BAB I PEMIKIRAN ISLAM ANTARA AKAL DAN WAHYU Islam merupakan agama yang memperhatikan kebaikan dan kebahagiaan umat manusia, dengan menebarkan nilai-nilai utama, pandangan-pandangan tinggi dan contoh-contoh utama di seluruh penjuru dunia, pada setiap tempat dan zaman. Tidaklah aneh apabila ia menjadi agama manusia, tanpa memandang perbedaan warna kulit dan ras. Orang yang meminum dari sumbernya akan memperoleh kemuliaan dan ketinggian derajat, dan orang yang menolaknya akan memperoleh kehidupan yang sempit. "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya". (QS. Ali lmran: 85). Agama yang abadi ini adalah obat bagi setiap penyakit, cahaya bagi setiap kegelapan dan kehidupan bagi setiap kematian. Ia mengangkat manusia sebagai khalifah Allah di bumi, yang bertugas menyebarkan kebajikan dan kebaikan, menanam kegemerlapan dan harapan, serta menabur ketakwaan dan budi luhur. Ia membukakan cakrawala-cakrawala bagi manusia agar dapat mengenal posisinya di dalam kehidupan, statusnya di dalam alam raya, dan nilai dirinya di antara makhlukmakhluk hidup lainnya. "Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam". (Qs.Al-lsra': 70). Agama Islam ini mempunyai dua dasar pokok, yaitu: Akal dan wahyu. Apakah itu akal? Apa pula wahyu? BAB II AKAL Perdebatan di antara para ahli dan filsuf, klasik ataupun modernis, di sekitar masalah akal masih berkelanjutan. Masing-masing mempertanyakan, apakah hakikat akal? Apakah makna-makna yang dapat dirumuskan untuknya? Apakah akal ini ilmu ('ilm) ataukah hati (qalb)? Persoalan-persoalan di sekitar tugas-tugas akal dapat kita jumpai di dalam warisan-warisan intelektual Islam, dan perbincangan tentang ia terus berlangsung dikalangan pendukung-pendukungnya sampai zaman kita sekarang. Di dalam bahasa dijumpai pula perbedaan mengenai arti akal ini. Di dalam bahasa Arab, akal diartikan kecerdasan: lawan kebodohan, dan diartikan pula dengan hati (qalb): suatu kekuatan yang membedakan manusia dari semua jenis hewan.
1
Kalau kita lihat pendapat-pendapat para ahli tentang batasan akal, dijumpai perbedaan-perbedaan yang kontras sekali. Abu Bakar ibn Al-'Arabi menolak tatanama ini (akal) bagi kekuatan tersembunyi itu, dan menyatakan bahwa tatanama tersebut adalah "nama yang tidak berfaedah, eksagerasi (pernyataan yang berlebihlebihan) yang tidak berguna". Ini karena menurut pendapatnya segala sesuatu dan hasil cerapan dinamakan ilmu bukan akal, berdasarkan firman Allah: "Sesungguhnya pada yang demikian itu (terdapat) pelajaran bagi kaum yang mengetahui (berilmu)". (Qs. AI-NamI: 52). Sebagaimana ia menunjuk pula kepada akal : "Sesungguhnya pada yang demikian itu (terdapat) tanda-tanda bagi kaum yang berakal” (QS. Al-Ra’d : 4) Dengan dasar ini, Abu Bakar ibn Al-'Arabi berpendapat bahwa akal adalah ilmu, yaitu suatu sifat yang dengannya persepsi ilmu dapat dihasilkan. Ibn Rusyd memberikan perhatian terhadap tatanama akal itu, karena dia melihat bahwa akal manusia tidak berada pada satu tingkatan dalam menyerap sesuatu. Ada akal-akal yang menembus sampai jauh dan menyentuh benang-benang halus untuk mengikat segala sesuatu. Ada pula akal yang tidak mencapai tingkatan tersebut karena terikat dan terhenti pada sifat-sifat yang tampak dan gejala-gejala nyata saja. Menurut pendapatnya di bawah kedua tingkatan akal tersebut ialah akal yang tidak mengetahui rahasia ikatan-ikatan yang tersembunyi atau yang tampak, kecuali hanya terhenti pada penerimaan kata-kata yang diungkap (resonan) dan kalimat-kaliinat retorik. Ibn Rusyd membagi akal manusia kepada tiga macam: Pertama, akal demonstratif (burhani) yang mampu memahami dalil-dalil yang meyakinkan dan tepat, menghasilkan hal-hal yang jelas dan penting, dan melahirkan filsafat. Akal ini hanya diberikan kepada sedikit orang saja. Kedua, akal. logik.