All About Shalat

  • Uploaded by: DiDieTh LeWie
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View All About Shalat as PDF for free.

More details

  • Words: 12,955
  • Pages: 18
Katego ri S halat Sh al at Fard hu Ber ma km um K epa da Or ang Y an g S ha la t Su na t Selasa, 11 Agustus 2009 07:40:11 WIB Apa hukum orang yang melaksanakan shalat fardhu dengan makmum kepada orang yang mengerjakan shalat sunat? Hukumnya sah, karena telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa dalam suatu perjalanan beliau shalat dengan sekelompok para sahabatnya, yaitu shalat khauf dua raka'at, kemudian beliau shalat lagi dua raka'at dengan sekelompok lainnya, shalat beliau yang kedua adalah shalat sunat. Disebutkan juga dalam Ash-Shahihain, dari Mu'adz Radhiyallahu 'anhu, bahwa suatu ketika ia telah mengerjakan shalat Isya bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian ia pergi lalu mengimami shalat fardu kaummnya, shalat mereka adalah shalat fardhu, sedangkan shalat Mu'adz saat itu adalah shalat sunnat

Iku t S ha la t Ber jam a' ah K etik a I ma m Se da ng Ruku ', A pak ah B erta kb ir U nt uk Takbir at ul I khr am Ata u R uk u' Sabtu, 5 April 2008 13:19:47 WIB Apabila seorang muslim masuk masjid dan imam sedang ruku’, maka dia harus ikut ruku bersama imam dengan dua kali takbir, yaitu takbiratul ihram kemudian dia berhenti, lalu takbir untuk ruku’ ketika dia membungkukkan badannya untuk ruku’. Dan dalam keadaan seperti ini, dia tidak usah membaca doa iftitah dan Al-Fatihah karena sempitnya waktu. Dalam hal ini dia terhitung mendapat satu raka’at. Hal ini berdasarkan hadits Abu Bakrah As-Saqafi Radhiyallahu ‘anhu di dalam Shahih Bukhari. “Bahwa pada suatu hari dia masuk masjid dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam (beserta para jama’ah) sedang ruku’. Lalu Abu Bakrah Radhiyallahu ‘anhu ruku’ sebelum sampai shaf. Kemudian (sambil ruku’) dia berjalan menuju shaf. (setelah selesai shalat) Nabi bersabda kepadanya ; Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menambah semangatmu (dalam kebaikan) tapi jangan diulang lagi”

Sh al at Taub at , S hal at An tar a Ad za n D an Iqa ma h Senin, 25 Februari 2008 14:07:38 WIB Sudah sepatutnya bagi seorang muslim untuk senantiasa berusaha bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, uga selalu merasa dalam pengawasan-Nya, serta tidak terjerumus ke dalam maksiat. Kalau toh dia berbuat dosa, maka dia akan segera bertaubat dan kembali ke jalan Allah. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mensyariatkan shalat ini pada saat bertaubat. “Tidaklah seseorang melakukan suatu perbuatan dosa, lalu dia bangun (bangkit) dan bersuci, kemudian mengerjakan shalat, dan setelah itu memohon ampunan kepada Allah, melainkan Allah akan memberikan ampunan kepadanya”. Kemudian beliau membaca ayat : “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah – Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui”

Men gg em ar ka n Sh al at Su nna h R aw at ib Minggu, 24 Februari 2008 09:35:12 WIB Para ulama sangat memperhatian shalat sunnah Rawâtib ini. Yang dimaksud dengan shalat sunnah Rawâtib, yaitu shalat-shalat yang dilakukan Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam atau dianjurkan bersama shalat wajib, baik sebelum maupun sesudahnya. Ada yang mendefinisikannya dengan shalat sunnah yang ikut shalat wajib. Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin mengatakan, yaitu shalat yang terus dilakukan secara kontinyu yang mendampingi shalat fardhu. Bagaimanakah kedudukan shalat sunnah Rawâtib ini, sehingga para ulama sangat memperhatikannya? Rasulullah shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda. “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Apabila bagus maka ia telah beruntung dan sukses, dan bila rusak maka ia telah rugi dan menyesal. Apabila kurang sedikit dari shalat wajibnya maka Rabb 'Azza wa jalla berfirman: "Lihatlah, apakah hamba-Ku itu memiliki shalat tathawwu' (shalat sunnah)?"

Awal Da n A kh ir Wakt u S ha la t M al am D an Wi tr Sabtu, 23 Februari 2008 10:45:10 WIB Awal waktu shalat malam dan witir adalah setelah Isya, dan akhir waktunya adalah setelah terbit fajar. Yang demikian itu ditunjukkan oleh beberapa dalil berikut ini. Dari Aisyah Ummul Mukminin Radhiyallahu ‘anha, dia bercerita. “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat sebelas raka’at pada waktu antara selesai shalat Isya –yaitu, suatu waktu yang oleh orang-orang disebut sebagai atamah- sampai Shubuh sebanyak sebelas rakaat, dengan salam setiap dua raka’at dan mengerjakan shalat witir satu raka’at. Dan jika mu’adzin telah berhenti dari mengumandangkan adzan shalat Shubuh dan sudah tampak jelas pula fajar olehnya dan beliau juga sudah didatangi oleh muadzin, maka beliau segera berdiri dan mengerjakan dua rakaat ringan, dan kemudian berbaring di atas lambung kanannya sehingga datang muadzin kepada beliau untuk mengumandangkan iqamah” Diriwayatkan oleh Muslim

Sh al at Su nnah Wi tir Sabtu, 23 Februari 2008 08:10:47 WIB Hadits ini menunjukkan bahwa sudah seharusnya bagi ahlul ilmu (ulama) memiliki perhatian yang lebih (terhadap shalat Witir)

daripada selainnya, meskipun shalat ini disyari’atkan untuk semua kaum Muslimin. Sehingga, orang-orang yang mengetahui keadaan dan perbuatan mereka mau mengikuti mereka. Jumlah paling sedikit dari shalat Witir adalah satu raka’at, yang dilakukan antara ‘Isya’ sampai fajar. Allah Ta’ala adalah witir (Maha Esa) dan mencintai orang-orang yang melakukan shalat Witir, dan Dia mencintai segala apa yang menyelarasi sifat-sifat-Nya. Allah Ta’ala Mahasabar dan mencintai orang-orang yang sabar, kecuali sifat keagungan dan kesombongan (artinya Allah tidak menyukai orang yang sombong). Para hamba mengikuti sifat-sifat-Nya, yaitu pada apa yang selaras dalam diri hamba berupa kedermawanan dan kebaikan”

Katego ri S halat Kia t A ga r D ap at Mel ak uk an Sh al at Tahaj jud Jumat, 22 Februari 2008 03:30:45 WIB Ada beberapa kiat yang dapat membantu seseorang untuk bangun di malam hari guna melakukan shalat Tahajjud. Di antaranya adalah. Mengetahui keutamaan shalat Tahajjud dan kedudukan orang yang melakukannya di sisi Allah Ta’ala serta segala apa yang disediakan baginya berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat, bagi mereka disediakan Surga. Allah Ta’ala bersaksi terhadap mereka dengan kesempurnaan iman, dan tidak sama antara mereka dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Shalat Tahajjud sebagai sebab masuk ke dalam Surga, ditinggikannya derajat di dalamnya, dan shalat Tahajjud merupakan sifat hamba-hamba Allah yang shalih serta kemuliaan bagi seorang Mukmin. Mengetahui perangkap syaitan dan usahanya agar manusia tidak melakukan shalat malam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai seorang laki-laki yang tidur hingga datang waktu fajar. "Itulah seseorang yang syaitan telah kencing di telinganya -atau beliau bersabda- di kedua telinganya"

