2.7 HADITS SHAHIH A.
Pengertian Hadits Shahih
Menurut Muhammad Alawi (2009:52) Shahih menurut bahasa berarti “sehat”, sedang menurut istilah ialah hadits yang muttasil (bersambung) sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhabit, tidak syadz dan tidak pula terdapat billat (cacat) yang merusak. B.
Syarat-syarat Hadits Shahih
Para ahli hadits seperti Ibnu Ash-Shalah (w.643/1245), An-Nawawi, (w.676/1277), Ibnu Katsir (w.774), Ibnu Hajar Al-ASqalani (w. 852/1449), Jalal Ad-Din AS-Suyuthi (w. 911/1505) dan lain-lain telah mengajukan definisi yang mereka ajukan mewakili apa yang (diduga) telah diterapkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Definisinya dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) kesinambungan periwayatan, (b) rawirawinya adil, (c) rawi-rawinya sempurna kedhabitannya, (d) isnad dan matan harus bebas dari kejagalan (syadzdz), (e) isnad dan matan harus bebas dari cacat (‘Illah). Semua syarat ini akan diuraikan secara kritis berikut ini. 1.
Kesinambungan periwayatan
Menurut
Kamaruddin
(2009:21),
bahwa
kesinambungan
jalur
periwayatan berarti semua perawi dalam jalur periwayatan dari awal (mukharijj) sampai akhir (sahabat) telah meriwayatkan hadits dengan
cara yang dapat dipercaya enurut konsep tahammul wa ada’ al hadits. Maksudnya, setiap perawai dalam jalur periwayatan telah meriwayatkan hadits tertentu langsung dari perawi sebelumnya dan semua perawi adalah tsiqah, yakni ‘adl (adil) dan dhabith (kuat ingatan). 2.
Rawi-rawinya adil
Adil adalah perangai yang senantiasa menunjukkan pribadi yang yaqwa dan muru’ah (menjauhkan diri dari sifat atau tingkah laku yang tidak pantas untuk dilakukan). Yang dimaksud adil disini ialah adil dalam hal meriwayatkan hadits, yaitu orang Islam yang miskallah (cakap bertindak hokum) yang selamat dari fasiq, gila dan orang yang tidak pernah dikenal, tidak termasuk orang yang adil, sedangkan orang perempuan budak, dan anak yang sudah baligh bias digolongkan orang yang adil apabila memenuhi kriteria tersebut. 3.
Rawi-rawinya sempurna kedhabitannya
Yang dimaksud sempurna kedhabitannya ialah kedhabitan pada tingkat yang tinggi, artinya bahwa ingatannya lebih banyak daripada lupanya dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau seseorang mempunyai ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikannya kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki, disebut orang yang dhabithu’sh-shdri.
Menurut Muhammad Alawi (2009:53), dalam hal ini dhabit ada dua macam, yaitu: 1)
Dhabit hati. Seseorang dikatakan dhabit hati apabila dia mampu
menghafal setiap hadits yang didengarnya dan sewaktu –waktu dia bisa mengutarakan atau menyampaikannya. 2)
Dhabitkitab. Seseorang dikatakan dhabit kitab apabila setiap hadits
yang dia riwayatkan tertulis dalam kitabnya yang sudah ditashih (dicek kebenarannya) dan selalu dijaga. 4.
Bebas dari Syadzudz
Syadzudz disini ialah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang rawi yang terpercaya, itu tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tingkat dipercayanya lebih tinggi. Dalam karangan Dr. Phil Komaruddin Ain, MA, hadits syadzudz, menurut Asy-Syafi’i adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, tetapi bertentangan dengan hadits riwayat orang-orang yang dianggap lebih dapat dipercaya darinya. Sebuah hadits diriwayatkan hanya oleh satu perawi yang dipercaya dan tidak didukung oleh perawiperawi yang lain, tidak dapat dianggap hadits syadzdz. Dengan kata lain, “perawi tunggal” (faid mthlaq) tidak mempengaruhi keterpercayaan hadits sepanjang hadits tersebut diriwayatkan oleh perawi yang dapat dipercaya.
5.
Bebas dari ‘illat
Menurut Phil (2009:34), hadits ma’lul atau cacat adalah hadits yang tampak shahih pada pandangan pertama, tetapi ketika dipelajari secara seksama dan hati-hati ditemukan faktor-faktor yang dapat membatalkan keshahihannya. Faktor tersebut misalnya, seorang perawi meriwayatkan sebuah hadits dari seseorang guru, padahal kenyataannya ia tidak pernah bertemu dengannya, atau menyadarkan sebuah hadits kepada sahabat tertentu, padahal sebenarnya berasal dari shabat lain.‘Illat disini ialah cacat yang samar yang mengakibatkan hadits tersebut tidak dapat diterima. C.
Hukum-hukum Hadits Shahih
Adapun hukum-hukum hadits shahih adalah sebagai beirkut: 1.
Berakibat kepastian hukum. Hal ini apabila hadits tersebut terdapat
pada shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Demikian pendapat yang dipilih dan dibenarkan oleh Ibnu Al-Shalah. 2.
