Hauri

  • Uploaded by: Sandrina Aquita
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hauri as PDF for free.

More details

  • Words: 43,708
  • Pages: 176
Hauri Oleh KARTIKA

Hidupku tak selalu seperti sebuah dongeng, Tapi aku diberkati bakat untuk melarikan diri dalam imajinasiku Untuk membuat cerita yang memenuhi dunia dengan fantasi dan khayalan, Keluguan, Juga cinta. Cerita-cerita yang kuharap hidup selamanya. (Hans Christian Andersen) So Much THANKS! Dari yang telah berlalu dan untuk yang akan datang. Seluruh Sahabat dan Keluarga, yang berada di samping saya saat ‘perjalanan’ itu berlangsung. Operasi, Kehilangan satu indung telur, Kemoterapi, Kehilangan rambut—dan Menjadi botak, MRI, dan akhirnya RECOVERED. Kalianlah bagian terindah yang tak ingin saya lupakan karena kelumpuhan sesaat ini. Tapi berada jauh dari kalian sungguh merupakan siksaan yang pedih, maka biarlah kenangan kita akan menjadi kenangan yang sesungguhnya abadi. Lebih abadi dari tulisan ini. Setelah kehilangan demi kehilangan.... Saya ingin berhenti mengasihani diri sendiri dan melanjutkan hidup dengan jalan yang saya PILIH dan telah saya yakini akan membawa saya pada pemberhentian yang benar. Dengan satu komitmen untuk apapun konsekuensinya. Hidup bukanlah tentang perbandingan—mana yang lebih baik, tetapi hidup adalah tentang kesetiaan—satu keyakinan untuk menjadi yang terbaik, seburuk apapun wajahnya. Kedua orangtua—Mama dan Papa, Nyai, almarhumah si Mbah, dan satusatunya adik sekaligus sahabat berbagi hidup—Dita. Terima kasih untuk jalan yang mampu menjadikan saya tegar. Teman-teman koresponden, teman penulis, teman teater, budayawan, yang selalu siap berbagi ilmu. Untuk ilmu yang sesungguhnya. Mbak Abidah El-Khalieqy, untuk telinga saat curhat demi curhat melayang lewat ketikan sms. Semoga aku mampu sehebat dirimu. Sekali lagi dan untuk selamanya, Huda. Dimanapun engkau berada. You’re the biggest inspiration for my write. Dia, Chandra Wirawan, untuk takdir. Yogyakarta terindah. Tempat segala kasih dan kisah meluber kemudian tumpah ruah tak terbendung, sehingga saya tenggelam di dalam eksotisnya. Aku amat bergetar merindu..... Izinkanlah aku untuk selalu pulang lagi, bila hati mulai sepi tanpa terobati. ☺ Kepada Dunia yang bijak. Saya telah kembali hari ini, untuk berlari. Lebih kencang.

Salam sayang untuk Allah swt, Why do you love me this much? Kartika.

Dedikasi untukmu, yang mencintaiku lebih dari sebagai seorang PEREMPUAN. Dan mencintaiku juga sebagai seorang manusia.

Aku memang senang berjongkok disini sambil menunggu pintu tertutup Menjadi saksi bagi orang-orang yang menyuruhku untuk tak berperasaan Menumpulkan bakat kelenjar airmata untuk berhenti berproduksi Adakah sakit yang lebih sakit dari senyuman menahan tangis? Karena aku tetap saja merasa lebih baik mati di tengah ramainya karnaval sepi Biarkan aku jongkok terus sampai bantingan pintu menulikan telingaku.

-PermulaanSebuah Pasar di Kota (1978) Perempuan itu celingukan. Toleh kanan toleh kiri, menggigiti bibirnya cemas. Banci mengamen. Nenek-nenek dengan bakul penuh kembang. Pedagang tikar bersuara parau. Dia

terus

berusaha

menembus

kerumunan

dengan

menebar

jauh

pandangannya. Namun sejauh ia memandang, yang dicarinya tak juga nampak. Maka ia memutuskan menelusuri pasar. Menghalau lalu lalang orang, bersenggolan dengan ibu-ibu yang tengah berdiri menawar, sempat juga tersandung dagangan si pedagang tikar tadi. Orang-orang datang setiap minggu kemari untuk mencari ikan segar. Semua kalangan datang ke sini untuk berbelanja. Dari yang paling miskin, sampai yang paling kaya. Dan dia seharusnya tadi sudah mendapatkan sekantong ikan segar dengan harga dibawah standar, tetapi begitu sadar gadis kecilnya telah lenyap, maka ia merelakan ikan itu menjadi milik orang lain. Padahal baru saja lengah sedikit, anak itu sudah hilang dari pengawasanannya. Dasar lasak! Dia berhenti beberapa kali dan bertanya. “Anak perempuan setinggi ini? Rambutnya agak coklat keemasan.” Orang-orang masih menggeleng. Perempuan itu sudah putus asa andai saja dari tempatnya bersandar, penglihatannya tidak bertemu dengan sosok kecil itu. Jaket merah muda yang lusuh— dengan bulu putih di ujung lengannya, dengan rok yang menjuntai keluar dari jaket, yang merupakan terusan dari baju di dalam jaketnya—berwarna senada. Mendapati bidadari kecilnya sedang duduk di pagar rendah sebuah pelataran parkir. Duduk di depan seorang bocah laki-laki yang berjongkok di hadapannya. Kirakira empat atau lima tahun lebih tua.

Perempuan itu menelan ludah lega. Mengurut dada dan bergegas mendekat, tapi ia lantas mengurungkan niatnya mendengar kedua bocah itu tampak mengobrol dengan seru. “Kamu cantik, tapi warna rambutmu lucu. Namamu siapa?” Putrinya tersenyum malu-malu. Astaga, ia sekecil itu dan sudah bisa malu mendengar pujian dari laki-laki? Ibunya menggeleng-geleng. “Kamu sepertinya tidak tinggal di kota ya? Kamu anak desa ya?” Cukup! Perempuan itu menyudahi pikirannya, untuk mengira anaknya sedang bermain. Anak laki-laki itu akan melukainya dengan mengejeknya sebagai anak desa yang cantik. Ia sudah berjalan mendekat, ketika itu ada perempuan lain yang telah sampai lebih dulu. “Astaga! Kamu mama cariin kemana-mana! Ternyata di situ. Ayo bangun, kita pulang.” Perempuan itu menggamit kasar lengan anak laki-lakinya dan memaksanya berdiri. Anak laki-laki itu menurut tanpa menjawab. Ia berjalan mengikuti ibunya dari belakang. Gadis kecil itu bingung melihat teman barunya yang pergi tanpa permisi. Tapi kemudian ia tersenyum karena melihat temannya menoleh ke belakang. Untuk tersenyum dan melambai padanya. Genggaman ibunya semakin keras. “ayo, Dion! Cepat.” Putrinya membalas lambaian itu.

*

Pasir Panjang (1978) “JULI, ingat terus ya, ibu sudah bilang, jangan bermain-main dengan orang yang tidak kau kenal. Apalagi orang kaya macam itu. Mereka sombong-sombong!” Begitu turun dari angkutan kota, perempuan itu kembali mengingatkan anaknya.

Anak itu mengangguk. Kemudian mereka menghabiskan sisa perjalanan mereka menuju sebuah rumah, sambil bergandengan. Rumah yang sederhana dan terletak di pinggiran kota. Atapnya tinggi, dengan pintunya tidak terlalu besar. Bila masuk di dalam, maka akan terlihat dindingnya yang belum diplester dan sebagian besar terlihat kosong tanpa terlihat berusaha dihiasi apaapa kecuali satu bingkai foto Presiden berukuran sedang. Tiang kayu di terasnya sebagian sudah melapuk dimakan sepasukan besar rayap. Empat kursi plastik berkaki rendah berwarna biru dan satu meja rotan yang tidak terlalu serasi berdampingan di ruang tamu yang sempit. Untuk duduk satu dua orang yang masuk rumah itu, bertamu sebentar lalu pergi lagi. Kadang untuk menagih hutang, kadang juga hanya untuk sekedar bertanya alamat. Halamannya luas dan hijau. Tampak terlalu lapang untuk ukuran rumah sekecil itu. Pekarangan yang sama sekali tidak terurus. Rumput-rumput tumbuh dengan sendirinya disitu. Sebuah pohon asam besar menaungi salah satu sudut halaman, dan ada beberapa tumpukan barang bekas yang tidak berguna lagi, namun tampaknya terlalu sayang untuk dibuang. Rumah yang tak pernah sepi, sekalipun penghuninya cuma tiga orang. Sepasang suami istri baru menikah, dan satu orang anak perempuan yang belum genap tiga tahun. Suara kedua orangtua yang masih muda itu keras, bila bicara. Kerap tak hanya suara dari mulut mereka, ada juga suara meja kursi yang saling menghantam menjadi jeda setiap pembicaraan itu, tamparan, dan kadang-kadang suara meludah. Pembicaraan yang tampak penting dan sering. Entah apa, tapi sepertinya para tetangga sudah menganggap semua itu menjadi bagian dari lingkungan mereka. Tidak bisa tidak, karena itu terlalu sering. Pagi, siang, sore, tengah malam, subuh, detik demi detik. Mereka seperti biduk yang tengah menjaring kepedihan, karena ternyata bulan madu tak selamanya manis. “Kau! Petantang petenteng saja kerjanya. Tak bisakah kau cari kerja yang lebih baik?” perempuan itu gemar menyumpahi laki-lakinya. “Kenapa kau tidak pernah puas? Yang penting aku masih bisa cari duit. Sudah bagus aku mau menerimamu dengan anak tak jelasmu itu. Tinggal makan saja masih kau ribut. Diam sedikit, gampang toh?”

Bila sabda bertemu sabda, maka terdengarlah persahutan sabda. Umpatan bertemu umpatan, sudah tentulah terdengar persahutan-persahutan yang sama. Sahutan demi sahutan yang terus berlanjut, bersambung, berepisode-episode, yang dipertontonkan di hampir setiap hari. Bergabung dalam malam dan merasuki mimpi-mimpi mereka. Seorang anak perempuan yang belum genap tiga tahun, berjongkok di pintu ruang tamu sambil memeluk boneka manusia. Anak yang mungil dan berkulit putih pucat. Rambutnya panjang ikal melewati bahu dan berwarna sedikit keemasan. Emas yang pucat pula. Padahal rambut laki-laki di rumah itu hitam legam dan lurus. Begitu juga rambut sang perempuan, hitam dan sedikit keriting. Matanya berwarna coklat terang, seperti mata boneka dipelukannya. Benar-benar tampak bahwa dia memang bukan benih dari laki-laki di dalam rumah itu. Bila ia sudah berjongkok begitu, maka sudah tentu akan ada sesuatu yang ikut menggenang di bawah kakinya. Genangan air kencing yang mengalir menuju teras. Si kecil hanya menangis dalam diam dan menyedot ingus yang turun bercampur airmata. Tak satupun dari kedua orangtuanya menghentikan diskusi itu untuk datang membawanya membersihkan diri. Mungkin ada ketakutan yang sedang meracau hati gadis kecil itu, membuatnya tak sanggup bergerak untuk pindah dari genangan itu. Matanya menatap lurus ke jalanan sepi, kadang-kadang juga mengeraskan suara isaknya. Mungkin meminta perhatian orang lain, atau meminta pertolongan seseorang mengangkatnya berdiri dari jongkoknya di tempat kotor itu. Tapi mungkin juga itu isakan pertanda marahnya ia pada orang-orang berdiskusi itu. Sampai pada akhirnya, seorang pemuda tanggung yang sedang lewat jalanan rumah itu mendengar keriuhan di dalamnya. Ia seorang anak pesantren yang rajin sembahyang. Tersimak olehnya diskusi yang belum juga reda. Matanya menangkap sebuah sosok kecil meringkuk dan makin basah di depan pintu rumah. Sempat ragu ia untuk masuk pekarangan. Dikira orang-orang maling pula, rumitlah urusannya. Beberapa detik yang singkat, tatapan mereka berdua beradu. Melihat polosnya mata itu, maka luluhlah hati sang pemuda dari keraguan. Didekati anak itu dengan pasti

Si gadis kecil melihatnya, menatap dengan mata bulat-coklat yang semakin kabur, tertutupi kabut di pelupuknya. Rambut panjangnya sudah basah sebagian, keringat bercucuran dari dahi, leher dan tangannya. Sungguh malang gadis manis yang sendiri itu. Pikir pemuda itu. Dia akhirnya masuk dan menggendong gadis bau kencing itu menjauhi pekarangan menuju sumur di samping rumah. Mengurungkan niatnya untuk menuju masjid dan bersembayang ashar, dan lebih berniat membersihkan anak yang sudah mulai bau amis. “Siapa namamu dik?” Gadis kecil itu justru memeluk keras leher pemuda tadi, dan bersembunyi di dalam pelukannya. Leher besar yang berbau harum. Wajah yang bersimbah peluh itu dibasuhnya dengan air sumur yang dingin. Ingus-ingusnya dibersihkan, kaki dan tangannya dicuci. Dengan lembut ia menangkup pipi kecil yang bersemu itu, dan seolah berbicara sendiri. “Jangan takut lagi. Semuanya beres.” Gadis itu menatap lekat wajah yang baru pernah dilihatnya. Satu wajah putih bersih dan bercahaya. Bola mata yang hitam pekat. Lebih pekat dari malam, dan lebih hitam dari arang. Ia terlalu kecil untuk mengucap terima kasih. Terlalu muda untuk berkatakata. “Siapa namamu?” Juli....suara yang kecil dan samar, ditambah konsonan J yang lebih terdengar seperti D. Terakhir, pemuda itu menyelimuti tubuh kecil Juli dengan sajadahnya. Menghalaunya dari rasa dingin yang mengganggu.

Sebagaimana semua hal di bumi berasal dan terjadi lalu mengalir, maka semua juga akan sampai pada satu titik. Kini tiba saatnya aliran itu menuju kobaran klimaks yang sesungguhnya. Tanah pekarangan becek tergenang air coklat. Hujan turun berhari-hari seperti kesetanan. Awan bergumul dan membayangi bumi dari ketinggian puluhan ribu kaki. Ini kesempatan bagi manusia menyadari rahmat Tuhan sedang membanjir.

“Bang, aku ingin melamar kerja jadi TKW.” Suara itu menjadi satu-satunya jeda di antara tamparan air di genteng rumah. “Apa?” “Jadi TKW, bang....” “Siapa pula yang sudah menghasut kau.” Suaminya menyahut dengan bibir masih menjepit batang rokok yang tinggal sepotong. Asapnya mengaburkan pandangannya. Ia mengerjap beberapa kali mengusir perih. “Aku tadi ketemu Marini di warung. Dia bilang dia sudah kerja di Malaysia. Sudah dua tahun ini, bang. Kau lihat saja, jarang kan kau lihat Marini di kampung kita?” Ia menghisap rokoknya lalu menghembuskan keras. Asap putih memenuhi ruangan yang dingin. Kedua alisnya tak pernah berhenti bertemu, bahkan saat tidur. Kesan temperamental selalu melekat padanya. “Bang?” perempuan itu mengulangi. “Mana kutahu!” “Dia dapat gaji besar. Kerjanya saja cuma cuci piring dan bersihkan rumah. Yaa..pembantulah begitu. Tiap tahun dia pulang ke Indonesia, bawa banyak uang. Suaminya saja gajinya tidak sebesar dia. Senanglah anak-anaknya. Tampaknya dia sukses.” “Lalu? Kau mau ke Malaysia juga?” Ia mengangguk. “Anak kau? bawa sekalian saja.” “Alah bang, lagak kau sudah seperti tuan tanah! Nanti kalau kubawa pulang uang banyak, biar kusumpal mulutmu. Bagaimana aku kerja kalau bawa-bawa bocah? Tak usah cemas kau bang,” Iya benar. Kenapa harus cemas. Kalimat tanya yang berakhiran titik, bukan tanda tanya. Ditujukan kepada dirinya sendiri, di dalam hati. Laki-laki itu menyulut rokok kedua. “Terserah kaulah.” Kemudian bergegas beranjak meninggalkan ruang tamu, dengan menyeret sandal. Suara hujan kembali mengambil alih atmosfir. Sepi menjelma dalam keriuhan hujan. “Juli! Sini nak!” Perempuan

itu

memanggil

anak

gadis

kecilnya

ke

ruangan

yang

pencahayaannya remang-remang. Satu kalimat yang terasa seperti hujan. Hujan yang membasahi jiwa putrinya yang kering kerontang.

“Dengar Juli.....kaulah satu-satunya harta ibu yang paling berharga dalam seumur hidup yang pernah ibu punya. Hanya kamu yang bikin ibu mampu bertahan dalam segala situasi, meski kau tahu, situasinya tak pernah bagus. Tapi sayang, ibu menyayangimu nak, lebih dari segala-gala isi dunia ini. Dengan cinta ini, kuharap kau juga mampu bertahan, seperti yang selama ini ibu lakukan.” Ia memilin ujung rambut anaknya yang semakin bersinar tertimpa cahaya lampu minyak. Kalimatnya terlampau panjang dan rumit dimengerti oleh si anak. Tapi Juli tahu, kalimat itu memiliki arti yang besar untuknya. Mata bundar di hadapannya terlihat membesar dan sempurna indah. Berbinar pada waktu bahagia. Bahagia ketika malam ini ia tahu satu hal lagi. Ibunya mencintai dirinya. Lebih dari apapun. Mereka saling mendekap. Di tengah pintu terbuka lebar, membiarkan semburan hujan masuk terbawa angin, bebas menyirami lantai rumah. Sedikit-sedikit menerpa wajah mereka. Tapi dekapan mereka saling menghangatkan. Dua manusia beda generasi yang terlihat bahagia bila sekali-sekali berpelukan. Seperti merasa, inilah pelukan terhangat yang pernah mereka miliki. Mungkin akan jadi yang terakhir. “Bapak juga akan menyayangimu seperti ibu.” Dan mata itu pelan-pelan meredup sempurna. Telinga kecilnya menangkap kalimat yang penuh kebohongan, di balik pundak ibunya yang kurus kering. Ia hanya seorang anak kecil yang terlalu bodoh untuk membenarkan sesuatu yang dirasanya salah. Juli kecil hanya butuh air susu dan ia disapih sebelum usianya genap dua tahun. Satu-satunya yang ia tahu, ibunya akan pergi jauh dan tidak akan pernah membawanya. Pergi meninggalkan dia berdua di rumah berpekarangan luas ini bersama ayahnya yang sedikitpun tidak tampak mencintainya. Juli tidak tahu kenapa. Sama seperti ia tidak tahu kenapa warna kulit dan matanya berbeda dengan yang dimiliki ayahnya. Juli kecil mungkin belum sadar, ia akan tumbuh sendiri menuju usia remaja dan dewasanya. Tapi mungkin sejak lahir, ia sudah dipersiapkan untuk itu. Baru akan genap usianya tiga tahun, ia sudah terbiasa menjadi sesuatu yang tidak terlalu diharapkan. Sesuatu yang membebani orang lain. Jadi mungkin ia akan biasa saja. Kesendirian tidak akan semelankolis kelihatannya. Malah mungkin lebih baik. Toh ia juga akan memakai ulos di kepala

seperti ibunya. Pergi ke gereja dan berdoa, ikut misa dan mungkin juga akan menikah nantinya. Dia juga akan memiliki bahu yang kurus. Sama seperti ibunya. “Jangan

lupa—biaya

anakmu.

Kalau

dia—sekolah

atau—apalah

kebutuhannya. Anak perempuan kan butuh banyak!” tiba-tiba tubuh sang suami muncul lagi dari dalam. “Iya sudah pasti itu. Tapi jangan lupa juga kau, antarkan Juli sekolah minggu.” Perempuan itu menyahut, serius. Tetapi suaminya sudah tidak kelihatan lagi. Kembali masuk dalam kamarnya. Benar-benar sulit dipercaya bahwa mereka dahulu adalah dua orang yang saling jatuh cinta. Hujan masih sempurna di luar sana. Menyapurata apa saja yang masih nekat berada di luar. Hati yang kaku akan semakin beku, bila menyimak benar derap-derap airnya yang satu irama.

Tampaknya rencana perempuan itu untuk pergi sudah mantap. Seminggu setelah pembicaraan singkat—dan paling damai—di ruang tamu, akhirnya ia mendapat calon majikan dari agen yang direkomendasikan tetangga yang kabarnya sudah sukses itu. Mereka bertemu di rumah sang pengurus agen. Calon majikan, calon babu dan pengurus agen. Mereka saling dikenalkan. Sang calon majikan ternyata orang Indonesia juga, katanya belum lama menetap di Malaysia dan menginginkan pembantu dari Indonesia juga, entah untuk alasan apa. Satu lagi kebetulan, sang calon majikan juga perempuan. Ia memakai kerudung. Kerudung merah tua yang menggantung begitu saja di atas kepalanya. Seperti tidak ada maksud apa-apa ia menggunakan kerudung itu. Malah terlihat merepotkan, karena ia harus terus menerus membenahi kerudungnya yang gemar melorot. Sama seperti ulos yang ada di kepala sang calon babu. Dipakai di atas kepala tidak dengan maksud apa-apa. Lipstiknya merah menyala. Hampir sama warna dengan warna kerudungnya. Rambutnya berombak panjang sebahu, berwarna coklat. Lengan bajunya panjang dan bergelembung besar di atas bahu. Belahan bajunya terlalu rendah, sehingga tanpa harus sengaja, terlihatlah belahan dua himpitan dadanya. Tapi ia tidak terbebani. Ia bergerak bebas.

Pertemuan itu disela oleh tiga cangkir teh panas. Satu cangkir tanpa gula, untuk sang calon majikan. Mungkin untuk alasan diabetik, atau bisa juga syarat diet menurunkan berat badan—yang itupun belum disentuhnya, sementara dua cangkir yang lain sudah sisa setengah. Surat pertama yang harus ditandatangani oleh si calon babu adalah satu tahun kontrak kerja. Bila ada kecocokan di kedua pihak, maka kontrak itu bisa diperpanjang. Surat kedua, syarat adminstrasi yang harus dilunasi selama kontrak kerja pertama berjalan. Dengan mata yang sudah bersinar-sinar tak sabar, perempuan calon babu— bersuami—beranak satu—itu menggoreskan pena dengan tergesa. Ia hanya ingin segera mengubah nasibnya. Ia tak ingin terus bergeming dengan kemelaratan yang tak pernah dijanjikan dalam sumpah setia dalam perkawinannya di depan altar suci. Sang calon majikan juga menandatangani. Belahan dadanya terlihat sampai pangkalnya, ketika ia menunduk untuk menandatangani surat. Pihak agen juga menandatangani. Matanya melirik ke belahan baju perempuan tadi. Pembayaran oleh sang—kini sudah jadi—majikan kepada pihak agensi dilakukan. Maka resmilah ia memiliki seorang pembantu dari Indonesia. Kata agennya, tidak ada kata sulit untuk bekerja di luar negeri. Pergi menjadi tenaga kerja dengan paspor liburan saja juga bisa. Itu bagaimana kongkalikong dengan agen pengirim saja. Yang penting tidak kena razia. Kalaupun kena, itu sial belaka. Nanti tinggal diurus lagi paspor yang baru. Petugas imigrasi juga tidak terlalu ambil pusing. Tapi dia tidak terlalu paham dengan omongan agen itu, dengan apa-apa yang bisa menjadi ‘gampang diatur’, dan apa-apa yang memang ‘harus diatur’. Pokoknya ia tinggal terima bersih. Jadilah mereka bertiga bersalaman. Kepuasan terlintas jelas di wajah mereka. “Saya ingin kamu cepat berangkat ke Malaysia. Supaya bisa langsung bekerja, kapan dia bisa berangkat, pak?” tanya perempuan itu kepada agen. Lelaki itu menyodorkan segepok kertas. Visa, paspor, tiket. Kontan perempuan babu itu terkejut. Ia memang sudah tak sabar ingin segera bekerja, tapi tak menyangka harus berangkat secepat itu. Bahkan koper-koper saja masih kosong. Dan dia belum beli sandal baru.

Senyumnya surut sejenak, tapi kemudian mengembang lagi. Ia akan meninggalkan hidupnya yang sulit. Kenapa harus cemas. Setelah berpamitan, perempuan babu itu pulang ke rumahnya dan bermaksud memberitahu kabar baik ini, sekaligus mempersiapkan barang yang akan dibawanya ke Malaysia, besok pagi. Diapun pulang. Langkahnya lebar dan bersemangat. Kainnya diangkat selutut, kemudian sekali-sekali berlari kecil. Langit gelap padahal hari masih siang. Bunyi geledek terdengar merobek angkasa. Sebentar lagi gerimis, pikirnya. Langkahnya semakin cepat. Jarak beberapa meter dari pintu rumah, langkahnya terhenti. Dadanya berdebar-debar. Rasa letih terasa mengampas dalam jantungnya, dan ia berhenti untuk menyimak suasana. Hujan mulai turun satu-satu. Dilihatnya Juli berdiri di depan pintu kamar—yang terlihat dari luar—sambil kencing berdiri. Menatap ke dalam kamar yang sepertinya tidak tertutup. Anaknya itu tampak bergetar. Ia melangkah masuk. Pintu kamar memang terbuka, hanya gorden panjang menjuntai, menutup separuh. Perempuan itu melongok ke dalam kamar. Ia memang sudah menduga akan menemukan pemandangan seperti hari itu. Cepat atau lambat. Pemandangan busuk yang seharusnya tak dilihat oleh anak kecil manapun, termasuk Juli. Dengan langkah sunyi, ia melintasi ruangan dan mendekap anaknya yang tersentak oleh pelukan ibunya. Dibopongnya Juli dalam sepi, pelan-pelan kemudian berlari keluar rumah dan menembus hujan yang mulai sempurna. Ia membawa anaknya ke sumur. Tidak untuk membersihkan anaknya, tetapi untuk berteduh di bawah pohon asam besar. Tidak apa-apa sayang, jangan diingat lagi. Suara hatinya menjadi gemuruh petir yang bersahutan di angkasa luas. Dia selalu percaya pada takdir, dan apapun yang dialaminya hari ini, adalah sepotong takdir yang tidak bisa dipersalahkan, apalagi dimintai sedikit tanggungjawab. Juli disandarkan di pohon, dan ia sendiri pergi ke samping sumur dan bersembunyi disana. Bersembunyi karena ia muntah-muntah dan menangis. Takdir tidak selalu manis, karena buktinya sekarang ia merasa kesakitan.

Ketekunannya menjaga diri sebagai manusia hilang sudah. Sedekahnya sebagai perempuan untuk setia, serta merta membatu menjadi amarah. Lelahnya ia berjalan tanpa alas kaki menguap tiba-tiba. Satu yang tersisa ketika hari itu ia menampar hatinya dengan tawarnya airmata. Yaitu kepasrahan. Harus pasrah. Ia melihat suaminya bermain gulat dengan perempuan lain. Tanding gulat yang tak hitung ronde. Perempuan lain yang tak kelihatan wajahnya karena menelungkup di kelamin suaminya. Berubah menjadi manusia-manusia berkaki empat saat sudah tergeletak di ranjang. Ranjang kayu itu berderit-derit bising. Mempersembahkan tontonan kepada anak semata wayangnya dengan adegan yang tak pakai skenario. Dia masih menggigiti bibirnya dan meremas dada yang membungkus jantungnya. Benarkah dulu mereka pernah saling jatuh cinta? Kalau begitu, anaknya tidak akan sampai kencing berdiri. Ia menoleh ke arah Juli, disela tangisnya yang bisu. Anak itu selalu diam, dan memeluk boneka manusia satu-satunya yang dia punya. Tangannya meremas lumpur. Hujan sudah bercampur dengan airmata yang turun di wajahnya. Perasaan terlunta ini mengingatkannya pada masa yang sudah lewat. Dua belas tahun lalu, ketika itu keadan perpolitikan sedang kacau dan mempengaruhi semua kalangan. Keadaan lbukota yang disebut-sebut sedang hamil tua, dan diperhitungkan akan segera melahirkan dengan selamat. Negara berpaham komunis. Kemudian terjadilah peristiwa itu. Pelenyapan orang-orang yang tidak sepaham dengan janin yang dikandung. Secara total dan tanpa sungkan-sungkan. Keluarga perempuan itu adalah keluarga berpengaruh dari kalangan Gereja. Ayahnya seorang anggota majlis terhormat yang tampaknya mendapat perlindungan dari pihak berwajib. Keluarganya enggan untuk terlibat dan berusaha tidak terpengaruh. Bahkan dengan harga-harga barang yang menjadi seseram hantu tanpa kepala. Sekitar setahun setelah itu, ada semacam pembersihan balasan oknum yang justru sepaham. Dibumihanguskan secara terang-terangan. Sampailah pada orde panjang itu. Dimana banyak sastrawan dan seniman yang dipenjara karena terlalu vokal. Dikurung dan tak pernah diadili.

Dimasa itu ia mengenal seorang laki-laki yang berprofesi sebagai penulis. Di saat ia baru saja beranjak mekar dan baru akan memperkenalkan diri kepada dunia, betapa harumnya ia. Laki-laki yang memiliki rambut berwarna keemasan. Laki-laki Indonesia yang berambut keemasan. Mereka jatuh cinta ditengah-tengah kondisi yang sulit. Cinta tidak terlalu mendapat tempat.. Seharusnya dunia memperlakukan mereka berdua secara bijaksana. Karena setiap cinta yang datang pertama kali, biasanya serapuh air. Tetapi tidak, ketika yang dialami perempuan ini justru kenyataan pahit. Lakilakinya dipenjara dengan fitnah. Tulisannya terlalu tajam memprovokasi. Sebenarnya perempuan itu tak suka membaca, tidak juga mengerti perpolitikan. Ia hanya mencintai laki-laki itu sebagai manusia. Sayangnya laki-laki itu tidak terlalu peduli dengan katolik, sekalipun tempat ia dibaptis adalah sebuah gereja katedral. Ia jarang berada di gereja, untuk sekedar mengakui dosa. Bahkan mungkin ia tidak tahu tata cara manusia memanjatkan doa. Ia hanya peduli pada tulisan-tulisannya. Seorang penulis yang dituding beraliran kiri. Itulah alasan dunia tidak bisa memberikan restu, kepada dua manusia yang berbeda. Maka perempuan itupun bagai terpenjara. Menunggu bertahun-tahun lamanya, tanpa berbuat apa-apa, tanpa merasai apa-apa. Mengingatkan orang akan legenda putri tidur, karena tertusuk jarum pintal di menara kerajaan. Putri itu akhirnya terbangun dan bertemu kembali dengan sang pria impian. Hanya saja biasanya restu dunia tak bisa berlama-lama bagi dua kutub bertemu. Apalagi untuk setia. Justru disaat ia sadar dirinya hamil, laki-laki itupun dienyahkan oleh kerjasama keluarganya dengan pihak dalam. Dibuang jauh-jauh ke daerah terpencil. Entah kenapa dari seluruh kisah kehidupan di dunia nyata, maupun ceritacerita di negeri dongeng selalu berakhir dengan kekuatan cinta. Cinta seolah memiliki kekuatan yang menjadi satu-satunya alasan manusia menjadi pemberani. Sepahit apapun sebuah situasi yang terinjak bersamanya.

Tapi justru dengan cinta yang luka, ia menjadi buta. Melarikan diri jauh-jauh dari depan hidung para keluarganya, kemudian menikahi laki-laki yang ditemui di suatu bar pada malam tahun baru. Laki-laki yang mencintainya hanya di depan pendeta itu. Kemudian menjelma menjadi satu-satunya hakim yang berhak menilai dirinya. Hakim yang tak henti-hentinya mencerca cara hidup yang dipilihnya. Laki-laki yang mencari ikan di laut kemudian menjualnya di pelelangan ikan. Laki-laki yang baru saja dilihatnya bersama wanita lain di kamar tidur pengantin mereka. Ia sendiri heran, masih ada perempuan yang mau dengan suaminya yang miskin dan pemarah. Atau mungkin itu pelacur murahan yang mau dibayar dengan beberapa ribu. Buktinya perempuan itu mau saja diajak tidur di gubuk murahan. Gubuk murahan, untuk perempuan murahan. Ditepisnya pikiran yang baru saja terlintas. Ia berjalan mendekati anaknya yang terdiam berjongkok di bawah pohon asam. Menggigil hebat. Menatap sebentar mata anaknya yang kosong, kemudian ikut berjongkok di sampingnya. “Lain kali kau lari saja.” Airmata mereka kala itu sudah surut. “Sekencang-kencangnya.Ya nak?” Pandangannya tetap lurus. Dia tak tahu, anaknya menjawab atau tidak. Air hujan, lumpur, keringat dan airmata membaur menjadi akhir cerita yang lembut.

*

Setelah semua itu...... Juli tahu. Juli menjadi sadar, bahwa sebenarnya tak ada cita-cita yang dia lihat berada dalam genggaman ibunya.

Ia rasa, ibu pergi karena memang sudah saatnya ia pergi. Tidak pergi ke Malaysia seperti tujuan tiket digenggamannya, tetapi pergi menuju kematian dengan minum racun serangga. Dia mati karena tidak menemukan eksistensi diri. Ibunya adalah putri dalam menara yang tidak pernah terselamatkan.

***

Penghujung Tahun 1997 Pengadilan membebaskan terdakwa. Terdakwa didiagonosa mengidap kelainan jiwa dan penyimpangan perilaku. Memutuskan untuk mengembalikan terdakwa kepada keluarga, untuk kemudian diteruskan pada rumah sakit jiwa agar ditangani secara medis. Padahal Pisau itu sudah hampir mengenai dadanya. Lelaki ayah tiri yang miskin dan berdosa dimatanya. Perempuan itupun harus mendengar ketokan palu lainnya mengenai keberadaaan jiwanya yang tengah terombang-ambing. Bagai tahta kerajaan yang tengah diperebutkan oleh para selir yang serakah dan haus darah. Sedangkan permaisuri tuanya tak mampu berbuat apa-apa. Terikat dan terbuang. Dengan segera akan terlupakan. “Sebaiknya anda menjalani pengobatan serius disini.” “Kenapa saya harus tinggal?” “Dari satu tes yang sama, yang saya berikan tiga kali pada anda, terdapat hasil yang berbeda-beda. Ngg...bukan, tapi...jauh berbeda. Bertolak belakang.” Dokter itu membenahi gagang kacamatanya. Ragu-ragu. “Apa maksud anda? Anda mau bilang apa?” “Diagnosa anda sementara ini Dissosiative Identity Disorder, nona Juliet. Anda sebaiknya ....” “Saya tidak mengerti!” Perempuan itu membanting kedua tangannya di atas meja tak berdosa itu. “Kepribadian ganda, nona Juliet.” Suara itu semakin samar. Ia seperti alien yang terdampar di Planet Bumi. Dimana semua bahasa tak dapat lagi ia pahami. Sementara

mulut

zaman

seperti

membungkamnya. ***

haus

bicara.

Dia

tak

mampu

Selamat Malam Matahari

Semua orang mungkin akan mencapai suatu titik aklamasi. Dimana telah habis semua lahan mimpi yang telah berulangkali ditanami bibit harapan. Pergi begitu saja kesejatian yang acapkali diharapkan sebagai sebuah kebenaran. Kebenaran yang terkulum dalam mulut zaman yang terus menerus disalahkan karena tak berdosa. Kurasa semua manusia akan reinkarnasi sebelum mereka mati. Manakala lencana, kasta, perisai, gelar, transaksi, ambisi, oposisi, diplomasi, poligami, aborsi, komplikasi, monopoli, harga diri, simponi, konstelasi, birahi, seni-moral, euthanasia, utopia, gender, schizophrenia, dissosiativedisorder, perpecahan, id, ego, superego, self-actualization, semua-mua yang melankoli polifonik! Akan serta merta berubah menjadi hati nurani......... Derap-derap biadabkupun tak jua menujumu kembali Karena kubosan setia. Karena kuingin menawar panah arjuna agar menusuk lebih dalam, lebih sakit. Sehingga secara aklamasi aku akan jatuh cinta pada yang tak setia. Ada yang sukarela menyempurnakan batin-batin keroncongan dengan racun-racun berasa bangsat. Tengik. Apak. Ada yang tak henti mengelukan orang-orang yang tak pernah mereka kenal. Guavara, Hittler, Soe Hok Gie, The big Soekarno. Orang-orang itu hanya manusia tua dan papa. Mati karena menganggap revolusi itu bagian dari urat nadi, penyelamat mimpi, dan wujud hati nurani. Parahnya lagi, mereka para revolusioner yang sakau. Aku menunggu sampai semuanya melebur menjadi satu. Sampai tak ada lagi yang saling mengenali. Semua hanya hati dan nurani. Matahari akan bersinar di malam hari. Tak ada yang perlu menutup mata untuk menunggunya. Adakah yang ingin mencoba mempercayaiku? Cinta sudah tak mampu menyelamatkan apa-apa. Ia hanya mencabik sesuatu untuk menyelamatkan sesuatu yang lain. Akan selalu ada yang sobek. Kau, aku dan para revolusioner itu belajar mematahkan jarum jam milikNya. Dan disinilah kita semua. Pada satu klimaks yang sama. Mati dalam keriuhan sepi. Bertanahkan tikar peradaban, dan bernisan perploncoan. Tanpa nama.

Selamat malam matahariku, Cobalah untuk tidak mencintaiku. Karena aku malam, dan kau matahari. JULIET

Sebuah tahun (1998) GILA! Aku sudah gila. Aku pasti sudah gila karena disekap di ruangan ini. Satu tempat tidur besi dengan kasur keras dan sprei berwarna putih, sama putih dengan dindingnya. Bola lampu yang berpendar-pendar membuat manusia-manusia di dalamnya tampak menyeringai sadis. Ada tali-tali hampir serupa kekang kuda yang sudah bertengger di besi-besi itu. Tampaknya memang disiapkan untuk siapapun yang akan berbaring disitu. Tak terkecuali aku. Mereka meletakkan tubuhku dengan hati-hati. Pintu ruangan terbanting keras oleh dorongan angin karena lupa ditutup. Wajah-wajah pucat dan menyeringai di bawah pendar lampu mengerumuniku dengan isyarat kosong. Mereka wajah-wajah cantik yang mistis. Seolah mereka memang diharuskan untuk berwajah mistis, dibalik jubah-jubah putih itu. Tangan-tanganku. Kedua kaki. Perut. Kepala. Tali itu begitu banyak. Bila mencoba bergerak, maka rasa sakit akan tak sabar menggigitiku dengan beringasan. Behaku mereka lepas. Tinggal celana dalam dan satu kemeja tak berkancing berwarna hijau. Satu-satunya benda yang berwarna di ruangan ini. “Pasiennya dokter Bre?” “Iya pak, rekomendasi seorang wanita kapitalis.” Mereka tersenyum, sambil terus sibuk. “Ada apa rupanya...”

“Obsesi membunuh ayahnya.” Lanjut perempuan berkacamata, sambil mengenakan sarungtangannya. Laki-laki setengah baya itu memandangi seluruh tubuhku dengan seksama. Kening tuanya berkerut. Ia mengamat-amatiku seolah aku adalah fosil tua yang langka. Tangan tremornya bergerak tertatih mengelus keningku. Mengusir peluh yang hampir berubah massa menjadi garam. “Wanita muda yang malang,” ujarnya sambil memeriksa kedua bola mataku. Kepalaku tak bisa bergerak. Hanya kedua mata coba kuputar untuk mencaricari suasana menyenangkan yang bisa menenangkan. Meyakini sebuah kebenaran yang tak terlalu kasat mata bagiku. Kebenaran tentangku yang selalu mereka diskusikan. Pintu itu terbuka dan seorang laki-laki lain yang lebih muda, berbadan tegap, melangkah masuk dengan cepat. Aku ingat dia. Dia dokterku. Dia yang mengajakku berkeliling pada hari pertama aku berada di tempat ini. “Dokter Bre...” sambut salah seorang diantara mereka. Ia berbisik-bisik dengan laki-laki tua itu, dan kemudian mengisyaratkan sesuatu. “Siapa namamu?” Ia mendekatiku dan bertanya dengan lembut. Tapi aku tak bisa menjawab. Sesuatu seperti mencekat tenggorokan dan menggulung lidahku menjadi bisu. Aku hanya menatap wajahnya yang serius. Tak ada belas kasihan disana. Percuma aku memohon pertolongan. Aku tetap diam. “Baik Juliet, dimulai saja.” Dan mereka menyuntikkan benda itu di lengan kanan. Aku tidak gila! Aku masih merasakan sakit. Aku masih mengenali semuanya dengan jelas. Bahwa itu adalah jarum suntik, pintu, tempat tidur. Juga semua warna yang ada. Aku tahu lampu diruangan ini sudah hampir mati dan harus segera diganti, karena pendarnya menyilaukan mataku. Lihat, aku sebenarnya waras. Sewaras manusia waras. Karena sampai detik ini, aku masih bisa merasakan kebencian padanya. Pada orang yang mengawini ibuku dan harus kupanggil ayah. Mulailah cairan itu mengalir. Kurasakan ia merambati tubuh dan darahku. Cairan yang pahit, kental dan suram. Sesaat suasana hatiku menjadi sepi dan sedih, begitu kurasakan tubuhku mulai terbanting ke kiri dan ke kanan. Sekujur sarafku

seolah tumpul karena rasa sakit yang datang secara bersamaan dan langsung menyerang ke pusat otak. Kekuatan yang jahat dan amat licik. Mereka membelai dan mengusap keringatku berkali-kali. Apa mereka pikir keringat ini akan membunuhku bila tidak disingkirkan? Bukan justru obat-obat ini? Cahaya lampu itu kemudian mulai diam dan berhenti berpendar. Dengan seksama kuperhatikan sampai lampu itu benar-benar mati. Dindingpun berubah warna menjadi hitam. Tali-tali kekangku berubah menjadi cakar-cakar setan yang menakutkan. Kepala ranjang juga ikut berubah. Menjadi nisan yang berdiri tegak di pemakaman pada malam hari. Orang-orang yang berdiri di sekeliling ranjang, perlahan memuai menjadi bayangan-bayangan berkerudung dan ada yang bertanduk. Seperti para pemuja setan. Lampu bohlam itu seperti pecah di mataku. Aku mengerang bisu. Kenapa tak ada pengobatan yang sehat untuk orangorang sakit? Kenapa orang-orang sakit harus selalu lebih disakiti untuk bisa dikatakan sehat? Aku bergetar sampai rasanya akan pecah. Tali kekang di kepalaku berubah menjadi mahkota berduri milik Yesus. Aku berharap semoga bisa mati seperti Yesus. Mati, kemudian menebus dosa-dosa orangorang yang salah mendiagnosaku sebagai pesakitan. Kalau bisa reinkarnasi, maka aku ingin kembali utuk membunuhnya. Selalu. Selalu ada harapan bagi setiap orang. Biasanya harapan muncul dikala semua jalan telah tertutup. Karena aku tidak gila. Aku hanya manusia biasa yang memiliki gairah. Dan gairahku hanya untuk membunuhnya. Pecahan-pecahannya masuk ke mata dan menusuk otak kecilku. Semua ikut berkabung, dan tertunduk dalam hitam dan suram. Semua mata memejam, kecuali milikku yang mengerahkan seluruh sisa tenaga untuk otot mataku melotot, menontoni cantiknya kehampaan. Tangan-tangan setan ikut mengendur, dan tubuhku lolos dari guncangan. Akupun berubah menjadi katatonik1. Seorang katatonik yang akan dipaksa untuk menjelaskan eksistensi realitas hidup baginya. Sedangkan aku sekarang, tak lagi

1

Suatu akibat dari gangguan jiwa yang menyebabkan tubuh menjadi kaku

mampu membedakan mana hidup yang mati, atau sesuatu yang dihidupkan dari kematian. Membiarkan segala hal yang masih tersisa di ruang ini menelanjangiku. Apapun dia, yang sanggup, maka lakukanlah. Apa masih tersisa perasaan malu itu. Atau sudah mati bersama rasa yang mereka bunuh. Dari rontaan ke katatonik. Dari ruang ke ruang. Dari ada ke tiada. Lalu aku hilang selamanya. Mereka berebut menempatiku.

-Assylum2, PUSAT KOTASebuah papan besar terpampang di halaman depannya. Tampak arogan. RSJ Puri Kemala. Ukiran tulisannya akan mengingatkan kita pada tulisan-tulisan di rumah tua dan angker. Awas, daerah terlarang. Kabarnya ini rumah sakit jiwa kelas atas. Rumah sakit jiwa khusus untuk orang-orang tertentu. Untuk orang-orang jutawan, berduit dan tak rela aib keluarganya terbongkar. Menjadi gila adalah aib bagi sebagian orang, dan disinilah tempat yang tepat untuk menyembunyikannya rapat-rapat. Kalau ibarat Hotel, maka ia bintang lima. Dan bila diibaratkan kasta, maka ia termasuk Brahmana. Semua pasien diistimewakan disini. Tak ada pasien yang tak istimewa, karena biaya perawatannya terbilang gila-gilaan. Mungkin bisa sama dengan gaji anggota dewan selama setahun. Mungkin. Siapa tahu? Karena kudengar sangat mahal. Sangatsangat mahal. Tak ada terali besi, tak ada wc mampet, dan disini para pasien tidak tidur dengan kecoak, tapi tidur dengan soda, atau wine. Mereka memiliki fasilitas bowling, dan ruang menonton televisi. Bisa diibaratkan penjara, kami adalah tahanan politik nomor satu. Suite room, kelas eksekutif, dan persamaan-persamaan sejenisnya. Penjara. Terali atau pintu.

2

Rumah sakit jiwa

Rumah sakit jiwa. Seragam berwarna bladus dengan angka di punggung seperti pemain bola, atau pakai gaun sekalipun, kami semua tetap pesakitan. Dan pesakitan selalu tersisih. Para satpam di sini memakai topi baret dan menyandang senapan di bahu mereka. Bukan satpam dengan seragam putih-biru donker dan memegang borgol murah serta pentungan karet. Mereka direkrut langsung dari instansi berwenang, diseleksi terlebih dahulu, kemudian diberi modal nama baik. Ini rumah sakit jiwa khusus perempuan. Letaknya persis di pusat kota. Ditengah-tengah suburnya kemacetan dan para biang stres bertemu dan saling menularkan penyakit. Kami semua ada dua belas orang, mendapat kamar sendiri-sendiri dengan ranjang springbed dan lemari pakaian dari kayu jati. Penerangannya dari lampu yang bagus. Seperti lampu di kerajaan-kerajaan. Aku menyukai kamarku. Kamar kami diberi nama. Tidak diberi nomor seperti kamar-kamar pada umumnya. Sebabnya adalah jelas, karena kami semua istimewa. Aku mengenal dekat beberapa pasien. Kupikir, setiap orang memerlukan komunitas di sekeliling mereka, untuk hidup dan berbaur. Dan komunitasku di assylum ini terbentuk karena kami memiliki satu kesamaan. Terasing dari realita. Bukan komunitas yang umumnya tumbuh bersama dan saling menunjang. Agar bisa dipersalahkan bila terjadi penyimpangan dalam salah satu individu. Dan bukan juga untuk disanjung bila berprestasi. Sejak kecil aku juga tidak pernah memiliki teman dari komunitas yang sebaya. Tak ada persaingan, tak ada masa-masa menjadi kompetitor, menjadi sang juara, menjadi yang lebih baik, atau lebih buruk. Tak juga merasakan menjadi sebuah eksistensi yang paling berharga, atau paling terbuang. Kecuali satu, janji untuk menjadi yang paling dicintai. Tapi itu hanya semacam janji yang diingkari. Orang yang berjanji kepadaku mati bunuh diri minum racun serangga setelah berjanji akan mencintaiku lebih dari apapun. Seorang wanita desa yang pernah menjadi ibuku. Duniaku memang sepi dan sendiri. Aku tumbuh besar dan selalu menjadi penonton. Duduk di bangku paling depan, menonton dan tidak diizinkan berperasaan.