Peng er ti an D an Hu kum S ha la t T ah ajju d Jumat, 22 Februari 2008 01:33:11 WIB Shalat Tahajjud (Qiyaamul Lail) adalah shalat sunnah yang dilakukan seseorang setelah ia bangun dari tidurnya di malam hari meskipun tidurnya hanya sebentar. Sangat ditekankan apabila shalat ini dilakukan pada sepertiga malam yang terakhir karena pada saat itulah waktu dikabulkannya do’a. Hukum shalat Tahajjud adalah sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan). Shalat sunnah ini telah tetap berdasarkan dalil dari Al-Qur-an, Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan ijma’ kaum Muslimin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. "Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah)". "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo’a kepada Rabb-nya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan."

Sh al at Dh uha Kamis, 21 Februari 2008 02:52:51 WIB Sedangkan shalat Dhuha yang dikerjakan dua belas rakaat ditunjukkan oleh hadits Abud Darda Radhiyallahu ‘anhu, di mana dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. Barangsiapa mengerjakan shalat Dhuha dua rakaat, maka dia tidak ditetapkan termasuk orang-orang yang lengah. Barangsiapa shalat empat rakaat, maka dia tetapkan termasuk orang-orang yang ahli ibadah. Barangsiapa mengerjakan enam rakaat maka akan diberikan kecukupan pada hari itu. Barangsiapa mengerjakan delapan rakaat, maka Allah menetapkannya termasuk orang-orang yang tunduk dan patuh. Dan barangsiapa mengerjakan shalat dua belas rakaat, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah rumah di Surga. Dan tidaklah satu hari dan tidak juga satu malam, melainkan Allah memiliki karunia yang danugerahkan kepada hamba-hamba-Nya sebagai sedekah. Dan tidaklah Allah memberikan karunia kepada seseorang yang lebih baik daripada mengilhaminya untuk selalu ingat kepadaNya” Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani.

Sh al at Su nna t Ju m' at Rabu, 20 Februari 2008 07:58:56 WIB Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Apabila salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat Jum’at, maka hendaklah dia mengerjakan shalat empat raka’at setelahnya”. Diriwayatkan oleh Muslim. Dan dalam sebuah riwayat disebutkan. “Barangsiapa di antara kalian akan mengerjakan shalat setelah shalat Jum’at, maka hendaklah dia mengerjakan empat rakaat” . Dapat saya katakan, kedua hadits di atas menunjukkan disyariatkannya shalat dua atau empat rakaat setelah Jum’at. Dengan pengertian, seorang muslim bisa mengerjakan salah satu dari keduanya. Dan yang lebih afdhal adalah shalat empat rakaat setelah shalat Jum’at. Hal itu sesuai dengan apa yang dijelaskan di dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan ketetapan dalam bentuk ucapan mengenai hal tersebut. Sunnat shalat ini –baik dikerjakan dua rakaat ataupun empat rakaat- lebih baik dikerjakan di rumah secara mutlak tanpa adanya pembedaan di dalam mengerjakannya

Sh al at Istik har ah Selasa, 19 Februari 2008 08:19:37 WIB

Az-Zamlakani mengatakan :”Jika seseorang mengerjakan shalat istikharah dua rakaat untuk suatu hal, maka hendaklah setelah itu dia melakukan apa yang tampak olehnya, baik hatinya merasa senang maupun tidak, karena padanya kebaikan itu berada sekalipun jiwanya tidak menyukainya”. Lebih lanjut, dia mengatakan, “Di dalam hadits tersebut tidak ada syarat adanya kesenangan diri’. Saat pemanjatan do’a istikarah itu berlangsung setelah salam. Yang demikian itu didasarkan pada sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Jika salah seorang di antara kalian berkeinginan keras untuk melakukan sesuatu, maka hendaklah dia mengerjakan shalat dua rakaat di luar shalat wajib, dan hendaklah dia mengucapkan ..” Karena lahiriyahnya do’a itu dipanjatkan setelah mengerjakan shalat dua rakaat, yaitu setelah salam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat bahwa do’a istikharah itu dipanjatkan sebelum salam.

Sh al at Tasb ih Senin, 18 Februari 2008 12:04:21 WIB Di dalam kitab, At-Tanqiih Limma Jaa-a fii Shalaatit Tasbiih, dia mengatakan : “Ketahuilah, mudah-mudahan Allah merahmatimu, bahwa hadits-hadits yang menyuruh mengerjakan amal-amal yang mencakup pengampunan dosa seperti ini tidak semestinya bagi seorang hamba untuk bersandar kepadanya, lalu membebaskan dirinya untuk mendekati perbuatan dosa. Kemudian dia beranggapan, jika dia melakukan suatu perbuatan, niscaya semua dosanya akan diampuni. Dan ini merupakan puncak dari kebodohan dan kepandiran. Apa yang membuatmu yakin, hai orang yang tertipu, bahwa Allah akan menerima amalmu itu dan selanjutnya akan mengampuni dosa-dosamu? Sedang Allah Azza wa Jalla telah berfirman. “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa” . Perhatikan dan camkanlah hal tersebut. serta ketahuilah bahwa pintu masuk syaitan ke dalam diri manusia itu cukup banyak. Berhati-hatilah, jangan sampai syaitan memasuki dirimu melalui pintu ini

Katego ri S halat Der aj at H adi ts Sh al at Ha ja t, S ha la t A rb a' in Sabtu, 8 Desember 2007 13:45:35 WIB Sesuatu amal ibadah tidak boleh kita kerjakan sebelum mengetahui dua syarat utamanya. Pertama : Dalilnya, baik Qur'an maupun Hadits. Kedua : Jika dalilnya itu dari hadits, maka jangan kita amalkan dulu sebelum kita mengetahui derajat hadits itu, sah (shahih dan hasan) datangnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atau tidak (dla'if/lemah). Jika kedapatan hadits itu shahih atau hasan, maka bolehlah kita amalkan. Akan tetapi jika ternyata hadits itu dla'if, baik dla'ifnya ringan maupun berat, maka tidak boleh kita amalkan. Tentang shalat hajat itu telah saudara ketahui ada dalilnya dari hadits sebagaimana tersebut di kitab pedoman shalat. Hanya sekarang yang perlu kita ketahui dalilnya itu sah atau tidak? Di bawah ini akan saya bawakan haditsnya sekalian saya terangkan derajatnya.

Sh ol at Tan pa Men ge nak an Penu tu p K epa la (S on gk ok /P ec i) Sabtu, 1 Desember 2007 16:40:25 WIB Tidak memakai penutup kepala bukan merupakan kebiasaan baik yang dikerjakan oleh para ulama salaf, baik ketika mereka berjalan di jalan maupun ketika memasuki tempat-tempat ibadah. Kebiasaan tidak memakai tutup kepala sebenarnya (adalah) tradisi yang dikerjakan oleh orang-orang asing. Ide ini memang sengaja diselundupkan ke negara-negara muslim ketika mereka melancarkan kolonialisasi. Mereka mengajarkan kebiasaan buruk dan sayangnya malah diikuti oleh umat Islam. Mereka telah mengesampingkan kepribadian dan tradisi keislaman mereka sendiri. Inilah sebenarnya pengaruh buruk yang dibungkus (dengan) sangat halus dan tidak pantas, untuk merusak tradisi umat Islam dan juga tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk memperbolehkan sholat tanpa memakai tutup kepala.

