat dan kepercayaan penuh kepada kedua lembaga tersebut dalam pengambilan kebijakan politik yang akan membawa negara Indonesia menjadi negara yang mempunyai integritas politik yang tegas dan terarah, sehingga menjadikan negara lain menghormati kebijakan politik Indonesia. Hal tersebut sangat berbeda dengan yang ditunjukkan oleh Presiden Soekarno dalam kebijakan politik pada saat pengambilan kebijakan politik mengenai wilayah Irian Barat dan menjadikan Irian Barat sebagai wilayah Negara Kesatuan Rebublik Indonesia. Kebijakan politik yang diambil Presiden Soekarno pada waktu itu juga tidak terlepas dari peran legislatif yang sangat mendukung langkahlangkah yang diambil Pemerintah terutama kebijakan politik.97 Karena ketegasan kebijakan politik Pemerintah mencerminkan keberhasilan politik dalam negeri sehingga sistem politik luar negeri juga berpengaruh. Permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari peran dan hubungan yang sinergis antara lembaga eksekutif dan legislatif yang seharusnya satu sama lain harus mendukung dan bukan saling menyalahkan setelah keputusan kebijakan 94

Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo pada hari , Senin, 10 Desember 2012. 95 Ibid, Op.cit. 96 Ganewati Wuryandari , Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2008, hal. 45. 97 Mohammad Hatta, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta:Tintamas, 1953, hlm. 78.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

75

politik tersebut diambil.98 Para aktor-aktor politik yang berada di dalam kedua lembaga tersebut seharusnya menyikapi permasalahan yang berhubungan dengan teritorial negara bukan pada cermin hukum, tetapi harus bercermin pada politik. Permasalahan perbatasan sendiri menyangkut pada suatu kedaulatan negara yang seharusnya tidak dapat diganggu gugat dan diusik oleh negara manapun, karena permasalahan perbatasan sangat rentan dengan konflik dan berujung pada suatu peperangan antar kedua negara yang sedang bersengketa.99 Karena suatu kebijakan politik

diambil merupakan sebuah

keputusan yang memberikan arah kepada negara tersebut akan suatu integritas dan kedaulatan suatu wilayah. Apabila kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah dinilai oleh Malaysia sangat tegas, maka tidak akan mugkin Malaysia berani membawa permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional.100 Kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah seharusnya merupakan harga mati sebagai bangsa yang besar dengan wilayah kepulauan yang sangat luas, karena apabila kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah tidak diindahkan oleh negara lawan dalam permasalahan perbatasan maka jalan terakhir adalah peperangan. 3.3

Pulau

Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Terkait Lepasnya

Sipadan-Ligitan

Pada

Masa

Pemerintahan

Presiden

Megawati

Soekarnoputri Situasi ketidakpastian yang melingkupi proses transisi politik sebetulnya

membuat sebuah negara yang sedang menjalani demokratisasi sangat mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Pengaruh internasional dari sebuah proses demokratisasi dapat terjadi dalam beberapa bentuk, misalnya: contagion, control, consent dan conditionality. Contagion terjadi ketika demokratisasi di sebuah negara mendorong gelombang demokratisasi di negara lain. Mekanisme control terjadi ketika sebuah pihak di luar negara berusaha menerapkan demokrasi di negara tersebut. 98

Pandangan Morgenthau mengenai konsep ini dapat ditemukan dalam Theodore A. Columbis dan James H. Wolve, Introduction to International Relations, Power and Justice, New Jarsey: Prentice Hall, 1982, ditulis di dalam tulisan Bantarto Bandoro dalam Analisis CSIS Aspek-Aspek Internasional dalam Intergrasi Nasional, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994. 99 Aspiannor Masrie, “Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum ‟ at tanggal 29 April 2011]. 100 Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

76

Consent terjadi ketika harapan terhadap demokrasi muncul dari dalam negara sendiri karena warga negaranya melihat bahwa sistem politik yang lebih baik seperti yang berjalan di negara demokrasi lain yang telah mapan, akan dapat juga dicapai oleh negara tersebut. Untuk itu, muncul beberapa alasan bahwa faktor-faktor domestik yang diduga akan menjadi faktor pendukung atau penghambat proses demokratisasi. Pertama, karena aktor-aktor politik dalam proses demokratisasi senantiasa berkonsentrasi untuk usaha-usaha mengkonsolidasi kekuasaannya masing-masing. Oleh karena itu, prosesproses politik di masa transisi cenderung bersifat inward-looking. Kedua, karena adanya anggapan bahwa pada akhirnya aktor-aktor politik domestik yang akan menentukan tindakan politik apa yang akan diambil.101 Politik luar negeri dapat digunakan sebagai alat untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim Pemerintahan yang digantikannya. Karena negara yang mengalami proses transisi demokratisasi akan menggunakan cara diplomasi dan politik luar negeri untuk mengkonsolidasikan demokrasinya. Untuk itu, akan di dapat prospek yang lebih baik bagi kerjasama internasional, terutama dengan negara-negara yang telah mapan proses demokrasinya akan semakin baik dan pada akhirnya memberi konstribusi positif bagi proses konsolidasi internal di negara tersebut. Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan berlangsung sejak

Pemerintahan masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Penyelesaian permasalahan sengketa antara Indonesia dan Malaysia berlangsung cukup alot karena masing-masing negara mengklaim kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dengan bukti-bukti atau dokumentasi-dokumentasi sejarah yang dimilki. Hal tersebut yang menjadikan proses penyelesaian

permasalahan sengketa tidak kunjung

mendapatkan hasil dan kepastian politik dan hukum. Penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan

Pulau

Sipadan-Ligitan

kembali

dilanjutkan

pada

masa

Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Akhirnya pada tahun 1969 penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan Guillermo O‟ Donnel, Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead, Transition from authoritarian rule:prospect for democracy, Baltimore: Johns Hopkins University, Buku I, 1986, hlm. 5.

101

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

77

Ligitandiselesaikan secara politis melalui perundingan bilateral, karena antara Indonesia dan Malaysia menemukan ketidakjelasan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan. Kasus Pulau Sipadan-Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen Indonesia dengan Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Pulau Sipadan-Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara Republik Indonesia, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan Pulau Sipadan-Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan kedua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan mengemukakan sejumlah alasan,

dalil hukum dan fakta.

Kedua belah pihak untuk

sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “Status Quo”. Dua puluh tahun kemudian tepatnya pada tahun 1989 masalah Pulau Sipadan-Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad. Peristiwa tersebut menjadi titik tolak persengketaan mengenai batas teritorial kedaulatan negara antara Indonesia dan Malaysia. Kedua negara saling mengeklaim kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dengan argumentasi-argumentasi serta bukti-bukti sejarah yang dimiliki baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Tiga tahun kemudian tepatnya tahun 1992, Indonesia dan Malaysia

sepakat

menyelesaikan masalah ini melalui jalur politik yaitu melalui perundingan secara bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan kelompok Kerja Bersama (Joint Commission atau JC dan Joint Working Groups atau JWG).102 Namun dari serangkaian pertemuan Joint Commission dan Joint Working Groups yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah Indonesia 102

Jack Plano & Ray Olton,International Relation Dictionary,New York : Holt, Rinehart &Winston,1969.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

78

kemudian

menunjuk Menteri Sekretaris Negara Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk

Wakil Perdana Menteri Malaysia Datok Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus Pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum Joint Commission dan Joint Working Groups. Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kuala Lumpur tidak pernah mencapai hasil kesepakatan. Hal demikian menunjukkan betapa lemahnya sebuah proses dan upaya Pemerintah dalam menjalankan politik luar negeri. Bahwa dapat dilihat proses penyelesaian

kasus sengketa

kepemilikan

Pulau

Sipadan -Ligitan

dari masa

Pemerintahan Orde Lama, Orde Baru dan terakhir masa Reformasi yang berhenti pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri sama sekali tidak mengalami perubahan yang memiliki dasar yang kuat dalam pencapaian proses politik. Pencapaian proses politik yang dimaksud

yaitu dengan mengadakan perundingan bilateral yang

nantinya dari pencapaian hasil perundingan bilateral tersebut dapat dijadikan dasar

Pemerintah dalam membuat kebijakan politik luar negeri dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Permasalahan mendasar yang dilakukan oleh Pemerintah dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri dan selama pelaksanaan proses penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan adalah tidak diikutsertakan atau

dilibatkannya peran dari warga negara.103 Peran dari warga negara atau masyarakat merupakan suatu kewajiban karena warga negara merasa memiliki pulau-pulau yang tersebar di seluruh wilayah teritorial Indonesia dan wajib menjaganya dari penyerobotan pihak asing. Dalam proses pembuatan suatu kebijakan politik, Pemerintah tidak dapat bekerja sendiri tanpa adanya dukungan dan masukan dari warga negara. Pemerintah memang bekerjasama dengan parlemen dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi fungsinya hanya sebatas sebagai tempat untuk berkonsultasi dan meminta persetujuan untuk mengeluarkan suatu kebijakan politik saja.104 Warga negara justru secara langsung memiliki peran penting dalam pelibatan proses pembuatan kebijakan politik, 103

Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember 2012. 104 Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

79

karena warga negara berhak atas penyampaian pendapat dan harus mendapatkan apresiasi atau perhatian dari Pemerintah. Dalam proses pembuatan kebijakan politik luar negeri dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, Pemerintah berjalan sendiri tanpa menyertakan perwakilan dari warga negara atau masyarakat melalui lembagalembaga masyarakat yang ada di Indonesia.

Pemerintah terlalu yakin dengan tindakan

atau langkah-langkah yang diambil dan keputusan yang dikeluarkan tanpa adanya pelibatan dari warga negara. Pelibatan dari warga negara atau masyarakat dibutuhkan untuk meminta dukungan dan saran bagi Pemerintah yang sedang melaksanakan proses perundingan bilateral dalam proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan serta dukungan dalam proses pembuatan kebijakan politik luar negeri. Tidak adanya pelibatan warga negara oleh Pemerintah pada tahapan proses penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan dan proses

dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri. Justru kehadiran pelibatan warga negara dalam suatu permasalahan negara dalam hal ini permasalahan perbatasan seharusnya Pemerintah juga membuka komunikasi terhadap publik untuk diberikan kesempatan dalam penyampaian pendapat untuk kepentingan bangsa dan negara. 3.4

Politik Luar Negeri Indonesia dalam Usaha Integritas Teritorial a.

Masa Pemerintahan Presiden Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin

Jusuf Habibie Dapat dilihat dari masa ke masa kepemimpinan kepala negara pasca Orde Baru selama menjabat Pemerintahan dalam proses politik luar negeri dan pembuatan kebijakan politik luar negeri. Dimulai dengan Pemerintahan Presiden Prof. Dr.Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie adalah Presiden ketiga Indonesia (1998-1999) setelah lengsernya Presiden Soeharto dari jabatannya. Politik luar negeri yang dijalankan pada masa Pemerintahan Presiden B.J. Habibie juga mencatatkan hasil yang buruk bagi sejarah bangsa yaitu dengan lepasnya Timor-Timur dari wilayah Indonesia. Pemerintahan Presiden B.J. Habibie yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

80

luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan Pemerintahan transisi. Kebijakan Presiden B.J. Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas. Presiden B.J. Habibie mengeluarkan pernyataan

pertama mengenai isu Timor-Timur pada bulan Juni

1998 di mana ia mengajukan

tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk Provinsi Timor-Timur. Hingga pada akhirnya Indonesia harus kehilangan Timor-Timur melalui jajakpendapat. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkanPemerintahan Presiden Habibie. Presiden Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasionalmaupun Presiden Habibie dinilai pernyataannya

gagal

mendukung

mengontrol langkah

domestik. TNI,

yang

Presiden

Di mata internasional, dalampernyataan -

Habibie

menawarkan

referendum,namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan diTimor-Timur setelah referendum. b. Masa

Masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid Pemerintahan

selanjutnya

yaitu

masa

Pemerintahan

Presiden

Abdurrahman Wahid, di mana Presiden Aburrahman Wahid menjadi Presiden Indonesia keempat. Pada masa Pemerintahan Presiden Abdurrahaman Wahid justru politik luar negeri Indonesia cenderung mirip dengan politik luar negeri Indonesia yang dijalankan oleh Presiden Soekarno pada masa Orde Lama, di mana lebih menekankan pada peningkatan citra Indonesia pada dunia internasional. Pada masa Pemerintahannya, politik internasional Republik Indonesia menjadi semakin tidak jelas arahnya. Termasuk dalam hal ini selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalamkasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi. Presiden Abdurrahman Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional, untuk itu Presiden Abdurrahman Wahid melakukan banyak kunjungan ke luar negeri selama satu tahun awal Pemerintahannya sebagai bentuk implementasi dari tujuan tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama masa Pemerintahannya yang singkat, Presiden Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Namun, sebagian besar

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

81

kunjungan-kunjungannya itu tidak memiliki agenda yang jelas. Bahkan, dengan alasan yang absurd, Presiden Abdurrahman Wahid berencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sebuah rencana yang mendapat reaksi keras di dalam negeri. Dan dengan tipe politik luar negeri Indonesia yang seperti ini membuat politik luar negeri Indonesia menjadi tidak fokus yang pada akhirnya hanya membuat berbagai usaha yang telah dijalankan oleh Presiden Abdurrahman Wahid menjadi sia-sia karena kurang adanya implementasi yang konkrit. c. Masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri Pada proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau SipadanLigitan dilanjutkan kembali pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang mencoba meneruskan kebijakan Pemerintahan yang terdahulu yaitu masa Pemerintahan Presiden Soeharto dalam meneruskan perundingan bilateral maupun dengan upaya-upaya lainnya. Untuk lebih meminimalkan kesalahan yang telah ada dan belajar pada masa Pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, maka Presiden Megawati Soekarnoputri

lebih

memperhatikan

dan

mempertimbangkan

peran

DPR

dalam

penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan UUD 1945. Seperti diketahui, selama ini Komisi I DPR RI telah menjalankan peran cukup signifikan dan tegas

dalam

Indonesia. “mekanisme

mempengaruhi

dan

mengontrol

Karena itu, Presiden Megawati

pelaksanaan

aktivitas

diplomasi

Soekarnoputri lebih mengupayakan sebuah

kerja” yang lebih solid dengan Komisi I DPR RI sehingga diharapkan

dapat memunculkan concerted and united foreign policy sebagai hasil kerja bersama lembaga eksekutif dan legislatif yang lebih konstruktif dan bertanggungjawab atas dasar prinsip check and balance. Andaikata memungkinkan, dapat diterapkan bipartisanship foreign policy yang berlandaskan kolaborasi partai-partai yang ada.

Pada

masa

Pemerintahan

Presiden

Megawati

Soekarnoputri

telah

mengoptimalkan peran dari Departemen Luar Negeri (pada waktu itu) melalui Menteri Luar Negeri sebagai koordinator pelaksanaan politik luar negeri dan diplomasi sebagai salah satu aspek penting penyelenggaraan Pemerintahan. Dan yang lebih penting, untuk membuktikan kepada rakyat bahwa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

82

memiliki sense of urgency dan sense of crisis yang belum berhasil dibangun Pemerintahan sebelumnya. Melihat kinerja dari masa Pemerintahan pasca Orde Baru, untuk itu diperlukan penataandan peningkatan kinerja suatu Pemerintahan sehingga memerlukan suatu Effort dan National Commitment dari seluruh komponen bangsa, penyelenggara Pemerintahan dan lapisan masyarakat, sehingga Accountable. Perlunya kita menyadari suatu National Commitment, di mana National Commitment

terbentuk

dari masing-masing individu, kelompok masyarakat suatu bangsa yang tertata di dalam

hati nurani yang dikenal sebagai qalbu. Di dalam qalbu itulah tertanam rasa kasih sayang, mencintai kebenaran dan keadilan, kejujuran, rasa cinta tanah air serta membela kepentingan nasional, bangsa dan negara Indonesia. Di dalam suatu Pemerintahan yang cridible,

accountable antara

lain

adanya Public

mencerminkan

Accountability melalui visi dan misinya yang dilaksanakan secara transparansi dan konsistensi. Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan tidak lepas dari kenyataan betapa lemahnya Indonesia dari sisi administratif, di mana Pemerintah tidak berusaha mencari bukti-bukti sejarah, misalnya dari keluarga Sultan Bulungan yang ada di Tanjung Selor, yang pernah menguasai kedua pulau tersebut. Di samping itu, Indonesia lemah dari sisi eksistensi. Faktanya secara de factoPemerintah diam dan tidak bertindak ketika Pemerintah Malaysia mempromosikan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai tujuan wisata sejak tahun 1988. Bahkan, Pemerintah Indonesia hanya berani menetapkan status quo kedua pulau tersebut. Proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia tidak terlepas dari uncertainty condition selama 57 tahun merdeka, Indonesia belum mempunyai Undang-Undang tentang batas-batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak semata-mata Indonesia kehilangan pulau dari Peta dan Teritori Republik Indoesia tetapi mempunyai arti dan makna kita kehilangan dan terganggu rasa kedaulatan dan harga diri sebagai bangsa dan negara yang berdaulat.105 Malaysia telah terbiasa dengan legislasi nasional UK 105

Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo pada hari , Senin, 10 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

83

Systems dan para juri di International Tribunal adalah juri masyarakat Uni Eropa, pemilihan tema untuk mengadakan kegiatan di Pulau Sipadan-Ligitan selama status quo tentang perlindungan dan pelestarian alam merupakan cara yang sangat jeli tapi agak tricky, dan secara hukum seolah-olah merupakan pengakuan diam-diam, dengan demikian lex specialis lebih kuat dibandingkan lex generalis, dan pembiaran ini berlangsung lebih dari 20 tahun. 3.5

Aktor

Negara

Yang

Menyebabkan

Kegagalan

PemerintahIndonesia

Menghasilkan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri

Pada

masa

Pemerintahan

Presiden

Soeharto

seharusnya

lebih

mempertimbangkan usulan Perdana Menteri Mahathir Mohammad, yang menginginkan pembangian "fifty-fifty" terhadap kedua pulau tersebut. Tetapi, pada kenyataannya Presiden Soeharto yang tanpa didukung bukti-bukti sangat percaya diri untuk memperkarakan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui jalur hukum dengan membawa permasalahan ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ). Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto dinilai terlalu arogan dan percaya diri, karena Presiden Soeharto mempunyai keyakinan bahwa dengan bukti-bukti sejarah yang dimiliki Pemerintah yakin dengan membawa permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum akan dimenangkan oleh Indonesia. Penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang

diambil oleh Pemerintah Indonesia dengan jalan membawa persoalan sengketa ke Mahkamah Internasional dipandang merupakan langkah yang salah. Indonesia melalui wakil khususnya memberanikan diri untuk memutuskan bahwa dalam menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melului pihak ketiga tetapi ditempuh lewat jalur hukum internasional dan membawa persoalan sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional. Wakil khusus dari Indonesia dengan berbagai pertimbangan bahwa telah cukup dengan adanya bukti-bukti yang dimiliki Indonesia maka apabila diselesaikan melalui jalur hukum internasional akan diperoleh hasil yang diharapkan, karena menurut wakil khusus Indonesia penyelesaian permasalahan sengketa

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

84

kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan melalui upaya politis yaitu dengan cara perundingan bilateral telah mengalami kebuntuan. Sehingga hasil yang diharapkan Indonesia dari perundingan bilateral yang akan dijadikan dasar dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri selalu mengalami kegagalan.

Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Agung (High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan Agung ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa

anggota

untuk

membagi

sebagian

kedaulatannya

merupakan

hambatan utama dari terbentuknya Dewan Agung (High Council) ini.

Upaya politis Indonesia melalui perundingan bilateral gagal diupayakan, karena dengan sikap yang optimis wakil khusus lebih mempercayakan penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum internasional. Apabila diperjuangkan dengan sungguh-sungguh tanpa harus membawa bukti-bukti sejarah, Indonesia bisa terus melanjutkan upaya politisnya melalui Dewan Agung ASEAN atau ASEAN High Council. Indonesia melalui wakil khusus seharusnya mampu mengajak Malaysia untuk lebih mengutamakan membawa penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan apabila dalam berdiplomasi lebih profesional. Karena Indonesia merupakan penggagas berdirinya ASEAN, sehingga dengan kekuatan politiknya dapat mempengaruhi anggota negara-negara ASEAN lainnya untuk membantu dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan pada saat itu pula Malaysia juga sedang berkonflik dengan Filipina yaitu mengenai perbatasan.106

106

Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

85

Kembalinya minat atau keinginan untuk memainkan peranan internasional yang lebih efektif dalam menyikapi penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan hendaknya harus diimbangi dengan upaya secara politis dengan sungguh-sungguh. Politik luar negeri tidak hanya dapat dijalankan berdasarkan keinginan para elit negara sebagai pembuat keputusan (Pemerintah) dan pelaksana kebijakan (diplomat). Di samping pentingnya memperhitungkan konteks strategis di lingkungan internasional yang telah banyak berubah sejak dirumuskannya politik luar negeri bebas aktif pada tahun 1948, Indonesia juga harus memperhitungkan keadaan dan perubahan-perubahan dalam konteks domestik. Keinginan-keinginan di bidang politik luar negeri harus selalu disesuaikan dengan kapasitas, kepentingan dan keadaan di dalam negeri. Dengan kata lain, dibutuhkan suatu desain politik luar negeri yang baru, yang tidak lagi terpenjara dalam romantisme masa lalu atau bukti-bukti sejarah, namun lebih mencerminkan kebutuhan masa sekarang dan masa depan. Faktor-faktor internal mempengaruhi proses perumusan kebijakan politik luar negeri dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, sehingga menyebabkan suatu kegagalan. Pertama, politik luar negeri yang dijalankan oleh Pemerintah selama perundingan belum sepenuhnya diabdikan untuk kepentingan nasional. Hal demikian terjadi, karena Pemerintah belum menjamin hak dan kebutuhan masyarakat atau penduduk di sekitar wilayah Pulau Sipadan-Ligitan untuk memperoleh kehidupan yang layak sebagai tujuan inti nasional yang harus dipenuhi. Kedua, opini dari masyarakat atau publik dalam proses perumusan kebijakan kurang mendapatkan respon atau tanggapan dari Pemerintah, terutama pada masa Pemerintahan Orde Baru. Politik luar negeri tidak dapat lagi dianggap sebagai ranah (domain) eksklusif para elit negara sebagai pembuat kebijakan. Sebagai negara demokrasi, politik luar negeri Indonesia harus mencerminkan aspirasi publik atau masyarakat secara luas. Namun terkadang opini publik atau masyarakat tidak selalu rasional dan ada kalanya dapat menjadi kontraproduktif bagi kepentingan nasional sehingga perlu untuk dikaji ulang. Ketiga, berubahnya struktur pengambilan keputusan di mana Pemerintah bukan

lagi merupakan satu-satunya aktor dalam sebuah perundingan bilateral untuk memperoleh hasil sebagai dasar proses perumusan kebijakan politik. Seiring dengan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

86

terkonsolidasinya demokrasi, maka peran masyarakat warga akan semakin penting. Dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan peran masyarakat untuk dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan politik sama sekali tidak ada. Dunia semakin ditandai oleh kecenderungan koalisi dan interaksi yang semakin intensif yang bersifat lintas batas negara (transnational) di antara organisasiorganisasi masyarakat warga. Oleh karena itu, keikutsertaan masyarakat warga dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri merupakan suatu keniscayaan apabila Pemerintah menginginkan adanya politik luar negeri yang legitimate serta didukung secara luas oleh konstituen di dalam negeri. 3.5.1

Faktor dan Tanggungjawab Aktor Negara Sebagai Pembuat Kebijakan

Politik Aktor negara sebagai pembuat kebijakan politik merupakan elemen paling utama bagi kepentingan nasional. Sebagai aktor negara (Pemerintah) seharusnya

mengikutsertakan peran masyarakat warga untuk ikut aktif dalam mengikuti perkembangan dan situasi politik di dalam negeri maupun luar negeri melalui opini publik. Kepemimpinan sebagai aktor negara diperlukan dalam mengeluarkan sebuah kebijakan politik. Di mana kebijakan politik luar negeri dapat digunakan sebagai alat untuk menjaga jarak atau membedakan diri dari rezim autoritarian yang digantikannya. Di Indonesia telah mengalami pergantian rezim atau masa Pemerintahan, dari Orde Lama menjadi Orde Baru dan sampai saat ini masa Reformasi. Masa transisi masingmasing Pemerintahan memiliki catatan-catatan politik luar negeri yang berbeda-beda. Permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan telah muncul sejak tahun 1967 pada masa Pemerintahan Orde Baru (Presiden Soeharto) dan masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri tahun 2002. Dalam

kasus lepasnya

Pulau

Sipadan-Ligitan jelas bahwa

peran kebijakan

politik Pemerintah Indonesia tidak berjalan dengan baik dan tidak sesuai dengan kebijakan politik Indonesia yang telah disusun oleh para pemimpin bangsa pendahulu. Pada saat kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari kesalahan Pemerintah pada era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

87

Presiden Hamzah Haz dalam melaksanakan perumusan kebijakan politik pada saat itu. Dalam perannya sebagai perumus kebijakan politik, Presiden Megawati Soekarnoputri juga dibantu oleh kedua Menteri yang duduk pada masa Pemerintahannya. Kedua Menteri tersebut adalah Menteri Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda. Kedua Menteri tersebut memiliki peranan penting bagi Presiden Megawati Soekarnoputri sebelum mengeluarkan kebijakan politik. Peran penting juga tidak terlepas dari lembaga legislatif, karena lembaga legislatif dalam hal ini DPR yang berperan dalam perumusan kebijakan politik sebelum dikeluarkan oleh Pemerintah yang menyangkut kepentingan negara. Pemerintah merupakan pengambil keputusan kebijakan politik untuk kepentingan negara, sehingga kesalahan sekecil apapun akan membuat pengaruh besar kepada sistem politik dalam negeri dan luar negeri Indonesia. Karena sistem politik domestik yang sedang berjalan akan secara otomatis mempengaruhi sistem politik luar negeri. Lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tersebut ke Malaysia merupakan pelajaran bagi Pemerintah agar dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sebenarnya

Indonesia

masih bisa

membicarakan masalah tersebut dengan

Malaysia dengan menganggap masalah teritorial adalah persoalan politik bukan hanya persoalan hukum.

