Gerontik.docx

  • Uploaded by: MATHIAS BRYAN PONTO
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Gerontik.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,285
  • Pages: 16
KEPERAWATAN GERONTIK KOMUNIKASI DENGAN LANSIA DAN KOMUNIKASI DENGAN KELOMPOK KELUARGA DENGAN LANSIA

Kelas A, Semester 6 Disusun oleh Kelompok 6 : Kezia Manampiring Mega Sumangkut Beria Esau Christy Sendow Erika Kindangen Ghe Taluhending PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS KATOLIK DE LA SALLE MANADO TAHUN 2016

KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tak lupa juga kami kelompok mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang dapat memberikan informasi materi untuk makalah ini. Kami harap makalah ini dapat di terima dengan baik oleh dosen pembimbing dan dapat menambah pengetahuan yang bermanfaat bagi para pembaca. Terlepas dari semua itu, kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih ada kekurangan baik dari tata bahasa ataupun susunan kalimat bahkan dalam isi materi. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala kritik dan saran dari dosen dan para pembaca agar kedepan kami dapat memperbaikinya.

Manado, 14 februari 2019

Kelompok 6

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan

BAB II Pembahasan ( Komunikasi Dengan Lansia )

BAB III Komunikasi Dengan Keluarga Lansia

BAB IV Penutup

DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang untuk menetapkan, mempertahankan dan meningkatkan kontrak dengan oran lain karena komunikasi dilakukan oleh seseorang, setiap hari orang seringkali salah berpikir bawa komunikasi adalah sesuatu yang mudah. Namun sebenarnya adalah proses yang kompleks yang melibatkan tingkah laku dan hubungan serta memungkinkan individu berasosiasi dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya. Hal itu merupakan peristiwa yang terus berlangsung secara dinamis yang maknanya dipacu dan ditransmisikan. Untuk memperbaiki interpretasi pasien terhadap pesan, perawat harus tidak terburu-buru dan mengurangi kebisingan dan distraksi. Kalimat yang jelas dan mudah dimengerti dipakai untuk menyampaikan pesan karena arti suatu kata sering kali telah lupa atau ada kesulitan dalam mengorganisasi dan mengekspresikan pikiran. Instruksi yang berurutan dan sederhana dapat dipakai untuk mengingatkan pasien dan sering sangat membantu. (Bruner & Suddart, 2011 : 188) Komunikasi adalah proses interpersonal yang melibatkan perubahan verbal dan non verbal dari informasi dan ide. Kominikasi mengacu tidak hanya pada isi tetapi juga pada perasaan dan emosi dimana individu menyampaikan hubungan ( Potter-Perry, 301 ). Komunikasi pada lansia membutuhkan peratian khusus. Perawat harus waspada terhadap perubahan fisik, psikologi, emosi, dan sosial yang memperngaruhi pola komunikasi. Perubahan yang berhubungan dengan umur dalam sistem auditoris dapat mengakibatkan kerusakan pada pendengaran. Perubahan pada telinga bagian dalam dan telinga mengalangi proses pendengaran pada lansia sehingga tidak toleran teradap suara. Berdasarkan hal – hal tersebut kami menulis makalah ini yang berjudul “ komunikasi pada lansia.

B.

Rumusan Masalah

1.

Pengertian komunikasi dan lansia ?

2.

Pendekatan perawatan lansia dalam konteks komunikasi ?

3.

Teknik komunikasi terapeutik pada lansia ?

4.

Hambatan berkomunikasi pada lansia ?

C.

Tujuan Penulisan

1.

Pengertian komunikasi dan lansia ?

2.

Pendekatan perawatan lansia dalam konteks komunikasi ?

3.

Teknik komunikasi terapeutik pada lansia ?

4.

Hambatan berkomunikasi pada lansia ?

