Fiqh Shalat Kategori Wanita

  • Uploaded by: DiDieTh LeWie
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fiqh Shalat Kategori Wanita as PDF for free.

More details

  • Words: 3,789
  • Pages: 5
Katego ri W anita : Fiqi h Sha lat Sh al at Sese or an g B ata l D ikare na kan Ad a W an it a Y an g Mel int as D i H ad ap ann ya

Berdasarkan ini Imam Al-Bukhari mengkategorikan hadits ini dalam “Bab Pembatas Shalat Di Mekkah Dan Tempat Lainnya”, dengan demikian hadits ini bersifat umum, sehingga jika seseorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan tempat sujudnya, atau jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan pembatasnya, atau jika seorang wanita berjalan di antara orang yang sedang shalat dengan pembatasnya, maka wajib bagi orang yang melakukan shalat itu untuk mengulangi shalat tersebut, kecuali jika yang sedang shalat ini adalah seorang makmum yang shalat di belakang imam, karena pembatas pada imam adalah juga merupakan pembatas bagi orang yang shalat di belakangnya. Dengan demikian dibolehkan bagi seseorang untuk berjalan dihadapan orag yang shalat di belakang imam dan tidak berdosa.

Ber an gk atn ya W an it a M us li mah Ke M asj id Selasa, 29 Mei 2007 14:02:27 WIB Boleh bagi wanita muslimah untuk melaksanakan shalat di dalam masjid-masjid, dan bagi suaminya tidak boleh melarang isterinya jika ia meminta izin untuk pergi ke masjid selama isterinya tetap menutup aurat dan tidak menampakkan bagian badannya yang diharamkan bagi orang asing untuk melihatnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bawha beliau bersabda : “Jika para isteri kalian minta izin kepada kalian untuk pergi ke masjid maka izinkanlah mereka”. Jika wanita itu tidak menutup aurat hingga nampak bagian tubuhnya yang diharamkan bagi pria asing untuk melihatnya, atau wanita itu bersolek dan menggunakan wewangian, maka tidak boleh baginya untuk keluar rumah dalam kondisi seperti ini, apalagi mendatangi masjid serta melaksanakan shalat di dalamnya.

Bena rka h K au m Wani ta Tida k B ol eh Ma suk Ma sji d Kare na M ere ka A dal ah Na ji s? Minggu, 7 Januari 2007 04:25:29 WIB Diberi keringan bagi wanita yang datang ke masjid untuk melaksanakan shalat Jum’at dan untuk melaksanakan shalat-shalat lainnya dengan berjama’ah, dan bagi suaminya tidak boleh melarangnya melakukan hal itu, namun shalatnya seorang wanita di rumahnya adalah lebih baik baginya. Dan jika seorang wanita akan pergi ke masjid, maka ia harus memperhatikan etika Islam dengan menggunakan pakaian yang dapat menutupi auratnya, jangan menggunakan pakaian yang tipis (transparan) atau ketat yang dapat memperlihatkan lekuk-lekuk tubuhnya, tidak menggunakan minyak wangi dan tidak menyatu dalam shaf kaum pria, akan tetapi membuat shaf tersendiri di belakang shaf kaum pria.

Bena rka h S ha f Y an g P alin g Ut am a B ag i Wani ta Da la m Sh al at Ad ala h Y ang P alin g B el ak an g Jumat, 11 Agustus 2006 23:45:19 WIB Mengenai hal ini detailnya sebagai berikut : Jika kaum wanita itu shalat dengan adanya tabir pembatas antara mereka dengan kaum pria maka shaf yang terbaik adalah shaf yang terdepan karena hilangnya hal yang dikhawatirkan terjadi antara pria dan wanita. Dengan demikian sebaik-baik shaf wanita adalah shaf pertama sebagaimana shaf-shaf pada kaum pria, karena keberadaan tabir pembatas itu dapat menghilangkan kekhawatiran terjadinya fitnah. Hal ini berlaku jika ada tabir pembatas antara pria dan wanita. Dan bagi kaum wanita pun harus meluruskan, menertibkan dan mengisi shaf depan yang kosong, kemudian shaf berikutnya, sebagaimana ketetapan ini berlaku pada shaf kaum pria. Jadi, ketetapan-ketetapan ini berlaku bila ada tabir pemabatas.