Pertama kali kesini, aku datang diseret, dan tangan diborgol. Setelah disuntik penenang, maka kemudian aku diajak berkeliling, diantar seorang perawat dan seorang dokter, yang konon akan menjadi psikiaterku, selama aku berada di sini. Kamar pasien terletak di lantai dua dan tiga. Letaknya berjejeran rapat seperti sel-sel penjara, tapi bedanya dinding kami (aku mulai membiasakan menggunakan kata kepemilikan, agar terbiasa merasa seperti rumah sendiri) menggunakan kertas dinding warna-warni pastel dengan motif bunga-bunga. Melintasi para perempuan yang memenuhi koridor, membuat jantungku seakan hendak pensiun memompa darah. Inilah para perempuan pasien RSJ Puri Kemala. Mereka seperti benda-benda tanpa nyawa—robot yang bertebaran di manamana. Layaknya pelakon panggung sandiwara, mereka seperti berada di sebuah panggung teater raksasa dengan backdrop hitam dan lampu sorot yang menerangi mereka masing-masing sebagai pelakon utama. Tak ada yang mendapat peran pembantu. Semuanya asyik dengan dunia mereka sendiri-sendiri. Aku tergerak untuk berhenti, ketika melihat seorang gadis dengan rambut hitam panjang sampai pinggangnya. Duduk di sebuah kursi roda dengan mata yang hampa. Memperhatikan tajam tembok di depannya yang seakan sedang duduk berhadapan dengannya. Seolah ia menjadi buta karena amarahnya. Bila diperhatikan, ia tampak telah lama mati dan tak sempat dikuburkan. “Namanya Brian. Briana. Dari kamar The Clouds” Telunjuk dokter Bre menunjuk sebuah kamar paling ujung. “T...the Clouds?” “Semua kamar disini memiliki nama. Briana, seorang katatonik.” Lanjutnya kemudian. Kami berjalan pelan-pelan. Mendapati seorang perempuan lain yang tengah santai menonton televisi. “Itu Maria, mmm....kamar Blue Marigold, Phobia3 terhadap ruang sempit, ruang gelap, pola-pola tertentu, serangga, dan tangga.” Ia menunjuk perempuan itu tepat di depan wajahnya. Tapi ia tidak memberi respon. “Tapi, ia harusnaik tangga kesini kan?” tanyaku bodoh. Dokter Bre tertawa terbahak.

3

Rasa takut yang berlebihan

Aku tekejut, tak siap dengan reaksi semacam itu. Sial! Kakiku berjalan pelan-pelan, hatiku bagai terseret di belakang langkahku membayangkan gadis itu. Aku merasa cukup waras untuk merasakan kepedihankepedihan disini. Sedangkan dokter Bre, seolah sedang memberikan laporan klinisnya, ia merasa perlu untuk terus menjelaskannya padaku. Apakah ia melakukannya pada semua pasien yang baru datang? Apa ini prosedur standar darinya untuk membuatnya merasa bangga dengan pengetahuan yang dimilikinya itu? Aku bertanya-tanya dalam hati. “Itu, Celine. Kamar Uranus-dua kamar disebelahmu nantinya. Berusia 17 tahun, ia memiliki waham4. Ia mengira dirinya ikan.” Mataku tertuju sebuah tubuh yang membungkuk di sudut tembok. Melipat dirinya sedemikian rupa hingga hampir sebulat bola. Ikan! Hai ikan! Hai manusia tapi ikan! Dunia macam apa itu? Kami melewati sebuah kamar yang pintunya terbuka. Gadis dengan rambut sangat keriting dan panjang terlihat sedang melukis di sebuah kanvas berukuran besar dan tinggi. Memakai rok merah tua, dengan atasan kaos buntung berwarna hitam. Ia duduk santai, menjepit rokok di bibirnya. Bila melihatnya, akan mengingatkan kita pada penampilan seorang seniman. Di atas pintu terpampang Mermaid room. “Dia memang pelukis. Luna, perempuan dengan dunia yang terpecah-pecah.” “Seperti saya dok?” Ia menggeleng. “Kalau kamu kepribadianmu sayang, sedangkan Luna dunianya. Ia sering mengalami....istilahnya short term memory lost...semacam amnesia terhadap kejadian-kejadian yang baru. Tapi semangat sembuhnya luarbiasa. Ia berjuang mati-matian.” Aku bersusah payah menelan ludah. Seorang perempuan dengan badan sekurus pohon cemara, berdiri di pintu kamarnya sambil mengamati kami yang lewat dengan penuh selidik. “Gina. Anorexia!5” teriak perempuan itu tiba-tiba. “Pilgrim room! Biar aku yang lanjutin dok! Nggak usah repot-repot.” Dokter Bre melempar senyum padanya. “Terima kasih, Gina.” 4

Keyakinan menetap yang tidak sesuai dengan kenyataan pada diri seseorang yang timbul sebagai gangguan jiwa 5 Salah satu jenis eating disorder yang menolak mengkonsumsi makanan sama sekali

Pilgrim? Sekalian aja Batu Nisan! Lagian siapa sih yang punya ide memberikan nama-nama itu? Mermaid, The Clouds, Uranus? Seolah-olah para pasien ini memang berasal dari dunia lain dan sengaja dikumpulkan menjadi satu disini untuk dipamerkan. Terlihat sebuah kamar dengan pintu besi berwarna keperakan. Agak jauh dari yang lain. “Itu ruangan apa dok?” “Pasien psikopat. Membunuh seluruh keluarganya, kecuali kakak tertuanya yang kebetulan tinggal di luar negeri. Ia sangat terobsesi dengan membunuh. Sangat sensitif dengan manusia dan keadaan di alam terbuka.” Aku melongok ke dalam dan mendapati sebuah tubuh dengan kaki tangan yang diikat. Ruangan bercat hijau. Dan satu-satunya kamar yang tidak bernama. “Kristal. Anak bungsu dari salah seorang penting di negara kita ini.” Aku menatap mata dokter Bre di balik kacamatanya. Rambutnya tebal dan rapi. Ia memiliki badan tegap di balik jubah putihnya. Dengan modal sekulum senyum sejuk di balik profesinya yang kuanggap lebih kejam dari fitnah, ia berjalan tanpa beban. Tunggu saja sampai dia betul-betul berhadapan denganku. Bisa-bisa dia berlutut dan meminta ampun. ‘Saya menyerah! Saya menyerah!’ Aku tersenyum sendiri membayangkan itu. “Ada dua belas pasien disini.” Ia membakar kesenangan semuku.. “Eh, dua belas? Rumah sakit sebesar ini?” Ia mengangguk, “dua belas ditambah kamu.” Ada gurat kebanggaan disela kalimat itu. “Enam diantaranya pasien saya. Semua yang saya sebutkan tadi, termasuk kamu. Kecuali Kristal.” Aku menunduk seperti mencari kalimat yang terjatuh. “Berbaurlah Juliet.” Ia menyuruhku berbaur! Berbaur ditengah manusia-manusia mati itu. Kemudian bersama-sama menjadi zombie dari planet lain. Kuangkat wajahku dan memberikannya satu pertanyaan. “A..pa nama kamar saya...dok?” Ia tersenyum, kemudian menepuk pundakku. “Autumn.”

Itu dulu. Perkenalanku dengan assylum ini. Rumah sakit jiwa kelas atas yang terletak di pusat kota. Hm, baiklah...... Namaku Juliet, salah satu pasien di rumah sakit jiwa ini. Pasien yang menurutku bisa disebut gila—tidak gila, karena sebenarnya aku waras, dan tidak berhalusinasi—tidak pernah berpikir aku adalah superman atau John Lenon—tidak juga berenang melintasi tujuh samudera. Tapi aku disini karena berpotensi memiliki kepribadian ganda. Lebih dari satu kepribadian dalam diriku. Keren juga kan? Orang keren yang tinggal di rumah sakit jiwa. Tapi sebenarnya aku tidak perduli. Sekalipun mereka menempatiku hanya di gorong-gorong got, atau tempat sampah, aku akan mengejarnya meski sampai ke ujung dunia sekalipun. Tapi aku tahu, perempuan itu mengirimku kesini hanya untuk menyingkirkanku. Tidak dengan niat untuk menyembuhkan aku dari penyakit apapun. Tidak juga dari flu. Perempuan yang mengirimku kesini. Mungkin ia jatuh cinta kepada laki-laki biadab itu karena kegilaannya pada seks. Sama seperti laki-laki itu jatuh cinta dengan uangnya. Meskipun kaya raya, tak satupun laki-laki yang mampu memuaskannya dalam bentuk hubungan semesra apapun. Ia menikah untuk menutupi kegilaannya itu. Padahal, sudah jadi rahasia umum, ia pengelana sejati yang selalu mencari laki-laki demi laki-laki. Jadi setidaknya cocoklah mereka berdua itu. Sekarang aku disini. Dan baru saja mengerang. Mencoba beringsut dari tempat tidur yang dipakai menampung tubuhku ketika mereka menyetrumku. Tak sesentipun aku bergeser, padahal berjuta semut rangrang terasa menguliti punggungku. Kesemutan, karena terlalu lama diikat. Mataku memicing. Kemudian segera terbiasa lagi pada warna putih di ruangan ini. Ruang observasi I. Semakin sempurna penglihatanku merangkum cahaya, semakin liar pikiranku menjamahi setiap dendam yang terpenjara waktu di dalam dada. Apa salahnya aku mendendam? Aku belum berubah menjadi fosil. Karena itu aku masih bebas

berperasaan. Mengenang masa yang memulai semua ini, hingga akhirnya aku bisa sampai di ruangan ini dengan selamat. Maghrib itu aku pulang dari mencuci pakaian di rumah ibu RT. Begitu banyak pakaian yang harus kucuci, sampai-sampai rasanya tak akan ada habisnya. Tapi aku mendapat imbalan yang cukup besar. Apalagi ibu RT memberikan uang lebih. Dalam perjalanan pulang, aku berpikir mungkin aku bisa membeli beberapa buku untuk waktu kosongku. Sialnya anjing-anjing itu tengah berada di rumah. Anjing-anjing berkaki dua dan berliur dengan botol-botol alkohol. Memang, tak lama setelah kematian ibu, laki-laki itu terus membuatku capek. Menyuruhku bekerja keras, untuk menyuapinya dengan uang. Dia sedang serius berbincang dengan perempuan yang kini sudah dikawininya itu, ketika aku berlari terseok dari dapur sambil menggulung sarung di pinggang. “Aku diperkosa laki-laki itu!” teriakku saat kakiku sudah bergetar begitu hebatnya dan ambruk ke tanah. Mereka membawaku ke dalam. Saat sadar, rumah sudah sepi dan tinggal aku berdua dengannya. “Juli...jadi begini.....kejadian tadi tidak usah kau masukkan ke hati. Maklumlah dia sedang mabuk. Lama-lama juga sakitnya hilang, dan kau akan terbiasa.” Katanya sambil duduk di samping ranjang. Mencoba menyentuh kakiku. Kutepis dengan cepat. Jakunnya naik turun seirama mulutnya membuka menutup. Rambut-rambut tipis di kepala yang sudah separuh botak itu terlihat seperti rumput liar yang belum disiangi. Ia menelan ludah. Menganggukkan kepala dan tersenyum. Sekarang ia terlihat seperti penyihir tua yang berumur ribuan tahun. Giginya seakan ditumbuhi lumut. Ludah bersisa di dua sudut bibirnya yang kecoklatan. Aku benar-benar mau muntah. Mendengar dan melihat apa yang ada di depanku. Malam itu aku lari dari rumah dan tertidur di sebuah dangau dekat sungai Narita. Kunobatkan semua binatang malam menjadi sahabatku. Tak peduli apapun yang akan kuhadapi di hutan kecil itu, yang jelas akan lebih baik daripada aku berada di rumah. Bersama binatang berkaki dua dan bermulut busuk.

Jelas, setelah itu aku hanya mengikuti naluri kebinatangan yang lama tertanam karena hidup bersama binatang. Aku tak bisa menyalurkan kemarahan dengan cara yang lain, selain mengejarnya dengan sebilah pisau daging yang kubeli di pasar dari uang hasil mencuci. Bahunya kena dan berdarah-darah. Akan kutusuk jantungnya, ketika perempuan itu datang dan berteriak-teriak. Detik-detik berhargakupun lenyap lagi. Tak bosan mereka melakukan itu berulang-ulang padaku. Sebelum ia mengirimkan aku ke rumah sakit ini, perempuan itu sempat berbisik di telingaku. “Kau tak lebih dari secuil buangan, nak. Kau seharusnya berada di tempat dimana tak ada mimpi yang hidup. Maka rasakanlah...” Aku mengerti apa yang dikatakannya. Tapi aku tidak mendendam. Dendamku hanya untuk laki-laki itu. Karena dengan sengaja ia membiarkan ibuku mati, dan tidak menyayangiku seperti yang dijanjikan ibu. Tak ada almanak disini. Jampun tak ada. Waktu seolah berhenti dan terpasung bersama denganku di ruangan ini. Tinggal di tempat ini membuat lidah jiwaku semakin merasa, hidup memang memuakkan untuk dijalani. Pasien-pasien itu. Para perempuan sakit itu. Briana. Celine. Maria. Gina. Luna. Dan Kristal. Ditambah aku. Masih ada lima yang lain. Mungkin dunia seperti sebuah dinding one way screen di ruang obsrevasi III. Dimana semua orang bisa melihat kita di dalamnya dengan leluasa, lengkap dengan buku catatan untuk mengobservasi tingkah laku para pesakitan jika sedang sendirian. Tanpa yang di dalam mampu untuk menembus pemandangan di luar. Hidup hanya keping-keping pengulangan sejarah. Di tahun 1957 ada seorang perempuan bernama Eve White. Sybil. Billy milligan. Lantas kini giliranku. Hidup tidak berjalan, tetapi mengulang. Entah sampai kapan. Mungkin nanti, sampai semua akan bosan mengulang, stagnasi, kemudian mati bersama-sama. Lamunan demi lamunanpun terburai saat pintu terbuka dan suara-suara dari luar menyerbu masuk.

Dr. Bre dengan senyumnya yang fenomenal, melangkah cepat menuju tempat tidurku. Membuka kelopak mataku dengan tangannya. Menyoroti mereka dengan lampu senter yang putih. “Bagus.” Kupikir, dokter Bre ini seharusnya berkaca. Keriput-keriput itu sudah mulai merambati jeda-jeda wajahnya, padahal menurutku belum saatnya mereka hadir di sana. Ia mengukur detak nadi di pergelanganku. Ada jengah yang memborosi kepalaku, karena aku tidak terlalu suka disentuh oleh orang lain. Kubuang pandangan ke samping dan menggertakkan gigi. “Jangan terlalu cemas, Julia.” Hah? Julia? Hoi....Juliet. Tok! Tok! Kenapa ia sering sekali memanggilku Julia? Padahal ia tahu dari awal namaku Juliet, atau kalau bosan, ia bisa memendekkannya menjadi JULI, tapi sama sekali bukan Julia. “Suster, ia sudah bisa dipindahkan ke kamarnya.” Ia menepuk lenganku. Setelah berkata demikian, iapun berjalan keluar dengan langkah lebar. Kupandangi tubuh itu dari belakang. Manusia sombong yang mengira selalu tahu segala hal. “Dia tidak sejelek dugaanmu.” Seorang perawat dengan bordiran nama Agiana di dada kanannya, melepaskan tali-tali kekang itu. Ia seolah bisa membaca pikiranku. Perawat yang lainnya membereskan ruangan dan bersiap mendorongku menuju kamar. “Kita ke kamar, sayang...” Katanya sambil merapikan bajuku. Begitu keluar dari ruangan observasi, semburan udara dingin dari penyejuk ruangan menyapa kulitku yang berkeringat. Sedikit segar untuk ruang otakku yang sempit. Aku melintasi para pasien yang sedang berkeliaran. Tak satupun memperhatikan, dan berminat untuk mencari tahu. Celine sedang kacau dan mengamuk. Ia meronta-ronta dalam pelukan dua perawat laki-laki. “Aku mau air! Air!! Tolol aku bisa mati!!” Kalau sudah begitu, hanya keajaiban yang bisa membuat Celine tenang, tanpa suntikan. Keparahan di atas itu, maka nasibnya akan sama sepertiku. Mendarat di atas meja shock therapy untuk disetrum. Pikiran demi pikiran liarku, belum juga letih berkelana.

Di kamar, Suster Agi menyisir rambutku dan terus-menerus memujinya. Ia menyisir hati-hati sekali, seperti memperlakukan porselen antik dari dinasti Ming. “Selesai ini, kau harus mandi.” Aku memandangi tajam dinding kamar. Bila bisa, aku ingin menembusnya. “Bisakah kita keluar sebentar dan duduk-duduk di bawah pohon? Apa...disini ada pohon?” “Pasien boleh jalan-jalan setiap hari rabu, sayang.” Ia menguntai rambutku dan menggulungnya dengan rapi. Tengkuk asinku terasa sedikit lebih nyaman. “Sekarang hari apa?” “Kamis, sayang.” Masih seminggu lagi aku bisa menghirup udara luar. Tapi aku cukup nyaman mendengarnya memanggilku sayang. Seperti tiupan harmonika tanpa gema. Indah saja. Sebenarnya aku membutuhkan sedikit udara segar, karena aku merasa pusing bila terus menerus dikurung begini. Pikiranku kembali mengembara jauh ke belakang. Aku pernah kabur dari rumah hanya untuk mencium udara pagi. Itu terjadi di awal tahun 1994. Aku memutuskan pergi dari rumah di hari yang masih buta. Pagi-pagi sekali. Bahkan mungkin terlalu pagi bagi embun, dan lebih pagi lagi dari subuh. Udara masih pekat, dan kepungan atmosfir sedih khas pagi hari terasa membelit setiap langkah yang telanjang. Daun-daun belum berubah dari warna hitamnya, tanah lepek juga masih tersembunyi di perut bumi dan akar-akaran menjalar. Lampu-lampu jalan, lampu-lampu taman, lampu-lampu teras, masih berpendar-pendar setia. Diamnya angin membungkus jantung bumi dalam pernafasannya untuk satu kesimpulan yang sederhana, langit dan bumi, serta semua penghuninya masih mengantuk. Belum waktunya semua beranjak hijau dan berbunyi. Tapi justru inilah waktu yang tepat untuk meninggalkan rumah secara diamdiam. Sudah lama aku lupa bagaimana rupa wajah pagi hari, dan hari itu aku ingin reuni. Merasai semburan dinginnya angin dari kisi-kisi jendela, dan menggelitik manja kaki-kaki lelap kemudian di sentuhan akhirnya memperdengarkan tangisan ayam-ayam pejantan.

Pagi yang kuingat, adalah pagi terakhir ketika usiaku tujuh belas. Ketika suasana hari terasa sangat romantis, dan menghipnotis. Lebih anggun dari sebuah kematian, dan lebih romantis dari pelarian. Sesuatu yang disukai dari pagi bagiku adalah ketika harumnya udara menyengat penciumanku dengan serampangan. Sama juga seperti orang lain, aku suka melihat lengkungan merah itu mulai mencoba meraba bumi. Disanalah keanggunan tak diraba sebatas gincu merah tua pada bibir para pekcun. Keindahan langit itu berwujud dalam bentuk arak awan yang selalu bersahaja di langit membiru, uap pagi yang sedih seolah tengah kolaps karena oksigen yang nyaris habis terkikis polusi tak mengurangi indahnya. Matahari oranye dalam balutan kegigihannya menyembul dari timur seperti biasa. Ayam-ayam melantunkan tangisan pagi hari, sebelum mereka mulai pergi mengais tanah bercacing, dan kemudian menghamili para betina agar dapat terus bertelur sepanjang sejarah. Mungkin semuanya terasa biasa bagi para petani, mereka sahabat pagi. Tapi bagi orang-orang sepertiku. Merebut kembali pagi ke dalam penglihatan, butuh perjuangan. Itu adalah pagi terakhir yang bisa kuingat dengan baik. Setelah itu, aku selalu disibukkan dengan pesta pora laki-laki itu sampai menjelang subuh, baru kemudian bisa tertidur dan melewatkan pagi. Maka hari ini sebelum pagi mulai membentang, aku memutuskan lari dari rumah. Melarikan diri dari laki-laki yang gemar menetek dari ketiak orang lain, karena tak mampu membeli susunya sendiri. Semalaman aku terus terjaga dan kemudian melesat lari berkaki telanjang merasai rumput-rumput mati yang masih tertidur ini. Kubawa sebuah senter kecil dengan batu batere yang sedikit lagi akan kehabisan energi. Lampunya redup, dan nyaris hanya mampu menerangi kaca di depan bohlamnya. Menembus hutan kecil menuju sungai Narita. Sebuah sungai kecil yang tersembunyi di dalam hutan cemara. Letaknya kurang lebih lima kilo dari pemukiman penduduk. Bila pagi, banyak orang yang datang untuk mencuci atau mandi di sungai itu. Airnya dingin seperti es. Malahan kupikir, air sungai itu benar-benar berasal dari lelehan gunung es. Tapi dinginnya justru terasa menghangatkan kehidupan penduduk disekitarnya. Aku berlari dengan kaki telanjang dan menginjak segala benda yang berada di tanah basah ini. Kadang aku berlari seperti kesetanan, bila melewati tempat yang

benar-benar gelap. Tanpa kusadari aku bisa saja membangunkan sesuatu yang tidur dengan berisiknya langkah kaki yang berdebam, terkadang bergemerisik bila menginjak daun kering. Rok besar yang kupakai, kujinjing tinggi-tinggi agar tak menghalau bebasnya langkah yang semakin lebar. Akan kujemput matahari itu hari ini. Tepat sebelum waktunya ia menyapa bumi, aku sudah harus sampai di sungai Narita. Kupikir, karena tak ada satupun dari orang-orang itu tahu aku kerap kesana bila hari sedang bersisa, maka kali ini mereka juga tak akan menduga. Mungkin pagiku akan selamat. Klak-klik-klak-klik...! Tombolnya kutekan dengan gemas, lalu kupukul kepala senter itu dengan kepalan tangan. Lampunya mati hidup sebentar, kemudian benar-benar padam. Bahkan umur sebuah lampu senter saja tak dapat diduga. Benda sekarat yang seharusnya sudah mati beberapa minggu lalu, malahan memilih mati sekarang. Justru disaat tak satupun cahaya yang hadir dan mampu mengelabui kegelapan jalanan setapak hutan cemara. Ia mati seolah menggenapi kebodohanku. Seharusnya kau bawa Halogen, Juliet! Aku bersandar di sebuah pohon cemara yang mulai tua, tinggi, besar, coklat dan rapuh. Mengatur napas dan mengurut pinggang. Tampaknya sisa perjalanan harus kulalui dengan berjalan pelan-pelan, sebelum rasa sakit yang menjalar di pinggang semakin membelit perutku. Sebentar lagi sungai Narita akan terlihat. Aku sudah bisa mendengar aliran airnya yang berkecipak karena tak terlalu dalam. Sungai ini memilik legenda di zaman dahulu. Seperti legenda lorojongrang dan batu-batu arcanya, Narita memiliki kisah sedih yang dikisahkan oleh seorang perempuan muda yang ditenggelamkan di sungai ini setelah ia dibunuh. Perempuan ini konon memiliki kecantikan yang sangat mempesona. Sehingga dengan kecantikannya, para laki-laki menjadi gampang terpikat olehnya, sekalipun yang dilakukannya setiap hari hanya mencuci dan mandi di sungai ini. Pendudukpun resah dan menuduh ia adalah biang dari ketidakharmonisan warga. Maka dengan kesepakatan bersama, perempuan itupun dihabisi nyawanya pada pagi-pagi hari, saat mentari belum keluar. Narita, nama perempuan yang telah dinobatkan dalam legenda itu sebagai tumbal dari sebuah kecantikan yang konon mampu membunuh sisa-sisa moral para manusia di muka bumi.

Air sungai Narita yang teramat dingin juga mendukung dramatisasi legenda yang sedih itu. Kurasa, beruntunglah para penyair dengan penanya, para sastrawan dengan kamus-kamusnya. Orang Mesir mengenal hytograf, orang Jepang dengan kanji-nya, Jawa Kuno dengan tulisan sansekerta mereka. Karena ternyata dunia menyediakan begitu banyak tempat untuk dijadikan akomoditas, sekaligus ada banyak sisi sentimentil yang ikut berperan. Mungkin memang, Narita memiliki daya pikat magis yang bisa menghipnotis sekaligus melumpuhkan daya pikir. Karena semua orang akan tiba-tiba memiliki Tuhan, ketika berhadapan dengan sungai Narita. Mulai pencopet, pembunuh, orang gila sampai koruptor, serta maling hutan akan serentak menyebut nama Tuhan. Narita memang memukau...... Hanya saja aku tidak terlalu tega menabuh pengkhianatan sejajar dengan genderang munajat. Ada puji dan fitnah yang bersanding. Aku bosan dengan karnaval idealisme yang lalu lalang di dunia tak terlalu surealku. Dunia tak terlalu nyata yang sekaligus merupakan perpecahanku. Sobekan wajah-wajahku. Juga sobekan-sobekan tiket jalan pintas menuju sorga yang baru saja terburai dari kantong rahasiaku. Menggenapi keterasingan ini. (Kadang aku berpikir, masih lebih indahkah taman di Babylonia?) Aku mengeleng sendiri. Aku sendiri belum memastikannya. Kata dokter, perpecahan merupakan sublimasi dari sebuah penolakan besar yang terjadi tanpa disadari kemudian menjelma sebagai penyelamatan diri. Defence mechanism, begitu istilah kerennya. Ada sebagian dariku yang menyimpan memori berlebih tentang kisah traumatik dalam rentang-rentang waktu tertentu, kemudian bersegera membawanya ke alam bawah sadar. Sehingga secara tanpa sadar aku membelah diri. Seperti Amoeba. Sepertinya aku mengerti maksud dokter itu. Dia hanya ingin bilang bahwa aku pelari terburuk nomor satu di dunia. Karena semesta telah menutup pintu untukku merasai pagi, padahal telah kupilih embun sebagai pengganti oksigen. Kuizinkan mereka berteori, padahal mungkin para dokter itu tak tahu bagaimana rasanya terpenjara malam, dan berkhianat dengan udara bebas.

“Dinginnya pas Juliet?” Kini lamunanku benar-benar terburai, dan aku langsung melupakannya. Aku sudah berada di dalam bak mandi. Telanjang. Syarat orang mandi. “Sepertinya kau senang melamun ya?” Ia tersenyum. “Aku bisa mandi sendiri, suster.” Ia menggeleng. “Tidak sayang, untuk hari-hari pertama kamu masih dalam pengawasan penuh. Sampai semua sepakat untuk membiarkanmu melakukannya sendiri. Kau mengerti?” Aku mengangguk pasrah. Airnya hangat. Rasa segar membuat kegelisahanku hilang seketika. Kuperhatikan wajahku di dalam air yang beriak. Sebuah bayangan wajah pecah. Mungkin pada suatu saat mereka akan lukiskan wajah itu dalam sejarah yang lain. Apakah saat-saat begini Tuhan yang sering kupanggil dalam doa-doa di gereja masih mengingatku? Sedangkan aku sendiri telah kehilangan ingatan akan diriku yang sesungguhnya, dan memilih tinggal disini untuk disiksa demi mendapatkan kembali ingatan itu. Kitab-kitab alpa. Nyanyian bisu. Misa-misa masa lalu. Tak ada pengakuan dosa. Hadirku sendiri adalah dosa. Aku yang pernah percaya keyakinan itu telah memunculkan harapan-harapan baru. Berdiskusi langsung dengan Tuhan lewat doa-doaku. Lewat sembah sujudku di gereja. Mengharap semua pertolongan, cinta suci murni, jalan pilihan Tuhan. Kupikir Tuhan telah membalas doaku dengan suara-suaranya. Mendatangi hidupku, memasuki kalbu dengan suara yang maha damai dan berjanji menjadi penolong dan penebus dosaku. Tapi kuharap aku keliru. Karena suara-suara itu ternyata sumbang. Suara-suara perpecahan yang menggema, mengolok-olok ruang jiwaku. Cuaca telah berubah dan akupun berubah pikiran. Aku ingin bertemu Tuhan. Untuk mengatakan, bahwa aku sudah bosan menunggunya. Dan Bunda Maria yang hanya berbaik hati terhadap orang-orang sehat dan kaya raya. Aku tak ingin cinta Bunda Maria. “Juliet, ayo pakai sabunnya......”

-ASSYLUM Puri Kemala, AUTUMN, Jumat malam yang lembabAku berbincang lumayan tegang dengan Ana di kamar, ketika obat tidur selesai dibagikan pukul sembilan, dan kusimpan di bawah bantal. Anti depressan yang melemahkan, membuatku seperti babi pemalas yang bisanya hanya tidur. Dadaku terasa sedikit sesak dengan asap rokok milik Ana yang mengepul memenuhi ruangan tertutup ini. Rumah sakit sudah sepi, dan suster Agi kebagian piket malam ini.

[Sungguh keterlaluan kau Juliet!] Ia menghembuskan asap rokok kencang-kencang ke udara yang pengap. Leherku ikut sakit. Aku hanya mendengar tanpa mampu memandang wajahnya yang penuh daya pikat. Sensual, dan eksotis di bawah temaram lampu yang sengaja kuredupkan. [Mereka itu menyiksamu. Kau hanya keledai bodoh di hadapan paramedis yang sok tahu itu!] Ia mengangkat rambutnya dan mengusap-usap dadanya yang besar. [Kau bilang Tuhan menyembunyikan kesembuhan di balik rasa sakit] Ia memandangi wajahku dekat dan semakin rapat. [Mana Tuhanmu itu?] Lalu ia tertawa besar sekali. Sampai terkekeh-kekeh. “Ssst, diam Ana. Perawat itu bisa mendengarmu.” [Keluar dari sini Juliet. Lupakan bau rumah sakit, dewa anti depresan-sialmu] Ia mengeluarkan sebuah silet dari saku bajunya. Entah darimana ia mendapatkannya. Lalu mengangkat benda itu setinggi kepalanya. [Ini yang bisa membantumu sembuh dari dendam. Garis dia dengan ini tepat di nadinya pelan-pelan dan dalam....] Pelan-pelan silet itu masuk ke dalam kulit mulus Ana dan mulai berjalan dengan pasti. “Astaga Ana!” Aku panik melihat lengannya berdarah-darah.

“Ana! Ana!!!” [Bunuh dia Juliet!] Mata itu lebih tajam dari silet apapun dimuka bumi ini.

Aku meregang dan kemudian kejang-kejang. Seluruh otot terasa tertarik ke mulutku.

Lalu berteriak panjang. Cukup panjang untuk sampai ke ruangan perawat. Penjaga dan perawat masuk ke kamar dan membawaku pergi. “Ikat dulu tangannya.” Ia menekan pergelanganku dengan dua jarinya. “Ke ruang observasi I.” Aku menggeleng refleks, penuh minta. “Tidak! Kumohon, jangan lagi! Jangan lagi! Aku tak mau kesana.” “Kita hanya akan mengobati lukamu sayang, tidak ada yang lain. Tenanglah, jangan cemas.” Merekapun menutup pintu ruang observasi itu. Obat merah meleleh ke seluruh pori-pori. Kini rasanya seperti ada lebih banyak silet disana. Keringat mengucur deras di seluruh tubuhku. “Apa yang terjadi suster?” “Sepertinya kau mulai kacau lagi. Apa tak kau minum obat tidurnya?” Aku berteriak kencang. “Aku tak suka tertidur sebelum mengantuk!! Berhenti menyuruhku tidur dengan pil-pil itu!” “Sudah kubilang, kondisimu setelah terapi akan membuatmu mengalami guncangan. Jiwamu menjadi labil, Juliet. Akan mudah bagi mereka untuk berdatangan padamu. Bisa kau pahami tidak? Apa kau terlalu bodoh?!! Dasar perempuan sial, bikin susah orang saja!” Suntikan itupun mengalir ke dalam kulit. Sekejap mata, aku tertidur. Tertidur dalam jagaku yang masih marah. Tapi aku sudah tidur. Aku tak bisa marah lagi. Aku akan marah besar di dalam mimpi.

-ASSYLUM, Ruang televisi, Sabtu pagi“Hai, kau orang baru? Kau bisa bicara?” Acara televisi terputus ketika seorang perempuan sebayaku melompat mendekati tempat dudukku. “Tentu.” “Baiklah, siapa namamu?” Tanyanya lagi. Memasang senyum lebar. “Juliet.” Ia meremas tanganku, “Aku Rose, dari kamar dengan nama yang sama. Rose.” Aku mengangguk dan tersenyum kemudian menonton lagi. Rupanya disini, nama kamar merupakan bagian dari identitas diri. “Siapa doktermu?” “Itu penting?” “Aku menderita ketidakstabilan emosi.” Katanya lagi. “Bukankah semua orang begitu? Semua orang berubah. Marah, sedih, kadangkadang bahagia. Tertawa-tawa. Iya toh?” “Ealah....ngeyel lu!” Ia mengangkat bahu, menuangkan minuman soda di gelasnya

dan

meminumnya

sampai

habis,

lalu

menjilati

bibirnya.

Aku

memandanginya. “Bagaimana denganmu?” Ia kembali tersenyum. Bibirnya merekah seperti mawar di pagi hari. Lengkap dengan bekas minumas soda itu sebagai embunnya. “Mereka bilang aku membelah diri.” Ia tertawa terbahak-bahak. “Itu istilah kuno! Kau pasti sang kepribadian ganda. Waaaaow......aku sangat suka dengan orang-orang berkepribadian ganda.” Katanya bersemangat. Aku mengernyitkan alis. “Sst Diam kau! Terlalu berisik di depan tivi!!” Adeline, pecandu psikotropika itu merasa terusik. Dialah satu-satunya manusia yang menurutku paling tidak stabil emosinya disini. Kerjanya marah-marah dan terus menerus membentak setiap pasien, perawat dan dokter. Rose menunduk dan bersembunyi di balik kursinya dengan wajah ketakutan. Kemudian ia berbisik, “aku suka orang dengan kepribadian ganda....” Aku terbengong-bengong. Mungkin memang aku seperti yang dikatakannya. Rasanya lebih baik aku memilih percaya kepada salah satu kenyataan yang paling meyakinkan. Sisanya,

sudah habis untuk coba kupercaya. Aku tak punya apa-apa lagi, selain mempercayai apapun yang dikatakan mereka. “Juliet, dokter kepala memintamu menemuinya. Saatnya terapi sayang.” Suara suster Agi datang dari belakang tanpa menunggu langkahnya sampai. Aku memandangnya. “Apakah kau memang ditugaskan khusus untuk menjagaku suster?” Ia tersenyum. “Tampaknya demikian.”

-RUANG terapi dokter AminaRuangan yang luas. Kantor dokter Amina. Tertata apik dan menunjukkan seleranya yang tinggi terhadap desain interior. Sofa besar dan panjang menjadi pusat perhatian ruangan ini, Warnanya merah marun dan bermotif kotak-kotak. Sebuah kursi panjang—lebih mirip tempat tidur— untuk terapi diletakkan dengan posisi diagonal di bawah jendela. Lukisan-lukisan besar tergantung di dindingnya. Tak satupun bergambar manusia. Rata-rata bergambar binatang. Anjing pudel, kupu-kupu, dua kucing kembar bertopi merah. “Pagi Juliet, apa kabar?” Suara dokter itu halus bagai kapas, menggantung di udara saking gemulainya. Ia berkerudung sebatas dada. Memakai lipstik merah muda, tak lupa berkacamata. Orang-orang pintar selalu memakai kacamata. Dokter Amina mempersilahkan aku duduk. Dengan tergesa kuhempaskan tubuh di atas sofa. “Kalau kau siap, kita bisa memulai terapimu hari ini.” Ia berbicara dari balik mejanya. “Itu artinya, kau harus duduk di kursi terapi panjang itu, bukan di sofa.” Aku mengangkat wajah. “Entahlah...aku merasa kurang sehat.” Kuusap pergelangan tangan yang berbalut perban tebal. Dokter Amina meliriknya. “Kenapa lenganmu?” Kurasa ia hanya mengecek jawaban yang benar dariku. Aku menunduk memperhatikan lantai dengan hati yang ribut.

“Bila aku mati, apakah ada orang yang akan merasa kehilangan, dokter?” “Kenapa kau tanyakan itu, Juliet?” Ia bangun dan pindah duduk di kursi besar di hadapanku. “Mereka bilang, aku membelah diri. Seperti Amuba. Jadi...” “Disossiative Disorder6, Juliet. Diagnosa terakhir.” “Diag—nonsense—“ bisikku pada diri sendiri. “Jadi benar aku memiliki kepribadian ganda?” Dokter Amina menyentuh lenganku yang diperban. “Menurutmu, apa yang kau rasakan?” Aku mulai cemas menghadapi pertanyaan-pertanyaan. Lututku gemetar dan kakiku bergerak-gerak sendiri. “Apa kau pernah punya teman sebaya?” “Tak ada yang menginginkan aku. Kurasa akupun tak butuh teman.” “Jawaban impulsif.” Hatiku mulai gusar dan tak nyaman. Jarang sekali aku berbicara dengan orang lain dalam waktu lama dan begitu serius. “Dokter, kenapa kau berpikir kau tahu segalanya?” Ia mulai mengambil bolpoin dan mencoret-coret bukunya. “Kenapa kau berpikir aku merasa begitu?” “Karena kau lebih berhak menyimpulkan apapun yang terjadi pada diriku!” Beberapa saat kemudian kecemasan mengepungku. Ada orang lain yang ingin datang untuk menyelamatkan aku dari tuduhan-tuduhan ini. Ia ingin melarikan aku ke tempat persembunyian yang biasanya aman. Suara dokter Amina perlahan-lahan menjauh. Tumpang tindih, dan akhirnya lenyap. Setelah itu aku terhempas dari kursi. Badanku bergetar dan tergoncang hebat. Diluar kendali itu, aku merasakan otot-otot yang mengejang begitu cepat. Mataku membelalak, dan seluruh tubuhku menegang beberapa detik. Dokter Amina terkesiap. Ia berdiri. Aku pingsan. Iapun kembali duduk dan lebih memberi jarak Mataku terbuka pelan. 6

Ganguan temporal yang menyebabkan gagalnya fungsi memori atau hilangnya kontrol terhadap emosi. Salah satunya adalah Split Personality atau yang biasa disebut kepribadian ganda.

Ana sudah disitu. Aku tahu Ana sudah ada disitu. Memelototi dokter Amina seperti hendak memakannya hidup-hidup. “Juliet?” [Aku Ana, dokter bodoh!] jawab suara dari mulutku. “Siapa kau Ana?” dokter Amina masih lembut. [Tadi malam aku berbicara dengannya. Tampaknya dia tidak terlalu menyukai kalian. Kenapa sih, tidak kalian lepaskan saja dia?] “Kau bicara dengannya?” [Ia tertawa.] “Kau berbicara dengan Juliet. Benarkah itu Ana?” [Ia mengangguk] “Dan dia menjawabmu?” [Karena dia tidak bisu, tentu saja dia menjawab.] “Seberapa sering kalian berbicara?” [Jarang. Sulit bertemu dengannya.] Ana mengeluarkan sebatang rokok yang disembunyikan di sepatunya. Ia menyalakan korek kemudian merokok dengan santai. “Boleh saya tahu apa pekerjaanmu?” [Aku pelacur.] Jawabnya datar. “Kapan kau melacur?” [Malam hari bodoh!] “Sejak kapan?” tanya dokter Amina hati-hati. [Apa pedulimu?] “Dua hari lalu....seminggu lalu...?”Dokter Amina memperhalus suaranya. [Lima tahun lalu, bodoh!] “Lima tahun lalu. Dimana?” [Di jalan!!] Ana terlihat geram.

“Sebelum itu, apa pekerjaanmu?” Dokter Amina tidak terpancing. Diletakkannya bolpoin dan bukunya di atas meja. Ia duduk dengan lebih tegak Ana tidak menjawab. Pertanyaan itu diulangi. Ana semakin gelisah. “Ana?” [Aku tidak tahu! Aku tidak ingat!!] Tubuh Ana menegang sepertiku tadi. Giginya bertemu dan bergemeretak seperti dahan-dahan patah. Tangannya mengencang. Matanya melotot. Waktu seolah lelah berputar. Ada ribuan kunang-kunang saling menubrukkan diri satu sama lain di mataku. Mereka seperti ribuan kunang-kunang gila. Aku seperti tersesat dalam perputaran waktu. Semua terasa amat membingungkan. Aku terpental kekiri dan kanan. Bergemeretak seperti dahan patah. Setelah beberapa saat kejang-kejang, akupun kembali. Dan rasanya aku ingin sekali menangis. “Kau siapa?” tanya dokter Amina. “Ju....liet.” Jawabku parau. Dokter Amina menghembuskan nafas. “.....kenapa......kau lebih berhak dok? Kenapa begitu....” tanyaku lemah. Ia duduk di sisa kursi yang kutiduri. Membenarkan letak kacamatanya, dan mengemas keringat di dahiku. “Apa maksudmu, Juliet?” “Kenapa kau merasa lebih tahu apa-apa yang terjadi pada diriku? Apa karena semata-mata kau dokterku? Itu membuatmu yakin, kaulah yang paling berhak menjadi benar?” “Coba lihatlah keluar jendela. Apa warna bunga itu?” Aku menggerakkan kepala dengan berat. “Merah...” “Bagaimana menurutmu bentuknya, Juliet?” Aku menatapnya beberapa detik kemudian berbicara sambil memejamkan mata. Kemudian menjawab dengan tidak minat. “Segar....cantik, mungkin juga harum....” “Kaulah yang bertugas menyimpulkan bagaimana wujudnya, karena ia tidak mampu melakukan sendiri.” Suaranya terasa dekat. “Harus ada yang melakukannya

untukmu, ketika kau belum mampu menyimpulkan apa yang sedang terjadi dalam dirimu. Hanya sampai kau siap, dan mampu melakukannya sendiri.” Dan aku membuka mata perlahan, memandangi wajah itu. Lama. Sampai detak jantungku normal dan terasa hangat. “Sampai disini dulu terapi kita kali ini, Juliet. Kau akan bertemu dokter Bre hari senin dan hari rabu. Jadwal kita bertemu adalah setiap kamis dan sabtu.” Aku bangkit perlahan. Masih terasa terdampar. “Aku akan minta perawatmu membawakan penenang. Kau butuh tidur yang nyaman.” Katanya lagi. Aku berjalan menuju pintu pelan-pelan. “Semoga harimu menyenangkan, Juliet.”

Aku bertemu seorang perempuan lain ketika keluar dari kantor dokter Amina. Berdiri memandangi jendela sambil menggigiti kukunya. Ketika melihatku, tangisnya pecah. Ragu-ragu aku mendekatinya. “Ada apa?” “Aku mendapat berita ibuku mati.” Ia menangis semakin keras. “Sedangkan aku tidak bisa keluar dari tempat ini.” Aku mengelus pundaknya yang bergetar. Mencoba menenangkannya, walaupun hatiku sedang tak tenang. “Ibuku mati.......”desahnya. “Padahal aku baru berencana menelponnya hari ini. Tapi ia sudah mati duluan hari ini. Kau tahu perasaanku?” Aku diam. Ibuku juga mati “Kau tahu perasaanku??” desakknya “Kau tahu perasaanku? Kau tahu perasaanku?” Suster Agi datang bersama dua orang perawat lainnya. Aku menggigit bibir cemas. Dua perawat itu membawa perempuan itu pergi. Ia terus berteriak. “Ibuku mati, kau tahu perasaanku?” Aku mengangguk sendiri. “Gadis manis itu bernama Nadia. Pseudologia Fantastica. Ia menderita penyakit suka berbohong yang parah.”

Suster Agi merangkul pinggangku dan mengajakku kembali ke kamar. Aku membisu, kembali pada hatiku yang ribut. Perlahan tapi pasti, batinku mulai paham kedok-kedok jiwa itu. Andai tadi Nadia benar-benar bertanya bagaimana aku memahami perasaannya. Aku ingin bersitatap dengannya, kemudian menjelaskan bagiamana perasaannya yang kumengerti. Walaupun aku tidak yakin dia akan terharu. Wajah laki-laki itu kembali menggelayut dinding rumah sakit. Aku menepisnya kuat-kuat. Malam ini aku mengurung diri di kamar, masih mereka-reka apa yang terjadi di kantor dokter Amina saat terapi tadi pagi. Dua kali obat yang diberikan perawat siang dan malam, tidak kusentuh seperti biasanya. Aku membuka botol anggur di dalam kulkas dan menuangnya sedikit di sloki berwarna emas dengan gagang kepala angsa. Aku justru mengenal minuman seperti ini di sini. Rasanya tidak terlalu enak, tapi entah kenapa semua orang suka meminumnya. Apalagi disaat udara sedang membeku. Mungkin pasien seperti Adeline tidak bisa menikmati fasilitas ini. Karena tidak semua pasien mendapat bisa merasakannya. Perlu izin khusus dan dilakukan tes terlebih dahulu, sebelum menentukan jenis fasilitas yang akan didapat dari sini. Apalagi Adeline punya sejarah mencandu dengan alkohol dan obat-obatan aditif itu. Rasa hangat menyelimuti hatiku ketika cairan itu mengalir masuk. Udara diluar memang sangat dingin di bulan Juni. Apalagi selimut disini juga tidak terlalu tebal, sehingga sedikitnya wine bisa membantu menghangatkan dari dalam. Aku mengeluarkan sebuah agenda panjang berwarna kuning dari dalam laci lemari pakaian. Hampir separuh buku sudah terisi tulisan. Dan itu bukan tulisanku. Itu Ana.