Na bi S ha ll al lah u ' Ala ih i Wa S al la m Tida k Perna h S hal at Tar awi h Mel eb ihi S ebe la s R ak a' at Selasa, 11 September 2007 14:31:05 WIB Setelah kita menetapkan, disyariatkannya berjama'ah dalam shalat tarawih berdasarkan ketetapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, perbuatan beliau dan juga anjurannya ; Maka sudah seharusnya kami jelaskan juga beberapa jumlah raka'at yang dilaksanakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam-malam yang beliau hidupkan bersama para sahabat. Dan perlu diketahui, bahwa dalam hal ini kami memiliki dua dalil, diantaranya : Dari Abi Salamah bin Abdir-Rahman, bahwasanya ia pernah bertanya kepada 'Aisyah Radhiallahu 'anha tentang bagaimana shalat Rasulullah Shallallahu 'alihi wa sallam di bulan Ramadhan ? Beliau menjawab : "Baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan yang lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam melebihi sebelas raka'at.

Dis unn ah kann ya S ha la t T ar awih Berj am a'a h Senin, 10 September 2007 14:22:45 WIB Bahwa hadits-hadits ini semua menunjukkan dengan gamblang, tentang disyari'atkannya shalat tarawih dengan berjama'ah. Karena kesinambungan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan shalat tersebut berjama'ah selama beberapa malam. Adapaun Nabi yang meninggalkan shalat tarawih tadi dengan berjama'ah pada malam yang keempat (setelah beliau memulainya) sebagaimana disebut dalam hadits tadi, itu tidaklah bertentangan. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

sendiri telah menerangkan alasannya dengan sabda beliau : "sesungguhnya aku khawatir tarawih itu menjadi wajib atas dirimu ". Dan tidak diragukan lagi. bahwa kekhawatiran Nabi tadi sudah hilang dengan meninggalnya beliau. Karena syari'at Allah yang beliau sampaikan telah sempurna (artinya tak akan lagi muncul hukum baru).

Tata Car a Bers uc i Da n S ha la t Ba gi O ran g Y an g Sa ki t Minggu, 12 Agustus 2007 02:34:22 WIB Orang sakit tetap diwajibkan shalat tepat pada waktunya pada setiap shalat. Hendaklah ia kerjakan kewajibannya sekuat dayanya. Jika ia merasa kesulitan untuk mengerjakan setiap shalat pada waktunya, maka dibolehkan menjamak dengan shalat diantara waktu akhir dzhuhur dan awal ashar, atau antara akhir waktu maghrib dengan awal waktu isya. Atau bisa dengan jama taqdim yaitu dengan mengawalkan shalat ashar pada waktu dzuhur, dan shalat isya ke waktu maghrib. Atau dengan jamak ta’khir yaitu mengakhirkan shalat dzuhur ke waktu ashar, dan shalat maghrib ke waktu isya, semuanya sesuai kondisi yang memudahkannya. Sedangkan untuk shalat fajar, ia tidak bisa dijamak kepada yang sebelumnya atau ke yang sesudahnya. Apabila orang sakit sebagai musafir, pengobatan penyakit ke negeri lain maka ia mengqashar shalat yang empat raka’at. Sehingga ia melakukan shalat dzuhur, ashar dan isya, dua raka’at-raka’at saja sehingga ia pulang ke negerinya kembali baik perjalanannya lama ataupun sebentar.

Kh at ib M em anj ang ka n K hu tb ah Da n Me me nd ek ka n Sh al at , Kh at ib Men ga ng ka t K ed ua Tan ga n Ketik a Ber do 'a Jumat, 3 Agustus 2007 01:57:51 WIB Sebagian khatib ada yang memanjangkan khutbahnya sampai terasa membosankan sehingga bagian terakhir lupa pada bagian awalnya. Dan dengan demikian, akhirnya dia memendekkan shalat. Padahal jika melakukan sebaliknya, maka hal itu telah sesuai dengan Sunnah Nabi. Muslim telah meriwayatkan: “Dari Washil bin Hayyan, dia berkata, Abu Wa’il berkata, ‘Ammar pernah memberi khutbah kepada kami dengan singkat dan padat isinya. Dan ketika turun, kami katakan kepadanya, ‘Wahai Abu Yaqzhan, sesungguhnya engkau telah menyampaikan dan menyingkat khutbah, kalau saja engkau memanjangkannya". Maka dia menjawab, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendek khutbahnya menjadi ciri pemahaman yang baik dalam agama. Oleh karena itu, perpanjanglah shalat dan perpendeklah khutbah, dan sesungguhnya di antara bagian dari penjelasan itu mengandung daya tarik

Katego ri S halat Jam a' ah Tidu r Se me ntar a K ha ti b Men yamp ai kan Kh ut ba hn ya, T ida k Men gh ad ap ka n W aja hn ya Kepad a K ha ti b Jumat, 27 Juli 2007 00:40:14 WIB Sebagian orang tertidur sementara khatib sudah berada di atas mimbar. Dan ini jelas salah dan dia harus dibangunkan untuk mendengarkan nasihat. Ibnu Sirin mengatakan, “Mereka memakruhkan tidur ketika khatib khutbah. Dan mereka berkata tegas mengenai hal tersebut". Dan disunnahkan bagi orang yang dihinggapi rasa kantuk untuk pindah dari tempatnya ke tempat lain di masjid. Mengenai hal tersebut telah diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dengan sanad shahih dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. "Jika salah seorang di antara kalian mengantuk di tempat duduknya pada hari Jum’at, maka hendaklah dia pindah (bergeser) dari tempat itu ke tempat lainnya"

Bers iw ak Da n Be rsa la ma n P ada Sa at K hu tb ah Berl an gs un g, D o'a Mua dz in D ian tar a D ua Kh ut ba h Jumat, 20 Juli 2007 01:34:49 WIB Di antara kesalahan yang tersebar luas di antara kaum muslimin adalah bersalaman saat khutbah Jum’at tengah berlangsung. Di mana Anda bisa dapatkan seseorang yang menyalami orang di sampingnya. Dan jika dia melihat orang yang dikenalnya, maka dia akan memberikan isyarat tangan kepadanya. Semuanya itu dilakukan saat khatib tengah berada di atas mimbar sehingga dikhawatirkan hal itu dapat melengahkan dan dapat mengurangi pahala Jum’at dan berubah menjadi shalat Zhuhur saja. Hal tersebut didasarkan pada apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah yang dinilai hasan oleh alAlbani dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Barangsiapa lengah dan melangkahi pundak orang-orang, maka shalat Jum’atnya itu menjadi shalat Zhuhur baginya

Tida k Mene mpa ti Bar is an ( Sha ff ) Pert am a Me sk i Da tan g Le bih Awal, Ber bi car a S aat Kh ut ba h Berl an gs un g Jumat, 13 Juli 2007 01:19:28 WIB Di antara jama’ah ada yang datang ke masjid lebih awal dan mendapati barisan pertama masih kosong, tetapi dia malah memilih untuk menempati barisan kedua atau ketiga agar bisa bersandar ke tiang misalnya, atau memilih barisan belakang sehingga dia bisa bersandar ke dinding misalnya. Semuanya itu bertentangan dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa

sallam untuk segera menduduki barisan pertama yang didapatinya selama dia bisa sampai ke tempat tersebut, karena agungnya pahala yang ada padanya serta banyaknya keutamaan yang terkandung padanya. Dan seandainya dia tidak bisa sampai ke tempat itu kecuali dengan cara undian, maka hendaklah dia melakukan hal tersebut sehingga dia tidak kehilangan pahala yang melimpah itu. Telah diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya orang-orang itu mengetahui apa yang terdapat pada seruan adzan dan shaff pertama kemudian mereka tidak mendapatkan jalan, kecuali harus melakukan undian, niscaya mereka akan melakukannya.”