Masalah lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas kebijakan

politik pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Sumber dari permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan adalah

kesalahan

kebijakan politik pada

era

Pemerintahan Presiden Soeharto

yang

hanya mempersoalkan wilayah negara dari segi hukum saja sehingga mencari solusi ke Mahkamah Internasional. Wilayah kedaulatan negara merupakan suatu permasalahan politik, karena sangat erat dengan suatu perumusan kebijakan politik yang nantinya akan dijadikan sebagai pedoman oleh Pemerintah dalam menentukan arah kebijakan politiknya dalam membawa negara Indonesia ke arah yang lebih baik dan mempunyai kedudukan yang dihormati di dunia internasional. Karena kebijakan yang menyangkut teritorial suatu negara perlu adanya ketegasan kebijakan Pemerintah agar wilayah

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

88

negaranya aman dari ancaman gangguan permasalahan perbatasan darat maupun laut dengan negara lain.107 Apabila ditelusuri lebih lanjut mengenai lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia justru dari peran aktor-aktor politik baik sebagai eksekutif maupun legislatif.108 Peran aktor-aktor politik dalam lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan baik dan sinergi, karena saling menyalahkan setelah Indonesia mengalami kekalahan dalam sidang di Mahkamah Internasional yang menyebabkan akhirnya Pulau Sipadan-Ligitan jatuh ke dalam bagian dari wilayah Malaysia. Karena sejak masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, persoalan Pulau Sipadan-Ligitan hanya dipandang sebagai permasalahan hukum dan pada kenyataannya Indonesia tidak mempunyai cukup bukti yang dihadirkan selama proses yang panjang selama persidangan di Mahkamah Internasional.109

Karena

dalam

membawa

permasalahan

hukum

ke

Mahkamah

Internasional, maka seharusnya Indonesia harus banyak meratifikasi dasar-dasar hukum yang akan dijadikan sebagai alat bukti kepada Hakim agar dapat dipercaya dan dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh Hakim dalam masa persidangan masalah sengketa yang melibatkan kedua negara dalam memperebutkan Pulau Sipadan-Ligitan. Yang

harus

dilakukan

oleh

para

aktor-aktor

politik

adalah

melihat

permasalahan sengketa perbatasan wilayah dari segi politik bukan dari segi hukum. Karena permasalahannya menyangkut teritorial suatu negara, di mana peran Pemerintah sangat penting dalam mengeluarkan suatu kebijakan politiknya yang tegas tetapi tetap menjaga kaidah politik sesuai dengan Piagam ASEAN yang telah disepakati oleh

anggota-anggota negara ASEAN. Sebelum kebijakan politik dikeluarkan oleh Pemerintah, antara Pemerintah dan DPR RI, dalam hal ini khususnya Komisi I DPR RI, telah mengadakan rapat dengar pendapat sebagai tempat untuk berkonsultasi sebelum perumusan kebijakan politik yang disodorkan oleh Pemerintah pada waktu itu mendapat 107

Ibid. Ganewati Wuryandari , Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2008, hlm. 45.

108

“Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan”, diperoleh dari http://www.dephan.go.id. [Diakses pada hari Selasa tanggal 26 April 2011]. 109

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

89

persetujuan dari DPR RI. 110 Dari masa Pemerintahan Presiden Soeharto hingga pada saat lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, antara Pemerintah dan DPR RI sendiri tetap hanya memandang permasalahan Pulau Sipadan-Ligitan tersebut dari segi hukum saja. Dari permasalahan tersebut jelas bahwa antara Pemerintah dan DPR RI tidak mempunyai konsep dalam perumusan kebijakan politik,

karena

kedua lembaga

yang berisi aktor-aktor politik

tersebut tidak mampu membuat suatu keputusan kebijakan politik sebagai arah bagi negara yang mempunyai luas wilayah kepulauan sangat besar.111 Karena negara yang mempunyai luas wilayah kepulauan yang sangat besar dan memiliki beribu-ribu pulau merupakan suatu ancaman besar dalam permasalahan perbatasan baik di darat maupun di laut. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia perlu lebih fokus terhadap ancaman-ancaman tersebut oleh negara lain terutama aktor-aktor politik yang menduduki lembaga eksekutif maupun legislatif.112 Jangan sampai antara Pemerintah dan DPR RI saling bermanuver saling menyalahkan dan saling menyerang atas keputusan politik yang telah dikeluarkan dan hasilnya membuat kerugian yang besar bagi kepentingan negara dan rakyatlah yang sangat kecewa dengan apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI.113 Karena rakyat telah memberikan mandat dan kepercayaan penuh kepada kedua lembaga tersebut dalam pengambilan kebijakan politik yang akan membawa negara Indonesia menjadi negara yang mempunyai integritas politik yang tegas dan terarah, sehingga menjadikan negara lain menghormati kebijakan

politik

Indonesia.

Karena

ketegasan

kebijakan

politik

Pemerintah

mencerminkan keberhasilan politik dalam negeri sehingga sistem politik luar negeri juga berpengaruh. Permasalahan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan tidak terlepas dari peran dan hubungan yang sinergis antara lembaga eksekutif dan legislatif yang seharusnya satu sama lain harus mendukung dan bukan saling menyalahkan setelah keputusan kebijakan Ganewati Wuryandari ,Op. Cit., hlm. 197. Aspiannor Masrie, “Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum ‟ at tanggal 29 April 2011]. 112 Ibid. 113 Ganewati Wuryandari , Op. Cit., hlm. 45. 110

111

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

90

politik tersebut diambil.114 Para aktor-aktor politik yang berada di dalam kedua lembaga tersebut seharusnya menyikapi permasalahan yang berhubungan dengan teritorial negara bukan pada cermin hukum, tetapi harus bercermin pada politik. Permasalahan perbatasan sendiri menyangkut pada suatu kedaulatan negara yang seharusnya tidak dapat diganggu gugat dan diusik oleh negara manapun, karena permasalahan perbatasan sangat rentan dengan konflik dan berujung pada suatu peperangan antar kedua negara yang sedang bersengketa.115 Karena suatu kebijakan politik

diambil merupakan sebuah

keputusan yang memberikan arah kepada negara tersebut akan suatu integritas dan kedaulatan suatu wilayah. Apabila kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah dinilai oleh Malaysia sangat tegas, maka tidak akan mugkin Malaysia berani membawa permasalahan sengketa wilayah Pulau Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ).116 Kebijakan politik yang dikeluarkan Pemerintah seharusnya merupakan harga mati sebagai bangsa yang besar dengan wilayah kepulauan yang sangat luas, karena apabila kebijakan politik yang dikeluarkan oleh Pemerintah tidak diindahkan oleh negara lawan dalam permasalahan perbatasan maka jalan terakhir adalah peperangan. a.)

Peran dari Menteri Luar Negeri dan Menteri Politik dan Keamanan Masa

Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri Proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan Ligitan merupakan tanggungjawab Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan. Setiap pelaksanaan perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia, Menteri Luar Negeri sebagai ketua delegasi yang mewakili Pemerintah dengan didampingi Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan. Menteri Luar Negeri mempunyai peran dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri melalui jalur diplomatik yang nantinya menjadi bahan pertimbangan bagi 114

Pandangan Morgenthau mengenai konsep ini dapat ditemukan dalam Theodore A. Columbis dan James H. Wolve, Introduction to International Relations, Power and Justice, New Jarsey: Prentice Hall, 1982, ditulis di dalam tulisan Bantarto Bandoro dalam Analisis CSIS Aspek-Aspek Internasional dalam Intergrasi Nasional, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994. 115 Aspiannor Masrie, “Kasus Sipadan-Ligitan”, diperoleh darihttp://www.metronews.com. [Diakses pada hari Jum ‟ at tanggal 29 April 2011]. 116 Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

91

Presiden dalam mengeluarkan kebijakan politik luar negeri. Sedangkan peran nyata Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan pada proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan hingga proses pembuatan kebijakan politik luar negeri oleh Pemerintah adalah dalam mengkaji tentang kedaulatan wilayah teritorial Indonesia. Antara Menteri Luar Negeri dan Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan mempunyai peran masing-masing sesuai dengan fungsi masing-masing. Tetapi dengan melihat langkah yang diambil dalam penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan

Pulau

Sipadan-Ligitan

pada

masa

Pemerintahan

Presiden

Soeharto yang arogan dan percaya diri tanpa mempertimbangkan upaya politik luar negeri yang lebih efektif, maka Pemerintahan selanjutnya hanya dapat menerima hasil yang tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam proses perumusan kebijakan politik luar

negeri. Kinerja daripada Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono sebenarnya sudah tepat dan sesuai

prosedur dalam

mengambil

langkah-langkah diplomasi

yang diperlukan

selama proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Kedua menteri tersebut telah mengupayakan langkah-langkah secara politik dengan tepat dan profesional sehingga dapat mencegah ketegangan-ketegangan selama proses perundingan bilateral berlangsung. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono bertindak hanya sebagai wakil dari Pemerintah yang mempunyai tugas untuk melakukan perundingan bilateral dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Dari hasil yang dicapai selama proses perundingan bilateral akan dilaporkan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai bahan pertimbangan dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri. Tetapi hasil yang dicapai selama proses perundingan bilateral tidak seperti yang diharapkan oleh Pemerintah, karena hasil yang dicapai tetap saja Malaysia ingin membawa penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ). Hal tersebut disepakati oleh Indonesia melalui keputusan berani dari Presiden Soeharto yang percaya diri bahwa dengan bukti-bukti sejarah yang dimiliki dari

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

92

KesultananBulungan

dan

argumentasi-argumentasi

memberikan

keyakinan

bahwa

Indonesia akan menang. Kedua menteri tersebut hanya melanjutkan proses perundingan bilateral yang sudah berjalan, tetapi selalu mengalami kebuntuan dan tidak ada hasil yang dicapai karena baik Indonesia dan Malaysia tetap mengklaim kepemilikan Pulau SipadanLigitan. Dalam hal ini peran Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono hanya sebatas sebagai wakil dari Pemerintah dalam proses perundingan bilateral dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, sehingga tidak tepat apabila menjadi penanggung kesalahan akibat lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan. Kesalahan dapat ditujukan pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto yang mewariskan proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang tidak ada kebijakan politik luar negeri yang dikeluarkan. Justru penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum, yang seharusnya dapat diselesaikan dengan langkah politik yaitu dengan mengoptimalkan diplomasi. b.)

Peran dari Lembaga Legislatif (Parlemen) dalam hal ini Komisi I DPR RI

Dalam proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan proses pembuatan kebijakan politik luar negeri lembaga legislatif dalam hal ini DPR RI melalui Komisi I karena merupakan mitra kerja Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan dan Departemen Politik dan Keamanan. Dalam setiap tahap

penyelesaian

permasalahan

sengketa

kepemilikan

Pulau

Sipadan-Ligitan,

Pemerintah melalui Menteri Luar Negeri dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan

selalu mengadakan konsultasi dengan lembaga legislatif untuk membahas

setiap perkembangan dari hasil perundingan bilateral dengan Malaysia.

Pemerintah

melalui perwakilan yang ditunjuk untuk melakukan perundingan bilateral dengan Malaysia menemui kebuntuan. Tetapi upaya politik tetap dijalankan oleh Pemerintah, yaitu dengan meminta Dewan Agung ASEAN atau ASEAN High Council untuk menjadi

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

93

penengah

dalam

penyelesaian

permasalahan

sengketa

kepemilikan

Pulau

117

SipadanLigitan.

Peran lembaga legislatif dalam hal ini Komisi I DPR RI dalam proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dan proses pembuatan kebijakan politik luar negeri oleh Pemerintah yaitu dengan memberikan masukan terhadap Pemerintah untuk tetap melaksanakan upaya politik luar negeri dengan jalan melalui perundingan bilateral.118 Karena proses perundingan bilateral tidak menghasilkan suatu keputusan politik bagi kedua negara, maka melalui Komisi I DPR RI Pemerintah tidak dapat merumuskan kebijakan politik luar negeri yang akan diambil.

Selama proses konsultasi antara Pemerintah dengan lembaga legislatif, telah diagendakan untuk Pemerintah tetap mengambil upaya-upaya politik untuk menekan Malaysia. Karena menurut pertimbangan Komisi I DPR RI waktu itu, Pemerintah tidak banyak mempunyai cukup bukti, baik yang berupa dokumentasi-dokumentasi atau bukti-bukti sejarah yang menyatakan bahwa Pulau Sipadan-Ligitan masuk dalam peta wilayah Indonesia. Komisi I DPR RI tetap mendukung upaya Pemerintah untuk mempertahankan wilayah Pulau Sipadan-Ligitan, karena setiap perundingan bilateral telah dilaksanakan Pemerintah langsung mengkonsultasikan hasil dari perundingan tersebut. Pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri tercatat yang paling sering mengkonsultasikan setiap hasil yang dicapai dalam perundingan bilateral dengan Malaysia. Karena pada masa Pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri lebih mengoptimalkan dan mensinergikan peran antara eksekutif (Pemerintah) dengan legislatif (DPR). Lembaga eksekutif melalui Komisi I DPR RI dan Pemerintah terus berupaya untuk menyelesaikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dengan mengambil upaya politik. Melalui Komisi I DPR RI terus berupaya untuk 117

Kenneth Waltz ,Theory of International Politics, Cambridge: Cambridge Unversity Press, hlm.90

1979,

118

Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

94

membuka konsultasi dengan Pemerintah dalam membahas penyelesaian sengketa tersebut agar Pemerintah segera mengeluarkan kebijakan politik luar negeri. Diakui memang setiap jalannya konsultasi antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI terdapat

deadline karena hasil-hasil dari perundingan yang dilakukan oleh Pemerintah mengalami kebuntuan, sehingga sulit untuk Komisi I DPR RI menyetujui langkah yang akan diambil oleh Pemerintah yaitu akan membawa permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke permasalahan hukum.

Komisi I DPR RI sangat

memperdebatkan dan tidak menyetujui apabila Pemerintah berencana membawa penyelesaian

permasalahan

sengketa

kepemilikan

Pulau

Sipadan -Ligitan

ke

permasalahan hukum. Karena menurut Komisi I DPR RI permasalahan sengketa wilayah merupakan permasalahan yang menyangkut mengenai suatu kedaulatan sebuah negara yang harus dipertahankan. Komisi I DPR RI tetap mendesak kepada Pemerintah untuk tetap melakukan upaya politik untuk memberikan tekanan kepada Pemerintah Malaysia.

Bahkan Komisi I DPR RI melalui Effendi Choirie dari Fraksi PKB, menyatakan mengajukan hak interpelasi kepada Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono. Komisi I DPR RI mempertanyakan kepada Pemerintah tentang langkah hukum yang diambil bukan langkah politik dalam penyelesaian permasalahan wilayah kedaulatan negara. Komisi I DPR RI menyesalkan langkah yang diambil oleh Pemerintah yaitu menjadikan permasalahan sengketa kepemilikan Pulau SipadanLigitan ke permasalahan hukum, padahal jelas-jelas terbukti bahwa yang akan dijadikan bukti-bukti

oleh

Pemerintah

mempertahankan Pulau

dirasa

sangat

Sipadan-Ligitan.119

tidak

Menurut

dapat

mendukung

Komisi I DPR RI,

dalam

Pemerintah

berupaya memberikan bukti-bukti sejarah dari Kesultanan Bulungan yang dirasa telah cukup kuat untuk membawa permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum dengan membawa ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ). 119

Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

95

Upaya Komisi I DPR RI dalam memberikan saran agar Pemerintah segera membuat kebijakan politik luar negeri tidak mendapat respon positif dari Pemerintah. Karena Pemerintah tetap optimis pada pendirian bahwa dengan bukti-bukti sejarah yang dimiliki dan disertai dengan argumentasi-argumentasi yang ada, Pemerintah bersikukuh untuk tetap melanjutkan sesuai dengan kesepakatan dengan Pemerintah Malaysia untuk membawa penyelesaian permaasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ). Langkah yang diambil oleh Pemerintah disikapi oleh Komisi I DPR RI dengan keras, Komisi I DPR RI merasa diremehkan dengan keputusan secara sepihak yang diambil oleh Pemerintah tanpa adanya persetujuan dari lembaga legislatif. Hal ini memicu sikap para anggota legislatif, terutama anggota Komisi I DPR RI sebagai mitra kerja

Pemerintah khususnya Departemen Luar Negeri dan Departemen Politik dan Keamanan. Komisi I DPR RI mempertanyakan sikap Pemerintah yang tidak menanggapi usulan untuk tetap menjalankan upaya politik dengan segera membuat kebijakan politik yang setidaknya dapat menekan usaha Pemerintah Malaysia untuk tetap membawa permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke jalur hukum melalui Mahkamah Internasional Internasional (International Court of Justice atau ICJ).120 Tetapi pada kenyataannya, hak interpelasi yang disuarakan oleh anggota DPR melalui Komisi I DPR RI pada sidang paripurna ternyata hanya gertakan pada Pemerintah. Karena setelah hak interpelasi itu disuarakan, yang terjadi adalah para anggota dewan bersikap acuh terhadap Pemerintah. Anggota dewan tidak mendengarkan penjelasan yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri dan Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan. Segala penjelasan yang disampaikan kedua Menteri sebagai perwakilan Pemerintah tidak ada satupun yang mendapat tanggapan dan perhatian dari anggota dewan. Anggota dewan meminta penjelasan secara langsung oleh Presiden Megawati Soekarnoputri

sebagai

pengambil

kebijakan politik luar

negeri.

Tetapi Presiden Megawati Soekarnoputri hanya mengutus Menteri Luar Negeri dan 120

Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

96

Menteri KoordinatorPolitik dan Keamanan sebagai wakil Pemerintah dalam menyampaikan segala hasil yang telah dicapai dalam perundingan bilateral dan langkahlangkah yang akan diambil Pemerintah selanjutnya. Hal ini menjadi bukti bahwa pada saat proses penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan tidak berjalan dengan harmonis,

sehingga

proses

perumusan

kebijakan politik luar negeri tidak membuahkan hasil yang diharapkan untuk kepentingan negara. Karena Pemerintah dan DPR RI yang diwakili oleh Komisi I DPR RI justru memperlihatkan sikap dan hubungan yang kurang harmonis satu sama lain. Terbukti bahwa DPR RI melalui Komisi I DPR RI yang akan mengajukan hak interpelasi kepada Pemerintah tidak

jadi

dilaksanakan,

hal

yang

demikian

membuktikan bahwa tidak ada tanggungjawab sebagai salah satu aktor politik negara. 3.6

Sikap

Saling

Mempengaruhi

antara

Menteri

Luar

Negeri,

Menteri

Koordinator Politik dan Keamanan dengan Komisi I DPR RI dalam Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan Menteri Luar Negeri dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan selaku perwakilan atau utusan dari Pemerintah sering melakukan rapat konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat melalui Komisi I DPR RI untuk mendapatkan saran masukan dari hasil perundingan yang dilakukan dengan Malaysia. Ketiga aktor negara tersebut berusaha mencari solusi terbaik guna mempertahankan kedaulatan wilayah Pulau Sipadan-Ligitan agar tetap masuk ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua Menteri yang mewakili Pemerintah dalam perundingan bilateral dengan Malaysia juga terus mencari solusi politik agar permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dapat diputuskan tanpa campur tangan pihak ketiga, karena Indonesia dan Malaysia merupakan sesama anggota ASEAN. Dalam setiap konsultasi mengenai perkembangan perundingan bilateral tersebut, antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI berbeda argumentasi mengenai bukti-bukti mengenai dokumen sejarah

yang dimiliki Indonesia.

Pemerintahmenjelaskan bahwa

bukti-bukti sejarah yang dimiliki kurang begitu kuat untuk mendukung upaya untuk

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

97

dapat mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan yang sedang disengketakan dengan Malaysia. Pada setiap konsultasi antara Pemerintah dengan DPR RI bahwa sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesiapada saat dirumuskan batasan-batasan wilayah Indonesia yang merupakan penjabaran dari konsep Wawasan Nusantara yang dideklarasikan Perdana Menteri Djuanda 10 Desember 1957 dijelaskan ditarik garis melingkar seluruh Wawasan Nusantara yang didasarkan pada posisi Indonesia dengan menarik garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari pulau terluar sehingga Pulau Sipadan-Ligitan di luar klaim kewilayahan.121Menurut Pemerintah bukti-bukti sejarah yang dimiliki oleh Malaysia lebih cukup kuat dibandingkan dengan bukti-bukti sejarah yang dimiliki oleh Indonesia. Pemerintah didesak untuk tetap melakukan perundingan bilateral sebagai upaya politik luar negeri Indonesia

sebagai

negara

kepulauan

yang memiliki wilayah

kedaulatan atas Pulau

Sipadan-Ligitan.122 Sikap saling mempengaruhi dalam setiap rapat konsultasi antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI untuk membahas langkah yang harus diambil untuk mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan agar tetap berada dalam wilayah kedaulatan Indonesia terlihat pada saat Komisi I DPR RI mendesak Pemerintah untuk tegas dalam mengambil sikap politik luar negerinya dengan segera mengambil kebijakan sebagai langkah nyata yang berguna untuk mempertahankan Pulau SipadanLigitan. Dalam setiap kesempatan konsultasi antara Pemerintah dengan Komisi I DPR RI merupakan pernyataan sikap politik masing-masing sebagai bahan masukan dan pertimbangan kepada Pemerintah untuk segera mengambil kebijakan politik luar negerinya. Kebijakan politik luar negeri yang nantinya dikeluarkan oleh Pemerintah tersebut nantinya akan berdampak pada upaya diplomatik dalam melaksanakan perundingan bilateral dengan Malaysia.

Komisi I DPR RI sangat mendukung upaya dan

langkah politik yang telah diambil oleh Pemerintah, karena sikap positif Pemerintah 121

Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di kantor Kemlu RI). 122 Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

98

dalam melakukan konsultasi mengenai hasil perundingan bilateral dengan Malaysia walaupun hasil yang diperoleh dari setiap perundingan bilateral tersebut mengalami kebuntuan. Dalam setiap upaya politis melalui perundingan bilateral yang dilaksanakan selalu mengalami kebuntuan dikarenakan kedua negara tetap pada argumentasi dan bukti-bukti sejarah yang dimiliki masing-masing, sehingga kedua negara sulit menemukan kesepakatan yang juga berdampak pada pengambilan kebijakan politik luar negeri masing-masing negara.123

Dengan demikian

kemungkinan

kecil untuk

Pemerintah dapat merumuskan kebijakan politik luar negeri yang akan dikeluarkan, apabila kebijakan tersebut dikeluarkan akan dapat mempengaruhi keadaan politik di dalam negeri. Tabel 3.7

Hasil Pendapat dari Aktor Negara Berkaitan dengan Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri No. 1.

Pendapat

Aktor negara Komisi I DPR RI yang diwakili

Apabila

sistem

diplomatik

yang

Effendy Choirie dari Fraksi PKB.

dijalankan oleh Pemerintah dilaksanakan dengan baik, sistematik dan profesional, maka kasus lepasnya Pulau SipadanLigitan dapat dihindari. Upaya politis seharusnya

dapat

diupayakan

semaksimal mungkin apabila Pemerintah mendengarkan saran masukan dari publik yang

mempunyai

menyangkut

Pemerintah keputusan

suara

kedaulatan

terlalu

optimis

membawa

mayoritas negara.

dengan

permasalahan

sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dengan 123

Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

99

upaya hukum ke persidangan Mahkamah Internasional Internasional (International

Court of Justice atau

ICJ) dengan

minimnya bukti sejarah yang dimiliki oleh Pemerintah, sehingga upaya politis secara

diplomatik

Untuk

itu,

dikesampingkan.

setelah

lepasnya

Pulau

Sipadan-Ligitan melalui rapat dengar pendapat antara Komisi I DPR RI dengan Pemerintah Choirie

dengan

mengajukan

tegas hak

Effendy interpelasi

kepada Pemerintah. Maksud dari hak interpelasi

yang

mendapat

diajukan

untuk

penjelasan dari Pemerintah

mengenai

kegagalan

kebijakan politik

luar

perumusan negeri

yang

menyebabkan lepasnya Pulau SipadanLigitan.

2.

Menteri

Luar

Wirajuda.

Negeri

Hassan

Bahwa memang melihat dari sejarah Pulau Sipadan-Ligitan bukan merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia

karena telah masuk ke dalam peta wilayah

Malaysia,

diakibatkan

dari

sehingga lemahnya

bukan proses

diplomatik Indonesia. Upaya yang telah dilakukan

oleh

Pemerintah

sudah

maksimal, karena pada dasarnya terletak

pada bukti-bukti sejarah yang tidak

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

100

dimiliki oleh Pemerintah Indonesia yang dapat menguatkan argumentasi untuk dijelaskan pada proses persidangan di Mahkamah Internasional Internasional (International Court of Justice atau ICJ).

3.

Menteri Politik dan Keamanan

Bahwa

Susilo Bambang Yudhoyono.

diplomatik telah diupayakan semaksimal

upaya

mungkin

oleh

politis

melalui jalan

Pemerintah

Indonesia

untuk menjamin Pulau Sipadan-Ligitan masuk ke dalam kedaulatan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Malaysia tetap saja ingin menyelesaikan permasalahan sengketa Pulau SipadanLigitan menempuh upaya hukum melalui Mahkamah Internasional (International

Court of Justice atau ICJ). Sebagai Menteri

yang

membidangi

masalah

Politik dan Keamanan, Bapak Susilo

Bambang

Yudhoyono

juga

telah

mengupayakan jalur politis dengan jalan diplomatik dengan mengajak Malaysia melaksanakan

berbagai

perundingan

bilateral tetapi berjalan alot dan tidak menghasilkan

keputusan

negeri

diharapkan

yang

politik

luar

Pemerintah.

Dijelaskan bahwa dokumentasi dan alatalat bukti yang dimiliki dan dibawa oleh delegasi dan pengacara

dari

pihak

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

101

Indonesia

sebagai

bahan

penjelasan

kepada Hakim Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) dinilai kurang untuk meyakinkan bahwa Pulau Sipadan-Ligitan merupakan bagian wilayah kedaulatan Indonesia. Kesalahan Indonesia tidak segera merevisi UndangUndang yang dinilai sudah relevan dan tidak

mengikuti

permasalahan

perkembangan

sengketa

kepemilikan

Pulau Sipadan-Ligitan.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

BAB 4 PROSES GAGALNYA PEMBUATAN KEBIJAKAN POLITIK LUAR NEGERI DAN LEPASNYA PULAU SIPADAN- LIGITAN DARI INDONESIA

Bab ini berisi tentang gambaran umum tentang proses gagalnya pembuatan kebijakan politik luar negeri dan lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari Indonesia. Bahwa hal yang akan dibahas antara lainGagalnya Proses Pembuatan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia, Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan-LigitanmelaluiICJ (International Court of Justice), tentang Mahkamah Internasional, Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah atas Pulau SipadanLigitan melalui ICJ, Proses Persidangan Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang terdiri dari Pokok-pokok Argumentasi Hukum Indonesia dan Malaysia, Written dan

Oral

Hearings,Pokok-pokok

Pendapat

dan

Keputusan

Mahkamah

InternasionalMengenai Klaim Kedaulatan Atas Pulau Sipadan-Ligitan, Pokok-pokok Pendapat dan

Keputusan

Mahkamah

InternasionalMengenai

Dalil-dalil

“Effectivites”,Hasil Keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) Atas Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, Konsekuensi yang Harus Dilakukan Indonesia Pasca Keputusan Mahkamah Internasional, Keputusan Mahkamah Internasional Pengaruhnya Terhadap Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia,Dinamika Perubahan Politik Indonesia dalam Menyikapi Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dan Usaha Perubahan Kebijakan Politik Luar Negeri Presiden Soeharto. 4.1

Gagalnya Proses Pembuatan Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan yang muncul sejak tahun

1969 pada

awalnya diselesaikan melalui perundingan bilateral oleh kedua negara. Proses negoisasi dilangsungkan oleh kedua negara sebagai pilihan prioritas untuk menyelesaikan sengketa secara damai. Akan tetapi, rangkaian negoisasi yang diadakan bertahun-tahun tidak dapat memberikan keputusan yang berkaitan dengan pokok persengketaan yaitu masalah kejelasan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan.