BAB II PEMBAHASAN KOMUNIKASI DENGAN LANSIA 1. Pengertian Komunikasi dan Lansia A. Pengertian Komunikasi Komunikasi mempunyai dua fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup diri sendiri yang meliputi keselamatan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi, menampilkan diri kita sendiri kepada orang lain dan mencapai ambisi pribadi. Kedua, untuk kelangsungan hidup masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan keberadaan suatu masyarakat tersebut (Pearson dan Nelson dalam Mulyana, 2009:5). Selain hal tersebut, menurut William I. Gorden dalam Mulyana (2009:5-6), terdapat empat fungsi komunikasi, yakni komunikasi sosial, komunikasi ekspresif, komunikasi ritual, dan komunikasi instrumental, tidak saling meniadakan (mutually exclusive). Fungsi suatu peristiwa komunikasi (communication events) tampaknya sama sekali tidak independen, melainkan juga berkaitan dengan fungsi-fungsi lainya meskipun terdapat sesuatu fungsi yang dominan. Proses komunikasi dapat dilihat dalam dua perspektif besar, yaitu perspektif psikologis dan perspektif mekanis. Perspektif psikologis dalam proses komunikasi hendaknya memperlihatkan bahwa komunikasi adalah aktivitas psikologi sosial yang melibatkan komunikator, komunikan, isi pesan, lambang, sifat hubungan, persepsi, proses decoding dan encoding. Perspektif mekanis memperlihatkan bahwa proses komunikasi adalah aktivitas mekanik yang dilakukan oleh komunikator, yang sangat bersifat situasional dan kontekstual (Mufid, 2012:83). Komunikasi Terapeutik Dalam Prasanti (2017) komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Dalam dunia kesehatan, banyak kegiatan komunikasi terapeutik yang terjadi. Menurut Heri Purwanto, komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar dan bertujuan, kegiatannya difokuskan untuk kesembuhan pasien, dan merupakan komunikasi profesional

yang mengarah pada tujuan untuk penyembuhan pasien (dalam Mundakir, 2006). Komunikasi terapeutik meningkatkan pemahaman dan membantu terbentuknya hubungan yang konstruktif di antara perawat dengan klien. Tidak seperti komunikasi sosial, komunikasi terapeutik mempunyai tujuan untuk membantu klien mencapai suatu tujuan dalam asuhan keperawatan. Stuart dan Sundeen dalam Taufik (2010:45) menjelaskan bahwa dalam prosesnya komunikasi terapeutik terbagi menjadi empat tahapan, yaitu tahap persiapan atau tahap pra-interaksi, tahap perkenalan atau orientasi, tahap kerja, dan tahap terminasi. B. Pengertian Lansia Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di rumah sakit (Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit). Orang lanjut usia (lansia) pada umumnya menderita lebih dari satu penyakit. Hal ini pun membuat mereka harus mendatangi sejumlah dokter spesialis untuk berobat (Maharani, 2014). Pada kenyataannya, pasien lansia berbeda dengan pasien kebanyakan. Pasien lansia mempunyai cara khusus dalam perawatannya mengingat usianya sudah tidak muda lagi dan kebanyakan dari pasien lansia mempunyai penyakit yang kompleks dan atau beberapa penyakit sekaligus. Kegiatan ini, menurut Depkes (1993:1b), untuk memberikan bantuan, bimbingan, pengawasan, perlindungan, dan pertolongan kepada lanjut usia secara individu maupun kelompok, seperti di rumah atau lingkungan keluarga, puskesmas, yang diberikan perawat. Untuk asuhan keperawatan yang masih dapat dilakukan anggota keluarga atau petugas sosial yang bukan tenaga keperawatan, diperlukan latihan sebelumnya atau bimbingan langsung pada waktu tenaga keperawatan melakukan asuhan keperawatan di rumah atau panti. Adapun asuhan keperawatan dasar yang diberikan, disesuaikan pada kelompok lanjut usia, apakah lanjut usia aktif atau pasif, antara lain, untuk lanjut usia yang masih aktif, asuhan keperawatan dapat berupa dukungan tentang personal hygiene, kebersihan lingkungan serta makanan yang sesuai dan kesegaran jasmani; untuk lanjut usia yang telah mengalami pasif, yang tergantung pada orang lain. Hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan asuhan keperawatan pada lanjut usia pasif pada dasarnya sama sama seperti pada lanjut usia aktif, dengan bantuan penuh oleh anggota keluarga atau petugas. Khususnya bagi yang lumpuh,