Imperatif diamalkan. Menurut Ibnu Hajar dalam kitab syarah Al-
Nuhbah, wajib mengamalkan setiap hadits yang shahih, meskipun hadits dimaksud tidak termasuk yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. 3.
Imperatif untuk menerimanya. Menurut Al-Qasim dalam kitab
qawa’idu Al-Thadits, bahwa wajib menerima hadits shahih walaupun hadits shahih itu tidak pernah diamalkan oleh seorang pun.
4.
Imperatif segera diamalkan tanpa menunggu sampai adanya dalil
yang bertentangan. Menurut Syekh Al-Fallani di dalam kitab Liqaadzu Al-Himami, bahwa mengamalkan hadits dhahih tidak usah menunggu mengetahui tidak adanya snasikh (hadits lain yang menganulir), atau tidak adanya ijma’ atau dalil-dalil lain yang bertentangan dengan hadits itu. Akan tetapi, harus segera diamalkan sampai benar-benar diketahui adanya dalil-dalil yang bertentangan dengannya dan kalau toh ada maka harus diadakan penelitian terlebih dahulu. 5.
Hadits shahih tidak membahaykan. Menurut Ibnu Qayyim dalam
kitab Ighaatsatu Al-Lahfan, bahwa hadits shahih walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang sahabat saja, tidak membahayakan, yakni tidak mengurangi kadar keshahihannya 6.
Tidak harus diriwayatkan oleh orang banyak. Hadis yang shahih
tidak pasti diriwayatkan oleh orang banyak, sebagai dasarnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Muadz yang berbunyi sebagai berikut: ُسو ُل هللاِ اِالَّ َح َّر َمه ُ َما ِم ْن اَََ ٍد يَ ْش َهدُ ا َ ْن الَ اِلَهَ اِالَّ هللا ُ َوا َ َّن ُم َح َّمدًا َر ُ س ْو ُل هللاِ اَفَالَ أ ُ ْخبِ ُربِ ِه فَيَ ْست َ ْبش ُِروا قَا َل صلعم اِذَا يَت َ َّكلُوا فَأ َ ْخبَ َر ُه ْم ُمعَاذ ُ ار ُ َ ي:ُار فَقَا َل ُمعَاذ َ ُ هللا ِ َّع َل الن ِع ْندَ َم ْوتِ ِه “Tidak seorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat kecuali Allah mengharamkanya masuk neraka. Mu’adz bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya hadis ini aku beritahukan kepada orang-orang
supaya mereka bergembira?” Nabi saw menjawab,” Hadis tersebut baru di ceritakan kepada orang-orang oleh Mu’adz menjelang wafatnya karena takut berdosa jika tidak mengamalkannya. Imam Bukhari meriwayatkan secara ta’liq dari sahabat Ali ra: ُسولُه ُ ب هللا ُ َو َر َ َّاس ِب َما يَ ْغ ِرفُونَ اَت َ َحب َُّو ا َ ْن يُ َكذ َ ََّح ِد الن “Ceritakanlah pengetahuannya,
(hadis) apakah
kepada kalian
orang-orang senang,
Allah
sesuai dan
dengan RasulNya
didustakan?” Ibnu Mas’ud juga berkata : ٌض ِه ْم فِتْنَة ٌ َماا َ ْنتَ ُم َح ِد ُ ُِّث قَ ْو ًما َحدِيثًا الَ تِ ْبلُغُه ِ عقُولُ ُه ْم اِالَّ ِلبَ ْع )(رواه مسلم “Engkau tidak boleh menceritakan kepada suatu kaum sesuatu hadis yang tidak terjangkau oleh akal mereka, melainkan hanya akan menimbulkan fitnah di antara mereka,” (HR.Muslim). Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, di antara ulama yang tidak suka menceritakan hadis secara sepotong-sepotong dengan maksud-maksud tertentu, di antaranya untuk menghindari kewajiban-kewajiban atau menghilangkan hokum-hukum, tindakannya itu akan menimbulkan kerusakan dunia dan akhirat. Bagaimana mereka sampai bida berbuat demikian, padahal semestinya semakin giat pula ibadahnya. Seperti
halnya ketika Nabi saw ditanya, “Mengapa engkau selalu Qiyaamu AlLail padahal Allah SWT telah memaafkan engkau? Kontan Nabi saw menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” 6.