(Hari ini kuperkosa pelangi) ini ruas hari paling tawar. Karena harus merasakan kembali ngilu-ngilu yang berdenging karena merindumu. Ini sudut kota yang beristikharah. Disini ceruk kemerut selulit di lipatan paha yang terus kugosok dengan batu kali. Seperti inilah bila malam menjelma menjadi penyamun, mengejar bayanganmu terus ke selatan. (bunyi siulan....)Karena kuharus memeta jauhmu.

mengubur siang, menggali malam, bersetubuh. melahirkan vibrasi kaffahmu. menulikan indera agar kukuasa mengukur jengkal yang maha letih, layaknya rindu makam pada peziarahnya. kekasih...jangan pernah bersulang atas nama pertemuan. karena nyeri ini hadir setelah kita bertemu. untuk kemudian berdiri, saling bersalaman dan memperkenalkan diri. "Namaku kepalsuan, namamu siapa?" hari ini kuperkosa pelangi, dan beranjak memanjat bulan. biarkan kulakoni peranku kali ini dengan sempurna. selalu sebelum pagi berhasil kujelang dengan hirupan udara mahal. izinkan kubergulat dalam peperangan baratayudha. memasuki kemudaratan perang saudara dan bersikeras memvonismu sebagai urat nadi. (Jurnal Ana, halaman 10)

Aku membuka halaman lainnya. Aku pernah berdiri di atasmu Merasai tamparan angin harapan, untuk menjemput sisa-sisa kesadaran yang biasanya terbuang di sampah pengkhianatan. Hei Tikus-tikus peradaban, sadarkah? Aku menyentuhmu tanpa rasa. Tak sekalipun. Kutiduri kau dalam malam yang kuharap lekas berakhir. Aku memerawanimu berulang-ulang! Maka rentangkan tanganmu lalu melompatlah kau dari bibir jembatan ini...... Selamat mencari cinta di dasar lumpur sawah mati itu. Selamat menjadi gila bersama zaman yana maniak Kau jilati peluhku, kau resapi tubuhku Dan belajarlah Untuk menoreh telunjukmu pada gundukan tanah kuburanmu sendiri (Halaman 11)

Aku takut mendengar suaranya dalam mimpiku. Suara laki-laki yang menghempasku dalam lorong dunia tak kukenal. Tapi rasanya sakit. Suaranya menulikanku. Aku butuh ribuan suara lain. Bebunyian.... Untuk menyamarkan gemanya dalam dadaku. Aku ingin ada suara-suara. Ana...

Sampai sekarangpun aku masih tidak percaya ada mahkluk bernama Ana yang bersembunyi dalam diriku, dan dia memiliki buku agenda berwarna kuning. Benarkah dia yang menulis semua ini? Kapan? Tidak tercantum tanggal, atau hari. Aku membolak-balik buku itu. Tulisan ini memang terlihat seperti sebuah isyarat. Tidak mengandung makna tertentu. Sebuah isyarat kegalauan hatinya. Seperti cinta dan kebencian yang bercampuraduk. Entah karena ia kesulitan dalam membahasakan perasaan yang sedang meliputi dirinya, atau lebih kepada sebuah pesan yang hanya ingin diketahui oleh dirinya sendiri. Menurutku hampir semua tulisan ini tidak memiliki arti yang khusus. Tidak ada makna yang secara khusus ingin dia ungkapkan. Tulisan yang datang langsung dari suara hatinya. Tulisan yang terukir sejalan dengan jiwanya yang bersuara. Bukan tulisan yang dibuat setelah mengalami proses pemikiran dan pemaknaan panjang. Tulisan seadanya. Kebencian dan rasa cinta yang menjadi satu. Tunggu dulu. Ya ampun! Ana begitu? Kepada siapa? Tanganku bergerak membuka halaman-halaman lainnya. Tiba-tiba terdengar pintu diketuk dari luar. Rasa kaget menyentak tubuhku dari tempat tisdur dan langsung menyimpan buku itu. Kuatur nafasku dan bertanya dari balik pintu. “Siapa ya?” Pintu itu kembali diketuk. Ih, ngeyel juga. Aku membukanya hati-hati. “Hei....Juliet.” Dua perempuan muncul tiba-tiba dan langsung menerobos masuk. Mataku menyipit, mecoba mengingat-ingat. Gina—anorexia. Dan Nadia, si perempuan tadi siang. Mengingat mereka karena penyakit yang diderita. Satu-satunya clue yang kupunya. “Ssst...” Gina menekan telunjuk kurusnya di bibir. Ia langsung berdiri dekat jendela. Nadia duduk di kursi samping tempat tidur. Aku masih bengong di depan pintu. “Maafkan aku berbohong padamu tadi siang....” Nadia tertunduk dan menggigiti kuku. Kegiatan favoritnya. “Kenapa kalian kemari?” tanyaku

“Gue tahu lo pasti belum tidur, makanya kita kemari. Sekali-sekali gue pengen mengobrol dengan sesama orang sehat.” Mereka berdua tertawa. “Kenapa kalian pikir aku sehat?” “Orang sakit tak dapat wine!” Gina menunjuk slokiku. Mereka tertawa lagi. “Apa masalahmu Juliet? Kau sulit tidur? Insomnia?” Nadia memeluk bantal dikursi dan mulai memilin ujungnya. “Aku cemas. Sangat cemas.” Kataku. “Semua orang disini juga cemas Juliet. Ada-ada aja lo!” Gina memotong. “Semua orang juga sulit tidur. Makanya mereka butuh pil-pil itu.” Tambahku tak mau kalah. “Ya.....tapi kenapa kau ada disini?” “Aku berkepribadian ganda.” Mereka saling melihat. “Hah? Lo percaya gitu aja Jul?” tanya Gina lagi. Ia seperti gila bicara. “Entahlah,” aku mengangkat bahu. “Ada bukti atau apa, maksudku....yang membuatmu yakin.” Aku melirik pergelanganku yang masih nyeri. Tapi diam tak menjawab. “Aku suka berbohong sejak usiaku sangat belia......” Nadia menyela. Masih menggigit kuku. “Semua orang tidak terlalu peduli pada kebiasaanku, sampai aku dikeluarkan dari sekolah menengah pertama, dan menelpon pemadam kebakaran, polisi, sekaligus mobil ambulans untuk mengabarkan kebakaran di rumahku. Kau tahu...sebenarnya kebakaran itu palsu.” Ia tertawa sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. “Dan aku dimasukkan ke rumah sakit ini.” Sekarang Nadia menggigiti ujung bantal itu. “Ini tahun ke sembilan.” “Apa...?” pandanganku beralih ke arah Gina. Ia tersenyum sinis, “bahkan orang lain ngerasa lebih tahu tentang berat badan ideal gue dan seenak-enaknya mutusin supaya gue naikin. Lo kira lihat itu adil?” “Mau minum wine?” tawarku, ingin memecah ketegangan sarafku. “Thanks but no. Gue nggak konsumsi sesuatu yang mengandung gula.” Gina menyalakan sebatang rokok. “Hei, sebentar lagi perawat akan berkeliling. Kita harus kembali.” Nadia mengingatkan.

Dalam hati aku bersyukur. Ini suasana yang tidak cukup nyaman untuk mengobrol. “Ya. Sampai jumpa Juliet.” Gina mengecup pipiku. Dadaku berdebar. Harus ada orang lain yang melakukan, ketika kau belum mampu. Kalimat dokter Amina menggantung di telingaku. Tiba-tiba aku ikut yakin, bahwa kedua gadis itu memang sakit dan sungguh butuh perawatan. Teringat lagi agenda kuning, aku mengambil dan membukanya pelan-pelan. Dengan siapa Ana jatuh cinta. Pada halaman kesekian, kegilaanpun menyergapku kembali. Sebuah foto terekat manis pada satu halaman kosong. Foto hitam putih—pas foto yang kusam. Wajah Laki-laki biadab itu. Terpasang disana dan seolah meludahiku dari dalam fotonya. Sayangku, Dan tulisan itu. Itu laki-laki yang dicintai Ana. Ada lagi yang mengepung dadaku, hampir membakarnya dengan panas yang begitu tinggi. Aku tertawa kecil. Ini kegilaan dalam tawa yang menahan tangis. Aku semakin bersumpah untuk segera menghabisi nyawanya. Tunggu saja! Tanganku lasak mencari-cari ke bawah bantal. Kutenggak dua pil sekaligus. Aku butuh tidur. Agar bisa memisahkan aku dengan rasa panas di dalam dada ini. Inilah malam yang seharusnya paling singkat. Karena aku menjadi tahu banyak hal. Tapi aku ingin tidur yang lama. Tidur yang pulas. Apakah ia tahu, aku sedang menyimpan dendam yang sarat? Untuk itu ia menyuruhku membunuhnya. Demi sebuah kekecewaannya terhadap cinta. Ana, oh tidak. Wueeek! Aku tidak berani berpikir Ana telah tidur dengan laki-laki itu. Walaupun sejujurnya, sulit untuk tidak. Karena laki-laki itu sebenarnya binatang. Tulisan-tulisan itu.... Ada semacam ledakan gairah yang begitu dahsyat kurasakan saat membacanya. Betapa kuatnya perasaan cinta bisa bermain dalam tubuh seseorang. Aku yakin, ia rela melakukan apa saja demi yang dicintainya. Apa saja..... Begitukah seharusnya cinta berperan?

Andai saja ada sebuah harapan aku bisa keluar dari tubuhku dan mengurai semua kejadian ini satu persatu, maka aku akan lebih yakin karena telah menemukan jawabannya sendiri. Tapi bagaimana mungkin? Menyilangkan angka di kalender setiap hari saja aku tidak mampu. Selalu ada yang hilang dari ingatan. Dan loncatan-loncatan realita ini. Membuatku ingin bunuh diri.

Sesuatu menggelayut di pelupuk mataku. Rasa kantuk yang sangat dahsyat...

Aku bermimpi lagi.

Sebuah pohon besar dekat sumur. Aku dan ibu yang berjongkok menahan sakit. Sakit di dada dan sakit di pantat. Kami duduk di batu yang tajam. Tampaknya ibu tidak peduli. Aku merasakan lagi sakit itu di dalam mimpi. Sesempurna saat itu. Dan aku menangis dalam tidurku yang lelap.

-MINGGU pagiBenar aku terbangun ketika wajah ibu mendekat. Tepat di depan hidungku dan hampir menyentuhnya. Sedikit lagi saja. Suara alat penyedot debu dari luar menyentakkan kepalaku, dan berakhirlah mimpi itu. Sebelum ibu menyentuh hidungku dengan hidungnya. Dengan susah payah aku berusaha menutup mata dan menyambung kembali mimpi yang terputus. Memang sempat tersambung. Tapi berbeda. Aku mencari ibu, tapi tak ada. Mesin penyedot itu berhenti di depan pintu kamarku dan meraung tanpa dosa.

Rasa rindu menyelinap rapi dalam kejengkelan akibat mimpi yang terputus. Rindu yang sakit bersisa pada airmata yang sudah kering, membentuk belek. Kemanakah ibu dalam mimpiku? Aku membuka mata pelan-pelan dan berharap rindu itu menguap. Tapi ternyata ia masih ada. Aku yang hilang. Hilang lagi dan lagi. Atmosfir tiba-tiba dikepung oleh udara yang bau sedih. Aku seperti penderita asma yang kehilangan inhalernya. Seolah-olah tubuhku terasa terlalu kecil, terlalu ringkih untuk merasakan sakit. Dimana Tuhan? Dimana ibu? Dimana cinta? Ah hiperbolis! Kau manusia gila yang hanya pantas makan sandal. Menggigiti daun. Mandi lumpur. Berjalan mengelilingi dunia tak beralas kaki dengan telanjang bulat! Pintu itu terbuka. Ada seonggok tubuh kecil yang tampaknya tidak bergerak. Ia berjongkok di depan pintu yang belum sempat ditutup. Autumn Room. Anak kecil berambut keemasan duduk tepat di bawah tulisan itu terpasang dengan bersahaja. Ia meringkuk memeluk tubuhnya sendiri yang basah keringat. Cairan kuning mengalir dari selangkangannya. Anak itu ngompol. Salah seorang perawat tersentak mendapati anak itu dalam keadaan yang menyedihkan. Ia mendekat. Dan suara tangis itupun pecah. [Ibu...] serunya didalam tangis. Suaranya pincang. Ejaan dari lidahnya belum sempurna, sehingga ditambah isak tangis yang bercampur, lebih terdengar seperti “immu...” “Jangan mendekat!” teriak suster kepala. Perawat dan beberapa petugas ikut menengok. “Biarkan sampai dokter datang. Agi, panggil dokter Bre.” Teriaknya pada suster Agi yang masih terbengong-bengong. “Cepat!” Suster Agipun tergopoh-gopoh pergi. Semua orang berkumpul di hadapan anak kecil yang masih berjongkok itu sambil memasang wajah pias. Hampir semua alis mata mereka menyatu. Dokter Agi datang bersama dokter Amina. Mereka terdiam lama. Satu menit—dua menit—tiga—empat—lima menit. “Bersihkan dia, bawa ke ruangan saya.” Perintah dokter Bre.

“Ke ruangan saya saja.” Dokter Amina menyela. Ia memberi isyarat kepada dokter Bre. Dokter Bre mengangguk dan mereka berdua pergi begitu saja. Semua orang bubar satu-satu. Dua perawat membantu anak itu membersihkan diri. Suara tangisannya semakin berupa sembilu. Terdengar begitu menusuk dan memohon-mohon. Aku sudah mulai curiga. Sepertinya dia memanggil ibu yang sama dengan yang pernah kumiliki.

“Masuk.” Dokter Bre masih di dalam. Suster Agi masih merapikan baju anak itu. Ia belum beranjak keluar sebelum dokter menyuruhnya. Mereka berdua berbisik-bisik di meja dokter Amina. Pada terapi kemarin, sudah muncul kepribadian7 pertama—saya menduga ada lebih dari satu. Ia menyimak buku di mejanya. Ana. Dari informasi pertama, ia seorang pelacur yang amnesia tentang masa kecilnya. Kepribadian ini sangat provokatif dengan Juliet. Bisiknya untuk mencegah suaranya terdengar olehku. Tapi justru sebaliknya. Ruangan ini terlalu hening. Dokter Bre menangkupkan tangan di atas dagunya. Berpikir. Secara fisik memang ditemukan aktivitas seksual yang dilakukan secara kontinyu. Sambungnya lagi. Satu lagi dokter Bre, Ana berhasil mengajak Juliet berbicara. Mereka sudah saling mengenal, dan pernah mengobrol di kamar Juliet. Sepertinya ini gejala kepribadian kedua? Masa kecil yang terperangkap dalam dirinya? Simpul dokter Bre. Kita lihat saja nanti. Anak itu mengeluh. Manja dan kebingungan. Ia bergeser sedikit untuk memeluk tubuh suster Agi. Mencengkeram tubuhnya seolah ia tidak diizinkan beranjak. 7 Corak seorang manusia yang terhimpun dalam dirinya, yang digunakan untuk berhadapan dengan stimulus atau rangsangan, baik yang datang dari lingkungan maupun yang datang dari dirinya sendiri. Sehingga corak perilaku itu merupakan suatu kesatuan fungsional dan kemudian menjadi khas bagi manusia tersebut.

Dokter Amina mempersilahkan suster Agi keluar. Anak itu menjadi cemas ketika tangannya dilepaskan dari pelukan itu. Ia berteriak dan melolong. Menangis sekencang-kencangnya. Ingus kembali meleleh dari kedua lubang hidungnya yang masih mampet. “Tenang sayang...tidak apa-apa....suster Agi pergi sebentar. Nanti kembali lagi.” Tangisnya mereda. Ia memandangi gerak-gerik dokter Amina dan dokter Bre dengan waspada. “Siapa namamu, sayang?” Tubuh

itu

mengejang—mengeras.

Himpitan

waktu

dan

kecemasan

membuatnya pingsan. Aku kembali. Dokter Amina kecewa. Mereka berdua terlihat benar-benar kecewa. Dengan nafas satu-dua, aku mengerang dan mencoba meredakan rasa sakit yang mengerumuni seluruh tubuhku. Aku melihat kedua dokter senior—lulusan luar negeri—berprofesi paling profesional—itu terkulai. Ada apa? Suara dalam hatiku kembali bertanya. Loncatan waktu yang asing kembali membuatku terpenjara. Kadang-kadang keterasingan ini membuatku ingin mati. Tapi tentu saja, aku tidak akan mati sebelum laki-laki itu mati. Sementara mereka sibuk bergulat dengan pecahan-pecahan diriku, dan mencari solusi terapi yang akan digunakan untukku, maka biarkan aku sendiri yang akan menyelesaikan akar—pokok permasalahan sebenarnya. Yang mereka lupakan. Yang terlalu diremehkan. Aku tak menunggu surat mereka keluar. Surat yang bertuliskan, Final diagnosis : Recovered. Yang kutunggu adalah surat dengan tulisan, Case Closed. Tak peduli setelah itu aku akan dilempar ke dalam penjara. Bagiku tetap saja tak ada bedanya.

-SELASA-

Ternyata hari masih berjalan seperti biasanya. Dari senin kemudian selasa, sampai rabu hingga kembali senin. Hari masih saja setia. Kesetiaan itu memberiku sebuah kejutan hari ini. Aku mendapati tubuhku disekap para perawat dan dua orang penjaga laki-laki bertubuh kekar. Tinggi besar. Semua orang disitu seperti terlihat memegang kuasa mereka masing-masing. Kuasa untuk mendatangi dan mengeksekusiku layaknya pencuri. Mereka mengerumuniku di atap rumah sakit lantai tiga. Tubuhku terbaring di lantai dan tanganku diikat dengan borgol. Saat mataku menerawang, aku melihat langit biru yang luas dan sangat besar. Aku benar-benar berada di atap lantai tiga, tanpa kusadari. Apa aku berjalan sambil tidur? Jelas semua orang tidak akan berpikiran begitu. Aku telah kehilangan satu momen lagi. Sedang apa aku disini? Kenapa bisa aku ada disini. Aku melihat dokter Amina dengan lipstik merah tua yang menyilaukan mataku datang dan kemudian menembus kerumunan orang-orang dengan gusar. Pandangan matanya menyala-nyala pertanda ia sedang tidak sabar. “Ruang observasi I.” Katanya datar sambil berlalu. “Tidaaaaaak!!!!” aku menjerit sekuat tenaga. Aku benci ruangan itu. Aku benci ruangan bau kematian itu! Aku memberontak sampai tanganku terasa sakit. “Aku tidak melakukan apa-apa. Kenapa aku harus dihukum? Lepaskan aku!!!” Kepanikan itu hanya timbul karena mendengar ruang observasi I disebut. Mereka menggotongku. Setelah sebelumnya menyuntikkan penenang. Seketika aku menjadi lupa. Yang kurasakan hanya damai. Tubuhku melayang tinggi dan menjadi sekarat. Tapi ruang observasi tak bisa dielakkan. Aku menggigil ketika sadar. Mendapati tubuhku tidak berbusana sama sekali. Hanya sebuah kain putih yang ditutupi di atas tubuhku. Ujung kedua kakiku menyembul dari bawahnya. Tangan, kaki, kepala dan perutku masih diikat dengan sabuk-sabuk itu. Membelengguku dengan tanpa merasa bersalah. Aku yang kesakitan. Perasaan hampa kembali menyergap. Detik demi detik kembali terasa merayap. Bermain-main malas dan mengacuhkan aku. Ada suster Agi di sudut ruangan ini.

Ia duduk dan memandangi jendela. Menangis sesenggukan. Ia membiarkan dirinya terkunci bersamaku di ruangan terkejam di seluruh kamar di rumah sakit ini. “Suster.....” panggilku memelas. Suaraku hampir tidak mampu keluar karena tercekat. Tenggorokanku seperti teriris dan menjadi luka oleh suaraku. Ia mendatangiku dengan tergopoh-gopoh. “Kau sudah sadar, sayang.” Ia mengelus dahiku yang berpeluh asin. Airmataku jatuh. “Apa yang terjadi suster Agi....? Kenapa mereka membawaku kesini? Aku benci ruangan ini. Aku tidak butuh penenang, aku hanya butuh seseorang mendengarkanku. Sebentar saja....bahwa aku tidak tahu apa yang tengah terjadi. Apa yang baru saja kulakukan.” Suster Agi mengangguk. Menggigit bibirnya dan airmatanya kembali jatuh. Ia pasti bisa merasakan kepedihan yang tengah menyelimutiku sekarang. “Kau mencuri kunci di ruang perawat, sayang...” “Apa yang sudah kulakukan?” “Kau.....mencuri kunci ruangan dimana Kristal sedang diobservasi.” Apa?! Darahku serasa menggelegak. Jantungku mulai berdebar lagi. Tak beraturan dan menyakitkan. “Kau membuka semua ikatan Kristal dan mengajak ia ke lantai tiga. Waktu ada penjaga yang melihat, mereka menghubungi perawat dan kami ramai-ramai ke atas. Sampai di atas, semua orang menyaksikan kalian tengah berdiri bergandengan tangan di bibir pagar. Kau bilang, kalian akan melompat.” “Benarkah suster Agi? Aku...” “Kristal tidak terbiasa dengan udara bebas. Dia panik ketika melihat begitu banyak orang yang datang. Kakinya terpeleset. Tapi untungnya, ia masih selamat karena celananya tersangkut di besi pagar. Mereka membawa Kristal dalam keadaan sangat depresi. Ia begitu membabi buta. Mengamuk dan menjadi sangat kuat. Salah satu penjaga digigitnya sampai kulit lengannya sobek dan berdarah-darah. Kristal berakhir di Observasi II. Mungkin ia harus diulang dari nol lagi. Dokter Amina kelihatan marah besar. Kepala rumah sakit langsung menyuruh semua pegawai berkumpul dan mengadakan rapat mendadak.” Sesuatu berhenti. Sepertinya itu nafas suster Agi. Aku bisa merasakan ia berhenti bernafas, untuk kemudian terisak-isak.

Aku merasa tak sanggup menjalani semua ini. Sungguh tidak mampu. Lihat apa saja yang kuketahui tentang diriku ternyata tak cukup membuat orang lain mengenaliku seperti aku yang kukenal. Dunia tengah membohongiku. Tubuhku bergetar. Sejahat itukah aku.....sekejam itu aku mengajak seorang psikopat untuk bunuh diri? Mencuri kunci dan membuat seorang penjaga terluka. Ada saat dimana aku merasa bisa maklum dengan semua ini. Tapi ini sudah kelewatan. Aku benar-benar tak sanggup. Dokter Agi yang menangis meraih bahuku dan memelukku dalam keadaan terikat di tempat tidur. Ia membungkuk dan mendekap tubuhku. Aku pecah. Berdarah-darah di pelukan itu. “Suster....aku sudah tidak kuat lagi.....aku ingin mati. Boleh?” Suster Agi semakin menguatkan pelukannya. Ia terluka demi aku. Demi menyedot sedikit rasa sakit yang tidak mungkin terbagikan dengan siapapun juga. Ana...Ana.... Biarkan aku mengais kebenaran di tanah yang sudah tak berhumus ini. Aku ingin menjadi budak untuk hidupmu yang papa, dan mengabdi sepanjang usiaku masih mampu dihitung. Melupakan apa saja yang menurut mereka benar, dan apa saja yang mereka bilang normal. Aku rela terikat disini bersamamu, untuk menghabiskan waktu yang tak pernah berjalan. Menghirup udara yang sesak dengan kepalsuan. Aku rela menjadi sebelah sayapmu, separuh nafasmu, separuh jiwamu, sebagian kejujuranmu. Setengah dari sel-mu. Sungguh aku rela.

***

Sebuah Pertemuan (Hari rabu yang kelabu) Hari ini, pertama kalinya di bulan juni hujan tidak turun ke bumi. Pantas saja sepertinya orang-orang tampak lebih bersemangat. Pengunjung pasien lebih banyak dari hari biasanya. Petugas kebersihan jadi lebih sering lalu-lalang. Kafetaria juga penuh sesak. Parkiran apalagi. Tapi justru itu yang membuatku makin betah di kamar. Duduk di kursi dan memandangi keluar jendela kamar. Apalagi pakai melamun, maka dunia terasa sempurna. Ada rasa betah memandangi bumi yang tampak berseri dari dalam sini. Jejak basah yang tertinggal bekas becek kemarin sudah mulai mengeras. Cadar alam seperti tersibak oleh senyuman matahari, yang sebentar lagi berubah beringas. Burungburung beterbangan rendah dan memenuhi langit. Jam sembilan nanti jadwal jalan-jalan. Hm, Gina sangat senang jalan-jalan. Ia pasti akan sangat cerewet di luar sana. Kalau semua berjalan lancar, dan setelah menurunkan Maria terlebih dahulu, maka semua akan bersenang-senang di taman kota. Maria sedang dalam puncak keberhasilan terapinya. Phobianya terhadap tangga perlahan mulai menghilang. Maria tampak lebih percaya diri. Kecuali Kristal. Dengar-dengar sudah setahun ia begitu-begitu saja. Seperti manusia yang menemukan dunianya sendiri, dan tak ada seorangpun diperbolehkannya masuk. Kadang-kadang aku melihat Kristal tak lebih dari sebuah barang usang yang tergeletak di tempat tidur, kemudian diikat erat agar tak jatuh. Karena dulunya ia pernah berharga. Masih untung jadi aku. Sudah dapat fasilitas banyak, boleh jalan-jalan, dan bebas bergerak.

Tapi mengapa tak ada yang coba masuk dan mengajaknya berbicara? Bahkan keluarganya saja enggan datang untuk sekedar mencoba meraba ruangan masam kamar itu. Apalagi menemaninya bicara? Sepertinya memang tak ada orang waras yang bertahan dengan kamar sepengap itu. Kamar itulah kuburannya. Lagian, apa peduliku dengan Kristal? Dia mati dan membusuk disanapun seharusnya aku tidak peduli. Aku baru saja dijatuhkan palu hakim, menderita kepribadian ganda. Sekalipun dokter itu terlalu pengecut untuk berterus terang apa yang sebenarnya terjadi padaku, dan mereka saling berbisik di belakangku. Hanya saja aku mengerti, Aku salah satu calon ahli waris sejarah Sybil cs. Harusnya aku lebih peduli pada diriku sendiri bukan? Eh, apa aku tak salah lihat? Seorang penjaga berseragam dan menenteng senapan melemparkan senyum padaku. Melihat aku tak membalas, iapun melambai. Secangkir minuman hangat di atas meja posnya, masih mengepulkan asap. Berkali-kali laki-laki itu menguap. Hujan semalam masih menyisakan lembab di matanya. Ia tampak butuh lebih banyak istirahat. Kenapa ia melambai padaku? Kenapa ia melambai pada orang gila? Aku mengikir sudut jendela dengan kuku. Teringat dengan jurnal Ana di buku kuning itu. Aku harus memastikan apa yang dilakukan laki-laki itu terhadap Ana. Apa benar mereka saling jatuh cinta? Ataukah itu hanya sebuah pemikiran belaka? sehingga ia menganggap laki-laki itu juga mencintainya padahal tidak. Mungkin laki-laki itu memanfaatkannya. Laki-laki biadab. Ia hanya berkisar tentang persoalan ganja, birahi, dan perempuan. Ia akan kenyang kalau penisnya diberi makan. Ia baru bisa tertidur sesudah mabuk. Ia sengaja melumpuhkan kakinya agar ada perempuan kaya yang datang kemudian menetekinya sambil menggendongnya berdiri. Seharusnya ia yang berada di tempat ini. Otaknya akan disetrum, dan dengan mulut yang bau sampah ia akan berteriak meminta tolong. Karena ia tidak akan sekuat aku. Ia terlalu tua. Sudah bau tanah. Hatiku mulai risau memikirkan itu. Aku benar-benar harus memastikannya. Harus. Aku mencari petugas bersenapan itu. “Hei!”

Ia menoleh padaku, dan mengangkat gelas minumannya padaku. Tersenyum lagi. Kusambar jaketku dan menemui suster Agi. Sepertinya aku memang harus sedikit gesit, bila ingin memastikan itu. Ia sedang mempersiapkan beberapa surat-surat saat kutemui di ruangan perawat. Wajahnya terlihat lelah. “Ada apa Juliet?” Aku meragu melihat wajahnya yang polos tanpa senyum. Hah! Aku sudah disini. “Ya?” tanyanya lagi menyentuh daguku yang tersembunyi karena kepalaku menunduk. “Bolehkah hari ini aku tidak ikut jalan-jalan?” “Kenapa?” “Aku ingin pergi membeli buku. Semua buku sudah habis kubaca. Aku butuh yang baru. Ada toko di dekat sini. Mintalah izin untukku kepada suster kepala, suster Agi.” Pintaku. Ia memandangku penuh selidik. “Oke, tunggu di kamarmu.” “Terima kasih.” Dengan wajah yang masih tertunduk aku berlari kembali ke kamar. Aku berpapasan dengan Gina. “Hai Jul, kau sudah siap kan? Hari ini kita jalan-jalan.” “Kurasa aku agak tidak enak badan.” Jawabku sambil berlalu. “Aneh.” Desisnya. Di kamar, aku melihat keluar jendela lagi. Penjaga sudah bertambah dua orang. Mereka bertiga duduk di pos sambil berkelakar. Salah satunya sampai tertawa terpingkal-pingkal. Cuaca memang sanggup mengubah suasana hati siapa saja. Penjaga yang tadi menoleh ke arah jendelaku, mencuri-curi pandang. Aku berkelit, dan bersembunyi. Kalau aku bisa keluar dari tempat ini, maka aku tidak akan kembali lagi. Tidak untuk sekalipun. Tempat ini tidak untuk menampung orang gila. Tapi untuk orang jahat. Lebih kejam dari penjara. Lagipula, bukankah semua orang memang gila? Bukankah semua orang lahir untuk kemudian dimatikan?

Biarkan saja aku menjadi gila dan mati di jalanan sana. Hidup dengan sebuah penglihatan, tidak ada loncatan-loncatan, pertanyaan-pertanyaan, tanpa diagnosis dan tidak perlu ada orang lain yang memprotes cara hidupku. Sampai-sampai semua ini membuatku merasa bersalah dengan hidup yang kumiliki. Hidup tidak seharusnya mundur, seperti yang selalu terjadi di ruang terapi itu. Seperti lokomotif yang berjalan dan merambati setiap senti rel baja itu. Ketika peluitnya bertiup, ketika rodanya bergerak, ketika ia menjadi laju dan tak terkendali. Ia tidak akan mundur lagi. Sekalipun tak satupun manusia yang tahu apa yang akan dihadapi di depan sana. Setidaknya ada sebuah ambisi yang tertuntaskan. Kemudian matikanlah aku. Dengan cara sesuka hatimu. “Juliet, sudah kubilang jangan terlalu senang melamun.” senyum khas suster Agi yang mampu membuat musim hujan berubah seketika menjadi musim semi itu mengembang lagi. Aku tersipu. “Kau sedang beruntung, sayang.” “Benarkah?” tanyaku tak percaya. “Hanya dua puluh menit, dan dikawal oleh seorang penjaga.” “Tidak masalah.” Ia mendekat, membantu aku berpakaian. Mengenakan syal di leher. “Jadilah anak baik,” Aku tak menjawab. Takut untuk berjanji.

Waktu seolah berjalan kesetanan di luar sini. Baru sebentar saja berjalan, kurasakan matahari sudah naik setengah dan menjalari kulit dan kepalaku. Menggigitinya. Tubuh di sebelahku berjalan dengan langkah berat. Sepatunya terbenam setiap kali ia menapak. Ia penjaga berseragam yang mengangkat gelas minumannya ke arahku. Ini pertama kali dalam hidupku berjalan beriringan dengan seorang laki-laki. Aku tak tahu harus mengajaknya bicara apa.

“Juliet. Namamu Juliet bukan?” Suara itu tak sekejam penampilannya. Berat, tapi halus. Aku tak menjawab. “Namaku Sam.” Ia menyodorkan tangan. Aku tetap tidak membalas. “Aku sering memperhatikanmu.” Ia masih belum menyerah juga. Mungkin ia tidak tahan dengan suasana sepi. “Kenapa?” tanyaku datar. “Kau cantik.” Ia menoleh ke arahku. “Paling cantik dari semua perempuan yang ada disana. Termasuk para perawat dan dokternya.” Langkahku tersandung rasa terkejut yang tak dinyanya. Sinting! Aku mendengar prestasi pertamaku hari ini. Menjadi yang paling cantik. “Aku tidak punya cermin, jadinya baru tahu sekarang.” “Aku tidak percaya kau sakit. Kau sakit apa?” Aku mengangkat bahu. “Kau tidak akan mau tahu, kan?” Ia tersenyum. “Lebih tepatnya aku tidak peduli.” “Kau menggendong senapan.” Ia tertawa. “Ya, tapi tidak pernah digunakan. Ini jenis senapan yang sial. Tidak seberuntung rekan-rekannya di medan perang sana. Mereka memuntahkan peluru kemudian mengalahkan musuh. Pemanggulnya mendapat bintang jasa. Yang ini hanya menunggu saatnya berkarat, pensiun, kemudian aku mendapat yang baru.” “Sungguh?” bisikku sinis. “Kau akan beli buku apa?” Aku menatapnya. “Kurasa aku berubah pikiran. Aku tidak akan pergi membeli buku.” “Lalu?” keningnya berkerut, membentuk garis-garis halus di jidatnya yang datar. “Aku akan mencari ayahku. Ada hal yang harus kutanyakan.” Kataku jujur. “Apa? Jelas aku tidak akan membiarkanmu Juliet. Bisa-bisa aku dikembalikan ke kantor dan kantorku akan memecatku. Karena ini bukan jenis prestasi yang membanggakan.” “Kau akan mendapat pekerjaan baru, yang lebih membuatmu merasa berguna.” Ia menarik lenganku. “Cepat beli bukumu dan kembali.”

Aku panik, hampir saja bertindak bodoh dengan berniat menggigit kulit tangannya yang tebal seperti badak, kalau saja hujan tidak datang tiba-tiba menyela pikiranku. “Hujan...hujan! berteduh dulu.” Teriakku. Ia membawaku ke sebuah pos keamanan yang sepi. Semua mahkluk hidup berhamburan memisahkan diri dari tumpahan air dari langit. Langit dan bumi seperti bermusuhan. Matahari berjalan pelan dan dengan gerakan slow motion, berpamitan kepada dunia, istirahat dari tugasnya yang belum seberapa lama. Awan hitam menggelembung memenuhi langit. Kretttak!! Gemuruh itu sahut menyahut. Dingin mengepung seketika. Ada satu-dua orang yang berlari sambil menutupi kepala mereka dengan koran. Kemudian jalanan menjadi kosong. Tak ada kendaraan yang lewat. Hujan terlalu besar. Aku membiarkan otakku dipenuhi seluruh suara yang ditimbulkan dari hujan. Sam masih terbengong-bengong. “Cuaca gampang sekali berubah.” Tiba-tiba aku sadar. Aku sedang duduk berduaan di tempat yang sepi dengan seorang laki-laki asing. Apa rasanya bila kedua orang ini sedang jatuh cinta? Apa mereka akan membiarkan momen ini lewat begitu saja? Manusia jatuh cinta, adalah manusia-manusia yang selalu membutuhkan momen. Momen untuk dikenang, dan untuk dihargai. Tidak sesia-sia milikku. Bagaimana Ana melakukannya? Apa yang dirasakan saat ia berada dekat dengan laki-laki itu? Kemanakah akal sehatnya. Pencurikah sang cinta itu? Berarti cinta memang si pencuri ulung. Apa rasanya? Bagaimana rasa kulit laki-laki? Aku memandangi Sam yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Menanti keajaiban, mengharap langit kembali plin-plan dan mengubah cuaca menjadi terang lagi. Mengakhiri tugasnya yang membosankan dan cepat kembali ke posnya yang lebih bosan, namun ia betah. Bukankah aku perempuan yang sudah merasakan organ reproduksiku berkembang? Aku mendekatinya perlahan dan naik ke atas pangkuan laki-laki itu dalam bisu. Tanpa berunding terlebih dahulu. Sam akan setuju setelah ini. Sam terbelalak. “Juliet?”

Semua perempuan dianugerahi daya pikat. Semua perempuan ahli menggoda. Perempuan jugalah pemegang kunci birahi para laki-laki. Laki-laki sopan santun seperti ini biasanya akan takluk dalam sekejap. Bila satu sentuhan sudah mendarat di tempat yang tepat. Ia tidak akan menggonggong duluan, karena lidahnya ia jaga rapatrapat. Karena status sosialnya. Tapi bukan pengagungannya terhadap cinta. Ada jenis laki-laki yang sopan santun karena ia menjaga harga diri (Sam termasuk yang ini), ada juga yang bersopan santun karena percaya pada ajaran agamanya, dan takut hukuman dari Tuhannya. Biasanya tipe ini membutuhkan sedikit usaha lebih untuk membuatnya menurut. Tapi pada intinya setiap laki-laki hanya membutuhkan satu sentuhan. Kalau tepat, maka mereka semua akan menjadi sama. Seperti laki-laki di rumahku. Siap berubah menjadi binatang-binatang berkaki empat. Menjelajahi setiap hutan dengan rahasia pekat—manis—mencandu. Aku membuka pintu Sam. Dan aku tahu ini akan mudah. Ia akan sukarela, dan aku tidak lagi penasaran bagaimana rasanya. Sam memeluk pinggangku ketika aku menjilati seluruh wajahnya. Iapun membantingku. Bagaimana alam menyaksikan kami? Yang tengah bergulat tanpa sempat cupid menusukkan panah erosnya kepada salah satu diantara kami? Bagaimana pendapat dokter Amina tentang ini? Apa ia akan mengikutkan aku dalam istilah seks bebas? Apa dokter Bre akan memberi suntikan lebih untuk menjelaskan apa yang tengah terjadi dalam dunia one way screenku? Sam akan sukarela menjadi cerminku? Mendeskripsikan kecantikan pada wajah wanita sakit sepertiku. Seenak itukah palu berdentum di meja hakim, rumah sakit jiwa termahal di kota ini? Sedangkan aku tengah begitu menikmati satu rasa tak terbahasakan yang bermain di setiap inchi sel tubuhku? Melumpuhkan aku. Seperti musik, seperti gula-gula, seperti coklat, seperti parfum, seperti ambisi. Terlalu indah untuk dijelaskan, tak sanggup untuk didiskusikan. Semua orang akan menundukkan kepala dan serentak menjadi bisu ketika harus berkomentar, bagaimana rasanya tubuh mereka dilumat oleh gerakan-gerakan tak beraturan, simponi-simponi laris dari nada-nada yang tak pernah direncanakan. Aku menyukainya. Sam terengah-engah seperti baru saja kabur dari peperangan. Senapannya jatuh tergeletak di tanah berlumpur, seolah memang tak berharga sama sekali. Bergabung dengan pakaianku.

Sam mengerang. Permainan kami selesai. Seharusnya ada tepuk tangan riuh, untuk permainan sempurna. Beberapa menit dalam belaianku, ia lalu tertidur begitu saja. Sejauh ini Ana yang melakukannya dengan tubuhku. Tapi hari ini aku tidak akan menyukai wakil. Aku sudah tahu bagaimana cara Ana melakukannya. Aku tidak tersinggung melihat mata laki-laki dihadapanku ini tertutup, tertidur di depan ketelanjanganku. Tersinggung hanya milik manusia hipokrit. Hujan turun semakin buas. Ia seolah merasakan ledakan gairah yang muncul di permukaan dadaku. Sekalipun ini bulan juni dan musim penghujan, tapi aku yakin, wajahku sedikit lebih cerah. Tak peduli mereka bilang aku Freudian. Kukenakan pakaianku, meninggalkan Sam yang terbuai oleh kekagetan. Segera menembus hujan dan mencari laki-laki itu. Inilah bukti bahwa hari ini merupakan sebab mengapa esok hari harus datang. Semua hanya rentetan. Bergulir dan tak perlu kembali. Aku juga demikian. Dan tanah yang kembali berlumpur itu terkoyak menyambut hentakan kaki rampingku yang berlari di atas mereka. Baiklah, aku datang. Tunggu aku.

Separuh jalanan menjadi licin. Selokan-selokan tersumbat sampah-sampah plastik yang menumpuk. Air sudah mencapai mata kaki saat aku berdiri di sebuah halte. Aku harus menumpangi bus menuju rumah. Jalan kaki dari sini sama saja bunuh diri. Aku tidak ingin menjadi bagian sejarah yang mati bunuh diri. Bunuh diri terlalu memalukan. Hanya pengecut yang melakukan perbuatan memalukan. Tapi tampaknya bus belum ada yang lewat. Berkali-kali kulihat, hanya taksitaksi berpenumpang yang lalu lalang. Tak satupun kosong. Aku mampu menyewa satu taksi untuk perjalanan ke rumah. Demi sampai ke rumah, aku rela menghabiskan uangku. Walau aku datang bukan untuk pulang, tapi untuk menghabiskan nyawa seseorang. Sejenak aku berpikir. Dengan apa? Aku harus membeli pisau! Karena aku tidak akan membunuhnya dengan kedua tangan kosong. Dia terlalu kuat.

Aku mencari warung. Ada beberapa yang masih buka, dan dipenuhi pengunjung. Ada juga yang kelihatannya sekedar berteduh dari hujan. “Permisi.” “Beli apa mbak?” “Pisau.” Jawabku singkat. “Serem amat mbak, udah basah-basah, beli pisau hujan-hujan pula.” Seorang pemuda menoleh ke arahku. Aku tak tahu ia serius atau mengajakku bercanda, sampai akhirnya ia melemparkan tawanya. Aku hanya mengangguk. Sebuah

televisi berukuran

besar menyala

sendiri tanpa ada yang

memperhatikan. Aku memperhatikan siaran berita itu. “....Ribuan mahasiswa Trisakti melakukan demonstrasi menolak pemilihan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia saat itu yang telah terpilih berulang kali sejak awal orde baru. Mereka juga menuntut pemulihan keadaan ekonomi Indonesia yang dilanda krisis sejak tahun 1997. “ “Ini pisaunya mbak. Lima ribu.” Aku tertegun, ibukota sedang terluka? “Pisaunya mbak...” ia menepuk lenganku pelan. “Maaf,” aku menyodorkan uang sepuluh ribuan, tanpa menanyakan kembali harganya. “Tunggu ya, kembaliannya lima ribu.” “Heran, polisi aja ngilang pas kerusuhan meledak. Giliran dicari media, baru nongol.” Seorang laki-laki dengan tas ransel di bahunya berbicara dengan temannya sambil menyeruput teh botol. Seolah dia adalah penonton yang sedang berkomentar. “Huss, tapi kayaknya asyik ikutan demo.” “Itu tugas DPM kampus nyari utusan. Lo ga bakalan kepilih. Ngabis-ngabisin anggaran!” Mereka saling menjitak. Para mahasiswa yang bersemangat. Dulu aku juga ingin menjadi mahasiswa. Dulu aku ingin kuliah jurusan disain grafis. Aku ingin belajar membuat komik lalu menjual komikku. Komik yang bercerita tentang kelucuan dan tak sedikitpun bertutur tentang kesedihan. Sudah cukup negara ini menghembuskan udara penderitaan yang harus dihirup manusia.

Tapi ternyata, kesempatan itu bukan lagi milikku. Aku hanya sekolah sampai SMP. Selesai dari situ, sekolah tidak lagi meneruskan beasiswaku ke SMU. Aku sempat sekolah sampai SMU kelas 2, setelah itu aku terpaksa menggunakan ijazah SMPku sebagai modal mencuci pakaian di rumah orang-orang. Itupun sudah untung buatku. Mimpi menjadi mahasiswa yang menggendong map dan buku-buku tebal pupus sudah. Sarjana bertoga tinggi hanya bagian dari khayalan. Aku tak akan menjadi siapa-siapa yang berguna bagi bangsaku. Aku hanya perempuan yang bersembunyi di balik pintu rumah sakit jiwa. Dimana pintu itulah yang menjadi pembatas antara realitas dan angan-angan kami. Antara orang sehat dan orang sakit. Antara pasien dan pembesuk. “Mbak, yuhu...kembaliannya.” Aku mengambil uang kembalian itu dan segera keluar dari warung itu. Menembus hujan. Tak peduli badanku sudah bergetar, karena rasa dingin sudah merembes menuju tulang-belulang. Bis datang saat hari sudah tipis, dan bergeser ke arah sore. Aku duduk si kursi paling belakang. Jejeranku kosong. Penumpang hanya ada dua-tiga orang. Kusembunyikan rapat-rapat pisau di balik karet rok. Kepalaku bergoyang ke kiri dan ke kanan, mengikuti gerak bis yang melaju dengan kecepatan tinggi. Pepohonan dan perumahan terlihat seperti siluet dalam gerakan cepat. Alunan dinamis ini membuatku terhipnotis dan rasa kantuk menyerangku. Hei! Mengantuk! Aku mengantuk tanpa obat tidur? Pasir Panjang—Pasir Panjang! Siap-siap! Suara cempreng kernet menggaruk udara sepi. Kantukku lenyap. Aku berdiri dan bersiap turun. Udara bebas lagi. Semua pohon dan rumah kembali berdiam diri. Hanya aku yang bergerak. Bertemu dunia luar yang kompleks hari ini. Bercinta dengan Sam. Membuatku sedikit demi sedikit melupakan rasa sakitku. Memompa semangat untuk segera tiba di rumah, dan segera menyudahi pekerjaanku. Langkahku mantap.

Lika-likunya jalanan perkampungan yang masih sama. Masih gundul, dan hanya ada beberapa pohon kering yang sudah kehilangan daun sepenuhnya. Rumputrumput malas berdansa manja di pelukan angin. Kupeluk tubuhku sekuat tenaga, mengusir dingin yang kian menjadi-jadi. Ya Tuhan! Langkahku terpaku rasa kaget, dan gravitasi menjadi palunya. Aku berdiri di sebuah rumah batu yang sederhana. Rumah tidak terlalu besar dengan sepotong beranda dihiasi beraneka anyelir dan mawar putih. Ada beberapa melati. Pekarangan itu didominasi tetumbuhan berwarna putih. Pagarnya terbuka. Aku berdiri seolah terbius. Haidar, kuharap kau melihatku berdiri kehujanan disini. Menyelamatkanku sekali lagi. Atau sekedar datang dan ucapkanlah selamat pada malam, lewat aku. Seorang laki-laki berbaju putih tampak keluar dengan tergesa-gesa menyeret sandalnya sambil setengah berlari. Ya Tuhan.....Tuhan.....Bunda Maria....Awasilah mataku! Ya! Itu dia. Terpaksa aku menyebut namaMu Tuhan! Karena dalam langkah sepi ini, dalam balutan pakaian yang sudah basah-kering berkali-kali ini, aku melihat wajah itu lagi. Wajah yang sudah begitu lama terlunta-lunta dalam ingatanku dan akhirnya terbuang begitu saja. Satu-satunya wajah indah yang sanggup menghilangkan kewarasan sekaligus kegilaanku. Karena Kaulah yang berjanji membahasakan setiap kecantikan di muka bumi ini, Tuhan. Tapi, dia terlalu indah. Dia tak terbahasakan. Sekalipun garis-garis kepatuhannya terhadap waktu sudah mencoret sedikitsedikit lukisanMu. Satu di masing-masing sudut bibir, beberapa garis halus melintang di dahinya. Tapi aku tak melihat itu menjadi cela. Ia demikian sempurna dalam kedewasaan yang menjelma dalam usianya. “Juli?? Kamu Juli...?” Aku menunduk memergoki bumi yang berlumpur.