Hu ku m S hal at W ani ta Tan pa Kh ima r, Bo le hk ah S ha la t Me ng gu na kan Ca dar Da n S aru ng Tang an Sabtu, 4 Maret 2006 07:26:22 WIB Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, ia berkata : Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Allah tidak akan menerima shalat orang yang telah haidh (telah baligh) kecuali jika ia menggunakan khimar". Hadits ini menunjukkan bahwa shalat seorang wanita tidak akan diterima kecuali jika ia memakai khimar untuk menutupi kepalanya. Adapun yang dimaksud dengan orang yang telah haidh adalah wanita yang telah baligh, dan bukan dimaksudkan dengan seorang wanita yang sedang mendapatkan haidh, karena wanita yang mendapatkan haidh dilarang untuk melakukan shalat, digunakan kalimat "orang yang telah haidh" karena yang mengalami haidh adalah wanita yang sudah baligh. Maka seandainya balighnya seorang wanita itu dengan mengalami mimpi basah maka dia termasuk dalam hukum ini.

Was- Was K etik a W ud hu D an Sh al at , Or ang Y ang Me ng al am i K en cing Ter us M ener us Senin, 5 Desember 2005 14:38:56 WIB Ssama sekali tidak diperbolehkan meinggalkan shalat. Dia wajib shalat sesuai dengan keadaannya, yaitu berwudhu setiap kali mau shalat. Perempuan seperti ini keadaannya sama seperti perempuan yang terus menerus mengeluarkan darah (istihadhah). Dia harus menjaga air kencingnya (semampu dia), misalnya dengan membalut kemaluannya dengan kain atau lainnya. Dan dia harus shalat tepat pada waktunya. Dia masih diperbolehkan shalat sunnah sesuai dengan waktunya. Dia juga boleh menjamak shalat Dzuhur dengan Ashar atau shalat Maghrib dengan Isya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian” Wanita tadi harus mengerjakan shalat yang selama ini dia tinggalkan, sambil

bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan cara menyesali kesalahannya dan bertekad bulat untuk tidak mengulanginya.

Sh al at De ng an P aka ia n Y an g T erk ena K en cing A na kn ya Minggu, 6 Nopember 2005 05:56:33 WIB Barangsiapa yang melaksanakan shalat dengan membawa najis dan ia mengetahui adanya najis itu maka shalatnya batal, akan tetapi jika ia tidak tahu adanya najis hingga selesai shalat maka shalatnya sah dan tidak diharuskan baginya untuk mengulangi shalat itu. Jika keberadaan najis itu diketahui saat ia melakukan shalat serta memungkinkan baginya untuk menghilangkan najis itu dengan segerra,maka hendaknya ia lakukan itu kemudian melanjutkan shalatnya hingga selesai. Telah disebutkan dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa suatu ketika beliau melepaskan kedua sandalnya saat shalat setelah malaikat Jibril mengkhabarkan beliau bahwa pada kedua sandalnya itu terdapat najis dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatalkan bagian shalat yang telah dikerjakannya.

Hu ku m Me nut up K ed ua Tel ap ak Tan ga n D an Ked ua Telap ak K ak i Da lam S hal at Jumat, 28 Oktober 2005 06:03:15 WIB Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan : Bahwa tidak diharuskan bagi wanita untuk menutup kedua telapak tangan dan kedua telapak kakinya saat shalat karena keduanya itu bukanlah aurat. Ia menyebutkan bahwa inilah pendapat yang benar. Adapun hadits Ummu Salamah yang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang wanita yang shalat dengan menggunakan baju dan khimar namun tanpa menggunakan sarung, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "(Boleh) jika baju panjangnya itu dapat menutupi terlihatnya kedua kakinya". Walaupun hadits ini menunjukkan adanya kewajiban untuk menutupi kedua telapak kaki dalam shalat akan tetapi banyak yang menyatakan bahwa hadits ini lemah.