Sh al at Su nnah Qa bliy ah Ju m' at, Men in gga lk an Sh al at Su nna h Ba 'd iy ah Ju m' at Jumat, 6 Juli 2007 00:33:18 WIB Di antara kaum muslimin ada yang setelah mendengar adzan pertama langsung berdiri dan mengerjakan shalat dua rakaat sebagai shalat sunnah Qabliyah Jum’at. Dalam hal ini perlu saya katakan, saudaraku yang mulia, shalat Jum’at itu tidak memiliki shalat sunnah Qabliyah, tetapi yang ada adalah shalat Ba’diyah Jum’at. Memang benar telah ditegaskan bahwa para Sahabat jika salah seorang dari mereka memasuki masjid sebelum shalat Jum’at, maka dia akan mengerjakan shalat sesuai kehendaknya, kemudian duduk dan tidak berdiri lagi untuk menunaikan shalat setelah adzan. Mereka mendengarkan khuthbah dan kemudian mengerjakan shalat Jum’at. Dengan demikian, shalat yang dikerjakan sebelum shalat Jum’at adalah shalat Tahiyyatul Masjid dan shalat sunnat mutlaq. Dan hadits-hadits yang diriwayatkan berkenaan dengan shalat sunnah Qabliyah Jum’at adalah dha’if, tidak bisa dijadikan hujjah (argumen), karena suatu amalan Sunnah itu tidak bisa ditetapkan, kecuali dengan hadits yang shahih lagi dapat diterima.

Tida k Mem isa hk an A nt ar a Sh al at Ju m' at D an Sh al at Su nna h, T idak Me ng erja kan Tahiy yatu l Mas ji d Jumat, 29 Juni 2007 02:07:42 WIB Bahwa Nafi’ bin Jubair pernah mengutusnya menemui as-Saib, anak dari saudara perempuan Namr untuk menanyakan kepadanya tentang sesuatu yang dilihatnya dari Mu’awiyah dalam shalat, maka dia menjawab, ‘Ya, aku pernah mengerjakan shalat Jum’at bersamanya di dalam maqshurah. Setelah imam mengucapkan salam, aku langsung berdiri di tempatku semula untuk kemudian mengerjakan shalat, sehingga ketika dia masuk, dia mengutus seseorang kepadaku seraya berkata, ‘Janganlah engkau mengulangi perbuatan itu lagi. Jika engkau telah mengerjakan shalat Jum’at, maka janganlah engkau menyambungnya dengan suatu shalat sehingga engkau berbicara atau keluar (dari tempatmu), karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan hal tersebut kepada kita, yaitu tidak menyambung shalat sehingga kita berbicara atau keluar.

Men in gga lk an Sh al at Ju m' at, Men gu lu r W ak tu Da ta ng Ke M asj id , T idak M and i, T idak P ak ai Wang i-Wang ia n Jumat, 8 Juni 2007 04:07:06 WIB Sebagian kaum muslimin ada yang meninggalkan shalat Jum’at karena sikap meremehkannya serta lengah untuk menjunjung tinggi syi’ar-syi’ar agama Allah, yang dalam hal itu Dia telah menyatakan dengan firman-Nya: “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang-siapa mengagungkan syi'ar-syi'ar agama Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.” . Dan hendaklah orang yang suka mengabai-kan shalat Jum’at mengetahui bahwa dengan demikian itu dia telah melakukan perbuatan dosa besar sekaligus kejahatan yang besar. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengadzabnya dengan mengunci mati hatinya, sehingga dia tidak akan pernah tahu suatu kebaikan dan tidak juga dapat mengingkari ke-mungkaran. Dia pun tidak akan pernah merasakan nikmatnya Islam serta tidak pula merasakan manisnya iman.

Katego ri S halat Ap ak ah Yang Ha ru s D ila ku ka n O leh Or ang Yang Ter ti ng ga l Sh al at Jum 'a t? Jumat, 1 Juni 2007 00:37:28 WIB Barangsiapa berpendapat bahwa hukum asal shalat pada hari Jum’at adalah shalat Jum’at dan orang yang ketinggalan melakukannya atau orang yang tidak wajib atasnya shalat Jum’at -seperti orang yang sedang dalam perjalanan dan wanita-, maka wajib baginya hanya melakukan dua raka’at shalat Jum’at, sungguh orang yang berpendapat demikian telah menyalahi nash tanpa alasan. Kemudian saya melihat ash-Shan’ani menuturkan (II/74) seperti itu dan sesungguhnya orang yang ketinggalan dan tidak melakukan shalat Jum’at, maka ia harus melakukan shalat Zhuhur menurut kesepakatan para ulama, karena ia adalah penggantinya, dan inilah pendapat yang disepakati (ijma’). Demikianlah yang beliau ucapkan, dan kami telah mentahqiqnya di dalam risalah tersendiri.

Hu ku m S hal at Ju m' at , Ju mla h Ja ma 'ah Pad a S ha la t J um 'a t Jumat, 25 Mei 2007 01:31:57 WIB Shalat berjama’ah sah dilakukan walaupun hanya dengan seorang (makmum) bersama seorang imam, sedangkan shalat Jum’at merupakan salah satu dari shalat-shalat wajib lainnya. Barangsiapa yang mensyaratkan tambahan bilangan yang ada pada shalat berjama’ah, maka ia harus menunjukkan dalil pendapatnya itu, dan niscaya dia tidak akan mendapatkan dalilnya.

Anehnya banyak sekali pendapat tentang bilangan tersebut hingga sampai lima belas pendapat, dan tidak ada dalil yang dijadikan landasan oleh mereka kecuali satu pendapat saja. Sesungguhnya shalat Jum’at sama dengan jumlah pada shalatshalat (berjama’ah) yang lainnya. Bagaimana tidak, sedangkan syarat hanya bisa tetap bila ada dalil yang secara khusus menunjukkan bahwa suatu ibadah tidak sah kecuali dengan adanya syarat tersebut, penetapan syarat seperti ini (jumlah tertentu) sama sekali tidak berlandaskan atas sebuah dalil.