“Ya ampun, ayo masuk dulu, kamu basah kuyup.” Dengan berdebar kuikuti langkahnya dari belakang. Bau khas tubuhnya belasan tahun lalu masih terasa sama di penangkapan indera penciumanku. Ia berjalan sambil mengangkat sedikit sarungnya. “Ayah, ibu. Ini Juli. Dulu tinggal di kampung sini juga, tapi sepertinya sudah lama pindah ke kota.” Kulihat sepasang suami istri tua yang sedang berdiri melihat kami dari terasnya. Sang istri memakai baju muslim lengkap dan beberapa perhiasan mahal di tubuhnya. Masih terlihat sisa-sisa profesionalnya sebagai wanita yang tahu gaya. Ia tersenyum padaku dan menangkupkan kedua tangan di dada. “Lalu sekarang mau kemana hujan-hujan begini?” tanyanya. Semua melihat ke arahku. “Me..menjenguk, ayah..” dengan terbata, aku berhasil menatap kedua matanya. Ayahnya mengangguk-angguk tak terlalu peduli. Laki-laki tua itu masih tegap. Tubuhnya tinggi dan kulitnya putih bercahaya. Wajahnya bersih dari rambut, sehingga ia betul-betul tampak seperti seorang kakek yang berjiwa muda. Haidar mengajakku masuk ke dalam rumah. Untuk pertama kalinya aku menjadi manusia yang masuk ke dalam sebuah komunitas yang lebih kompleks. Ada ayah-ibu, kakak, paman-bibi dan besan. Sangat menakjubkan. Disana aku berkenalan dengan seisi rumah. Ada beberapa pasangan yang sedang duduk bersama sambil minum teh dan berbincang-bincang. Sekali-sekali tertawa dengan keras. Pertama, sepasang suami istri tua lainnya. Calon besan mereka. Suaminya menghisap tembakau dengan pipa yang melengkung jauh dari wajahnya. Kumisnya tebal sehingga wajahnya hampir tertutup. Istrinya duduk dengan muka yang tak tampak bahagia. Tangannya terus mengipas-ngipaskan udara dengan selendangnya. Tampaknya ia tak suka suaminya merokok terlalu dekat dengannya. Kedua, ada Paman dan Bibi Haidar. Pamannya seorang angkatan udara yang hampir pensiun. Ia laki-laki yang selalu tersenyum dan berperilaku romantis terhadap istrinya. Dia juga sangat perhatian terhadap setiap orang. Istrinya seorang ibu rumah tangga. Pasangan ini tidak dikaruniai anak.

Ketiga, pasangan suami istri muda. Laki-lakinya adalah kakak pertama Haidar yang lulusan perguruan tinggi Aussie. Ia gemar sekali berbicara tentang perbedaan kebiasaan-kebiasaan orang Aussie dan orang Indonesia. Kalau sudah begitu, maka manusia Indonesia akan terdengar seperti mahkluk paling primitif di muka bumi ini. Bahkan bisa lebih primitif dari primata. Sedangkan Istrinya adalah tipe perempuan pemimpin. Ia tidak suka dipatahkan dalam setiap argumennya. Ia seorang dosen perguruan tinggi negeri di Ibukota yang memiliki satu kelebihan, yaitu kecantikan dan seleranya akan gaya hidup. Baginya gaya hidup mencerminkan kepribadian seseorang. Lucunya, setiap kali berbicara dengan sang suami, maka suaminya akan terlihat lebih primitif dari orang Indonesia. Aku suka melihat pasangan ini. Pasangan terakhir adalah kakak perempuan Haidar dan calon suaminya. Mereka berdua duduk terpisah dan sekali-sekali melempar pandang sambil tersenyum malu-malu. Mungkin mereka pasangan yang paling berbahagia di antara yang lainnya. Haidar mengajakku duduk di teras belakang. Tak ada orang lain kecuali suara ribut ayam dari kandang milik tetangga yang berdempetan dengan pagar mereka. “Kau pasti kedinginan.” Ia menyodorkan secangkir teh panas. Asapnya masih mengepul. “Terima kasih.” “Maaf aku tidak bisa menawarkanmu untuk berganti pakaian.” “Aku mengerti, tidak apa-apa.” “Kakak perempuanku akan walimahan...ngg....maksudku, menikah. Ini baru saja acara lamarannya.” Oooo..kataku dalam hati. Ia duduk di kursi di seberang meja di sebelahku. Sejengkal naluri mengatakan ia sedang memperhatikanku dalam-dalam. “Kau jadi cantik begini ya?” Aku sama sekali tidak berani mengangkat pandanganku dari gelas teh. Aku takut debaran jantungku akan terdengar olehnya. Langit semakin gelap dan malam menjadi buta. Aku harus pamit. “Bang, aku harus pergi sekarang.” Aku berdiri dan menatapnya. Oh Tuhan...kenapa ia terlihat begitu bagus? “Aku mengantarmu ke depan.” Kami berpamitan kepada seluruh isi rumah.

Kakak perempuan Haidar meminjamkan aku payung, tapi aku menolaknya. Semua mengucapkan kalimat ‘hati-hati di jalan’ padaku. Kamipun menelusuri jalanan basah dalam diam. Entah, tiba-tiba saja semua bahasa menjadi lenyap, dan menjadi rahasia di masing-masing kepala kami. Semua pasti sedang bercampur aduk disana dengan riuhnya. “Juli, aku ingin berbicara sebentar.” Katanya setelah bayangan rumahnya sudah tak tertangkap mata. Langkahku terhenti di depannya. Bicara? “Bicara apa?” Haidar mengajakku ke sebuah gazebo tua yang memiliki pencahayaan cukup. Tak terlalu bagus berbicara dalam gelap katanya. Aku menurut. Bibirku mencoba mengeja dialog imajiner dalam dadaku yang kian ribut. Apa yang terjadi? Ia menyelimutiku dengan sebuah selendang yang sedari tadi diselempangkan di bahunya. Dan diam di seluruh tubuhku mencapai klimaks kebosanannya. Mereka memberontak. Dadaku semakin bergemuruh. Pelan tapi pasti kurasakan mataku menghangat, membesar dan menatapnya lekat-lekat. Ia melakukannya lagi! Ingatkah dia pernah melakukan ini di masa dulu? Saat pertama kali kita bertemu? Saat ia meninggalkan sebuah pesona yang dibuahinya dalam pandanganku, kemudian tumbuh menjadi embrio yang segar dalam ingatanku. “Supaya tidak terlalu dingin.” Tak ada yang lebih hangat saat ini, selain matamu yang redup dan cahayanya yang tulus. Tenggelam di dasar samuderapun, aku mampu bertahan hidup bersama mereka. Rasa dingin yang baru saja hampir membekukan jantung, tiba-tiba saja berubah

menjadi

alat

pemacu.

Mereka

menjadi

berderak

tak

beraturan,

menyemburkan adrenalin. Ia mendekat. “Juli...?” Kupandangi lekat darimana suara itu keluar. Bibirnya masih merah, karena kurasa ia tak pernah menyentuh sebatang nikotinpun. Ada sejumput janggut yang baru tumbuh dan terasa seperti dipaksakan tumbuh. Terlalu tipis.

Anak rambut yang keluar dari kopiahnya bergerak ketika sepotong angin nakal bergerak lewat. Mempermainkan wajah itu dihadapanku. Membuat pipiku memerah, menjatuhkan hatiku. Masihkah ia pergi ke masjid itu setiap sore? Insulin brengsek, Ex-Lax, Colace, obat-obat pemati rasa itu membuat memoriku hampir melupakannya. Membuat otakku hampir mengeliminasinya dalam sebuah keterpesonaan. Karena ia pernah menyelimutiku dengan sajadahnya. Semua memoriku tentang pria itu tersedot begitu saja. Waktu tiba-tiba menjadi amat berharga untuk kunikmati. Inilah kebanggaan menjadi manusia waras. Merasakan cinta. Ada yang keberatan? Tiba-tiba dunia terasa begitu monoton. Hanya ada satu saja yang tidak membuat kami berpaling, meski ia tak sedinamis dunia yang monoton. Sepotong wajah yang terhampar dengan jelasnya. Kamipun berpandangan. Lama. Satu, dua, tiga menit.

Enam, tujuh, delapan.

Dua belas.... Empat belas..... Waktu menjadi tidak terhingga. Tatapan kami tanpa batas. Seperti setia pada waktu yang diam dan tak bergerak. Membuat makhluk hidup di sekeliling kami berlarian dan menjauhi waktu tanpa keberadaan kami. Kami absen. Karena kami sedang bertatapan. Saling menusuk mata kami, dan mengorek segala rahasia yang terpendam waktu. Namun yang ditemukan hanyalah keterpesonaan. Aku menemukan sebuah surga dalam wajah itu. Obat dari segala penyakit. Rahasia dari segala perpecahanku sebagai amuba. Diagnosa dokter Amina yang terlalu mengada-ada. Seperti berdiri tanpa masa lalu. Seperti hidup tanpa ambisi. Bagai tersesat dalam sebuah sungai madu. Naritapun tiba-tiba menjadi tak sebanding. Kini, mengapa aku tak sanggup mengucapkan sepatah katapun? Ia mendekat lagi. Sedekat nafas saat mampu memantul.

“Aku mencarimu kemana-mana Juli.” Hah? Surga itu membuat pendengaranku menjadi tua. Enggan menangkap getaran, selain kerinduan. Kerinduan yang bisa diserap oleh seluruh anggota badan. Mata, hati, jantung, hidung, bahkan telinga. “Mereka membawamu kemana?” tanyanya lagi. “Ke rumah sakit jiwa.” Jawabku mengambang. Tiba-tiba saja kulihat pandangannya berubah. Matanya nanar dan diselaputi awan sedemikian mendung. Gelap gulita, dan siap meluluhlantakkan dada bila mereka pecah. Bibirku kelu. Aku mendekat. Meminta jarak hanya menyisakan beberapa senti untuk menjadi ruang di antara aku dan dia. Dan jarakpun mengizinkan. Atmosfir menjadi hangat oleh bau tubuhnya. Keraguanpun tersepak kaki kerinduan yang sudah lama letih. Kusentuh pelan kedua pipinya. Tanganku bergerak karena pesonanya sendiri. Kulit itu lebih halus dari awan. Putih seputih susu. Harum seperti madu. Menggasak seluruh naluri sebagai seorang perempuan. Ingin kutinggal disana. “Jangan menangis.” Pintaku pelan. “Tidak.” Katanya. “Tapi aku merasa ada sesuatu yang begitu kejam, memisahkanmu dariku. Bahkan di dalam mimpi aku tidak menemukanmu.” Ia berbisik. Aku tersenyum. Dan dadaku terasa begitu teriris. Teriris oleh tanganku sendiri. Sedemikian sakitnya sehingga membuatku ingin ikut menangis. Bagaimana bisa aku tersenyum? Ia membiarkanku terus mengelus pipinya. Haidar telah berubah menjadi seorang manusia. Bukan lagi laki-laki yang setia pada waktu ashar di masjidnya, yang ketakutan pada neraka Tuhannya. Yang setia pada hukum agamanya. Kini ia hanya laki-laki yang sedang merindu. Ia merengkuh tengkukku membenamkan dalam dada berbaju koko putih. Dada besar, harum, tulus, lembut. Disentuhnya ujung telingaku dengan bibirnya. Tangannya naik turun di punggungku. Memeluk tubuhku sedemikian rapat, seolah menjaga tak boleh ada satupun rasa dingin yang kerap mencuri celah, untuk membekukanku. Pelukannya besar dan hangat. Kaki kami bergerak perlahan. Maju-mundur.

Alunan angin menjadi musiknya. “Aku laki-laki tua.” Desisnya. Aku tertawa. “Tua dan tampan....” Lalu aku menatapnya sekali lagi. Benar, ia tampan. Lebih tampan dari rupa pagi hari. Kuraih bibirnya yang menggantung menggodaku. Lalu kukulum. Hidung kami terkunci dan hampir lupa bernafas. Malam sepucat kuburan. Bergerak misterius dan melupakan semua orang yang tertelungkup dingin dari deraan hujan. “Juli....” panggilnya lebih tegas. Mematahkan kemalasan malam. Kemudian satu bisikan meluncur lebih cepat dari meteor. Menembus keruhnya gendang telingaku. “Menikahlah denganku, perempuan berambut emas....” Aku mendorong lengannya. Menatap wajahnya yang sudah basah. “Juli, waktu akan terus lewat. Dan mungkin aku akan kehilanganmu lagi.” “Tapi kau adalah laki-laki yang sembahyang. Sedangkan aku perempuan yang tidak sembahyang.” Ia merengkuh tanganku. Kebiasaan seseorang untuk memohon. “Kita

akan

belajar

bersama.

Kau

akan

menjadi

perempuan

yang

bersembahyang bersamaku. Kau akan berdiri di belakangku, dan aku akan menjadi pemimpinmu. Imam untukmu di hidup ini dan hidup setelah mati kita.” Aku tersentak. Apa kau berharap aku yang akan menyiapkan kokomu? Mengatur kopiah dan sajadah untuk sembahyang asharmu? Berharap aku akan mengenakan mukena yang kau beli di pasar loak? Menjadikanku perempuan berkerudung yang belajar mengaji setiap senin sore? Bersembunyi dalam kerudung budaya dan menjaga rapat-rapat norma agamanya, menjauhkan neraka dan berharap sorga jatuh dalam pangkuan ketika kita mati, dalam doa-doa yang kau harap makbul? Kita hanya manusia-manusia yang hidup untuk mati. Terkadang berani mati untuk bertahan dalam hidup yang sempit. Seharusnya hidup berjalan sederhana. Tanpa ada pembatasan, pembeda, tak perlu juga ada yang lebih dari rasa cinta ini diantara kita yang harus turut campur. Kau tak mengerti.

Haidar mengeraskan genggamannya. Menjaga cita-cita agar tak terbang bersama malam. Aku tak mengerti.... Kutepis tangannya dan bergerak mundur. “Aku harus cari ayah tiriku.” Akupun berlari menembus malam. Malam yang berkabut dalam hujan yang tinggal gerimis laksana menangis. Airmataku turun satu-satu. Haidar seperti fatamorgana setiap pendaki cinta. Para perempuan yang mendamba cita-cita. Tapi aku tidak mendamba apa-apa. Aku hanya ingin menghargai cinta. Dan aku tak ingin menodainya. Seperti Ana menghargai cintanya. Seperti Ana yang membenci cinta yang telah meninggalkannya. Kau tidak mengerti, dan akupun menjadi buta tentang kebenaran. Bila kau mencintaiku, kenapa tak kau biarkan saja ia tetap begitu? Tidakkah kau takut, cinta akan kehilangan esensinya, bila dihadapkan dengan tuntutan? Izinkan sajalah kutuntaskan amarah ini!

Langkahku terhenti di depan halaman yang luas. Rumah itu gelap gulita. Dedauan kering yang berkumpul menjadi satu-satunya warna. Ia pasti sudah tidak tinggal disini. Dadaku naik turun. Jantungku sudah berpacu tak karuan. Aku memejamkan mata sejenak, meraba sebilah pisau yang masih tersimpan rapi di balik rok. Apapun yang akan menjadi takdir, biarlah begitu. Tapi mereka harus menungguku sampai aku berhasil menemuinya dan menyelesaikan urusan ini. Semoga saja dia bisa memberiku satu alasan bagus, sehingga kematiannya tidak terlalu sakit. Dari kejauhan terdengar bunyi sirene mobil polisi. Brengsek! Aku kalut. Mereka pasti mengejarku. Sam telah membuka mulut tentang rencanaku kemari. Mereka menyewa manusia berseragam itu untuk menghadapi satu perempuan sakit macam aku. Apa yang sebenarnya mereka takutkan dariku? Langkahku kembali beradu dengan rerumputan basah. Rumah perempuan barbar itu!

Kupercepat lagi langkahku, mempertaruhkan jantungku yang lemah, karena lama tak terpakai. Seperti mumi tua yang didewakan. Menjadi bagian dari tubuhku, tanpa berfungsi ekstra. Rumah itu terang benderang. Semua orang sedang berkumpul untuk merayakan sesuatu. Dari kejauhan aku merasakan kehangatan pada sekumpulan orang-orang dengan aktivitas mereka di dalam sana. Tiba-tiba saja aku takut menjadi waras. Lampu mobil itu bergerak semakin dekat. Aku menerobos masuk kerumunan manusia itu. Semua terhenyak. Tertegun dan menjadi diam. Seorang perempuan yang telah dibuang dari desa mereka kini kembali dengan pakaian basah yang menjadi terlalu tipis untuk menyembunyikan segenap unsur yang berbau aurat. “Keluar kau laki-laki busuk!” teriakku. Polisi dari mobil itu berhamburan dan menodongkan senjata mereka ke arahku. Manusia-manusia bersenjata, berseragam, dibayar untuk menjadi benteng negara, tapi terlanjur dilatih untuk menjadi banci. Manja. Terlalu percaya dengan selongsongan timah yang bahkan untuk dapat mengacungkannya, mereka rela merogoh kocek sendiri. Pistol itu menjadi panutan mereka. Sebuah wajah hitam dan tua keluar dari kerumunan. “Juliet! Mau apa kau?” Ia berjalan diikuti perempuan itu. Dua orang perawat—salah satunya suster Agi datang mendekatiku pelanpelan. “Juliet, ayo kembali sayang. Tidak akan ada yang melukaimu.” Suara suster Agi bergetar. Aku menoleh ke belakang dengan takut-takut. “Beritahu aku, satu hal saja.” Aku berpaling padanya. Ada hening yang ikut menyimak. “Apa aku pernah tidur denganmu?” Ia mendekat dan menohok hatiku dengan tatapan binatangnya. “Kau sendiri yang buka bajumu. Perempuan jalang! Kau sama dengan ibumu.” Kujatuhkan pisau itu ke lantai. Semua orang histeris. Kuedarkan pandangan ke sekelilingku. Semua orang menohokku dengan suara-suara hati mereka yang memaki-maki aku. Sumpah serapah yang hanya terlihat

dari sorot-sorot mata itu. Tapi aku mampu mendengarnya dengan jelas. Kututup kedua telinga sekencang-kencangnya. Dua orang polisi langsung menyergapku, mengunci tanganku di belakang. Tiba-tiba dunia di sekelilingku—meja, kursi, gelas-gelas, manusia-manusia itu—berputar sedemikian cepat. Berputar dan terus berputar secepat kilat dan langsung jatuh di atas pundakku. Dunia seperti kehilangan sinyal. Anginpun takut untuk berhembus. Telingaku seolah berdarah-darah mendengar jawaban itu. Lututku polio, tanganku menjadi parkinson. Aku lunglai dalam himpitan borgol kedua polisi itu. Malam berubah sangar dengan raungan panjang dari mulutku. Aku bersumpah! Laki-laki itu akan berakhir seperti anjing rabies yang terendam di dalam kolam cetek. Mati karena ketakutannya. Pertama, karena telah membiarkan aku tidur bersamanya. Kedua, karena telah menyebut ibuku Jalang. Mungkin memang aku tempat segala haram jadah, tapi ibuku tidak bisa disebut pelacur. Ibu tidak bisa menjadi pelacur. Dalam setengah sadarku, aku melihat Haidar berdiri di dekat mobil polisi. Wajahnya basah oleh airmata yang putus asa. Ia memandangiku yang berlalu bersama deru mobil polisi lengkap dengan sirene pemberi tanda: awas orang gila! Semua akan pergi lagi begitu saja. Semua orang akan memohon agar waktu tetap diam dan tak perlu berputar, sekalipun mereka tahu betapa sakitnya terhimpit roda waktu yang berhenti tiba-tiba. Tetapi mereka tetap tidak peduli. Ada satu-dua cita-cita yang perlu untuk diselamatkan. Dan kurasa ia akan segera kembali berjalan. Menapaki masjid yang sehariharinya dipakai berdoa. Tanpa menengok ada apa dengan masa lalu, atau apa kabar kerinduan. Lihat saja, hidup masih menyimpan rahasianya dariku. Beberapa jam yang lalu aku merasa amat menikmati hidupku, tapi sekarang, di tempat, ini aku sudah melihat hidupku kembali hancur berantakan. Ini hari rabu yang kelabu. ..... ***

Di bangku usia tua, Akhir Juni 1998 [Sayangku, kau membeberkan rahasiaku pada malam. Bahwa sebenarnya aku bukan pelacur sungguhan. Aku hanya seorang pujangga kesepian. Kehilangan masa lalunya, dan tak pernah ingat darimana ia berasal.] [ingatanku hanya mulai saat aku jatuh cinta padamu] [Aku menyewakan kemaluanku pada para laki-laki yang pergi di malam hari, meninggalkan istri-istri mereka, rumah, anak-anak dan sepiring nasi yang terlanjur ditumpahkan. Mereka datang dan mengemis di bawah kakiku. Memohon-mohon dengan selembar uang lusuh hasil keringat mereka selama berbulan-bulan, agar aku membuka selangkanganku. Laki-laki itu tak mencari cinta dengan uang di tangan. Mereka mencari kebebasan yang tergadaikan oleh sebuah ikatan pernikahan. Mereka masih mencintai istri mereka, Tapi mereka terlanjur menjadi seorang laki-laki] [Aku hanya mencari cinta saat disisimu sayangku. Bahkan tanpa sesenpun uang logam, atau sesendok nasi yang mengenyangkan perutku. Aku masih mencintaimu. Aku tidak menggadaikan apa-apa demi bisa bersamamu. Tapi aku telah menukar hidupku.] [Tapi sayang, Aku melihat malam telah membongkar rahasiaku pada siang. Pagi dan senja hari. Mereka sembunyikan kau dariku. Tapi aku melihatmu pergi membawa perempuan lain yang haus akan injeksimu. Tampaknya kalian sama. Sama-sama kehausan. Bedanya kau laki-laki. Kau haus kekayaan yang disembunyikan di bawah bantalnya. Maka tidurilah dia agar kau dapat mencurinya. Sekalipun kau tidak akan pernah kembali padaku] [Dan mungkin tak akan kuizinkan kembali] [Aku menyesal kau sama dengan laki-laki yang kutemui di jalanan.]

-SELASA[Dasar perempuan desa! ] [Pisau itu sudah tinggal dihujamkan! Maka matilah laki-laki penghisap darah itu. Entah kenapa ia jadi kaku seperti batu.] [Perempuan goblok! Ingin kutampar mukamu.]

-RABU[Juliet Biadabbbb!!]

Mereka menyetrum tubuhku lagi. Tapi percuma. Aku memang sudah hilang. Aku memang sudah disingkirkan sejak saat itu. Sayangnya mereka terlalu percaya pada listrik-listrik keparat itu. Apa yang mereka inginkan dari seonggok tubuh tak bernyawa ini? Bahkan merasa sakitpun tidak lagi. Aku hanya membiru dan menjadi gagu.

[Kenapa sulit sekali untuk meraih kebahagiaan yang kita mau? padahal dia sudah ada di depan mata, begitu dekat dengan kita. tapi kemudian tiba-tiba dia lenyap begitu saja.....]

-KAMIS[Siapa kau?] [Aku?

Aku

laki-laki

pecandu

valium.

Namaku

Jean.] [Aku tak peduli kau pecandu apa! Mau apa kau disini?] [Disini? Tentu saja mendapat subsidi valium gratis dari mulut perempuan ini. Kau? Si pelacur patah hati? Hahahakakakakk...] [Diam atau kurobek mulutmu!]

[Sebaiknya kau buka bajumu dan tidur bersamaku. Akan kubayar kau dengan valium lezat ini.] [Diam kau bajingan! Aku tidak akan tidur dengan bangkai sepertimu.] Suara tembok dihantam, berdentum memenuhi ruangan. [Jean....kau membunuh orang?] [Kadang-kadang] [Kau mau membantuku untuk membunuh seseorang?] [Akan kubunuh dalam sekejap mata. Siapa dia?] [Tidak! Aku yang akan membunuhnya. Tugasmu membantu aku keluar dari tempat sialan ini.] DIAM [Kuizinkan kau meniduriku] [Tidak.

Aku

tidak

tertarik

dengan

pelacur.

Tapi...] [Aku

senang

membantu

orang

membunuh

demi

dendam.] [Bagus. Mulai sekarang kau tidak akan kekurangan valium.]

-JUMATMereka tetap bersetubuh di hadapanku. Memang tak tahu malu. Sekalipun sudah kututup mataku, aku masih bisa membayangkan mereka karena aku mendengar teriakan-teriakan mereka. Seperti kucing di loteng saat musim kawin. Yang lebih bodoh, hari ini aku hanya menelan valium. Tak ada sesuap nasi menggeser rasa perih di ulu hati. Otakku mati rasa. Nadiku menjadi bisu. Tapi pencernaanku tetap bergerak. Suster-suster paranoid!! Kirimkan aku makanan!!

Bisa-bisanya kalian dibayar untuk ikut tidak berperasaan. Valium tidak mengenyangkan, tapi mematikan. Aku mati. Tapi kalian tidak peduli.

-SABTU[Siapa kalian.....???] [Aku Sa’adyah Al Rajab. Aku perempuan muslim keturunan Palestina. Kembalikan cadarku! Aku tidak bergaul dengan sembarang orang] [Juli mau ikut ibu.....ayah jahat....] [Aku Pendeta Mosaaq. Panggil aku Bapa Mosaaq. Dengan dua A. Satu saja tidak cukup. Datanglah memohon ampun kepada Tuhan. Tuhan maha pemberi ampun.] [Saya Mother Teressa. Kemarilah, sepertinya kalian butuh kasih sayang, anak-anakku.....] ........

[Aku butuh suara-suara lain. Suara yang lebih ribut dari gemuruh ombak. Lebih merdu dari....] [milikmu...] [Ana]

-SENIN, terapi dokter BreDokter Amina juga hadir disana. Tampaknya mereka berdua membutuhkan lebih banyak waktu untuk bersama. Untuk mendiskusikan penemuan-penemuan mereka pada diriku. Suster Agi menemaniku.

Aku yang duduk dalam bisuku, seolah tersesat terlalu jauh dan tak pernah ingat lagi jalan pulang. Mengamati mereka berdua tanpa minat, tapi tak disangka pendengaranku bekerja begitu bagus. Telingaku, bukan telinga Ana atau siapa-siapa. Bunyi ketukan pulpen yang diketukkan dokter Bre di gagang kacamatanya menjadi satu-satunya bunyi yang memualkan. Sama sekali tidak menghibur. “Dok, anda yakin dia mengalami split personality? DID? Bukan skizofrenia? Dokter Amina mahfum, Dokter Bre menjadi ragu-ragu karena informasi yang didapatnya mungkin sangat minim. “Terlihat dampak dari fugue8. Ia seperti orang amnesia setiap kali kepribadian itu muncul bergantian. Mengalami orientasi waktu dan tempat setelah itu—dimana aku? Kenapa aku disini?—Perubahan gesture, mata melotot ke atas, dan suara serta mimik wajah langsung berubah.” Dokter Bre mengangguk-angguk, “Ya—ya—ya saya juga dapat laporan begitu dari perawat lain.” “Mereka muncul sebagai pokok-pokok, tanpa substansi peran.” Dokter Amina memecah kesunyian. “Maksud anda, ada lebih dari satu alter ego?” “Jean, laki-laki tukang jagal. Sa’adiyah Al Rajab, muslim fanatik keturunan Palestina, Seorang pendeta, seorang yang lain menyebut dirinya mother Theressa. Dan alter ego yang terakhir adalah seorang anak kecil bernama Juli. Dia satu-satunya Petunjuk masa lalu Juliet.” “Mereka keluar semua?” Dokter Amina mengangguk. “Hanya satu yang dominan. Ana sang pelacur.” Dokter Amina membuka-buka berkasnya. “Bila dibiarkan, kepribadian itu akan sepenuhnya menguasai Juliet. Pada titik klimaks, Juliet akan hilang dan tak kembali, kemudian sepenuhnya ia akan menjadi Ana. Ana sang pelacur, Ana yang amnesia tentang masa lalunya. Bisa dimaklumi, Ana ini dicurigai salah satu defense mechanism dari sang pribadi asli. Denialnya tentang masa kecil yang traumatik.” Dokter Bre masih tertegun. “Obsesi apa yang tampak dari masing-masing kepribadian?”

8

Waktu yang meloncat dan hilang

“Belum jelas. Tapi yang pastinya mereka adalah wujud defense mechanism dari kepribadian asli. Bisa juga mereka membawa obsesi yang sama dengan pribadi asli, atau bisa sebaliknya. Justru bertolak belakang.” “Psikoterapi banyak membantu?” Pertanyaan itu terdengar seperti sindiran. Dokter Amina tertawa kecil. “Bukankah kita seharusnya menjadi satu tim kecil, dokter? Oya dokter Bre. Seberapa sering anda memberikan Valium pada Juliet?” “Sesuai kebutuhannya. Bila diperlukan.” Jawabnya yakin. “Seberapa sering?” “Tidak terlalu.” “Sebaiknya penggunaan valium pada Juliet dihentikan dulu. Kalau bisa, tidak ada pemakaian obat-obatan penenang atau penghilang rasa—kecuali obat tidur. Karena ada salah satu kepribadian yang belakangan muncul, dan merupakan pecandu valium. Saat ini Juliet benar-benar tidak eksis. Setiap alter ego sedang bergantian menempatinya. Tentu ini akan membahayakan Juliet.” Dokter Bre tersentak. Dahinya sekarang benar-benar berlipat. “Anda yakin begitu dokter Amina?” “Seratus persen.” Suasana hening. “Berhati-hatilah dengan Jean. Tampaknya ia berbahaya.” Dokter Bre membanting pulpen di atas meja di hadapanku. Mataku bergidik. “Ini sungguh membingungkan. Kepalaku jadi sakit.” Dokter Amina menyodorkan segelas air putih dari kulkas. “Anda begitu? Apalagi wanita ini. Anda bisa bayangkan bagaimana hidupnya?” “Psikiater tidak mencampuradukkan empati dalam obat-obatan. Tugas anda berempati.” Semburnya frustasi. “Saya mengerti.” Dokter Bre menghabiskan air di gelas dengan cepat. “Penyatuan kepribadian. Bagaimana?” “Memang selama ini, cuma itu satu-satunya cara. Hanya saja kita memerlukan sedikit waktu untuk mengetahui kepribadian-kepribadian yang dominan beserta latar belakangnya.”

“Anda tahu, begitu banyak pasien kepribadian ganda tidak pernah tertangani tuntas. Malah menjadi sasaran komoditas para penangguk keuntungan.” “Dan kita tidak akan membiarkan itu terjadi pada Juliet.” “Perempuan yang merekomendasinya kesini adalah salah satu penanam saham terbesar. Penyumbang tetap setiap tahunnya! Kita tidak mungkin menggantung kasus Juliet.” “Kita memang tidak merencanakannya kan, dokter Bre?” Dokter Bre menggaruk kepalanya sambil mengoceh sendiri. Mungkin ia merasa sedikit dipermainkan. “Kalau perempuan ini tidak menemui kesembuhannya, dan kasusnya ditutup. Aku akan mengundurkan diri.” Katanya sambil menghempaskan diri di sofa. “Karena orang yang merekomendasinya begitu berpengaruh....?” “Karena Juliet sudah menyita seluruh pikiranku.” Kalimat itu dipotong oleh satu jawaban yang terdengar jujur, dalam nada suara yang memelas. Dokter Amina tidak menanggapi. Mereka berdua masih saja berfrustasi ria dihadapanku. Di hadapan aku yang sedang tidak eksis. Aku yang memandangi mereka dengan kelucuan mereka. Aku yang tak berusaha kembali. Tempat itu terlalu sesak. Sesesak dendam itu ada di dada.

-ENTAH hari apaEntah sudah berapa lama mereka mengunciku di ruangan ini. Sejak kejadian aku melarikan diri dari rumah sakit, mereka semakin memperketat pengawasanku. Ana terus menerus mengamuk. Menendang pintu sepanjang malam, berteriak, melolong, dan menyumpahnyumpah. Luna dengan kecemasan tingginya jadi ikut-ikutan stres. Ia malah menjadi gila. Memukul-mukulkan kepalanya di dinding sampai gemanya terdengar di sepanjang labirin.

Mereka terus menyuntikkan bermacam obat. Tapi Ana tetap tidak berhenti. Ia memang sudah seperti kesetanan. Aku. Aku mengalami blackout—hilang ingatan tiba-tiba, dan jatuh bangun terus menerus dari pingsan. Seolah ada kekuatan setan yang menarikku ke dasar kegilaan. Membuatku melupakan kewarasan dan tak sanggup lagi kembali. Itu yang memang mereka inginkan. Mereka berhasil menguasaiku. Sampai aku hilang. Tapi dokter Bre tetap menyuntikku—dan menyetrumku juga. Dasar dokter psiko! Setelah fisikku pulih, mereka melepaskanku kembali ke kamar—tetap dengan pengawasan. Hanya fisikku yang pulih dan kembali sehat, tapi tidak jiwaku. Aku masih hilang dan tak tahu berada dimana. Ana berkeliaran bebas dengan kemarahan-kemarahan yang meledak sewaktuwaktu. Saat nonton televisi ruang menonton, ia mempengaruhi semua orang untuk membuang obat mereka. Bahkan Briana juga dibujukinya. Tentu saja ia tetap bergeming. Matanya tetap menontoni udara yang hampa. Briana tak pernah mendengar orang lain. Ana mencuri valiumku untuk diberikan kepada Jean. Mereka memang bertemu sekali-sekali, untuk merencanakan sesuatu. Gina terpengaruh. Celine juga percaya. Tapi yang paling tergila-gila dengan Ana adalah Maria. Ia begitu terpesona dengan Ana sehingga mempercayai dan mengikuti semua perkataan Ana. Aku sendiri tak dapat berbuat apa-apa. Maria sedang memandangi siaran tivi saat Ana mendekat. “Nonton apa Maria?” “Sinetron Tersanjung....” Ana menganggukkan kepala. “Kau cantik Maria. Bahkan lebih cantik dari pemeran utama wanita itu.” Maria tertarik. “Begitukah?” “Tentu kau bisa menjadi seorang aktris terkenal dengan kecantikanmu.” “Aku tidak yakin.” Ujarnya pesimis.

“Kenapa tidak? Kau hanya perlu satu hal.” Maria memandangi mata Ana dengan serius. “Apa itu Juliet?” tanyanya bersemangat. “Sst, aku Ana.” “A...ana? kau punya nama lain?” “Jangan sentuh lagi obat-obat itu. Mereka yang membuatmu tidak mampu berpikir, sehingga otakmu menjadi tumpul seperti anak dengan retardasi mental. Sembunyikan di bawah lidahmu.....lalu, buang saat tak ada yang melihat.” “Aku akan menjadi artis?” “Ya Maria, setelah kepintaranmu kembali, larilah dari sini. Kabur jauh-jauh! Banyak pencari bakat yang berkeliaran menunggu kau bebas dari sini. Jangan mau berkarat disini.” Mata Maria bersinar-sinar. “Apa betul kau takut dengan tangga?” “Ngg...se sedikit. Sekarang sudah tidak lagi.” Jawabnya senang. “Itu bagus Maria! Bagus! Itu akan mempermudahmu keluar dari sini. Asalkan, jangan kau sentuh lagi obat-obatan itu. Mengerti?” Maria mengangguk mantap. Ia merangkul leher Ana, dan mendekap penuh sayang. Ia merasa Ana telah menyelamatkan semangatnya yang telah lama mati di rumah sakit ini. Terkubur janji-janji sembuh dari dokter yang lupa.

Malam itu....aku melayang. Terbang keluar dari tubuhku, merambat seperti akar ubi jalar menuju jendela yang terbuka lebar dan keluar dari sana. Jiwaku menjadi seringan kapas. Ia terbang menuju angkasa, berjuta-juta kilometer dari bumi. Tak ada beban, tak ada batas. Semuanya memiliki ruang yang begitu besar. Tidak ada yang berdesak-desakan, berhimpitan dan saling membunuh untuk bisa bernafas. Aku dan bintang-bintang. Aku dan semua benda langit yang terlihat memikat dari bawah sana. Padahal sebenarnya mereka cuma batu-batu biasa. Ada yang berbentuk payung, kelinci, kurakura, dan ada juga yang manis seperti batu berlian. Aku melayang-layang. Terpesona.

Kemudian sebuah meteor melintas di depanku dengan kecepatan yang luar biasa. Seperti pesawat jet mahkluk luar angkasa. Tiba-tiba saja semua bertubrukan. Banyak yang terhempas dan ditelan kegelapan. Langit menjadi begitu tinggi dan menyeramkan dengan ukurannya. Aku tersesat! Dengan kaki yang memberat, aku berlari di ruangan hampa udara ini. Berlari semakin kencang dan terus bertambah kencang. Peluhku berjatuhan. Kakiku bergerak semakin tak terkendali. Wajah asli langit dalam jarak dekat, begitu menyeramkan. Setelah itu tak ada satupun yang terlihat menawan. Semua menakutkan. Bintang-bintang di langit yang gelap gulita terlihat seperti buih di hamparan lautan malam hari. Pemandangan yang menyengsarakan penglihatan. Aku sengsara dan semakin tersesat. Planet-planet itu membesar dan ingin menelanku. Tapi aku terus terbang semakin tinggi. Semakin tinggi, hingga menjauhi tata surya. Planet-planet terlihat seperti kelereng. Bintang-bintang tak ubah pasir yang berserakan di tangan para raksasa. Udara kian menyusut dan kehampaanpun mencekik. Tinggi.....tinggi. Disini semua suara menyusut. Tak ada angin, tak ada warna, tak ada rasa. Mereka mengepung. Tak ada tekanan udara, tekanan angin, suhu, temperatur. Semua lenyap. Hanya sunyi. Kesunyian dahsyat yang mampu membunuhku. Mereka mengepung dan semakin membelit. Mata, telinga, hidung, otak, paru-paru, bibirku pahit. Sakit. Tenggorokanku seakan hendak pecah. Tak ada penanda waktu disini. Tak ada jarum jam, detik-detik, bunyi lonceng, kokok ayam, matahari, mati-hidupnya lampulampu teras, lampu taman. Waktu telah berhenti. Berhenti berputar bersama dengan sekutu-sekutunya. Tak ada momen. Tak ada apa-apa. Tubuhku ditelan. Mereka seperti pasir hisap, menggelembung di setiap senti pori-pori. Aku tak bernafas, jantungku berhenti memompa, airmataku membeku, dan darahku berubah menjadi formalin. Tapi aku tak bisa mati. Mereka masih membawaku ke ketinggian yang lebih menyeramkan lagi.

Ada

banyak

pola-pola

yang

absurd.

Menyeringai,

mentertawakan,

memperkosa akal sehatku. Kalau boleh kuidentifikasi, mereka harusnya adalah setansetan yang kabur dari neraka. Karena tak ada lagi yang lebih mengerikan dari mereka. Salah satu dari mereka mengirim sebuah—atau tepatnya sedikit pusaran angin yang kemudian bergerak menjadi raksasa. Ia datang menyeruak dari kedalaman tak terhitung. Raksasa! Ia mulai berputar, dari pelan hingga lebih cepat dari kilat. Dari nol hingga tak terhitung. Putarannya makin menghipnotis dalam ketersesatanku. Akhirnya ia menyedotku. Dengan sekali tarik aku terhempas ke dalam lubang hitam yang amat dalam. Seperti bermain di dasar gelombang tsunami. Segalanya tak tersedia, kecuali ketakutan. Putaran itu terus membelenggu. Dan akhirnya aku sampai ke dasar paling hitam dari seluruh warna hitam yang pernah hadir di jagat raya. Kemudian aku dilempar keluar dengan kencang. Cepat. Seperti kecepatan kilat. Plasss!! Aku terhempas. Di atas kasur rumah sakit jiwa, Autumn Room. Mataku terbuka. Aku melihat suster Agi di kursi samping jendela. Tidur dalam duduknya. Tapi semua terlanjur menjadi mati. Dan satu-satunya yang berbunyi hanyalah suara jantungku. Berdentum keras dan bisa kudengar dengan amat jelas. Mereka seolah hendak meloncat dari keterkejutanku. Keringat berhamburan seperti tanggul yang bobol. Terbangunlah aku, dari mimpi yang sakit. Satu memori utuh menyembul ke alam nyata, dan dihadirkan seperti layar bioskop twenty one. Aku penonton yang duduk di bangku paling depan.

Sebuah kerinduan menyelusup di sela-sela paru-paru, membuat setiap tarikan nafas terasa sakit, ketika bayangan wajahnya melesat secepat meteor dan terhempas di jantungku. Wajah lembut Haidar terasa hangat karena dekatnya.... Sentuhan bibirnya di ujung telingaku yang dingin.

Ada sebuah getar rindu menyelusup nakal, menjadi jahat dan licik. Aku mengingatnya. Ia memelukku. Wajahku belepotan airmata dan ingus yang sudah bercampur dengan keringat. Aku amat merindukannya. Dia satu-satunya kebahagiaan yang pernah kumiliki. Dialah satu-satunya manusia yang mengakui keberadaanku di muka bumi. Dialah yang menepati janjinya untuk selalu menjagaku. Mengajakku bermain saat keadaan rumah tengah kacau, saat ibu dan suaminya berkejar-kejaran dengan gunting di dalam rumah, atau setiap kali aku berjongkok di pintu rumah dan tak mampu menahan pipis yang keluar begitu saja dari tubuhku, dia yang mengangkatku menuju sumur penyelamatku dan membersihkan tubuhku. Haidar......(Aku sesenggukan) Diakah pahlawan yang kucari selama ini? Tapi kenapa sulit sekali ia untuk kuraih? Sedetik kemudian pandanganku mengabur, dan kuseka dengan punggung tangan. Terlihatlah dengan jelas memori yang lain. Akar sakit hatiku. Laki-laki keparat itu tengah berada di antara kerumunan manusiamanusia bau pesta. Dia begitu jelas. Mengucapkan kalimat yang bisa saja membuatku mati berdiri. “Kau membuka bajumu sendiri! Kau Jalang seperti ibumu!” Haah.... Dadaku. Kuremas dengan sisa kekuatan yang ada. Aku menangis, melunglai. Seluruh kekuatan seperti dicuri dariku. Entah siapa, entah kenapa. “Suster A..Agi.......” desisku. Ia tersentak dari tidur ayamnya. Wanita itu dengan cepat mendekat ke arah ranjang. “Astaga...siapa kamu?” tanyanya. Aku menangis dan menggigit bibir. “Kumohon, jangan bertanya begitu. Aku Juliet....” Ia menyentuh dahiku. Dengan cepat ia mengambil handuk lalu menyeka seluruh tubuh dan wajahku yang bermandikan keringat. Basah kuyup. Seolah aku habis berhujan-hujanan di luar. “Kau kembali sayang...” katanya pelan. Memandang penuh kasihan padaku.

“Aku...aku kenapa, suster?” Airmata turun semakin deras. “Kepalaku sakit, aku tak ingat apa yang terjadi.” Ingin kutelan lidahku sendiri dan biarlah menjadi bisu agar aku tak bisa bertanya, untuk mengetahui sesuatu yang sia-sia. Ia mengelus rambutku. Mengipas-ngipas wajahku dengan koran. Bibirnya bergetar. “Kasihan kau Juliet....” “Kenapa aku merasa begitu asing? Kemana saja aku selama ini?” Airmata suster Agi jatuh satu. “Kau harus bersabar sayang, jangan pernah menyerah. Jangan menyerah, hingga membuat mereka dengan leluasa mencuri hidupmu.” Aku mengerti. Lompatan-lompatan itu. Terjadi lagi. “Kenapa kau masih disini? Apa ini masih jam jaga?” Ia menggeleng, “tidak, ini sudah tengah malam. Aku hanya tak tega melihat kau sendiri saat terbangun dari mimpi burukmu. Sepertinya seseorang yang baru mengalami guncangan sepertimu butuh waktu untuk pulih. Ya, mungkin kamu akan begini untuk beberapa saat.” “Begini? Bagaimana?” “Mimpi buruk, sayang. Tapi jangan takut, semuanya baik-baik aja.” Tertatih aku bangun dan memeluknya. “Sekarang tanggal berapa?” Ia tersenyum, suaranya lebih tegar. “Ini sudah masuk bulan Juli.”

-HARI semakin tak sabarAna menjadi sulit sekali terpisah dari tubuhku. Menurut dokter Amina, ia akan menjadi kepribadian tunggal bila tidak berbuat sesuatu. Jelas aku tidak menginginkan hal itu terjadi. Karena bila Ana menguasai kepribadian yang lain, dan mungkin ia akan menjadi dominan, maka habislah aku. Tamatlah riwayatku karena diculik mahkluk dalam diriku sendiri. Tidak ada Juliet, tidak ada ingatanku tentang Haidar. Dan yang paling menyeramkan, aku jatuh cinta pada laki-laki itu. Amit-amit! Sumpah, aku tidak akan hidup meskipun hanya sekali, bila harus menyukai orang itu.

Dokter Amina menjelaskan padaku saat terapi minggu lalu. “Kau harus mulai teratur minum obatmu. Sejauh ini, tidak ada reaksi yang signifikan terhadap obat. Itu artinya, kau harus lebih pandai bekerjasama. Demi kebaikanmu juga. Jika tidak, percuma ratusan terapi yang akan berjalan.” Jelasnya. Aku mengiyakan, dan berjanji untuk lebih menurut. Semalam kutemukan tulisannya lagi. Dalam tulisan itu, ia berkata akan membunuh laki-laki itu dengan bantuan Jean—entah siapa lagi dia—dan bila tidak berhasil ia akan bunuh diri. Bunuh diri. Sedangkan Ana tak pernah punya tubuh. [Kematiannya tidak lama lagi. Tunggu sampai Jean menemukan waktu yang tepat. Jelas ia harus mati! Aku sudah sesak menyimpan segala-galanya di dada.] [Tapi apa dadaku akan lega, bila ia mati?] [Aku akan bunuh diri bila tidak juga] Begitu tulisannya. Hari ini badanku terasa lebih ringan. Kehilangan beberapa hari ternyata tidak terlalu buruk. Aku membereskan kamar dan berusaha untuk tidak terlalu membebani diri dengan pikiran-pikiran negatif. Kata dokter Amina, aku harus menghindari diri dari energi negatif untuk beberapa waktu ini agar perpecahanku tidak berkembang lebih jauh. Walau menurutku sama saja, karena kulihat jurnal Ana semakin penuh terisi. Aku mengangkat plastik sampah di kamar yang sudah setengah penuh, dan membuangnya di luar. Saat melintasi pos jaga, aku menangkap bayangan seseorang yang pernah kukenal. Sam! Aku mempercepat langkah sambil menutup muka. “Juliet!” Oh, kenapa menyulitkan sekali? Kubalikkan badan dengan segan. “Aku ingin bicara.” Teriaknya. “Aku tidak ada waktu Sam.” Balasku dan kembali berjalan kembali ke dalam. Parkiran dipenuhi mobil dan beberapa kendaraan beroda dua. Ada juga taksi.

