PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN STIKes HANG TUAH PEKANBARU KEPERAWATAN KMB LAPORAN PENDAHULUAN Nama Mahasiswa
: Rinanda Aulia
NIM
: 18091021
Tanggal Praktik
: 21 Januari 2019 – 26 Januari 2019
Ruang Rawat
: Kenanga di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru
Diagnosa Keperawatan
: CML (Chronic Myeloid Leukemia)
A. Konsep Dasar 1.
Definisi Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas, menyebabkan supresi dan penggantian elemen sumsum normal. Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik dan leukemia mieloid (Guyton and Hall, 2007). Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML) merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan - lahan dan sel leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk
leukemia
myeloid
kronik,
yaitu
chronic myelogenous leukemia dan chronic myelocytic leukemia. (I Made, 2006). Atul
&
Victor
(2005)
menambahkan
bahwa
CML
yang
merupakan
gangguan mieloproliferatif klonal ini ditandai dengan peningkatan neutrofil dan prekusornya pada darah perifer dengan peningkatan selularitas sumsum tulang akibat kelebihan prekusor granulosit 2.
Etiologi/Faktor Resiko Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010) Beberapa asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor lingkungan, tetapi
di kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di identifikasikan. Agung
(2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan). a. Faktor Instrinsik ‒
Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor predisposisi untuk
mendapatkannya.
Risiko
terjadinya
leukemia
meningkat pada saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson (1982) yang menyatakan jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada saudara kandung anak - anak yang terserang dengan insiden
yang
meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot), (Agung ,2010). Kejadian
leukemia
meningkat
pada
penderita
dengan kelainan
fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter dan sindrom turner. ‒
Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang Sistem
imunitas
tubuh
kita
memiliki
kemampuan
untuk
mengidentifikasi sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut dapat menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan
selanjutnya
berproliferasi
hingga
menimbulkan
penyakit.
Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin sebagai penyebab leukemia (Agung ,2010) b. Faktor Ekstrinsik ‒
Faktor Radiasi Adanya dengan
efek
leukemogenik
dan
ionisasi
radiasi,
dibuktikan
tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum
ditemukan alat pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat terapi radiasi. Diperkirakan 10 % penderita leukemia memiliki latar belakang radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar. Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali
lebih
banyak.
Demikian
pula
pada
penderita
ankylosing
spondilitis yang diobati dengan sindar radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai insidensi LMA 14 kali lebih Banyak (Agung ,2010). ‒
Bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan - bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan dengan leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen dalam jumlah besar dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et al (1976) telah membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak lama dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA. Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia aplastik berat, tidak jarang diketahui dikahiri dengan leukemia, demikian juga dengan Arsen dan obat obat imunosupresif (Agung ,2010). ‒
Infeksi Virus Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah Human T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang mempunyai enzim RNA transkriptase yang bersifat karsinogenik (Agung ,2010). Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan sinar radioaktif. Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada beberapa hasil penelitian yang menyokong teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia.
Seperti
diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus onkogenik seperti retrovirus tipe- C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang (Agung ,2010). 3.
Klasifikasi Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010) dibagi menjadi beberapa fase, yaitu: 1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini ditandai dengan over produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan mempunyai respon baik terhadap terapi konvensional.
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif, mempunyai lebih dari 5% leukosit
bisa
eosinofil
dan
sel
blast
namun
kurang
mencapai 300.000/mmk basofil. Sel
yang
dari
30%. Pada fase
dengan
didominasi
ini oleh
leukemik mempunyai kelainan
kromosom lebih dari satu (selain Philadelphia kromosom). 3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30% sel blast pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar ke jaringan lain dan organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit ini
berubah
menjadi
Leukemia Myeloblastik Akut atau Leukemia
Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%. 4.
Manifestasi Klinis Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al., (2005) tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu : a. Fase kronik terdiri atas 1. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat pada malam hari. 2. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.. 3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan. 4. Gejala
gout
hiperurikemia
atau
gangguan
ginjal
yang
disebabkan
oleh
akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat
menimbulkan masalah. 5. Gangguan penglihatan dan priapismus. 6. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran pucat, dispneu dan takikardi. 7. Kadang - kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain b. Fase transformasi akut terdiri atas : Perubahan terjadi perlahan - lahan dengan prodormal selama 6 bulan, di sebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain : demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang
semakin
progresif.
lekositosis meningkat abnormal
sehingga
dan
Respons trombosit
terhadap
kemoterapi
menurun (trombosit
menurun, menjadi
timbul perdarahan di berbagai tempat, antara lain
epistaksis, menorhagia) c. Fase Blast(Krisis Blast) : Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa didahului masa prodormal keadaan ini disebut
krisis blastik (blast crisis). Tanpa pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1 - 2 bulan. 5.