102

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

103

Mengacu pada rangkaian proses negoisasi yang dijalankan kedua negara sejak tahun 1969 dapat dinyatakan bahwa perundingan bilateral antara kedua negara ternyata tidak efektif untuk menyelesaikan sengketa

Pulau

Sipadan-Ligitan. Kerangka

penyelesaian secara politis akhirnya mengalami kebuntuan dan pada tanggal 2 November 1998, proses perundingan bilateral dihentikan. Sengketa Pulau Sipadan Ligitan kemudian diselesaikan oleh kedua negara melalui jalur internasional. Dengan perubahan model penyelesaian sengketa tersebut maka perundingan bilateral antara Indonesia dan Malaysia menjadi tidak efektif atau gagal untuk mencari solusi terbaik. Di dalam kasus sengketa antara Indonesia dan Malaysia ini, perundingan bilateral diadakan untuk mencari solusi atas sengketa kepemilikan Pulau SipadanLigitan. Namun, tujuan yang paling penting dalam perundingan tersebut adalah memenangkan klaim kedaulatan teritorial atas Pulau Sipadan-Ligitan. Perundingan dilakukan sebelum kedua negara membuat suatu kebijakan politik untuk menentukan sikap atas sengketa Pulau Sipadan-Ligitan agar dapat masuk ke dalam wilayah teritorial masing-masing antara Indonesia dengan Malaysia. Perundingan antara Indonesia dan Malaysia menjadi tidak efektif ketika kedua negara yang bersengketa memiliki tujuan yang bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Klaim kedaulatan teritorial dari Indonesia atas Pulau Sipadan-Ligitan ditentang oleh Malaysia dan sebaliknya klaim Indonesia.124 Karena kedua negara

Malaysia atas Pulau Sipadan-Ligitan ditolak

tersebut saling klaim kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan, maka pelaksanaan pembuatan kebijkan politik oleh kedua negara yang dijadikan alat atau dasar dalam pengambilan keputusan untuk negara masing-masing tidak terlaksana. Sementara itu, perundingan antara Indonesia dan Malaysia untuk mencari solusi dalam sengketa Pulau Sipadan-Ligitan ini tidak efektif karena mempertahankan argumentasinya masing-masing.

125

kedua negara

Indonesia dan Malaysia sejak awal

mengadakan pembahasan atas sengketa ini tidak pernah menyepakati kompromi yang akan merugikan kepentingan negaranya. Akibatnya, perundingan yang dilaksanakan 124

Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di kantor Kemlu RI). 125 Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

104

antara Indonesia dan Malaysia mengalami kebuntuan sebab tidak adanya argumen baru diajukan oleh kedua negara dan tidak adanya keinginan untuk berkompromi. 126 Oleh karena itu, klaim kedaulatan teritorial dari masing-masing negara dianggap mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh pihak lawan. Penjelasan mengenai ketidakefektifan suatu perundingan dapat dibuktikan dalam kasus sengketa antara Indonesia dan Malaysia yang memperebutkan wilayah teritorial Pulau Sipadan-Ligitan. Adapun inefektivitas perundingan antara Indonesia dan Malaysia ditunjukkan dengan fakta-fakta sebagai berikut:127

Pertama, sejak pertama kali melakukan pembahasan mengenai status kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, baik Indonesia maupun Malaysia mempunyai maksud untuk memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan menjadi wilayah kedaulatan teritorial masing-masing negara. Akhirnya, tujuan yang dibawa dalam perundingan oleh masing-masing pihak saling bertentangan dengan kepentingan pihak lawan. Munculnya pertentangan terbukti ketika Indonesia dan Malaysia mengadakan perundingan pada tahun 1989 di Yogyakarta sebelum kedua negara mengambil langkah dalam membuat kebijakan untuk mempertahankan wilayah kedaulatan teritorial Pulau Sipadan-Ligitan. Pada saat pelaksanaan perundingan tersebut, telah disadari bahwa tujuan atau kepentingan kedua negara saling bertentangan.

Hal ini tercermin dalam pernyataan

kedua pemimpin negara Indonesia dan Malaysia. Pada akhir pertemuan yang dilaksanakan pada saat itu, Presiden Soeharto (Indonesia) dan Perdana Menteri Mahathir Mohammad (Malaysia) mengaku kesulitan menyelesaikan permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Akhirnya, posisi status quo yang dibuat pada tahun 1969 kembali dipertahankan oleh Indonesia dan Malaysia. Kedua, beberapa aksi unilateral Malaysia pada saat itu merupakan sebuah bukti bahwa Malaysia berniat menguasai Pulau Sipadan-Ligitan, di mana aksi unilateral Malaysia diprotes oleh Indonesia. Aksi unilateral Malaysia antara lain penerbitan peta nasional pada tahun 1976 yang memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan, pembangunan 126

Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember 2012. 127 K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Jilid I, Jakarta: PT.Erlangga, 1988, hlm. 45.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

105

obyek-obyek pariwisata di pulau yang sedang menjadi permasalahan sengketa, pernyataan konfrontatif Deputy PM Malaysia Ghafar Bab pada tanggal 20 Desember 1992 agar Indonesia mencabut klaimnya atas Pulau Sipadan-Ligitan, dan penerbitan peraturan perundang-undangan Malaysia pada tanggal 25 September 1997 bahwa Pulau Sipadan-Ligitan menjadi daerah yang dilindungi di bawah Malaysia’s Protected Areas. Dengan adanya aksi unilateral Malaysia, pihak Indonesia melancarkan protes keras dan terlibat dalam ketegangan hubungan dengan Malaysia. Beberapa kejadian telah menggambarkan bentuk protes Indonesia kepada Malaysia. Pada tanggal 5 Juni 1991, Menteri Luar Negeri Indonesia Ali Alatas meminta Malaysia menghentikan pembangunan tempat wisata di Pulau Sipadan-Ligitan. Pada waktu yang sama, tentara Angkatan Laut Republik Indonesia menangkap sebuah kapal nelayan Malaysia yang menangkap ikan di perairan Pulau Sipadan-Ligitan, aksi ini dimaksudkan untuk memperingatkan Malaysia

yang masih mengelola tempat

wisata di Pulau

Sipadan-

Ligitan. Selain kejadian tersebut, akibat terbunuhnya 2 (dua) orang anggota Tentara Nasional Indonesia dalam kontak senjata pada bulan Desember 1996 kemudian Tentara Nasional Indonesia melancarkan protes terhadap Malaysia. Tentara Nasional Indonesia menyebut insiden tersebut sebagai pelanggaran atas kesepakatan status quo dan menuduh Malaysia secara agresif mengembangkan potensi kepariwisataan di Pulau Sipadan-Ligitan yang masih dipersengketakan oleh Indonesia dan Malaysia.128 Ketiga, antara Indonesia dan Malaysia sama-sama mempertahankan komitmen yang kuat

terhadap pandangannya masing-masing atas kepemilikan Pulau

Sipadan-

Ligitan. Hal tersebut dibuktikan dengan penegasan wakil khusus kedua negara pada saat dilaksanakan perundingan pada tanggal 22 September 1995 di Kuala Lumpur, bahwa sengketa antara Indonesia dan Malaysia sulit untuk diselesaikan karena pihak-pihak yang bersengketa merasa memiliki bukti-bukti kuat yang terus dipertahankan. Proses tersebut mengganggu dalam pelaksanaan perumusan dalam pengambilan sebuah kebijakan politik bagi Indonesia maupun Malaysia karena pelaksanaan perundingan tidak mendapat kejelasan. Argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh Indonesia 128

Lihat “Penanganan Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan” dalam http://www.w3.org/TR/REC [Diakses pada tanggal 12 Maret 2012].

-html40.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

106

maupun

Malaysia

tidak

jauh

perundinganperundingan terdahulu

berbeda

dengan

argumentasi

yang telah dilaksanakan,

pada

sehingga tidak ada

arguments dan counter-arguments yang baru. Suasana perundingan yang statis dan tidak adanya peluang kompromi terhadap pokok persengketaan mengakibatkan perundingan bilateral menjadi tidak efektif lagi

untuk dijalankan oleh Indonesia maupun Malaysia yang sedang bersengketa. Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam proses perundingan bilateral Indonesia dan Malaysia tersebut, maka penyelesaian secara politis juga sudah tidak efektif dijalankan lagi. Penyelesaian secara politis sudah tidak efektif dilaksanakan pada saat itu, sehingga menghambat proses perumusan pembuatan sebuah kebijakan politik bagi kedua negara yang sedang bersengketa mempertahankan Pulau Sipadan-Ligitan. Akhirnya, upaya secara politis sulit untuk dilaksanakan mengingat perundingan bilateral yang sudah dilaksanakan sejak tahun

1969 sampai dengan tahun

1997 mengalami

kebuntuan. Kegagalan proses perundingan bilateral sangat berdampak secara politis bagi Indonesia maupun Malaysia dalam proses perumusan kebijakan politik dalam mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam proses perundingan yang dilaksanakan Indonesia dan Malaysia tidak efektif dikarenakan kedua belah pihak yang bersengketa masing-masing tetap mempertahankan klaim kepemilikan yang tidak dapat dikompromikan satu sama lain. Selain itu pula, jalannya proses perundingan antara Indonesia dan Malaysia bersifat monoton karena kedua belah pihak yang bersengketa tidak memiliki kebijakan politik yang tegas dalam upaya perundingan bilateral tersebut. Artinya, baik Indonesia maupun Malaysia sebagai pihak yang bersengketa tidak mengeluarkan argumentasi-argumentasi baru untuk mendukung klaim atas

kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan.

Sehingga,

upaya

proses perumusan dalam

pembuatan kebijakan politik oleh kedua negara juga mengalami hambatan, karena kedua negara masih mempertahankan argumentasi-argumentasi atas bukti-bukti kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Dengan kondisi yang demikian, maka perundingan bilateral yang dilaksanakan antara Indonesia dan Malaysia tidak pernah menghasilkan keputusan yang berkaitan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

107

dengan pokok persoalan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Kesepakatan yang akhirnya dicapai oleh Indonesia dan Malaysia pada saat itu membawa kasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan melalui Mahkamah

Internasional,

sehingga

proses perumusan

kebijakan politik yang sedang disusun oleh Indonesia pada saat berjalannya perundingan masih berhenti di tingkat legislatif. Karena pada saat perundingan dianggap mengalami kegagalan, maka Indonesia dan Malaysia memutuskan untuk membawa ke Mahkamah Internasional yang didasarkan pada kesepakatan kedua pemimpin negara masing-masing. Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Mohamad pada saat bertemu di Kuala Lumpur pada tanggal 6-7 Oktober 1996

menyepakati bahwa permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dibawa ke Mahkamah Internasional. Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Mohamad mengambil keputusan bahwa permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan diselesaikan melalui Mahkamah Internasional berdasarkan masukan dari wakil-wakil khusus yang ditugasi oleh kedua pemimpin negara untuk melaksanakan perundingan bilateral. Kedua wakil yang ditunjuk oleh pemimpin masing-masing kedua negara adalah Mensesneg Moerdiono (Indonesia) dan Deputi Perdana Menteri Anwar Ibrahim. Keduanya memang mendapat tugas dari masing-masing pemimpin kedua negara untuk menjajaki kemungkinan penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Penyelesaian permasalahan sengketa tersebut setelah sejak tahun 1992-1996 memang tidak mengalami kemajuan yang dicapai di meja perundingan karena Indonesia maupun Malaysia masih mempertahankan argumentasi

masing-masing. Selama proses

perundingan yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia tidak memperoleh hasil yang dapat dijadikan dasar dalam proses perumusan suatu kebijakan politik terutama oleh Indonesia. Indonesia mempunyai tujuan politik yang kuat dengan diadakannya perundingan penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dalam rangka mempertahankan wilayah teritorialnya dari Malaysia. Apabila dengan upaya perundingan bilateral itu berhasil, maka Indonesia segera menentukan dan mengambil langkah politik yaitu dengan membuat kebijakan politik yang nantinya akan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

108

memberikan suatu pengakuan wilayah dari masyarakat dunia pada umumnya dan pada masyarakat ASEAN pada khususnya. Namun demikian, penyelesaian politis yang dilakukan Indonesia melalui perundingan bilateral akhirnya gagal karena antara Indonesia dan Malaysia saling mempertahankan klaim kepemilikan tanpa mengenal

kompromi.

Hal

ini dibuktikan

dengan serangkaian proses perundingan bilateral di mana antara Indonesia dan Malaysia hanya menyertakan bukti-bukti sejarah saja. Keputusan politik yang seharusnya diambil pada saat perundingan bilateral dilaksanakan misalnya dengan cara membagi kedua pulau yang menjadi objek permasalahan sengketa atau dengan cara mengelola Pulau Sipadan-Ligitan secara bersama-sama. Pada kenyataannya untuk Indonesia sendiri proses pembuatan kebijakan politik juga mengalami hambatan. Karena Pemerintah juga tidak mempunyai dasar yang kuat dalam merumuskan kebijakan politik yang nantinya akan dikonsultasikan bersama dengan lembaga legislatif dalam hal ini DPR sebelum dikeluarkan sebagai pernyataan sikap Pemerintah Indonesia atas permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Kebijakan politik luar negeri yang nantinya dikeluarkan oleh Pemerintah dengan persetujuan dari lembaga legislatif merupakan pernyataan sikap Pemerintah Indonesia dalam politik. Indonesia dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dengan Malaysia telah mengupayakan dengan jalan politik yaitu dengan membawa

kasus sengketa

dengan melibatkan organisasi ASEAN.

Langkah

tersebut diambil oleh Indonesia karena kedua negara tersebut termasuk dalam anggota ASEAN, di mana anggota negara-negara ASEAN memiliki wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan negara-negara ASEAN baik darat maupun laut. Alasan Indonesia mengambil langkah tersebut bertujuan juga mengumpulkan dan meminta saran mengenai permasalahan sengketa wilayah khususnya bagi anggota negara ASEAN agar tidak timbul lagi permasalahan sengketa di kemudian hari yang

melibatkan anggota negara ASEAN. Tetapi yang terjadi pada saat Indonesia menginginkan permasalahan sengketa dapat diselesaikan melalui forum perundingan ASEAN, Malaysia menolak permintaan Indonesia tersebut.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

109

Dengan pernyataan penolakan Malaysia tersebut Indonesia tidak lantas berdiam diri, karena Indonesia tetap berusaha melalui jalur politik yang lain agar memperoleh dasar perumusan kebijakan politik yang akan dipakai dalam menyatakan suatu sikap politik luar negeri. Karena proses politik dalam negeri juga dapat mempengaruhi proses politik luar negeri suatu negara. Proses perumusan kebijakan politik Indonesia tidak berhasil atau

hanya

sampai dengan rapat konsultasi dengan

lembaga legislatif dalam hal ini DPR saja, karena dalam perundingan bilateral penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan tidak berhasil atau mengalami kebuntuan. Dalam pernyataan sikap politik suatu negara akan menentukan suatu kebijakan politik yang akan berpengaruh pada intregitas suatu negara di mata internasional terhadap wilayah teritorial suatu negara, karena wilayah merupakan suatu kedaulatan sebuah bangsa dan negara yang harus dijaga dan dipertahankan. Penyelesaian secara politik melalui perundingan bilateral dimulai ketika Indonesia dan Malaysia menemukan ketidakjelasan hak kepemilikan atas Pulau Sipadan-Ligitan pada tahun 1969. Peristiwa tersebut menjadi titik tolak permasalahan sengketa antara Indonesia dan Malaysia mengenai batas teritorial wilayah kedaulatan. Upaya untuk mencari pemecahan konflik yang dimulai sejak tahun 1969 tersebut selalu berakhir atau menemui jalan buntu. Tanda-tanda kebuntuan dalam penyelesaian kebuntuan dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia melalui jalur

perundingan bilateral tersebut muncul pada saat

diadakan perundingan pada tahun 1989 antara Presiden Soeharto (Indonesia) dan Perdana Menteri Mahathir Mohammad mekanisme

perundingan bilateral

(Malaysia) di Yogyakarta. Inefektifitas dari

diungkapkan dengan pernyataan pemimpin kedua

negara yang mengaku kesulitan menyelesaikan permasalahan sengketa Pulau SipadanLigitan melalui perundingan bilateral. Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Mahathir Mohammad menyadari bahwa klaim kepemilikan Indonesia dan Malaysia atas permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sama-sama kuat dan cenderung sulit untuk dipertemukan kepada satu keputusan yang dapat diterima baik oleh Indonesia maupun Malaysia.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

110

Dengan upaya Indonesia mengefektifkan perundingan bilateral, maka politik luar negeri Indonesia juga bertujuan untuk

mengantisipasi perkembangan politik dan

keamanan menunjukkan peningkatan untuk mendudukkan Indonesia sebagai anggota masyarakat internasional yang aktif, serta memperkuat kemampuan suatu negara untuk melakukan tawar menawar. Untuk merespons perkembangan-perkembangan dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia, maka kebijakan politik luar negeri Indonesia harus dapat memperkenalkan pendekatan intermestik (faktor internasional dan faktor domestik). Dalam konteks ini, kebijakan politik luar negeri Indonesia memiliki kewajiban untuk memperjuangkan kepentingan nasional di luar negeri namun juga mendorong agar badan-badan multilateral memperhatikan kepentingan-kepentingan negara berkembang. Kebijakan politik luar negeri Indonesia apabila dapat dikeluarkan oleh Pemerintah pada permasalahan sengketa

Pulau

Sipadan-Ligitan,

maka

dalam

konteksnya akan terjadi perubahan politik dan keamanan intermestik (faktor internasional dan faktor domestik). Sehingga, dapat dicatat terjadinya peristiwa atau konteks yang kondusif bagi pencitraan Indonesia di dunia internasional. Perubahan tersebut akan berdampak langsung terhadap: Pertama, reformasi dan demokratisasi merupakan fondasi untuk lebih percaya diri pada tingkatinternasional. Kedua, reorganisasi internal departemen khususnya Departemen Luar Negeri yang dilaksanakan tahun 2001 memberikan kekuatan kelembagaan untuk operasionalisasi diplomasi.

Ketiga, perkembangan politik domestik berkaitan dengan perkembangan

pelembagaan dan praktik demokrasi dan resolusi damai atas berbagai perkembangan persoalan internal bangsa. Perlu juga digarisbawahi bahwa antisipasi Indonesia untuk merespons perkembangan internasional dan dinamika domestik khususnya pada permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dengan Malaysia, tetapi juga melakukan penyesuaian organisasi. Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2001 merestrukturisasi dan mereorganisasi Departemen Luar Negeri pada saat itu, termasuk di dalamnya dengan pembentukan Direktur Jenderal (Dirjen) Informasi dan Diplomasi Publik.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

111

Perkembangan lingkungan internasional yang dinamis seperti permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, menuntut Indonesia mampu menjalankan kebijakan politik luar negeri secara cepat merespons dan memanfaatkannya untuk kepentingan nasional.

Kompleksitas persoalan politik-keamanan dan perubahan pada

saat

permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan kaitannya dengan politik luar negeri tidak lagi dapat dilihat dari perspektif negara semata (state-centric) dengan pendekatan diplomasi klasik, namun harus memperhatikan aspek-aspek yang berdimensi lebih membumi yaitu manusia. Dalam konteks tersebut, maka diperlukan pemahaman tentang kedaulatan negara perlu diperkuat dengan mengutamakan kepada perlindungan masyarakat. Untuk dapat mencapai tujuan politik luar negeri secara maksimal, maka penyusuanan strategi dan kebijakan politik luar negeri Indonesia serta praktik diplomasinya perlu mempertimbangkan pendekatan sistemik yang multidimensi yang meletakkan agenda politik-keamanan secara komprehensif dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Berbagai faktor mempengaruhi politikkeamanan pada saat perundingan bilateral dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Faktor-faktor tersebut antara lain persinggungan antarberbagai variable politik, ekonomi, sosial, teknologi, bahkan gaya kepemimpinan serta sejarah dan budaya (strategic culture) akan turut mempengaruhi dinamika perundingan bilateral suatu bangsa. Seiring dengan semakin kuatnya keterkaitan antara aspek eksternal-internal ataupun internasional-domestik pada penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, maka persoalan keamanan intermestik (faktor internasional dan faktor domestik) akan semakin menguat dalam agenda politik luar negeri Indonesia. Permasalahan

sengketa

Pulau

Sipadan-Ligitan

merupakan

persoalan-persoalan

globalisasi bagi Indonesia yang juga memiliki pengaruh langsung terhadap keamanan domestik,

kerena

berlangsungnya

perundingan

bilateral Tentara

Nasional Indonesia

melalui TNI Angkatan Laut terlibat kontak senjata dengan Tentara Angkatan Laut serta Patroli Laut Diraja Malaysia. Sehingga mempengaruhi proses perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang sedang dikonsultasikan dengan DPR RI pada saat itu

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

112

sebagai dasar pertimbangan dari Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan politik luar negeri untuk mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial Indonesia. Dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, Indonesia telah menentukan diri sebagai negara demokratis dan oleh karena itu demokrasi merupakan modalitas bagi fondasi politik luar negeri dan perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia. Kepentingan nasional, kebijakan politik luar negeri serta perundingan bilateral sebagai proses diplomasi

sebagai

operasionalitasnya

sudah

semestinya bermuarakan kepada nilai-nilai demokrasi tersebut. Di dalam negara demokrasi seperti Indonesia, negara bertindak sebagai fasilitator dan pelindung bagi keamanan negara dan warganya. Meski demikian, walaupun ada kenyataan semakin terkikisnya kedaulatan negara dalam arti klasik, keberadaan institusi negara sebagai regulator, protektor dan fasilitator bagi keamanan masyarakat tetap tidak bisa dikesampingkan. Dalam menyikapi permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, maka dalam

proses perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia harus secara cepat berkemampuan untuk beradaptasi dan/atau dapat memimpin di dalam percaturan internasional. Indonesia telah berupaya melakukan proses perumusan kebijakan politik luar negeri, namun hasil perundingan bilateral yang dilakukan dengan Malaysia

mengalami kebuntuan. Proses politik tetap diusahakan oleh Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial Pulau Sipadan-Ligitan supaya tidak jatuh ke tangan Malaysia. Pemerintah terus mengadakan konsultasi

dengan DPR RI untuk

membahas proses perumusan kebijakan politik luar negeri yang akan dikeluarkan menyangkut permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, sehingga setiap hasil perundingan bilateral yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda menjadi bahan pertimbangan konsultasi dengan Komisi I DPR RI dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

113

4.2

Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap

Pulau Sipadan-Ligitan melalui ICJ (International Court of Justice) Secara tradisinya, apabila sebuah negara menghadapi pertikaian, negara tersebut akan mengumumkan perang. Sebaliknya, pada saat ini negara-negara anggota ASEAN tidak memilih untuk menggunakan kekuatan senjata atau militertetapi menggunakan bahasa sebagai suatu mekanisme untuk menyelesaikan pertikaian diantaranya melalui perundingan diplomatik. Pada umumnya penyelesaiansengketa digolongkan dalam dua kategori129: 1. Cara-cara penyelesaian secara damai yaitu apabila para pihak telah dapat menyepakati untuk menemukan suatu solusi yang bersahabat. Dalam metode,

menurut sifatnya dibagi dua yaitu secara politik dan secara hukum. Penyelesaian damai yang bersifat politik meliputi perundingan (negotiation), jasa-jasa baik (good-offices), penyelidikan (inquiry), penengahan (mediation) dan konsiliasi (conciliation). Sedangkan penyelesaian secara damai yang bersifat hukum atau prosedur hukum meliputi arbitrase (arbitration) dan penyelesaian hukum (judical settlement); 2. Cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan cara kekerasan, yaitu apabila solusi yang digunakan adalah melalui kekerasan. Penyelesaianmelalui kekerasan meliputi perang dan bersenjata non-perang sepertiretorasi (retorsion), dikenakan tindakan-tindakan pembalasan (reprisals), blokade secara damai (pasific blockade) dan intervensi (interventation). Jika timbul sengketa yang menyangkut kedaulatan atas sejumlah wilayah,

maka sudah merupakan kebiasaan untuk menelaah negara-negara mana saja yangmengklaim kedaulatan tersebut, yang memiliki alas hak yang sah lebih tinggi (baikitu melalui penyerahan, penaklukan, maupun okupasi) atas negara-negara lainnyayang juga mengajukan klaim yang sama. Meskipun demikian, jika perseteruan didasarkan pada kenyataan bahwa pihaklainnya juga telah mengumumkan kedaulatan, maka hal itu tidak cukup untuk 129

Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Melalui Mahkamah Internasional. November 26, 2009. http://www.pdfcoke.com.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

114

membentuk alas hak, karena harus ditunjukkan pula bahwa kedaulatan atas wilayahtersebut juga telah berlangsung dan tetap ada pada saat putusan untuk perselisihan itu ditetapkan. Alas hak dari penyerahan kedaulatan wilayah dalam hukum internasionaljuga berdasarkan atas tindakan okupasi efektif, dengan mengasumsikan bahwanegara yang menerima memiliki kemampuan untuk mengatur secara efektif wilayahyang diserahkan tersebut. Dalam cara yang sama, penambahan wilayah secara alamidapat dianggap sebagai sesuatu penambahan atas bagian wilayah yang telah adakedaulatan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, merupakan hal yang wajar apabilauntuk mewujudkan kedaulatan dibutuhkan suatu tindakan yang terus menerus danjuga dilakukan secara damai. Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara damai pada mulanya dicantumkan dalam Pasal 1 Konvensi mengenai penyelesaian sengketa-sengketa secara damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yangkemudian dikukuhkan oleh Pasal 2 ayat 3 Piagam PBB dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsipprinsip

Hukum

Internasional

mengenai

Hubungan

Bersahabat

danKerjasama

antarnegara yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 24Oktober 1970. Deklarasi tersebut meminta agar semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamananinternasional dan keadilan tidak sampai terganggu. Prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai didasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku secara universal, dan dimuat dalamDeklarasi mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antarnegara tanggal 24 Oktober 1970 serta Deklarasi Manila tanggal 15 November 1982 mengenai Penyelesaian Sengketa Internasional secara Damai, yaitu130: 1. Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan kekerasan yang bersifat mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik suatu negara, ataumenggunakan cara-cara lainnya

yang tidak sesuai dengan

tujuan-tujuan PBB; 130

Boer Mauna, Op. Cit., hlm.194.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

115

2. Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri dan luar negeri suatunegara; 3. Prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa; 4. Prinsip persamaan kedaulatan negara; 5. Prinsip hukum internasional mengenai kemerdekaan, kedaulatan dan integritas teritorial suatu negara; 6. Prinsip itikad baik dalam hubungan internasional; 7. Prinsip keadilan dan hukum internasional.