(manthiqi) yang sekedar memahami fakta-fakta argumentatif. Ketiga, akal retorik (khithabi) yang hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat nasehat dan retorik, tidak dipersiapkan untuk memahami aturan berfikir sistematik. Di bawah ketiga akal itu ialah akal yang dapat disaksikan pada orang biasa dan kebanyakan. Menurut hemat kami, akal adalah suatu kekuatan yang tersembunyi (misterius) yang dengannya segala sesuatu dapat diserap, Ia merupakan anugerah samawi, di bawah pancarannya kita dapat membedakan antara benar dan bathil, bersih dan kotor bermanfaat dan bermudarat, baik dan buruk, baik kekuatan tersembunyi itu akan dinamakan akal, hati maupun ilmu. Memang akal merupakan suatu kekuatan yang tersembunyi, akan tetapi sinarnya menembus langit dan bumi, mencari pengetahuan, meneropong rahasia alam dan misteri kehidupan. 2
Dr. Zaki Najib Mahmud memberikan batasan sebagai berikut: "Pengertian akal ialah gerakan yang menimbulkan perpindahan dari yang menyaksikan (syahid) kepada yang disaksikan (masyhud 'alaih), dari bukti (dalil) kepada yang dibuktikan (madlul 'alaih), dari premis kepada konklusi, dari perantara (wasilah) kepada tujuan (ghayah). Kata kunci dalam pembatasan ini ialah kata gerakan. Oleh karena itu, kalau kita mengetahui sesuatu tanpa melakukan perpindahan dari keadaan tahu kepada keadaan berikutnya, tidak ada sesuatu yang disebut akal. Kalau kita melihat buah yang kuning, lalu tidak melangkah lebih lanjut kecuali tahu bahwa buah itu kuning, di sini tidak ada pula sesuatu yang disebut akal. Baru ada akal apabila kita pindah dari melihat buah kuning kepada mengetahui bahwa buah itu sesuatu yang dapat dimakan". Lebih lanjut Dr. Zaki menyatakan: "Pendek kata, batasan akal ialah hendaknya seseorang berpindah dari yang diketahui (ma'lum) kepada yang tidak diketahui (majhul), dari yang nyata (syahid) kepada yang tidak nyata (ghaib), dari yang tampak (dhahir) kepada yang tersembunyi (khafi), dari masa sekarang (hadlir) kepada masa mendatang (mustaqbal). Jadi akal adalah yang menghubungkan peristiwa dengan sebab-sebabnya atau konklusikonklusinya. Yang menghubungkan dengan sebab, akal mengembalikan peristiwa yang tampak kepada sebab terjadinya yang telah berlalu. Yang menghubungkan dengan konklusi, akal melihat masa depan dengan memusatkannya pada peristiwa peristiwa yang serupa. Narnun apabila kita melihat sesuatu yang sudah nyata dan diketahui, dan berhenti di situ, maka di sini tidak ada sesuatu yang disebut akal. lbn 'Abd Rabbih berpendapat bahwa akal adalah penerima ilmu dan tidak bekerja di luar tugas tersebut sedikitpun. Pendapat ini sangat menarik perhatian Dr. Zaki Najib Mahmud dan menyatakan kekagumannya: Merenungkan bekas-bekas akal di dalam kehidupan ini, di bidang ilmu pengetahuan, tingkah laku, moral dan berbagai penyelidikan ilmiah terhadap alam luas ini, dapat mendorong kita berserah diri dengan pasrah kepada Penciptanya. "Begitulah perbuatan Allah yang menjadikan setiap sesuatu dengan kokoh". (Qs. AI-Naml: 88). Abu Bakar Muhammad ibn Zakariya Al-Razi, di dalam bukunya Al-Thibb alRuhani, menjelaskan tentang mamfaat akal dan sumber-sumbernya yang bisa membuat kita kenal rahasia-rahasia besar di dalam alam raya ini. "Sesungguhnya Tuhan Pencipta memberikan kita akal untuk memperoleh dan mencapai kemanfaatan dunia akhirat. Ia anugerah Allah yang terbesar dan sesuatu yang paling bermanfaat bagi kita .