Dari kejauhan kulihat sebuah sedan hitam mengkilap meluncur dan berhenti tepat di pintu gerbang. Seorang gadis sebayaku turun dengan langkah tergesa dan wajah yang memasang senyum lebar. Lenganku ditarik dari belakang. “Kau harus kerja kan?” tanyaku. Sam mengedarkan pandangan. “sebentar saja.” Akhirnya aku mengalah. Kami berbicara sambil berdiri di dekat posnya. “Aku berbicara dengan keluargaku.” Ia memulai. Aku mengernyitkan alis. “Bicara apa Sam?” “Tentangmu,” “Apa maksudmu, bicara tentang aku?” Ia terdiam. Memilih kata-kata. “Ayolah Sam jangan membuatku frustasi karena menunggu.” “Aku ingin menikahimu Jul,” Mataku membelalak. “A....apa...?” Sam menjadi bersemangat melihat ketidakpercayaanku. “Orangtuaku tidak keberatan. Mereka malah ingin melihatmu. Mungkin setelah ini, aku akan berhenti, dan mencari pekerjaan lain. Aku ingin berkebun. Ibu punya warisan kebun teh yang cukup bagus.” Jelasnya berapi-api. Aku masih kaget. “Ayahku awalnya agak kaget, ketika tahu kau pasien disini.” Ujarnya hatihati. “Bu...kan itu maksudku,” Rasa pusing tiba-tiba saja membuat pandanganku sedikit kabur. “Tapi akhirnya mereka mau menerima.” Dengan bangga ia tersenyum. “Aku tidak peduli dengan orangtuamu Sam,” potongku datar. Ia terperangah. “Kau belum tanya, apa aku bersedia atau tidak.” Ia hendak membuka mulut dan langsung kupotong. “Aku tidak mau Sam. Aku tidak tertarik.” “Tapi....aku mencintaimu.” “Kenapa?” aku bertanya. Ia diam. Menatap mataku, seolah berusaha menembus sebuah tembok besar yang menghalangi pandangannya sampai ke jiwaku..

“Seks?” serangku. “Juliet....” “Kau ingin kita melakukannya lagi?” Ia menggeleng. “Kenapa kau berpikir seperti itu?” “Kalau kau menginginkannya lagi, kita bisa sekali lagi melakukannya. Tapi tidak atas nama sebuah perkawinan, apalagi cinta. Aku tidak mencintaimu.” Ia meratapiku. Senapan di bahunya ikut tergoyang-goyang. Sekali lagi, lakilaki ini berubah menjadi lemah tak bernyawa. Kemana saja pendidikan militermu yang kejam itu hai lelaki? Tak cukup kuat membuatmu sanggup menghadapi cinta? Sebaiknya, jangan pernah mencintaiku. “Maafkan aku Sam. Kau salah paham.” Aku meninggalkannya termangu di halaman luas, samping pos jaganya. Membatu di tanah itu kemudian menyumpahinya. Masih dengan perasaan bingung aku melangkah lebih cepat masuk ke gedung. Kantor rumah sakit terlihat sibuk. Dering telepon, tumpukan file, lalu lalang para perawat, dan beberapa orang yang sedang bergerombol menunggu sesuatu. Seorang pasien di dorong di atas tempat tidur. Wajahnya tak kelihatan. Wanita disampingnya menangis histeris. Semua tampak seperti lalu lintas yang macet. Sam..... Apa aku melukai perasaannya? Aku berdiri di tengah anak tangga dan melongok keluar jendela. Mencari-cari. Ia tidak kelihatan. Hhhh...kuputar badan dan berlari ke atas. Brakkk! Tubuhku menabrak seorang gadis yang juga berlari kecil hendak naik. Bungkusan di tangannya jatuh menggelinding. Ia berteriak mengaduh. “Hei! For God sake...Pake matanya dong! Meleng jangan di sini. Di hutan sana!” Ia mengumpat. Aku meminta maaf dan cepat-cepat berlalu dari hadapannya. Ia tampak sangat kesal. Aku menoleh ke bawah. Ia masih memungut bungkusan yang dipegangnya. Menggerutu kecil kemudian membenahi bungkusan itu. Ternyata Itu perempuan yang tadi kulihat turun dari mobil sedan hitam.

Aku sudah tidak peduli. Cukup rasa tidak enak ini berkumpul. Karena menabraknya tadi, dan ditambah soal Sam. Di ruang makan aku bertemu Maria. Ketika aku melintasi mejanya, ia melihat ke arahku dengan pandangan mengejar kemudian berbisik memanggil, “Ana...!” Tersentak, aku menoleh ke arahnya. “Aku sudah tidak menelannya lagi, Ana. Kubuang semua obat itu.” Ia tersenyum bangga. Matanya berbinar-binar. Sempat kutangkap kecantikan dalam wajah polosnya. Membuang? Aku kembali menuju meja makan dan menghabiskan sarapanku yang terlambat beberapa jam. Tadi ia menyebut Ana. Apa Ana mencuci otak Maria? “Juliet!” seseorang berteriak. Aku menoleh dan mendapati suster Agi berjalan mendekatiku “Ya suster?” “Kau lupa ya ada jadwal terapi dengan dokter Bre pagi ini?” Aku menepuk jidat. “Tidak apa-apa, ia masih menunggumu. Habiskan sarapanmu, kemudian langsung menuju ruangannya ya. Aku menunggumu disana.” Setelah menjelaskan, iapun berlalu. Selesai makan, aku langsung berlari ke lantai tiga, masuk ruangan dokter Bre. Sepasang suara perempuan dan laki-laki tengah menjadi sebuah irama. Satu tawa. Tawa yang besar dan panjang. Tawa yang serasi dan cukup memberikan sebuah irama kehangatan. “Hai Juliet. Sudah datang, kemana saja kamu. Saya kira kamu tidak akan datang terapi.” “Maaf. Saya terlambat.” Jawabku singkat. “Kenalkan, ini putri saya. Baru datang dari London. Mahasiswi hebat.....” Dokter Bre mengacak rambut anaknya. Aku tidak menjabat tangannya. Dia juga.

Ada getaran untuk mengulur tangan terlebih dahulu, tapi rasanya aku tidak begitu tertarik. Kucoba tersenyum. Balasannya adalah sebuah garis diwajahnya terlukis. Garis sinis itu mengurat dalam lekuk satu sisi bibirnya yang perlahan naik, begitu mengenali wajahku. “Oh, dia yang nabrak Susi di tangga. Rupanya pasien.” Dokter Bre menepuk pundaknya. “Maklum saja....” bisiknya pelan. Tak terlalu berusaha agar tidak terdengar olehku. Mereka terkikik. Perempuan itu mencium ayahnya kemudian keluar. Ia menyenggol sedikit ujung bajuku dengan lengannya. Pandangan kami bertubrukan. “Sick...” desisnya. Apa setiap orang yang menabraknya tak sengaja di tangga, adalah musuh besar baginya? Aku menangkap sebuah tatapan remeh dari dokter Bre. Bibirnya melengkung ke bawah saat menyuruhku duduk di sofanya. Kemudian ia mulai memelototi catatan. Mencoret-coret tanpa menghiraukan aku. Dia yang menyetrumku berkali-kali. Penyiksaan di ruang observasi I. Pyarr! Pyarr! Pecahan lampu neon berhamburan ke mataku. Aku mengingatnya saat ia datang dan meraba kulitku dengan sarung tangan. Takut tertular penyakit gila. Dokter...aku tidak tertarik untuk berbagi denganmu di ruangan ini. Rahasiaku akan menjadi rahasiaku. Bagianmu adalah mengoreknya, tapi bukan jatahku untuk membeberkannya. Kecuali....Ana mau berbohong untukku. Kau harus terlebih dahulu turun dari kursimu dan merasakan apa sesungguhnya yang sakit di dalam sini. Betapa kerasnya kami, aku—Ana mencoba melukai tubuh bagian luar kami, hanya untuk membunuh sesuatu yang ada di dalamnya. Dok, tak kuizinkan kita berbagi disini. Kita bisa berbagi yang lain. Tapi tidak di ruanganmu. Melainkan di ruanganku. Bersiaplah merengek untuk mendapatkannya dengan tampangmu yang lucu. Kau.

Ayah. Dokter. Laki-laki. Ego, seks, kekuasaan. Laxative, penenang, valium, anti depressan. Adalah satu kroni. Kalian penipu! Aku bangkit dari duduk dan menata langkah. Berjalan perlahan, berusaha tak ada bagian dari bajuku yang tertular gerakan. Setapak demi setapak ubin ini kulangkahi dengan kaki yang lurus dan terarah, menuju mejanya yang besar menguasai. Benda pembatas antara orang gila dan orang waras. Kepalanya masih tertunduk, mengulum catatan—file-file. “Dokter...”Aku berdesis mirip ular yang sakau. Hah? Kepalanya menengadah. Mulutnya menganga ketika melihat dua kancing bajuku yang terbuka, saat menunduk di mejanya. “Permen. Silahkan....” Aku menyodorkan satu buah gula-gula. Ia semakin terkaget-kaget. “Apa-apaan ini?” “Saya rasa, saya tidak bisa terapi hari ini. Sedang tidak enak badan, dokter...” Dan aku berlalu dari hadapannya. Keluar dari ruangannya yang bau hipokrit. Menuruni tangga, dan menjelajahi hari di taman. Bermain serta menari dengan alangalang dan beberapa ekor burung gereja.

AAARRGGHHH!!! Frustasi datang tak terbendung. Menyerbu dinding-dinding otak dan menggilas semua semangat serta energi positif yang mulai tertata demi cita-cita. Entah kenapa aku harus memiliki cita-cita. Jantungku membara dalam tubuhku yang terbakar. Bila mau ambil tubuhku, ambil saja!! Aku tak peduli bila harus mati sekalipun! [Juliet.....] [Kita harus bersanding!] “Kenapa??” [Karena dendam sudah membatu. Dan tidak ada cara untuk lepas lagi]

“Ambil saja tubuhku lalu terjun dari gedung teratas pencakar langit. Bunuhlah aku.” Aku menjadi gila. Malam ini dokter Bre mengetuk pintuku. Bahkan malam belum terlalu larut. Ia datang dan membalas permen tadi siang. Benar! Laki-laki itu datang dengan air liur yang sudah menggantung. Mengendap-endap, dan mengendus-endus. Memohon-mohon padaku. Kuberikan semua yang dimintanya. Malam ini aku bercinta dengan psikiaterku. Tapi aku tidak menjadi gila karenanya. Aku tidak menjadi gila karena menuruti permintaan dokter Bre. Karena bagiku, bercinta dengannya adalah sebuah kemenangan besar, dalam sebuah peperangan virtual yang dikobarkan dia dan anaknya di depan hidungku. Susi, Susi....ayahmu laksana bedil tua yang tinggal menunggu ditarik picunya lewat sebutir permen, dan diapun meledak-ledak tak terkendali. Yang membuatku gila.... seperginya dokter Bre dengan baju yang masih berantakan, kutemukan sampah yang berserakan di bawah tempat tidurku. Aku menemukan begitu banyak benda rongsokan yang tidak pernah kukenal. Semua itu benda yang berbunyi. Entah darimana asalnya, tapi yang jelas hanya ada satu tertuduh. “Ana kau membuatku gila!” Dua belas kotak musik. Berbagai ukuran. Malah ada yang sudah hampir berkarat. Tiga buah weker, satu jam dinding, radio, kerincingan Vihara, ada juga pentungan kayu milik penjaga malam. [Aku butuh suara-suara....] [Agar aku menjadi tuli dengan suaranya] “Aku membencimu!” [Tidak, kau lebih membencinya!] [Kau mungkin bisa memperbaiki sesuatu yang rusak, Juliet...] [Tapi kau tidak akan bisa menghidupkan yang sudah mati] Nafasku memburu.

“Aku yang akan membunuh laki-laki itu, dan kau tidak punya kesempatan merasakan dendam itu terbalaskan. Jangan harap aku akan membunuhnya untukmu, Ana. Tidak ada kita. Yang ada hanya aku.” [Atau aku..] Malam menjadi sepucat kafan.

-HARI-hari yang liarDendam sudah membatu. Aku terbata-bata sampai disini. Pagi-pagi buta aku mendengar teriakan dari kamar Maria. Suaranya melengking tinggi memanggil-manggil perawat. Tapi tak ada satupun yang datang memenuhi teriakan pilu itu. Kurasa ini baru akan jam pergantian piket. Biasanya para perawat mempergunakan sedikit waktu ini untuk tidur-tiduran. Kututup wajah dengan bantal. Kejadian semalam masih menyisakan pening. Rasanya seperti malam belum berakhir. Suara dan racauan itu. Maria kumat. Itu pikirku. Ada serangga di kamarnya, atau bohlam di kamarnya putus dan kegelapan membuatnya gila. Ia pasti lupa meminum obatnya. Teriakan itu semakin kencang. Beberapa suara juga terdengar berbisik-bisik di luar. Pasien lain ikut terbangun dan menontoninya. Maria adalah tontonan paling menarik dibandingkan yang lain. Aku baru hendak menarik gagang pintu ketika wajah itu muncul dan menabrak tubuhku. Kami terlempar di lantai kamarku dan sama-sama menjerit. Maria terdiam sejenak dan menangis tersedu-sedu. “Ana....tolong aku!” Aku menajamkan pendengaran. Apa yang sudah direcoki Ana ke pikiran gadis ini? Pasti ia telah mencuci otak Maria habis-habisan. Perempuan itu tidak cukup puas dengan satu ambisi saja. Ia benar-benar gila. “Apa yang terjadi Maria?” tanyaku sambil mengurut pinggang.

“Mereka datang lagi!! Kali ini lebih banyak. Di bawah jendela, bantal, sprei, gorden. Dan...di bawah rokku!” Ia menggeliat di lantai sampai seperti kesetanan. Mengusir-usir sesuatu dengan panik sambil menggaruk-garuk wajahnya sendiri. “Kau tak minum obatmu?” Kedua tangannya kupegang. “Seperti katamu Ana, aku ingin bebas. Aku harus hadapi kejujuran untuk mendapatkan apa yang aku mau. Kau benar, aku tidak butuh obat itu.” Apa? Halo....? aku tidak salah dengar? Maria adalah pasien paranoid yang mempunyai phobia yang parah. Satu-satunya cara menipu otaknya adalah dengan semua suntikan dan obat-obatan. Tapi, Ana menyuruhnya berhenti? Ana?? Kapan? Bless, semua lampu padam begitu sampai pukul enam pagi—kecuali kamar Maria dan kamar-kamar tertentu. Dan ruangan ini menjadi gelap gulita. Tak satupun cahaya masuk. Karena gorden kututup rapat. Cepat-cepat aku berdiri dan mencari tombol lampu duduk. Ini berbahaya bagi Maria. Lampu duduk itu menyala tak cukup terang. Terlambat. Mulutnya terkancing dan nafasnya menderu seperti meriam yang baru saja memuntahkan ratusan peluru. Gerakannya menjadi beringas dalam bisunya. Ia menggaruk lantai dan akhirnya berlari keluar kamarku dengan terpincang-pincang. Wajahnya pucat seperti mayat. “Maria!” teriakku. Ia berlari dengan cepat menuruni tangga. Entah kemana tujuannya, mungkin hanya mencari udara untuk membuang udara pahit yang baru saja tercium dan dijadikan nafas olehnya. “Maria!!” sentakku sekali lagi dan kemudian dia tersadar. Ia berada di tangga. Seketika itu juga kakinya berhenti berlari. Terpaku, bergetar tepat di tengahtengah. Delapan untuk naik, dan delapan untuk sampai ke bawah. Ia berada di anak tangga ke sembilan pada tujuhbelas anak tangga itu. “Ana, tolong aku....” rintihnya menusuk ulu hatiku yang asam. Pandangannya menjadi kaku. Tubuhnya memutih. Keringat dingin itu mengucur dari dahi menuju dagunya. Ia gemetaran tanpa suara. Telinganya hampir sobek oleh genggamannya. Maria menjadi seperti seekor tikus di perangkap manusia. Atau burung dara yang tertembak peluru karet pemburu liar.

Tapi lebih persisnya, Maria kini seorang perempuan yang tengah menghadapi pahitnya menghadapi sebuah pilihan. Naik ia tak mampu, turun ia ketakutan. Tetapi berdiam diri akan membunuhnya. Aku terdiam dan merasa sangat cemas. Kepalaku meledak sebentar lagi. Pisau takdir sudah mengacung ke permukaan! Setan-setan sudah hadir dipagi hari. Mereka berkumpul di ruangan ini dan ikut menyaksikan Maria yang tengah berhadapan dengan abstraksi keputusasaan saat menyadari harapannya lumpuh tak bersayap. Mereka nyengir kuda. Mereka senang! [Putuskan sendiri takdirmu Maria. Jangan pernah mau menjadi korban] [Karena itu membuat mereka senang dan kaya!] [Pergi dari sini sekarang...] Aku mendengar mulutku berbicara. Sederetan kata-kata yang tidak pernah kumiliki. Kata-kata yang seharusnya tidak boleh keluar. Tapi aku sendiri sakit, Maria. Aku tak sanggup membungkam mulutku. “A....na,” Maria tersenyum tipis. Setipis kabut di luar sana dalam wajah yang penuh peluh. Bibirku bergetar mendengar ia memanggilku begitu. Aku bukan Ana! Bukan....! “Aku pernah menjadi wanita yang amat bahagia. Saat kusadari aku hamil dan kekasihku begitu gembira.....tapi keluargaku, Ayah Ibuku tidak. Lalu a...ku......setelah aborsiku, dan Ian.....mati di dalam pesawat tempurnya. Ian....” ia tersedak ludahnya sendiri. Pandangan matanya membara penuh emosi yang siap meluap. “Aku tak lagi berperasaan.....Aku tidak tahu kapan aku harus sedih dan kenapa aku harus marah atau kapan harus tertawa-tawa. Tersenyum sosial padamu! Tidak juga menjadi keharusanku. Perasaanku habis terkikis kekejaman yang bahkan tak pernah sanggup kupikul. Tapi toh Tuhan berikan!” Tiba-tiba ia seperti tercekat sesuatu. Ia berhenti saat kakinya bergerak spontan karena suaranya yang keras. Ujung jemarinya mungkin mengenai anak tangga itu. Ingatan itupun rapuh dan kembali membaur pada kenyataan. Sungguh aku tak sanggup melihatnya. Saat matanya terpejam, dan tubuhnya melayang. Memelorotkan nasibnya yang terkatung-katung di tengah tangga menuju anak tangga terakhir dan dilanjutkan ke

susunan tujuhbelas anak tangga lainnya. Karena tidak mungkin gravitasi menyedotnya ke atas, lalu menidurkannya dengan manis. Ia berakhir di sana dengan tubuh tertelungkup tak bergerak. Aku menggigit bibirku sekuat tenaga. Berusaha menghentikan getaran disana. Lalu menangis sejadi-jadinya. Bersimpuh di ujung tangga. Berkabung dalam pekatnya malam yang belum ingin berakhir dengan kebahagiaan. Setan-setan itu membahana dengan tawanya yang bau neraka. Aku memeluk tiang itu sampai hilang semua akal sehat yang bisa kugunakan untuk menenangkan diri sendiri. Airmataku meleleh dan hatiku terasa begitu perih. [Apa yang kau lakukan dengan perempuan itu?] [Jean?] [Aku membuat Juliet belajar untuk berpikir dua kali bila mau melawan aku] [Bukan, maksudku apa yang kau lakukan dengan Maria?] Aku tidak mendengar mereka. Hatiku terlalu gaduh. Andai aku bisa membangunkannya. Memberi tahu bahwa Ana bukan perempuan baik-baik. Dan gadis yang dia ajak bicara bernama Juliet.

-DOKTER Amina dan BreMereka membopongku ke ruang terapi setelah sebelumnya menyuntikkan penenang di vena yang sudah semakin bengkak tertusuk jarum berulang-ulang. Menjadi kaku dan tak pernah lagi sakit. Mataku terbuka perlahan dan menyaksikan mereka berdiskusi. Mereka mengharapkan kepolosanku hadir kemudian menjadi tuli dan bodoh dalam kesaksianku pada pembicaraan mereka. Tapi aku hanya si kepribadian ganda. Aku bukan idiot! “Juliet? Kita akan mengadakan sedikit tes hari ini.” Dokter Amina menyodorkan satu lembar kertas putih dan sebuah pensil kayu. Menggambar lagi? “Seperti biasa Juliet. Kau masih ingat aturannya. Gambarlah manusia utuh di dalamnya.”

Dokter Bre berdiri di belakang meja dan melipat tangannya sambil menyimak semua gerakanku dengan penuh perhatian. Aku beringsut bangun dan duduk tegak dengan kepala yang masih pusing. Hidungku masih merah dan terasa mampet. “Dokter Amina....ini aku, Juliet.” “Iya, aku tahu sayang.” “Aku tidak pernah bisa menggambar Manusia.9” Mereka saling berpandangan. “Tapi kau pernah mencobanya dan berhasil.” “Itu bukan aku. Itu Ana!” “Kau kenal Ana?” tanya dokter Bre. “Tentu saja aku tahu. Kalian yang memperkenalkan dia padaku. Sekarang kami cukup akrab, dan kurasa sebentar lagi ia akan datang dan membantuku menggambar manusia di situ.” Tunjukku menggunakan bibir bawah. “Sekarang kamu jadi lebih sinis Juliet,” dokter Amina menilai. Mereka berdua kembali berbisik-bisik. She is absolutely had Personality pattern disturbance. Suara bariton dokter Bre mendominasi. Perilakunya telah terpengaruh sedikit demi sedikit. Kita jangan lengah. Dokter Amina, saya menemukan sedikit penyimpangan lain dalam perilaku Juliet. Kemudian ia tersentak sendiri, seperti keceplosan. Dokter Amina mengernyit. Maksud saya, saya baru saja..... “Kenapa dokter Bre? Mau bilang anda menemukan sebuah analisa baru setelah tidur denganku semalam? Mengikutkan aku dalam seks bebas? Atau kau mau bilang aku pelacur?” Serangku dari tempat duduk.”Turunlah dari situ dokter, dan berhentilah berpura-pura menjadi orang baik karena aku kebagian peran jahat. Tidak capek anda menjadi penilai? Sabarkah anda untuk menunggu dinilai? Berapa biaya pendidikan tinggimu dokter?” “Juliet, Berhentilah menjadi hiperbolis!” Bentak dokter Amina. Mataku memanas. Airmata sudah tergenang lagi saat stimulus bayangan Maria terkirim ke otakku. Tubuh Maria yang tergelincir dari tangga dan tersungkur dengan 9

dalam ilmu psikologi klinis, ketidakmampuan pasien dalam menggambar manusia bisa menjadi salah satu simptom klinis, yang berkaitan dengan kepribadiannya sendiri.

hidung penuh darah. Ia dibopong dan diselimuti kantong mayat. Dipulangkan kepada keluarganya! Dipulangkan dalam keadaan mati. Konon ia mati akibat ulahku. Ulah sebagian dari diriku. “Apa yang tidak hiperbolis di dunia ini dokter? Semua manusia berusaha membedakan dirinya dengan orang lain karena selalu merasa benar. Dan dengan kebenaran yang diakuinya, mereka seolah berhak menuding kesalahan oranglain.” “Kau ngelantur. Duduk kembali dengan tenang Juliet.” “Saya sedang duduk dokter. Kenapa? Anda kaget? Atau tidak terima dengan kenyataan bahwa partner anda semalam baru saja tidur denganku.” Dokter Amina menjadi geram. Kemudian bergegas mengangkat gagang telpon, mungkin memanggil penjaga untuk datang meringkusku ke ruang observasi I agar mulutku terbungkam. Menyetrumku lagi. “Apa yang bisa kalian lakukan hanya duduk dari sana dan mulai menganalisa hidupku? Tahukah kalian apa yang sebenarnya terjadi? Bahwa hari ini aku merasa amat buruk, karena membiarkan Maria jatuh terguling lalu mati dalam ketakutannya.” Nafasku terengah-engah. Aku menangis dengan isakan yang keras. Seperti seorang gadis cengeng. “Kenapa tadi aku tidak mengejarnya di tangga kemudian memeluknya dan membawanya ke atas. Menyelamatkan sisa hidupnya yang buruk.” “Aku mungkin tidak tahu bagaimana rasanya menjadi dirinya. Tapi aku mengerti bagaimana rasanya ingin mati karena tidak berdaya. Terhadap rasa takut yang begitu besar. Lebih besar dari dunia yang kumiliki!” “Setrum aku lagi dokter yang terhormat! Aku tidak akan berhenti bicara!” Teriakku. Para penjaga itu datang. Melipat tanganku di belakang, dan membawaku pergi. Aku meronta dalam gendongan mereka. Menendang, menggapai, mencakar, dan sesekali memaki. “Kecoak!! Tai semua!”

Waktu tak hanya merayap, bila berada disini. Tapi mati total. Aku tidak pernah tahu, bagaimana rupa kebahagiaan yang kucari.

Bahkan disaat aku coba membicarakannya, aku menjadi gemetar. Gentar, karena aku tidak yakin, aku masih mencarinya. Aku sudah tidak peduli hidupku akan jadi apa nantinya. Entah bisa sampai atau tidak aku pada pemberhentian yang benar, hanya satu yang pasti, aku ingin menutup telingaku dari obsesi para dokter untuk menyelamatkan hidupku yang sudah terpecah-pecah. Entah, darimana mereka bisa yakin, mereka tahu segala hal tentang minat, dan kebahagiaanku. Tapi mereka selalu mengejarku untuk meraihnya dengan cara yang mereka pilihkan. Aku benar-benar tidak tahu rupa kebahagiaan. Tapi kelak aku akan mengetahuinya. Dan itu bukan jalan dari siapapun, tapi oleh pencarianku sendiri. Toh, aku juga manusia, yang memiliki hak yang sama seperti manusia yang lainnya. Untuk mendapatkan jatah udara segar, untuk bernafas, dan juga berhak menentukan hidup yang akan kujalani. Tinggal mencari, apakah masih ada hidup seperti yang kucari. Aku mencium bau kesunyian dalam impian itu. Aku sadar aku hanya menghibur diri. Bahwa sebenarnya aku bahkan tidak tahu caranya hidup dengan cara yang kumau. Buktinya malam ini aku berakhir lagi di ruang Observasi I. Apa yang bisa aku pedulikan? Aku sudah mencoba berkompromi dengan mereka untuk mejadi pasien yang penurut. Minum obat—terapi—tes-tes, tapi toh aku tetap disiksa. Menjadi pembangkang apalagi, bisa lebih parah akibatnya. Aku bisa dieksekusi mati. Sekarang aku tahu, ruangan ini bukan ruang pengobatan, tetapi sebagai ruang penyiksaan karena aku telah menyinggung perasaan mereka. Rumah sakit ini bukan untuk rehabilitasi jiwa, tapi untuk tempat pembuangan bagi orang-orang macam aku. Macam aku? Ya, yang tidak punya masa depan. Aku hampir mati karena menggigit lidahku sendiri sehingga hampir putus. Bodoh! Mereka lupa menopang gigiku dengan sumpalan sendok kayu saat obat itu bekerja. Seluruh badanku kaku. Mati rasa. Kecuali satu, kutahu darah mengalir terus menerus dari pangkal lidah karena tergigit. “Begoooo!!!! Kasih aku obat merah!” Aku berteriak parau. Hampir saja tidak bicara sempurna karena lidahku memar. Mereka menuangkan alkohol.

Badanku hanya bergidik sedikit, dan sisa airmata luruh di pipi kiri. Aku tidak merasakan sakit. Bahkan perih juga tidak. Mungkin sedikit lagi aku akan jadi psikopat, karena sudah menjadi kebal. Menemani Kristal di samping tempat tidurnya. Diikat berdua berdampingan dalam satu ruangan kemudian bicara dalam bahasa telepati. Jadi apa sajalah! Yang penting aku bisa bunuh bajingan itu. Aku sudah terbiasa belajar kebal dan menjadi bebal sejak kecil. Aku ingat pertama kali ia menyiksa ibu. Wajah ibu dibentur-benturkan ke tembok dan lalu memaki-maki ibu. Wajah ibu berdarah dan bengkak-bengkak sampai mata ibu menjadi besar sebelah dan berwarna biru. Penyebabnya karena ibu sedang datang bulan. Ia tidak suka. Ia tidak pernah suka bila ibu datang bulan. Entah kenapa. Yang membuatku marah, ibu hanya berteriak dan menangis. Kenapa ibu tidak sedikitpun mencoba membalas, atau melarikan diri dari laki-laki itu? Kenapa ia hanya diam, dan membiarkan tubuh dan hatinya terus menerus disakiti? Kenapa ibu tidak pernah peduli, padahal ia tahu laki-laki itu pergi setiap malam bersama pacarnya. Pulang dalam keadaan mabuk, dan selalu berang. Klise. Padahal ia selalu menangis dalam kegelapan saat semua orang tidur. Tapi aku bisa mendengarnya. Bagaimana tidak, itu terjadi hampir setiap malam. Apa? Apa yang menjadi standar hidupnya? Bukankah setiap orang sehat, selalu memiliki standar? Minimal pendidikan strata 1, minimal punya pangkat, minimal kaya raya, dan kesetiaan di rumah tangga tidak menjadi terlalu penting. Ada juga yang memiliki standar hidup berkenaan dengan Tuhan dan filosofi agamanya. Minimal mereka rajin beribadah, menjadi umat yang patuh, maka standar hidupnya telah tercapai. Standar manusia beragam. Tapi tak satupun manusia yang mau hidup menderita. Setidaknya ada satu sisi yang tercapai sebagai standar hidup. Tapi ibu? Ia tidak punya apa-apa. Ia tidak punya harta. Ia tidak punya pendidikan, ia tidak punya kebanggaan dalam rumah tangga, dan agamanya telah kandas sejak lama, mati dalam pelukan doa-doa yang terburai oleh kekecewaan. Ibu hanya memiliki laki-laki yang bahkan tidak mampu menjalani hubungan sosial sebagaimana manusia seharusnya.

Aku melenguh. Kenapa aku tidak menderita amnesia? Atau minimal long term memori lost? Kenangan itu tidak pernah indah. Dan aku benci karena mampu mengingatnya dengan baik. Selalu. Memori itu selalu teraba kembali setiap aku berada di ruangan ini. Padahal, aku tidak terlalu lama kenal ibu. Semasa hidupnya aku juga jarang bicara dengannya. Apakah aku mencintainya? Aku juga tidak tahu. Yang aku tahu, aku membenci laki-laki yang dinikahinya, karena terus menerus menyakitinya. Aku hanya tidak tahan menontoni mereka setiap hari. Sedangkan Ana, dan yang lainnya. Mereka semakin sering muncul, untuk merencanakan sesuatu, menjalani hidupku, melewati hari-hariku tanpa kusadari dan itu membuatku kewalahan. Terlalu banyak lompatan yang kualami. Terlalu banyak perpindahan waktu yang lewat dalam diriku tanpa kusadari. Hidupku seperti dicuri oleh orang lain yang menyamar menjadi aku. Aku miris mengingat jurnal Ana. Merasa ikut tersakiti dan semakin terpengaruh untuk melayani apa maunya. Aku takut, jangan-jangan aku nantinya akan berubah arah. Membunuh laki-laki itu karena rasa kasihanku pada Ana. Padahal itu tidak boleh terjadi. Karena sekalipun tujuan kita sama, tetapi alasan kita berbeda. Sebuah sinar melintas di mataku, dengan jarak hanya beberapa meter. Dengan cepat aku terhipnotis. Memandanginya yang bergerak mengitari ruangan dengan gerakan slow motion. Kupikir kematian telah datang menjemput. Ternyata aku tidak akan mati. Karena badanku kembali kejang-kejang. Layar itu kembali kabur dan memutih. NO SIGNAL.

Akhirnya sampai juga pada hari besar itu. Hari dimana semua dendam akan dimuntahkan bulat-bulat. Tanpa kompromi lagi. Ana membawaku kabur dari ruangan itu. Kami bersama. Keluar dari ruangan ini, keluar dari rumah sakit gila ini.

***

PERSIMPANGAN DION Pada beberapa ratus kilometer pelariannya ia bertemu dengan seorang laki-laki yang pernah menyewa tubuhnya. Ana berlari sekuat tenaga dan berusaha sembunyisembunyi untuk menjauhi laki-laki itu. Ia selalu ketakutan bila bertemu Dion, lakilaki itu. Laki-laki yang dianggap tidak waras karena setelah pertemuan mereka, ia menjadi jatuh cinta pada Ana. Tapi terlambat. Dion sudah mengenalinya sejak tadi. Dion seorang mahasiswa perguruan tinggi ternama. Jagoan organisasi dan menjadi bintang olahraga. Sebelum meniduri Ana, ia biasa pergi ke pelacuran. Lakilaki itu anti berkomitmen terhadap wanita. Tapi itu dulu, sebelum ia bertemu Ana. Pertemuannya dengan Ana membuat ia berhenti ke pelacuran dan mengubahnya menjadi gila. “Anaa....!” Teriakan itu semakin membuat Ana mempercepat langkahnya. Ia berlari tanpa menoleh ke belakang. Malam sudah gelap dalam penglihatan, tapi Ana tidak peduli. Ia hanya terus berlari menjauh. Dion itu masalah besar baginya. Klien yang jatuh cinta sangat merepotkan. Dion ikut berlari. Langkah kaki mereka seirama. “Sial!!” umpatnya sambil menyalakan sebatang rokok kretek. Kakinya lemah, injeksi-injeksi itu membuatnya seperti robot tua. Sulit untuk diatur. Begitu juga nasib si jantung yang dipaksa kerja rodi untuk memompa lebih cepat, mereka serta merta melemah. Larinya semakin pelan. Dion menjejerinya. Ikut memperlambat langkah kaki. Seolah tengah jogging berdua di malam hari. “Ana, berhenti. Gue hanya mau bicara. Bicara Ana, hanya bicara.” Ana tidak menggubris. Ia terus berlari.

Lengan putih itu dicengkeram, dipaksa berhenti. Akhirnya ia mengalah dan bertanya gusar. “Apa sih maumu?” “Gue ingin bersama lo malam ini.” Ujarnya tanpa basa-basi. “Aku sedang off. Sedang tidak kerja. Ada keperluan lain. Maaf, cari orang lain saja.” “Kenapa sih lo bawaanya sinis melulu?” “Karena aku tidak suka, kau suka padaku.” Dion tertawa. “Apa?” “Aku tidak suka, kau suka padaku.” Ulangnya. “Tidak ada yang berhak melarangku untuk suka dengan siapapun.” “Aku tidak berpendidikan tinggi. Aku bukan mahasiswa, aku perempuan bego, miskin dan tidak tertarik untuk berdebat. Cari saja perempuan lain, yang sederajat.” “Lalu apa yang lo lakukan di luar sini, kalau tidak sedang bekerja?” “Aku ingin menemui seseorang, dan akan kubunuh dia.” Dion menghembuskan nafas dengan kasar. “Jangan terlalu show off gitu, lo Ana...” “Apa maksudmu?” “Laki-laki miskin itu kan? Ya ampun Anaku sayang.........Gue udah jelas-jelas jatuh cinta sama lo. Gue ingin lo ikut gue, pergi dari dunia lo dan hidup lebih teratur. Pekerjaan lo ini terlalu beresiko terhadap banyak penyakit, sayang....” Ia memegang kedua pundak Ana. Mata Ana memicing tajam, menusuk gelap dan menembusnya hingga tepat di jantung malam. Ia ingin mendengar laki-laki itu bicara sampai selesai. “Pake mau bunuh orang segala. Laki-laki itu lagi pastinya kan?” Dion tertawa ringan. “Semua orang juga pernah merasakan dikhianati, Ana. Ada ratusan perempuan yang terluka disana—di dunia nyata sana. Mereka tidak pake bunuhbunuhan. Padahal, lihat mereka. Rata-rata mereka perempuan terhormat, memiliki hidup yang normal, berpendidikan, punya segalanya, dan untuk itu kurasa mereka lebih pantas untuk tersinggung.” Ia menghembuskan nafas, lalu melanjutkan kalimatnya. “Sedangkan kamu......” kalimatnya terputus. “Sedangkan kamu apa? Teruskan Dion, mau bilang aku apa?” Ia mencibir tipis. “Sudahlah Ana, ikut saja denganku. Gue cinta sama lo. Lo udah memenuhi seluruh ruang hati gue.” “Seluruh ruang pikiranmu, bukan hatimu.”

Ana berbalik dan kembali berjalan. Hari ini perasaannya sedang sensitif, bahkan lalat mati juga bisa ditangisinya. Dion mengejar sekali lagi dan menghentikan pundak itu. “Apa lagi? Kamu terlalu pengecut untuk bicara yang sebenarnya. Apa lagi?” Dion tersentak. “Jangan paksa gue Ana,” “Kamu yang jangan paksa aku!” “Ana.....” “Sedangkan aku apa?!” Ia membuang rokok di tangannya yang belum habis separuhnya. “PELACUR.” Jawab Dion pada akhirnya. “Bagus.” Ana kembali bergerak melangkah. Menjauhi laki-laki yang sedang dipermainkan egonya sendiri, sehingga terlalu sulit untuk mempersembahkan cinta dengan tulus kepada wanita yang sebenarnya mungkin sangat dia inginkan. “Ana!!” Suara Dion meninggi. “Aku pelacur dan bahkan sama sekali tak tertarik padamu! Pergilah Dion. Kau bukan apa-apa.” Dion terpaku di jalanan yang sepi dan sombong. “Dasar tidak sopan!” Umpat Ana dalam hati sambil berlalu, meninggalkan Dion yang terpaku dalam geram yang tak bisa dihibahkan kepada siapa-siapa. Harga diri mencekik lehernya. Tapi Ana sudah tak lagi menghiraukan dia. Tak juga menghiraukan malam yang berubah menjadi setan, dan mengerikan.. Pendengarannya malam itu membuatnya frustasi. Sekali lagi memaksa airmata agar tetap tenang dan jangan buru-buru keluar, karena ia sudah sangat capek. Mengapa ia harus merasa dikhianati? Tidak. Ia sama sekali tidak merasa dikhianati, tapi ia merasa hidup telah mencuranginya. Skenario hidup tak ingin menulis kisah Ana dengan kekasihnya berakhir bahagia. Sehingga ia membuat lakilaki itu harus memindahkan haluan cintanya. Kekasihnya itu sebenarnya tidak berniat melukai hatinya. Ia hanya memainkan jatah perannya. Haha! Ya! Berpikirlah apa saja Ana. Apa saja yang bisa membuat hatimu tenang dan sabar, sampai kau temukan dia dan remukkan tulangnya. Matanya berkilat, langkahnya semakin lurus dan tidak tergoyahkan. Aku merasakan getaran itu menusuk jantungku.

* Sedangkan aku disini. Aku tidak bisa meraih hidupku. Hidupku yang berada di tengah-tengah sebuah ruang gelap yang besar dan tanpa batas. Dikelilingi oleh ribuan pasukan yang terbuat dari api. Mendekatinya akan membuatku mati terbakar, memandanginya dari jauh aku akan mati tertembak. Ia diterangi sebuah lampu sorot tepat di tubuhnya, seperti sebuah panggung pertunjukan. Analah yang sedang memainkan perannya dalam hidupku. Aku bahkan tak tahu apa yang sedang dimainkannya. Tapi dunia tertuju padanya. Pada hidupku yang telah kubagi bersamanya. Sedangkan aku, Penonton yang sekarat. *

Ia melintasi sebuah perkampungan yang ramai. Ada pasar malam yang meriah disana. Musik, badut, permainan, roda gila, komidi putar, atraksi-atraksi, gula-gula, manisan, dan macam-macam makanan lainnya. Ana menyukai bebunyian, dan keributan-keributan seperti ini. Ia selalu tergilagila pada pesta atau konser-konser musik. Kegaduhan menyamarkan kesepian dalam jiwanya yang kosong. Sedangkan aku benci semua itu. Musik, tawa, senda gurau, lelucon, apa saja yang berbau pura-pura. Dimana semua orang terlihat senang, padahal aku tidak mengerti kenapa orang harus tertawa. Sekali lagi, Klise. Ana menelusuri keramaian itu dengan hati berbunga-bunga. Matanya membulat dan perasaannya seperti musim semi. Ia seperti menemukan sebuah dunia negeri dongeng—penuh keindahan dan keajaiban—yang terdampar di sebuah pulau yang sedih. Seperti Atlantis. Ana belum pernah datang ke pasar malam. Ia melihat badut dengan kaki yang panjang sedang menyemburkan api dari mulutnya. Anak-anak kecil yang berlarian menggendong boneka, hadiah dari permainan yang berhasil dimenangkan mereka. Komidi putar bergerak seperti kereta kuda yang membawa pangeran dan mimpi-mimpi indahnya. Riuh rendah suasana pasar malam yang sibuk, menyatu dalam pikirannya.

Ia menari berputar-putar di tengah-tengah orang-orang yang sibuk, kemudian beranjak membeli sebuah tiket seharga tiga ribu. Sebuah Bianglala. Ana duduk di dalamnya sendiri. Bianglala itu siap berputar. Gerakannya lambat dan malas. Tak lama Ana sudah dibawa menuju puncak putaran teratas. Ia melihat seluruh kota yang bersinar warna-warni. Mulutnya terbuka lebar karena kekagumannya. Rambutnya tersibak sedikit oleh angin yang menyelusup dari jendela yang tidak terlalu rapat tertutup. Ia hampir sejajar dengan sebuah pesawat yang terbang rendah. Tangannya seolah sanggup merengkuh dunia, menidurkan dalam pelukannya, sehingga semua akan baik-baik saja. Ia bersorak dalam kotak bianglala itu, yang mulai bergerak melambat. Ia telah sampai kembali di bawah. Melihat segala sesuatu dalam jarak dekat. Semua hal kembali terasa besar dan tak sanggup direngkuhnya. Kakinya kembali berjalan. Menembus pusat keramaian, dengan suara-suara, logat, bahasa, berseliweran melewatinya tanpa permisi. Ia bahagia malam ini. Wajahnya tertuju kepada sepasang muda-mudi yang duduk agak jauh dari situ. Duduk berpelukan di samping penjual sekoteng. Matanya tak lepas mencermati setiap gerak-gerik dua orang itu. Ia menjadi cemburu. Senyumnya surut. Andai saja semua orang tahu, bahwa iapun pernah memiliki cinta. Mungkin juga jauh lebih bagus. Wajahnya berpaling. Sesuatu menyita penuh perhatiannya. Jetcoaster. Kereta luncur kecepatan tinggi yang diam. Tak ada pengunjung yang naik. Seluruh kursinya kosong dan itu menggoda hati Ana. Seolah memang sengaja disiapkan untuk dirinya. Kakinya kembali bergerak. Dengan mantap ia kembali membeli sebuah tiket seharga tiga ribu. Ada riak-riak gairah yang siap mengucur bersama adrenalinnya. Membantu melupakan sedikit sakit yang sudah terlalu uzur dan bau amis. Ana siap mati untuk merasakan itu malam ini. Walau hanya beberapa menit, ia rela menunggu. Ia rela menukar dengan nyawanya. Ia hanya ingin dadanya kosong. Ia ingin memorinya tersumbat, melupakan apa saja yang tersimpan rapi dan tak mau pergi.

“Tiketnya satu mas,” matanya tak lepas dari roda-roda gila yang siap kesetanan itu. “Yoi mbak, naek aja langsung.”

* Satu pasang mata sedang mengintainya dari kejauhan. Seperti serigala lapar yang baru saja dilepas dari kerangkengnya. Matanya penuh amarah. Amarah yang butuh penuntasan. *

Ana menyibak rok besarnya dan duduk di bangku paling depan. Seperti putri kerajaan yang hendak duduk di tahtanya. Senyum mengembang lebar di bibir Ana dan ia merasa tidak sabar untuk merasakan tubuhnya terguncang-guncang di atas jetcoaster itu. Tangannya mencengkeram besi di depannya. Jetcoaster hanya terisi separuh. Ana duduk di bangku paling depan. Krekk. Roda itu berputar, dan kereta mulai bergerak amat pelan. Ayo, berlari, cepatlah! Yihaaaa! Para penumpang lain mulai memejamkan mata, ada yang berkelakar, dan ada yang sudah mulai berteriak ketakutan. Ketika kereta itu sampai di puncak tertinggi, tiba-tiba seekor burung malam melintasi di hadapan mereka dan hampir menabrak kepala Ana. Ana limbung dan menjadi tidak konsentrasi.

Tiba-tiba saja sebuah pintu di ruangan tak berbatas itu terbuka lebar dan aku terhempas keluar. Plass! Aku sudah berada di luar. Cahaya yang banyak. Terang. Suara-suara sumbang, lampu-lampu yang berkedip frustasi ditengah keramaian yang menggila.

Ana tenggelam. Tersedot. Sukarela.

Aku sedang berada di ketinggian yang menakutkan. Seluruh dunia berada di bayang retinaku. Aku tersentak. Apa ini? Dimana aku? Aku melayang..... Angin mengamuk begitu kencang. Membuatku berputar-putar di udara. Menggulung tubuhku di balik bangku kereta ini. Rasa pusing mengocok perutku dengan sempurna. Aku terbelalak. Sedikit lagi mati dengan mulut dan mata yang sama-sama terbuka. A...ku.....a...d...a......di....m....a...n.....a.........halooooooooooooo.......... Tapi tubuhku terus berputar-putar dengan kecepatan yang tidak terhitung. Naik turun. Naik turun. Aku berteriak kencang. Suara yang membelah malam, karena kerasnya. Bukan teriakan dari implementasi rasa senang, tapi raungan yang mengerikan. Mendayudayu dan menyayat setiap telinga sampai ke hati. Putaran itu berhenti. Nafasku tersengal-sengal. Memburu akal sehat. Mataku basah oleh airmata. Bajuku basah oleh tumpahan keringat yang tibatiba saja meluap. Mereka memberhentikan kereta itu karena teriakanku. “Mbak....mbak? nggak apa-apa mbak?” Seorang laki-laki berambut punk menepuk-nepuk pundakku. Aku masih menangis. Mereka membantuku turun dan membimbing tanganku keluar dari area permainan. “Hehe...lihat tuh! Pengecut....penakut. Chiken. Wek...wek...wek..” Beberapa suara mengiringi kepergianku. Hatiku masih ribut. Jantungku masih berdentum tak karuan. Aku berjalan tak tentu arah dengan langkah terseok. Tak tahu harus kemana. Disini terlalu ramai. Terlalu sibuk dan penuh. Aku bukan di rumah sakit jiwa lagi. Belum hilang rasa kegetku, tiba-tiba tubuhku dibekap dari belakang. Mulutku ditutup keras. Diseret menuju sebuah mobil panser berwarna kuning. Ia membanting pintu dengan keras. Aku serasa mau pingsan dengan bantingan itu. “Silahkan nyamankan diri.” Suara itu sinis. Laki-laki.