Ses eor an g M en da pa ti Ak hir Raka 'at Da la m Sh al at Jam a' ah, Se dan g Sha la t S un nah Mua dz in Iqa mah Sabtu, 10 Maret 2007 09:30:25 WIB Pokok dalam permasalahan ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Jika telah (dikumandangkan) iqamat untuk shalat, maka tidak ada shalat, kecuali wajib”. Dari hadits tersebut jelas sekali bahwa shalat itu menjadi batal ketika terdengar iqamat shalat wajib. Akan tetapi para ulama berselisih : Apakah hadits tersebut berlaku secara mutlak ataukah bisa dipahami bahwa seseorang boleh melanjutkan shalatnya pada keadaan tertentu, kemudian ia bergabung dengan jama’ah? Menurut saya, berdasarkan apa yang telah kubaca dalam kitab Al-Majmu tulisan An-Nawawi, hadits tersebut berisi anjuran terhadap seorang muslim yang sedang shalat sunnah agar mengikuti imam dari awal shalat, jangan sampai ketinggalan takbiratul ihram.

Hu ku m S hal at D i Bel ak an g A hlu l Bi d’ ah Senin, 15 Januari 2007 15:12:29 WIB Ahlus Sunnah menganggap shalat berjama’ah di belakang imam baik yang shalih maupun yang fasik dari kaum Muslimin adalah sah. Dan menshalatkan siapa saja yang meninggal di antara mereka. Dalam Shahiihul Bukhari disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah shalat dengan bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Padahal al-Hajjaj adalah orang yang fasik dan bengis ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma adalah seorang Sahabat yang sangat hati-hati dalam menjaga dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan al-Hajjaj bin Yusuf adalah orang yang terkenal paling fasik. Demikian juga yang pernah dilakukan Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu yang bermakmum kepada al-Hajjaj bin Yusuf.

Dis yar ia tk an S ha la t M al am Berj am a' ah P ada Bu la n R am ad ha n Kamis, 28 September 2006 00:23:05 WIB Shalat malam berjama’ah pada bulan Ramadhan telah disyariatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik melalui ucapan maupun perbuatan. Adapun ucapan, adalah yang datang dari Jubair bin Nufair, dari Abu Dzarr Radhiyallahu ‘anhu, dia bercerita, kami pernah berpuasa bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau tidak shalat bersama kami sehingga tersisa tujuh hari (dari bulan Ramadhan). Dimana beliau bangun bersama kami sampai sepertiga malam berlalu. Kemudian beliau tidak bangun bersama kami pada pada malam keenam, tetapi beliau bangun bersama kami pada malam kelima hingga separuh malam berlalu. Kemudian kami katakan kepada beliau : “Wahai Rasulullah, bagaimana jika engkau shalat sunnat bersama kami pada sisa malam ini ?”

Umar Bi n A l-Kh at tab Men gh idu pk an Kembal i Tar awi h Berja ma 'a h Da n M en yuruh Sh al at Seb el as Raka 'at Senin, 25 September 2006 00:00:47 WIB

Suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar bin Al-Khattab menunju masjid. Ternyata kami dapati manusia berpencar-pencar disana sini. Ada yang shalat sendirian, ada juga yang shalat mengimami beberapa gelintir orang. Beliau berkomentar : “(Demi Allah), seandainya aku kumpulkan orang-orang itu untuk shalat bermakmum kepada satu imam, tentu lebih baik lagi”. Kemudian beliau melaksanakan tekadnya, beliau mengumpulkan mereka untuk shalat bermakmum kepada Ubay bin Ka’ab Radhiyallahu ‘anhu. Abdurrahman melanjutkan : “Pada malam yang lain, aku kembali keluar bersama beliau, ternyata orang-orang sudah sedang shalat bermakmum kepada salah seorang qari mereka. Beliaupun berkomentar : “Sebaikbaik bid’ah, adalah seperti ini”.

Katego ri S halat Ben tuk -Ben tuk Wi tir Da n Ju mla h R ak a' atn ya

Senin, 18 September 2006 14:13:14 WIB Tigabelas raka’at, setiap dua raka’at salam, dan berwitir satu raka’at : Dasarnya adalah hadits Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan cara shalat Nabi. Dalam hadits itu tercantum : “… Maka akupun berdiri di sebelah kiri beliau. Tibatiba beliau meletakkan tangan kanan beliau di atas kepalaku, dan memegang telingaku serta memutar tubuhku hingga berada di sebelah kanannya, kemudian beliau shalat dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at, dua raka’at dan dua raka’at, kemudian beliau melakukan witir, lalu berbaring hingga datang muadzin. Setelah muadzin datang, beliau bangkit dan shalat dua raka’at ringkas, kemudian baru beliau keluar menuju jama’ah dan shalat shubuh” . Diriwayatkan juga dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwa ia menceritakan : “Adalah Rasulullah melakukan shalat malam tiga belas raka’at, kemudian baru keluar untuk shalat shubuh

Sh al at Ger hana Bu la n Da n S ha la t G erha na M ata har i Kamis, 7 September 2006 14:20:31 WIB Shalat gerhana itu dikerjakan dua rakaat dengan dua ruku’ pada setiap rakaat. Yang menjadi dalil hal tersebut adalah hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang telah kami sampaikan sebelumnya. Dan juga hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia bercerita : “Pernah terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliaupun berdiri dengan waktu yang panjang sepanjang bacaan surat Al-Baqarah. Kemudian beliau ruku dengan ruku yang cukup panjang, lalu beliau bangkit dan berdiri dalam waktu yang lama juga- -tetapi lebih pendek dari berdiri pertama-. Kemudian beliau ruku dengan ruku yang lama –ruku yang lebih pendek dari ruku pertama-. Setelah itu, beliau sujud. Kemudian beliau berdiri dalam waktu yang lama –tetapi lebih pendek dari berdiri pertama.

Sh al at Isyr aq Minggu, 3 September 2006 08:22:47 WIB Shalat Isyraq adalah permulaan shalat Dhuha, di mana waktu shalat Dhuha itu dimulai dari terbitnya matahari. Penetapan penamaan shalat ini pada waktu shalat Dhuha sebagai shalat Isyraq diperoleh dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu. Dia bercerita, Ummu Hani berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah masuk ke rumahku untuk menemuiku pada hari pembebasan kota Mekkah, lalu beliau minta dibawakan air, lalu beliau menuangkan ke dalam mangkuk besar, lalu minta dibawakan selembar kain, kemudian beliau memasangnya sebagai tabir antara diriku dan beliau. Selanjutnya, beliau mandi dan setelah itu beliau menyiramkan ke sudut rumah. Baru kemudian beliau mengerjakan shalat delapan rakaat, yang saat itu adalah waktu Dhuha

Ad ab Be rjal an Ke M asj id D an Bac aa n Se wakt u Ma suk Da n K eluarn ya Sabtu, 26 Agustus 2006 04:20:56 WIB Dari Abu Qatadah, ia berkata : Tatkala kami sedang shalat bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tiba-tiba beliau mendengar suara berisik orang-orang (yang datang). Maka ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah selesai shalat, ia bertanya : "Ada apa dengan kamu tadi (berisik) ?". Mereka menjawab : "Kami terburu-buru untuk turut (jama'ah)", Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : "Janganlah kamu berbuat begitu !. Apabila kamu mendatangi shalat, hendaklah kamu berlaku tenang ! Apa yang kamu dapatkan (dari shalatnya Imam), maka shalatlah kamu (seperti itu) dan apa yang kamu ketinggalan, sempurnakanlah !". Hadits ini mengandung beberapa hukum diantaranya : Kita dilarang tergesa-gesa/terburuburu apabila mendatangi tempat shalat, seperti berlari-lari, meskipun qamat telah dikumandangkan.