perlu dicegah agar tidak terjadi dekubitus.Lanjut usia mempunyai potensi besar untuk terjadi dekubitus karena perubahan kulit berkaitan dengan bertambahnya usia dalam Perwari (2015). 2. Pendekatan Perawatan Lansia Dalam Konteks Komunikasi 1. Pendekatan fisik Mencari informasi tentang kesehatan obyektif, kebutuhan, kejadian, yang dialami, peruban fisik organ tubuh, tingkat kesehatan yang masih bisa di capai dan di kembangkan serta penyakit yang dapat di cegah progresifitasnya. Pendekatan ini relative lebih mudah di laksanakan dan di carikan solusinya karena riil dan mudah di observasi. 2.Pendekatan psikologis Karena pendekatan ini sifatnya absrak dan mengarah pada perubahan prilaku, maka umumnya membutuhkan waktu yang lebih lama. Untuk melaksanakan pendekatan ini perawat berperan sebagai konselor, advokat, supporter, interpreter terhadap sesuatu yang asing atau sebagai penampung masalah-masalah yang pribadi dan sebagai sahabat yang akrab bagi klien. 3.Pendekatan social Pendekatan ini di lakukan untuk meningkatkan keterampilan berinteraksi dalam lingkungan. Mengadakan diskusi, tukar pikiran, bercerita, bermain, atau mengadakan kegiatan-kegiatan kelompok merupakan implementasi dari pendekatan ini agar klien dapat berinteraksi dengan sesama klien maupun dengan petugas kesehatan. 4.Pendekatan spiritual Perawat harus bisa membeikan kepuasan batin dalam hubunganya dengan Tuhan atau agama yang dianutnya terutama ketika klien dalam keadaan sakit. 3. Teknik komunikasi teraupetik pada lansia A.Teknik Komunikasi Pada Lansia Untuk dapat melaksanakan komunikasi yang efektif kepada lansia, selain pemahaman yang memadai tentang karakteristik lansia, petugas kesehatan atau perawat juga harus mempunyai teknik-teknik khusus agar komunikasi yang di lakukan dapat berlangsung secara lancar dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan.

Beberapa teknik komunikasi yang dapat di terapkan antara lain: 1. Teknik asertif Asertif adalah sikap yang dapat menerima, memahami pasangan bicara dengan menunjukan sikap peduli, sabar untuk mendengarkan dan memperhatikan ketika pasangan bicara agar maksud komunikasi atau pembicaraan dapat di mengerti. Asertif merupakan pelaksanaan dan etika berkomunikasi. Sikap ini akan sangat membantu petugas kesehatan untuk menjaga hubungan yang terapeutik dengan klien lansia. 2. Responsif Reaksi petugas kesehatan terhadap fenomena yang terjadi pada klien merupakana bentuk perhatian petugas kepada klien. Ketika perawat mengetahui adanya perubahan sikap atau kebiasaan klien sekecil apapun hendaknya menanyakan atau klarifikasi tentang perubahan tersebut misalnya dengan mengajukan pertanyaan ‘apa yang sedang bapak/ibu fikirkan saat ini, ‘apa yang bisa bantu…? berespon berarti bersikap aktif tidak menunggu permintaan bantuan dari klien. Sikap aktif dari petugas kesehatan ini akan menciptakan perasaan tenang bagi klien. 3. Fokus Sikap ini merupakan upaya perawat untuk tetap konsisten terhadap materi komunikasi yang di inginkan. Ketika klien mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan di luar materi yang di inginkan, maka perawat hendaknya mengarahkan maksud pembicaraan. Upaya ini perlu di perhatikan karena umumnya klien lansia senang menceritakan hal-hal yang mungkin tidak relevan untuk kepentingan petugas kesehatan. 4. Supportif Perubahan yang terjadi pada lansia, baik pada aspek fisik maupun psikis secara bertahap menyebabkan emosi klien relative menjadi labil perubahan ini perlu di sikapi dengan menjaga kesetabilan emosi klien lansia, mesalnya dengan mengiyakan , senyum dan mengagukan kepala ketika lansia mengungkapkan perasaannya sebagai sikap hormat menghargai selama lansia berbicara. Sikap ini dapat menumbuhkan kepercayaan diri klien lansia sehingga lansia tidak menjadi beban bagi keluarganya. Dengan demikaian di harapkan klien termotivasi untuk menjadi dan berkarya sesuai dengan kemampuannya. Selama memberi dukungan baik secara materiil maupun moril, petugas kesehatan jangan terkesan menggurui atau mangajari klien karena ini dapat merendahan kepercayaan klien kepada