“Siapa kamu?” tanyaku Ia menoleh ke arahku dan menyentak daguku dengan kasar. “Lihat aku baikbaik. Aku pangeran kodok yang kau tendang.” “Siapa kamuuu!!!!!” Aku menjadi panik. “Woooo...wow ga usah teriak-teriak napa? lo hilang ingatan abis naik kereta begituan aja? Liat gue nih...Ana sayang” ia menempelkan telunjuk di hidungnya. Ana? “Aku bukan Ana! Bukan Ana! Benar-benar bukan Ana!” Ia mengerem mobilnya mendadak. Aku hampir mencium kaca mobil. Aku menggeleng. “Bukan bang...bener. Bukan saya.” Apa mungkin Ana seorang residivis yang bikin onar di luar? Cari gara-gara sama pengedar narkotik misalnya? Laki-laki itu mendekatkan mukanya ke mukaku. Hampir menempel. Matanya merem melek seperti sedang mengendus aku dengan penglihatannya. Aku hampir menangis ketakutan. Tapi di sisi lain, aku merasakan sesuatu yang lain. Sesuatu yang begitu akrab. Laki-laki ini seperti pernah kulihat sebelumnya, tapi entah dimana. “Ka...kayaknya kita pernah ketemu ya bang, Aku merasa begitu.” Kataku berani. “Hoho...sudah mulai ingat? Kita memang akrab. Karena kau pelacurku sayang...” Aku menggeleng. Sepertinya bukan begitu. Bukan pertemuan seperti itu. Sebuah hubungan yang lebih dekat. Mobilnya meluncur lagi. Menuju sebuah perumahan mewah di kawasan perumahan yang terletak tak jauh dari pusat kota.

“Whaaaat????” Mimik wajah Dion langsung berubah ketika mendengar penjelasanku. Ia membanting kunci mobilnya di atas meja. Memelototi mukaku dengan geram. Terlihat shock. “Jangan main-main lo ya! Lo mau nipu gue kan?” Kuedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. Rasa gugup menyergapku. Aku ketakutan sekarang.

“Tidak. Buat apa? Aku sendiri terbebani dengan adanya dia.” “Ternyata lo bukan aja seorang pelacur. Tapi juga orang gila. Senewen gue!” “Apa?” “Ana...Ana yang pelacur! Maksud gue lo...ahhkk.” Ia frustasi sendiri. Aku memejamkan mata dan menggoyangkan rasa pening di kepala. Membayangkan sudah berapa banyak laki-laki yang meniduriku. Apa saja yang telah dilakukan Ana. “Jadi lo nggak tahu gue pernah tidurin lo?” Aku menatap tajam ke arahnya. Sangat tajam dan menusuk. “Maksud gue...” Ralatnya berhati-hati. “Ana itu pelacur man!” “Saya tahu.” “Shit!” Ia berjalan mondar-mandir sambil terus-terusan memaki-maki. “Kalau begitu kita tidak ada urusan. Aku harus kembali. Ada urusan yang harus diselesaikan.” “Kalau begitu lo memang Ana. Kalau lo bukan dia, lo nggak akan tahu lo punya urusan penting malam-malam begini.” “Kebetulan urusan kita sama.” “Gila lo! Maksud lo? Lo mau bunuh orang juga?” Aku kaget. Ana sudah bercerita. “I..ya benar.” “Shit!” umpatnya lagi. Matanya menatap wajahku berulang-ulang. “Aku pasien rumah sakit jiwa mahal itu. Sedang dalam proses penyembuhan, tetapi memilih melarikan diri. Kebetulan, aku sudah sampai di luar tanpa perlu repot memikirkannya.” “Lo percaya begitu saja?” Aku menatap wajahnya tak mengerti. “Maksud gue lo percaya begitu aja, kalo lo memang punya kepribadian ganda?” Aku menggeleng. “Aku tidak tahu. Dokter-dokterku yang bilang begitu.” “Kenapa bisa?” “Mereka bilang, keterpecahan kepribadian sebenarnya mekanisme untuk menyelamatkan jiwa. Saat ada masalah yang begitu berat, seseorang akan mencoba

meyakinkan bahwa bukan dirinya yang mengalami. Ia akan menganggap, trauma itu bukan lagi miliknya.” Mulutnya menganga sekarang. Aku mendengus. “Dokterku bilang, setiap orang itu ada kecenderungan untuk menjadi gila. Seperti garis lurus dengan titik normal dan titik ekstrem. Hanya yang membedakan adalah kecenderungan tiap orang untuk menjadi gilanya, berbeda-beda. Ada yang gampang stres sampai bisa depresi. Ada yang justru mengalami halusinasi.” Aku tidak menyangka rasanya akan sesenang ini mendiskusikan sesuatu yang terjadi padaku dengan orang lain. Padahal setiap kali dokter-dokter itu membahasnya, aku merasa muak. Merasa privasiku terlangkahi. Merasa mereka tidak berhak ikut campur. Dion sudah duduk di bangku kayu persis di hadapanku. “Ada juga yang kepribadian ganda kan? Kayak lo gini?” Tanyanya menekankan. “Kecenderungan itu terlihat pada diri seseorang disaat mereka menghadapi masalah. Orang yang mengatasi masalahnya terlalu gampang panik, dan emosinya tidak stabil, maka kecenderungan kegilaannya adalah menjadi depresi. Kalau seseorang yg ketemu masalah cenderung melarikan diri dari masalahnya, maka dia punya potensi untuk berkepribadian ganda.” “Serius lo? Terus gimana lo ngejalanin semuanya? Tiba-tiba aja lo punya sepatu orang lain, tidur sama laki-laki yang ga lo kenal....” “Jangan tanya itu. Melihat penanggalan kalender yang meloncat-loncat saja sudah membuatku frustasi dan ingin bunuh diri.” Kutajamkan kalimatku. “Menurut gue sih, kepribadian itu adalah alat untuk digunakan ketika lo berhadapan sama lingkungan. Batasan gila dan normal sih udah ga lagi bisa dijadiin patokan. Lo sendiri yang bilang, semua orang punya bakat ke arah sono. Kan? Tinggal nunggu. Hehehe betapa senangnya kalau semua orang akan mencapai tahap psikosis10 mereka. Bener-bener kewarasan ga lagi jadi standar yang bisa diukur. Perbedaannya ga terlalu krusial. Asyik kan?” “Mungkin kamu benar. Tapi aku sendiri dengan kepribadian yang sejauh ini bertumpuk-tumpuk tidak pernah merasa sulit beradaptasi dengan lingkunganku. Baru beberapa jam tadi aku ada di rumah sakit jiwa yang penuh dengan manusia-manusia di bawah standar kewarasan manusia-manusia normal yang belum sampai pada tahap 10

Ketidakmampuan seseorang membedakan kenyataan dan khayalan, sehingga menciptakan realitas baru.

psikosis atau neurosis11 mereka. Tapi toh sekarang aku bisa duduk dan berbicara dengan kamu. Tidak masalah.” Dion meneliti mukaku lama. “Lo lulusan mana sih?” “Hah?” “Kuliah dimana lo?” Aku menggeleng. “Aku cuma sampai SMP. Sebenarnya SMU kelas 2.” “Really? Gaya bicara lo itu. Dapet akses darimana lo tahu sebanyak itu? Lo bisa duduk santai disini dan mempresentasikan penyakit lo ke gue. Lancar lagi. Anak SMP ga ada yang ngomong kayak tadi. Lo banyak baca ya?” Aku mengangguk lagi. “Apa saja yang berkaitan dengan penyakitku.” Kurapatkan kedua kakiku terus menerus. Aku rikuh. Tidak biasa berhadapan dengan orang macam Dion. Tampaknya dia salah satu tipe laki-laki superior. Superior maksudku adalah yang selalu punya semuanya. Selalu dapat apapun yang dia mau. Anak kesayangan, mahasiswa berprestasi. Laki-laki macam ini tidak pernah suka ditolak. Mataku terus-terusan menatap lantai marmernya yang berkilauan. Dion menghela nafas dan menyalakan sebatang rokok. Bungkusannya disodorkan kepadaku. “Nih!” Aku menggeleng. “Aku tidak....” “Oiya! Itu kan Ana. Ah apalah...pusing gue musti percaya hal ajaib beginian.” Ia menggaruk kepalanya dengan ujung jari yang bebas tidak sedang menjepit rokok. “Kalau gue.......Gue cenderung sembunyi kalo ada masalah. Lari jauh-jauh, masa bodoh. Nggak pernah gue pikirin. Cuek aja. Gue nggak gampang panikan. Ya, karena itu sebenarnya karena gue nggak peduli. Nggak mikirin. Gue tenang bukan karena udah tau solusi buat masalah itu, tapi karena emang nggak mikirin sama sekali. Apalagi kalo masalahnya lagi bener-bener nyerbu otak gue, gue pasti flight. Emang sih masalah gue nggak lantas hilang begitu aja. Tapi setidaknya gue nggak depresi.” Dion menghembuskan asapnya tinggi-tinggi di atas kepalaku. Apa aku juga begitu? Apa aku juga suka lari dari masalah? Aku bahkan hampir tidak punya masalah.

11

Gangguan mental dimana seseorang memiliki insight serta kemampuan nilai realitasnya tidak terganggu. Suatu gejala organic yang tidak dapat ditunjukkan.

“Ingat nggak waktu kita kecil? Waktu seorang ayah begitu menjadi dewa untuk kita. Dan penerimaan darinya membuat kita merasa begitu berarti? Menjadi hal yang paling kita cari? Gue, adalah anak yang mau ngelakuin apa aja untuk ngedapetin itu Jul.” “Aku nggak pernah punya ayah.” Dadaku berdebar mendengar kata ayah disebutkan. Seperti picu. Tali kekang. Sumbu meriam. Anak panah. Seolah akan ada yang berdarah begitu mereka dilepaskan. “Beruntung lo ga punya! Gue? Dari kecil gue selalu dibiasakan untuk membentuk kepribadian lain yang diinginkan ayah gue. Anak yang pintar, sopan, soleh, ga suka main-main, belajar, juara kelas. Standar.” Aku beruntung katanya? Tanpa berdosa ia katakan itu. “Tapi ternyata ada yang berontak di alam sadar gue. Ternyata kepribadian asli gue bukan yang selama ini gue pakai. Tapi toh ayah terlalu berkuasa, susah untuk dipatahkan. Hasilnya? Gue pakai kepribadian gue yang diinginkan ayah gue, dan tanpa gue tahu kepribadian asli gue berkembang. Akhirnya gue.....ganti lingkungan, ganti kepribadian. Demi penerimaan, gue berani lakuin itu.” Munafik. “Munafik? Tidak. Itu berbeda.” Ia seperti membaca pikiranku, “Munafik sih lo jadi orang lain yang bukan diri lo. Sedangkan yang gue lakuin adalah secara sadar dan dengan senang hati. Ini bukan lagi sebuah sebuah pelarian. Tapi lebih ke kebutuhan gue. Dimana gue berada, ya gue pake kepribadian gue yang sesuai. Hanya seperti sisi lain dari diri gue aja. Bukan berpura-pura.” Ia mengakhiri dengan tertawa lebar. Pembantunya datang membawakan dua buah gelas minuman segar berwarna merah. “Makasih ya mbok!” Belum pernah disambut seperti ini, Aku makin merasa tidak enak. “Santai aja Jul, Gue biasa gini kok sama semua tamu gue.” Dia seperti membaca lagi pikiranku. “Terima kasih.” Aku tidak basa-basi. Aku benar-benar berterima kasih, karena sedang kehausan. Langsung kuhabiskan isi gelas itu. “O...haus to? Mboook! Satu lagi. Cepetan!” “Untungnya gue masih dalam batas normal man. Kepribadian yang gue bentuk masih gue sadarin. Nggak kayak lo gitu. Serem gue.” Dion bergidik. Aku tidak tersinggung, karena dia tidak terlihat berniat menyinggung. “Gue juga bisa menikmati

hal yg completely different. Gue suka musik jazz. Tapi gue juga biasanya ke acara yang ada band-band top forty. Udah gitu, gue punya banyak film science, tapi gue juga seneng sama film drama keluarga. Yang happy ending biasanya. Gue aja nih, sukanya melototin Playboy versi Asia. Keren, kulitnya seksi! ga putih kayak Chinesse atau bule-bule karbitan itu. Tapi, begini-begini gue juga romantis lho. Gibranism man!. Asyik tulisan-tulisannya semua berbau unreal...Tau kan Khalil Gibran? Cuma mungkin belum gue temuin aja mana yang dominan. Tapi gue jalanin satu-satu. Jalanin man, bukan coba-coba. Toh hidup adalah anugerah.” Aku dan Dion berdua terdiam. “Dalem banget yah?” Dia tertawa lepas. Aku berpikir lagi. Tidak ada yang salah dengan anak ini. Sekarang ia justru terlihat sangat familiar. Akrab dan hangat. Apa ini juga salah satu kepribadiannya yang dipakai begitu ketemu orang? “Lalu untuk suka pergi ke pelacuran, apa itu juga salah satu kepribadianmu?” “Gue nggak punya pacar man! Mau gimana lagi?” “Nggak punya pacar? Pergi ke pelacuran?” “Ya apalah namanya, yang penting nge-efek. Tinggal Get in, get off, and get out. Gue nggak terlalu tertarik sama komitmen. Laki-laki macam gue ini males kalau harus berurusan sama hati. Apalagi cewek. Cewek man! Mahkluk paling sensitif di muka bumi. Ribet! Terlalu banyak bahasa yang mereka pakai dan sering ga bisa gue ngertiin. Nyokap gue? Beh! Bawaannya aja kalem. Namanya doang ada embel Raden Ayu. Tiap ditinggal bokap ke luar negeri, langsung jalan sama orang lain. Tiap kesepian dikit, langsung deh ngelencer dia. Naga-naganya, Scotch, wine, vodka juga man! Ngalah-ngalahin gue anaknya. Kenapa dia nggak ngomong langsung ke bokap, kalau dia capek jadi ibu rumah tangga yang duduk manis nungguin suaminya pulang. Bosen dia kesepian. Kenapa harus selalu nunggu bokap yang buka aksi duluan? Dan kenapa juga gue musti nanya sama elo? Bingung kan? Nah cewek tuh! Kelompoknya elo tuh!” Dion meringis. Ada sedikit raut penyesalan yang tergaris disana. Ia sendu. Aku mencoba memandangi wajah aslinya. Mencoba meraba hatinya dengan satu bahasa yang aku punya. Yang kuyakin dimiliki semua perempuan di dunia ini dan tidak pernah diketahui keberadaannya oleh para laki-laki. Insting. Feeling. Vision. Mata hati. Deg. Ada sebuah chemistry yang tertangkap. Rasanya aneh. Bergetar. Aku merasa semakin mengenalnya.

Mungkin Dion ini hanya manusia yang punya limpahan kasih sayang yang tidak tersalurkan. Dia begitu butuh pelabuhan yang benar. Mataku begitu penuh dengan semua yang tidak terlihat itu. Sesungguhnya ia amat bersahaja. “Lo sendiri? Lo bilang, kelainan lo ada karena terjadi semacam penolakan. Trauma gitu bahasanya. Kenapa lo?” Aku tidak pernah siap mendapat pertanyaan seperti ini selain dari dokter Amina atau dokter Bre. “Aku.....cuma korban. Cuma itu. Maaf, aku tidak terlalu ingat.” Dion menggeleng kepalanya. “Udahlah, jangan dipikirin.” Sekali lagi menepuk pundakku. ”Wah, tapi cool ya gue ketemu lo malam ini. Tapi....janganjangan, gue ketipu nih?” “Maksudnya?” “Jangan-jangan yang asli malah si Ana? Bukan elo lagi? Mampus gue kan jadi pusing gini.” Ia menggigit bibir. Tampangnya lucu. Aku tersipu. “Aku yang asli. Tenang saja.” “Yakin lo?” “Yakin,” Aku tertawa lebar. Tertawa. Satu hal lagi yang kuanggap hipokrit telah kulakukan malam ini. Tertawa. Mana bisa aku tertawa? Menuding laki-laki ini penculik? Aku sepertinya terlalu berlebihan. Sepertinya ia punya maksud lain. “Tapi lo beda banget ya ama Ana? Lo keibuan banget. Sedangkan Ana tu meledak-ledak. Penuh obsesi. Full of Passion......Kalau lo, gue liat lo sederhana banget. Datar-datar aja dan serasa putri keraton tiap bahasa yang keluar harus lo tata begitu?” “Kelihatan keibuan apa kelihatan penuh masalah?” “Nggak man, gue serius. Lo bisa banget meredam marahnya raja naga sekalipun.” Dion berbicara seolah sedang tidak berhadapan dengan orang sakit. Ia seolah tidak ingat aku adalah pasien rumah sakit jiwa dengan gangguan kepribadian yang parah. Atau mungkin lebih tepatnya ia tidak peduli. Ia memperlakukan aku seperti manusia biasa. Bukan manusia yang super istimewa karena sesuatu yang dibawanya sebagai kelainan. “Terus kenapa aku diculik?” tanyaku pelan. “Hei man! Gue nyulik Ana. Inget?”

“Iya kenapa?” “Rahasia.” “Apa?” “Hehehe. Becanda Jul. Ceritanya gue pernah tidur sama dia. Beberapa kali....Aduh jadi ga enak ngomongnya. Gimana ya....ya di dunianya, dia pelacur kan? Lo tau kan? Gitulah.” Urat-uratku bersekutu dengan darah. Aku menegang. “Baru pertama kali gue ketemu perempuan kayak Ana. Pesonanya luar biasa. Sex appealnya menawan gue di penjara hatinya. Gue jatuh cinta man sama Ana!” Ia menggigit bibir. “Damn, she was looking great.” Ada rasa iri yang ikut membakar. Rasa tidak terima. Bentuk persaingan yang tidak enak. Seperti ditusuk dari belakang. “Sebenarnya, apa yang membuatmu jatuh cinta pada Ana? Kamu yakin itu cinta?” Ia mengangguk. Aku menunggu jawaban selanjutnya. “Yah, gue rasa karena daya pikat yang dipunyainya itu tadi.” Jawabnya tidak yakin. “Bukan itu, Dion. Pasti ada alasan lain.” Ia menggigit bibirnya. Pandangannya menerawang. “Sebenarnya sih.....” “Sebenarnya?” “Sejak pertama kali melihat dia berdiri di jalanan kurang lebih satu tahun lalu, gue seperti merasakan sesuatu. Perasaan sepertinya perempuan ini sudah pernah gue kenal sebelumnya. Ya Jul! Lo pernah nggak sih, ketemu sama orang baru pertama kali dan langsung tahu kalau dia adalah pasangan jiwa lo. Seseorang yang begitu akrab di hati dan ingatan lo. Seperti pernah bertemu lalu terpisah dalam waktu yang panjang.” Aku mengangguk. “Sebelumnya aku nggak pernah sih, sampai hari ini.” Dion terperangah. “Hah, maksud lo?” “Entahlah tentang pasangan jiwa yang kamu bilang tadi, tapi selebihnya memang begitu yang aku rasakan terhadap kamu di pertemuan pertama kita.” “Persis! Itu yang gue rasain terhadap Ana. Tapi......” “Tapi?” “Perasaan itu semakin kuat saat bertemu kamu.” Diam.

Kami sama-sama mencerna pikiran kami sendiri-sendiri. Kebisuan menggoda telinga kami dengan pikiran-pikiran yang makin meluas, dan menjadi tidak terarah. Membuat pikiran itu menjelma menjadi sebuah lelucon di dalam hati, sehingga mencuatkan sebuah garis tipis di bibir. Pertanda otak merespon lelucon itu. Kami tertawa kecil sendiri. “Tapi sekarang kamu tahu, dia tidak pernah ada.” Dion mengangkat bahunya tinggi-tinggi dan menghempaskannya. “Kalau begitu, otak gue harus di-defrag.” “Lo mau kemana sih sebenarnya?” tanyanya lagi. “Sudah kubilang aku mau cari ayah tiriku.” “Belum. Lo belum bilang. Lo cuma bilang lo mau pergi bunuh orang.” “Yang mau kubunuh adalah ayah tiriku.” “Astaga. Serius nih?” Aku mengangguk. Kemudian menunduk lagi. “Emang kenapa?” “Dia satu-satunya manusia yang harus dilenyapkan dimuka bumi ini. Karena dia ibuku mati. Kedua, dia meniduriku berkali-kali tanpa aku sadari.” “Ma..maksud lo?” “Memanfaatkan kelainanku untuk meniduriku. Disaat aku sedang jadi orang lain. Padahal saat itu hanya dia yang bisa bantu aku, tapi yang dilakukannya justru sebaliknya.” “Maksud lo Ana?” “Mungkin. Aku tidak tahu.” Ia menepuk jidatnya. “Manusia miskin itu? Yang sekarang kawin ama orang kaya kan?” “Darimana kamu tahu?” “Ana sering cerita man! Dan dia jatuh cinta sama laki-laki itu. Ya ampun, emang bajingan banget ya tu orang. Jadi lo berdua mau ngebunuh laki-laki yang sama? Astaga. Sulit buat dipercaya, tapi gue udah mulai ngerti sekarang.” Kesunyian kembali mengepung. Masing-masing kami tenggelam dalam pikiran sendiri-sendiri. Mereka-reka urutan kejadiannya versi kepala kami masingmasing. Kejadian seharian ini membuat seluruh badanku terasa hendak patah. Lelah dan mengantuk. Malam sudah semakin menipis. Entahlah ini sudah jam berapa, tapi

yang jelas sudah sangat larut. Aku tertidur di kursi panjang itu begitu saja. Kepalaku terasa berat untuk digerakkan, memang cukup berat untuk berbagi tubuh dengan orang lain seperti ini. Aku tertidur di depan Dion yang masih terus berbicara.

Hari sudah terang benderang ketika aku bangun. Matahari masuk melalui jendela dan membuat tubuhku berkeringat apak di bawah balutan selimut yang lumayan tebal. Seperti dipanggang dalam oven. Selimut? Ternyata aku sudah berpindah. Bukan di sofa lagi. Tapi di kamar seorang lakilaki. Aku tersentak dan langsung duduk. Dion yang menggendongku? Beratku kan tidak ringan, mana mungkin? Tapi lebih tidak mungkin lagi aku berjalan dalam tidur dan langsung menemukan kamar ini lalu tidur manis seperti putri, tertelungkup di dalam selimut. Suasana kamar ini mencerminkan sisi lain seorang Dion. Kesan tegas tersembunyi di perabotan yang dipilihnya. Kamarnya sangat rapi dan teratur. Semua benda memiliki tempat dan posisi sendiri-sendiri. Tak ada satupun debu yang terlihat, apalagi sampah atau benda-benda yang tidak terpakai. Hanya ada beberapa buku yang berserakan di atas meja. Tampaknya sering digunakan. Dindingnya bersih. Tak ada coretan atau tempelan-tempelan usang. Tiga foto besar terpampang disana. Ada satu foto suasana padang rumput pagi hari dalam balutan warna hitam putih ukuran besar, satu foto suasana kota malam hari dalam warna sephia dengan ukuran yang sama. Ada satu foto yang lebih mendominasi, yaitu sebuah gambar manusia yang diambil dari atas. Tidak begitu jelas, karena pencahayaannya jelek, fokus yang labil, dan obyek fotonya terlalu kecil, sekalipun foto itu dicetak dalam ukuran yang lebih besar. Tapi kalau kuperhatikan, itu seperti sebuah gambar perempuan berkerudung hitam sedang berlutut di depan sebuah patung. Tampaknya ia berdoa. Jelasnya, seorang perempuan berkerudung di dalam gereja yang dipenuhi lilin. Dan sedang berlutut, berdoa. Aku tertegun di depan gambar itu.

Seharusnya laki-laki yang gemar perempuan—pelacur atau wanita penghibur, tidak memasang gambar seperti itu. Seharusnya dia lebih tertarik dengan sesuatu yang merangsang penglihatan dan pemikirannya mengenai bentuk tubuh perempuan yang ideal menurut logikanya, seperti yang diharapkan bawah sadarnya. Seharusnya ada beberapa gambar perempuan seksi disana. Tapi tidak kutemukan. Kamarnya terlalu memiliki fokus yang banyak dan terkesan berlebihan. Tidak ada satu titik yang menyedot perhatian lebih. Semua benda yang ada, seperti tidak dipasang dengan tidak sengaja. Semuanya seperti memiliki makna. Kamar ini besar, dan disetiap sudutnya selalu terlihat patung-patung kecil—seperti simbol yang abstrak, yang hanya dimengerti oleh yang empunya. Dengan mata yang masih lengket, aku merasa jauh lebih segar dengan suasana di kamar ini. Lalu memutuskan untuk mencari Dion. Tampaknya aku harus keluar dari rumah ini secepatnya sebelum aku menjadi betah. Aku membalikkan tubuh. Dion berdiri di tengah pintu sambil melipat tangan di dada. Tak ada senyum di wajahnya. Entah sudah berapa lama ia berdiri di sana. “Dion....” “Tampaknya lo belum bisa kemana-mana hari ini. Keadaan diluar sedang ribut. Ada kerusuhan dan juga penjarahan dimana-mana. Republik kita sedang berada pada titik penting sejarahnya. Tidak hanya ibukota yang kacau. Hampir semua kota kena imbasnya. Sebaiknya lo diam disini dulu. Lo nggak mau jadi korban perkosaan kan? Banyak manusia nggak jelas yang ngambil keuntungan dari situasi ini.” Aku menunduk. Dion meneliti tubuhku dari atas sampai bawah. “Sebenarnya lo siapa sih?” pertanyaan itu membuatku terlonjak. “Apa?” Dion masih bertahan untuk bersandar di pintu. “Tadi malam gue liat semuanya, Jul. Lo duduk berlutut di depan gambar itu.” Ia menunjuk gambar perempuan berkerudung itu. “Berlutut dan mulut lo terus komatkamit. Saking seriusnya lo nggak nyadarin keberadaan gue. Gue sampai rela jongkok di depan pintu itu nungguin lo sampai lo selesai dengan ritual lo dan berjalan dengan mata tertutup ke tempat tidur. Terus terang gue khawatir.”

“Mungkin aku berjalan sambil tidur, Dion. Aku sering begitu. Sampai aku bisa ke kamar ini juga.” “Gue yang bawa lo ke kamar ini, kok. Kasian tidur kok nggak nyaman begitu. Tapi sampai disini malah lo kayak orang aneh begitu. Lo baru benar-benar tertidur sekitar jam enam.” “Oya?? Sekarang sudah jam berapa? Kamu....tidur dimana?” “Gue tidur di sofa. Dan sekarang jam 12 siang.” “Astaga. Maaf, aku kesiangan, dan sudah merepotkan.” “Santai aja man, anggap lagi di Hawaii.” Aku terus menunduk. Tak berani menatap wajah Dion yang tegang. “Terus terang gue takut. Jangan-jangan lo ini semacam pengikut aliran sesat.” “Sepertinya aku harus benar-benar pergi dari sini. Aku harus cari ayah tiriku.” Aku mengelak dan mencoba menerobos Dion. Ia menghalauku. Aku mengambil langkah mundur. “Inget ya Jul, lo sekarang tanggungjawab gue. Gue yang bawa lo kemari. Gue nggak mau setelah lo keluar dari sini, lo dibalikin lagi sama orang-orang dalam keadaan jadi mayat, dan gue harus ribut-ribut sama polisi karena identitas lo ga jelas! Denger lo? Bertahanlah satu atau dua hari sampai kondisi di luar bisa disebut aman. Setelah itu lo boleh pergi jauh-jauh. Cari ayah tiri lo, cepat-cepat bunuh dia dan jangan libatkan gue. Dan tetap saja berharap gue percaya karangan lo tentang kepribadian ganda itu.” Dion menunggu reaksiku dengan sabar. Ia menyalakan rokok di tangan, kemudian justru memainkan benda itu di sela-sela jemarinya. “Yang gue ingin tahu, sebenarnya lo siapa? Ngapain lo jongkok-jongkok di depan gambar itu? Ada kepentingan apa lo sama foto itu?” Aku masih diam. “Bisa kan lo jawab gue?!!” Aku menengadah dan menatap matanya dengan takut-takut. “Andai saja aku juga tahu siapa aku sebenarnya. Mungkin tidak akan sulit untuk menjawabnya.” Dion menyerah. Ia menghembuskan nafasnya dengan satu sentakan keras. “Lo mandi dulu. Itu udah gue siapin baju dan alat mandinya. Abis itu gue tunggu di meja makan.” Ia berlalu tanpa menunggu jawaban dariku.

Dion tidak mempercayaiku? Lalu kenapa ia masih menahanku di rumahnya? Benarkah ia semarah itu? Seharusnya ia berhak marah padaku, untuk sebuah pertanyaan yang tak mampu kujawab. Tapi ia mampu menahannya. Aku merasa bersalah telah membuatnya seperti itu. Langit di luar jendela semakin terang. Hari ini, untuk pertama kalinya aku akan mandi tanpa ada yang mengawasi.

Aku berjalan perlahan mendekati meja makan bundar yang terletak di samping ruang televisi. Rumah ini sangat besar ternyata. Semua perabotan di dalamnya bagusbagus. Kebanyakan foto dalam bingkai berukuran besar, menjadi penghias dindingnya. Langkahku kupelankan, berusaha menyembunyikan gema yang bisa ditimbulkan dari kakiku. Dion terpekur sambil memegang kepalanya. Asbak rokok di depannya sudah hampir penuh. Sebanyak itukah yang dihisapnya selagi menunggu aku mandi? Aku merasa semakin serba salah. Wajar, ini pertama kali baginya menghadapi orang seperti aku. Aku menarik kursi dan duduk di hadapannya tanpa disuruh. Dion masih diam. Pembantunya datang membawakan minum untuk kami berdua. Sekali lagi aku merasa rikuh. “Silahkan non, mas Dion, makan siangnya.” Tak ada yang menjawab. “Dion,” Ia menengadah dan menatap wajahku dengan serius. “Aku.....pernah membawa lari seorang pasien psikopat di rumah sakit ke atap gedung dan mengajaknya bunuh diri, dengan melompat dari atas sana.” Aku terhenti, terbayang wajah suster Agi yang berpeluh dan penuh airmata, pada hari itu. Dion mengernyitkan alisnya. “Semua orang di rumah sakit panik. Kepala rumah sakit sampai memutuskan untuk mengadakan pertemuan mendadak untuk membahas kejadian itu. Karena itu dianggap keteledoran para perawat. Kristal—nama pasien perempuan itu, mengalami

depresi berat sejak kejadian itu. Ia harus menjalani tahap perawatan dari awal kembali. Dan itu menghabiskan dana yang tidak sedikit.” Wajah Dion semakin serius mendengarkanku. “Bisa kau bayangkan betapa besar kebingungan itu hadir di dadaku. Sampaisampai rasanya aku putus asa dan ingin mati. Tapi, tak satupun orang di rumah sakit itu bertanya kepadaku ‘kenapa kau lakukan itu Juliet?’ tidak ada. Tidak ada yang bertanya padaku, dan tidak ada yang menyalahkan aku. Sama sekali tidak ada. Kau tahu kenapa? Karena aku melakukannya tanpa sadar. Karena orang lain12 dalam diriku yang berbuat semua itu. Mungkin Ana. Mungkin yang lain.” Dion melipat tangannya di atas meja dengan wajah penuh pertanyaan. “Sekarang, aku berhadapan denganmu. Kau bertanya padaku aku siapa, apa yang aku lakukan tadi malam. Dan menurut ceritamu aku berlutut di depan lukisanmu selama berjam-jam. Karena pertanyaanmu itu, untuk pertama kalinya Dion, aku merasa memiliki sebuah tanggungjawab.” “Gue benar-benar bingung!” sentaknya. “Maafkan aku untuk itu, Dion. Sekarang izinkan aku pergi. Aku benar-benar harus bertemu ayah tiriku. Pihak rumah sakit pasti sedang mengirim orang untuk mencariku kemana-mana.” Dion tidak menanggapi. Ia membukakan piringku dan menyuruhku makan. “Mereka pasti sudah menunggumu di rumah ayah tirimu. Jadi, tunggu sampai semua orang lupa akan pelarianmu, barulah kesana. Kalau tidak akan sia-sia usahamu.” “Tapi....” “Pasti sulit jadi lo.” Ia meraih tanganku di atas meja. Aku menariknya dengan rikuh. “Maafin gue, udah kekanakan dengan mencecar lo seperti tadi. Masalahnya gue bener-bener nggak siap sama kejadian tadi malam. Serem banget.” Aku memandangi wajahnya dengan bingung. Anak ini kok gampang sekali berubah-ubah. Tadi sepertinya ia marah besar padaku. Sekarang justru minta maaf. “Sekali lagi lo minta keluar dari rumah ini, aku akan nganterin langsung ke rumah sakit. Ngerti lo?” Aku pasrah dan hanya bisa mengangguk.

12

Rata-rata pasien dengan kepribadian ganda menyebut kepribadian yang lain mereka, dengan sebutan Orang Lain. Bukan dengan Kepribadian Lain.

“Gue beli gambar itu di tukang loak sekitar enam tahun lalu. Kata yang jual, itu hasil foto seorang mahasiswa ISI yang gagal. Tidak layak dipamerkan, makanya dia jual ke tukang loak dengan harga murah. Parahnya lagi waktu itu gue lagi ga ada uang. Bokek berat. Akhirnya foto itu gue tukar dengan Reebok baru gue, oleh-oleh dari bokap gue waktu pulang dari luar negeri.” Dion bercerita sambil memberi isyarat kepadaku untuk mengambil nasi. Ia sendiri sudah mulai mengunyah. “Kenapa tertarik?” Dion berhenti makan dan berpikir. “Nng...waktu gue SMP. Tepatnya waktu gue akhil baliq. Itu....tuh, gue jadi dewasa pertama kalinya.....gue sering banget mimpi ketemu sama perempuan yang kayak di foto itu. Bajunya panjang, dia pake kerudung, pokoknya mirip suster yang di gereja-gereja katolik” “Oya? Seberapa sering?” “Sering banget. Malah hampir setiap gue tidur. Tapi pasti gue didatengin setiap hati gue lagi dalam keadaan galau. Gue yakin itu bukan mimpi biasa, gue yakin ada maksudnya.” “Suster ya.....? Di foto itu juga mirip suster kan? Suster yang berdoa. Maaf Dion, kalau boleh tahu, kamu percaya Tuhan?” “Hah?? Pertanyaan apaan tuh? Harusnya lo nanya agama gue apa kali?” “Tidak. Itu pertanyaanku yang sebenarnya. Menurut aku itu pertanyaan yang lebih penting ketimbang menanyakan apa agamamu. Kalau kamu percaya adanya Tuhan, maka dengan sendirinya kamu punya cara untuk berkomunikasi denganNya, yaitu melalui tata cara agama yang kamu pilih, yang kamu yakini bisa lebih cepat menghubungkan kamu dengan penciptamu. Bukan sekedar agama yang diturunkan dari orangtua kamu.” Dion terdiam. Ia mengunyah dengan cepat. Sampai nasi di piringnya habis, baru ia mulai berbicara lagi. “Gue percaya. Percaya sama adanya Tuhan. Gue juga percaya akan adanya kehidupan setelah kita mati. Kenapa? Karena harus ada yang berkuasa dan harus ada yang mengatur semua isi bumi dan langit biar nggak bentrok. Tapi yang belum gue yakini....” “Agama apa yang bisa memberimu cara yang tepat dan kamu yakini bisa menghubungkanmu denganNya, lantas kamu bisa berkomunikasi dengan Tuhanmu?”

Dion menggeleng. “Tidak Jul, agama hanyalah perantara. Sebuah perantara yang memiliki batasan. Sejauhmana kita boleh berhubungan dengan Tuhan. Tidak sepenuhnya mengajarkan cara itu.” “Jadi?” “Gue belum menemukan cara terbaik untuk bisa berkomunikasi dengan Tuhanku tanpa ada batasan.” “Kamu semacam atheis, begitu?” Aku mencoba mencerna jawabannya. Baru kali ini aku berbicara dengan pembicaraan yang bermakna dan bernilai saling mengisi. Bukan digurui atau divonis tentang sesuatu yang harus aku lakukan. “Ya beda dong! Kan gue udah bilang gue percaya Tuhan. Atheis sih nggak percaya Tuhan.” “Tapi kamu tadi bilang masih sedang dalam ketidakyakinan. Berarti kamu tidak memilih salah satu dari sekian banyak agama yang ada?” “Gue hidup di Indonesia man! Di Indonesia orang hidup pakai KTP. Di KTP ada agamanya. Beda ama orang Jepang, mereka ga terlalu peduli sama agama, ga da KYP-KTPan. Maksud gue ketidakyakinan adalah bagaimana caranya gue menjalin komunikasi dengan Tuhan dengan jalan yang benar-benar gue yakinin. Tidak sekedar norma tata cara ibadah yang diajarin orangtua-orangtua gue.” Aku menggeleng. Bingung. “Menurut gue, gue yang jalanin hidup gue, seharusnya gue berhak tahu apa rahasia kehidupan yang selama ini disembunyikan di belakang gue. Itu...itu yang belum gue temui.” “Dan kamu mencari?” ”Aku nggak tahu harus mencari kemana.” Ia mengangkat bahu. Aku mengangguk. Sedikit lebih mengerti. “Balik lagi ke pembicaraan kita. Sebenarnya gue bukan hanya tertarik sama foto jelek itu, tapi lebih ke panggilan hati. Rasanya harus gue miliki barang itu. Sejak gue sering mimpiin perempuan itu, gue jadi males deketin cewek. Rasanya semua perempuan yang gue temuin semuanya sama aja. Ga ada daya tarik, ga ada keistimewaan yang mereka miliki sehingga pantas disebut sebagai perempuan. Menurut gue, perempuan itu seharusnya istimewa. Bukan hanya perempuan yang selalu sibuk ngurusin kepentingan seksualitasnya. Dandan—yang berada di urutan teratas skala prioritas, shopping, gaul, memiliki hobi yang intelek, cari komunitas yang sejajar—demi sebuah pengakuan, mengagungkan virginitas tapi siap ngorbanin

diri buat laki-laki pujaan, sekolah tinggi-tinggi biar bisa berkarir dan mematok standar bagi pasangan hidupnya. Pusing gue, ngeliat begitu banyak perempuan yang selalu merasa dirinya tidak pernah utuh dan tidak pernah cukup memuaskan.” “Kecuali itu.....yang selalu gue liat di mimpi gue. Rasanya beda. Dia itu istimewa, punya chemistry, punya sebuah nilai yang absolut dan seolah tidak peduli pada kebutuhan seksualitasnya. Dia bukan sebuah bentuk ambisi atau obsesi, tapi lebih ke.....Mengabdi. Seorang abdi. Kecuali......” Dion menjelaskan dengan nada bicara tidak yakin. “Kecuali?” aku melotot. “Pertemuan pertama kita.” “Pertemuan pertama kita.” Aku membeo. Aku melanjutkan makan. Sup wortel panas, sate ayam, makaroni panggang dan sambal tomat mentah. Dengan rakus aku menikmati setiap suapan yang masuk ke mulut. Tak peduli dengan Dion yang terpekur sambil memegangi kedua kepalanya. Kakinya bergoyang-goyang, menggetarkan meja makan yang kupakai bertumpu. Ia berpikir keras. “Jul! Aku ada ide!!” Teriaknya tiba-tiba. Sepotong besar wortel rebus meluncur ke dalam tenggorokan tanpa proses pelumatan. Aku tersedak dan terbatuk-batuk. Untung bukan sedang menggigit sate. Bisa kehilangan amandel aku. Dion menyodorkan segelas air putih dan meminta maaf padaku. “Lo ga pa-pa kan? Sori, saking semangatnya gue.” Ia menepuk pundakku. Aku menggeleng. Susah payah mencari udara, untuk bernafas. “Perlu bantuan? Aku bisa kasih nafas buatan.....” Air di mulutku tersembur keluar dan membasahi muka bodoh di hadapanku itu. Lengkap dengan potongan wortel dan beberapa butir nasi. Rasa geli menggelitik perutku ketika melihat mukanya yang dipenuhi kejijikan. Aku membantu membersihkan wajahnya. Dengan bersungut-sungut ia langsung menuju wastafel dan mengguyur mukanya dengan air. Kemudian kembali bergegas duduk disampingku. “Begini Jul. Gue rasa semua ini ada hubungannya. Urut-urutannya nggak terlalu jelas sih, tapi.....Gue terobsesi sama perempuan berkerudung di mimpi gue—lo berjongkok di depan gambar perempuan berkerudung itu tanpa lo sadari—gue ketemu

Ana setahun lalu dan langsung ngerasa jatuh cinta ngg, mungkin—lo ketemu gue pertama kali dan langsung ngerasa pernah kenal gue—gue juga sama. Apa mungkin?” “Apa mungkin? Apa?” tanyaku. “Jul, gue punya temen yang bisa bantu kita.” “Bantu apa?” aku merasa tak enak. “Ayahnya seorang Tionghoa yang buka usaha toko kelontong di kota. Menjual uang-uang zaman dahulu, ya semacam itulah. Ibunya keturunan Jepang, tapi sudah meninggal. Mereka menganut sebuah kepercayaan yang sangat yakin dengan adanya hubungan dekat antara Tuhan dan manusia. Hubungan yang tiada bisa dibatasi oleh apapun. Mereka percaya akan adanya kehidupan yang terjadi berulang. Mungkin bokapnya itu bisa bantu kita ngejelasin tentang reinkarnasi.” “Apa?? Reinkarnasi apa? Maksudnya apa sih?” “Ya itu tadi! Hubungan kita yang mbulet itu.” “Pe...perasaanku nggak enak, Dion.” “Perasaanku juga. Makanya kita harus temui bokapnya Iwan. Perjalanannya sekitar satu jam dari rumah gue.” Dion menarik tanganku. Menyambar jaket coklat yang tergantung dan kunci mobil setelah sebelumnya ia menelpon seseorang dan membuat janji. Aku merasa terbelit di tengah-tengah sate ayam yang belum sempurna dicerna, dan kalimat-kalimat Dion yang juga sama-sama belum selesai proses pencernaannya. Membuatku pusing dan terpaksa harus berhenti mengambil kesimpulan. Karena akan semakin ruwet. Traumatik—Kepribadian ganda—Reinkarnasi. Buatku, itu sama saja menjelajahi negeri dongeng. Tidak ada hubungannya. Dan tidak akan ada akhirnya. “Dion, tapi katanya lagi ada kerusuhan?” “Ini keadaan genting! Dan lagian...kan ada gue? Jadi tenang aja.” ia menaikkan alisnya, tetap menyeretku masuk ke dalam mobil. “Mbok! Mbok! Pergi dulu ya!” Dion membanting pintu mobil. Hari ini Dion memakai kaos putih lengan panjang berleher bundar dengan dua kancing di dadanya. Wajahnya bersih tanpa rambut. Dari penampilannya, ia terlihat seperti laki-laki dewasa, pelindung yang kharismatik. Tapi sebenarnya? Boro-boro! Sifat otoriternya semakin terasa disaat-saat seperti begini. Aku yakin, tak akan ada satu orangpun yang sanggup mencegahnya untuk mendapatkan apapun bila dia sedang menginginkan itu.

Mobil melaju meninggalkan pekarangan rumah besar itu. “Jadi kamu berpikir kita terperangkap dalam sebuah proses reinkarnasi?” “Yak! Betul.” “Kalau boleh kubilang, kamu ini sepertinya rumit ya?” “Kenapa aku harus rumit?” “Melihat cara berpikirmu tentang segala sesuatu. Sepertinya kamu bukan orang yang lurus-lurus saja. Bukan tipe manusia yang terbiasa hidup dalam arus. Tapi manusia yang hampir gila karena obsesinya. Karena menentang arus.” Ujarku berani. “Eits, bukannya lo sendiri yang bilang batas gila dan waras itu tipis?” Aku mengangkat bahu. “Tapi ada yang bisa benar-benar gila.” “Gini deh, bolehlah gue dibilang punya cara berpikir yang keluar dari lingkaran kebiasaan manusia pada umumnya. Tapi sebenarnya yang gue rasain itu timbul dari dalam diri gue. Itu yang bikin gue berani menilai perempuan segitunya. Padahal, gue siapa sih? Seganteng apa sih si Dion ini, sampai gue harus ngedapetin perempuan yang lain dari yang lain.” Aku heran, ia masih saja menyombong. “Jangan tanya pendapatku.” “Gue ngeliat cewek dalam mimpi itu dan gue bener-bener ngerasa perempuan lain dari pada yang lain itu benar-benar ada! Dan dia mungkin tercipta untuk gue?” “Ckk...ckk Dion, tapi reinkarnasi? Apa-apaan itu?” “Reinkarnasi, lo tau apa itu kan?” “Iya...iya. yang orang mati, terus bisa hidup lagi dan....” “Hahaha bukan! Itu sih zombie! Maksud lo kehidupan yang terulang dengan jiwa yang sama, dan mungkin dalam raga yang berbeda.” “Kok yakin?” “Sudahlah Jul, kita liat aja nanti.” Ia tersenyum dan menepuk bahuku lembut. “Lo sendiri bagaimana Juliet? Lo punya agama?” Refleks aku membuang pandangan ke luar jendela. “Halo? Aku salah ngomong ya?” “Katolik.” “Sounds great.” “Maksudnya?” “Kayaknya lo cukup yakin. Lo cukup taat?” “Pernah. Sangat taat. Pernah—sangat taat.” “Lho? Kenapa pernah? Berarti sekarang nggak lagi dong?”