Penyelesaian sengketa secara damai merupakan konsekuensi langsung dariketentuan Pasal 2 ayat 4 Piagam yang melarang negara anggota menggunakankekerasan dalam hubungannya satu sama lain. Dengan demikian, pelaranganpenggunaan kekerasan dan penyelesaian sengketa secara damai merupakan

norma-normaimperatif dalam pergaulan antarbangsa. Oleh karena itu, hukum internasionaltelah menyusun berbagai cara penyelesaian sengketa secara damai dan menyumbangkannya kepada masyarakat dunia demi terpeliharanya perdamaian dankeamanan serta terciptanya pergaulan antar bangsa yang serasi. Konvensi Hukum Laut

1982 menyediakan berbagai metode dalam

rangkapenyelesaian sengketa hukum laut. Dilihat dari

perkembangan

sistem

peradilaninternasional, mekanisme konvensi ini merupakan yang pertama kali dapatmengarahkan

negara-negara

peserta

(compulsory procedures), dengan sistem

untuk

konvensi

menerima maka

prosedur

tidak ada

memaksa

lagi ruang bagi

negara-negarapihak konvensi untuk menunda-nunda sengketa hukum lautnya dengan bersembunyidibelakang konsep kedaulatan negara, karena konvensi secara prinsip mengharuskan

negara-negara

pihak untuk

menyelesaikan

sengketanya

melalui

mekanisme konvensi. Penyelesaian sengketa diatur dalam Bab XV tentang Settlement of Disputes, Pasal 279 pada intinya menyebutkan bahwa negara-negara pihak diberi kebebasanyang luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama.Pada

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

116

sengketa wilayah Pulau Sipadan-Ligitan, Indonesia menginginkanadanya penyelesaian secara damai dengan Malaysia. Hal ini berdasarkan pada prosedural penyelesaian melalui Mahkamah Internasional sesuai dengan Bab VIPasal 33 Penyelesaian Pertikaian Secara Damai dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional serta Pasal 36 ayat 1 Statuta MahkamahInternasional. 131Bab VI Pasal 33 Penyelesaian Pertikaian Secara

Damai

dalam

Piagam

PBB

dan Statuta Mahkamah

Internasional adalah :

1. Pihak-pihak yang bersangkutan dalam suatu pertikaian yang jika berlangsung terus menerus mungkin membahayakan pemeliharaanperdamaian dan keamanan internasional, pertama-tama harus mencari penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, dengan mediasi,

konsiliasi, arbitrasi,

penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri; 2. Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan meminta kepada pihak -pihak bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara serupaitu. Metode-metode penyelesaian sengketa-sengketa internasional secara damai atau bersahabat dapat dibagi dalam klasifikasi berikut ini : Pertama, Arbitrasi (arbitration); Kedua, penyelesaian yudisial (judicial settlement); Ketiga, negosiasi,jasajasa baik (good offices), mediasi, konsiliasi; Keempat, penyelidikan (inquiry); dan

Kelima, penyelesaian

di

bawah

naungan

Organisasi

Perserikatan

Bangsa -

Bangsa.Hubungannya dengan persengketaan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia,kedua negara memilih untuk menggunakan metode negosiasi atau perundingandiplomatis sebagai langkah awal untuk menyelesaikan persengketaan Pulau Sipadan-Ligitan. Hal ini terlihat dari pertemuan-pertemuan yang dilakukan olehperwakilan kedua negara. Melihat sejarah hubungan Indonesia dan Malaysia,

caranegosiasi

ini merupakan

langkah

yang

tepat

dalam

menyelesaikan

sengketa.Indonesia dan Malaysia adalah dua negara besar di kawasan Asia Tenggara 131

Pasal 36 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional secara lengkap berbunyi sebagai berikut, “TheJurisdiction of the Court comparises all cases which the parties refer to it and all matters specially provided for the in the Charter of the United Nation or in treaties and conventions in force.”

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

117

yangbersahabat, dan persahabatan inilah yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakansebuah perundingan negosiasi dalam rangka mencari solusi yang tepat. Pada dasarnya metode penyelesaian sengketa melalui mekanisme perundingan ini adalah cara konvensional yang selalu digunakan dalam rangka upayapenyelesaian sengketa oleh pihak manapun yang bersengketa. Cara ini terkadangmemerlukan waktu yang sangat lama, hal ini bisa terjadi karena dalam perundingandimungkinkan para pihak tetap bersikeras dengan pendapatnya dan berusaha untukmematahkan argumentasi-argumentasi yang diberikan pihak lawan kadang hal inidilakukan sebagai implementasi dari kedaulatan yang dimiliki oleh masing-masingpihak, sehingga sulit untuk mencari titik temu penyelesaian. Biasanya, arbitrasi menunjukkan prosedur yang persis sama sebagaimana dalam hukum nasional, yaitu menyerahkan sengketa kepada orang-orang tertentuyang dinamakan para arbitrator, yang dipilih secara bebas oleh para pihak, merekaitulah yang memutuskan tanpa terlalu terikat pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Namun, pengalaman

yang

diperlihatkan

oleh

praktek

internasional

menunjukkan

bahwa

beberapa sengketa yang hanya menyangkut masalah hukumyang diserahkan kepada para arbitrator untuk diselesaikan berdasarkan hukum. 132Lebih lanjut, dalam berbagai macam traktat yang menyepakati bahwa sengketa-sengketaharus diajukan kepada arbitrasi, seringkali sebagai tambahan pada arahan untuk memutuskan menurut dasar keadilan atau ex aequo et bono, pengadilan-pengadilanarbitrasi secara khusus diinstruksikan untuk menerapkan hukum internasional. Klausula-klausula

yang

mengatur

pengajuan

sengketa-sengketa

kepada

arbitrasi juga sering dimasukan ke dalam traktat-traktat, khususnya konvensi “yangmembuat hukum” (law-making). Arbitrasi pada hakikatnya adalah suatu prosedurkonsensus. Negara-negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa ke muka arbitrasikecuali jika mereka bersetuju untuk melakukan hal tersebut, baik secara umum

dan sebelumnya maupun ad hoc berkenaan dengan suatu sengketa tertentu. Kesepakatannegara-negara itu pun mencakup penentuan karakter dari pengadilan yang 132

J.G Starke,Pengantar Hukum Internasional Djajaatmadja, S.H. Jakarta : Sinar Grafika, 2001.

: Edisi Kesepuluh. Penerjemah:BambangIriana

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

118

akan

dibentuk.Proses

arbitrasi

lebih

memuaskan

dibandingkan

dengan

penyelesaianyudisial atas sengketa-sengketa teknis, juga lebih murah, sedangkan, apabila dianggap perlu, arbitrasi dapat dilakukan tanpa ada publisitas, bahkan sampai tingkattertentu para pihak boleh menyepakati bahwa putusan-putusan tidak akan dipublikasikan. Lebih lanjut, prinsip-prinsip umum yang mengatur praktek dan

wewenang

pengadilan-pengadilan

arbitrasi

cukup

dikenal.

Yang

terakhir,

prosedurarbitrasi cukup luwes untuk dikombinasikan dengan proses-proses pencarian faktayang disediakan dalam kasus negosiasi, jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi dan penyelidikan. Untuk itu, Indonesia dan Malaysia telah membuat sebuah perjanjian yang diberi nama Special Agreement for Submission to the International Court of Justiceof the Dispute between Indonesia and

Malaysia concerning Soverignty over Pulau Ligitan and Pulau

Sipadan(Special Agreement). Dalam Pasal 2 Special Agreementdisebutkan bahwa Mahkamah Internasional diminta untuk menentukan siapakahyang mempunyai kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan.133 4.3

Mahkamah Internasional Pembentukan pengadilan menggambarkan puncak perkembangan yang cukup

lama dari metode atau cara-cara penyelesaian secara damai terhadap sengketasengketainternasional. Pasal 33 dari Piagam PBB dibahas mengenai cara-cara penyelesaian sengketa internasional secara damai di mana meliputi negotiation, enquiry, mediation, arbitration, judical settlement, serta juga good-offices. Padaproses arbitrase dan penyelesaian hukum (judical settlement) mempunyai perbedaanyang terletak adalah penyelesaian sengketa atas hak-hak hukum para pihak, atasdasar hukum yang berlaku (kecuali para pihak berpendapat lain) dan menghasilkan keputusan yang mengikat para pihak. Sejarah dari terbentuknya suatu Mahkamah Internasional dimulai dengan suatu pembentukan lembaga Arbitrase yang merupakan lembaga penyelesaian sengketa 133

Bunyi lengkap dari Pasal 2 adalah sebagai berikut, “ The Court is requested to determine on the basisof the treaties, agreements and any other evidence furnished by the Parties, whether sovereignty over Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan belongs to the Republic of Indonesia or to Malaysia.”

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

119

internasional secara damai. Arbitrase adalah suatu institusi yang sudahcukup tua, tetapi sejarah arbitrase modern yang diakui sejak Jay Treaty 1794 antaraAmerika dan Inggris, yang mengatur pengajuan sengketa-sengketa kepada arbitrasejuga sering dimasukan ke dalam traktat-traktat, khususnya konvensi yang membuathukum (law making). a. Permanent Court of Arbitration Suatu langkah maju bagi perkembangan arbitrase, yaitu Konvensi The Haque 1899 dan 1907 mendirikan

Permanent

Court

of

Arbitration

yangdalam

kenyataannya tidak permanen dan tidak membentuk pengadilan. Di mana setiap negara peserta atau anggota dapat mengangkat empat orang yang memenuhi syarat di bidang hukum internasional dan semua orang yang ditunjuk tersebut merupakan sebuah panel para ahli hukum yang kompeten yang dari mereka itulah diangkat para arbitrator apabila diperlukan. Arbitrase pada hakikatnya adalah suatu prosedur konsensus. Negara-negara tidak dapat dipaksa untuk dibawa ke muka arbitrase

kecuali jika mereka setuju untuk

melakukan hal tersebut, baik secara umum dan sebelumnya maupun advoc berkenaan dengan suatu sengketa tertentu. Proses arbitrase, di samping berkeinginan untuk adanya sebuah pengadilan yang permanen, tetap menjadi suatu proses yang bermanfaat guna mewujudkan kemajuan-kemajuan akan adanya suatu kategori sengketa di mana menyerahkan ke Mahkamah Internasional. b. Permanent Court of International Justice Dalam Pasal 14 Convenant Liga Bangsa-Bangsa diberikan tugas kepada dewan liga untuk menyusun dan mengajukan rencana-rencana bagi pembentukan sebuah Mahkamah Internasional Permanen kepada anggota-anggota liga untuk disahkan. Dewan Liga kemudian mengangkat sebuahkomite penasihat yang terdiri dari ahli-ahli hukum dan di dalam komite itulah digunakan untuk memecahkan

persoalan

penting

mengenaipemilihan para

Hakim.Permanent

Court of International Justice bukan merupakan suatu organ dari Liga BangsaBangsa meskipun dalam beberapa tindakannya berhubungan dengan liga.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

120

c. International Court of Justice International Court of Justice berkedudukan di Peace Palace, The Hague (Netherland) yang bertindak sebagai pengadilan dunia di manamemutuskan perkara-perkara

dalam

sengketa-sengketa

hukum

internasional

dari

suatu

negara dan juga memberikan pendapat dalam bentuk nasehat hukum (Advisory Opinion). International Court of Justicedibentuk berdasarkan Pasal 92-96 Piagam PBB yang dirumuskan di San Fransisco pada tahun 1945. Pasal 92 menyatakan bahwa Mahkamah Internasional adalah organ utama PBB karena itu maka negara-negara anggota PBB otomatis terikat kepada Mahkamah Internasional (International Court of Justice) sebagaimana halnya kepada organ-organ PBB lainnya. Mahkamah Internasional juga terikat pada tujuan dan prinsip PBB yang dinyatakan pada Pasal 1 dan 2 Piagam PBB dan karena

statuta Mahkamah Internasional dilampirkan pada Piagam PBB serta merupakan bagian integral dari Piagam PBB, maka konteks Piagam PBB tersebut merupakan suatu faktor pengendali dalam penafsiran ketentuan ketentuan dari statuta.134 Sejak dibentuk tahun 1945, Mahkamah Internasional atau ICJ telah menangani kasus-kasus internasional, baik yang bersifat sengketa antara dua pihak (countentious) maupun advisory. Sebagai penerus dariPermanent Court International of Justice (PCIJ) yang didirikan pada tahun 1921,Mahkamah Internasional telah diaggap sebagai salah satu cara utama untuk penyelesaian konflik antarnegara di dunia.Sebagai salah satu institusi hukum internasional, Mahkamah Internasional hanya menerima negara sebagai pihak yang dapat beracara di dalamnya.135Perjanjiankhusus (special agreement) tentang penundukan (consent to be bound) kepada juridiksi Mahkamah Internasional, harus terlebih dahulu dibuat oleh para pihak sebelum beracara.136 Penundukan ini didasarkan 134

Penyelesaian Perselisihan Kasus Sipadan Ligitan Melalui Mahkamah Internasional. 26 November 2009. http://www.pdfcoke.com 135 Statuta MI, 1945, Pasal 34 (1), “Only States may be parties in cases before the Court.” 136 Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1), “Cases are brought before the Court, as the case may be, either by the notification of the special agreement or by a written application…..”

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

121

pada prinsip kedaulatan negara(state soverignty). Dari syarat ini dapat dilihat bahwa Mahkamah Internasional menjunjung tinggi kedaulatan sebuah negara untuk tunduk atas dasar free will. Lebihjauh lagi, pengakuan internasional akan kedaulatan negara ini juga dapat dilihat darikekuatan mengikat dari keputusan Mahkamah Internasional. Keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional hanya mempunyai kekuatan mengikatbagi para pihak yang bersengketa dan terbatas pada kasus yang diajukan.137 Negara yang akan menjadi pihak bersengketa pada umumnya menyerahkan perjanjian khusus yang berisikan subjek sengketa dan pihak yang bersengketa.138Salah satu kasus yang memakai cara pembuatan perjanjian khusus antara para pihakuntuk menerima juridiksi dari Mahkamah Internasional yaitu Soverignty over Pulau SipadanLigitan (Indonesia-Malaysia). Dalam bentuk ini, juridiksi Mahkamah Internasional ditarik dari perjanjian internasional yang memang mengharuskan anggotanya untuk tunduk kepada juridiksi Mahkamah Internasionaljika terjadi sengketa. Pada umumnya juridiksi Mahkamah Internasional dari perjanjian internasional ini berkisar pada kasus tentang aplikasi atau interpretasi dariperjanjian internasional yang akan dimintakan kepada Mahkamah Internasional. Setelah tahap pemberian perjanjian khusus atau aplikasi untuk beracara di Mahkamah Internasional, maka tahap yang selanjutnya adalah tahap pembelaan,yaitu pembelaan tertulis (written pleadings) dan presentasi pembelaan (oral pleadings). Pada dasarnya, Mahkamah Internasional memberikan kebebasan kepadapara pihak tentang jenis pembelaan utama yang akan dipakai, baik itu pembelaantertulis maupun presentasi pembelaan.Pada tahap pembelaan tertulis (written pleadings), urutan pembelaannya jika tidak ditentukan lain oleh para pihak, baik dalam hal perjanjian khusus maupunaplikasi, adalah Memorial dan tanggapan Memorial (counter memorial). Jika ternyata para pihak meminta kesempatan pertimbangan dan

137

Statuta MI, Pasal 59 “The decision of the Court has no binding force except between the parties and in respect of that particular case”. 138 Statuta MI, 1945, Pasal 40 (1) “…the subject of the dispute and the parties shall be indicated”, dan (Rules of the Court) sel anjutnya Aturan Mahkamah, Pasal 39 “…indicate the precise subj ect of the dispute and identify the parties to it”.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

122

Mahkamah Internasionalmenyetujuinya, maka

dapat diberikan kesempatan untuk

139

memberikan jawaban (reply).

Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak, maka mulailah proses presentasi pembelaan (oral pleadings). Mahkamah Internasional menentukan tanggal hearing dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan dari Mahkamah Internasional dan para pihak. Para pihak mendapatdua kali kesempatan untuk memberikan presentasi pembelaan di depan MahkamahInternasional. Waktu untuk proses hearing ini biasanya 2 atau 3 minggu, akan tetapi jika Mahkamah Internasional beranggapan dibutuhkan lebih lama, maka waktu untukhearing tersebut dapat

diperpanjang.

Akan

tetapi,

menurut

aturan

Mahkamah

Internasional

proseshearing tersebut berada di bawah pengawasan Mahkamah Internasional dan waktunya disesuaikan dengan pertimbangan Mahkamah Internasional.Ada tiga cara untuk sebuah kasus dianggap telah selesai oleh Mahkamah Internasional, yaitu: 1. Para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara berakhir;

2. Pihak applicant atau kedua pihak telah sepakat untuk menarik diri dari proses beracara yang mana secara otomatis maka kasus itu dianggap selesai; 3. Mahkamah Internasional memutus kasus tersebut dengan keputusan yang dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan. 4.4

Urutan Penyelesaian Sengketa Wilayah Atas Pulau Sipadan-Ligitan

Melalui ICJ (International Court of Justice) Konflik sengketaPulau Sipadan-Ligitan mencuat sejak tahun

1969, ketika

Malaysia dan Indonesia membahas mengenai Landas Kontinen. Perselisihan berawal dari perbedaan penafsiran atas Perjanjian 1891 yang dibuat dua kolonialis, yakni Inggris-Belanda, untuk membagi Kalimantan. Pada awalnya kedua pihak sepakat untuk tidak melakukan aktivitas apapun diatas kedua pulau

yang sedang dalam sengketa.

Namun Malaysia bukan hanya mengamankan kedua pulau ini, melainkan juga membangun resort pariwisata danpenangkaran penyu.

139

Abdul Irsan, Pelajaran Yang Dapat Ditarik dari Kasus Sipadan dan Ligitan. JurnalIntelijen & Kontra Intelijen.Volume V No. 27 : Jakarta, 2009, hlm. 253.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

123

Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah Internasional tidak mendasarkan diri pada Perjanjian kedua belah pihak antara Inggris dan Belanda, namun lebih kepada aktivitas okupasi secara efektif dari Malaysia. Menyangkut efektifitas yangditunjukkan oleh Indonesia, Mahkamah Internasional memulai dengan menunjukkanbahwa tidak ada peraturan perundang-undangan satupun yang mengatur tentangPulau Sipadan-Ligitan. Terlebih lagi, Mahkamah Internasional tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/1960 yang menarik garis pangkal bagi wilayah Indonesia, tidakmemasukkan Pulau

Sipadan-Ligitan

sebagai

titik-titik

garis

pangkal.Menurut

opini

Mahkamah

Internasional, tidak dapat ditarik kesimpulan dari laporan komandan kapal patroli Belanda Lynx atau dari dokumen lain yang disajikanoleh Indonesia dalam kaitannya dengan kegiatan patroli laut Indonesia atau Belanda,bahwa otoritas kelautan terkait meliputi Pulau Sipadan-Ligitan dan perairan disekitarnya di bawah kedaulatan Belanda atau Indonesia.

Malaysia menganggap

memenangkan

bahwa

Malaysia

kasus

ini

karena

Mahkamah

Internasional

telah dapat menunjukkan pelaksanaan okupasi

secaraefektif terhadap kedua Pulau Sipadan-Ligitan yaitu berkaitan dengan efektivitas terhadap kedua Pulau Sipadan-Ligitan, dalam Butir 132 Putusan ICJ dikemukakan

Malaysia menyatakan bahwa negaranya telah mengaturpengurusan penyu dan pengumpulan telur penyu. Malaysia menyatakan bahwa pengumpulan telur penyu di kedua pulau ini merupakan kegiatan ekonomi yangpaling penting selama bertahun tahun. Tahun 1914 Inggris Raya mengambil langkah-langkah untuk mengatur dan mengendalikan

pengambilan telur

jugamengandalkan

pembentukan

penyu usaha

di kedua pulau penangkaran

tersebut.

burung

pada

Malaysia tahun 1933.

Malaysiajuga menyebutkan BNBCAuthorities telah membangun mercusuar di atas kedua pulau tersebut pada tahun 1960-andan mercusuar tersebut masih tetap ada sampai sekarang dan dipelihara oleh OtoritasMalaysia. Terakhir, Malaysia menyatakan adanya Peraturan

perundang-undanganPemerintah

Malaysia

mengenai

Pariwisata

di

Pulau

Sipadan dan kenyataan menyebutkanbahwa sejak 25 September 1977, Pulau SipadanLigitan menjadi daerah yang dilindungi dibawah Malaysia’s Protected Areas.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

124

Berkenaan dengan efektivitas yang disandarkan oleh Malaysia, maka Mahkamah Internasional pertama mengamati bahwa sesuai dengan Konvensi tahun1930 Amerika Serikat melepaskan klaim bahwa Amerika Serikat memiliki kedaulatan di atas Pulau Sipadan-Ligitan, dan tidak ada negara lain yang mengemukakan kedaulatannya diatas

kedua

pulau

tersebut pada

saat

itu,

atau

merasa

keberatan

dengan

Pemerintahanyang berkelanjutan oleh State of North Borneo. Lebih lanjut Mahkamah Internasional

mengamatibahwa

aktivitas-aktivitas

yang

terjadi

sebelum

dibuatnya

Konvensi tidak dapat dianggap sebagai tindakan “a little de souverain”, karena Inggris Raya pada saat itutidak mengajukan klaim kedaulatan atas nama State of North Borneo atas pulau-pulauterluar batas 3 marine-league. Karena Mahkamah Internasional beranggapan bahwa BNBC mempunyai hak untuk memerintah kedua pulautersebut, posisi yang setelah tahun 1907 secara formal diakui oleh Amerika Serikat, maka kegiatan-kegiatan administratif ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebagai bukti administratif efektif terhadap kedua pulau, Malaysia menyatakan bahwa ukuran yang diambil oleh Otoritas North Borneo untuk mengaturdan mengendalikan tindakan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan-Ligitanmerupakan sebuah aktivitas ekonomi yang nyata di daerah tersebut pada saat itu.Hal ini merujuk kepada Turtle Preservation Ordinance 1917, yang bertujuan untukmembatasi penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu dalam wilayah State of North Borneoatau perairan wilayahnya. Mahkamah Internasional juga mencatat bahwa Ordonansidibuat dalam kaitan sistem pemberian lisensi dan untuk penciptaan native reservesuntuk pengumpulan telur penyu, dan Pulau Sipadan terdaftar di antara pulaupulau yang termasuk dalam native reserves. Malaysia mengemukakan bukti dokumen yang menunjukkan bahwa Ordonansi Pelestarian Penyu 1917 berlaku setidaknya sampai tahun 1950. Dalamkaitan ini, Malaysia menyatakan bahwa izin yang dikeluarkan pada tanggal 28 April1954 oleh Pejabat Distrik Tawau memperkenankan penangkapan penyu yang sesuaidengan Bagian 2 dari Ordonansi tersebut. Mahkamah Internasional mengamati bahwa izin inimeliputi area yang termasuk di dalamnya “Pulau Sipadan, Ligitan, Kapalat,Mabul, Dinawan dan Siamil”.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

125

Lebih lanjut Malaysia menyebutkan beberapa kasus tertentu sebelum dan setelah tahun 1930 di mana ditunjukkan, bahwa otoritas administratif telah berhasilmenyelesaikan sengketa mengenai pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan. Malaysiamerujuk kepada fakta bahwa tahun 1933 Pulau Sipadan berdasarkan Bagian 28 dariOrdonansi Tanah 1930 dinyatakan sebagai reserve bagi tujuan penangkaran burung.Mahkamah Internasional berpendapat bahwa baik ukuran yang diambil untuk mengatur dan mengendalikan pengumpulan telur penyu dan usaha penangkaran burung harus dilihat sebagai pernyataan tegas tentang pengaturan dan pernyataan administratif dariotoritas terhadap wilayah tersebut. Malaysia kemudian mengemukakan fakta bahwa otoritas koloni North Borneo membangun mercusuar di Pulau Sipadan pada tahun1962 dan yang lainnyadi Pulau Ligitan tahun 1963 di mana mercusuar tersebut tetap ada sampai kini danbahwa mercusuar tersebut dipelihara oleh Otoritas Malaysia sejak kemerdekaannya.Malaysia beragumen bahwa pembangunan dan pemeliharaan dari mercusuar sepertiitu merupakan “bagian dari pola pelaksanaan otoritas Pemerintah yang tepat”. Mahkamah Internasional mengamati bahwa pembangunan dan pengoperasian mercusuar dan bantuan navigasi pada umumnya tidak berdasarkan perwujudan otoritas Negara.Mahkamah Internasional memberikan catatan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh Malaysia baik itu atas namanya sendiri atau sebagai suksesor Inggris Raya memangsedikit jumlahnya, tetapi hal ini sangat beragam dalam karakternya termasuk dalamtindakan-tindakan legislatif, administratif dan quasi-peradilan. Hal-hal tersebut meliputi periode waktu yang panjang dan menunjukkan pola penampakan kehendakuntuk melaksanakan fungsi kenegaraan yang berkaitan dengan kedua pulau tersebut dalam konteks administrasi dalam lingkup yang lebih luas dari pulau-pulau tersebut. Mahkamah Internasional terlebih tidak dapat mengabaikan fakta bahwa pada saat itu ketikakegiatan-kegiatan ini dilaksanakan, baik Indonesia maupun pendahulunya Belanda,tidak pernah menyatakan pertentangan atau protes. Dalam hal ini, Mahkamah Internasional memberikan catatan bahwa pada tahun 1962 dan 1963 Pemerintah Belanda tidakpernah mengingatkan otoritas Koloni North Borneo atau Malaysia setelah kemerdekaannya, bahwa pembangunan mercusuar pada masa-masa itu berlangsungdi

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

126

wilayah yang mereka anggap sebagai milik Indonesia. Berdasarkan fakta-fakta yang diberikan dalam kasus ini, dan khususnya dalam hal bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak, maka Mahkamah Internasionalmenyimpulkan bahwa Malaysia memiliki hak terhadap Pulau Sipadan-Ligitan berdasarkan effectivites. 4.5

Proses Persidangan Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan Dalam persidangan Pemerintah kedua negara telah menyiapkan sejumlah

pengacara setingkat internasional, di samping para pejabat kedua Pemerintahan. Proses persidangan yang dilakukan dihadapan Mahkamah Internasional oleh Indonesia dan Malaysia terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu sesi ArgumentasiTertulis (Written Pleadings) dan Argumentasi Lisan (Oral Pleadings). Dalam Argumentasi Tertulis dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu penyampaian

dasar

dari

klaim

yang

disebut

sebagai

Memorial. Atas

Memorial

yang

disampaikan,masing-masing negara diberi kesempatan untuk menjawab dalam bentuk Counter Memorial. Counter Memorial yang disampaikan oleh masing-masing negara kemudian dijawab kembali dalam bentuk Reply. Indonesia dan Malaysia menyampaikan Memorial mereka pada bulan November 1999. Selanjutnya kedua negara menyampaikan Counter Memorial padabulan Agustus 2000. Atas Counter Memorial yang disampaikan oleh masing-masingnegara, masing-masing telah menanggapinya dalam Reply yang disampaikan keMahkamah Internasional pada bulan Maret 2001. Pada bulan Juni 2002, para pihak diberi kesempatan untuk menyampaikan Argumentasi Lisan mereka. 4.5.1

Pokok-pokok Argumentasi Hukum Indonesia dan Malaysia Indonesia dalam argumentasi hukumnya berdasarkan kepemilikannya

ataskedua pulau berdasarkan Pasal (atauyang disebut sebagai

4 Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris

“Conventional Title”).140 Indonesia berpendapat bahwa

Konvensi 1891 merupakan perjanjian yang menyelesaikan ketidakjelasan batas140

Pasal 4 Konvensi 1891 berbunyi : “ From 4 10’ latitude in the east coast the boundary line shall be continued eastward along the parallel, across the Island of Sebatik; that portion of the island situated to the north of that parallel shall belong unreservedly to the British North Borneo Company, and the portion south of that parallel to the Netherlands”.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

127

bataswilayah antara Inggris dan Belanda di Kalimantan. Dalam hubungan ini Indonesiamenafsirkan bahwa garis

4 10‟ tersebut tidak hanya berhenti pada bagian

timur PulauSebatik, tetapi terus berlanjut ke arah laut sebelah timur pulau tersebut. Dengan demikian, pulau-pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di bagian selatan garis tersebut merupakan wilayah Hindia Belanda. Pandangan Indonesia ini didukungoleh kenyataan bahwa

konsesi minyak

yang diberikan oleh kedua pihak

secara

jelasmenghormati garis 4 10‟ . Selain itu kunjungan Kapal Perusak Lynx (milik Belanda) ke Pulau Sipadan pada tahun 1921 menunjukkan adanya kontrol yang efektif pihakPemerintah Hindia Belanda atas kedua pulau tersebut. Malaysia dalam argumentasinya menyatakan bahwa garis

4 10‟ tersebut

berhenti pada bagian timur Pulau Sebatik, karena perjanjian 1891 hanya bertujuanuntuk mengatur batas wilayah daratan. Berkaitan dengan kepemilikannya atas keduapulau, Malaysia menitikberatkan pada dua alur pemikiran (atau yang disebut sebagai“Chain of Title”), sebagai berikut:141 1.