perawat atau petugas kesehatan lainnya. Ungkapan-ungkapan yang bisa memberi motivasi, meningkatkan kepercayaan diri klien tanpa terkesan menggurui atau mengajari misalnya: ‘saya yakin bapak/ibu lebih berpengalaman dari saya, untuk itu bapak/ibu dapat melaksanakanya……. dan bila diperlukan kami dapat membantu’. 5. Klarifikasi Dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lansia, sering proses komunikasi tidak berlangsung dengan lancar. Klarifikasi dengan cara mengajukan pertanyaan ulang dan memberi penjelasan lebih dari satu kali perlu di lakukan oleh perawat agar maksud pembicaraan kita dapat di terima dan di persepsikan sama oleh klien ‘bapak/ibu bisa menerima apa yang saya sampaikan tadi..? bisa minta tolong bapak/ibu untuk menjelaskan kembali apa yang saya sampaikan tadi…?. 6. Sabar dan Ikhlas Seperti diketahui sebelumnya klien lansia umumnya mengalami perubahan-perubahan yang terkadang merepotkan dan kekanak-kanakan perubahan ini bila tidak di sikapai dengan sabar dan ikhlas dapat menimbulkan perasaan jengkel bagi perawat sehingga komunikasi yang di lakukan tidak terapeutik, namun dapat berakibat komunikasi berlangsung emosional dan menimbulkan kerusakan hubungan antara klien dengan petugas kesehatan. B. Komunikasi Terapeutik pada Lansia Peranan perawat sangat besar sekali bagi lansia yang berada di Graha Werdha AUSSI Kusuma Lestari, Depok. Adapun 4 (empat) keharusan yang harus dimiliki oleh seorang perawat, yaitu pengetahuan, ketulusan, semangat dan praktik. Dalam usaha berkomunikasi dengan baik, seorang perawat harus mempunyai pengetahuan yang cukup, sehingga memudahkan dalam melaksanakan tugasnya setiap hari. Untuk ketulusan, jika seseorang telah memutuskan sebagai perawat harus dapat dipastikan mempunyai ketulusan yang mendalam bagi para pasiennya siapa pun itu. Semangat serta pantang menyerah harus selalu dikobarkan setiap harinya agar para pasiennya selalu ikut bersemangat pada akhirnya terutama bagi para pasien lansia yang terkadang suka merasa dirinya “terbuang” dan “sakit karena tua”. Sedangkan untuk praktiknya, seorang perawat harus dapat berbicara komunikatif dengan para pasiennya, sehingga tidak saja hanya jago dalam teori namun praktiknya pun harus bisa melakukan dengan baik dan benar. Terkait dengan penjelasan di atas, Stuart dan Sundeen dalam Taufik (2010:45) menjelaskan bahwa dalam prosesnya komunikasi terapeutik

terbagi menjadi empat tahapan, yaitu tahap persiapan atau tahap pra-interaksi, tahap perkenalan atau orientasi, tahap kerja, dan tahap terminasi. (1).