Se or ang W ani ta Me ng el uar kan Ca ir an Da ri K ema lu ann ya, S el am a I tu T erja di I a Tida k Men ger jak an S ha la t Selasa, 17 Februari 2004 12:40:04 WIB Bagi wanita tersebut dan yang seumpamanya tidak boleh meninggalkan shalat, bahkan wajib atasnya melaksanakan shalat dengan kondisinya itu, dan hendaknya ia berwudhu pada setiap waktu shalat sebagaimana wanita mustahadhah dan senantias selalu berusaha semampunya untuk menjaga dengan menggunakan kapas atau lainnya, serta mengerjakan shalat pada waktunya. Disyari'atkan pula atasnya untuk mengerjakan shalat-shalat sunnat pada waktunya. Ia boleh menjama' shalat Zhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya' seperti halnya wanita mustahadhah. Hal ini berdasarkan firman Allah. "Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu"

Bo le hk ah W an it a N ifas M el ak san ak an S ha la t, P uasa , H aj i S eb el um G ena p E mpat P ulu h H ar i Mas a N ifasn ya Senin, 16 Februari 2004 12:35:21 WIB Ya, boleh baginya untuk melaksanakan shalat, puasa, haji dan umrah, serta boleh bagi suaminya untuk mencampurinya walaupun belum genap empat puluh hari masa nifasnya, jika umpamanya ia telah suci pada hari kedua puluh maka ia harus mandi, melaksanakan shalat, puasa dan ia halal untuk digauli oleh suaminya. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Utsman bin Abu Al-'Ash bahwa ia memakruhkan hal itu, maka makruh disini diartikan sebagai suatu hal yang sebaiknya dijauhi sebab tidak ada dalil yang menyebutkan tentang hal ini, pernyataan makruh yang disebutkan tentang hal ini adalah hasil ijtihadnya. Pendapat yang benar adalah dibolehkan bagi wanita itu untuk melakukan hal-hal tersebut jika ia telah suci sebelum genap empat puluh hari dari sejak ia melahirkan.

Hu ku m S hal at Da n P uasa Bag i W ani ta Ha idh Sabtu, 14 Februari 2004 12:51:50 WIB Haram bagi wanita itu untuk melaksanakannya. Shalat dan puasa yang ia kerjakan tidak sah berdasarkan sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam. ": Bukankah jika wanita sedang haidh tidak shalat dan tidak puasa". Jika wanita haidh telah mendapatkan kesuciannya, maka ia harus mengqadha puasa dan tidak perlu mengqadha shalat berdasarkan ucapan Aisyah Radhiyallahu 'anha : " Di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami mengalami haidh maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa tapi kami tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat". Perbedaannya -wallahu 'alam- shalat dilakukan berulang-ulang maka jika shalat itu di qadha akan menimbulkan kesulitan bagi wanita itu, lain halnya dengan puasa.

Waji bka h Me ng qa dh a S ha lat -Sh al at Yang D it in gga lka n Se la ma Ma sa H aid Jumat, 13 Februari 2004 11:15:54 WIB Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya : Apakah diwajibkan bagi seorang wanita untuk mengqadha shalat yang ia tinggalkan selama masa haidh dan bolehkah baginya sekedar membasuh rambut ketika haidh .? Jawaban beliau : Wanita haidh tidak mengqadha shalatnya berdasarkan nash dan ijna', juga berdasarkan sabda Nabi Sjallallahu 'alaihi wa sallam. "Bukankah jika seorang wanita

sedang haidh ia tidak shalat dan tidak puasa". Aisyah Radhiyallahu 'anha diatanya : "Mengapa wanita haidh harus mengqadha puasa tapi tidak harus mengqadha shalat ..?, maka Aisyah menjawab : 'Kamipun mengalami hal itu, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa tapi tidak diperintahkan untuk mengqada shalat'Ungkapan 'Aisyah ini menunjukan bahwa wanita haidh tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.

Bena rka h S ha la t Ju m' at Se ba ga i P en gga nt i Sha la t Z hu hur D an Hu ku m S hal at Ju m' at Bag i Wani ta Kamis, 12 Februari 2004 09:17:47 WIB Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta diatanya : Apa hukumnya pelaksanaan shalat Jum'at bagi wanita, apakah shalat itu dilakukan sebelum atau sesudah kaum pria atau bersama-sama mereka .? Jawaban dari masalah tersebut adalah : Shalat Jum'at tidak diwajibkan bagi kaum wanita, akan tetapi jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum'at bersama imam shalat Jum'at maka shalatnya sah, tapi jika ia melaksanakan shalat seorang diri di rumah maka ia harus melaksanakan shalat Zhuhur sampai empat rakaat, shalat Zhuhur itu dilaksanakan setelah masuknya waktu shalat atau setelah matahari condong ke barat, dan tidak boleh bagi seorang wanita untuk melaksanakan shalat Jum'at seorang diri.