Kedaulatan atas

kedua pulau

diperoleh dari

serangkaian transaksi

yang

dimulai dari grant Sultan Sulu kepada BNBC tahun 1878, pengakuan Spanyol atas kedaulatan Inggris di Borneo melalui Perjanjian

1885, dan pertukaran

Nota antara Amerika Serikat dengan Inggris tahun 1907 mengenai pengakuan Amerika Serikat atas pengelolaan pulau-pulau yang sedang dipermasalahkan (termasuk Pulau Sipadan-Ligitan) yang berada dalam administrasi BNBC meskipun kedaulatannya masih tetap berada di bawah Amerika Serikat. Malaysia juga merujuk pada Perjanjian Amerika Serikat-Inggris tahun

1930

tentang penyerahan kedaulatan Amerika Serikat kepada Inggris atas pulau-

pulau di selatan dan barat garis batas antara Filipina dengan Borneo, dan penyerahan kedaulatan Inggris kepada Malaysia tahun

1963 melalui prinsip

suksesi negara; 2.

Kedaulatan atas kedua pulau diperoleh dari fakta bahwa Inggris kemudian

Malaysia sejak tahun 1878 secara damai dan terus-menerus telah 141

Abdul Irsan, Op. Cit., hlm. 252.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

128

mengadministrasikan kedua pulau itu. Di pihak lain, Belanda dan kemudian Indonesia tidak pernah melakukan klaim atas kedua pulau sampai tahun 1969, argumentasi Malaysia tersebut dikenal dengan istilah effectivities. 4.5.2

Written dan Oral Hearings Sesuai dengan prosedur yang berlaku di Mahkamah Internasional, masing-masing pihak yang bersengketa harus menyampaikan Argumentasi Tertulis (Written Pleadings) ke Mahkamah Internasional dan pihak lawan sengketa, yang terdiri dari penyampaianMemorial, Counter Memorial, dan Relpy. Memorial Indonesia berisi argumentasi klaim Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan dan disampaikan pada tanggal2 September 1999, Counter Memorial yang berisi tanggapan RI atas Memorial-nyaMalaysia disampaikan tanggal 2 Agustus 2000. Sedangkan Reply Indonesia yangberisi tanggapan atas Counter Memorial Malaysia disampaikan tanggal 2 Maret2001. (Written Pleading) selesai,

Setelah proses Argumentasi Tertulis

penyelesaiankasus sengketa Pulau Sipadan-Ligitan memasuki tahap akhir, yaitu penyampaianLisan dan Oral Hearing. Kedua Agen dari masing-masing pihak yang bersengketamenyampaikan presentasi berupa sikap dan posisinya, terutama yang mengandungsikap

politis

dan

penekanan

yuridis.

Walaupun

sebenarnya

argumentasi yangbersifat yuridis juga disampaikan oleh kedua pihak yang bersengketa di tahapanWritten Pleading. Malaysia menyampaikan argumen lisannya tanggal 6 Juni 2002dan Indonesia tanggal 12 Juni 2002. Masing-masing pihak diberi hak menjawab argumentasi lawannya. Pada pelaksanaan Oral Hearing tanggal

12 Juni 2002, delegasi

Indonesia yang diketuai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, dalam kedudukannya sebagai Agen,didampingi oleh dua orang anggota Komisi I DPR RI, sejumlah pejabat dariDepartemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, MABES TNI, DepartemenEnergi dan Sumber Daya Mineral, Wakil dari Kabupaten Nunukan, Prof. Lapiansebagai pakar sejarah, juga unsur-unsur dari KBRI Den Haag dan KBRI Paris. Oral Hearing pihak Indonesia merupakan pernyataan terakhir posisi Indonesia diMahkamah Internasional mengenai

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

129

masalah sengketa

Pulau Sipadan-Ligitan olehMenteri

Luar

Negeri

Republik

Indonesia yang berfungsi sebagai Agen yang dilanjutkan denganpresentasi oleh para pakar hukum internasional yang membantu tim Indonesia. Terdapat tenggang waktu yang cukup lama antara proses Written Pleadings dengan Oral Pleadings, disebabkan adanya permohonan mendadak untuk intervensidari Pemerintah Filipina tanggal 13 Maret 2001 yang disampaikan oleh Duta BesarFilipina untuk Kerajaan Belanda kepada Registrar Mahkamah Internasional PhilippeCouvreur. Mahkamah Internasional menyampaikan keinginan pihak Filipina ini kepada pihak Indonesia dan Malaysia untuk ditanggapi. Apabila satu pihak atau kedua pihakyang bersengketa (Indonesia dan Malaysia) merasa keberatan atas intervensi Filipina,maka

Mahkamah Internasional

akan mengadakan hearing

dengan mempertimbangkan tanggapanpara pihak dan kepentingan Filipina. Sesuai dengan surat aplikasi pihak Filipinakepada Mahkamah Internasional,

alasan

utama

intervensi

Filipina

tersebut

adalahuntuk

melindungi

kepentingannya (legal status) atas Sabah (North Borneo).Mahkamah Internasional membagi hak intervensi dalam dua kategori yaitu hakintervensi sebuah negara atas keputusan sebuah kasus Mahkamah Internasional danatas konstruksi

sebuah

perjanjian

internasional.

Pengajuan

hak

intervensi

harusmengandung tiga hal yaitu kepentingan yang mempunyai karakter hukum (interest of legal nature), objek yang jelas dan pasti (precise object) dan hubungan yuridiksi(jurisdictional link). Kepentingan yang mempunyai karakter hukum (interest of legal nature) memiliki kelemahan bahwa tidak ada definisi yang jelas dalam hukuminternasional yang berkenaan dengan kata “interest of legal nature”. Setiap negarabebas menginterpretasikan kepentingannya dalam mengajukan hak intervensi berkenaan dengan kasus yang sedang berlangsung di Mahkamah Internasional.142Dalam

hubungan

ini Konstitusi Filipina

142 Hakim ad hoc Weeramantry dalam kasus Soverignty Over Pulau Sipadan-Ligitanmemberikan pernyataan yang sama yang berkaitan dengan definisi dari kepentingan yang mempunyai karakter hukum.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

130

menganggap wilayah Sabah masih diklaimsebagai wilayah yang pernah dimiliki oleh Kesultanan Sulu dan pihak Filipina masihterus berusaha melalui negosiasi diplomatik untuk memperjuangkan haknya.Mengenai klaim Filipina atas wilayah Sabah, Malaysia dan Filipina pernahmelakukan perundingan untuk membahas klaim tersebut tetapi tidak pernah tercapai kesepakatan. Filipina dan Malaysia kemudian dengan dasar demi memeliharahubungan baik sebagai negara sahabat, bersepakat menunda negosiasi ini sampaiwaktu yang belum dapat ditentukan. Sementara Konstitusi Filipina tetapmenganggap Sabah sebagai wilayah warisan dari Kesultanan Sulu. Intervensi pihak Filipina dan setelah berkonsultasi dengan tim danpakar hukum Indonesia serta Malaysia, tanggal 23 Oktober 2001 MahkamahInternasional menyampaikan keputusannya (Reading for the judgement) bahwapermohonan Filipina tidak dapat dikabulkan. Setelah para Hakim anggota mempelajari dan mendiskusikan semua argumentasi hukum yang disampaikan oleh pihak-pihak yang bersengketa (Indonesiadan Malaysia), maka sesuai prosedur Mahkamah Internasional, tanggal 17 Desember2002 Ketua Mahkamah Internasional membacakan keputusannya dan menetapkanbahwa Indonesia dan Malaysia kurang memiliki dasar hukum yang kuat

untukmembuktikan

bahwa

Pulau

Sipadan-Ligitan merupakan bagian

dariwilayah Indonesia maupun Malaysia. Karena Mahkamah Internasional telah diminta kedua pihakyang bersengketa dan harus memutuskan bahwa berdasarkan

pertimbangan“effectivities”

memiliki

Malaysia

kedaulatan penuh atas Pulau

Sipadan-Ligitanmelalui perbandingan voting suara 16 Hakim mendukung dan seorang Hakimmenolak. 4.5.3

Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah InternasionalMengenai

Klaim Kedaulatan Atas Pulau Sipadan-Ligitan Terhadap klaim Indonesia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa:143 1. Garis 4 10‟ berdasarkan Pasal 4 Konvensi 1891 dapat berarti “berhenti”atau “terus” melewati suatu pulau tertentu (Sebatik). 143

Abdul Irsan, Op. Cit., hlm. 256-257.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

131

Mahkamah Internasional menolakargumentasi Indonesia bahwa garis perpanjangan terebut Sebatik sehingga

merupakan“allocation

timbul

line” di luar Pulau

keraguanpengertian garis perpanjangan.

Pasal 4 Konvensi 1891 tidak menyebutsecara tegas bahwa garis 4 10‟ terus berlanjut melampaui Pulau Sebatikdan memisahkan pulau-pulau yang berada dibawah kedaulatan Inggrisdan Belanda. Oleh karena itu, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa sangat sulituntuk menyatakan bahwa Inggris Belanda

memang

bersepakat

untukmenganggap garis dimaksud juga sebagai “allocation line”; 2. Mahkamah Internasional mencatat bahwa tidak ada satu pun bukti yang meyakinkan apabila Pulau Sipadan-Ligitan dan pulaupulau

lain

sepertiMabul, merupakan

wilayah

yang

dipersengketakan oleh Inggris danBelanda pada saat Konvensi 1891 dibuat. Atas dasar tersebut Mahkamah Internasional tidak dapat menerima bahwa garis batas yang disetujui tersebut terusdilanjutkan dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa di laut sebelahtimur Pulau Sebatik di mana konsekuensinya Pulau Sipadan-Ligitan berada dibawah kedaulatan Belanda; 3. Mahkamah Internasional tidak menemukan di dalam Konvensi 1891 hal yangmeyakinkan bahwa Belanda dan Inggris memang mengatur perbatasanwilayah kepemilikan mereka di sebelah timur Pulau Kalimantan (Borneo)dan Pulau Sebatik, ataupun mengatur masalah kedaulatan atas pulau-pulau lain.Dalam kaitan dengan

Pulau

Sipadan-Ligitan,

Mahkamah

Internasional

jugaberpendapat bahwa batasan di dalam Pembukaan Konvensi 1891 sulituntuk diterapkan mengingat saat itu letak kedua pulau tidak begitubanyak diketahui, sebagaimana juga dimaklumi oleh Indonesia danMalaysia, dan bukan menjadi sengketa antara Belanda dengan Inggris;

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

132

4. Mahkamah Internasional juga menyimpulkan bahwa teks Pasal 4 Konvensi 1891,apabila dibaca sesuai dengan konteks, objek dan maksudnya bahwaKonvensi tidak dapat ditafsirkan sebagai menetapkan “allocation line”yang menentukan kedaulatan atas pulau-pulau yang terdapat di wilayahlaut sebelah timur Pulau Sebatik. Pasal 4 Konvensi hanya menentukanbatas-batas wilayah Belanda dan Inggris sampai dengan pantai timurPulau Sebatik; 5. Mahkamah

Internasional

berpendapat

preparatoires” sebelumKonvensi

“travaux

bahwa

1891 serta hal-hal yang

berkaitan dengan Konvensi tidak dapatmendukung interpretasi Indonesia bahwa Konvensi

1891 bukan hanyamengatur “allocation line” di

perbatasan darat tetapi juga mengatur luarpantai timur Pulau Sebatik;

6. Mahkamah Internasional menolak klaim Indonesia atas Pulau Sipadan-Ligitan yangdidasarkan pada

“treaty based title”

Konvensi 1891. Mahkamah Internasional jugaberpendapat bahwa hubungan antara Belanda dengan KesultananBulungan diatur berdasarkan

serangkaian

perjanjian.

Perjanjian

tanggal12

November 1850 dan 2 Juni 1878 mengatur masalah batas wilayahKesultanan Bulungan. Batas ini mencapai bagian utara melewati garisyang

sudah disetujui Belanda

dan Inggris

berdasarkan Konvensi 1891,termasuk Pulau Tarakan, Nunukan, sebagaian Pulau Sebatik dan beberapapulau kecil di sekitarnya yang terletak di selatan garis 4 10‟ LU. Hal initidak berlaku bagi Pulau Sipadan-Ligitan. Mahkamah Internasional jugamenolak argumentasi Indonesia

bahwa

Indonesia

Sipadan-Ligitan

dari

denganKesultanan

Bulungan

mewarisi

kedaulatanatas

Pulau

Belanda. Perjanjian antara Belanda hanya

meliputi

Pulau

Tarakan,

Nunukan dansebagian Pulau Sebatik;

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

133

7. Dalam kaitan dengan konsesi minyak, Mahkamah Internasional mencatat bahwa bataskonsesi minyak yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia tidak sampaike Pulau Sipadan-Ligitan dan tidak tepat di garis 4 10‟ LU, tetapiberhenti di 30‟ di sebelah utara atau selatan garis 4 10‟ . Mahkamah Internasional tidakdapat mengambil kesimpulan bahwa pemberian konsesi minyak tersebutmerupakan hasil penafsiran dari Pasal 4 Konvensi 1891. Terhadap klaim Malaysia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa:144 1. Tidak ada satu pun dari dokumen hukum yang diajukan Malaysia menyebutkan Pulau Sipadan-Ligitan dapat mendukung klaimnya atas kedua pulau tersebut berdasarkan “transfer of title”; 2. Mahkamah Internasional menjelaskan bahwa kedua pulau tidak termasuk dalam grantSultan Sulu yang menyerahkan seluruh hak dan kekuasaan ataskepemilikannya di Borneo, termasuk pulaupulau dalam batas 3 marine leagues, kepada Afred Dent dan Baron van Overbeck tanggal 22 Januari1878; 3. Mahkamah Internasional menyimpulkan bahwa tidak ada buktibukti bahwa Spanyol menganggap Pulau Sipadan-Ligitan termasuk dalam Protokol 1878antara Spanyol dengan Kesultanan Sulu atau menyimpulkan bahwaJerman dan Inggris mengakui kedaulatan Spanyol atas Pulau Sipadan-Ligitan berdasarkan Protokol 1885. Pada tahun 1903 Sultan Sulu tidakdalam posisi menyatakan bahwa pulau-pulau tersebut dimasukkan dalamgrant 1878 kepada Alfred Dent dan Baron van Overbeck. Oleh karena itu, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa Spanyol adalah satu-satunya negara yangdapat mengklaim Pulau Sipadan-Ligitan berdasarkan instrumenhukum yang relevan. Tetapi tidak ada bukti bahwa Spanyol melakukannya. Mahkamah Internasional 144

Abdul Irsan, Ibid., hlm. 258-259.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

134

juga berpendapat bahwa pada saat itu baikInggris atas nama State of Nort

Borneo

maupun

Belanda

tidak

pernahmengklaim

kedaulatannya, baik secara eksplisit maupun implisit; 4. Mahkamah Internasional mencatat bahwa meskipun tidak dapat disangkal bahwa Pulau Sipadan-Ligitan tidak termasuk dalam lingkup Treaty of Peace tahun1898, “Perjanjian 1900” juga tidak secara khusus menjelaskan pulau-pulauselain Cagayan Sulu dan Sibutu beserta pulau-pulau yang menjadibagiannya yang diserahkan Spanyol kepada Amerika Serikat, yang mungkin jugatermasuk Pulau Sipadan dan Ligitan. Di lain pihak, Amerika Serikat tidakmengetahui dengan pasti pulau-pulau mana saja yang diperolehnyaberdasarkan Perjanjian 1900 tersebut; 5. Mahkamah Internasional tidak dapat menyimpulkan, baik berdasarkan Exchange of Notes tahun 1907, Konvensi 1903 atau dokumen-dokumen lain yangberasal dari Amerika Serikat, bahwa Amerika Serikat mengklaim kedaulatan atas Pulau SipadanLigitan. Oleh karena itu, tidaklah dapat dikatakan bahwa berdasarkanKonvensi 1930 Amerika Serikat menyerahkan hak atas Pulau Sipadan-Ligitankepada Inggris sebagaimana diyakini oleh Malaysia; 6. Mahkamah Internasional menolak dalil Malaysia tentang tidak terputusnya mata rantai kepemilikan yang diperolehnya dari Kesultanan Sulu. Tidak ada suatukepastian bahwa Pulau SipadanLigitan berada di bawah kepemilikanSultan Sulu atau para ahli waris lainnya yang disebutkan dalam matarantai “treaty based line” atas kedua pulau tersebut. Keputusan akhir Mahkamah Internasional mengenai klaim kedaulatan yaitu menolak klaim kedaulatan baik yang dilakukan oleh Indonesia maupun Malaysia atasPulau Sipadan-Ligitan berdasarkan dalil “treaty based title” dan “chain of

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

135

title”,karena

keduanya

tidak

mampu

mengajukan

bukti-bukti

kuat

yang

mendukungargumentasi masing-masing. 4.5.4

Pokok-pokok Pendapat dan Keputusan Mahkamah InternasionalMengenai

Dalil-dalil “Effectivites” Mahkamah Internasional selanjutnya mempertimbangkan bahwa:145 1. Dalil “effectivites” yang telah diajukan oleh Indonesia dan Malaysia sebagai pertimbangan untuk memutuskan siapa yang paling berhakmemiliki kedaulatan atas Pulau dan Malaysia mengklaim bahwa

Sipadan-Ligitan. bukti-bukti

Indonesia

effectivites yang

diajukan semata-matauntuk mengkonfirmasikan “treaty based title” masing-masing.Dengan menggunakan dalil alternative, Malaysia berhak

mengklaimkedaulatan

berdasarkan

atas

rangkaiankepemilikan

Pulau dan

Sipadan-Ligitan administrasi

yang

berkelanjutan secara damai tanpapenolakan dari pihak Indonesia atau pendahulunya.

Mahkamah

Internasional

berpendirian

karena

Indonesia maupun Malaysia tidak memiliki “treaty based title” atas Pulau

Sipadan-Ligitan,

maka

Mahkamah

Internasional

mempertimbangkan effectivites sebagai masalah yang berdiri sendiri; 2. Mahkamah Internasional berpendapat tidak akan mempertimbangkan tindakan-tindakan yang dilakukan setelah terjadi “critical date” sebagai

bukti

dimaksud

adanya“effectivites”,

merupakan

kecuali

kelanjutannormal

dari

apabila

tindakan

tindakan-tindakan

sebelumnya dan tidak dimaksudkanmemperkuat posisi hukum pihak yang

bersengketa.

Mahkamah

Internasional

hanyaakan

mempertimbangkan praktek-praktek effectivites sebelum tahun1969, yaitu saat Indonesia dan Malaysia pertama kali menyatakan klaimmasing-masing atas Pulau Sipadan-Ligitan;

145

Abdul Irsan, Ibid., hlm. 259-260.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

136

3. Mahkamah Internasional juga berpendapat bahwa peraturan dan tindakan administrasi umum dapat dipertimbangkan sebagai bukti effectivites atas Pulau Sipadan-Ligitan, hanya jika peraturan dan tindakan tersebut jelas dandikhususkan dikedua pulau tersebut. Terhadap klaim Indonesia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa: 1. Dalam kaitannya dengan bukti effectivites yang diajukan oleh Indonesia,Mahkamah Internasional mencatat fakta bahwa UndangUndang

No.4/Prp/1960

tentangPerairan Indonesia tidak

mencantumkan atau mengindikasikan bahwaPulau Sipadan-Ligitan sebagai “base points” atau “turning points” yang relevan; 2. Bahwa laporan Komandan Kapal Destroyer Belanda “Lynx” dan dokumen yang diajukan oleh Indonesia berkaitan dengan kegiatan pengawasan danpatroli di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan, yang dilakukan baik oleh Kapal “Lynx” pada November 1921 maupun Angkatan LautIndonesia pada Desember 1967, tidak dapat menunjukkan bahwa baikBelanda maupun Indonesia menganggap bahwa Pulau Sipadan-Ligitan serta perairan di sekitarnya merupakan wilayah yang berada dibawah kedaulatan Belanda atau Indonesia; 3. Mahkamah Internasional menilai bahwa kegiatan penangkapan ikan secara tradisional yang dilakukan oleh nelayan Indonesia di perairan sekitar Pulau Sipadan-Ligitan tidak dapat dipertimbangkan sebagai tindakan “a titre de souverain” yang mencerminkan maksud dan keinginan untuk bertindakdalam kapasitas dimaksud. Terhadap klaim Malaysia, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa:146 1. Bukti-bukti

“effectivites” yang diajukan Malaysia, Mahkamah

Internasional berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan oleh Otorita Koloni North Borneo dalam mengatur dan mengontrol kegiatan pengumpulan telurpenyu dan penetapan konservasi burung

146

Abdul Irsan, Ibid,. hlm 261-262.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

137

harus

dipertimbangkan

sebagaisuatu

pernyataan

pengaturan

dan

administrasi yang tegas dari penguasa atas suatu wilayah. Mahkamah Internasional mencatat fakta bahwa tahun 1914 Inggrismenerbitkan peraturan serta melakukan tindakan pengawasan ataskegiatan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan-Ligitan,ditetapkannya Pulau

Sipadan

sebagai

“bird

sanctuary”

tahun

1933,

sertadibangunnya mercusuar oleh Inggris di kedua pulau dimaksud tahun 1962dan 1963; 2. Mahkamah Internasional berpendapat bahwa pembangunan dan pengoperasian mercusuar dan alat bantu pelayaran tidak dapat dianggap sebagaimanifestasi kekuasaan negara; 3. Mahkamah Internasional berpendapat bahwa tindakan yang dijadikan bukti “effectivites” Malaysia sangat sedikit dalam jumlah, tetapi bervariasidalam karakternya termasuk di dalamnya tindakan legislative,administrative dan quasi-judisial; 4. Mahkamah Internasional mencatat bahwa pada tahun 1962 dan 1963 PemerintahIndonesia tidak melakukan tindakan apapun, termasuk mengingatkanpihak Otorita Koloni North Borneo, atau kemudian Malaysia setelah merdeka, jika seandainya mercusuar itu dibangun di wilayah Indonesia.Seandainya pembangunan mercusuar tersebut dianggap sebagai tindakanuntuk keselamatan navigasi di wilayah perairan North Borneo, makasikap mendiamkan tindakan yang dilakukan di wilayah Indonesiatentunya bukan merupakan hal yang wajar. Persoalan mengenai Pulau Sipadan-Ligitan muncul baru pertama kali pada bulan September 1969 dalam perundingan batas landas kontinen di KualaLumpur antara Indonesia dan Malaysia. Pada kesempatan perundingan tersebutMalaysia menyatakan kepemilikannya atas kedua pulau tersebut yang terletak dipantai Timur Laut Kalimantan dan di bagian Barat Laut Pulau Sulawesi. SebaliknyaIndonesia juga menuntut bahwa kedua pulau tersebut berada di bawahkedaulatannya. Kedua negara baik Indonesia

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

138

maupun Malaysia tidak memiliki argumentasi

hukum yang kuat

untuk mendukung

tuntutan mereka masing-masing.Dalam upaya untuk menyelesaikan sengketa, antara kedua

negara

Indonesia

danMalaysia

mengadakan

perundingan-perundingan

pada

berbagai tingkat namun tidak berhasil mencapai penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak. Selanjutnya pada tahun 1996, Presiden Soeharto dan Perdana MenteriMahathir Mohammad sepakat untuk mengangkat Special Envoy-nya (utusan khusus)masingmasing untuk mencari solusi alternatif. Setelah mengadakan pertemuanbeberapa kali di Jakarta dan Kuala Lumpur utusan khusus tersebut setujumengusulkan kepada Pemerintahannya mereka

melalui

masing-masing Mahkamah

untuk

mencari

Internasional

penyelesaiandamai

dan

atas

menerimakeputusan

sengketa Mahkamah

Internasional sebagai final dan mengikat. Pada tanggal 31 Mei 1997 bertempat di Kuala Lumpur, Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan Menteri Luar Negeri Malaysia Datuk Abdullah AhmadBadawi, atas nama Pemerintahnya masing-masing menandatangani PersetujuanKhusus (Special Agreement) untuk mengajukan sengketa tersebut ke Mahkamah Internasional. Pokok-pokok kesepakatan yang dimuat dalam Persetujuan Khusus tersebut adalah : a.