“Aku capek mengabdi. Mengesampingkan semua kesulitan materiku, kehidupan fisik dan jiwaku yang tertekan, psikologisku yang mengambang antara kenyataan dan halusinasi. Hanya agama yang terus kupeluk dengan sangat yakin. Karena Tuhanku terlanjur kucintai dengan sepenuh hati. Tapi sekarang, aku tidak punya semuanya. Aku hanya punya luka.” “Waduh, kayaknya serius tuh. Lo kecewa?” “Tuhan tidak pernah menjawabku.” “Darimana lo tahu?” “Lihat aku....perempun yang lari dari rumah sakit jiwa karena nggak tahan disetrum, disakiti terus menerus dan berlari menuju sumber sakitnya. Laki-laki keparat itu. Aku berhenti berdoa. Meminta. Lebih tepatnya, berhenti percaya.” Dion tidak menjawab. “Seperti apa rasanya, satu-satunya teman yang kamu miliki, tapi bahkan enggan membalas semua sapaanmu? Kalau aku, lebih baik aku pensiun.” “Hati-hati lho ngomongnya.....” sambung Dion pelan. “Bukankah sudah kubilang, prosesi komunikasi dengan Tuhan harus dilakukan dengan menanggalkan semua batasan-batasan yang ada. Modal utamanya cuma satu Jul. KEYAKINAN. Bukan hanya sebatas tanya dan jawab.” Aku memandanginya. “Sayangnya, aku sudah terlanjur memilih cara untuk berkomunikasi dengan Tuhanku dan terlanjur yakin bahwa caraku benar.” “Mungkin lo lupa menjaganya....” “Maksudnya?” “Menjaga komunikasi lo dengan Tuhan lo agar tidak terputus dan tetap hangat, dari situ mungkin lama kelamaan lo akan ngerti dengan cara apa Tuhan biasanya menjawab pertanyaan dan sapaan-sapaan lo.” Aku menunduk. Daguku hampir menyentuh dada. Rasa rindu bergolak pelan. Jantungku berdegup manis. Rindu yang sejati. Rindu padaNya. “Bukankah Dia itu Tuhan lo sendiri? Bukan Tuhan-nya siapa-siapa. Hanya Dia yang lo punya. Dan hanya lo yang Dia punya. Jadi, dilarang berburuk sangka.” Aku terdiam. Bahkan Dion yang sempat kufitnah atheis, memiliki konsep kedekatan dengan Tuhan yang jauh lebih berprinsip daripada aku yang sudah menjalani ritual keagamaan selama hampir seumur hidupku.

Mobil melaju dalam kecepatan tinggi. Mengantarkan kami pada sebuah jawaban lain.

***

Dari Titik Nol “Hai Dion! Masuk aja. Bokap udah nunggu.” Seorang laki-laki kurus, bertopi bundar hitam dan berkaos putih menyambut kedatangan kami. Matanya yang sipit jadi benar-benar tertutup saat tertawa. Ia menyalamiku. Menyebut namanya ‘Iwan’ dan aku menyebut namaku. “Ha? Sumpah lo?” “Santai aja, gue udah cerita ke bokap, kalo ada seorang laki-laki yang kehilangan jati diri akan datang beberapa jam lagi.” “Sialan lu.” “Tapi bener kan? Masuk sono, bokap lagi di belakang, sedang bermesraan dengan burung-burungnya. Hehehe. Sori gue ga bisa nemenin. Jaga toko!” Dion menarik lenganku dan kami masuk tanpa ditemani Iwan. Tokonya besar, dan ada dua lantai. Meskipun besar, toko ini hanya memiliki satu etalase utama. Berisi beragam koin dan uang kertas. Ada dua box wartel di pojok luar. Desain gedungnya sudah terlalu tua dan kuno. Aku khawatir bisa runtuh sewaktu-waktu. Aku celingakcelinguk. “Diong....!” sebuah suara besar dan berat menggelegar mengejutkanku. “Eh, Babe...Apa kabar Be?” Tua, tidak terlalu tinggi, berbadan kekar—cukup kekar untuk ukuran laki-laki seumuran dia. Ayah Iwan. Mereka berpelukan seperti ayah dan anak. “Lama

tak

kelihatan.

Jangan

terlalu

banyak

perempuang

kamu,

Diong....haha.” Terdengar sulit ia mengucapkan sebuah kalimat yang berakhiran N. Ia harus susah payah terlebih dahulu, menekannya kuat-kuat, tapi itupun tak terlihat berhasil. Dion tertawa rikuh. Ia melirikku. “Eh, ada gadis manis. Siapa ini Diong?”

“Ini Juliet, Be.” “Temen kampus ya? Ah, pasti bukan.” Dion menggeleng. “Cantik ya, kenalkan saya ayahnya Iwan.” Ia menangkupkan kedua tangannya di dada. Membuatku semakin rikuh karena sudah terlanjur menyodorkan tangan di hadapannya. Ia tertawa. Rasanya terlalu riang jadi orangtua. Tak terlihat ia memiliki beban hidup di hari tuanya. Aku merasa tertular. “Babe ini udah tua genit aja.” Celetuk Dion. “Siapa bilang saya udah tua? Kavernya doang begini. Liat dalamnya dong. Selalu muda!” Dasar orangtua aneh. Pikirku dalam hati. Kemudian kita dipersilahkan duduk di sebuah ruangan yang kelihatannya memang sengaja disiapkan khusus untuk menerima tamu di tokonya. Ruangan tak terlalu besar, dan hanya ada karpet merah dan satu meja berkaki rendah. Ruang tamu ala lesehan. Jendela kaca ukuran besar terpampang di hadapan kami, sehingga kami bisa langsung melihat tembusan di halaman belakang rumahnya. Dan tebak apa yang terlihat? Laut. Ya laut yang luas, lengkap dengan ombaknya yang menghantam dinding karang. Aku terpukau. Ia menyalakan rokok kretek, kemudian ditawarkan kepada kami. Dion tidak mengambil. Sepertinya ia sungkan. “Jadi, apa yang membawa organisator kampus yang super sibuk seperti kamu datang kesini?” “Ah, Babe...bisa aja.” Pandangan bapak itu beralih kepadaku. Tiba-tiba saja ia seperti terhipnotis, berhenti pada wajahku dan menusuknya dengan tatapan yang aneh. Seperti sedang membaca koran, dan menemukan berita kematian dirinya sendiri. Terlalu hiperbolis? “Nak, bersyukurlah dengan apapun yang menjadi jalan hidupmu. Tapi lebih bersyukur lagi karena tiap manusia selalu memiliki kesempatan kedua, ketiga dan seterusnya.” “Eh?” tanyaku tolol. Dion menyikutku. “Apa yang mengganggumu?” Bapak Iwan (aku memilih menyebutnya begitu) tidak melepaskan pandangannya dariku. “Eh?” “Be, bukan itu maksud kedatangan kami. Kami ingin menanya....”

Bapak Iwan mengangkat tangannya—menyuruh Dion berhenti bicara—tanpa menoleh ke arah Dion. Ia menunggu jawabanku. “Saya.....tidak tahu masalah saya apa...” Ia masih menunggu. “Tapi saya dianggap manusia yang tidak normal, karena memiliki...” Aku tidak yakin. “...kepribadian....terbelah....terpecah......kepribadian...ganda.” Setelah itu suasana menjadi sedikit lebih cair. Bapak Iwan tertawa, dan Dion menghembuskan nafas tegangnya yang tertahan karena menunggu jawabanku. “Minum dulu nih....” Bapak Iwan menyodorkan segelas besar air putih. Setelah

itu

ia

memintaku

untuk

mengurutkan

semua

kepribadian-

kepribadianku dan juga peristiwa-peristiwa yang kuanggap ada kaitannya. Dion sudah tidak sabar. Maksud kedatangannya kesini ingin meminta penjelasan tentang sebuah konsep reinkarnasi yang dianggap berhubungan dengan peristiwa kita berdua selama ini. Tapi yang dibahas justru aku dan masalahku. Kenapa topik dunia selalu tentang aku? Dan bukan dirinya? Pasti ia sedang berpikir begitu. Aku tidak yakin, tapi kulihat bibirnya sedikit turun. “Ana sang pelacur.....kemudian seorang laki-laki pecandu obat penenang, seorang perempuan muslim keturunan Palestina........Pendeta yang terobsesi dengan dirinya................Juli kecil.........dan Mother Teressa. Itu yang saya tahu pernah muncul lebih dari dua kali. Selain itu masih banyak, tapi hanya muncul satu kali dan tak lama. Itu yang saya baca dari laporan klinis dokter saya.” Aku bercerita dan menjelaskan hal-hal yang kutahu dari kedua dokterku. Mereka berdua terbelalak ngeri di hadapanku. Bahkan mulut Dion sampai terbuka lebar. “Hm.....cukup mengejutkan ya? Haha.....” bapak Iwan mendekatiku dan menyentuh keningku sambil memejamkan matanya. Beberapa menit kemudian ia membebaskanku. Mencoret-coret kertas, dengan data yang baru saja kuberikan. “Mereka rata-rata memiliki latar belakang yang sama ya? agama, kecuali....” Bapak Iwan mengambil handuk kecil di sakunya dan melap keringat di dahinya. “Kepribadian

yang

paling

permasalahannya. Bisa jadi.” “Waduh Be, saya bingung nih.”

dominan,

bisa

jadi

merupakan

sumber

“Aduh bodoh benar sih kamu ini!” “Maaf.....” “Hehehe tapi aku ini kan bukan dokter jiwa....” Kami berdua saling berpandangan tak mengerti. “Bisa saja ini ada hubungannya dengan kehidupan kalian sebelumnya, seperti yang dipikirkan Diong. Tapi, bisa saja itu faktor kebetulan belaka.” “Waktu kami pertama ketemu, kami merasa seperti sudah pernah berjumpa sebelumnya, Be. Seperti de javu, rasanya.” Bapak Iwan mengangguk. “Fenomena lukisan Diong dan berlutunya Juliet tanpa dia sadari itu, bisa juga salah satu fenomena de javu yang lain.” “Apanya yang....” “Dengar dulu kamu Diong, jangan sok cerdas. Terlalu banyak bertanya memang pertanda kecerdasan, tapi itu untuk usia pertumbuhan. Bukan usia kamu ya,” Dion tertunduk. Ia menyikutku lagi. “Peristiwa itu merupakan kejadian yang kalian lakukan tanpa sadar. Ada satu hal yang menarik kalian untuk melakukan sesuatu dengan obyek yang sama, dan mungkin karena alasan yang sama, yang tidak kalian sadari.” “Jadi, kami berdua mempunyai sebuah hubungan yang tidak terlihat sebelum ini?” Aku ganti bertanya. “Reinkarnasi.” Dion mendesis. “Sebegitunya terobsesinya kamu Diong....” “Nggak, Be. Saya ngerasa feeling itu kuat banget.” “Reinkarnasi, itu memiliki beberapa versi dalam beberapa pandangan juga. Dalam agama Hindu, reinkarnasi disebut juga samsara. Artinya penitisan kembali. Buddha menyebutnya tumimbal lahir atau rebirth, atau yang biasa disebut dengan kelahiran kembali.” “Benarkah saya dan Juliet mengalami itu?” “Semua masih mungkin. MUNGKIN. Nak, kamu harus bersabar. Kita akan berjalan pelan-pelan.” Kali ini bapak Iwan sukses mengucapkan huruf N! “Beberapa kepercayaan meyakini reinkarnasi ini terjadi karena kecintaan seseorang pada dunia sebelum ia mati. Jika ia masih terikat oleh kehidupan alam materi, maka ia akan menjalani kehidupan pada apa yang ia pikirkan, misalnya kepada binatang. Tetapi ada juga yang meyakini sesuatu dengan lebih simpel. Yaitu, hubungan reinkarnasi dengan karma, dimana keduanya merupakan suatu proses yang

terjalin erat satu sama lain. Mereka menyebut reinkarnasi adalah kesimpulan atas karma yang didapat dalam sebuah masa kehidupan. Baik buruknya karma yang dimiliki seseorang akan menentukan tingkat kehidupannya pada reinkarnasi berikutnya.” Bapak Iwan terdiam sambil memperbaiki duduknya perlahan-lahan. Ia menyilangkan kaki dan duduk di atas keduanya. Tangannya ditumpu di atas lutut. Badannya tegap dalam posisi sempurna. “Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya.” “Apa?” ujar kami bersamaan. “Meditasi.” Apa lagi ini? “Disisi lain, meditasi juga dipercaya bisa mencegah reinkarnasi. Tapi, pada intinya, meditasi merupakan sebuah jalan menuju pencapaian kesadaran jiwa. Selama ini, manusia hanya mengalami kesadaran fisik. Pencapaian kesadaran jiwa bisa dilakukan dengan latihan. Meditasi itu tadi, nak.” “Me..memangnya, ada apa dengan kesadaran jiwa?” “Ssst...” aku menyikut Dion yang tidak bisa bersabar. “Kesadaran jiwa mampu membuat kita hidup terbebas dari kesedihan yang berkepanjangan, putus asa, kebimbangan hidup. Dan justru sebaliknya, jiwa akan mencapai kedamaian. Dan untuk tingkat lebih tinggi, jiwalah yang akan mengontrol kehidupan, dan fisik tidak akan tersakiti.” “Dengan meditasi?” “Pada tujuannya meditasi itu merupakan proses menuju sebuah ketenangan. Seperti relaksasi jiwa. Seperti Yoga. Kalau dalam Islam, mereka sholat sambil berdzikir. Prinsipnya sama dengan meditasi. Disitu ayat-ayat suci yang dibaca bisa menjadi suatu fokus yang menyatu dengan pikiran. Ketenangan, sebagai tujuan meditasi akan muncul bila yang menjalankan penuh konsentrasi dan keyakinan. Pada fase tertentu, proses relaksasi atau meditasi itu membawa kita ke fase yang sangat dalam. Dimana pikiran kita terasa begitu terfokus, kosong, dan siap untuk dimasukkan apa saja. Maka serta merta banyak hal menyerbu masuk ke dalam pikiran kita. Entah soal makanan, uang, teman-teman, pekerjaan atau bahkan hal-hal yang lebih remeh. Bila seseorang tidak bisa mengendalikan ini maka pencapaiannya pada fase berikutnya akan gagal. Sebaliknya, bila tetap terfokus maka mereka akan berhasil.” “Apakah itu bisa menjadi pencapaian kesadaran jiwa tadi, Be?”

“Meditasi

bisa

merupakan

mediatornya.

Untuk

menuju

ke

prosesi

sesungguhnya.” “Apa?” “Pernah dengar tentang Perjalanan Astral13?” Aku menggeleng. “Perjalanan jiwa keluar tubuh kan Be?” Dion menimpali. “Betul. Perjalanan Astral, ilmiahnya. Proyeksinya merupakan aplikasi dari kesadaran Jiwa itu. Dimana saat tertidur, jiwa kita terasa melayang-layang dan seolah terlepas dari tubuh kita. Pergi meninggalkan jauh dari raga kita, menembus atap rumah dan berkeliaran di luar.” Aku tiba-tiba teringat mimpiku beberapa waktu lalu. Mimpi yang mengerikan dan membuatku amat kelelahan. Perjalanan semacam itukah yang kualami? “Seperti mimpi ya pak?” tanyaku. “Hampir sama. Tetapi kalau mimpi, terjadi diluar kendali kita. Sedangkan perjalanan astral dilakukan dengan kontrol dari kita. Atas kendali kita.” “Maksud Babe, kita bisa menyuruh jiwa kita kemana saja kita mau?” “Tepat. Dan orang yang sering mengalami de javu, sangat berpotensi untuk sukses dalam melakukan perjalanan astral.” “Bagaimana caranya, Be?” “Biasanya, dilakukan dalam keadaan setengah sadar. Sudah mengantuk, tetapi belum tidur. Modal utama dan yang paling berperan adalah keyakinan. Keyakinan merupakan peran utama dalam menjalani hidup.” “Benarkah itu, Be?” “Temukanlah apa yang kalian cari melalui itu.” Bapak Iwan tertawa sambil menepuk pundak Dion keras. Dion tampak terkejut. “Sekarang, coba kita lakukan sekali bersama. Lipat kaki kalian begini. Lalu tegakkan punggung serileks mungkin.” “Ta...tap...i, Be...” “Ingat! Harus yakin.” “I...ya.” Dan kamipun melakukannya. Aku melipat kaki dengan ragu-ragu.

13

Out of Body Experience (Perjalanan Astral)

Mataku terpancing untuk melihat betapa cantiknya ombak-ombak itu bertubrukan kemudian memercikkan air yang tinggi. Seperti tanda alam sedang bersukaria. Aku tidak heran, kedua ayah dan anak disini bisa hidup dengan amat berbahagia, tanpa harta yang tidak terlalu melimpah, dan keluarga yang tidak terlalu besar. Ternyata selalu ada banyak cara untuk bisa hidup bahagia. “Nak, kau harus konsengtrasi....bukan melamung....” Aku menutup mata dengan sempurna. Tak ada celah yang bisa dilalui cahaya. Aku mencoba berkonsentrasi. Hal yang paling sulit kulakukan selama hidupku. Membentengi otak dari pikiran-pikiran liar yang selalu menyerbuku setiap kali aku ‘kosong’. Tulang-tulang punggungku terasa melentur. Aku menyimak instruksi Bapak Iwan.

Bersiaplah untuk memasuki alam bawah sadar....... Alam bawah sadar yang tergelap .......alam bawah sadar yang setia di setiap lelap dan jagamu.

Aku membaur dalam debur ombak itu. Sungguh aku merasa membaur. Suaranya kujadikan musik pengiring jiwaku, cahayanya kujadikan pandu. Aku terpaku pada satu titik yang amat meyakinkan. Perlahan-lahan aku semakin mampu berkonsentrasi.

Inilah semesta yang paling dalam, tanpa batas.... ....tak ada ruang tak ada waktu Yang ada hanya pikiranmu .........bernafaslah lebih dalam

Jul......psst! Aku melihat wajah Bapak Iwan dalam keadaan mata yang tertutup. Ia duduk tepat di hadapanku. Kulihat ia membuka mulutnya dan hendak berkata sesuatu. Tapi tiba-tiba ada suara lain yang mengacau.

Juuuuuull

Bernafaslah lebih dalam lagi.........

“Julieeeeeeet.” Bisikan Dion membuyarkan segalanya. Ia menyikutku. Maka berakhirlah segalanya. Aku membuka mata dan melirik ke arah suaranya. Ups! Aku terkejut, mendapati wajahnya ada di belakang pundakku. Seperti seseorang yang bersembunyi karena ketakutan. “Lihat itu....” Ia masih berbisik. Tidak ada tempat bersembunyi bagiku. Apalagi mataku. Gelas yang kupakai minum, asbak Bapak Iwan, bungkus rokoknya, buku, bolpoin, ujung-ujung karpet. Semua benda itu melayang-layang. Melayang tanpa ada beban. Seperti dalam pesawat ruang angkasa. “Astaga....” “Its hard to believe.....” Mereka berputar perlahan di atas meja, dan kemudian melekat kembali pada posisinya masing-masing. Aku belum sanggup menelan ludahku. Mata Bapak Iwan terbuka perlahan-lahan. Nafas teratur dan sangat berat. Tapi raut wajahnya menandakan ia tidak terbebani. Kami memandanginya dengan penuh perasaan yang campur aduk. “Itulah, bila jiwa yang mengendalikan. Dengan kendali jiwa, pikiran kita bisa bekerja leluasa sekehendak kita. Dengan kekuatan pikiran saya bisa memindahkan benda-benda itu. Dengan kekuatan pikiran pula kita bisa pergi kemana saja yang kita mau. Tapi ingat, kitalah bosnya. Jangan sampai kita balik dikendalikan. Bila kekuatan terlalu besar, maka itu bisa terjadi.” “Tapi INGAT!!” suara itu menggelegar. Kami berdua tersentak. “Jiwa ibarat sebuah Bejana kosong. Manusia berlatih mengisi kesadaran di dalam jiwa seperti mengisi air di dalam bejana. Harus berhati-hati. Jangan sampai terlalu penuh, dan ia tumpah. Kalian akan basah. Bahkan, bisa lebih buruk lagi. Terserang demam misalnya......mengerti maksudnya?” Kami berdua mengangguk. Dion yang mengangguk paling mantap.

Lalu pandangannya beralih padaku lalu berkata dengan penuh misteri. “Kau sangat istimewa, nak.” Kamipun berpamitan. Dion dipeluknya lagi. Kali ini ini lebih lama. Aku sedikit merasa ganjil dengan melihat pelukan itu. Tampaknya sudah menjadi tradisi setiap tamu laki-lakinya akan dipeluk sedemikian erat oleh Bapak Iwan. Bapak Iwan hanya menyentuh kepalaku. Anak rambutku yang berantakan. “Bro, gue langsung!” teriak Dion pada Iwan. Iwan terbengong-bengong melihat tampang kami yang lunglai. “Babe apain tu anak dua, be?” teriaknya dari dalam toko. Tapi tidak ada penjelasan lagi. Kami keluar dari toko Bapak Iwan dengan mengeram lebih banyak pertanyaan dibandingkan sebelum kami datang kesini. Menunggunya menetas, sudah tentunya akan menjadi saat-saat yang mendebarkan.

Hujan turun cukup deras di dalam perjalanan pulang kami. Mobil Dion terjebak macet, dan berulangkali mesin mobil mati sendiri. Dengan sabar Dion menyalakannya kembali, sambil harap-harap cemas tentunya. “Jangan mati dulu dong lu...” bisiknya pada diri sendiri. Tidak mungkin pada mobilnya. Mau tak mau kami menikmati kemacetan ini. Menunggu tanpa banyak berbicara. Sisa perjalanan pulang ini kami habiskan dengan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Dion mengutuk pelan ketika sebuah motor menyerobot lewat sisi kanan dan menyemburkan air berlumpur. Aku menggigil, memeluk tubuhku dengan kedua tanganku. “Dingin ya? Maaf AC harus kunyalakan, karena kalau tidak kacanya akan berembun dan menutupi pandangan.” Dion membuka jaketnya dan menyelimuti punggungku. Dingin itu berkurang, tapi aku masih saja menggigil, merinding. Benarkah aku akan menemukan sesuatu dengan cara ini? Benarkah aku akan melakukannya? Yakinkah aku?

-HARI 1Dion semakin membuatku betah dengan menyiapkan kamar tamu untukku. Membelikan beberapa baju perempuan dan tak lupa membuat hubunganku lebih akrab dengan si mbok agar aku tak sungkan untuk membicarakan kebutuhanku, bila itu tidak mungkin kulakukan pada Dion. Ia membeli sebuah CD yang berisi lagu-lagu khusus untuk latihan yoga dan meditasi. Akhirnya latihan kami benar-benar dimulai. Dan untuk hari pertama, kami memang menikmatinya. Ruang tengah. Sofa disingkirkan. Televisi 29 inchi diungsikan. Obat nyamuk elektrik dinyalakan—kata bapak Iwan, dilarang bermeditasi di ruangan yang banyak serangganya. Musik meditasi dilantunkan. Lima menit pertama, Dion berteriak kesemutan. Sepuluh menit selanjutnya aku minta izin ke WC. Duapuluh menit berikut, begitu mataku terbuka, Dion sudah berganti posisi—tidur terlentang, lengkap dengan ngorok kodoknya. Lima menit dari situ, godaan sebenarnya akhirnya muncul. Gorengan si mbok datang dan membuyarkan segala persiapan yang matang. Kami bertiga duduk dan menghabiskan gorengan itu. Dion mengajak si mbok berjoget diiringi musik dari CD playernya. Benarbenar pemandangan yang buruk, karena lagu meditasi semacam milik Kitaro dipakai untuk disko. Latihan hari pertama selesai.

-HARI 2Latihan kali ini lebih serius. Kami duduk saling membelakangi. Berusaha konsentrasi menggunakan irama pengiring dari nafas teman duduk kami. Aku berhasil meraih itu di menit-menit pertama. Tubuhku terasa ringan, dan jiwaku menjadi rileks. Saat ketenangan mengepung, aku bahkan mampu mendengar detak jantung Dion.

Lama kelamaan aku merasa kedua tanganku sudah tidak lagi bertumpu pada lutut. Mungkin ini saatnya aku meraih tahap berikut, yaitu mengendalikan pikiranku. Tapi kata Bapak Iwan, aku tidak boleh terburu-buru. Bisa berbahaya. Maka coba kupertahankan tahap itu selama menit-menit yang panjang. Sampai akhirnya bayangan ruangan observasi I muncul di kepalaku. Aku berontak tak siap, dan berusaha menendang pikiran itu. Tapi hasilnya fokusku malah kacau balau. Mataku terbuka lebar. Dadaku langsung berguncang. “Atur nafasmu. Aku kehilanganmu.” Bisik Dion dari belakang. Tapi aku tidak mampu lagi. Aku berhenti. Dionpun membuka mata. Ketika kami berpaling, kami mendapati ada orang lain ikut duduk bersila tak jauh disamping kami. Si mbok? Ternyata si mbok ikut bermeditasi di sana diam-diam. Tawa kami pecah menggelegar, tapi si mbok tak tergoyahkan. Begitu matanya terbuka, kami langsung menggodanya. “Meditasi juga ni ye....” Ia menatap kami bingung dan malu-malu. “Meditasi itu apaan mas Dion? Lho, mas Dion ama mbak Juli udah dari tadi selesai latihan bertapanya?” Halah....

-HARI 3Akhir-akhir ini aku sering merasa tegang dalam tidurku. Seperti banyak bisikan-bisikan yang menguntit untuk aku tetap terjaga dan melakukan latihan. Sehingga di waktu senggang, aku mencoba meladeni bisikan itu. Hasilnya memang tidak jelek. Tingkatan-tingkatan kesadaran jiwa yang dimaksud Bapak Iwan sudah mulai kurasakan melalui meditasi. Namun, aku belum berani melampaui tahap itu. Ada batasan yang harus ditempuh satu persatu dan tidak boleh didahului. Bisikan itu semakin lama semakin kuat. Malahan, aku tidak akan bisa tidur sebelum meditasi. Seperti ada sesuatu ketimpangan yang datang dan memintaku menyeimbangkannya terlebih dahulu.

Hari ini tidak ada latihan bersama. Aku sendirian. Tuntutan organisasi membuat Dion harus kembali bersibuk ria. Entahlah apa yang terjadi sore itu, tapi aku mendengar ribut-ribut di ruang tamu. Aku melongok dari kamar dan melihat ada beberapa orang disana. Satu perempuan dan dua laki-laki selain Dion. Mereka bertengkar. Memperdebatkan sesuatu. “Mana tanggungjawab moral lo?!” Seorang laki-laki berdiri tepat di hadapan Dion sambil menuding-nuding. Sementara yang lain berusaha menahannya. Dion hanya berdiri bergeming, tidak ganti berteriak. Yang ia lakukan hanyalah membalas tatapan laki-laki itu. “Iya, Di. Lo udah lama tinggalin kampus. Urusan di organisasi banyak yang ancur. Banyak yang mulai bimbang ngeliat ketuanya ngilang, dan siap-siap ganti haluan.” si perempuan berbicara. Dion masih diam. Seperti ada persimpangan yang menjepitnya. Entah kenapa ia lakukan itu. Akhirnya aku menutup pintu kamar dan bersila di permadani. Tanpa iringan musik aku melakukannya. Semua suara itu kukumpulkan dan kujadikan pengiring. Lalu jadilah ia satu irama dalam detak jantungku. Aku kembali berayun dalam konsentrasi penuh. Nikmat. Lebih sempurna dibandingkan latihan kemarin. Aku menghilang dari kehidupan beberapa menit sampai kurasa aku kelelahan dan memutuskan untuk melakukan pernapasan teratur kemudian bersegera menyudahinya. Saat melihat jam di dinding, aku terkejut. Ternyata aku tidak hanya menghabiskan waktu beberapa menit, tapi dua jam lebih tiga puluh menit. Tubuhku ambruk ke lantai. Kelelahan.

-HARI 4Ada sekitar lebih dari duapuluh orang di ruang tamu itu. Mereka duduk membentuk lingkaran dan mendiskusikan sesuatu secara serius. Keadaan di luar tampak tegang. Tak ada satupun tawa pertanda mereka masih bisa bercanda. Dion mengadakan rapat di rumahnya.

Aku menontoni mereka dari atas. Dari kamar. Dalam duduknya yang tegap, aku melihat Dion terluka. Wajahnya pias, seolah hendak pecah karena airmata yang telah tak terbendung. Andaikan aku bisa berada di sisinya tanpa terlihat yang lain, aku ingin sekali membantu menenangkannya. Kami tidak pernah lagi latihan bersama. Aku masuk kamar dan bersiap-siap. Rambutku kugulung tinggi. Poninya kujepit. Tak satupun rambut yang akan menggelitikiku selama latihan. Aku mengambil posisi ternyaman. Kaki kanan bertumpu di atas yang kiri, kedua tangan bertumpu di kedua lututnya. Saat mataku mulai terpejam. Aku langsung merasakan sensasi itu. Tak membutuhkan waktu lama untuk fokus. Aku mulai melihat warna dalam hitamnya mataku. Ada ribuan warna yang belum pernah kulihat hadir di muka bumi ini. Kujadikan pandu dan benar-benar berusaha percaya pada mereka. Tiba-tiba aku merasa sudah tidak sabar lagi. Ya! Aku harus melakukannya sekarang! Aku menarik nafas panjang dan menahannya di perut. Pikiran itu perlahan kutarik keluar. Aku melihat diriku yang lain. Aku juga menjadi diriku yang lain itu. Dalam sekejap aku merasa memiliki dua penglihatan. Seperti ada dua siaran yang berbeda dalam satu televisi. Tiba-tiba saja badanku terasa ringan. Terlalu ringan malahan. Aku ketakutan. Dalam keadaan mata terpejam, aku bisa melihat ke bawah. Tak ada pijakan yang kupakai bertumpu. Aku melayang. Aku melayang.......... Serta merta aku kehilangan pemanduku. Jantung terasa sakit seperti dicubit dengan gerakan refleks. Aku jatuh menghantam lantai dan langsung lemas. Badanku bergetar hebat. Aku masih bisa melihat yang lain, tapi aku tidak bisa membuka mataku. Sampai akhirnya, semua warna itu lenyap. Menyatu menjadi satu hitam yang disebut kegelapan. Tiba-tiba ada sebuah tangan menyentuh punggungku, dan merasa tubuhku dipapah oleh tangan itu. Didudukkan dengan posisi yang sama seperti semula. Aku hanya menurut dan mencoba, tetap dengan mata tertutup.

“Ambil nafas dalam, Jul....kau harus pelan-pelan melakukannya.” Jantungku masih sakit. Tapi pernafasanku berhasil kutata rapi. Mataku terbuka. “Dion.....” Ia tersenyum cemas memandangiku. “Kamu lima jam berada di dalam kamar, Juliet. Aku khawatir.” Aku tersentak. Lima jam? “Ada apa Jul?” Ia menyentuh keningku yang berpeluh. Tak terasa bibirku bergetar dan airmata jatuh satu-satu. “Aku melayang......” “Aku melihatnya......” Bisiknya kemudian merangkul tubuhku. Memeluknya kencang. Sekencang-kencangnya. Terlalu kencang sampai aku tersedak. Tapi ketakutanku lenyap. Aku menangis disana. Pelukan itu mengusir semua perasaan asing yang hadir. “Kamu berhasil, Jul.” Bisiknya lagi. Ia mengelus rambutku. “Dion, ada apa?” Ia terdiam. Mengendurkan sedikit pelukannya dan menjawab, “aku keluar dari organisasi.” Tanganku meraih pinggangnya. Aku balas memeluk tubuhnya dengan kencang. Tenaga yang hampir habis, tapi kuyakin ini cukup kencang untuk melenyapkan perasaan asing yang hadir di dadanya. Dion lesu. Aku kelu. Kami berpelukan.

-HARI 5Kami kembali melakukannya bersama. Di subuh yang gemilang, karena hujan tumpah ruah seolah tak mengampuni bumi yang sudah separuh berlumpur. Jemuran yang basah kering berkali-kali, influenza yang makin mewabah, dan trend payung berenda sudah tergantikan dengan mantel-mantel tebal, agar tidak tertiup angin. Aku membangunkan Dion yang masih bergumul dengan selimutnya, menyuruhnya mencuci muka dan segera bersiap bermeditasi. Kebetulan kita berdua masih dalam keadaan mengantuk. Dengan pasrah ia bangkit dan mencuci muka. Kaos oblongnya dilepas, mengolesi deodoran di kedua lipatan ketiak, dan bersila sambil bersandar di

punggungku. Udara dijamin bebas hambatan. Bebas bebauan aneh. Karena dia sudah menyelamatkan itu. Di luar hujan turun seperti kesetanan. Tapi itu merupakan keuntungan kami. Karena suara air bisa jadi musik pengiring terindah. Suasana menjadi sunyi senyap, ketika sudah kutemukan fokus itu. Manakala sunyi menjelma menjadi penjara, itulah saat dimana seluruh inderaku menjadi amat peka. Aku bisa mencium bau badan Dion yang bercampur keringat dan parfum rollon-nya. Aku juga bisa menghitung detak jantungnya yang terdengar cukup keras. Kemudian warna-warna itu bermunculan satu persatu sampai akhirnya menjadi penuh sesak di ruang penglihatanku. Sekarang! Aku mencoba mengeluarkan lagi jiwaku dari tubuhku. Kekosongan yang hitam menyerbuku dari segala sisi. Kurasakan ada yang mencoba menarik sesuatu dari dalam tubuhku dengan keras dan kasar. Dadaku seperti tersengat listrik. Ada yang berlarian di pikiranku, menghamburkan fokus itu kesegala penjuru pikiran. Mereka masih liar, dan sementara aku berusaha menguasainya, terdengar bunyi sesuatu berhamburan. Kemudian disusul bunyi benda pecah, seperti baru saja dijatuhkan dari ketinggian tiga—empat meter dari atas kepala kami. Sangat keras. Ada juga suara mengaduh. Prangg! Aduuh...! Dion berteriak histeris. Fokus itu berantakan sebelum terkumpul dengan rapi. Aku membuka mata. Dua lukisan yang tergantung di dinding jatuh, dan salah satunya mengenai tubuh Dion. Sebuah vas bunga juga hancur berantakan. “Dion!!” aku gelagapan membantunya berdiri dari lukisan yang menutupi badannya. “Gempa ya?” tanyaku. “Ka...yaknya, kita butuh ruangan yang lebih lapang.” Masih dengan tatapan tak percaya, aku berjalan membuntuti Dion. Aku—atau Dion, salah satu diantara kami—atau kami berdua bersama-sama baru saja menghancurkan benda-benda itu, dengan pikiran kami. Kamipun pergi mencari pelarian yang lebih luas. Tempat yang tidak ada perabotan dan benda tajam. Melarikan kekuatan kami yang baru saja belajar untuk

mengendalikan diri. Atau lebih tepatnya belajar mengendalikan kekuatan pikiran kami. Pantai. Di sini hujan hanya gerimis sakit. Airnya besar dan tajam, turun sedikit demi sedikit ke bumi. Kami bersila di pasirnya. Sama-sama menghadap ke arah laut lepas, dalam jarak beberapa meter. Aku tidak menyangka disinilah semuanya menemui titik maksimalnya. Disini akhirnya aku benar-benar berhasil mengecap proyeksi astral yang dimaksud Bapak Iwan, dan dengan cepat aku menjadi ketagihan! Sepertinya aku telah menemukan tempat yang tepat. Ombak adalah jawabannya. Buih laut yang asin adalah pemandu sejatiku. Air dan suaranya menjadi sehati dengan pikiranku. Kami bisa saling membaca, dan bisa saling memandu. Kedua kaki yang kulipat mulai terasa ringan tak berbobot. Pelan tapi pasti, aku rasakan ketegangan itu melebur dalam perasaanku. Aku merasakan kedamaian datang melilitiku dan mengirimkan sebuah rasa yang belum pernah kudapati sebelumnya. Perasaan yang berada jauh di bawah titik tenang. Bahkan tak ada obat penenang yang mampu membuatku setenang ini. Seperti baru saja dihipnotis. Aku berada jauh dari segala kewarasan, jauh dari semua kegilaan, jauh dari segala sakit. Yang ada hanya aku dan alam. Berdua saja, dan begitu cocoknya kita. Inikah surga? Beberapa detik saja aku terdampar, dan kurasakan buaian itu seperti di pelukan ibu. Dengan cepat aku terlepas dari tubuh kasarku, melanglang seperti elang yang beterbangan di atas lautan. Melihat tubuhku yang tengah bersila di samping Dion dengan matanya yang terpejam. Begitu tampan wajah itu. Wajahnya yang mengantuk terlihat berkilauan ditimpa sinar matahari pagi. Aku melintasi beberapa kota, dan juga negara. Benua-benua itu kulangkahi. Aku berdesakan di sebuah pasar di Cina bersama banyak orang yang juga tengah melakukan perjalanan astralnya. Kami bertemu dan saling menyapa. Aku melupakan rumah sakit, aku tidak ingat ayah tiriku, aku buang semua kenangan bersama Ana dan teman-temannya. Di kedamaian berikutnya, aku menemukan sejumlah manusia yang berkeliling. Berjalan memutari sesuatu bersama-sama. Semakin ke arah luar lingkaran

itu semakin besar putarannya. Mereka manusia memakai baju putih-putih, dan ada juga wanita yang kebanyakan memakai baju hitam panjang, memakai cadar dan menutupi wajah mereka. Tampaknya aku berada di kota suci umat Islam. Kalau aku menggunakan perjalanan biasa, aku tidak akan mungkin sampai ke tempat ini. Tidak akan diizinkan masuk. Aku kagum melihat mereka. Terpesona, dan amat terpikat. Aku berpindah-pindah tempat dengan cepat. Aku kehilangan arah dan kebingungan menentukan jalan pulang. Pikiranku tremor dan menjadi frustasi. Gelagapan di tengah jalan yang gelap membuta. Tiba-tiba saja sesuatu mendorong tubuhku dengan dahsyatnya. Aku terlempar ke belakang. Tubuh kasarku terlempar ke belakang dan kembali terseret beberapa meter ke depan. Aku menyatu. Mataku terbuka. Kesadaran fisikku memulih. “Ombak, Di!” “Bukan ombak Jul, tapi gelombang! Barusan kita diseretnya. Ia berdiri tinggi sekali tadi. Aku melihatnya!” Aku kembali terbengong-bengong dalam keadaan masih terkapar di pasir, dengan mulut dipenuhi air laut. Bukan begini cara mengakhirinya. Aku bisa mati kalau selalu terkejut di setiap akhirnya. “Dion!!” teriakku. “Kita baru saja membuat air laut pasang!” Ia mengangkat kepalanya dan balas berteriak. “Tidak Jul.” Katanya sambil berusaha duduk. Tubuhnya basah kuyup. “Hah?” “Bukan kita, tapi kamu!” APA?? “Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya pura-pura. Karena aku yakin kamu memiliki sesuatu yang luarbiasa. Tuh, buktinya!” Setelah mendengar itu, aku jatuh tak sadarkan diri.

-ISTIRAHAT-

“Aku tahu kalian akan kembali lagi. Hahaha!” suara berat itu menggelegar lagi. Kami berdua hanya tertunduk, seperti sedang menerima hukuman karena tertangkap basah mencuri. “Kan sudah dibilangin, ingat BEJANA, ingat bejana. Ingat nggak? Setiap manusia memiliki kekuatan yang tidak ada batas dalam bawah sadar dirinya, nak. Tinggal bagaimana manusia itu mencari, berkenalan, mengesplor, dan kemudian mengendalikannya. Jangan sampai, begitu kekuatan itu sudah didapat, malah dia yang mengendalikan kita. Itu tidak benar.” “Iya, be. Tapi bagaimana caranya. Saya sih ngerasa nggak sanggup aja kalo tiap latian harus aja ada barang yang rusak.” Dion melirikku. “Ya, pikir sendiri dong! Gimana caranya ngisi air di dalam ember biar ga sampai tumpah dan meluap. Itu sama dengan bagaimana caranya mengendalikan pikiran. Harus pelan-pelan nak, dari tahap ke tahap. Kalau kalian meloncat, agar ingin cepat-cepat sampai, kalian akan tergelincir. Itu akan sangat sakit tentunya ya?” Aku mengangguk pelan. Bapak Iwan tersenyum dan menepuk pundakku.

-TERAS rumah DionPetikan senar dari gitarnya membuat suasana rumah jadi terasa romantis. Sekalipun bunyinya terdengar sumbang dan lirik yang keluar dari mulut Dion terbatabata karena ia masih sering keliru antara kunci nada Eminor dan A. Rokok di bibirnya menggelayut manja seperti milik si gitaris Guns N Roses. Tapi gitaris yang ini memainkan lagunya Benyamin S. “Dion,” “Hm?” “Sudah hampir seminggu, aku utuh menjadi Juliet.” “Hah?” “Tak ada tanggal kalender yang kuloncati kan?” Dion mengacungkan jempolnya. Mengacak rambutku, tanpa banyak komentar.

-PERJALANAN besarSi mbok pulang kampung. Cucunya minggu depan mau masuk sekolah baru. Katanya sih, sudah tradisi, kalau ada cucunya yang baru masuk sekolah, atau kenaikan kelas telah tiba, si mbok dan keluarganya harus hadir dan mengadakan selamatan kecil-kecilan. “Itu neng, cuma baca doa sekeluarga aja. Kecil-kecilan, tapi itu mah, sudah tradisi.” Ujarnya mengikuti kalimat sebuah iklan di televisi. Aku beli batagor di ujung kompleks perumahan. Perutku sakit, sejak pagi tidak kemasukan apa-apa. Batagor ini akan jadi yang pertama. Begitu masuk rumah, jam dinding sudah menunjukkan pukul 2 siang. Dion tidak di rumah. Kuliah mungkin. Aku membuka lemari es dan mencari sesuatu yang segar di sana. Hanya ada sekaleng jus. Aku tidak doyan jus. Maka kutuangkan segelas penuh air dingin. Kuputuskan untuk makan di kamar saja, karena rumah segini besar, di siang bolong juga bisa jadi menyeramkan kalau cuma sendirian. Kubuka jendela kamar lebar-lebar. Gerimis. Ah hujan lagi! Aku mulai makan dan beberapa suap kemudian perutku terasa melilit. Ini pertanda lambungku merajuk. Karena keterlambatanku, ia terlanjur memproduksi asam berlebihan. Piring itu kutaruh di atas meja. Padahal masih lapar. Tak ada obat maag. Aku menekuk diri di atas tempat tidur. Dengan mata terpejam, kusimak tetesan air hujan itu. Perlahan-lahan. Tes...tes...testestes....tes....tes....testes..... Percaya atau tidak, tetesan konstan itu berubah menjadi sebuah nada. Hujan seperti sedang bernyanyi dengan merdu. Bau tanah yang menggelitiki penciuman membuatku melayangkan anganangan dan kemudian jadilah kantuk itu datang. Dengan diantar nyanyian hujan yang masih semerdu biasanya. Aku menyimak dengan sukacita. Mataku sudah lengket dan memohon untuk segera dirapatkan. Tiba-tiba sesuatu bergolak dari dasar perutku. Seperti hendak mau muntah, tapi ini lebih sakit. Ada yang tercabut dari tubuhku. Melayang cepat dan berlari menembus waktu tanpa seorangpun bisa mengejarnya. Jiwaku keluar dengan sendirinya!

Sedangkan tubuh asliku masih di tempat tidur dan masih memandangi sepiring batagor itu. Dadaku sakit, seperti ketindihan sesuatu. Aku kehilangan oksigen untuk bernafas. Atau lebih tepatnya aku kehilangan kemampuan untuk menghirup oksigen. Lampu di plafon kamar bertubrukan. Mati—hidup beberapa kali, kemudian meledak. Pecahannya berhamburan, memenuhi lantai kamar. Semua menjadi hitam. Proyeksi astral yang dahsyatkah? Atau jangan-jangan....AKU MATI. Karena aku tidak bernafas. Dalam dua dunia yang telah terasa jelas itu, aku merasa telah terdampar di separuh waktu yang pernah ada, namun telah berlalu. Aku benar-benar telah sampai di kehidupanku yang sebelumnya. Selain warna kalung salib di dadaku yang berwarna kuning keemasan, semua disana berwarna hitam dan putih. Mataku melihat seliweran wanita dengan pakaian hitam putih berkerudung. Ada tubuhku disana. Sebuah tubuh yang secara fisik berbeda dengan tubuhku sekarang, tapi secara alami aku mengenalinya sebagai tubuhku. Dan aku tengah berlutut di hadapan seorang laki-laki dewasa. Jari-jariku gemetar. Aku ketakutan dengan sosok di hadapanku ini. Ayah, dia telah memenangkan hatiku. Plakkkk!—sebuah tamparan keras melayang di pipi. Tubuhku yang tengah berlutut itu tetap bergeming, tetapi tubuhku yang disini, tersentak keras. Jantungku semakin terasa di tusuk. Setiap detil sakit yang kulihat, akan tertular juga di tubuh asliku. Harusnya kau tahu, siapa dirimu. Kau anakkku, dan telah kupersiapkan sejak lama. Takdirmu disini! Bukan di tempat lain. Mengerti?! Bukan tempat ini yang memenangkan hatiku, tapi dia. Seharusnya Tuhan yang memenangkan hatimu. Dan juga hidupmu! Laki-laki itu pergi meninggalkanku. Aku yang berlutut, tertunduk, dan terluka.

Ayah, selamatkanlah aku, aku terperangkap.....

Juliet...... Juliet.... JULIET!! Buka matamu... Hanya beberapa detik aku terlempar jauh kesana. Hanya beberapa detik. Tapi kurasakan tubuhku seolah terpecah-pecah. Tak kuasa mengadili lemparan waktu Sang Kuasa. Aku ketakutan...kesakitan.... Menyaksikan semuanya dengan mata kepalaku sendiri. Tubuhku yang lain yang tengah berlutut putus asa di depan altar suci. Jiwa bimbang yang butuh diselamatkan. Sampai kapanpun ia akan menunggu itu.

Sementara tubuhku yang satunya ada di sini. Didorong di atas tempat tidur menuju sebuah ruangan yang dipenuhi cahaya lampu bundar-bundar. Terang benderang. Ruangan yang penuh sesak dengan cahaya lampu. Kedua kenyataan itu bertubrukan dan membuatku semakin kehilangan kendali atas jiwaku sendiri. Ia menghilang dan pergi semakin jauh di tempat yang tak terjangkau oleh pikiranku. Sinyal itu hilang sepenuhnya. Aku tersesat.

HWOEEEKKKK! Rongrongan udara menggerayangi paru-paruku. Menyerbu masuk melalui hidung tanpa mengantri terlebih dahulu. Mereka tak sabar membuatku kesesakan. Aku megap-megap.