Man ak ah Y an g L ebi h Ut am a B ag i Wani ta Pada Bu la n R am ad ha n, S ha la t D i Ma sji dil Har am Ata u Di R um ah Kamis, 12 Februari 2004 07:41:39 WIB Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan bahwa yang lebih utama bagi seorang wanita adalah melaksanakan shalat di dalam rumahnya, di mana saja ia berada, baik di rumahnya, di Mekkah ataupun di Madinah, karena itulah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Janganlah kalian melarang kaum wanita untuk mendatangi masjid-masjid Allah, walaupun sesungguhnya rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka". Beliau mengucapkan sabda ini saat beliau berada di Madinah, sedangkan saat itu beliau telah menyatakan bahwa shalat di Masjid Nabawi (Masjid di Madinah) terdapat tambahan kebaikan, mengapa beliau melontarkan sabda yang seperti ini ? Karena jika seorang wanita melakukan shalat di rumahnya maka hal ini adalah lebih bisa menutupi dirinya dari pandangan kaum pria asing kepadanya.

Sh al atn ya S eor an g Wani ta Di R um ah Le bih Ut am a Ata uk ah D i Ma sji dil Har am Rabu, 11 Februari 2004 10:35:36 WIB Shalat sunnah di rumah adalah lebih utama baik bagi kaum pria ataupun bagi kaum wanita, berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat-shalat fardhu". Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan shalat-shalat sunnah di rumahnya, padahal beliau sendiri bersabda : "Shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di tempat-tempat lain kecuali Masjidil Haram". Berdasarkan sabda ini maka kami katakan : Jika telah dikumandangkan adzan Zhuhur, sementara saat itu Abda sedang ada di rumah Anda, yang mana Anda berdomisili di Mekkah, dan Anda hendak melakukan shalat Zhuhur di Masjidil Haram, maka yang paling utama Anda lakukan adalah hendaknya Anda melaksanakan shalat Rawatib Zhuhur di rumah Anda kemudian Anda datang ke Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat Zhuhur dan sebelumnya Anda melaksanakan shalat Tahiyatul Masjid.

Hu ku m S hal at W ani ta D i Mas ji d, Ha ru ska h W an it a Me la ks ana ka n S hal at L ima W ak tu Di M asj id Selasa, 10 Februari 2004 18:12:58 WIB Dibolehkan bagi seorang wanita untuk melaksanakan shalat di masjid jika ia menutup auratnya secara syar'i, yaitu menutup wajahnya serta kedua telapak tangannya serta menghindarkan dirinya dari penggunaan perhiasan dan wewangian, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. "Janganlah kamu melarang kaum wanita untuk mendatangi masjidmasjid Allah". Akan tetapi perlu diingat bahwa shalat di rumah adakah lebih baik baginya berdasarkan sabda Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam pada akhir hadits yang telah disebutkan di atas : "Namun rumah-rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka"

Waji bka h K au m W an it a M el ak sa nak an S ha la t Ber jam aa h D i Ruma h D an H uku m Sh al at Berja ma 'a h Ba gi W an it a Selasa, 10 Februari 2004 10:04:08 WIB Tidak ada kewajiban bagi kaum wanita untuk melaksanakan shalat berjama'ah, shalat jama'ah hanya diwajibkan bagi kaum pria saja. sedangkan kaum wanita tidak diwajibkan bagi mereka untuk melaksanakan shalat jama'ah, tapi dibolehkan atau bahkan disukai bila mereka mengerjakannya dengan berjama'ah, yaitu dengan menetapkan salah seorang mereka sebagai imam, dan sebagaimana telah kami sebutkan bahwa tempat berdirinya imam itu adalah di tengah-tengah shaf pertama. Adapun tentang shalat berjama'ah bagi kaum wanita dengan diimami oleh salah seorang mereka, para ulama berbeda pendapat, ada yang melarang ada pula yang membolehkan. Pendapat yang paling banyak adalah pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada larangan bagi kaum wanita untuk melaksanakan shalat berjama'ah.

