Firman Ok.docx

  • Uploaded by: lilis suryani
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Firman Ok.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,740
  • Pages: 9
Sejumlah pengusaha di Kepulauan Riau berencana menghidupkan kembali izin tambang pasir laut. Sejumlah pengusaha tambang pasir pun membentuk Asosiasi Pengusaha Penambang Pasir Laut (AP3KL) Kepulauan Riau. Setelah sejak tahun 2003 ditutup, praktis aktivitas penambangan pasir laut distop. Selain merusak lingkungan, penambangan pasir laut selama ini, ternyata juga menambah luas daratan Singapura. Berikut sejarah penambangan pasir laut di Kepualauan Riau mulai dari buka hingga ditutup pemerintah pusat. 1970-an Kegiatan ekspor pasir laut ke Singapura sendiri dimulai sejak 1976 seiring dengan dimulainya proyek Reklamasi (perluasan) pantai daratan Singapura. Hanya ada tiga pemain besar di sini. Kelompok pertama yang menguasai dua Kuasa Penambangan (KP): PT Equator Reka Citra, PT Nalendra Bhakti Persada, PT Indoguna Yuda Persada, PT Sangkala Duta Segara, dan PT Sugi Mahaya. Sedangkan, kelompok kedua dan ketiga masing-masing dengan satu KP: PT Citra Harapan Abadi dan PT Beralang Sugi Bulan. Data yang digali batamnews.co.id dari berbagai sumber menyebutkan pada tahun 1990 luas negara Singapura adalah 580KM2, tapi peta pada tahun 2010 menjadi 760 KM2 , artinya bertambah 31% dibanding tahun 1990. Untuk itu, Pemerintah Negara Singapura hingga tahun 2010 membutuhkan pasir urug sebanyak 7,120.000,000 M3. Pasir sebanyak itu untuk mereklamasi di dua kawasan yakni pantai barat dan pantai Timur. Wilayah-wilayah yang akan direklamasi : -West Bank East Bank -Jurong Phase III-B Ubin Island -Jurong Phase IV-A Tekong Island -Jurong Phase IV-B Changi Phase 1-A -Tuas Extention Phase 4 Changi Phase 1-B -Jurong Phase I Changi Phase 1-C

-Jurong Phase II Punggol -Southern Island Other Package -Sentosa Island Agustus 2001 Pencurian pasir laut di wilayah perairan Indonesia semakin marak. Salah satu modus operandi menggunakan kapal buatan Belanda yang mampu menghisap pasir sambil berjalan dengan kecepatan 2-3 knot dalam satu jam mampu menyedot hingga 10.000 M3. Biasanya pencurian itu pada malam hari untuk mengelabui petugas. Februari 2002 Departemen Perindustrian dan Perdagangan menghentikan ekspor pasir timah dan pasir laut karena sulit mengontrol maraknya pencurian. 18 April 2002 Pemerintah melalui Instruksi Presiden No 2 tahun 2002 memberlakukan pelarangan ekport pasir laut, yang diperuntukkan bagi perluasan (reklamasi) pantai Singapura. 27 Mei 2002 Aktivitas penambangan pasir laut di Riau dibuka kembali melalui Kepres No 33 Tahun 2002 tertanggal 23 Mei 2002. September 2002 Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI telah membentuk Tim Pengawasan Pasir Laut. Tim ini akan mengoordinasikan setiap komisi di dewan yang terkait dengan permasalahan pasir laut. Seperti Komisi Politik dan Pertahanan, Komisi Pertanian dan Perikanan, Komisi Industri dan Perdagangan, serta Komisi Pertambangan dan Lingkungan Hidup.

Maret 2003 Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini Suwandi, memutuskan menghentikan sementara ekspor pasir laut. Dalam Surat Keputusan Nomor 117/MPP/Kep/II/2003 yang ditandatangani pada 28 Februari lalu dikemukakan penghentian ekspor akan ditinjau kembali setelah program pencegahan terhadap kerusakan pesisir dan pulau-pulau kecil tersusun. Selain itu, ekspor akan dilanjutkan kembali jika sengketa penetapan batas wilayah lauh antara Indonesia dan Singapura telah diselesaikan. Pasir laut yang dihentikan ekspornya adalah bahan galian pasir yang terletak pada wilayah perairan Indonesia, yang tidak mengandung unsur mineral golongan A dan/atau golongan B, dalam jumlah berarti ditinjau dari segi ekonomi pertambangan. Sebelumnya, Menperindag telah menentukan pula kuota ekspor pasir laut untuk mencegah kerusakan lingkungan. Juni 2004 Belum ada rencana Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk mengijinkan kembali ekspor pasir laut. Masih menunggu pembicaraan instansi lain terkait mengenai kelestarian lingkungan dan perbatasan Negara Indonesia- Singapura. Menurut Harun Al-Rasyid Martohandoyo dalam disertasi doktoralnya di IPB (2002), dari sejumlah hasil pengamatan di lapangan, khususnya dari Ketua dan Sekjen Asosiasi Pengusaha Penambangan dan Pemasaran Pasir Laut Indonesia (AP4LI) Eddy S Poluan dan Erma Hidayat, mereka menyatakan bahwa para pengusaha yang tergabung dalam d’Consortium, sebagai penyewa Kapal Keruk Pasir Laut asing telah melakukan pencurian pasir laut kemudian diekspor ke Singapura. Eddy mengatakan para pengusaha yang tergabung dalam d’Consortium itu dibekingi “orang kuat” dari TNI dan dari instansi lainnya, seperti Bea dan Cukai. Wakil Ketua Fraksi Reformasi DPR yang juga Anggota Komisi V DPR-RI Ir. Afni Achmad mengatakan bahwa reklamasi di Singapura dengan cara mengimpor pasir laut dari Kepulauan Riau telah menimbulkan banyak kerugian, bukan saja aspek teritorial tapi juga ekonomi perdagangan dan lingkungan hidup.