Tahap pra-interaksi, pada tahap pra-interaksi, perawat sebagai komunikator yang

melaksanakan komunikasi terapeutik mempersiapkan dirinya untuk bertemu dengan klien atau pasien lansia. Sebelum bertemu pasien, perawat haruslah mengetahui beberapa informasi mengenai pasien, baik berupa nama, umur, jenis kelamin, keluhan penyakit, dan sebagainya. Apabila perawat telah dapat mempersiapkan diri dengan baik sebelum bertemu dengan pasien, maka ia akan bisa menyesuaikan cara yang paling tepat dalam menyampaikan komunikasi terapeutik kepada pasien, sehingga pasien dapat dengan nyaman berkonsultasi dengan perawat. Dikarenakan di Graha Werdha AUSSI Kusuma Lestari, Depok mengharuskan 1 lansia ditangani oleh 1 perawat/suster, maka dapat dipastikan bahwa perawat yang menangani pasien lansia di Graha Werdha ini dapat dengan cepat dan akrab dengan para pasiennya. (2) Tahap perkenalan atau tahap orientasi pada tahap ini antara perawat dan pasien lansia di Graha Werdha ini mempunyai kualitas yang cukup baik dalam hal kehangatan dan keterbukaan satu sama lain, seperti menceritakan tentang kondisi keluarganya saat ini, hobinya apa saja, cerita tentang masa mudanya dan lainnya sebagainya. Turn over para suster/ perawat di Graha Werdha ini pun dapat dikatakan cukup rendah, karena biasanya yang sulit yaitu adaptasi kembali kepada orang baru dalam hal ini, yaitu perawat/suster. (3) Tahap kerja atau sering disebut sebagai tahap lanjutan adalah tahap pengenalan lebih jauh. Secara psikologis komunikasi yang bersifat terapeutik akan membuat pasien lebih tenang, dan tidak gelisah. Berdasarkan observasi di lapangan, penulis melihat bahwa perawat yang menangani pasien lansia di Graha Werdha ini dapat memberikan ketenangan dan mengurangi kecemasan bagi para pasiennya. Perawat/susternya hampir semuanya berpengalaman sehingga dapat menangani lansia dengan sangat baik dan sabar. (4) Tahapan terminasi, pada tahap ini terjadi pengikatan antarpribadi yang lebih jauh. Pasien lansia di tahapan ini merasa pada akhirnya “cukup dekat” dengan para perawatnya, bahkan menganggap seperti keluarganya sendiri. Salah satunya seperti mengajak bicara dari hati ke hati antara perawat dan pasien lansia.

4. Hambatan Berkomunikasi Dengan Lansia Proses komunikasi antara petugas kesehatan dengan klien lansia akan terganggu apabila ada sikap agresif dan sikan nonasertif. 1. Agresif Sikap agresif dalam berkomunikasi biasanya di tandai dengan prilaku-prilaku di bawah ini: a) Berusaha mengontrol dan mendominasi orang lain (lawan bicara) b) Meremehkan orang lain c) Mempertahankan haknya dengan menyerang orang lain d) Menonjolkan diri sendiri e) Pempermalukan orang lain di depan umum, baik dalam perkataan maupun tindakan. 2. Non asertif Tanda tanda dari non asertif ini antara lain : a) Menarik diri bila di ajak berbicara b) Merasa tidak sebaik orang lain (rendah diri) c) Merasa tidak berdaya d) Tidak berani mengungkap keyakinaan e) Membiarkan orang lain membuat keputusan untuk dirinya f) Tampil diam (pasif) g) Mengikuti kehendak orang lain h) Mengorbankan kepentingan dirinya untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain.