Wani ta Men gim ami S ha la t D an Berk um pul nya W ani ta Un tu k S ha la t T ar aw ih Senin, 9 Februari 2004 15:36:51 WIB Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta ditanya : Jika beberapa orang wanita berkumpul di suatu rumah dan mereka ingin melaksanakan

shalat sunnah seperti shalat Tarawih atau shalat fardhu, apakah seseorang diantara mereka harus maju untuk menjadi imam sebagaimana dilakukan oleh kaum pria ? Jawbannya adalah : Hendaknya salah seorang di antara mereka menjadi imam, baik untuk melaksanakan shalat wajib maupun shalat sunnah, akan tetapi imam wanita itu tidak maju di depan shaf sebagaimana seorang pria mengimami kaum pria dalam shalat berjamaah, melainkan cukup bagi imam wanita itu untuk berdiri di tengahtengah shaf pertama.

Keut am aa n S haf W an it a D al am S ha la t Ber jam a' ah, Berm ak mum D en ga n T ida k Me li ha t I mam Senin, 9 Februari 2004 09:26:21 WIB Syaikh Muhammad bin Ibrahim ditanya tentang ucapannya yang menyebutkan bahwa keutamaan shaf-shaf wanita kebalikan dari shaf-shaf pria. Dan jawaban beliau : Hal ini berlaku jika kaum wanita melakukan shalat jama'ah bersama kaum pria. Sedangkan jika kaum wanita itu melaksanakan shalat jama'ah sesama mereka saja, maka shaf yang pertama adalah lebih utama dari pada shaf yang kedua dan begitu seterusnya. Keutamaan ini juga berlaku jika mereka diimami oleh seorang pria yang mana dalam pelaksanakan shalat berjama'ah itu tidak mengandung sesuatu yang dibenci atau yang merusak. Dan pada kenyataannya, bahwa shalatnya kaum wanita secara bershaf-shaf dan berkelompok-kelompok tidak banyak diriwayatkan.

Men da pa tk an K esu cia n Se be lu m Ha bisn ya W aktu Sh al at, Waji bka h Me la ku ka n S ha la t I tu Sabtu, 7 Februari 2004 23:35:08 WIB Pertama : Jika seorang wanita mendapatkan haidh beberapa saat setelah masuknya waktu shalat dan ia belum melaksanakan shalat itu sebelum datangnya haid maka wajib baginya untuk mengqadha shalat itu jika ia telah suci, hal itu berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. " Barangsiapa yang dapat melakukan satu rakaat dari suatu shalat maka berarti ia telah mendapatkan shalat itu". Dan jika seorang wanita telah memasuki waktu shalat sekedar satu rakaat, kemudian ia mendapatkan haidh sebelum melakukan shalat itu maka diharuskan baginya untuk mengqadha shalat itu jika ia telah suci.

Men da pa tk an H aid B eber apa Saa t S ete la h Ma su k W ak tu Sh al at, Waji bka h Me ng qa dh a S ha la t Set el ah S uci Sabtu, 7 Februari 2004 16:45:20 WIB Ada perbedaan pendapat di antara ulama dalam masalah ini, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa tidak diharuskan baginya untuk mengqadha shalat Zhuhur itu, karena ia tidak berbuat kelalaian dan juga tidak berdosa sebab memang dibolehkan baginya untuk menunda shalat Zhuhur itu hingga akhir waktu shalat. Ada juga yang berpendapat bahwa ia harus mengqadha shalat Zhuhur itu berdasarkan ungkapan yang bersifat umum pada sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi. "Artinya : Barangsiapa yang dapat melaksanakan satu rakaat dari suatu shalat maka berarti ia telah medapatkan shalat itu". Untuk berhati-hati maka yang lebih baik baginya adalah mengqadha shalat tersebut.

Bo le hk ah W an it a S ha la t D en ga n Me ng gu nak an Ce la na P an ja ng Sabtu, 7 Februari 2004 16:42:34 WIB Wanita yang melakukan shalat harus menggunakan pakaian yang dapat menutupi seluruh auratnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haidh (wanita baligh) kecuali dengan menggunakan khimar (penutup kepala).." Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, bahwa ia bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Bolehkah seorang wanita melaksanakan shalat dengan menggunakan baju kurung serta khimar dan tanpa menggunakan kain sarung ?" maka beliau bersabda : "Boleh jika baju itu panjang yang dapat menutupi seluruh kedua kakinya".