Meminta

dan

Internasionaluntuk

memberikan menentukan

kewenangan status

kepada

kepemilikan

Mahkamah atas

Pulau

SipadanLigitan berdasarkan semua bukti yang ada. b. Memberikan kewenangan kepada Mahkamah Internasional untuk mengujikeabsahan tuntutan masing-masing negara berdasarkan sumbersumberhukum internasional yang berlaku sesuai Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional. c. Penyampaian naskah Special Agreement ke Mahkamah Internasional akan dilakukan

kedua

setelahmasing-masing

pihak pihak

bersamaan

melalui

meratifikasi

dan

Joint

Notification,

menukarkan

naskah

ratifikasinya.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

139

Special

Agreement

tersebut

diratifikasi

oleh

Malaysia

pada

tanggal

19November 1997 dan oleh Indonesia dengan Keppres tanggal 29 Desember 1997 danmulai berlaku tanggal 14 Mei

1998. Selanjutnya kasus Pulau Sipadan-Ligitan

diajukan ke Mahkamah Internasional sesuai Pasal 40 ayat 1 StatutaMahkamah Internasional melalui notifikasi bersama dan yang diterima oleh Panitera tanggal 2November 1998. Ditengah-tengah proses acara, muncul pula upaya hukum lain yangditentukan oleh negara ketiga, yaitu permohonan intervensi oleh Filipina terhadapperkara ini, dengan alasan bahwa perkara ini menyangkut perjanjian-perjanjian yangoleh Filipina merupakan dasar klaimnya terhadap Sabah. Sesuai dengan hukum acara Mahkamah Internasional, Filipina dimungkinkan

untuk

memohon

intervensi

jika

keputusanMahkamah Internasional nantinya akan dapat mempengaruhi kepentingan hukumnya sebagaipihak ketiga. Pada keputusannya pada tanggal MahkamahInternasional pertimbanganbahwa

menolak

permohonan

intervensi

23 Oktober 2001, Filipina

Filipina tidak berhasil mendefinisikan apa

ini

dengan

yang menjadi

kepentingan hukumFilipina dalam perkara ini akan memberikan dampak pada keputusan MahkamahInternasional. Akhirnya pada tanggal dalamsidangnya

telah

17 Desember

mengeluarkan

2002 Mahkamah Internasional

keputusannya

yaitu

bahwa

Pulau

SipadanLigitanadalah milik Malaysia berdasarkan pertimbangan bahwa kedua pulau itu telah

lamadiadministrasikan oleh Inggris dan selanjutnya oleh Malaysia atau yang dikenaldengan prinsip effectivies. 4.6

Hasil Keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice)

Atas Sengketa Pulau Sipadan-Ligitan Pada hari Selasa 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional (International Court of Justice)mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 Hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari

17 Hakim itu, 15 merupakan Hakim tetap dari Mahkamah

Internasional, sementara satu Hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

140

oleh

Indonesia.

Kemenangan

Malaysia,

oleh

karena

berdasarkan

pertimbangan

effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu Pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di Selat Makassar.Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional tersebut antara lain: 1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah Internasional juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah Internasional tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa. 2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas Pasal IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong Pulau Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah Internasional. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas Pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari Konvensi 1891. Mahkamah Internasional juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

141

perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda. 3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum Republik Indonesia maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah Internasional menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atas Pulau Sipadan-Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah Internasional tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No.4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Februari 1960 yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara juga tidak memasukkan Pulau Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkaitan dengan pembuktian effectivies Malaysia, Mahkamah Internasional menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan Pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti : a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917. b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan pada tahun 1930-an; c. Penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung, dan d. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di Pulau Sipadan dan pada tahun 1963 di Pulau Ligitan. 4.7 Konsekuensi Yang Harus Dilakukan Indonesia Pasca Keputusan Mahkamah Internasional Dengan keluarnya keputusan dari Mahkamah Internasional dan Indonesia juga terikat dengan UNCLOS 1982, maka Indonesia harus menerima konsekuensi dengan melakukan beberapa perubahan. Beberapa perubahan tersebut antara lain: 1. Revisi PP No.38 Tahun 2002

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

142

Dalam Undang-Undang Perairan Indonesia yang terbaru yakni UndangUndang Nomor 6 Tahun 1996. Pengaturan penjelasan dari undang-undang ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis. Titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut Pulau Sipadan-Ligitan dijadikan sebagai salah satu titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Disitu disebutkanpada perairan Sulawesi, Pulau Ligitan berada pada posisi 04˚ 10′ 00″ LU 118˚ 53′ 50″ BT dan 04˚ 08′ 03″ LU 118˚ 53′ 01″ BT. Sedangkan Pulau Sipadan pada posisi 04˚ 06′12″ LU 118˚ 38′ 02″ BT. Dengan demikian, maka daftar koordinat yang mencantumkan posisi Pulau Sipadan-Ligitan tidak boleh lagi digunakan sebagai titik pengukuran garis pangkal Indonesia. Keduanya tidak boleh lagi dicantumkan dalam daftar resmi titik pangkal kepulauan Indonesia. 2. Menentukan rencana posisi titik-titik garis pangkal yang baru disekitar perairan Sulawesi (disekitar Pulau Sipadan-Ligitan). Rencana perubahan yang harus dilakukan tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang daftar koordinat geografis Titiktitik garis pangkal kepulauan Indonesia. Berdasarkan lampiran Peraturan Pemerintah ini, posisi titik pangkal di perairan Sulawesi di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan adalah : 1. Tanjung Arang pada posisi 03˚ 27' 12″ LU dan 117˚ 52‟ 41″ BT 2. Pulau Maratua pada posisi 02˚ 15‟ 12″ LU dan 118˚ 32‟ 41″ BT 3. Pulau Sambit pada posisi 01˚ 46‟ 53″ LU dan 119˚ 02‟ 26″ BT Jika kita hubungkan dengan Pulau Sipadan-Ligitan, maka seharusnya titik-titik dasar perairan Sulawesi (di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan) adalah titik Pulau Sipadan, Ligitan, Tanjung Arang, Pulau Maratua dan Pulau Sambit. Karena Pulau Sipadan-Ligitan tidak lagi termasuk wilayah Indonesia, maka titik-titik yang dipakai adalah Tanjung Arang, Pulau Maratua dan Pulau Sambit. Dengan diperoleh titik-titik dasar pengukuran maka dapat ditentukan posisi garis pangkal. Garis pangkal Indonesia sebagai negara kepulauan ditarik dari Pulau Sebatik menuju Tanjung Arang lalu ke Pulau Maratua. Posisi ini jelas berbeda dengan posisi jika garis pangkal yang ditarik menghubungkan Pulau Sebatik-Pulau Sipadan-Pulau Ligitan-Tanjung ArangPulau Maratua-Pulau Sambit.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

143

Garis pangkal yang diterapkan pada titik-titik tadi adalah garis pangkal lurus kepulauan. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UNCLOS 1982. Garis pangkal ditarik dari titik-titik terluar pulau terluar Indonesia. Panjang maksimal garis pangkal tadi tidak boleh melebihi 100 mil laut. Selain itu, penarikan garis pangkal juga tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi kepulauan. 3.

Membuat rencana lebar laut territorial. Pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia menetapkan lebar laut territorial Indonesia adalah jalur selebar 12 mil yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia. Hal ini sesuai Pasal 4 UNCLOS 1982 lebar maksimum laut territorial yang diperkenankan bagi suatu negara adalah 12 mil laut. Dengan ditemukannya posisi garis pangkal yang baru maka pengukuran garis pangkal di perairan Sulawesi lebih mudah untuk ditentukan. Yang perlu diperhatikan, posisi negara Indonesia dan Malaysia yang pantainya berhadapan di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan, mengharuskan penentuan lebar laut territorial ini melibatkan dua negara. Sesuai Pasal 15 UNCLOS 1982 Indonesia dan Malaysia harus membuat suatu persetujuan penentuan batas laut territorial kedua negara. 4. Membuat rencana posisi batas kontinen. Sejak tanggal 17 Februari 1969, Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Landas Kontinen Indonesia. Pengumuman ini pada pokoknya menyatakan bahwa : “..... segala kekayaan alam yang terdapat pada dasar laut dan tanah di bawahnya hingga kedalaman 200 meter atau lebih hingga kedalaman yang masih memungkinkan eksploitasi merupakan hak mutlak Republik Indonesia”. Sayangnya, isi dari Pengumuman Pemerintah tentang Landas Kontinen tanggal 17 Februari 1969 yang kemudian dikukuhkan dengan UndangUndang No. 1 Tahun 1973 isinya tidak sesuai lagi dengan UNCLOS 1982.Menurut Hakim Oda dalam descenting opinion, berdasarkan critical date kasus ini yakni tahun 1969 maka kasus perselisihan penetapan batas landas kontinen dapat diselesaikan dengan Konvensi tahun 1958 Pasal 6 ayat (1), khususnya mengenai penggunaan baseline, apakah normal baseline (garis

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

144

pangkal biasa, berdasarkan air surut laut) ataukah straight baseline

(garis

pangkal lurus, yaitu garis yang menghubungkan titik-titik terluar pantai pada waktu air surut).Sedangkan ketentuan Pasal 84 juncto Pasal 74 UNCLOS 1982 yang menetapkan bahwa penentuan batas landas kontinen ditetapkan berdasarkan

kesepakatan

kedua

negara

berdasarkan

prinsip

hukum

internasional di mana yang dipakai adalah prinsip penerapan jarak (distance criteria). Rumusan yang sederhana ini berbeda dengan konvensi tentang Batas Landas Kontinen 1958

yang

secara tegas menambahkan adanya keadaan

khusus yang dapat mempengaruhi prinsip sama jarak (equidistance principle) dalam penentuan batas maritim. 4.7.1

Keputusan Mahkamah Internasional Pengaruhnya Terhadap Penetapan

Garis Pangkal Kepulauan Indonesia Dalam sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, pada awalnya kedua belah pihak baik Indonesia maupun Malaysia tidak mencantumkan kedua pulau tersebut sebagai bagian dari peta mereka. Dalam Undang-Undang No.4 Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia Pulau Sipadan-Ligitan tidak dicantumkan. Oleh karenanya, kedua pulau tersebut tidak dijadikan titik dasar pengukuran. Direktorat Pemetaan Negara Malaysia dan Department of Lands and Surveys Sabah memasukkan kedua pulau dalam peta bumi sabah di wilayah hukum Samporna baru pada tahun 1976.Hal yang penting berkenaan dengan keberadaan Undang-Undang Perairan Indonesia tersebut diatur pada Pasal 1 ayat (2) yang memuat, ketentuan penarikan garis pangkal merubah cara penetapan laut territorial Indonesia dari suatu cara penetapan laut bagi penetapan laut territorial Indonesia. Undang-undang tersebut padahakekatnya telah territorial selebar 3 mil yang diukur dari garis air rendah (low water line) menjadi laut territorial selebar 12 mil diukur dari garis pangkal lurus (straight base lines) yang ditarik dari ujung ke ujung pulau terluar Indonesia.Akibat dari ditetapkannya cara penarikan garis tersebut adalah : 1. Laut territorial Indonesia yang baru melingkari Indonesia.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

145

2. Perubahan status perairan yang terletak pada sebelah dalam garis pangkal dari laut lepas menjadi perairan pedalaman. Perubahan ini diimbangi dengan pemberian hak- hak lintas damai bagi kapal asing. Dalam perkembangannya setelah wilayah perairan Indonesia diundangkan dalam Undang-Undang No.4 Prp. Tahun 1960 tersebut, ternyata beberapa pulau atau bagian pulau terluar yang seharusnya menjadi wilayah perairan Indonesia tidak terdaftar dan tidak termasuk dalam wilayah perairan Indonesia atau berada di luar garis -garis perairan Indonesia. Hal ini berdasarkan penelitian Dinas Hidrografi Angkatan Laut terhadap ketentuan undang-undang Perairan Indonesia tersebut, telah tercatat beberapa pulau yang berada di luar garis-garis dasar perairan Indonesia termasuk Pulau SipadanLigitan.Oleh karena itu, sesuai hasil penelitian dan laporan Dinas Hidrografi Angkatan Laut di atas, maka pulau-pulau yang seharusnya menjadi wilayah perairan Indonesia (termasuk Pulau Sipadan-Ligitan yang menjadi sumber sengketa Indonesia-Malaysia) memang telah berada di luar laut territorial Indonesia yang berjarak 12 mil laut dari garis pangkal. Undang-Undang Nomor 4 Prp Tahun 1960 tidak mengadopsi sistem penerapan garis pangkal lainnya yang juga diatur dalam Konvensi Jenewa 1958, yaitu normal base lines (garis pasang-surut). Dengan hanya dikenalnya satu cara penetapan garis pangkal pada Undang-Undang No.4 Prp Tahun 1960, serta kekurang telitian mengukur titik koordinat

pulau-pulau

terluardalam

wilayah

Indonesiamaka

Pulau

Sipadan-Ligitan

memang tidak termasuk dalam wilayah Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.4 Prp Tahun 1960.Garis-garis pangkal yang digunakan Indonesia secara resmi tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Titik-titik Geografis Garis Pangkal Kepulauan Indonesia sebagai peraturan penjelas dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Untuk itu, diperlukan adanya peta yang dengan jelas menentukan titik-titik serta garis-garis yang dijadikan dasar untuk mengukur laut. Dengan demikian, kejelasan posisi garis pangkal dalam mengatur batas laut antarnegara menjadi sangat penting karena dalam Pasal 48 UNCLOS 1982 menetapkan bahwa pengukuran lebar laut wilayah, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen diukur dari garis pangkal.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

146

Masing-masing negara hampir dapat dipastikan berusaha membuat titik-titik dasar pulaunya sebagai dasar penetapan garis pangkal semaksimal mungkin. Dalam artian bahwa dicari posisi garis pangkal yang akan memperlebar posisi laut territorial, jalur tambahan, landas kontinen dan Zona Ekonomi Eksklusif. Apalagi bagi negara Indonesia sebagai negara kepulauan akan memiliki arti yang signifikan dengan posisi garis pangkal yang signifikan tadi. Dalam kaitannya dengan sengketa Pulau SipadanLigitan kita dapat melihat bahwa dalam Daftar Koordinat Geografis titik-titik Garis Pangkal Negara Kepulauan Indonesia di Laut Sulawesi di sekitar garis 4˚ Lintang Utara dan 118˚ Bujur Timur, kita temukan ada 3 titik yang menggunakan pulau sebagai titiktitik pengukuran garis pangkal. Tepatnya adalah sebagai berikut : 1) Pulau Ligitan pada 04˚ 10‟ 00” Lintang Utara 118˚ 53‟ 50” Bujur Timur; 2) Pulau Ligitan pada 04˚ 08‟ 03” Lintang Utara 118˚ 53‟ 01” Bujur Timur; 3) Pulau Sipadan pada posisi 04˚ 06‟ 12” Lintang Utara 118˚ 38‟ 02” Bujur Timur. Posisi Pulau Sipadan-Ligitan memang cukup jauh dari pulau induk yakni Pulau Sebatik. Sehingga, posisi garis pangkal yang ditarik melalui titik-titik kedua pulau tersebut jelas menguntungkan bagi Indonesia. Pulau Sipadan yang berjarak 42 mil laut daripantai timur Pulau Sebatik, yang masih jauh dari batas panjang maksimal garis pangkal 100 mil laut ataupun garispanjang maksimal garis pangkal

125 mil laut

sebanyak 3% dapat menjadi titik terluar dari kepulauan Indonesia. Sehingga posisi Pulau Sipadan tentu akan sangat signifikan dalam menambah zona-zona laut Indonesia yang notabenediukur dari garis pangkal kepulauan ini. Indonesia harus menggunakan titik garis pangkal yang selama ini ada dalam peraturan perundang-undangannya dengan menghapus posisi Pulau Sipadan-Ligitan. Sehingga garis pangkal ditarik dari ujungujung pulau terluar di sekitar Pulau Sipadan-Ligitan yang masih termasuk wilayah Indonesia.Pengaruh perubahan posisi garis pangkal ini juga akan berpengaruh pada pengaturan batas laut yang lain yang masing-masing diuraikan sebagai berikut :

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

147

1) Wilayah Laut Territorial Setiap negara mempunyai hak untuk menentukan lebar laut territorialnya sampai batas tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Batas terluar laut territorial adalah garis yang setiap titiktitiknya ada pada suatu jarak yang terdekat dengan titik-titik garis pangkal sejauh lebar laut territorial yang telah ditentukan.Lebar

laut

territorial yang seharusnya diukur maksimal 12 mil laut dari Pulau Sipadan-Ligitan tersebut menjadi bukan hak Indonesia lagi. Luas wilayah laut yang didasari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 dan peraturan penjelasnya

menjadi berkurang.

Kondisi

ini membuat

Indonesia menjadi dirugikan karena berkurangnya kepemilikan terhadap luas wilayah laut.Pasal 2 Konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai meliputi laut territorialnya, termasuk ruang udara diatasnya dan dasar laut serta tanah di bawahnya. Dalam hukum laut baru inipun kedaulatan negara tetap dibatasi dengan hak lintas damai bagi kapal asing (Pasal 7 Konvensi).Pada wilayah laut territorialnya, negara pantai mempunyai kedaulatan penuh. Selain membuat peraturan-peraturan,

kedaulatan negara mempunyai akibat lain dalam hukum, yakni wewenang untuk melakukan penuntutan atas pelanggaran-pelanggaran ketentuan perundang-undangan umum negara pantai baik dibidang pidana maupun perdata. Wewenang untuk memaksakan pentaatan terhadap hukum demikian dinamakan yurisdiksi yang bisa berupa yurisdiksi kriminal dan perdata. 2) Perairan Kepulauan Indonesia dan Perairan Pedalaman Indonesia Kedaulatan negara kepulauan meliputi perairan yang dikelilingi oleh garis-garis pangkal tersebut, termasuk udara di atasnya serta dasar laut di bawahnya

(Pasal 49). Namun tidak dapat disimpulkan bahwa

perairan kepulauan ini sama dengan perairan pedalaman. Konsep perairan kepulauan adalah sesuatu yang baru dalam hukum laut

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

148

internasional. Perairan seperti ini bersifat sui generis, di mana tidak termasuk perairan pedalaman maupun laut

territorial. Perbedaannya

adalah bahwa perairan kepulauan tundukkepada suatu rezim khusus tentang pelayaran dan lintas penerbangan. Pada kasus sengketa ini, jika Pulau Sipadan-Ligitan menjadi pengukuran titik garis pangkal, maka perairan yang ada pada sisi dalam dari garis-garis pangkal yang terhubung akan termasuk dalam perairan Indonesia. Dengan tidak dapat dijadikannya sebagai titik penetapan garis pangkal, maka perairan yang tadinya menjadi perairan Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 menjadi laut territorial Malaysia. Hal ini jelas suatu kerugian bagi posisi Indonesia. 3) Batas Landas Kontinen Landas kontinen suatu negara pantai adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang merupakan kelanjutan daratan wilayahnya sampai jarak 200 mil dari garis dasar dan dalam hal tertentu dapat sampai 350 mil laut, tergantung jarak tepian kontinennya (continental margin). Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 76 Konvensi. Negara pantai mempunyai hak untuk melaksanakan kedaulatannya atas landas kontinen untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi sumber alamnya. Hak tersebut eksklusif dalam arti apabila negara pantai tidak mengambilnya, tidak satupun negara diperkenankan melakukannya. Dengan adanya perubahan posisi garis pangkal Indonesia setelah keluarnya putusan Mahkamah Internasional, maka lebar landas kontinen Indonesia juga mengikuti perubahan garis pangkal tersebut. Indonesia mengalami pengurangan lebar landas kontinen sebagaimana jika diukur dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang mencantumkan

kedua pulau tersebut sebagai titik pengukuran. Hal inilah yang sebenarnya tidak diinginkan Indonesia, karena kekayaan dilandas kontinen sangat besar artinya.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

149

4) Zona Ekonomi Eksklusif Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) diartikan sebagai suatu daerah diluar laut teritorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut teritorial (Pasal 55 dan 57). Menurut Pasal 56, di ZEE negara pantai dapat menikmati : a. Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah di bawahnya serta pada perairan di atasnya. Demikian pula terhadap semua kegiatan yang ditujukan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut (seperti produksi energi, air, arus dan angin). b. Yurisdiksi sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi ini, atas pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah kelautan serta perlindungan lingkungan laut. c. Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi. Dengan adanya

perubahan posisi

garis pangkalIndonesia

setelah keluarnya

putusan Mahkamah Internasional, maka lebar ZEE Indonesia juga mengikuti perubahan garis pangkal tersebut. Indonesia mengalami pengurangan lebar sebagaimana jika diukur dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 yang mencantumkan kedua pulau sebagai titik-titik pengukuran. Artinya, hak-hak yang diterima Indonesia di wilayah ini juga mengalami perubahan. 4.8

Dinamika Perubahan Politik Indonesia dalam Menyikapi Sengketa Pulau

Sipadan-Ligitan

Tidak bisa ditolak bahwa demokratisasi dan perubahan politik terus berlangsung di semua aspek kehidupan sosial politik di Indonesia. Perubahan tersebut

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

150

bahkan menyentuh bidang diplomasi dan politik luar negeri yang selama ini dianggap murni merupakan kewenangan penuh pihak eksekutif atau Pemerintah. Permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan terjadi pada masa Pemerintahan Orde Baru yang otoritarian, sehingga konsultasi antara Pemerintah dengan DPR RI (khususnya Komisi I DPR RI) dan kalangan publik mengenai politik luar negeri dan diplomasi pada saat itu hanya terjadi dalam level atau tingkat yang sangat minimal. 147 Oleh karena itu, proses perumusan kebijakan politik luar negeri yang melibatkan semakin banyak aktor politik akan membuka kemungkinan bahwa setiap kebijakan politik luar negeri akan mempresentasikan kepentingan nasional Indonesia secara lebih luas. Kritik politik luar negeri pada masa Pemerintahan Orde Baru yang merupakan Pemerintahan transisi terus berlanjut, karena partai oposisi selalu menjadikan politik luar negeri sebagai target karena merupakan arena terbuka yang proses perumusannya dilihat sebagai monopoli Pemerintah yang berkuasa. Akibatnya, akan sangat mudah diidentifikasi kekuatan atau kelemahan politisnya

oleh pihak lawan seperti dengan

Malaysia dalam permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.148 Sementara itu, kenyataan yang terjadi di Indonesia yang merupakan buah dari proses demokratisasi memperlihatkan bahwa sentra kekuasaan telah mengalami diversifikasi. Konsekuensi yang diterima adalah akan terjadi perubahan dalam berbagai proses pengambilan keputusan, termasuk dalam bidang politik luar negeri dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Oleh karena itu, input-input atau masukan-masukan untuk sebuah proses perumusan kebijakan politik luar negeri menjadi sangat beragam, baik dari isi ataupun sumbernya. Dalam suatu proses perundingan bilateral suatu negara harus disadari bahwa memiliki dua dimensi baik dalam dan luar negeri. Di dalam negeri, langkah perundingan bilateral dan proses perumusan kebijakan politik luar negeri secara imperatif harus mendapatkan persetujuan sebanyak mungkin aktor politik dan salah satunya adalah lembaga legislatif atau DPR RI (khususnya Komisi I DPR RI). Akan 147

Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Dese mber 2012. 148 Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

151

tetapi, pada saat yang sama aktor-aktor politik di dalam negeri juga harus menyadari bahwa perundingan bilateral dan politik luar negeri dalam perumusan kebijakan politik juga penting untuk selalu memperhatikan harapan atas peran yang dinantikan dari negara tersebut oleh negara-negara lain, baik dalam konteks regional ataupun global. Sehingga pencitraan diri Indonesia sebagai negara demokratis di luar negeri dalam menyikapi permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan diharapkan dapat memberikan sumbangan positif bagi proses konsolidasi demokrasi di dalam negeri. Arah dan substansi kebijakan politik luar negeri negara manapun pada akhirnya akan sangat dipengaruhi jika tidak ditentukan oleh perubahan-perubahan yang terjadi di dalam maupun di luar negeri. Namun demikian, permasalahan sengketa Pulau SipadanLigitan mau tidak mau membuat Pemerintah Indonesia sulit untuk melakukan proses perumusan kebijakan politik karena hasil perundingan bilateral terus mengalami kebuntuan. Dari hal tersebut tercermin bahwa Indonesia tidak dapat menghindar dari keharusan menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi selama perundingan bilateral dengan Malaysia dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan.149 Dalam

penyelesaian

permasalahan sengketa

Pulau

Sipadan-Ligitan,

komitmen

Indonesia ternyata belum memberikan efek serius terhadap policy network dalam proses perumusan kebijakan politiknya.