BAB III KOMUNIKASI DENGAN KELUARGA LANSIA Gangguan pendengaran banyak dialami oleh usia lanjut. Dalam berkomunikasi dengan pasien presbiakusis membutuhkan pendekatan khusus. Komunikasi adalah proses yang melibatkan seseorang untuk menggunakan tanda-tanda (alamiah atau universal) berupa simbol-simbol (berdasarkan perjanjian manusia) verbal atau non-verbal yang disadari atau tidak disadari yang bertujuan memengaruhi sikap orang lain. Komunikasi yang efektif adalah mencocokkan arti, mencapai konsistensi, dan mencapai kesesuaian antara pesan yang diterima dan diharapkan. Namun pada orang yang mengalami gangguan pendengaran, khususnya pada lansia komunikasi yang efektif dengan menggunakan komunikasi verbal cenderung sulit untuk dicapai maka komunikasi nonverbal yang berperan agar pesan atau ide yang disampaikan komunikator dapat dimengerti oleh lansia, khususnya dalam berkomunikasi dengan keluarga tempat lansia tinggal. Karena keluarga merupakan suatu sistem tempat individu atau anggota keluarga berinteraksi di dalam keluarga (Liliweri, 2009). Keluarga merupakan support system utama bagi pasien presbiakusis dalam mempertahankan kesehatannya. Peranan keluarga dalam perawatan pasien presbiakusis antara lain merawat, mempertahankan dan meningkatkan status mental, mengantisipasi perubahan sosial ekonomi, serta memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual bagi pasien presbiakusis (Maryam, et.al, 2008). Perilaku dan sikap anggota keluarga dibentuk oleh hubungannya dengan anggota keluarga yang lain. Setiap perubahan pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain. Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga dalam merawat pasien presbiakusis, perlu dikaji pengetahuan keluarga tentang yang dialaminya, bagaimana sikap keluarga terhadap bantuan kesehatan serta bagaimana tindakan keluarga dalam mengatasi kesehatan pasien tersebut (Suprajitno, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ismanto (2008) menunjukan bahwa cara berkomunikasi pada lansia mempunyai pengaruh yang dapat membuat lansia merasa diabaikan oleh keluarga maupun lingkungan. Keluarga masih sulit untuk memberikan pemahaman pada lansia yang mengalami presbiakusis, keluarga berkomunikasi dengan menggunakan komunikasi nonverbal diantaranya bicara dengan diulang-ulang, dan berbicara dengan suara lantang atau keras.

Berbagai pesan seperti rasa cinta, dukungan emosi, dorongan, kelembutan dan perhatian personal ditunjukkan dengan sentuhan. Jadi sentuhan disini merupakan salah satu cara yang bisa dipergunakan khususnya bagi keluarga yang merawat agar komunikasi dengan lansia yang mengalami gangguan pendengaran menjadi lebih efektif. 1) Teriak-teriak dan hadap-hadapan dengan pasien saat berkomunikasi Berdasarkan fenomena komunikasi yang dilakukan keluarga pada pasien presbiakusis. Pada salah satu partisipan mengungkapkan bahwa cara untuk mengatasi kesulitan dalam berkomunikasi dengan pasien, yaitu saling hadap-hadapan dengan pasien. Hal tersebut juga didukung oleh hasil observasi yang dilakukan peneliti, yaitu terlihat bahwa saat partisipan I berbicara partisipan tersebut berusaha untuk bisa berhadapan dengan pasien. Maksud partisipan menggunakan cara ini yaitu untuk memudahkan memberikan pemahaman pada lansia tentang pesan yang disampaikan, dan sekiranya pasien tidak begitu mendengar apa yang disampaikan namun pasien masih bisa mempelajari gerakan bibir dari partisipan tersebut. Hal tersebut juga sesuai dengan pendapat Tamsuri (2005), bahwa gangguan pendengaran menyebabkan lansia hanya dapat mendengar suara yang relatif keras dan pada tempo suara yang lebih lambat. Kadang kala gangguan pendengaran terlalu parah sedemikian sehingga orang tua memerlukan alat bantu dengar dan perlu melihat mimik (gerak bibir) untuk kemudian menyimpulkan apa yang telah diucapkan orang lain. 2) Berbicara dengan diulang-ulang Dari pernyataan partisipan ada pernyataan tentang cara untuk mengatasi kesulitan dalam berkomunikasi dengan pasien yaitu berbicara dengan diulang-ulang, dari hasil observasi juga didapatkan gambaran bahwa dalam berbicara dengan lansia partisipan cenderung mengulang kata atau pembicaraan yang telah disampaikan. Hal ini ditujukan agar pasien bisa dengan mudah memahami apa yang disampaikan oleh partisipan sebagaimana yang disampaikan oleh Potter dan Perry (2005), bahwa pengulangan bagian pesan yang penting juga akan membuat komunikasi menjadi lebih jelas. Jadi dengan keluarga menggunakan cara tersebut diatas untuk mengatasi kesulitan dalam berkomunikasi dengan pasien yang mengalami gangguan pendengaran, diharapkan pasien tersebut dapat menikmati masa tuanya dengan perasaan senang, dihargai, dan dibutuhkan meskipun lansia tersebut memiliki kekurangan, sehingga kecemasan pada diri pasien tentang keadaannya tidak lagi terjadi.