Kapa n S ese or ang D ika tak an Men da pa ti Sh al at Jam a' ah Sabtu, 22 Juli 2006 09:14:08 WIB Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda. “ Barangsiapa mendapati satu raka’at shalat Jum’at atau shalat jama’ah lainnya berarti ia telah mendapati shalat berjama’ah” . Kedua hadits diatas secara jelas menyatakan bahwa siapa saja yang mendapati satu rakaat shalat Jum’at maupun shalat lainnya bersama imam berarti ia telah mendapati shalat jama’ah. Shalat jama’ah termasuk dalam rangkaian shalat yang hanya dikatakan mendapatinya bila telah mendapati satu raka’at.

Men jam a S ha la t A sh ar De ng an Sh al at J um 'a t Senin, 19 Juni 2006 01:39:13 WIB Tidak boleh menjama (menggabungkan) shalat Ashar dengan shalat Jum’at ketika diperbolehkan menjama antara shalat Ashar dan Dzuhur (karena ada alasan syar’i, seperti perjalanan,-red) . Seandainya seseorang yang sedang melakukan perjalanan jauh melintasi suatu daerah, lalu dia melakukan shalat Jum’at bersama kaum muslimin disana, maka (dia) tidak boleh menjama Ashar dengan shalat Jum’at. Seandainya ada seorang yang menderita penyakit sehingga diperbolehkan untuk menjama shalat, (lalu ia) menghadiri shalat dan mengerjakan shalat Jum’at, maka dia tidak boleh menjama shalat Ashar dengan shalat Jum’at. Dalilnya ialah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”

Katego ri S halat Ses eor an g H en da kn ya I kut R uk u' K etik a J am a'a h Se da ng R uku Da n I ap un Me nd ap at kan Raka 'at Selasa, 25 April 2006 08:37:20 WIB Dari Zubair bin Wahb ia bercerita : Saya bersama Abdullah –yakni Ibnu Mas’ud- keluar dari rumahnya menuju masjid. Ketika kami sampai ketengah-tengah masjid, imam ruku’. Maka Abdullah (bin Mas’ud) bertakbir dan ruku’, sayapun ruku’ bersamanya. Kemudian kami berjalan sambil ruku’ hingga (manakala) kami mencapai shaf, disaat jamaah shalat mengangkat kepalanya (i’tidal). Setelah imam selesai shalat, saya berdiri (lagi) karena saya beranggapan bahwa saya belum mendapat raka’at. Maka Abdullah (bin Mas’ud) mengamit tangan saya dan menahan saya (supaya tetap duduk). Lantas (seusai shalat) beliau berkata : ‘Sesungguhnya engkau telah mendapatkan raka’at’. Riwayat diatas dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf I/99/1-2. Begitu juga dikeluarkan oleh Abdur Razaq II/283/3381, Ath-Thahawi dalam Syarh Al-Ma’ani I/231-232, Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir III/32/1 dan Al-Baihaqi dalam Sunnannya II/90-91 dengan sanad yang Shahih.

Me mb ac a Al -Fatih ah D i Be la ka ng Imam [Sh al at J ahr iy ah] Senin, 20 Maret 2006 10:33:36 WIB Anda menyebutkan dalam kitab Shalat Nabi, dari hadits Abu Hurairah, tentang di nasahkkannya (dihapuskannya) bacaan AlFatihah dibelakang Imam yang sedang shalat jahar. Kemudian anda mengeluarkan hadits ini, dan anda sebutkan bahwa hadits tersebut mempunyai penguat dan hadits Umar. Akan tetapi dalam kitab Al-I'tibar Fi An-Nasikh wa Al-Mansukh yang dikarang oleh Al-Hazimii disebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh seorang yang tidak dikenal (majhul), dimana tidak ada yang meriwayatkan dari si majhul ini kecuali hadits tersebut, dan seandainya hadits ini tsabit, yang berisi larangan untuk membaca Al-Fatihah di belakang imam yang sedang membaca ayat, maka bagaimana pendapat anda tentang perkataan Al-Hazimi ?

Sh al at Tahi yatu l Mas ji d Rabu, 25 Januari 2006 17:13:46 WIB Sulaik Al-Ghathafany masuk masjid Nabawi ketika Jum'at, saat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan khutbah, lalu dia langsung duduk. Beliau menyuruhnya bediri dan shalat dua rakaat. Kemudian beliau menyatakan bahwa masjid-masjid itu memiliki kesucian dan kehormatan, bahwa ia memiliki hak tahiyat atas orang yang memasukinya. Caranya, dia tidak langsung duduk sebelum shalat dua rakaat. Shalat ini disyariatkan bagi orang yang memasuki masjid kapanpun waktunya, meskipun pada waktu larangan shalat, karena keumuman hadits. Para ulama membatasi Masjidil Haram, bahwa tahiyatnya adalah thawaf. Tapi bagi orang yang tidak berniat thawaf atau dia kesulitan mengerjakannya, maka tidak seharusnya dia meninggalkan shalat ini, yang berarti dia shalat dua rakaat

Kapa n M em ul ai S ha la t Ja ma 'a h Sabtu, 14 Januari 2006 08:40:26 WIB Para ahli fiqih menegaskan bahwa dianjurkan memberi tenggang waktu antara adzan dan iqamah, untuk memberi kesempatan bagi jama’ah untuk mengerjakan shalat sunnat dan duduk untuk menunggu kehadiran para jama’ah lainnya. Kecuali shalat Maghrib, namun perlu diperhatikan waktu-waktu afdholiyah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Bilal Radhiyallahu ‘anhu. “Berilah tenggang waktu antara adzan dan iqamah sekedar menunggu orang yang sedang berwudhu hingga selesai wudhunya dengan tenang dan orang yang sedang makan dapat menyelesaikan makanannya dengan tenang” . Departemen urusan Islam, wakaf, dakwah dan bimbingan masyarakat di Kerajaan Saudi Arabia mengeluarkan peraturan baru tentang batas waktu mengumandangkan iqamah shalat jama’ah setelah adzan.

Men un da S ha la t Z huh ur H ing ga U dar a D in gin K are na P ana s Senin, 12 Desember 2005 11:41:10 WIB Sunat menunda shalat Zhuhur ketika panas menyengat hingga udara menjadi lebih dingin dan panas berkurang. Menurut para Ulama, penundaan ini tidak mempunyai batasan waktu dalam syari’at. Ah-Shan’any menjelaskan bahwa yang lebih benar penggunaan dalil untuk mejelaskan batasannya ialah hadits yang ditakhrij Asy-Syaikhany dari hadits Abu Dzar, dia berkata : “Kami dalam perjalanan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu mu’adzin hendak adzan untuk shalat Zhuhur. Maka beliau bersabda, “Tunggulah hingga udara menjadi lebih dingin”.. Muadzin hendak adzan lagi, lalu belaiu bersabda, “Tunggulah hingga udara menjadi lebih dingin lagi”. Hingga kami melihat bayangan di dinding. Ini merupakan petunjuk batasan menunda hingga dingin, yaitu ketika dinding sudah memunculkan bayangan atau lainnya.