Dalam

penyelesaian permasalahan sengketa

Pulau

Sipadan-Ligitan, meskipun proses perumusan kebijakan politik belum bisa dilaksanakan karena dasar-dasar dari hasil perundingan bilateral tidak pernah diperoleh, karena baik

Indonesia maupun Malaysia masih kuat dalam mempertahankan argumentasiargumentasi dengan bukti-bukti sejarah yang dimiliki oleh kedua negara. Sebenarnya Indonesia sudah mempunyai sebuah konsep pluralisme politik, di mana terdapat keterlibatan warga negara secara langsung dalam policy network. Policy network

harus tetap dianggap

sebagai sesuatu yang sentral bagi Pemerintah dalam

pembuatan kebijakan politik luar negeri. Hal tersebut diterapkan pada proses perumusan kebijakan politik apabila dari perundingan bilateral dengan Malaysia memberikan titik terang dan hasil yang dapat dijadikan sebagai dasar perumusan kebijakan politik oleh 149

Rahardjo Jamtomo, Politik Luar Negeri Indonesia Kini dan Kedepan dalam Semangat Kebangsaan dan Politik Luar Negeri Indonesia, Bandung: Percetakan Angkasa, 2002, hlm. 68.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

152

Pemerintah Indonesia. Sistem demokrasi dan politik luar negeri Indonesia mungkin

akan menjadi lebih kuat karena partisipasi publik yang luas dalam policy network.150Policynetwork

muncul

disebabkan karena isu-isu internasional termasuk

pada penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dengan Malaysia. Bukan hanya itu saja policy network menuntut pluralisasi dalam pembuatan kebijakan politik luar negeri, tetapi juga tentang pengakuan akan pentingnya kesetaraan yang dianggap sebagai kebijakan politik luar negeri dan kebijakan politik dalam negeri. Efek pembangunan demokrasi di Indonesia dikaitkan dengan penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sangat luas. Sistem demokrasi menjadi faktor positif bagi proses kebijakan (policy process)dan utamanya adalah kebijakan politik luar negeri. Indonesia berusaha melakukan kerjasama dengan Malaysia dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan melalui perundingan bilateral. Hal tersebut dilakukan sebagai proses tawar-menawar Indonesia dalam politik dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan, agar Pemerintah memiliki dasar-dasar yang kuat dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri. Upaya

yang dilakukan Pemerintah Indonesia

sulit terwujud

apabila Malaysia

tidak

mempunyai kemauan dan komitmen politik yang teguh. Keadaan domestik baik Indonesia maupun Malaysia tentunya juga merupakan faktor kunci dari kemauan dan komitmen politik dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan. Arah kebijakan politik luar negeri Indonesia terhadap Malaysia dalam penyelesian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan tetap harus memfokuskan pada bagaimana membawa kerjasama atau perundingan bilateral ke arah yang lebih baik dan memberikan hasil.151 Bukan hanya itu, kemitraan antara Indonesia dan Malaysia dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau SipadanLigitan harus ditingkatkan apabila Pemerintah Indonesia menginginkan proses perumusan kebijakan politik dapat dilaksanakan. Kemitraan yang dilakukan Indonesia melalui kerjasama atau perundingan bilateral juga akan memunculkan banyak tantangan 150

Philips J. Vermonte dalam tulisan Mengenai upaya Indonesia membangun citra diri. Hasil wawancara dengan Effendi Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember 2012. 151

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

153

baru dalam mewujudkan tujuan yang ingin dicapai yaitu tujuan politik. Dalam penyelesaian

permasalahan

sengketa

kepemilikan

Pulau

Sipadan-Ligitan setidaknya

Indonesia telah menawarkan keuntungan dalam perundingan bilateral dengan Malaysia dalam upaya politis. Sehingga, dalam proses perumusan kebijakan politik mampu memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan dampak negatif yang mungkin akan timbul. Bagi Indonesia yang terpenting dalam perundingan bilateral dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan adalah mencari bentuk hubungan atau kemitraan strategis dengan Malaysia. 152 Pemberian fokus hanya pada salah satu dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri hanya akan menghasilkan suatu kebijakan politik yang tidak akan memberi keuntungan bagi suatu negara. Perundingan bilateral yang dilakukan Indonesia dalam penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan sebagai upaya politis menjadi pilihan yang strategis dalam memperjuangkan kepentingan nasional dalam mempertahankan kedaulatan

negara. Kemauan Pemerintah Indonesia yang dijalankan secara politis dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan tentunya tidak terlepas dari keadaan politik domestik. Karena sangat jelas bahwa kebijakan politik luar negeri selalu menjadi refleksi dari suatu kebijakan politik domestik. Keadaan politik domestik Indonesia yang stabil dan kondusif tentunya akan memberikan sebuah jaminan keberhasilan dalam berbagai strategi yang dirancang dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia.153 Proses perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam penyelesaian permasalahan

sengketa kepemilikan

Pulau

Sipadan -Ligitan

bertujuan untuk

memperjuangkan suatu kepentingan melalui perundingan bilateral atau kerjasama. Kepentingan politis yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia bersifat global, regional, nasional maupun parokial. Sebenarnya Indonesia sejak akhir tahun 1960-an secara tegas 152

Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di kantor Kemlu RI). 153 Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

154

menyatakan bahwa kebijakan politik luar negeri ditujukan untuk memperjuangkan kepentingan nasional. Untuk itu, kebijakan politik luar negeri Indonesia dihadapkan dengan

penyelesaian

permasalahan

sengketa

kepemilikan

Pulau

Sipadan-Ligitan

menyangkut beberapa faktor. Faktor pertama adalah politik luarnegeri harus selalu diabdikan untuk kepentingan nasional, dalam hal ini kepentingan nasional yang paling utama adalah bagaimana mempercepat proses politis dihadapkan pada penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Faktor kedua adalah semakin pentingnya opini publik dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri. Politik luar negeri tidak dapat lagi dianggap sebagai ranah (domain) eksklusif para elit politik pembuat suatu kebijakan politik. Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi, perumusan kebijakan politik luar negeri Indonesia juga harus mencerminkan aspirasi publik atau masyarakat secara luas. Namun, dihadapkan pada penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan,

opini publik atau

masyarakat tidak selalu rasional dan adakalanya malah dapat kontraproduktif bagi kepentingan nasional menyangkut kedaulatan negara. Oleh karena itu, dalam proses perumusan kebijakan politik oleh Pemerintah dihadapkan pada penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan memiliki sebuah tantangan bagaimana Pemerintah memilah opini publik atau masyarakat yang sejalan dengan kepentingan bersama di satu pihak dengan opini yang hanya mencerminkan kepentingan kelompok saja. Faktor ketiga dihapkan pada penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan adalah berubahnya struktur pengambilan keputusan politik oleh Pemerintah. Di mana Pemerintah bukan lagi merupakan satu-satunya aktor dalam

pembuatan kebijakan politik, tetapi juga diperlukan sebuah opini publik atau masyarakat yang sejalan yang kemudian didukung oleh lembaga legislatif dalam hal ini yaitu DPR RI (khususnya Komisi I DPR RI). penyelesaian

permasalahan

sengketa

Faktor keempat dihadapkan dengan

kepemilikan

Pulau

Sipadan-Ligitan

adalah

mengenai kapasitas nasional (national capacity) dalam menjalankan politik luar negeri. Para pelaku perumus kebijakan politik harus rasional dalam menyusun agenda prioritas yang tidak hanya mencerminkan kebutuhan-kebutuhan nyata bagi pemenuhan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

155

kepentingan nasional, tetapi juga harus realistis dalam penetapan prioritas. Kebijakan politik Indonesia pada penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau SipadanLigitan menentukan arah dalam mempertahankan kedaulatan wilayah negara. Proses perumusan kebijakan politik luar negeri oleh Pemerintah tidak maksimal karena adanya hambatan-hambatan yang berkaitan dengan hasil perundingan bilateral yang dilaksanakan dengan

Malaysia. Kerena kedua negara tetap

mempertahankan argumentasi-argumentasi berupa bukti-bukti sejarah yang dimiliki kedua negara dengan menghiraukan lebih jauh kepentingan nasional masing-masing negara. Dengan demikian, Pemerintah Indonesia juga mengalami hambatan dalam proses perumusan kebijakan politik yang akan dikonsultasikan dengan lembaga legislatif untuk memperoleh saran dan masukan. Tetapi hal tersebut gagal dilaksanakan secara maksimal karena dasar-dasar yang akan dijadikan bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan politik belum mendukung dan sangat minim sekali apabila bahanbahan pertimbangan tersebut dikonsultasikan dengan lembaga legislatif. Pemerintah tidak mau setengah-setengah mengumpulkan dasar-dasar sebagai bahan pertimbangan dalam proses perumusan kebijakan politik yang

akan

dikonsultasikan dengan lembaga legislatif. Untuk itu, Pemerintah Indonesia berusaha semaksimal mungkin melaksanakan perundingan bilateral dengan Malaysia dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dalam upaya politis untuk memperoleh

dasar

dalam

perumusan

kebijakan

politik.154

Hal

tersebut

penting

dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia mengingat bukti-bukti sejarah yang minim untuk dapat memperoleh pengakuan atas kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Upaya politis yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia bertujuan sangat penting dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, karena dengan pendekatan secara politis Indonesia dapat lebih agresif dalam perumusan kebijakan politik yang nantinya akan dapat mempengaruhi keadaan politik domestik Malaysia. Secara politis, Pemerintah Indonesia merasakan kegagalan yang sangat luar biasa karena hasil yang diharapkan selama perundingan bilateral tidak pernah berjalan 154

Hasil wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di kantor Kemlu RI).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

156

mulus sesuai harapan Pemerintah. Sehingga berdampak pula dalam proses perumusan kebijakan politik oleh Pemerintah Indonesia dengan lembaga legislatif. Di sisi lain, opini publik atau masyarakat yang sejalan tidak mendapatkan tempat di mata para aktor politik negara. Dalam proses perumusan kebijakan politik, opini publik seharusnya dapat diikutsertakan sebagai bahan pertimbangan bagi Pemerintah pada saat perumusan kebijakan politik dikonsultasikan dengan lembaga legislatif. Dilihat dari proses perumusan kebijakan politik dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, kepentingan politik luar negeri Indonesia belum berada pada upaya menjalankan agenda-agenda untuk melakukan perubahan-perubahan yang dramatis dalam percaturan dan struktur politik global. Dengan kata lain, seharusnya Pemerintah Indonesia dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan yang menyangkut pada proses perumusan kebijakan politik dengan cara memperbaiki dan meningkatkan vitalitas politik domestik.155 Hal

tersebut

dilakukan dengan cara

mempercepat

konsolidasi demokrasi dan penguatan integrasi nasional (teritorial dan sosial) melalui dukungan internasional yaitu dengan menggandeng anggota negara-negara ASEAN sebagai penengah. Upaya tersebut juga telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, tetapi dengan tegas nantinya

Pemerintah Malaysia menolaknya dengan alasan politis bahwa

akan mendapatkan perlawanan dari anggota

negara -negara

ASEAN

dihadapkan dengan pencaplokan wilayah kedaulatan negara. Proses perumusan kebijakan politik oleh Pemerintah Indonesia dapat dilakukan apabila dalam setiap perundingan bilateral dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dapat memberikan hasil pencapaian yang dapat dijadikan dasar perumusan

kebijakan

politik

sebagai

bahan

pertimbangan

Pemerintah

dalam

melaksanakan konsultasi dengan DPR. Dihadapkan pada penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, maka tantangan politik luar negeri Indonesia semakin keras. Belum lagi terdapat perubahan-perubahan politik internasional dan politik domestik yang 155

Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

157

kemunculannya begitu mendadak dan sulit diantisipasi, itulah yang menjadi tantangan Pemerintah Indonesia dalam melakukan proses perumusan kebijakan politik dihadapkan dengan penyelesaian permasalahan yang tidak kunjung selesai dan memberikan hasil. Dengan demikian, mendesak bagi Indonesia untuk memobilisir seluruh sumber daya yang ada dalam masyarakat dan peran aktif masyarakat untuk memberikan masukan atas permasalahan persengketaan kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Peran aktif masyarakat untuk membantu mendukung upaya perundingan bilateral sebagai upaya politis

yang

dilakukan

Pemerintah

Indonesia

dalam

mengatasi

permasalahan

persengketaan kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Untuk itu,

konsekuensi dari keharusan Pemerintah Indonesia dalam proses

perumusan kebijakan politik luar negeri adalah dengan menghadapi dan mengatasi penyelesaian

permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

Sipadan-Ligitan.

Dari

pelaksanaan proses perumusan kebijakan politik yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dimugkinkan untuk diadakan perubahan atau dibutuhkan perubahan desain politik luar negeri. Perubahan desain politik luar negeri dihadapakan pada penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan untuk menampung beragam kebutuhan kepentingan nasional dan kepentingan internasional Indonesia untuk jangka panjang, sehingga kejadian tersebut agar tidak terulang kembali karena wilayah teritorial Indonesia terdiri dari beribu-ribu kepulauan yang sebagian belum diberikan nama dan rawan untuk lepas dari kedaulatan Indonesia. Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, visioner, berkesinambungan dan memiliki koherensi dalam upaya-upaya

perundingan bilateral dengan Malaysia dalam

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Upaya politis yang dilakukan

Indonesia

yaitu

dengan melaksanakan perundingan bilateral

dalam

penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan merupakan faktor yang sangat penting untuk meningkatkan bukan hanya independensi dan kedaulatan Indonesia atas wilayah teritorialnya, tetapi juga upaya dalam posisi tawar menawar internasionalnya dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri. 156 156

Ibid.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

158

Apabila

politik

luar

negeri

yang

demikian

ini

dapat

diwujudkan

oleh

PemerintahIndonesia dihadapakan dalam upaya penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, maka proses perumusan kebijakan politik yang dilakukan akan berjalan dengan baik.157 Sayangnya, dalam perundingan bilateral tersebut tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan oleh Pemerintah Indonesia, sehingga Pemerintah dianggap tidak mampu dan gagal dalam menjalankan upaya politis. Dengan demikian, upaya Pemerintah untuk merumuskan kebijakan politiknya tidak berjalan dengan apa yang telah direncanakan dengan mengikutsertakan lembaga legislatif sebagai partner dalam

melakukan konsultasi

politik. Kenyataan yang

diaharapkan Pemerintah melalui perundingan bilateral dengan Malaysia dalam penyelesaian

permasalahan

sengketa

kepemilikan

Pulau

Sipadan-Ligitan

sungguh

berbeda. Karena Pemerintah menginginkan hasil dari perundingan bilateral tersebut agar dalam proses perumusan kebijakan politik mempunyai dasar yang kuat untuk memberikan suatu ketegasan politis dalam mempertahankan kedaulatan negara yang berhubungan dengan wilayah teritorial Indonesia.

Perumusan kebijakan politik yang

dilakukan oleh Pemerintah untuk memberikan ketegasan mengenai permasalahan kedaulatan negara terhalang oleh hasil dari perundingan bilateral dengan Malaysia yang tidak memberikan hasil yang nyata. Dalam proses perumusan kebijakan politik luar Indonesia dihadapkan dalam penyelesaian permasalahan sengketa

kepemilikan Pulau

Sipadan -Ligitan harus

memperhatikan implikasi perkembangan dalam perundingan bilateral dengan Malaysia terhadap

integritas wilayah dan

keadaan politik

domestik.158

Untuk itu, diperlukan

kepekaaan antara aktor-aktor politik negara dan publik dalam memberikan opini yang sejalan dengan Pemerintah sehigga dapat mendukung langkah Pemerintah dalam merumuskan kebijakan politik. Kegagalan proses perumusan kebijakan politik oleh Pemerintah merupakan suatu awal kehancuran dalam upaya politis dalam rangka 157

Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo pada hari , Senin, 10 Desember 2012. 158 Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke33 pada hari Kamis, 13 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

159

mempertahankan kedaulatan negara menyangkut wilayah teritorial Indonesia. Proses perumusan kebijakan politik dapat berjalan dengan baik apabila dalam perundingan bilateral dengan Malaysia mendapatkan hasil yang dapat dijadikan dasar bagi Pemerintah yang nantinya akan dijadikan dasar yang kuat dalam proses perumusan kebijakan politik oleh Pemerintah. Pada saat ini, di masyarakat ataupun di jajaran eksekutif dan legislatif sedang gencar membicarakan isu tentang perlunya sebuah undang-undang khusus tentang perbatasan sebagai dasar hukum dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dukungan undang-undang khusus perbatasan wilayahNegara Kesatuan Republik Indonesia kini terasa kian mendesak akibat dari peristiwa lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, undang-undang itu ibaratsertifikat tanah untuk keabsahan kepemilikan lahan guna menekan kemungkinan terjadinya penyerobotan. 159Di satu sisi pentingnya dasar hukum sebuah wilayah negara sangat penting. Namun,apabila melihat perundangundangan kita, sesungguhnya apa yang dimaksud denganundang-undang perbatasan sudah dimiliki oleh Indonesia, baik yang menunjukkan klaim integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia maupun perundangan yang merupakan hasil kesepakatan dengan negara tetangga. Sebagai contoh perundangan nasional terkait dengan batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesiaadalah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat

Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia

(kini telah diperbaharui denganPeraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008). Di dalam Peraturan Pemerintahtersebut

dicantumkan daftar

koordinat

geografis

dari titik-titik

garis pangkal Kepulauan Indonesia. Garis pangkal dimaksud adalah garis yang menghubungkantitik-titik terluar dari pulau terluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya, titik-titik tersebutdihubungkan satu dengan yang lain sehingga membentuk garis pangkal KepulauanIndonesia sebagai “fondasi pagar” batas wilayah negara di laut. Dari garis pangkaltersebut diukur lebar laut teritorial sejauh 12 mil laut (nm) atau sesuai dengan kesepakatan apabila terjadi overlapping dengan laut 159

Hasil wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Syaiful Rizal Dankodiklat TNI AD) pada hari Jum‟ at, 10 Agustus 2012.

(mantan Pangdam IX/Udayana dan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

160

teritorial negara tetangga. Daribatasan itu jelas bahwa segala sesuatu yang berada di dalam zona laut teritorial Indonesia mutlak merupakan wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Agar peristiwa serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang maka diperlukan penataan

kembali

arsip-arsip

maupun

dokumen

sejarah,

khususnya

menyangkut

dokumen wilayah kekuasaan Hindia Belanda dan perjanjian perbatasan yang pernah dibuat dengan negaratetangga.160 Hal ini penting untuk ditindaklanjuti mengingat betapa lemahnya sistem pengarsipan dinegara kita, disisi lain dokumen itu sangat diperlukan dalam penyelesaian sengketa perbatasandengan negara lain. Untuk itu, seharusnya yang diperlukan adalah sebuah komitmen dan kebijakan politik dari Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (eksekutif dan legislatif) untuk dapat menyempurnakan kembali produk undang-undang yang mengatur tentang batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No.6 Tahun 1996, PP.No.38 Tahun 2002 dan undang-undang lain yang harus dibuat sesuai dengan UNCLOS undang

tersebut

disampaikan

ke

1982), selanjutnya produk undang -

Sekretariat

PBB

untuk

mendapatpengakuan

internasional.161 4.9

Usaha Perubahan Kebijakan Politik Luar Negeri Presiden Soeharto Gambaran umum mengenai politik dan Pemerintahan pada masa Pemerintahan

Presiden Soeharto adalah politik luar negeri

termasuk bidang dalam Pemerintahan Orde

Baru yang dijadikan sebagai instrumen untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Hal yang terpenting dan menjadi prioritas dalam politik Orde Baru

adalah pembangunan

dan stabilitas. Hal ini menjadi panduan dalam politik luar negeri Orde Baru

yang

menjadi antitesis dari politik luar negeri Orde Lama. Orde Lama atau masa Demokrasi Terpimpin menjadikan politik luar negerinya sebagai alat untuk condong ke Blok Timur. Hal ini kemudian diubah oleh Orde Baru, salah satunya dengan memutushubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Walaupun

160

Hasil wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Hadi Waluyo Pangkostrad) pada hari Jum‟ at, 3 Agustus 2012. 161 Ibid.

(mantan Pangdam VI/Mulawarman dan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

161

pada tahun 1990, Indonesia membuka kembali hubungan tersebut dengan alasan ekonomi.162 Bahwa sistem politik luar negeri yang dianut Indonesia dari masa kemerdekaan hingga saat ini tidak mengalami perubahan meskipun telah terjadi beberapa kali pergantian masa

Pemerintahan.Doktrin Bebas-Aktif

pertama

kali

diungkapkan oleh

Wakil Presiden Indonesia, Mohammad Hatta. Mohammad Hatta dalam pidatonya “Mendayung Antara Dua Karang”, “aktif” yang dimaksud menunjukkan suatu intensitas Indonesia untuk ikut serta dalam usaha menjaga dan menciptakan perdamaian dunia. Ini berarti Indonesia tidak menunjukkan suatu netralitas, yang diartikan sebagai keadaan tak berpartisipasi. Yang dimaksudkan Bung Hatta adalah Indonesia tidak memihak adidaya dunia namun bukan berarti Indonesia mundur dari arena pertentangan internasional, melainkan Indonesia akan terus berusaha secara aktif untuk melakukan upaya-upaya demi menciptakan perdamaian dunia.163 Landasan konstitusi politik bebas aktif baru dibuat tahun 1999, yaitu UndangUndang 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Pasal 3 menyatakan bahwa Politik Luar Negeri menganut prinsip bebas aktif yang diabdikan untuk kepentingan nasional. Namun undang-undang ini belum ada di masa Orde Baru. Sehingga prinsip bebas aktif yang dianut dan dijadikan landasan hanya sebagai landasan moral, bukan konstitusional. Teori persepsi dalam politik luar negeri bahwa persepsi para pembuat kebijakan

luar

negeri berpengaruh pada

kebijakan

negara

dan memainkan

yang dilaksanakan pada politik luar

peran dalam

negeri terhadap

menentukan negara

lain.

Bahwa dalam merumuskan formulasi politik luar negeri Indonesia cenderung dibentuk oleh elit daripada oleh “massa” melalui proses demokrasi.164 Elit yang dimaksud banyak dipengaruhi oleh budaya dan efek historis. Walaupun pembentukan politik luar negeri dibentuk oleh beberapa lembaga, namun Pemerintahan Orde Baru yang didominasi

Lihat Sukamdani Sahid Gitosardjono, Dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok di era kebangkitan AS, Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial, Budaya Indonesia China, 2006, hlm. 56. 163 Politik-Luar-Negeri-Indonesia-Kebebasaktifan-Yang-Oportunis, diperoleh dari http://www.pdfcoke.com/doc/24673774 . [Diakses pada tanggal 12 Februari 2012 pukul 4:39]. 164 Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri di bawah Soeharto, LP3ES: Jakarta, 1993. hlm. 54. 162

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

162

militer

dan sentralistik menjadikan Presiden

Soeharto

sebagai

pembentuk dominan

politik luar negeri dibanding prinsip bebas aktif. Untuk

mencapai kepentingan nasionalnya, maka

Pemerintah

Orde

Baru

membentuk beberapa kebijakan luar negeri. Merujuk dari penjelasan di atas, bahwa politik luar negeri yang telah dibangun oleh Orde Baru bisa disimpulkan menjadi tiga variabel:

Perbaikan

Ekonomi,

Normalisasi

hubungan

dengan

dunia

Barat,

dan

revitalisasi organisasi regional. Pertama, Perbaikan ekonomi yang menjadi prioritas Pemerintah Orde Baru dituangkan dalam pembangunan lima tahun (Pelita). Pelita direncanakan setiap lima tahun dan ditetapkan sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Untuk mendukung terlaksananya Pelita, Indonesia membentuk negara-negara pendonor dalam forum Intergovermental Group On Indonesia (IGGI). Selain itu, Pemerintah pun membuat undang-undang investasi yang mempermudah investasi asing masuk ke dalam negeri. Beberapa faktor yang menjadikan ini berhasil yaitu •

Kelompok Bappenas yang terkenal disebut “mafia Berkeley” yaitu tim

yang sebagian besar lulus dari University of California di Berkeley yang diketuai oleh Prof. Widjojo Nitisastro. Ideologi ekonomi yang terlampau tidak terlalu berbeda, yaitu ekonomi liberal, menjadikan kerjasama antara negaranegara Barat menjadi lancar. Hal-hal krusial yang menjadi masalah di zaman Orde Lama seperti investasi asing, dan lain-lain, tidak terlalu menjadi masalah. •

Komitmen Presiden Soeharto untuk memperbaiki perekonomiannya dan

meninggalkan isu politik tinggi

(High Politics) sebagai landasan

Pemerintahannya. Kedua, memperbaiki hubungan dengan negara-negara Barat adalah salah satu politik luar negeri penting yang dilaksanakan Pemerintah Orde Baru. Salah satu yang diperbaiki adalah kerjasama ekonomi. Di luar hal itu,

masuknya kembali Indonesia ke dalam

keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadi awal normalisasi hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

163

Hal yang menjadi isyarat Presiden Soeharto berniat memperbaiki hubungan dengan negara-negara Barat adalah pidato pada KTT Non Blok di Lusaka tahun 1970, yang mengatakan bahwa hendaknya Indonesia harus bisa menjalin kerjasama dengan negara manapun di dunia dalam berbagai bidang, kecuali bila tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara tesebut. Walaupun dalam pernyataannya tersebut, Presiden Soeharto menyatakan belum perlu untuk masuk dalam aliansi atau kelompok militer seperti NATO ataupun Pakta Warsawa.165 Dengan masuknya kembali Indonesia ke dalam PBB, Indonesia semakin aktif dalam percaturan internasional. Faktor yang menyebabkan keberhasilannya adalah, •

Kecenderungan Presiden Soeharto untuk menjalin hubungan baik

kembali dengan negara-negara barat. •

Sambutan negara Barat, terutama Amerika Serikat

yang menganggap

peran Indonesia sangat vital di Asia Tenggara terutama dalam menjaga stabilitas kawasan dan menjaga tersebarnya ideologi komunisme ketika perang dingin. •

Pengaruh dari kebutuhan bantuan ekonomi seperti yang sudah dijelaskan

diatas dan juga fokus Pemerintah Orde Baru yang juga untuk pembangunan. Ketiga, revitalisasi organisasi regional menjadi salah satu agenda penting politik luar negeri Orde Baru. Hal ini menjadi respon dari politik luar negeri Orde Lama yaitu konfrontasi dengan Malaysia. Kecurigaan dan prasangka pada tetangga terdekat menjadikan Indonesia tidak pernah bisa maju untuk bekerjasama kemudian bersaing secara sehat. Secara geopolitik dan geoekonomi, kawasan Asia Tenggara memiliki nilai yang sangat strategis. Hal tersebut tercermin dari adanya berbagai konflik di kawasan yang melibatkan kepentingan negara-negara besar pasca Perang Dunia II, sehingga Asia Tenggara pernah dijuluki sebagai

“Balkan-nya Asia”. Persaingan antarnegara adidaya

dan kekuatan besar lainnya di kawasan antara lain terlihat dari terjadinya Perang Vietnam. Di samping itu, konflik kepentingan juga pernah terjadi di antara sesama

165

Lihat http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/222971735.pdf . [ Diakses pada tanggal12 Februari 2012 pukul 6:12].