3
Kitab suci Qur'an sangat menjunjung peranan akal. Terdapat banyak ayat yang menyerukan agar akal dipergunakan secara benar, berpegang pada tujuan-tujuannya dan berdasarkan garis-garisnya yang lurus. Di dalam Qur'an kata akal ('aql) yang dihubungkan dengan tingkahlaku dan perbuatan manusia disajikan dengan berbagai bentuk berikut: 1. 'aqaluuhu, sebanyak 1 kali 2. ta'qiluuna, sebanyak 24 kali. Pada umumnya dihubungkan dengan kata harapan (raja') : "la'allakum ta'qiluuna" dan "afalaa ya'qiluuna. 3. ya'qiluuna, sebanyak 22 kali : 10 kali dengan bentuk positif, dan 12 kali dengan bentuk negatif: "laaya'qiluuna". 4. na'qilu, sebanyak satu kali. 5. ya'qiluha, sebanyak satu kali. Kata-kata tersebut diletakkan oleh Al-Qur’an didalam konteks ayat-ayat yang menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah adalah orang-orang berakal yang merenungi ayat-ayat (tanda-tanda kebesaran)-Nya, dan bahwa orangorang yang sesat adalah mereka yang tidak menggunakan akal, bahkan mereka lebih hina daripada binatang. Baik Qur'an maupun Sunnah sangat menjunjung akal dan orang-orang yang menggunakan akal, dan mencemooh orang-orang yang tidak mau menggunakannya. Persoalan sekarang, apakah akal dapat membuka pintu masalah-masalah yang di luar jangkauannya? Apakah akal dapat membahas sesuatu yang berada di balik dirinya? Inilah yang akan kita bicarakan sekedarnya berikut ini. BAB III WAHYU Seperti halnya akal, wahyu mempunyai macam-macam arti menurut bahasa yaitu: Wahyu berarti Ilham yang tidak hanya diberikan kepada manusia secara khusus bahkan juga kepada makhluk yang lain. Seperti terdapat dalam finnan-firman Allah berikut: Dan Kami wahyukan (= ilhamkan) kepada ibu Musa: "Susukanlah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke dalam sungai".(Q.S. AI-Qashash:7) Dan Tuhanmu mewahyukan (= mengilhamkan) kepada lebah: 4
"Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia". (Qs. AI-Nahl: 68) Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu mewuhyukan (=memberikan isyarat) kepada mereka: "Hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang". (Qs. Maryam : 11). Wahyu berarti bisikan: Sesungguhnya syetan itu mewuhyukan (= membisikkan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu telah menjadi orang-orang yang musyrik". (Qs. Al-An'am:121). Qur'an bermakna wahyu: Dan tiadalah yang diucapkan itu (Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Qs. AINajm: 3 - 4). Menurut istilah syariat, wahyu adalah risalah samawi (langit) yang diberikan kepada seorang nabi yang dipilih dari hamba-hamba Allah, agar ia berbuat dengannya dan menyampaikannya kepada kaum di mana ia diutus. Berdasarkan pengertian tersebut wahyu ada bermacam macam. Terkadang berarti ungkapan tentang penyampaian makna ke dalam jiwa dan hati; dan berarti pula pembicaraan di balik tabir. Karena itu, Jibril, malaikat pembawa wahyu, turun kepada para nabi menyampaikan risalah langit dan ajaran-ajarannya Atau Jibril datang dengan menampakkan diri dalam berbagai bentuk yang berbeda, dan hal ini tidak penting kita bicarakan panjang lebar di sini. Qur'an menjelaskan macammacam wahyu ini di dalam ayat: Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di balik tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. (Qs. AI-Syura: 51). Yang ingin kami tegaskan dalam pembicaraan tentang wahyu ini, bahwa Islam berbeda dengan agama-agama yang mendahuluinya, karena mukjizatnya yang abadi, Qur'an, yang diwahyukan dan Allah, seperti ditegaskan di dalam ay at:
5
Qur’an, Makna dan Asal katanya Para ahli bahasa berusaha mengungkap asal kata Quran. Berbagai buku merekam perbedaan-perbedaan pendapat mereka di sekitar masalah tersebut, dan tidak ketinggalan Al-Suyuthi di dalam bukunya Al-Itqan merekam keringkasan pendapatpendapat itu. Antara lain, Al-Suyuthi menjelaskan bahwa Imam Al-Syafi'i berpendapat kata Qur'an merupakan nama khusus bagi firman Allah, dan tidak diambil dari kata manapun. Lain halnya Al-Asy'ari, Al-Farra', AI-Zajjaj dan Quthrub yang .berpendapat bahwa kata Qur'an merupakan pecahan dari kata lain, hanya saja mereka berbeda mengenai asal katanya. Al-Farra' berpendapat: "Ia (kata Qur'an) pecahan dari kata Qarain (hubunganhubungan), karena ayat-ayatnya saling membenarkan dan menyerupai satu sama lain". Al-Zajjaj berpendapat Qur’an kata sifat, dan berasal dari kata qar-un yang berarti mengumpulkan. Quthrub berpendapat: "Dinamakan Qur'an karena pembacanya menerapkan pelafadannya dan menjelaskannya". Setelah mengernukakan beberapa pendapat itu Al-Suyuthi berkesimpulan pendapat Imam Al-Syafi'ilah yang lebih selamat dalam hal ini. Ibn 'Athiyah berpendapat kata Qur'an merupakan bentuk masdar dari qara-a (membaca). Keotentikan Nas Qur'an Tidak ada satu kitab suci pun yang mempunyai keotentikan seperti Qur'an. Tidak diragukan bahwa hal tersebut rahasia kehebatan dan kebesarannya, kunci keabadiannya: "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Qs. AI-Hijr: 9). Langkah utama untuk memelihara keotentikan Qur'an di masa Rasulullah SAW ialah setiap kali wahyu turun kepada beliau langsung ditulis, dan beliau melarang penulisan sesuatu selain wahyu agar tidak terjadi percampur adukan, seperti yang beliau tegaskan di dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Khudri: "Janganlah kamu menulis sesuatu tentang aku selain Qur'an. Maka barang siapa yang menulis sesuatu tentang aku selain Qur'an, hendaklah ia menghapusnya". 6
Karena larangan itu para sahabat tidak mau menulis dimasa Rasulullah SAW selain Qur'an agar terpelihara dan keraguan dan penyimpangan. Karena inipun Rasulullah memperingatkan: Abu Hurairah berkata: "Rasulullah berkunjung kepada kami di saat kami menulis hadits-hadits. Beliau bertanya: "Apakah yang kamu tulis? Kami menjawab: "Hadits-hadits yang kami dengar dari tuan". Beliau bertanya: "Apakah kamu menginginkan kitab selain Kitabullah? Sesungguhnya kesesatan umat-umat sebelum kamu karena mereka menulis kitab lain di samping Kitabullah". Dapat kita simpulkan bahwa Qur'an seluruhnya ditulis oleh penulis-penulis wahyu dan selain mereka dari kalangan sahabat. Hanya saja pada waktu itu belum terkumpul di dalam satu mushaf karena kebutuhan akan hal tersebut