Men jam a' Du a S ha la t D al am P er jal an an Selasa, 6 Desember 2005 16:08:19 WIB Karena perjalanan menimbulkan banyak kesulitan, maka Allah membuat beberapa rukhshah dalam ibadah, sebagai kemudahan bagi hamba-hambaNya dan rahmat atas mereka. Di antara rukshah itu ialah diperbolehkannya menjama' bagi orang yang mengadakan perjalanan. Karena boleh jadi dia masuk waktu shalat tapi mengalami satu dua hambatan dalam perjalanannya. Diperbolehkan baginya manjama' shalat Zhuhur dengan Ashar dalam salah satu waktu di antara keduanya, menjama' shalat Maghrib dengan Isya' dalam salah satu waktu di antara keduanya. Semua ini merupakan keluwesan syariat yang dibawa

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan kemudahannya, yang berarti merupakan karunia dari Allah, agar tidak ada keberatan dalam agama

Katego ri S halat Qa dha S ha la t Y an g T ert in gg al Senin, 17 Oktober 2005 16:00:55 WIB Shalat memiliki waktu tertentu dan terbatas, awal dan akhirnya, tidak boleh memajukan shalat sebelum waktunya dan juga tidak boleh mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya. Namun jika seseorang tertidur hingga tertinggal mengerjakannya atau dia lupa hingga keluar dari waktunya, maka dia tidak berdosa karena alasan itu. Dia harus langsung mengqadha'nya selagi sudah mengingatnya dan tidak boleh menundanya, karena kafarat pengakhiran ini ialah segera mengqadha'nya. Maka Allah berfirman. "Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca ayat ini ketika menyebutkan hukum ini, mengandung pengertian bahwa pelaksanaan qadha' shalat itu ialah ketika sudah mengingatnya.

Qa sh ar S ha la t Da lam P er jal an an Minggu, 2 Oktober 2005 08:11:07 WIB Sebaiknya musafir tidak meninggalkan qashar, karena mengikuti Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan sebagai cara untuk keluar dari perbedaan pendapat dengan orang yang mewajibkannya, dan memang qashar inilah yang lebih baik menurut mayoritas ulama. Dikutip dari Ibnu Taimiyah di dalam Al-Ikhtiyarat, tentang kemakruhan menyempurnakannya. Dia menyebutkan nukilan dari Al-Imam Ahmad, yang tidak mengomentari sahnya shalat orang yang menyempurnakan shalat dalam perjalanan, Ibnu Taimiyah juga berkata : "Telah diketahui secara mutawatir, bahwa Rasulullah senantiasa shalat dua rakaat dalam perjalanan, begitu pula yang dilakukan Abu Bakar dan Umar setelah beliau.."

Hu ku m S hal at Berj am a'a h D ika la H uja n Kamis, 25 Agustus 2005 06:04:56 WIB Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu bahwasanya dia pernah berkata kepada mu'adzinnya ketika hujan turun: "Apabila engkau telah melafadzkan : Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah maka jangan mengatakan : Hayya alash sholah akan tetapi katakana 'Shollu Fii Buyutikum'. Lalu manusia (mendengarkannya seolah-olah) mengingkari masalah tersebut. Ibnu Abbas lalu berkata : 'Hal ini telah dilakukan oleh orang yang lebih baik dariku (Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam). Sesungguhnya shalat Jum'at itu adalah kewajiban dan aku tidak ingin menyuruh kalian keluar (ke Masjid) lalu kalian berjalan di atas tanah yang becek dan licin'.

Or ang Yang Sh al at Berp al ing Se dik it D ar i Q iblat , A pa ka h H ar us M eng ul an gi S ha la tn ya? Minggu, 7 Agustus 2005 06:48:40 WIB Berpaling sedikit dari qiblat tidaklah membahayakan ini berlaku bagi orang yang jauh dari Masjidil Haram. Karena Masjidil Haram merupakan qiblat bagi orang yang shalat karena didalamnya ada Ka’bah. Oleh karena itu para ulama berpendapat : Barangsiapa yang dapat menyaksikan Ka’bah maka wajib baginya untuk menghadap langsung ke Ka’bah, maka orang yang shalat di Masjidil Haram menghadap kearah Ka’bah, kemudian tidak menghadap langsung ke Ka’bah, dia harus mengulangi shalatnya karena shalatnya tidak sah, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Palingkan mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” . Kalau orang tersebut jauh dari Ka’bah tidak bisa menyaksikannya walaupun masih berada di wilayah Makkah wajib baginya untuk menghadap ke arah qiblat, tidak mengapa berpaling sedikit, oleh karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada penduduk Madinah.

Hu ku m Me ma ka n B aw ang P ut ih , B aw an g Mer ah Se be lu m Sh al at Berja ma 'ah Di Masj id Selasa, 2 Agustus 2005 06:55:18 WIB Rasulullah Shallallahu wa sallam bersabda. “Barangsiapa makan bawang putih atau bawang merah, maka janganlah ia mendekati masjid kami dan hendaklah ia shalat di rumahnya, karena sesungguhnya para malaikat itu juga terganggu dengan apa-apa yang mengganggu manusia”. Hadits ini dan hadits-hadits lainnya yang semakna menunjukkan makruhnya seorang muslim mengikuti shalat berjama’ah selama masih ada bau barang-barang tersebut, karena akan mengganggu orang yang di dekatnya, baik itu karena memakan kuras (bawang daun), bawang merah atau bawang putih atau barang lainnya yang menyebabkan bau tidak sedap, seperti mengisap rokok, sampai baunya hilang. Perlu diketahui, bahwa rokok itu, selain baunya yang busuk, hukumnya juga haram, karena bahayanya banyak dan keburukannya sudah jelas.

Hu ku m Me ng an gk at S uar a Ketik a B er dz ik ir S ete la h Sh al at Rabu, 27 Juli 2005 21:49:49 WIB Ada suatu hadits dalam Shahihain dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: "Dahulu kami mengetahui selesainya shalat pada masa Nabi karena suara dzikir yang keras". Akan tetapi sebagian ulama mencermati dengan teliti perkataan Ibnu 'Abbas tersebut, mereka menyimpulkan bahwa lafal "Kunnaa" (Kami dahulu), mengandung isyarat halus bahwa perkara ini tidaklah berlangsung terus

menerus. Berkata Imam Asy-Syafi'i dalam kitab Al-Umm bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengeraskan suaranya ketika berdzikir adalah untuk mengajari orang-orang yang belum bisa melakukannya. Dan jika amalan tersebut untuk hanya pengajaran maka biasanya tidak dilakukan secara terus menerus.

Katego ri S halat Bag ai man a Car a Sh al atn ya M usa fir ? Jumat, 15 Juli 2005 06:56:23 WIB Shalat musafir adalah dua raka'at sejak saat dia keluar dari kampung halamannya sampai kembali kepadanya, berdasarkan kata-kata Aisyah Radhiyallahu 'anha. "Awal diwajibkannya shalat adalah dua rakaat, lalu ditetapkanlah hal itu untuk shalat di waktu safar dan disempurnakan shalat di waktu mukim", Dalam riwayat lain "dan ditambahi untuk shalat di waktu mukim". Anas bin Malik Radhiyallahu anhu berkata. "Kami keluar bersama Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dari Madinah menuju Makkah, lalu beliau shalat dua rakaat dua rakaat sampai kami kembali ke Madinah". Akan tetapi apabila seseorang shalat bersama imam, maka ia harus menyempurnakan shalat empat rakaat, sama saja apakah dia mengikuti shalat sejak awal atau kehilangan sebagian rakaat darinya.