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

164

negara-negara Asia Tenggara seperti

“konfrontasi” antara Indonesia dan Malaysia,

klaim teritorial antara Malaysia dan Filipina mengenai Sabah, serta berpisahnya Singapura dari Federasi Malaysia.166 Faktor-faktor keberhasilannya adalah: • Adanya keinginan kelima negara pembentuk ASEAN yaitu merevitalisasi kerja sama terutama di bidang ekonomi di negara-negara ASEAN • Ada keinginan bersama untuk menjaga stabilitas kawasan dari Perang Dingin. •

Kelima negara tersebut ingin melaksanakan pembangunan sekaligus

menjaga penyebaran ideologi komunisme. •

Dukungan dari Blok Barat terutama Amerika Serikat

untuk menjaga

“efek domino komunisme” terutama dari negara-negara komunis di Asia Tenggara seperti Vietnam. Selain faktor-faktor di atas, terdapat sebab lainnya, terutama faktor eksternal yang mendukung terbentuknya organisasi regional. Filipina misalnya, adalah negara yang populasinya sebagian besar beragama Katholik, sehingga merasa terasing di kawasan Asia Tenggara yang sebagian besar Islam dan Budha. Selain itu, integrasi wilayah dalam suatu organisasi regional memberikan kedaulatan yang lebih kuat untuk negara-negara kecil seperti Singapura dan Brunei Darussalam. Dalam hal ini, sebenarnya alasan pragmatisme ekonomilah yang kuat, namun bukannya integrasi ekonomi, melainkan stabilitas yang mendukung perekonomian tumbuh. Namun dalam efektivitas kinerja organisasi regional untuk memenuhi ekspektasi ideal tersebut, masih kurang berhasil. Kebijakan politik luar negeri Indonesia diuraikan pertama kalinya oleh Drs. Muhammad Hatta dalam rapat KNIP (Komite Nasional IndonesiaPusat) pada tanggal 2 September 1948 di Yogyakarta. Prinsip ideal politik luar negeri Indonesia yang ditegaskan oleh Bung Hatta dan para founding fathers bangsa ini waktu itu tercantum secara jelas dalam konstistusi negara yaitu menganut haluan politik “bebas

166

Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Deplu RI, Selayang pandang ASEAN, Deplu RI, hlm.1

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

165

aktif”.167Pada periode Demokrasi Parlementer, Pemerintah berusaha mencerminkan citra politik luar negeri “bebas aktif” namun condong ke negara-negara Barat. Pada periode Demokrasi Terpimpin masa

Pemerintahan Presiden Soekarno,

dalam

menangggapi perselisihan internasional menggunakan cara desakan yang kuat, tetapi tidak menggunakan diplomasi dan mediasi dengan pihak ketiga. Sangatlah berbeda dengan sikap politik luar negeri Indonesia pada periode Presiden Soeharto yang ditandai dengan adanya sikap pragmatisme yang disertai dengan sikap penuh dengan kehati hatian, tetapi juga menunjukkan sikap ambisi regional. Politik luar negeri pada periode Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno sebagai kekuatan politik yang sangat dominan begitu pula dengan kebijakan luar negeri juga menjadi kewenangan Presiden Soekarno pribadi. Pelaksanaan kebijakan politik luar negeri oleh Presiden Soekarno merupakan suatu upaya untuk merubah peranan internasional yang terbatas dan juga untuk mendapatkan kedudukan terkemuka di antara negara-negara pasca kolonial lainnya. Perubahan politik dalam negeri Indonesia juga turut mengubah arah politik luar negeri Indonesia. Perubahan yang dimaksud

terjadi setelah peristiwa kegagalan kudeta

pada tahun 1965. Kegagalan usaha kudeta mempengaruhi perimbangan politik domestik yang rapuh yang sebagian dipertahankan selama ini melalui kebijaksanaan politik luar negeri yang radikal. Dengan perubahan yang nyata dalam struktur sistem politik, kebijakan politik luar negeri mengalami perubahan yang mencerminkan prioritas pengganti Presiden Soekarno pada saat itu. Setelah usaha kudeta mengalami kegagalan pada tahun 1965, citra Presiden Soekarno sebagai seorang Presiden semakin turun. Sehingga pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno menyerahkan semua kekuasaan eksekutifnya kepada Letnan Jenderal Soeharto. Setelah peralihan kekuasaan internal tersebut

dilaksanakan,

maka

kebijakan politik luar negeri

Indonesia

hanya

menyatakan kembali pada politik luar negeri “bebas aktif”. Penerapan kebijakan politik luar negeri dalam penyelesaian permasalahan sengketa Pulau Sipadan-Ligitan sudah berjalan dengan baik dan sesuai prosedur yang 167

Michael Leifer, Politik Luar Negeri Indonesia , Jakarta: Gramedia, 1986, hlm. 26.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

166

berlaku. Tetapi hal lain yang menjadi permasalahan dalam penerapan perumusan kebijakan politik luar negeri dalam permasalahan sengketa kepemilikan Pulau

Sipadan-

Ligitan. Penerapan kebijakan politik luar negeri dalam kasus sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan dalam penerapannya tidak optimal. Diakibatkan karena faktor dari aktor negara dalam hal ini Pemerintah tidak menindaklanjuti dengan baik, karena pada kenyataannya penerapan kebijakan politik luar negeri hanya sebatas pada tingkat perundingan saja dan hasil dari perundingan bilateral tersebut tidak dilanjutkan dengan adanya proses perumusan kebijakan politik luar negeri oleh Pemerintah.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

BAB 5 PENUTUP

5.1

Kesimpulan Indonesia

telahberupaya

SipadanLigitan melalui jalur politik

mempertahankan kepemilikan atas Pulau yaitu dengan cara diplomasi atau perundingan

bilteral dengan Malaysia. Serangkaian perundingan bilateral dengan Malaysia telah dilalui oleh Indonesia

dan

Malaysia

sebagai

upaya

penyelesaian

permasalahan

sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan. Namun cara diplomasi atau perundingan bilateral yang telah dilaksanakan menjadi tidak efektif ketika Indonesia dan Malaysia memiliki tujuan yang saling bertentangan dan tidak dapat lagi dikompromikan. Sehingga berdampak juga dalam proses perumusan kebijakan politik yang akan dilakukan oleh Indonesia Pulau

dalam

penyelesaian

permasalahan

sengketa

kepemilikan

SipadanLigitan. Kerugian tersebut juga berdampak bagi Indonesia dalam

menyikapi secara politis yang juga mempengaruhi politik domestik. Ketidakefektifan

dan

kebuntuan

pelaksanaan

proses

diplomasi

atau

perundingan bilateral berdampak dalam proses perumusan kebijakan politik Pemerintah Indonesia.

Sebelumnya

penyelesaian

Pemerintah

permasalahan

sengketa

Indonesia

memberikan

kepemilikan

Pulau

usulan

bahwa

Sipadan-Ligitan

dalam melalui

mekanisme di forum ASEAN, tetapi Malaysia menolak dengan alasan politis. Penyelesaian

permasalahan

sengketa

kepemilikan

Pulau

Sipadan-Ligitan

melalui

mekanisme forum ASEAN yang diusulkan Indonesia ditolak Malaysia karena pertimbangan politis, tetapi Malaysia juga terlibat sengketa perbatasan dengan negaranegara anggota ASEAN lainnya. Langkah Pemerintah Indonesia untuk membawa permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan ke forum ASEAN dinilai tepat, karena menurut Pemerintah jalan politis yang hendak diambil setidaknya akan memberikan keuntungan bagi Indonesia. Tujuan Indonesia memberikan usulan kepada

167

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

168

Malaysia

untuk menyelesaikan permasalahan sengketa

SipadanLigitan

ke

forum

ASEAN

agar

kepemilikan Pulau

negara-negara

anggota

ASEAN

ikut

membantu menyelesaikan permasalahan sengketa tersebut. Dalam permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan hendaknya menjadi pelajaran bagi Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan wilayah teritorial terutama pulau-pulau terluar Indonesia yang tidak berpenghuni dan belum diberikan nama. Melihat dari kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah kedaulatan Indonesia, maka langkah yang paling penting dalam

permasalahan

serupa

kedepannya

diharapkan

Pemerintah

menyikapi

Indonesia

lebih

mengefektifkan upaya politis. Upaya politis yang ditempuh Pemerintah Indonesia tersebut nantinya akan memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan proses perumusan kebijakan politik luar negeri yang juga akan mempengaruhi keadaan politik dalam negeri. Untuk itu, kedepan Pemerintah Indonesia diharapkan pelaksanaan upaya politis yaitu dengan cara perundingan bilateral apabila dihadapkan dengan permasalahan sengketa wilayah atau perbatasan agar lebih diefektifkan kekuatan dan lebih profesional dalam berdiplomasi. Pada kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan dari wilayah Negara Kesatuan

Republik

Indonesia,

seharusnya

Pemerintah

Indonesia

paling

tidak

harus

memperhatikan keberadaan pulau-pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang tersebar di perbatasan dengan negara-negara tetangga. Pada kasus

lepasnya

Pulau

Sipadan-

Ligitan dari kekuasaan kedaulatan wilayah teritorial Indonesia, memunculkan akan kewaspadaan terhadap paham realisme politik internasional. Orientasi penyelenggaraan kerjasama

antarnegara

senantiasa

mengarah

kepada

upaya

memperoleh

dan

memperbesar kekuasaan tersebut, karena hal tersebut merupakan upaya politis suatu negara. Untuk itu, dalam proses perumusan kebijakan politik luar negeri sangat diperlukan usaha-usaha untuk memperoleh dasar-dasar yang kuat sebagai bahan pertimbangan dalam mengeluarkan kebijakan politik. Apabila dasar -dasar yang diperoleh selama proses perundingan bilateral tidak diperoleh, maka akan berdampak pada proses perumusan kebijakan politik. Dalam penyelesaian permasalahan sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan, Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

169

langkah politik yang tepat yaitu dengan mengajak Malaysia untuk menyelesaikan dengan perundingan bilateral. Paham realisme politik internasional mengandaikan konstelasi masyarakat internasional sebagai suatu struktur hubungan yang bersifat anarkis. Dalam kasus lepasnya Pulau Sipadan-Ligitan, maka kata kunci adalah kekuatan agar negara dapat terus mempertahankan jati dirinya mengingat politik internasional sebagai suatu perjuangan untuk memperoleh suatu kekuasaan. Persoalan batas wilayah yang kerap membuat Indonesia menelan kekecewaan, sebenarnya juga menegaskan bahwa bangsa ini mengabaikan takdirnya sebagai pemilik negara kepulauan. Padahal sebagai negara kepulauan di dalamnya memiliki implikasi strategis dalam penentuan batas wilayah negara dan teritorinya. Meledaknya kasus sengketa kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan

antara Indonesia dan Malaysia, selain dipicu ketidaktegasan Pemerintah juga mencerminkan

beberapa

hal.

Pertama,

minimnya

pemahaman

dan

political

willPemerintah serta para pemangku kepentingan tentang kesadaran ruang dan kesadaran garis batas wilayah negara. Hal itu tercermin dari berbagai implementasi kebijakan yang ada. Menjadikan laut sebagai pusat kehidupan, belum menjadi agenda penting untuk dilaksanakan. Kedua, adanya kebijakan yang saling tumpang tindih, dan tidak menjadikan laut dan perairan sebagai pemersatu bangsa dan wilayah. Salah satu indikasi yang jelas adalah, mindset tentang pembangunan wilayah daratan yang begitu kuatnya. Sehingga memperlakukan laut sebagai wilayah darat yang mudah dibagi-bagi. Ada 13 institusi yang terlibat dalam persoalan keamanan laut ini. Padahal dengan menyandang status negara kepulauan yang demikian luas ini, Indonesia tidak lagi sekumpulan pulau tetapi lebih disebut maritime

a

body of

continent”.

Dan

water dotted by yang

islands,

terpenting

adalah

bahkan ada ketegasan

yang mengatakan“a Pemerintah

dalam

menyikapi persoalan ini sesuai dengan spektrum tanggungjawab yang melekat di dalamnya. Untuk menjalankan strategi perjuangan kedaulatan dan nasionalisme, tanggungjawab pokok berada di tangan negara. Negara adalah negara yang responsif (responsive state). Negara yang sepenuhnya bertanggungjawab dalam penegakan kedaulatan dan nasionalisme. Negara yang sepenuhnya bertanggungjawab dalam

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

170

menjaga integritas teritorial dan berdaulat dalam mengambil keputusan kebijakan politik. Termasuk negara yang tidak dapat membebaskan diri dari kewajiban untuk menjaga kedaulatan dan nasionalisme Indonesia. Fenomena sengketa perebutan Pulau Sipadan-Ligitan tidak berdampak begitu luas karena factor civil society pada tahun 1979 atau pada era Presiden Soeharto sangat rendah pergerakannya. Karena faktor inilah Pemerintah seakan lemah dalam berdiplomasi karena tidak ada tuntutan dari masyarakat luas yang menyebabkan Pemerintah hanya bisa mengambil keputusan status quo dalam perebutan wilayah itu, namun tidak dapat dipungkiri angkatan bersenjata dikerahkan pada saat itu, hanya namun karena faktor kebijakan masing-masing negara yang menekankan tidak menyerang dan hanya menggunakan konsep membela diri maka konflik dapat meredam. 5.2

Saran Dalam proses perumusan kebijakan politik ke depan yang lebih baik adalah

dengan mengedepankan upaya-upaya politis yaitu dengan meningkatkan perundingan bilateral yang lebih berkualitas dan profesional. Pemerintah sebaiknya memperbaiki kualitas cara melaksanakan proses perundingan bilateral atau diplomasi yang dijalankan oleh Kementerian Luar Negeri agar kedepannya menjadi lebih baik. Untuk itu, Pemerintah harus secepatnya mengambil langkah dalam dengan membuat keputusan dalam hal kebijakan politik luar negeri apabila dihadapkan dengan suatu kasus yang menyangkut kedaulatan negara dengan cara antar lain: Pertama, mensosialisasikan kepada masyarakat tentang pentingnya arti pulau-pulau terluar bagi bangsa dan negara Indonesia.Kedua, melakukan kerjasama dengan negara-negara yang berbatasan dengan wilayah-wilayah Indonesia dalam pengelolaan wilayah perbatasan dalam rangka menghindari konflik serta menjaga stabilitas kawasan.Ketiga, menegakkan kedaulatan baik melalui penguasaan birokrasi, pendudukan terus menerus dan pemberdayaan kawasan di sekitar wilayah perbatasan.Keempat, mempertegas penetapan batas wilayah dengan negara yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Sesuatu kebijakan yang diambil Pemerintah yang berdampak pada resiko kehilangan sebagian wilayah tanah air harus dipertimbangkan dengan seksama

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

171

melibatkan semua komponen bangsa, bahkan apabila bisa dihindari.Pemerintah dan semua pihak saat ini adalah bagaimana mengamankan gugusan pulau-pulau yang rawan sengketa dengan negara lain, terutama yang berada di wilayah perbatasan dan mulai saat ini harus dilakukan pemetaan ulang atas seluruh wilayah dan pulau-pulau yang menjadi milik Indonesia. Untuk itu, Pemerintah C.q. TNI harus lebih tegas lagi dalam menangani dan mengawasi pulau-pulau terutama di perbatasan yang kini mulai dihuni penduduk dari negara lain. Diperlukan upaya Pemerintah agar melaksanakan kebijakan pengawasan dan penguasaan terorial

yang selama

ini

terabaikan dan mulai dihuni

penduduk dari negara asing.Sejalan dengan perkembangan tata kehidupan berbangsa dan bernegara dilingkungan dunia internasional, maka suatu negara dalam mempertahankan eksistensi atau kelangsungan hidupnya memerlukan perjuangan seluruh bangsa

untuk mencapai atau mempertahankan

kelestarian teritorialitas

atau

kedaulatan teritorialnya. Menyadari adanya kompleksistas permasalahan, baik isu mengenai tapal batas (border), keamanan nasional (national security) atau keamanan manusia (human security) perlu adanya satu pemahaman wawasan nusantara di dalam menentukan suatu kebijakan. Indonesia kini menunggu undang-undang perbatasan hingga pulau-pulau kecil dekat perbatasan dengan negara lain tidak mengalami nasib seperti Pulau SipadanLigitan. Untuk merefleksikan masalah kedaulatan terhadap kasus Pulau Sipadan-Ligitan perlu dilihat dari konteks permasalahannya. Kasus Pulau Sipadan-Ligitan adalah kasus yang bersifat unik dan khusus. Kedua pulau tersebut menjadi objek sengketa kepemilikan antara Indonesia dan Malaysia yangberawal pada tahun 1969 ketika kedua negara merundingkan perbatasan landas kontinen di antara kedua negara. Dalam perundingan tersebut ditemukan bahwaPulau Sipadan-Ligitan merupakan pulau yang ”tidak bertuan” (terranulius).

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

172

DAFTAR PUSTAKA Buku: Alfandi, Widoyo. Reformasi Indonesia Bahasan dari Sudut Pandang Geografi Politik dan Geopolitik.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2002. A.Columbis, Theodore dan James H. Wolve. Introduction to International Relations. Power and Justice. New Jarsey: Prentice Hall. 1982. Abdulgani, Ruslan.Problem Nasionalisme, Regionalisme dan Keamanan di Asia Tenggara. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. 1995. Abdurrachmat. Pengantar Geografi Politik. Bandung: IKIP. 1982. A. Snyder, Craig. Contemporary Security and Strategy, Palgrave: Macmillan. 2008. Bahar, Saafroeddin.Sumbangan Daerah Dalam Proses Nation Building, dalam Ichlasul Amal dan Armaedy Armawi. Regionalisme, Nasionalisme dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1998. Banerjee, Dipankar. Security and Diplomacy In The 21st Century. New Delhi: Institute of Peace and Conflict Studies. 2003. Baylis, John, Smith, Steve. The Globalization of World Politics.Oxford: Oxford University Press. 1999. C. Plano, Jack & Ray Olton. International Relation, Dictionary. New York : Holt, Rinehart & Winston. 1969. Carlson, Lucile and Philbrick, Allenk. Geography and World Polotics. New Jersey: Prentice-Hall Inc. 1960. Eyestone, Robert. The Threads of Public Policy. Indianapolis: Bobbs Merrill. 1971. Dye, Thomas R. Understanding Public Policy. New York: Prentice Hall. 1972. Dunn, William. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 1998. Departemen Luar Negeri. Buku Putih Politik Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Deplu RI dan Indonesia Council on World Affairs. 2003. F. Hanrieder,Wolfram. Comparative Foreign Policy: Theoretical Essays. New York: David McKay Co. 1971.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

173

Franklin, B Weinstein. Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno toSoeharto, Ithaca: Cornel University Press. 1976. Hayati,Dr. Hj. Sri, M.Pd dan Drs. Ahmad Yani, M.Si.. Geografi Politik. Bandung: PT. Refika Aditama. 2007. Hatta, Mohammad. Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta: Tintamas. 1953. Hardjijo, Bantu. Pembinaan Daerah Perbatasan Dilihat dari Aspek Hankam. Jakarta: Mabes ABRI dan Lembaga Pertahanan Nasional. 1991. Holsti, K.J. Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Jilid I. Jakarta: PT. Erlangga. 1988. Ikle, Fred C. How Nations Negotiate. New York: Harper and Row. 1964. Jamtomo,Rahardjo. Politik Luar Negeri Indonesia Kini dan Kedepan. Percetakan Angkasa. 2002.

Bandung:

J. Morgenthau,Hans.Politik Antar Bangsa.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2010. Jensen,Lyod.Explaining Foreign Policy, New Jersey: Prentice Hall. Inc.. 1982. Kusumaatmadja, Mochtar, Prof. DR. Politik luar negeri Indonesia dan pelaksanaannya dewasa ini: Kumpulan karangan dan pidato. The University of California: Alumni. 1983. Kusumaatmadja, Mochtar, Prof. DR. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: PT. Bina Cipta. 1978. Keohane, Robert dan Joseph Nye. Power and Interdependence: World Politics in Transition. Boston: Little Brown. 1977. Leifer, Michael. Indonesia’s Foreign Policy. London: George, Allen & Unwin. 1983. Leifer, Michael. Politik Luar Negeri Indonesia. Gramedia: Jakarta. 1986. Moerdani,LB.. Menegakkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Pandangan dan Ucapan Jenderal TNI (Purn) LB. Moerdani 1988-1991. Jakarta: Yayasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Soedirman. 1992.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

174

McCloud, Donald G.System and Process in Southeast Asia: The Evolution of a Region. Boulder, Colorado: West-view Press. 1986. Modelsky, George. Theory of Foreign Polic., New York: Praeger. 1962. Morgenthau, Hans J. Politics Among Nations. New York: Alfred A. Knept.1975. Manggala, Pandu Utama. Mencari Yang Hilang dari Politik Luar Negeri. Jakarta: Gramedia. 2007. Nur Alami, Atiqah. Landasan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia, dalam Ganewati Wuryandari (ed.), Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar Yogyakarta. 2008. Prescot, J.R.V.

Boudaries and Frontiers. London:Croom Helm. 1973.

Panikkar, KM. The Principle and Practice of Diplomacy. Pounds, Norman J.G. Political Geography. New York: Mogrow-Hill Book co. Inc. 1963. Ritchie,Jane and Jane Lewis (ed). Qualitative Research Pratice : A Guide for Social Science Students and Researchers.London : SAGE Publications Ltd.. 2003. Sahid Gitosardjono, Sukamdani. “Dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok di era kebangkitan AS. Lembaga Kerjasama Ekonomi, Sosial, Budaya Indonesia China. 2006. Suryadinata, Leo. Politik Luar Negeri di bawah Soeharto. LP3ES: Jakarta. 1993. Sugiono. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : CV. Alfabeta. 2004. Sihombing, Frans Bona. Ilmu Politik Internasional: Teori Konsep dan Sistem. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1986. S. Nye, Jr, Joseph. International Regionalism, Boston: Little Brown & Co. 1968. Wuryandari, Ganewati. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar Yogyakarta. 2008. Waltz, Kenneth. Theory of International Politics. Cambridge: Cambridge Unversity Press. 1979. Jurnal: Bandoro, Bantarto, dalam Analisis CSISAspek-Aspek Intenasional dalam Intergrasi Nasional, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994. Pandangan Morgenthau mengenai konsep ini dapat ditemukan dalam Theodore A. Columbis dan James H. Wolve, “Introduction to International Relations, Power and Justice”, New Jarsey: Prentice Hall, 1982, ditulis di dalam tulisan

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

175

Bantarto Bandoro dalam Analisis CSIS “Aspek-Aspek Internasional dalam Intergrasi Nasional”, Tahun XXIII No. 5, September-Oktober 1994. Majalah: Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, Deplu RI, Selayang pandang ASEAN, 2007. Energy Security and Southeast Asia: The Impact on Maritime Boundary and Territorial Disputes. Harvard Asia Quarterly. Fall 2005. Forum Keadilan, Sipadan dan Ligitan Dengan Damai, Tahun V No. 15, 4 November 1996. Surat Kabar: Kompas. RI-Malaysia Tukar Menukar Dokumen Tentang Sipadan dan Ligitan, 8 Juli 1992. . RI Mempertahankan Pulau Sipadan dan Ligitan, 6 Februari 1993. . Sengketa 2 Pulau Takkan Ganggu Hubungan RI-Malaysia, 30 Juni 1993. . Sengketa Sipadan dan Ligitan Agar Cepat Selesai, 29 Januari 1994. . Sipadan - Ligitan dan Konflik Warisan, 20 Februari 1995. . Malaysia Minta Indonesia Tenang dalam Soal Sipadan, 23 Februari 1995. . Sipadan dan Ligitan Masalah Integritas Wilayah, 13 Juni 2002. Media Indonesia. Indonesia dan Malaysia Sepakati Batas Wilayah, 1 Mei 1999. Suara Pembaruan. Penanganan Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, 3 Juni 1991. Situs Internet: Kesepakatan Soeharto-Mahathir bawa Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional. Dalam http://www.hamline.edu. Diakses Senin tanggal 25 April 2011.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

176

Nasib Pulau Sipadan dan Ligitan Semakin Jelas. Dalamhttp://wap.gatra.com. Diakses Senin tanggal 25 April 2011. Statistik Vital Kasus Sipadan-Ligitan. Dalam http://www.unisosdem.org. Diakses Selasa tanggal 26 April 2011. Keputusan Mahkamah Internasional tentang kasus perebutan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Dalam http://diplomacy945.blogspot.com. Diakses Selasa tanggal 26 April 2011. Malaysia Telah Okupasi Sipadan. Dalam http://www.tempointeractive.com. Diakses Selasa tanggal 26 April 2011. Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan. Dalam http://www.dephan.go.id. Diakses Selasa tanggal 26 April 2011. Memanasnya Hubungan RI-Malaysia. Dalam http://www.politik.lipi.go.id. Diakses Selasa tanggal 26 April 2011 Belajar dari Kasus Sipadan Ligitan. Dalam http://www.kompas.com. Diakses Jumat tanggal 29 April 2011. Kasus Sipadan-Ligitan. Dalam http://www.metronews.com oleh Aspiannor Masrie. Diakses tanggal 29 April 2011.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

177

http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/222971735.pdf Diakses pada 12 Februari 2012 pukul 6:12. http://www.pdfcoke.com/doc/24673774/Politik-Luar-Negeri-Indonesia-KebebasaktifanYang-Oportunis diakses pada 12/02/12 pukul 4:39. Wawancara: Wawancara dengan Dian Triansyah Djani, MA (Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN) Departemen Luar Negeri RI, Kamis, 10 November 2011 dan 17 Oktober 2011 di Kantor Ditjen Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri. Wawancara dengan Kolonel Ctp Drs. Umar S. Tarmansyah (Peneliti Puslitbang SDM Balitbang Dephan), Jum‟ at, 11 November 2011 dan Jum‟ at, 25 November 2011 di Kantor Puslitbang SDM Balitbang Departemen Pertahanan. Wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Syaiful Rizal (mantan Pangdam IX/Udayana dan Dankodiklat TNI AD) pada hari Jum‟ at, 10 Agustus 2012. Wawancara dengan Letjen TNI (Purn) Hadi Waluyo (mantan Pangdam VI/Mulawarman dan Pangkostrad) pada hari Jum‟ at, 3 Agustus 2012. Wawancara dengan mantan Menlu RI Hasan Wirajuda pada hari Rabu, 12 Desember 2012 (pada saat menghadiri seminar tentang Konflik Perbatasan di ASIA di kantor Kemlu RI). Wawancara dengan Effendy Choirie (anggota Komisi I DPR RI) pada hari Selasa, 4 Desember 2012. Pernyataan dari Bapak Susilo Bambang Yudhoyono

(mantan Menkopolkam era

Presiden Megawati Soekarnoputri) pada pembukaan Rakernister TNI dan TMMD Ke-33 pada hari Kamis, 13 Desember 2012. Wawancara dengan Megawati Soekarnoputri melalui Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo pada hari , Senin, 10 Desember 2012.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

178

DAFTAR LAMPIRAN

1.)

PETA WILAYAH PULAU SIPADAN - LIGITAN

Sumber : David A. Colson, The American Journal of International Law, 2003

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

179

2.)

PETA PULAU SIPADAN DAN RESORT YANG TELAH DIBANGUN

Sumber : http://www.dephan.go.id. Diakses Selasa tanggal 26 April 2011.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

180

3.)

PAPAN TANDA PENGUMUMAN YANG DIPASANG MALAYSIA DI PULAU SIPADAN

Sumber : Kantor Puslitbang SDM Balitbang Departemen Pertahanan 2011

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

181

4.)

FOTO DAERAH LOKASI SUMBER DAYA LAUT BERUPA IKAN, JENIS HEWAN LAUT DAN DAERAH PENYELAMAN DI PULAU SIPADAN

Sumber :Kantor Puslitbang SDM Balitbang Departemen Pertahanan 2011

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

182

5.)

PETA PULAU LIGITAN DAN RESORT YANG TELAH DIBANGUN MALAYSIA

Sumber : http://www.dephan.go.id. Diakses Selasa tanggal 26 April 2011.

Universitas Indonesia

Kegagalan formulasi..., Kurniawan Setyanto, FISIP UI, 2012

More Documents from "Independent 2017"

File.pdf
November 2019 10
Hin2.pdf
November 2019 22
Matecki Summons/complaint
December 2019 17
Question-tags1.docx
November 2019 14