BAB IV PENUTUP KESIMPULAN Komunikasi adalah elemen dasar dari interaksi manusia yang memungkinkan seseorang untuk menetapkan, mempertahankan dan meningkatkan kontrak dengan oran lain karena komunikasi dilakukan oleh seseorang, setiap hari orang seringkali salah berpikir bawa komunikasi adalah sesuatu yang mudah. Namun sebenarnya adalah proses yang kompleks yang melibatkan tingkah laku dan hubungan serta memungkinkan individu berasosiasi dengan orang lain dan dengan lingkungan sekitarnya. Komunikasi adalah proses interpersonal yang melibatkan perubahan verbal dan non verbal dari informasi dan ide. Kominikasi mengacu tidak hanya pada isi tetapi juga pada perasaan dan emosi dimana individu menyampaikan hubungan ( Potter-Perry, 301 ). Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di rumah sakit (Undang-undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit). Orang lanjut usia (lansia) pada umumnya menderita lebih dari satu penyakit. Hal ini pun membuat mereka harus mendatangi sejumlah dokter spesialis untuk berobat (Maharani, 2014). Pada kenyataannya, pasien lansia berbeda dengan pasien kebanyakan. Pasien lansia mempunyai cara khusus dalam perawatannya mengingat usianya sudah tidak muda lagi dan kebanyakan dari pasien lansia mempunyai penyakit yang kompleks dan atau beberapa penyakit sekaligus. pada lansia komunikasi yang efektif dengan menggunakan komunikasi verbal cenderung sulit untuk dicapai maka komunikasi nonverbal yang berperan agar pesan atau ide yang disampaikan

komunikator dapat

dimengerti

oleh

lansia,

khususnya

dalam

berkomunikasi dengan keluarga tempat lansia tinggal. Karena keluarga merupakan suatu sistem tempat individu atau anggota keluarga berinteraksi di dalam keluarga (Liliweri, 2009). Keluarga merupakan support system utama bagi pasien presbiakusis dalam mempertahankan kesehatannya. Peranan keluarga dalam perawatan pasien presbiakusis antara lain merawat, mempertahankan dan meningkatkan status mental, mengantisipasi perubahan sosial ekonomi, serta memberikan motivasi dan memfasilitasi kebutuhan spiritual bagi pasien presbiakusis (Maryam, et.al, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Cangara, Hafied. (2012). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Damaiyanti, Mukhripah. (2010). Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan. Bandung: Refika Aditama. Nugroho. 2009. Komunikasi dalam keperawatan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Fitria dkk. 2017. Komunikasi Terapeutik pada Lansia di Graha Werdha AUSSI Kusuma Lestari, Depok. ejournal vol 10. No 2 Florensia. 2017. Proses Komunikasi Interpersonal Antara Perawat Dengan Pasien Lanjut Usia (Lansia). Jurnal E-komunikasi vol 5. No 1

More Documents from "MATHIAS BRYAN PONTO"

Gerontik.docx
November 2019 0
Benner Dan Neuman 1.pptx
November 2019 3
Scan 18 Feb 2019 (1).pdf
October 2019 17
June 2020 9
N95 Gmail
May 2020 11