“AKU DAN MAHARANI”
Waktu itu pukul lima sore Kita duduk berdua di tepi pantai Dia hitam manis, bercampur jingga senja yang eksotis Memendam cantik yang lugas, tegas, tajam tanpa sedikit kebodohan yang terhempas
Kita duduk bukan tanpa jarak Kita duduk, dengan jarak kecerdasannya Aku bercerita lelah hati, ia bercerita resahnya seluruh negeri Aku bangga berprestasi, ia bahagia seluruh petani negeri panen padi
Aku mulai bertanya bagaimana hidupnya Jika ia terus memikirkan negeri, bukan malah ia sendiri
Lantas apa yang membuatku harus berdiri Jika bukan untuk mereka para korban korupsi Lantas kenapa harus aku berdiam diri Jika rakyat negeri terus dibodohi Lantas untuk apa hidupku ini Jika hanya meratapi rakyat yang dikebiri Lantas untuk apa dunia ini Kalau hak asasi tidak dibela hingga mati Aku tidak ingin prestasi, Aku ingin Pancasila berdiri Gagah diseluruh pelosok Negeri
Jawab temanku Maharani, wanita misikin yang hidup sendiri, menusuk kesadaranku.