belum mendesak, sementara para sahabat berlomba-lomba menghafal dan menulisnya, dan Rasulullah sendiri membacakannya dan menjelaskan hukum-hukumnya secara langsung kepada mereka. Al-Suyuthi menjelaskan mengapa Qur'an tidak dikumpulkan di dalam satu mushaf pada masa Rasulullah SAW, dengan menyitir perkataan Al-Khathabi: "Sesungguhnya Rasulullah tidak mengumpulkan Qur'an di dalam satu mushaf karena beliau menunggu datangnya nasakh (pembatalan) terhadap sebagian hukum dan bacaannya. Setelah selesai turun dengan kewafatan beliau, Allah mengilhamkan kepada para khulafaurrasyidin untuk mengumpulkan Qur'an di dalam satu mushaf sebagai pemenuhan janji-Nya memelihara dan menjaga Qur'an untuk umat ini sampai akhir masa".
BAB IV PERTEMUAN AKAL DAN WAHYU Dalam uraian di muka ditegaskan bahwa perternuan akal dan wahyu merupakan dasar utama pembangunan pemikiran Islam. Islam tidak membiarkan akal berjalan tanpa arah, karena jalan yang merentang di hadapannya bermacam-macam. Islam menggambarkan suatu metode bagi akal, agar ia terpelihara di atas dasar-dasar pemikiran yang sehat. Di antara unsur-unsur metode ini ialah seruannya kepada akal unmk melihat kepada penciptaan langit dan bumi. Sebab, semakin bertambah pengetahuan akal tentang rahasia keduanya, akan semakin bertambah pula pengetahuan (ma'rifah) nya tentang Sang Pencipta dan Pengaturnya. Dan Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dan menjadikan padanya semuanya buah-buahan berpasangan. Allah, Allah menetapkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir" (Qs. Al-Rad : 3)Tidak cukup itu, Qur'an menawarkan kepada manusia untuk menangkap hikmah yang terkandung di dalam penciptaan makhluk-makhluk, agar ia mengetahui statusnya di hadapan SWT. 7
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dihamparkan?" (Qs. Al-Ghasyiyah: 17 - 20). Sebenarnya akal pun tidak akan dapat menjangkau seluruh makhluk yang memenuhi alam kosmos ini, baik matahari bintang, bulan, planet dan semua peristiwa yang terjadi di dalamnya. Lalu bagaimana mungkin ia mampu mengenal Zat Pencipta makhluk-makhluk itu. Sesungguhnya Dia: "Tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui". (Qs.Al-An'am: 103). Dari sinilah akal memperoleh pelajaran pertama tentang iman kepada yang ghaib, keimanan yang mengajak akal mempercayai sesuatu di balik alam raya ini, yaitu sorga dan neraka, kebangkitan dan nusyur, hisab, pahala, siksa dan malaikat, rasulrasul serta seluruh yang dibawa oleh para Rasul Allah, yang tidak dapat dicapai melalui metode eksperimen dan dengan mikroskop dan yang tidak dikenal dengan sekedar pengetahuan inderawi. Semua itu adalah perkara-perkara yang menuntut ketaatan dan keimanan. Demikianlah akal bertemu dengan wahyu dan berserah kepada Tuhan yang menciptakan alam. Akan tetapi akal masih bimbang menghadapi sebagian ayat-ayat Qur'an yang pada zahirnya tidak sesuai dengan kesempurnaan dan kesucian Allah serta sifat-sifat lainnya. Maka akal pun berusaha menangkap makna-makna terpendam di dalam ayat-ayat itu sehingga sesuai dengan keesaan, kesempurnaan dan kesucian-Nya.
8