Bert ahu n T ah un M el ak sa nak an S ha la t T an pa Me nut up A ur at Jumat, 6 Februari 2004 10:34:50 WIB Jika kenyataannya seperti yang anda sebutkan yaitu tentang ketidaktahuan Anda dalam hal menutup aurat dalam shalat, maka Anda tidak perlu mengulang shalat Anda tersebut yang telah anda lakukan di masa lalu itu, dan hendaknya Anda bertaubat kepada Allah karena perbuatan Anda yang telah Anda lakukan itu, dan disyaratkan bagi Anda untuk memperbanyak amal-amal shalih berdasarkan firman Allah. "Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar". Dan ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat ini. Kemudian perlu diketahui bahwa membuka wajah dalam shalat adalah disyari'atkan jika disekelilingnya tidak ada pria asing yang bukan mahramnya

Ji ka Ter pa ksa Tida k Sem purn a Me nut up Aur at Da la m Sh al at Kamis, 5 Februari 2004 16:15:35 WIB Yang pertama kali harus diketahui adalah bahwa menutup aurat adalah wajib bagi kaum wanita dan tidak boleh baginya untuk tidak menutup aurat atau mengabaikannya. Jika telah datang waktu shalat dan seorang wanita muslimah tidak menutup aurat secara sempurna maka mengenai hal ini ada beberapa penjelasan : Jika tidak menutup aurat itu karena kondisi yang memaksanya demikian maka pada saat itu hendaklah ia melaksanakann shalat sesuai dengan keadaan ia saat itu, shalatnya itu sah dan ia pun tidak berdosa karena itu, berdasarkan firman Allah : "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai

dengan kesangupannya". Juga firman Allah : "Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesangupanmu".

Perb ed aan An tar a A ur at D al am S ha la t D en ga n A ur at Da la m P an da ng an Kamis, 5 Februari 2004 11:28:37 WIB Seorang wanita merdeka yang telah baligh adalah aurat dalam shalat kecuali wajahnya, bahkan disyari'atkan bagi seorang wanita untuk melakukan shalat dengan wajah terbuka, seandainya wanita shalat dengan wajah tertutup maka shalatnya adalah sah, akan tetapi dengan menutup wajahnya itu ia telah meninggalkan sesuatu yang utama jika shalat ini dilakukan seorang diri dan tanpa keberadaan pria asing. Jadi perbedaan antara aurat wanita dalam shalat dengan auratnya dalam pandangan adalah, bahwa aurat wanita dalam shalat adalah selain wajah, sedangkan pada selain shalat maka wajah merupakan bagian daripada aurat. Karena membukakan wajah adalah haram, membukakan wajah diharamkan dalam thawaf, shalat dan lain-lain.

Ap ak ah Dis yar i' at ka n A dz an Da n I qam at Ba gi K au m Wani ta Rabu, 4 Februari 2004 14:09:10 WIB Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya : Apakah di Syari'atkan adzan dan iqamat bagi kaum wanita, baik sedang dalam perjalanan ataupun yang tidak, dan saat sendiri ataupun sedang bersama-sama ? Jawaban beliau : Tidak disyariatkan bagi kaum wanita untuk melaksanakan adzan dan iqamat baik di dalam perjalanan ataupun tidak. Adzan dan iqamat merupakan hal yang dikhususkan bagi kaum pria sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Hu ku m A dz ann ya W an it a Rabu, 4 Februari 2004 12:59:47 WIB Pertama : Pendapat yang benar dari para ulama menyatakan, bahwa wanita tidak boleh mengumandangkan adzan, karena hal semacam ini belum pernah terjadi pada jaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan juga tidak pernah terjadi di zaman Khulafa'ur Rasyidin Radhiyallahu 'anhum. Kedua : Dengan tegas kami katakan bahwa suara wanita bukanlah aurat, karena sesungguhnya para wanita di zaman Nabi selalu bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang urusan-urusan agama Islam, dan mereka juga selalu melakukan hal yang sama pada zaman Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin setelah mereka. Di zaman itu juga mereka biasa mengucapkan salam kepada kaum laki-laki asing (non mahram) serta membalas salam, semua hal ini telah diakui serta tidak ada seorangpun di antara para imam yang mengingkari hal ini.

Related Documents


More Documents from "Abdul Malik"

Ilmu Tauhid
June 2020 32
All About Shalat
June 2020 33
Tauhid
June 2020 38
Isra Dan Mi
June 2020 23