Kemudian seperti biasa, tubuhku terpental kesana kemari. Bergetar hebat dan kejang-kejang. Mataku melihat satu cahaya putih yang besar. Sambil berusaha melawan gempa lokal ini, aku menantang cahaya itu. Perlahan ia mengecil dan kemudian hilang. Gempa itu mereda dan menyisakan pusing yang luar biasa. Selamat datang kembali, kehidupan. Ternyata aku belum mati dengan sempurna. Sebuah tangan menyentuh keningku. Meskipun samar, aku bisa mengenali wajahnya. Sebuah wajah yang gemar tersenyum. “Juliet....kau baik-baik?” Matanya dipenuhi kecemasan. Aku mencoba mengedipkan mata. Aku bisa merasakan diriku sendiri. Aku rasa aku baik-baik saja sejauh ini. Tapi tolong, jangan lempar aku kemana-mana lagi. Itu perjalanan paling sakit yang pernah kurasakan. “Kau tidak amnesia kan?” “Aku dimana, Dion?” “Rumah sakit lah.....” “Kenapa musti rumah sakit....” “Ya mau kemana lagi? Sepotong gede neon bersarang di jidat lo tuh! Masa lo musti gue bawa ke restoran?” Aku mengambang mendengar jawaban itu. “Kok bisa sih, Juliet....kamu melakukannya lagi kan? Iya?” Aku bergerak hendak menjelaskan, tapi tidak sanggup. “Masih pusing?” Aku menggerakkan kepala. “Kata dokter, emang begitu. Tapi tenang aja. Dua hari juga udah ilang sakitnya. Maklumlah, Kepalamu kan dijahit.” Aku mengangguk lagi. “Lama-lama gue keder juga ngeliat lo, Jul. Makin lama, makin kayak nenek sihir. Kendalikan kekuatan lo dong....kata Babenya si Iwan, lo tu kan emang udah ada bakat dari sononya. Nggak usah dipaksa lepas aja, dia bisa lepas sendiri kok. Nah ini, akibatnya kalau lo nggak peduli.” “Iya, aku juga lagi usaha....”

Eh? Aku merasakan tanganku yang kanan terasa hangat, karena sebuah dekapan. “Apa-apaan

nih?”

aku

menunjuk

tanganku

yang

dikepal

dalam

genggamannya. “Bukan aku yang minta lho, hehehe.” “Apa? Enak aja. Ya udah, lepasin ah!” Aku menepis, tapi gerakanku tertahan. “Nggak mau.” Genggamannya semakin kencang. Ia tertawa, dan nafasnya menyerbu penciumanku sebagai percampuran oksigen yang sempurna. Harum, khas Dion. Aku tidak menyangka harus mendengar cerita itu. Andaikan bisa menghilang saat itu juga. Atau setidaknya ranjang rumah sakit ini melipat tubuhku, agar tersembunyi di dalamnya Menurut Dion......ah, jadi, begini ceritanya..... Dion menemukan aku terkapar dengan dahi mengucurkan darah di atas tempat tidur—Jadi neon itu memang benar-benar bertubrukan dan pecah menghujani kamar, dan ada beberapa potongan yang mendarat sukses di dahiku—sesukses Neil Amstrong yang mendarat di bulan. Ia langsung membawaku ke rumah sakit terdekat karena panik. Bagaimana tidak? Potongan neon itu masih tertancap kokoh di dahiku. Pemandangan yang cukup mengerikan untuk disaksikan seorang diri. Sesampainya di rumah sakit, dokter langsung memutuskan mengadakan operasi, mereka takut pecahan itu mengenai saraf mataku—kalo lo buta, lo nggak bisa liat orang cakep lagi (begitu kata Dion)—maka keputusan itu segara dilakukan. Dion menggesek kartu kreditnya. Ia putuskan pembayaran dilakukan di muka, supaya aku bisa tertangani secepatnya. Standar rumah sakit-rumah sakit yang menjunjung tinggi prioritas. Tapi, begitu hendak masuk ruang operasi, terjadi sedikit keributan antara Dion dan pihak dokter. Tangan Dion tidak mau kulepaskan dari genggaman. Padahal saat itu aku sedang tidak sadarkan diri. Dalam keadaan pingsan, tanganku mengepal semakin kuat dan menyembunyikan tangan Dion di dalamnya. Para dokter memaksa untuk menarik tanganku. Tapi tetap tidak berhasil. Akhirnya mereka menyerah. Dion dipakaikan baju untuk ikut masuk kedalam ruangan operasi. Operasipun berjalan dengan Dion di dalamnya dan tangan kami yang tetap bertaut tak terpisahkan.

“Gila hampir pingsan tau, ngeliat jidat lo berdarah-darah, dibelah dokter itu. Hiiii” ia bergidik. Karena takjubku, aku tidak memberi komentar. “Lagian, manja amat sih,” ia menjentikkan jari di hidungku. “Sekarang boleh kok dilepasin, aku udah sadar.” Ia menggeleng. “Tidak apa-apa.” Lalu tersenyum. Setiap kali senyumnya mengembang, terukir di wajahnya yang sempurna, aku selalu mengira-ngira, dengan apa Tuhan telah memahatnya. Hingga dengan demikian indah ia tetap bisa hidup di tengah-tengah keburukan dunia yang membuatnya harus terus mengikis ukiran hatinya untuk terus mencari sebuah keyakinan. Entah sudah seberapa banyak kecantikan hatinya terkikis pertanyaan yang tercipta di benaknya. “Kamu tahu, terkadang aku berpikir, aku ingin begini saja selamanya. Asal bersamamu.” Kalimat itu meluncur sendiri. “Kamu bilang apa Jul? Aku nggak denger. Tivinya kekencengan.” Ia berkata sambil terus menatap layar televisi. Aku tahu, dia hanya pura-pura tidak mendengar. Dan tidak sungguh-sungguh memintaku mengulangi kalimat itu.

*

Di tengah malam aku terjaga dari tidur. Pusing di kepalaku sudah mereda, dan tubuhku terasa sudah segar. Rasa haus membuatku terjaga. Seorang perempuan muda memasuki kamar ini. Memanggil Dion. Dion terbelalak kaget dan bagai tersihir, ia berdiri menatap perempuan itu. Mereka berpelukan. Berpelukan di hadapanku, tanpa menyadari aku telah terjaga. “Ada apa sayang? Maaf aku terlambat mengangkat teleponmu.” Dion mencium rambutnya. Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk kembali tertidur. Lebih baik aku tidak menyaksikan apa-apa, karena untuk melihat sedikit saja, dadaku sudah terasa terbakar oleh sesuatu yang tidak enak untuk dirasakan. Mereka melepuh. Perempuan itu terisak-isak

“Mas Dion, papa—mama mas....” “Ke...kenapa? Ada apa Arimbi?” Arimbi? Arimbi—Arimbi itu.... Astaganaga! Kayaknya aku pernah dengar nama itu. Ya, Arimbi itu adik perempuan Dion, yang pernah diceritakannya padaku. Kutajamkan kembali pendengaran. “Mereka berpisah mas.......di pengadilan, minggu depan. Mas Dion pulang ya, Arimbi ga enak di rumah sendirian. Atau, Arimbi ikut mas Dion ngontrak aja.” Ia sesenggukan. Dion membenamkan wajah di tengkuk adiknya dan semua berhenti bersuara. Tangannya mengepal. Seolah tengah menggenggam sesuatu yang tak nyata dan sangat tak ingin mereka ikut terburai. Tiba-tiba saja aku merasa sangat malas bernafas. BIARKAN AKU MATIII!! Bisa nggak siih?!

*

Entah setan apa yang telah lancang merasukiku, sehingga tanpa pikir panjang dan tanpa alasan apapun, aku memutuskan untuk melarikan diri dari rumah sakit. Hobi lama. Benar, aku melakukannya tanpa pemikiran panjang! Sebab, kalau terlalu panjang berpikir, maka keputusan akan selalu berubah. Untuk menghindari ketimpangan keyakinan itu, aku memutuskan untuk lari dari rumah sakit. Bukankah itu sudah merupakan keahlianku? Dion sedang pulang. Arimbi tampak kelelahan karena menyetir sendiri semalaman. Aku melompat dari tempat tidur dan meyakinkan diri, bahwa rasa pusing tidak akan lagi menghalangi langkahku. Biar bagaimanapun juga, aku tidak akan jadi beban siapa-siapa. Walau tanpa kusadari, ini mungkin akan sangat menyakiti Dion.

*

Keajaiban yang tidak Lazim Langkah kakiku mantap tak tergoyahkan. Masih menggunakan seragam rumah sakit yang tipis, aku berjalan menuju sebuah rumah. Dengan tujuan lama yang pernah habis tertumpas ambisi. Entah darimana datangnya ambisi itu, yang akhirnya menelanku bulat-bulat, untuk melupakan cita-cita yang selama ini kugunakan untuk bertahan hidup. Satu-satunya cita-cita yang kumiliki. Aku berjalan tanpa menenteng apapun. Karena dengan tangan kosong aku akan datang menghabisi nyawanya. Masa bodoh dengan karma! Masa bodoh dengan reinkarnasi atau teori-teori Bapak Iwan tentang kesadaran jiwa. Bukankah aku hanya salah satu manusia yang telah berhasil diperalat, karena ingin coba-coba menguak rahasia Tuhan? Tidakkah mereka sadar, satu-satunya keberhasilan manusia di dunia ini hanya saat mereka mampu membalaskan dendam kesumat mereka. Untuk membebaskan hidup yang sudah terpenjara demikian lama. Aku dengan dissosiative disorder yang kejam. Aku dengan perjalanan astralku yang menyesatkanku dari tujuan perjalanan yang sebenarnya. Dion.... Dion yang telah kenyang dengan kehilangan demi kehilangan. Apa aku masih harus berdiam diri? Duduk bersila dan kemudian berjalan-jalan gratis keliling dunia tanpa ada yang memberikan tagihan? Sampai aku tahu bahwa sesunggunhnya aku hanya seorang pengkhianat kaumku. Dari zaman ke zaman. Dari kelahiran ke kelahiran. Aku hanya manusia terbuang yang sudah cukup pantas berbaur dengan sampah. Selalu tentang aku dan orangtuaku. Dengan perbedaan yang membebani punggung kami. Dan untuk perbedaan itulah kami disebut anak—dan orangtua. Tapi

seharusnya antara anak dan orangtua timbul sebuah keyakinan. Bahwa seharusnya mereka hidup dengan saling mengimani. Mengimani bahwa mereka harus saling membahagiakan. Dan bukan saling memperalat. Atau...atau aku saja yang buta? Ada sesuatu yang tidak bisa kulihat? Langkahku berhenti. Aku berdiri di tempat yang sama dengan belasan tahun lalu. Menatap ke depan dan tak terlihat apapun. Rumah kami telah rata dengan tanah. Rumah kami yang dulu. Rumahku dengan ibuku. Tak ada sisa-sisa tanda kehidupan yang pernah hadir disana. Hanya ada sumur tua yang masih bisa dikenali sebagai salah satu identitasnya. Lunglai, tungkaiku bertumpu pada bumi yang tua. Tak ada yang sejati, yang bisa kupercayai. Kenangan itu seharusnya dibiarkan hidup, sekalipun pemiliknya telah kembali pada kematian dan tidak akan ada yang merindukannya lagi. Ataukah aku terlalu naif....... “Juli.......” Telingaku menangkap getaran. Suara itu lagi. Aku berbalik dan menyeka airmata. “Mau apa kau bang?” “Aku tahu kau pasti kembali, Juli.” “Aku tidak pernah kembali untukmu bang. Bisakah kau mengerti?” Ia mendekat. Tubuh wangi itu sedang tidak berbaju koko. Ia berdiri utuh sebagai manusia biasa dan memilih untuk sementara menyimpan dedikasi terhadap agamanya di sisi hidupnya yang lain. Ia kini sedang berdiri dan bahkan bersiap bertekuk lutut untuk sesuatu yang sangat dia impikan. Aku selangkah mundur. “Tak tahukah, aku mencintaimu Juli?” Aku menggeleng, menggigit bibir. “Kenapa? Aku terlalu tua?” “Bukan.....tapi, karena aku sakit. Aku sakit, dan hidupmu terlalu sempurna.” Aku berbalik dan bersiap berlari. Haidar menangkup pinggangku cepat. Memelukku dari belakang. Aku terjebak kerinduan yang menyergap nakal dan untuk beberapa saat ingin tertelan olehnya. Haidar bisa jadi pencuri ulung disaat-saat begini.

Aku terbuai. Sampai menit berikutnya, ada suara lain yang ikut bergabung dalam prahara terpanjang sejarah hidupku. Membuatku dihadang kemelut lainnya. “Ju....juli....” A..apa itu? Kami berdua tersentak bersama saat menyadari ada orang lain yang hadir disana. Aku berharap ia tidak melepaskanku sekarang. Karena aku akan segera jatuh pingsan. “Ju....li...Juli anakku sayang.....?” Laki-laki itu. Laki-laki buas, yang telah berani memakan anak dari istrinya sendiri tanpa belas kasihan. Kemudian dia yang pernah kunobatkan sebagai binatang berkaki empat karena berhasil membuatku berkali-kali kencing berdiri, dan ibuku mati dalam kesedihan yang panjang. Lalu melarikan diri dalam harta kekayaan istri barunya yang sukar untuk dihitung ada berapa jumlah pastinya. Dengan mulut yang menganga lebar, aku mencoba mengurai satu persatu ingatanku tentangnya. Dialah alasan untukku datang kembali. Membunuhnya dengan tangan kosong kemudian memakan dagingnya mentah-mentah, dan kalau boleh, aku akan berbagi dengan anjing-anjing malam yang kelaparan. Tapi tampaknya ia tidak terlalu mirip seperti itu sekarang. Dia jauh lebih sengsara dari bayangannya sendiri. Karena sepertinya ia telah dicampakkan sebagai makanan sisa. Rambut yang memutih seluruhnya. Tubuhnya ceking tanpa satupun balutan pakaian yang menempel pantas. Hanya secarik ulos usang menutupi dadanya. Ulos milik ibuku yang dulu selalu dipakainya sebagai penutup kepala. Ia tidak bercelana. Seluruh bagian tubuhnya terlihat jelas. Karena tak ada celana bagian dalam dan celana bagian luar. Dia telanjang. Dia laki-laki telanjang yang gila. “Ju...li. Kamu kembali. Hihihihi. Anak baik pasti kembali...hihihi” Sekuat tenaga aku berusaha berpegangan pada tangan kekar yang melingkari perutku. Tapi tidak pernah berhasil. Karena beban tubuhku terasa semakin memberat, dan seluruh penglihatanku tertutupi kabut.

Bibirku bergetar hebat. Menyaksikan laki-laki yang tengah tertawa-tawa karena kedatanganku. Inilah kenyataan. Kenyataan pahit yang membawaku pada masa terkelam sepanjang sejarah hidupku. Dimana dia, yang merupakan satu-satunya cita-cita hidupku telah ikut kandas dihantam badai waktu yang tak berperasaan. Aku tak mungkin membunuhnya. Percuma saja ia mati ditanganku, karena dia akan mati sia-sia, tanpa pernah ingat betapa sakitnya hatiku. Dan untuk itu aku pantas untuk membalasnya. Ia tidak akan merasakan apa-apa, kecuali kematian yang sia-sia. Haidar terus menerus menepuk pipiku dan memintaku untuk bangun. Mataku terbuka, tapi aku tidak mampu mengontrol semua penglihatanku. Aku melihat semua. Semuanya. Aku menyaksikan se...mua...mua...nya! Satu titik air jatuh menimpa wajahku. Hujan telah datang bersama iramanya yang indah. Gejolak itu hadir lagi. Jiwaku terlempar keras keluar tubuh. Aku benar-benar melemparnya dengan pikiranku. Sudah tak ada ruang lagi di tubuh ini untuk satu jiwa yang begitu tersakiti. Biarkan ia membalas dengan caranya sendiri! Aku melayang tinggi seperti layang-layang. Keluar atmosfir dan memandangi peristiwa melankolis itu berlangsung. Dan serentak mereka semua kembali berkumpul. Kepribadian—musuh-musuh lamaku kembali hadir. Mengantri untuk kemudian satu persatu muncul menunjukkan eksistensinya sebagai bagian dari rasa sakitku. [Laki-laki busuk! Seharusnya kau mati! Juliet...bunuhh dia!] [Valium, valium! Beri aku valium!] [Aku Sa’adyah Al Rajab. Kau perempuan yang sangat menyedihkan. Auratmu kau jual!!] [Juli mau ikut ibu.....ayah jahat....] [Mengakulah dosamu padaku! Aku Pendeta Mosaaq. Aku akan mengampunimu. Tuhan akan mengampunimu. Kembalilah kamu] [Saya Mother Teressa....ingatlah bahwa Masa depan adalah milik mereka yang percaya tentang keindahan mimpi-mimpi mereka...]

........ Badanku bergetar semakin hebat, dan rasa sakit di jantungku semakin terasa meradang karena tak mampu kukendalikan. Kalau ada pistol, atau misalnya ada seorang sniper yang kebetulan lewat. Tolong tembak aku......tolong! Tapi aku belum boleh mati. Fokus dalam diriku belum juga mampu kukuasai. Nyanyian hujan semakin membuatku terhipnotis lebih dalam. Angin di sekitarku berputar-putar, membentuk pusaran yang siap menyedot apa saja. Menyapu semua benda yang rela dibawa pergi, untuk menghilang. Hujanpun kelimpungan turun dengan kecepatan yang tidak direncanakan. Mereka berhamburan keluar dari langit. Dedaunan berterbangan kesakitan. Semua perut alam meronta-ronta di hadapan kami. Kekuatanku menjadi sumbu alam untuk mengamuk. Haidar semakin keras mendekap tubuhku. Tapi tak memakan waktu lama, karena setelah itu tubuhnya terlempar jauh dan tertelungkup di tanah. Laki-laki tua itu berhadapan dengan tubuhku yang terbaring tak bernyawa lagi. Ia menahan hantaman hujan dengan kekuatan yang tersisa. Tubuh tuanya seolah hendak terbelah dua. Tak kuasa dengan perihnya hantaman demi hantaman. Sepotong batu terbang dan menghantam pelipisnya. Ia berdarah. Tetap saja ia masih berusah mendekatiku. Dan dalam kecepatan tak terpikirkan, ia menyentuh keningku. “A....ayah....minta MAAF.” Jiwaku mengeras. Tubuhku berubah menjadi fosil. Mataku tercongkel keluar. Aku berubah menjadi setan terkejam di seluruh neraka. Setidaknya itu yang kuinginkan. Ketika mendengar suara tua itu bergema di seluruh ruang pendengaran. Jiwaku yang terkesima bagaikan layang-layang merosot kemudian meluncur seperti komet yang turun dengan kecepatan tinggi, menembus atmosfir tanpa terbakar sedikitpun, kemudian semakin cepat menghantam bumi. Menyatu kembali dengan ragaku yang seolah tak ingin kembali bergerak. Tapi ia harus bergerak. Karena aku masih hidup. Alampun seketika bungkam. Aku, alam, kami semua kelelahan........

Aku masih terbanting-banting, terpental dengan sendirinya. Kakiku terlipat, tanganku kusut. Aku masih memantul di tanah seperti bola bekel. Barulah benar-benar berhenti, ketika kurasakan seluruh otot telah menjadi kaku. Mataku kosong menatap kehampaan, tanpa bisa kuuraikan rasa pedih yang ditorehkan sembilu itu. Kucoba merangkak meraih sesuatu yang kira-kira bisa kupakai bertumpu, berdiri. Tapi tak ada. Aku hanya menggapai udara. Sebuah langkah kaki yang masih sehat berderap menuju ke arahku. Memanggil-manggil namaku berulang-ulang dengan suara yang bergetar. Aku tak mampu menoleh ke arah yang lain. Sekalipun aku ingin berteriak meminta tolong. Pandanganku hanya mampu terarah ke depan. Mencoba menembus tubuh tua yang tergeletak di sebelahku itu dengan diam tak bergerak. Kuharap dia akan terhalang sesuatu, agar pandangan ini tidak berhenti padanya. Tapi sia-sia. Dia masih disana dan aku tak mampu memejamkan mata. Hanya sebuah impian. Dia tetap sebuah impian. Laki-laki ini akan tetap menjadi sebuah impian bagiku. Kepalaku diangkat dari tanah. Direbahkan di atas sebuah pangkuan yang kokoh. “Juliet, bangun...” Wajahnya basah dipenuhi airmata. Pandangan itu sangat memohonku untuk membalasnya. Betapa terkejutnya aku. Ternyata Dion. Dia itu Dion. Dia bukan Haidar. Dia wajah yang selalu kuinginkan hadir disetiap lukaku mulai kembali bernanah. Dialah obatku disetiap keraguanku tentang hidup hadir dan menghantui langkahku. Derap-derap biadapku yang selalu berkhianat. Bibirku bergetar ingin mengucapkan sesuatu, tapi kami sama-sama sadar, itu adalah hal paling mustahil yang tak mungkin bisa kulakukan saat ini. Tangannya lembut membersihkan pasir di mukaku, kemudian memapahku berdiri. —oh,

Mataku menabrak bayangan Haidar. Ia berdiri bisu di tengah

kerumunan orang-orang yang pastinya menyaksikan kejadian barusan. Haidar menatap kosong, aku yang tengah berada di pelukan laki-laki lain. Matanya sendu dan ia terlihat sangat tidak tegar. Haidar pergilah....matamu menyayat sisa kekuatan ini.... Pergilah dan Izinkan aku berdiri...

Dion terpeleset saat menggendong tubuhku di atas kedua tangannya. Kemudian jatuh dan menindih tubuhku dari atas. Ia berdiri lagi. Menguatkan kakinya, dan kemudian dengan yakin untuk kembali mengangkat tubuhku. “Tenang aja Jul, lo tenang aja. Semuanya udah berakhir, lo udah gue gendong.” Airmataku langsung mengalir seperti air bah. Tanpa isakan, tanpa suara. Aku tak mampu sesenggukan. Aku hanya bisa merasakan lelah yang panjang. Dalam sepotong bagian kehidupan ini, aku hanya ingin mengakui satu kebenaran bahwa hanya laki-laki ini yang mampu membuat bimbangku sirna. Tanpa sempat membuat kebingungan ini semakin menjadi-jadi ketika harus berdiri di antara dua atau tiga pilihan yang terkadang menjadi sama-sama menyakitkan untuk diambil. Tidak. Dialah pembebasku. Dan pandanganku yang sedari tadi menabrak tubuh Haidar dengan cepat kualihkan. Seharusnya memang hanya mahkluk ini yang menyita seluruh ruang benak, untuk dicerna penglihatan ini. Betapa ajaibnya dirimu.

*

-DESEMBERku yang manjaAkhirnya memang aku harus kembali disini. Sebuah rumah sakit jiwa megah yang berdiri angkuh di tengah kota. Jangan tanya seperti apa mereka menyambut kedatanganku. Bagaikan aku adalah saudara kandung mereka yang menghilang berhari-hari tanpa pamit dan datang kembali dengan sebuah piala kemenangan di tangan. Pihak rumah sakit begitu bersuka ria melihat wajahku nongol di pintu. Dua hari merupakan hari yang sibuk setelah itu. Aku mondar-mandir ruang observasi, dan ruang terapi. Tes demi tes dijalani. Catatan demi catatan klinispun bermunculan. Perasaanku lebih ringan. Kepercayaanku sedikit memulih. Aku menjadi pribadi yang lebih sedikit terbuka dan lebih mampu berkompromi dengan dokter.

Aku ingin semuanya bisa cepat berakhir, dan untuk itu, aku memilih menceritakan semuanya kepada dokter Amina. Cerita dari mulutku memang seharusnya banyak membantunya mendapat lebih banyak informasi tentang diriku. Ya, SEMUANYA. Semua yang terjadi, termasuk tragedi angin Topan lokal, yang kurasakan hadir akibat olah pikiranku yang tidak seimbang dan akhirnya menemui jalan buntu. Fokus demi fokus yang berantakan dan terpental kesana-kemari. Aku juga menceritakan proyeksi astralku yang mengantarkan aku ke masa di kehidupanku yang sebelumnya. Masa sebelum aku reinkarnasi. Aku mendapati jawaban begitu banyak disana. Termasuk petunjuk Tuhan yang ditakdirkan untukku. Awalnya ia geleng-geleng tidak percaya. Berulang-ulang bertanya padaku, ‘siapa

yang

menuntunmu,

Juliet?’

untuk

memastikan

aku

sedang

tidak

berhalusinasi—yang mengindikasikan penyakit bertambah kronis. Dengan sabar aku menjawabnya. Ayah seorang teman lama. Dokter Amina tidak menyangka akan mendapatiku bersih tanpa pengaruh kepribadian-kepribadian yang lain. Ia sampai takjub memandangiku. Matanya terpukau dengan keajaiban yang bisa terjadi di luar sana. Ia memberiku sebuah terapi bantuan untuk menetralisirnya. Namanya terapi relaksasi. Ini terapi yang menyenangkan, karena aku kembali duduk bersila di karpet. Kali ini ruang terapi dokter Amina. CD playernya mengalunkan sebuah musik yang berasal dari satu alat musik saja. Kalau tidak salah, dari seruling. Untuk memudahkan berkonsentrasi, dan bukan malah terbuai dengan alunan musik. Kepala kutegakkan. Tidak ada lagi suara hujan yang menjadi bosnya. Dokter Amina menjadi pemanduku. Satu, dua......tahan.....tiga, empat.....lepas.... Dokter Amina menyuruhku menarik nafas dalam dan panjang, kemudian menahannya di perut, lalu melepaskannya melalui mulut. Ini bagus untuk melepas stres dan ketegangan, katanya. Aku sendiri tidak menyangka, bahwa ternyata di rumah sakit ini aku kembali menjajaki hamparan meditasi. Hanya saja proses meditasi ini jauh lebih ringan. Yang kubutuhkan adalah bukan seutuhnya pemusatan pada pikiran, tetapi lebih penting pada pernapasan.

Pada latihan pertama aku merasakan pusing yng berdenging-denging, dan juga sakit pada dada. Tapi setelah beberapa kali latihan, aku merasakan sensasi yang luar biasa. Yaitu sebuah perasaan relaks. Santai. Seluruh ototku melentur dan pikiranku seperti didetoks dan kemudian menjelma dalam sebuah tubuh bayi yang baru dilahirkan. Begitu bersih. Tangan itu menyentuh daguku. Pertanda mataku sudah boleh terbuka. Latihan selesai. “Dokter percaya reinkarnasi?” Ia tersenyum. “Kamu sendiri percaya?” Eh, malah balik nanya. Aku mengangguk. “Kenapa?” “Karena aku sudah berhasil sampai disana, dan kembali disini, untuk menjelaskan semua ini di hadapanmu.” Ia tersenyum lagi. “Dokter pasti sedang berpikir aku bertambah gila.” “Tidak, siapa bilang?” sanggahnya. “Kalau begitu, apa dokter percaya reinkarnasi?” “Percaya.” “Hah? Beneran dok? Dokter kan Islam....” Dokter Amina menyibakkan ujung jilbabnya. Dadanya yang mekar terlihat menonjol sempurna. Seimbang dengan lingkar dadanya. Sehingga dadanya tidak akan terlihat terlalu besar atau terlalu kecil. “Setahu saya di kitab suci saya memang tidak membahas reinkarnasi. Tapi, Pada awalnya manusia memang berasal dari ketiadaan. Lalu Allah menciptakan manusia dari sarinya alam kemudian menghembuskan roh dari-Nya kedalam tubuh manusia dan iapun menjadi hidup ...14. Menurut Islam, orang mati yang ditolak oleh Tuhan akan mendapat siksa di kubur. Itu disebabkan kecintaan berlebihan seorang manusia terhadap dunia. Tetapi tidak berubah menjadi materi yang dicintai itu memang....” Aku bangun dari karpet. Duduk di sofa dan seksama mendengarnya bicara sebagai seseorang yang tengah berbagi ide. Bukan lagi seorang dokter yang tengah menganalisis pasiennya.

14

Al-Quran Al Hijr 28-29

“Terus dok?” “....dari alam rahim, ke alam dunia. Kemudian ia dilepas dari alam dunia dan menuju alam kubur. Bagi yang terhalang jiwanya, maka ia tidak akan sampai ke Tuhannya. Pada saatnya nanti, semua yang mati itu akan dibangkitkan lagi, untuk dikumpulkan dan diperhitungkan segala amalannya. Hampir sama kan dengan teori reinkarnasimu itu? Lagipula, kalau semua roh dan jiwa ini berpulang pada Tuhan sebagai suatu simbol kesempurnaan, bisa habis dong populasi manusia. Toh pada prinsipnya kehidupan memang berulang. Iya kan Juliet?” Ia tersenyum penuh arti. Ada juga satu teoriku yang meninggalkan bekas di ingatannya. Tentang Eve, Sybil, Billy, lalu aku. Aku mengangguk-angguk. Paham sebagian, tapi tidak tertarik mendengar lebih banyak. Aku takut ia akan mengeluarkan separuh isi kitab sucinya untuk dibandingkannya dengan teoriku yang tidak berlandaskan apa-apa. Karena aku hanya disuguhi mentah-mentah, dan menelannya tanpa kukunyah. “Saya nggak tahu kenapa kamu begitu tertarik mengulik teori reinkarnasi ini Juliet. Tapi yang jelas, yang telah kamu lakukan itu adalah pelanggaran. Saya yakin, kamu juga tidak senang kalau ada sesorang yang mencoba membongkar rahasiamu tanpa seizinmu?” Akhirnya dokter Amina berdiri di hadapanku dan menyodorkan tangannya di hadapanku. “Untuk apa ini dok?” Ia tersenyum. Wajah di balik jilbab itu sama sekali tak kehilangan seluruh kecantikannya sebagai seorang dewi penolongku. “Saya memberi satu kesempatan untuk kamu.” “Kesempatan apa?” “Kesempatan besar.” Ia mengerling. Hanya mengerling dan tidak menjawab. Barulah kutahu apa maksud kerlingan itu ketika aku sudah sampai di kamar dan suster Agi datang membawa sebuah amplop berisi surat dari dokter Amina. Isinya adalah aku diberi kesempatan melalui suatu masa percobaan. Biasanya masa percobaan ini diberikan kepada para pasien yang dianggap telah mampu hidup berbaur di tengah masyarakat umum. Hm, tidak lantas bisa dikatakan sehat, karena kami tidak sedang menderita demam berdarah, atau kanker paru-paru. Tapi bila keputusan pemberian masa percobaan itu diberikan, maka itu berarti kami telah

dianggap delapanpuluh persen berhasil, mampu menyesuaikan diri dan bisa hidup dengan masyarakat umum. Aku memeluk surat itu di dada. Benar-benar tak yakin harus senang atau apa. Suster Agi memeluk tubuhku. Mau tak mau aku bersandar di bahunya. Pundak itu terasa seolah memanggil setiap kepala untuk bertengger disana. Ada kerelaan untuk berbagi yang tak kenal pamrih. Ini berarti aku akan melewati hari-hari disini tanpa pengawasan saat mandi, aku boleh berjalan-jalan kapan saja aku suka, dan yang paling penting, aku tidak akan lagi menyentuh ruang observasi I. Sekalipun hanya kenop pintunya. Tidak. “Selamat ya sayang,” Aku mengangguk. “Apa rencanamu setelah keluar dari sini?” Senyumku surut. Biasanya pertanyaan ini akan mereka hadapkan pada setiap pasien yang telah dianggap berhasil melewati masa percobaan dan akan segera keluar dari rumah sakit. Dan pertanyaan itu nantinya akan dianggap sebagai ujian terakhir. Ujian yang sangat menentukan. Tapi sungguh, aku belum siap menjawabnya sekarang. Kupandangi wajah tirus itu dihadapanku dengan tatapan balik bertanya, iya, ya, mau kemana aku abis ini? Suster Agi memegangi wajahku dan menggeleng. “Tidak usah memikirkan jawabannya sekarang sayang. Semua harus dilakukan satu persatu kan? Tidak boleh melangkahi yang ada. Dan kamu, sekarang baru mulai dari sini.” Ujarnya sambil mengibaskan surat di tanganku. Kami tertawa bersama. Aku setuju dengannya. Jangan sampai ada bejana yang pecah lagi! Sekarang aku yakin, sudah tidak akan ada lagi jiwa yang melayang keluar tanpa aku inginkan. Tidak ada lagi benda-benda berjatuhan, tidak ada lagi kepala yang yang sobek kena neon. Masa-masa itu sudah berakhir, karena aku telah belajar mengendalikannya dengan lebih baik. Bejana yang pernah pecah itu berhasil kususun lagi, dan akan kugunakan seperlunya saja. Sekalipun aku belum menemukan alasan yang tepat, kenapa aku harus melakukan itu lagi. Tapi yang jelas, bukan dengan tujuan melakukan perbuatan yang tidak etis. Yaitu menculik rahasia Tuhan dari penyimpanan tabung waktu milikNya. Aku betul-betul tidak sopan.

Pandangaku terpancing ke luar jendela. Sebuah panser berwarna kuning menyolok menarik perhatianku. Suara kerikil yang tergilas ban mobil benar-benar bisa terdengar sampai disini. Bahkan sebelum mobil itu masuk pekarangan rumah sakit, aku merasa dia memang akan datang. Perasaanku semakin peka saja. Kalau meniru gaya bahasa sok cool-nya Dion, Feeling so strong, man! Aku melompat dari tempat tidur. “Suster, itu sepertinya temanku datang!” teriakku sumringah. “Ayo temui!” Aku berlari menuju halaman rumah sakit. Menuruni anak tangga dengan cepat, menyenggol beberapa perawat, dan terpeleset sedikit di depan pintu ketika kakiku menginjak keset. Betapa senangnya aku bisa melihat wajah itu lagi hari ini. Dia benar-benar datang untuk melengkapi bahagiaku. Dia memang selalu hadir untuk melengkapi sesuatu yang butuh pelengkap. Dia seperti sebuah sentuhan akhir. Dia seperti sebuah tanda baca titik. Aku melambai ke arah mobilnya. Jejingkrakan senang. Dion. Mungkin aku akan selalu menyimpan sebuah rahasia kecil. Bahwa, berdiri di sampingnya selalu membuatku merasa menjadi pemberani.

***

-Permulaan yang BaruSebuah Assylum, penghujung 1998 Seekor lalat hinggap di ujung matanya yang tetap terbuka. Persetan! Ia tidak peduli kalau alat sensorisnya sudah tidak berfungsi lagi. Bagaimana bisa ia sempat memperdulikan seekor lalat bila perempuan di hadapannya ini benar-benar tengah menguji panca inderanya untuk bereaksi secara bersamaan. Tidak, dia tidak akan rela, berbagi momen dengan seekor binatang tak berwajah ini. Stimulus itu dengan percaya dirinya masuk lewat matanya yang tak berkedip. Seluruh iris dan retinanya terlihat berbahagia karena memantulkan bayangan perempuan cantik ini. Mereka melaju terus menuju otak untuk menyimpannya sebagai sebuah memori yang akan terkenang sepanjang hayat. Betapa ia merasa begitu lancang, karena telah menginginkan perhiasan ini. Sebuah perhiasan yang hanya pantas bersanding dengan bintang. Perasaan yang tumpang tindih. Bercampur aduk. Laki-laki itu seperti kehilangan kemampuan berbicara saat berhadapan dengan perempuan di hadapannya. Dion, laki-laki yang dulunya selalu mampu mendapatkan apapun yang diinginkannya lewat satu cara. Ketangguhannya berdiplomasi, bakat negosiasi yang dimilikinya, lidah adalah senjatanya untuk menundukkan siapapun yang bertentangan pendapat, yang silang pikiran dengannya. Kini ia seolah menjadi penyandang tuna aksara sekaligus tuna wicara yang memprihatinkan. Ia bukan sakit, tapi seolah pensiun bicara. Tak satupun terpikirkan oleh otaknya untuk diungkapkan, semua hanya berseliweran, masuk dan keluar lagi dari kepalanya yang sudah penuh. Penuh dengan rindu. “Dunia memang sempit ya Dion,” suara lirih perempuan di hadapannya menggugahnya untuk menimpali. Tapi ia tetap tak sanggup. “Aku menemukan separuh sisi kehidupan yang pernah kuterlantarkan di masa lalu, pada hari ini. Siapa bisa duga? Aku seorang biarawati, Dion....” Dion tak berani melepaskan sedetikpun pandangan dari wajah yang selalu tampak pucat itu. Ia takut akan kehilangan satu momen berharga. Biasanya sebentar lagi mata itu akan berkaca-kaca, kemudian merapuh dan pecah berantakan. Itu sebuah

momen berharga untuk dikenang, karena ia akan sangat cantik sekali. Lebih cantik dari manusia waras manapun yang pernah, tengah hidup dan akan hidup di dunia ini. “Aku tidak pernah duga, pernah lahir dari keluarga Katolik Roma. Dion, bayangkan....aku seorang biarawati yang dipersiapkan keluarga untuk mengabdi pada gereja. Selama beberapa tahun, aku telah diarahkan untuk mempercayai bahwa Gereja Katolik merupakan otoritas akhir dari imanku.” Lalu ia menerawang. Mata itu. “Dan aku bersedia mengabdikan hidupku untuk menjadi perawan seumur hidupku demi pelayananku pada Tuhan.” Dion tetap bergeming. Ia menata hatinya, untuk mendengar secara seksama dan berusaha tetap sabar. Sampai waktunya ia akan bicara. “Tapi aku berkhianat pada Tuhan, dan juga keluargaku.....” Dion menajamkan pendengaran. “Aku jatuh cinta pada seorang laki-laki, dan hanya karena permasalahan remeh itu, aku meninggalkan gereja. Betapa pengecutnya aku. Inikah karmaku? Atas kecintaanku pada dunia? Pada materi yang justru tak kekal? Kau pasti tidak menduganya kan?” Perempuan itu tertawa kecil. Sepertinya sebuah beban yang menggelayutinya telah hilang ditelan bumi. Pundaknya terlihat lebih tinggi dan tegar. Menawan. “Tapi aku sudah menjalaninya sampai sejauh ini. Mana bisa aku mundur? Jadi biarawati lagi misalnya. Aku bisa mengabdi dengan jalan lain. Hoi! Dion? Kok diem aja sih?” “Eh, misalnya?” “Misalnya tidak menikah seumur hidup, tapi tidak menjadi biarawati.” Laki-laki itupun bagai tersengat listrik. “Kenapa begitu?” “Aku ingat kamu pernah bicara

tentang sebuah keyakinan untuk

berkomunikasi dengan Tuhan. Dari perjalananku ke masa lalu sebelum reinkarnasiku, aku menemukan sebuah keyakinan itu.” “Apa?” “Aku belajar berkali-kali dari kesalahanku, dalam meletakkan cinta pada pelabuhan yang selalu salah. Jadi kupikir, cinta sejatiku memang hanya untukNya. Mungkin aku tidak ditakdirkan untuk mampu membagi cinta dengan sesama manusia, mungkin aku bukan salah satu perempuan yang memiliki kesempatan untuk berkeluarga di dunia. Tapi aku yakin, setelah perjalanan astral itu berhasil kulakukan,

aku tahu, beginilah seharusnya aku hidup. Walau harus berkali-kali reinkarnasi, aku yakin, tetap tidak akan mampu meletakkan batu cintaku pada manusia dengan benar.” Lidah laki-laki itu tak hanya kelu dan membiru, tetapi juga terasa asam, pertanda sakaunya dia dengan sebatang rokok. Tapi ia tahu tak akan ada nikotin yang mampu menetralkannya kembali, kecuali bila perempuan ini menarik semua katakatanya. Ia menahan semua di dada. Mengurungkan niatnya untuk ganti berbicara. Perempuan di hadapannya ini sudah cukup tangguh untuk berdiri sendiri. Dua orang akan membuatnya kehilangan keseimbangan. Sebaiknya memang mungkin, Dion harus pergi jauh dari kehidupannya. Menjauh dari kehidupan perempuan yang selalu perawan di matanya. “Aku selalu mendoakanmu. Mengharap yang terbaik untukmu.” Bibir itu tersenyum. Melengkung sempurna dan hampir mematahkan hati lakilaki itu. “Aku harus pergi, Juliet. Sudah cukup siang.” Mereka berpamitan. Perpisahan itu berlangsung sangat cepat. Tidak ada dramatisasi, tidak ada romantisme seperti perpisahan pada pasangan Romeo-Juliet ala Shakespeare yang tak bisa bersatu karena tak ada restu. Tak ada jabat tangan, tak ada janji untuk saling mengunjungi, tak ada juga janji untuk bertemu kembali. Perpisahan itu berjalan sesuai dengan skenario yang sudah ada. Disutradarai oleh yang Maha Romantis, dan ditandatangani oleh Takdir. Hanya ada satu kalimat yang keluar berbarengan, tanpa ada kesepakatan. “Senang.....” mereka berhenti bersama. “.....bisa mengenalmu.” Juliet mengakhiri. “Aku juga.” Dion menggenapi. Dan itu sangat menyakitkan.

*

Laki-laki itu membanting pintu mobilnya, putus asa. Sekali lagi mengedarkan pandangan pada halaman rumah sakit yang mewah itu, kemudian menemukan kembali jejak-jejak kenangan yang mengantarnya ke rumah sakit ini. Ia tidak menyesal, harus membungkam mulutnya sendiri. Padahal ia bisa saja bicara singkat. Juliet, laki-laki yang kau cintai pada waktu itu adalah aku. Akulah yang melarikanmu dari gereja itu di tengah malam buta. Aku mencintaimu pada masa itu. Bahwa sebenarnya iapun telah mencapai tahap perjalanan astralnya sebelum Juliet mampu melakukannya. Bahwa ia telah mengetahui rahasia itu sebelum Juliet mengetahuinya. Bahwa ia selalu latihan sendirian di tengah malam, saat Juliet sudah terlelap karena kecapekan. Bahwa itulah alasan kenapa ia harus berpura-pura saat meditasi di pantai hari itu dilakukan. Karena ia kehabisan tenaga. Karena semalaman ia melakukannya, dan baru bisa tidur saat hujan mulai turun di awal subuh. Ia tidak bicara. Karena ia tahu, bila ia bicara maka ada kepentingan ego yang akan ikut terbawa, sebuah ego yang harus ikut dituntaskan dengan sebuah jawaban. Padahal ia tahu, itu hanya akan menyakitkan bagi dia dan perempuan itu. Ego tentang sebuah hal remeh. Ego tentang sebuah kebenaran, Dion memang mencintainya di masa itu. Tapi ia telah kembali jatuh cinta padanya di masa sekarang. Cinta yang jauh lebih dalam. Tapi ada perbedaan. Cintanya kali ini akan membebaskan jiwa Juliet, tidak merantainya seperti yang pernah dilakukan mahkluk berwujud dirinya di masa lalu. Cinta, hal remeh yang membuat perempuan itu mengkhianati kesetiaannya di masa lalu. Pantaskah ia menuntut jawaban itu dari seorang perempuan yang telah terlihat lebih mampu berdiri sendiri? Seorang perempuan yang telah lelah berbagi hidupnya dengan begitu banyak orang yang tidak dikenalnya. Meskipun dalam waktu beberapa hari saja sejak penculikan itu dilakukan Dion, ia telah merasa begitu dekat dengan Juliet, dan dalam waktu beberapa menit mereka telah berhasil menjelajahi kehidupan masa lalu mereka yang jaraknya berpuluh-puluh tahun lalu. Tapi bagi Dion, cintanya kepada Juliet tak akan cukup memakan waktu beberapa bulan saja. Bertahun-tahun—dalam setiap menitnya ia akan terus jatuh mencinta—bahkan seumur hidupnya tak akan menjadi waktu yang cukup untuknya mencintai perempuan itu.

(Sekelabat bayangan melintas)—seperti sebuah ingatan yang dicuri darinya telah kembali. (Abu-abu dan rapuh, karena sudah terlalu lama) Ia menepuk keningnya. Auww! –ups, tampaknya terlalu keras. Setelah dengan Ana, Ini bukan pertemuan pertama atau kedua kami! Dia anak perempuan yang pernah duduk bersamaku di sebuah pasar, saat usiaku masih delapan tahun. Astaga! Astaga! Dia perempuan yang warna rambutnya hampir sama seperti warna sinar matahari pagi. Dia yang itu..... Laki-laki itu sekali lagi menepuk jidatnya. Seekor lalat melayang pasrah, dan jatuh di bajunya. Mampus lu, akhirnya dendamku terbalaskan. Dia mencoba mengingat-ingat. Pertama, untuk seorang biarawati di masa lalu, kedua untuk Juli kecil, kemudian Ana si pelacur, dan akhirnya dia bertemu seorang perempuan yang telah lama dicari-carinya. Perempuan yang membuatnya terus jatuh cinta di setiap pertemuan mereka. Suara-suara di dalam dadanya berhenti berdiskusi. Ia kini telah menjadi lakilaki paling berbahagia di seluruh dunia sekarang. Mesin mobil dinyalakan. Mungkin inilah saatnya Juliet bersenang-senang, karena telah menjadi satusatunya manusia yang hidup di dalam dirinya. Tapi bila kami pernah melewati lebih dari tiga kali pertemuan tanpa direncanakan, itu berarti sangat besar kemungkinan kami akan mengalami pertemuan-pertemuan lain di kesempatan berikutnya. Walaupun waktu dan tempat, masih selalu menjadi rahasia terbesar milik Dia. Tapi bukankah hidup memang tentang sebuah kesempatan ketika kita mulai berani berharap kembali? Maka suatu saat, di waktu keberanian dan keyakinan tentang cinta itu patut diperjuangkan telah sampai di hadapan laki-laki ini, dia akan datang mencari perempuan berambut emas itu untuk menawarkan sebuah tumpangan. Sekalipun, untuk pertemuan berikutnya mereka hanya akan tak sengaja berpapasan dan bertegur sapa lewat sebuah perjalanan astral di penghujung malam yang berkabut........ Tapi dia akan tetap memintanya. Dan semoga saja perempuan itu bersedia. Dengan segenap keyakinannya, untuk BERSEDIA ikut dengannya.

........ Hari laksana terkepung ratusan kamuflase Seperti rindu yang hadir dan menggebu-gebu, namun yang terjangkau hanya sepotong demi sepotong sepi Seperti pelepah kering daun kelapa, yang menunggu angin membelainya mesra Seperti sebutir pasir di hamparan sahara, yang tak henti berbisik pada para musafir agar tak lupa memijaknya Seperti tanah bekas tapakan el nino, memimpikan riak hujan menggenangi tubuh pecahnya Seperti deringan telepon di sebuah kamar kosong, yang menanti seseorang datang dan menyapanya Seperti sebait puisi yang menunggu untuk diteriakkan

Kerinduan yang membubung, tapi ia telah terlanjur tak memiliki siapa-siapa Setiap riuh rendahnya memantulkan sunyi Kesendirian yang menjelma menjadi peri-peri penggoda batinnya Pasukan berkuda telah datang dan menyeret seluruh hatinya Untuk dipenjarakan dalam sebuah ruang luas bernama mimpi Hanya boleh bertemu dalam separuh pejaman mata Kaulah Hauri15 yang hanya mampu diterjemahkan imajinasi

........

Alas poor Romeo! He is already dead; stabbed with a white wench’s black eye; shot through the ear with a love-song; the very pin of his heart cleft with the blind bow-boy’s butt-shaft... (Romeo and Juliet--Shakespeare)

*** 15

Bidadari

Related Documents

Hauri
June 2020 4

More Documents from "Sandrina Aquita"