Pemeriksaan Penunjang I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML, yaitu : a. Laboratorium 1.
Darah rutin ‒ Anemia
mula-mula
ringan
menjadi
progresif
pada
fase
lanjut (fase transformasi akut), bersifat normokromik normositer. ‒ Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m. 2.
Gambaran darah tepi ‒ Leukositosis berat 20.000 - 50.000/mm pada permulaan kemudian biasanya lebih dari 100.000/mm. ‒ Menunjukkan
spectrum
lengkap seri
granulosit
mulai
dari
mieloblast sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah segmen
netrofil
(hipersegmen)
dan mielosit.
Metamielosit,
promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel darah merah bernukleus. ‒ Jumlah basofil dalam darah meningkat. ‒ Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal lebih sering meningkat. ‒ Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu rendah. 3.
Gambaran sumsum tulang ‒ Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya mirip dengan apusan lengkap seri
myeloid,
darah
tepi.
Menunjukkan
spektrum
dengan komponen paling banyak ialah
netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30 %. Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat. ‒ Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada 95 % kasus. ‒ Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat. ‒ Kadar asam urat serum meningkat. ‒ Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya chimeric protein bcr Abl pada 99% kasus (I Made, 2006). b. Pemeriksaan Penunjang Lain
Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk penyakit CML, antara lain : 1. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih dari SDP pada sumsum tulang.Sering 60% -90% dari blast, dengan prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun. 2. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan. 3. David et al.,(2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk mendeteksi adanya kromosom Philadelph 6.
Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan a.
Medikamentosa Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu : 1.
Fase Kronik ‒
Busulphan (Myleran), dosis : 0,1 - 0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit 20.000/mm3.
turun setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit
Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek samaping dapat berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru,bahaya timbulnya leukemia akut (I Made, 2006). ‒
Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi biasanya perlu diberikan seumur hidup(Victor et al., 2005). Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000 15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit (I Made, 2006)
‒
Interferon α juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan hidup menjadi 1 - 2 tahun (Atul & Victor, 2005). digunakan
bila
jumlah
leukosit
telah
IFN - α biasanya terkendali
oleh
hidroksiurea. IFN - α merupakan terapi pilihan bagi kebanyakan penderita leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua untuk transplantasi sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang donor yang cocok. Interferon alfa diberikan pada rata- rata 3 - 5 juta IU / d subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk mempertahankan (sekitar
4x109/l).
Hampir
jumlah
leukosit
semua pasien
tetap
rendah
menderita
gejala
penyakit ”mirip flu” pada beberapa hari pertama pengobatan. Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia, depresi, dan sitopenia. Sebagian
kecil
pasien
(sekitar
15%)
mungkin
mencapai remisi jangka panjang dengan hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenik walaupun gen fusi BCR - ABL masih dapat dideteksi melalui PCR. (Victor et al., 2005) ‒
STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang sedang diteliti dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan hasil yang menjanjikan. Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik terhadap
protein
ABL
yaitu
tiroksin
kinase sehingga dapat
menekan proliferasi seri myeloid. Gleevec mengontrol jumlah darah dan menyebabkan sumsum tulang menjadi Ph negative pada sebagian besar kasus. Obat ini mungkin menjadi lini pertama pada
CML,
baik
digunakan
sendiri
atau bersama
dengan
interferon atau obat lain (Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victor et al., 2005; I Made, 2006) ‒
Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation, SCT) sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA - nya cocok memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau kurang pada fase akselerasi (Atul & Victor, 2005).
2.
Fase Akselerasi dan Fase Blast Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti leukemia akut,
AML atau ALL, dengan
penambahan STI 57I
(Gleevec) dapat diberikan. Apabila sudah memasuki kedua fase ini, sebagian
besar
pengobatan
yang
dilakukan
tidak
dapat
menyembuhkan hanya dapat memperlambat perkembangan penyakit. (Atul & Victor, 2005; I Made, 2006) b. Non Medikamentosa Radiasi Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar - sinar
tenaga
tinggi secara external
radiation
therapy untuk
menghilangkan gejala - gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum transplantasi sumsum tulang (Atul & Victor, 2005).
7.
WOC (Web Of Cautions)
B. Asuhan Keperawatan 1.
Pengkajian Pengkajian pada leukemia meliputi : a.
Riwayat penyakit
b.
Kaji adanya tanda - tanda anemia :
Pucat
Kelemahan
Sesak
Nafas cepat
c. Kaji adanya tanda - tanda leucopenia
Demam
Infeksi
d. Kaji adanya tanda - tanda trombositopenia :
Ptechiae
Purpura
Perdarahan membran mukosa
e. Kaji adanya tanda - tanda invasi ekstra medulola :
Limfadenopati
Hepatomegali
Splenomegali
f. Kaji adanya pembesaran testis g. Kaji adanya :
Hematuria
Hipertensi
Gagal ginjal
Inflamasi disekitar rectal
Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 178)
9
2.
Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada kasus AML, antara lain: 1. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan : Tidak adekuatnya pertahanan sekunder, Gangguan kematangan sel darah putih, Peningkatan jumlah limfosit imatur, Imunosupresi Penekanan sumsum tulang (efek kemoterapi) 2. Kekurangan volume cairan tubuh /risiko tinggi, berhubungan dengan : Kehilangan berlebihan, misalnya: muntah, perdarahan, Penurunan pemasukan cairan : mual, anoreksia 3. Nyeri ( akut ) berhubungan dengan : Agen fiscal ; pembesaran organ / nodus limfe, sumsum tulang yang diinvasi dengan sel leukemia, Agen kimia ; pengobatan antileukemia.
3. Intervensi Keperawatan No 1
Diagnosa
Tujuan
Resiko infeksi
Setelah
berhubungan
tindakan keperawatan
dengan :
X
• Tidak adekuatnya
diharapkan
Intervensi
dilakukan 1. Tempatkan
pada ruang khusus.
8 jam pasien 2. Batasi
pertahanan
pasien
pengunjung
sesuai indikasi 3. Berikan
protocol
sekunder
untuk mencuci tangan
• Gangguan
yang
kematangan sel
semua staf petugas
darah putih
4. Awasi
baik
untuk
suhu.
• Peningkatan
Perhatikan hubungan
jumlah limfosit
antara
imatur
suhu dan pengobatan
10
peningkatan
• Imunosupresi
chemoterapi.
• Penekanan
5. Dorong
sering
sumsum tulang
mengubah
posisi,
(efek kemoterapi
napas dalam, batuk. 6. Inspeksi
membran
mukosa mulut. 7. Bersihkan
mulut
secara
periodic.
Gunakan sikat
gigi
halus untuk perawatan mulut. 8. Awasi
pemeriksaan
laboratorium : WBC, darah lengkap 9. Berikan obat sesuai indikasi,
misalnya
Antibiotik 10. Hindari
antipiretik
yang mengandung 2
Defisit volume
Rasa nyeri hilang / 1. Awasi masukan dan
cairan tubuh
berkurang
pengeluaran.
Hitung
berhubungan
pengeluaran tak kasat
dengan :
mata
• Kehilangan
keseimbangan cairan.
berlebihan, seperti:
Perhatikan penurunan
muntah,
urine pada pemasukan
perdarahan
adekuat. Ukur berat
• Penurunan
jenis urine dan pH
11
dan
pemasukan cairan :
Urine.
mual, anoreksia.
2. Timbang BB tiap hari. 3. Awasi
TD
dan
frekuensi jantung 4. Evaluasi turgor kulit, pengiisian kapiler dan kondisi
umum
membran mukosa. 5. Implementasikan tindakan
untuk
mencegah
cedera
jaringan / perdarahan, ex : sikat gigi atau gusi
dengan
sikat
yang halus. 6. Berikan diet halus. 7. Berikan
cairan
IV
sesuai indikasi 8. Berikan
sel
darah
Merah, trombosit atau factor pembekuan 3
Nyeri akut
Rasa nyeri
1. Awasi tanda - tanda
berhubungan
hilang/berkur
vital,
perhatikan
dengan :
an
petunjuk
nonverbal,
• Agen fiscal:
rewel,
pembesaran organ /
gelisah
nodus limfe,
2. Berikan
sumsum tulang
yang
12
cengeng,
lingkungan tenang
dan
yang diinvasi
kurangi
dengan sel
stress
leukemia.
rangsangan
3. Tempatkan
pada
• Agen kimia ;
posisi
Pengobatan 16
sokong
antileukemia.
ekstremitas denganan
nyaman
dan sendi,
bantal 4. Ubah
posisi
secara
periodic dan berikan latihan rentang gerak lembut. 5. Berikan
tindakan
ketidaknyamanan; mis : pijatan, kompres 6. Berikan obat sesuai indikasi.
13
DAFTAR PUSTAKA
Betz, CL & Sowden, LA. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta : EGC. Brunner & Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2. Jakarta : EGC. ES Jaffe et al.(2001).World Health Organization Classification of Tumours. Lyon, ARC Press, Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald, Eugene;Hauser, Stephen L.; Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;. 2008. Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition. USA: McGraw hill, Guyton.(1995). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta : EGC. JM Bennett et al: Ann Intern Med 103:620, 1985. Joyce Engel. (1999). Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC. Kurnianda, Johan. (2007). Leukimia Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI Price, S A dan Wilson, LM. (2006). Patofisiologi , Konsep klinis proses-proses penyakit . Jakarta : EGC, .
14