Sebenarnya tidak semua ekspor pasir laut ke Singapura ilegal, ada juga yang legal. Tapi kenyataan di lapangan, jumlah pasir laut yang dikirim ke Singapura secara ilegal jauh lebih banyak ketimbang yang resmi. Hasilnya, tahun 1991 luas wilayah Singapura tercatat hanya 633 kilometer persegi, namun pada tahun 2001 wilayah Singapura bertambah luas menjadi 760 kilometer persegi atau bertambah luas 20 persen dalam waktu sepuluh tahun! Permintaan yang besar dari Singapura terhadap pasir laut Kepulauan Riau menyebabkan banyak didirikan usaha penambangan pasir, yang resmi, setengah resmi, maupun yang liar. Usaha ini menjamur di banyak bagian pantai Riau. Pada tahun 2001 tercatat sedikitnya 140 perusahaan yang bergerak di bidang penambangan pasir laut. Dari 140 perusahaan penambangan, hanya dua yang disertai kelengkapan AMDAL. Perusahaan-perusahaan tersebut sebagian besar memegang izin dari Propinsi dan Kabupaten di Pemda Riau sejalan dengan penerapan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (Otda).

Penambangan pasir di Kepulauan Riau Penambangan pasir laut di perairan provinsi Kepulauan Riau, yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan Singapura, telah berlangsung sejak tahun Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu akibat aktivitas itu. Kerusakan ekosistem mengakibatkan populasi hewan laut menurun. Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulaupulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari. Selain masalah penambangan pasir, Selat Malaka juga merupakan isu signifikan terhadap hubungan Indonesia-Singapura di masa depan. Faktor geografi, ekonomi dan keamanan merupakan latar belakang terhadap munculnya konflik di antara kedua negara. Penambangan di Kepulauan Riau Dikeluhkan TEMPO Interaktif, Jakarta: Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi menyatakan ekspor pasir ke Singapura bukan perkara politis. "Ini murni masalah

lingkungan dan ekonomi. Tidak ada hubungannya dengan wilayah politis seperti ekstradisi maupun pertahanan," ujar Freddy di Jakarta hari ini. Setelah Pulau Nipa di Desa Pemping, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, terancam hilang, pemerintah baru sadar jika penambangan pasir berakibat buruk pada lingkungan. Begitu pula dengan pulau-pulau kecil tak berpenghuni yang berbatasan dengan Singapura, 80 persen merupakan batuan karang mati dan 20 persen batuan berpasir. Luas dataran lonjong ini sekitar 60 hektare. Munculnya penambangan pasir, terjadilah abrasi yang mengancam tenggelamnya pulau di tengah pelayaran lalu lintas internasional dengan frekuensi kapal tinggi. Pemerintah menyadari, bahwa dalam kegiatan penambangan serta pengeksporan pasir darat ini banyak pihak yang terlibat di dalamnya, mulai dari pekerja kasar, makelar, eksportir, pemilik papal, aparat, bahkan pemerintah daerahpun diuntungkan dengan retribusinya yang masuk sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD). Sehingga tak heran ketika kegiatan ini terpaksa harus dihentikan, sebelumnya dilakukan penilaian dan penelaahan yang arif dan bijaksana agar tak menimbulkan gejolak yang besar di masya rakat, khususnya rakyat kecil yang banyak menggantungkan penghidupannya dari kegiatan ini. Kegiatan penambangan selama ini dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni : penambangan secara tradisionalPenambangan secara modern DAMPAK PENAMBANGAN PASIR Kerusakan lingkungan tersebut akan dapat berdampak bagi masyarakat, baik untuk jangka pendek atau jangka panjang. Sekilas atau dalam jangka pendek mungkin hanya akan terlihat sebagai pemandangan buruk yang tidak enak untuk dilihat dan dirasakan. Namun, dalam jangka panjang tentu akan terasa lebih buruk lagi. Misalnya, akan mudah merembesnya air laut ke dalam sumber-sumber air tanah di daratan (intrusi air laut), sehingga air tanah kita menjadi terasa payau. Bisa juga terjadinya longsoran tebing-tebing kolam bekas galian, yang mana hal ini bukan hanya akan dapat membahayakan keselamatan masyarakat, namun juga dapat mengakibatkan permukaan tanah menjadi lebih rendah dari ketinggian permukaan air laut. Penambangan Pasir laut pada umumnya mengakibatkan dampak negatif terhadap komponen lingkungan. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah peningkatan kekeruhan yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi padatan