Pembagian dan Tingkatan-tingkatan Hadis Shahih
Derajat hadis shahih itu bertingkat-tingkat sebab bertingkat-tingkat sifat adil, dhabit, dan sifat-sifat lain yang menjadi syarat-syarat keshahihanya. Apabila rawi-rawi hadis shahih itu mempunyai sifat dhabit, adil, dan sifat-sifat lain yang menjadi sifat keshahihannya tinggi, maka hadis itu lebih shahih tingkatannya. Itulah sebabnya ulama Syakh Abdullah bin Ibrahim Al-Alawi menghimpun tinngkatan-tingkatan hadis shahih didalam nadham kitab nya yang berjudul Thal’afu Al-Anwar, sebagai berikut: ي فَ ْردًا يُ ْنتَقَى ُّ فَ َما َر َوى ال ُج ْع ِف
علَ ْي ِه اِتِِّفَاقَا َّ ا َ ْعلَى ال َ ص ِحيْحِ َما
َ فَ َما ِلش َْر ِط ف ِ غي ِْرذَ ْي َ ب يَ ْكت َ ِن
َّ فَ ُم ْس ِل ٌم َكذَا لِكَ فِى ال ع ِرف ُ ش ْر ِط
“Setinggi-tinggi hadis shahih ialah yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim, lalu yang bersih diriwayatkan oleh Al-Ju’fi (Al-Bukhari) seorang diri, kemudian yang diriwayatkan oleh Muslimdalm syarat yang diketahui adalah sepeerti itu, selanjutnya yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini dengan melingkupi syarat-syarat selain dari syarat-syarat keduanya.
Maksud dari ungkapan dalm nadham itu ialah:
Hadis shahih yang paling tinggi derajatnya ialah yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim, yaitu menempati tingkatan hadis shahih yang pertama.
Kemudian hadis shahih yang diriwayatkan oleh Al-Ju’fi (Al-Bukhari) saja menempati tingkatan hadis shahih yang kedua.
Dan hadis shahih yang diriwayatkan oleh Muslim saja menempati tingkatan hadis shahih yang ketiga.
Lalu hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini (selain Al-Bukhari dan Muslim) yang mengikuti syarat-syarat Al-Bukhari dan Muslim, menempati tingkatan hadis shahih yang keempat.
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini (selain AlBukhari dan Muslim) yang mengikuti syarat-syarat Al-Bukhari, menempati tingkatan hadis shahih yang kelima. Menurut Fathur (1970:102) ,kekuatan hadis shahih itu, berlebih kurang mengingatberlebih kurangnya sifat kedhabitan dan keadilan rawinya. Hadis shahih yang paling tinggi derajatnya, ialah hadis yang bersanad ashahhu’asanid. Kemudian berurut-turut sebagai berikut: 1.
Hadis yang disepakati keshahihannya oleh Al-Bukhari dan
Muslim, yang lazim disebut dengan istilah “Muttafaqun ‘alahi”. 2.
Hadis yang dishahihkan oleh Al-Bukhari saja.
3.
Hadis yang dishahihkan oleh Muslim saja.
4.
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari
danMuslim, tetapi mengikuti syarat-syarat shahih Al-Bukhari dan Muslim. 5.
Imam Al-Nawawi menagatakan, bahwa yang di maksud mengikuti
syarat-syarat shahih Al-Buhari dan Muslim,karena Al-Buhari dan Muslim sendiri tidak menyebutkan dengan jelas tentang syarat-syarat shahihnya, baik dalam kedua kitab shahihnya maupun dalm kitabnya yang lain, (maka rawi-rawi yang terdapat di dalam kedua kiatab shaih itu menjadi standar). 6.
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan
Muslim, tetapi mengikuti syarat-syarat keshahihan Al-Bukhari. 7.
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain Al-Bukhari dan
Muslim, tetapi mengikuti syarat-syarat keshahihan Muslim. 8.
Hadis shahih yang diriwayatkan oleh ahli hadis yang terkenal
selain Al-Bukhari dan Muslim, tetapi tidak mengikuti syarat-syarat keshahihan Al-Bukhari dan Muslim dan tidak pula mengikuti syaratsyarat keshahihan salah satu dari Al-Bukhari dan Muslim.
Menurut Muhammad Alawi (2009:59), hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini (selain Al-Bukhari dan Muslim) yang
mengikuti syarat-syarat Muslim, menempati tingkatan hadis shahih yang keenam.
Selanjutnya hadis shahih yang diriwayatkan oleh selain dua orang ini (selain Al-Bukhari dan Muslim) yang mengikuti selain dari syaratsyarat keduanya, menempati tingkatan hadis shahih yang ketujuh. 4.
Kehujahan Hadis Shahih
Menurut Majid (2010:156), hadis yang telah memenuhi persyaratan hadis shahih wajib diamalkan sebagai hujjah atau dalil syura’ sesuatu dengan ijma’. Para ulama hadis dan sebagian ulama; ushul dan fiqh tidak ada alasan bagi seorang muslim meninggalakan untuk mengamalkannya. Hadis shahih lighoirihi lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan hadis hasan lidzatihi, tetapi lebih rendah dari pada hadis shahih lidzatihi. Sekalipun demikaian hadis tersebut dapat dijadikan hujjah. Ada beberapa ulama yang menguatkan kehujahan hadis shahih, diantaranya sebagai berikut: 1.
Hadis shahih memberikan faedah qath’i ( pasti kebenarannya )
jika terdapat didalam kitab shahih ( Bukhari dan Muslim ). Sebagaimana pendapat yang dipilih oleh Ibnu Ash-Shalah. 2.
Wajib menerima hadis shahih sekalipun tidak ada seorangpun
yang mengamalkannya, pendapatt Al-Qasimi dalam Qawa’id at-Tahdis.