tersuspensi .Penelitian dengan maksud dan tujuan untuk mengetahui konsentrasi dan penyebaran padatan tersuspensi yang merupakan limbah (slurry) dari penambangan pasir laut. Penelitian dilakukan dengan bantuan perangkat lunak yang berdasarkan pada model hidrodinamik. Penelitian dilakukan dengan simulasi pada perubahan kecepatan arus 0,2 m/detik, 0,8 m/detik dan 1,4 m/detik. Hasil penelitian menunjukan bahwa penambangan pasir laut yang dilakukan pada kecepatan arus rendah yaitu 0,2 m/detik akan mencapai konsentrasi padatan tersuspensi sebesar kurang lebih 217 mg/it pada jarak 5 km, sedangkan pada kecepatan arus tinggi yaitu 1,4 m/detik konsentrasi padatan tersuspensi pada jarak 5 km adalah sebesar kurang lebih 538 mg/It. Berdasarkan basil simulasi penambangan lebih baik dilakukan pada saat kecepatan arus rendah, oleh karena padatan tersuspensi akan mempunyai kesempatan mengendap pada wilayah penambangan sebelum mencapai pantai terdekat, sehingga diharapkan konsentrasi padatan tersuspensi di pantai akan mencapai atau mendekati nilai baku mutu yaitu sebesar 200 mg/It. Penambangan Pasir Laut Harus Perhatikan Zonasi Wilayah Pesisir dan Laut yang Merupakan Bagian Integral dari Rencana Tata Ruang Laut Dari aspek dampak hidro-oseanografi, bahwa kriteria ‘aman’ bagi zona penambangan pasir adalah ambang jarak 1 mil laut dari garis pantai dan kedalaman laut 5 meter.Kajian hidro-oseanografi yang dilakukan setelah kegiatan penambangan dihentikan, belum dapat menyatakan apakah kondisi kekeruhan perairan laut yang ada sebagai dampak kegiatan penambangan pasir laut, karena sungai-sungai yang bermuara di perairan laut Riau juga memberikan kontribusi suspensi yang cukup besar terhadap proses kekeruhan perairan laut. Untuk itu diperlukan kajian tersendiri lebih lanjut.Dari kajian hidro-oseanografi, secara teoritis bahwa proses alami sedimentasi pasir laut hanya mampu menutup cekungan bekas penambangan setebal 8 meter dalam satu tahun. Pada segmen-segmen garis pantai tertentu dimana mempunyai potensi dampak abrasi aktif, perlu dilakukan tindakan mitigasi bencana. Selain itu, masih perlu dikaji lebih lanjut mengenai proses abrasi yang ada, apakah terjadi sebagai proses`alami atau akibat dampak penambangan pasir laut.Dari sisi ekonomi, Pulau Nipa memiliki potensi market-demand yang besar untuk pengembangan investasi.Potensi sumberdaya hayati di wilayah perairan laut Riau, secara umum kondisinya masih relatif baik. Pada beberapa kawasan perairan dinilai masih cukup layak untuk budidaya perikanan, sehingga perlu dijaga kelestariannyaPosisi KP sebagian besar bertumpang-tindih dengan zona penangkapan ikan nelayan tradisional.

Hasil-hasil kajian menjadi masukan untuk melakukan penajaman / evaluasi zonasi Diperlukan kebijakan yang tegas dan selektif Dimana zona-zona yang memang terdapat potensi sebaran deposit pasir laut agar dapat dilakukan penambangan. Sedangkan pada zona-zona yang memang berpotensi perikanan dan zona konservasi lainnya agar secara tegas dilarang untuk penambangan.Diusulkan perlu adanya program rehabilitasi pantai dan pulau-pulau kecil yang mengalami degradasi / kerusakan lingkungan. Perlu diusulkan agar 50% dari pendapatan pengusahaan pasir laut dapat dikembalikan lagi ke desa / masyarakat setempat yang terkena dampak penambangan pasir laut, untuk tujuan peningkatan kesejahteraan dan perbaikan lingkungan.Salah satu sasaran CD (Community Development) yang terpenting adalah upaya untuk memperbaiki ‘tata niaga’ perikanan, bagaimana mengubah pola 'patron-klien' menjadi 'kemitraan'.

Related Documents

Firman
December 2019 48
Firman Ulama
May 2020 43
Firman Ok.docx
November 2019 51
Firman Allah.docx
May 2020 38
Firman Prayogy.pdf
June 2020 23

More Documents from "Tegar Wahyusukma"

Cover Makalah.docx
November 2019 40
Cover Atikah.docx
November 2019 39
Cover Makalah.docx
November 2019 44
Bab I - Ii.docx
November 2019 38
Cover Makalah.docx
November 2019 38