Mu saf ir Se la ma Du a T ahu n, A pa ka h B ol eh Men gq as har S ha la t ? Minggu, 12 Juni 2005 20:45:39 WIB Yang dianggap musafir adalah yang tinggal selama empat hari empat malam atau kurang, berdasarkan riwayat dari hadits Jabir dan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tiba di Makkah waktu Shubuh tanggal 4 Dzulhijjah, saat Haji Wada. Lalu beliau tinggal disana pada hari keempat, kelima, keenam dan ketujuh, lalu shalat Shubuh di Abthah pada hari kedelapan. Pada hari-hari tersebut beliau mengqashar shalat, tentunya beliau telah merencanakan waktu tinggalnya itu. Maka setiap musafir yang merencanakan tinggal selama masa tinggal Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tersebut, atau kurang dari itu, ia boleh mengqashar shalat. Sedangkan yang merencanakan tinggal lebih lama dari itu maka hendaknya ia menyempurnakan shalat, karena ia tidak lagi tergolong musafir

Bers al am an, Berja ba t T an ga n S ete la h S ha la t Selasa, 22 Maret 2005 08:01:49 WIB Disukai bersalaman ketika berjumpa di masjid atau di dalam barisan, jika keduanya belum bersalaman sebelum shalat maka bersalaman setelahnya, hal ini sebagai pelaksanaan sunnah yang agung itu disamping karena hal ini bisa menguatkan dan menghilangkan permusuhan. Kemudian jika belum sempat bersalaman sebelum shalat fardhu, disyariatkan untuk bersalaman setelahnya, yaitu setelah dzikir yang masyru'. Sedangkan yang dilakukan oleh sebagian orang, yaitu langsung bersalaman setelah shalat fardu, tepat setelah salam kedua, saya tidak tahu dasarnya. Yang tampak malah itu makruh karena tidak adanya dalil, lagi pula yang disyariatkan bagi orang yang shalat pada saat tersebut adalah langsung berdzikir, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam setelah shalat fardhu.

Se pu tar H uk um Sha la t J am a D an Qa sh ar Minggu, 6 Februari 2005 19:28:30 WIB Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang melakukan jama'taqdim dan jama'ta'khir. Jama'taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan 'Isya' dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik. Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan 'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahuhu alaihi wa'ala alihi wasallam

Dima nak ah T empa t B er di ri nya Ma 'm um A pa bila Se or ang D ir i ? Jumat, 28 Januari 2005 14:05:00 WIB Pertanyaan diatas perlu sekali kita jawab dengan jelas dan betul dengan mengambil keterangan dan contoh dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dimanakah sebenarnya tempat berdiri ma'mum apabila seorang atau sendiri.? Apakah dibelakang Imam atau seharusnya sejajar dengan Imam .? Dengan kita melakukan penyelidikan untuk mengetahui contoh yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, dapatlah nantinya kita beramal sesuai yang dikehendaki oleh agama kita. Maka dalam kesempatan ini saya akan turunkan dalil-dalil yang tegas dan terang yang menunjukan tempat berdiri ma'mum kalau seorang

Kesa la ha n Or ang -Or ang Yang Sh al at Da la m Men gh ad ap Su tr ah Rabu, 29 Desember 2004 07:23:41 WIB

Wahai saudaraku pembaca, perhatikanlah -semoga Allah memberikan petunjuk kepadaku dan engkau- bagaimana perintahperintah itu datang dari Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam-, yang kalau mentaatinya berarti mentaati Allah. Tidaklah beliau berbicara dari hawa (nafsu)-nya, melainkan dari wahyu yang diturunkan. Bagaimana para sahabatnya memerintahkan dengan sesuatu yang beliau perintahkan, sehingga 'Umar -Radhiyallahu 'anhu- khalifah yang lurus, dialah yang mendatangi sahabat yang agung ketika dalam keadaan shalat, maka dia ('Umar) memegangi tengkuk sahabatnya itu untuk mendekatkannya ke sutrah, sehingga shalatnya menghadap kepadanya. Dan perhatikanlah, bagaimana Ibnu Mas'ud menyamakan antara shalatnya seseorang yang tidak menghadap ke sutrah dengan orang yang tidak memberikan jawaban ketika mendengar adzan."

Katego ri S halat An jur an Mem perb ag us Sha la t D an An cam an Bag i Sh al at Tanpa Atur an Selasa, 26 Oktober 2004 11:37:24 WIB Termasuk kekeliruan yang perlu diperhatikan dan diingat-ingat adalah apa yang menjadi kebiasaan banyak para imam shalat tarawih, dimana mereka membaca ayat dengan cepat, melakukan rukun-rukunnya dengan diringan-ringankan, dan membuang dzikir-dzikir didalamnya. Padahal para ulama telah menyatakan : Tata cara shalat itu tak beda dengan shalat-shalat lainnya, baik dalam syarat, adab-adab dan dzikir-dzikirnya, seperti ; do'a istiftah, dzikir-dzikir pada setiap rukun, doa seusai tasyahud, dan lain-lain. Diantaranya lagi, kebiasaaan mencari-cari ayat "Rahmat", dimana mereka hanya ruku' setelah membaca ayat-ayat tersebut. Terkadang hal itu menggiring mereka untuk melalaikan dua hal penting yang termasuk adab-adab shalat dan bacaan, yaitu : Lebih memanjangkan raka'at pertama dari kedua, dan memahami makna firman Allah yang saling terkait satu dengan yang lain.

Waji bn ya Sha la t B erja ma 'ah Senin, 25 Oktober 2004 21:26:52 WIB Tidak diragukan lagi bahwa meninggalkan shalat jama’ah tanpa udzur adalah termasuk kemungkaran yang wajib diingkari. Karena shalat lima waktu di masjid dengan berjama’ah adalah kewajiban bagi laki-laki. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang sangat banyak, diantaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Ada seorang laki-laki buta datang kepada Nabi dan berkata : ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya tidak mempunyai seorang penuntun yang bisa menuntun saya ke masjid. Adakah keringanan bagi saya untuk shalat di rumah ? Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : Apakah kamu mendengar panggilan adzan? Orang itu menjawab : Ya. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : kalau begitu kamu wajib datang ke masjid”

Hu ku m S hal at D i Ruma h Ba gi O ran g Y an g R um ahn ya J auh Da ri Ma sji d Senin, 25 Oktober 2004 15:59:29 WIB Anda wajib shalat bersama saudara-saudara anda kaum muslimin di masjid dengan berjama’ah, apabila anda mendengar adzan dari rumah anda tanpa pengeras suara dan tidak ada sesuatu yang menghalangi suara adzan tersebut. Jika rumah anda jauh dari masjid sehingga anda tidak mendengar suara adzan yang tidak memakai pengeras suara, maka anda boleh shalat di rumah atau di rumah tetangga. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang laki-laki buta ketika minta izin kepada beliau untuk shalat di rumah. Kata beliau : Apakah kamu mendengar suara adzan?. Orang itu menjawab : Ya. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Kalau begitu engkau wajib datang ke masjid.

Der aj at H adi ts Sh al at Tarawi h D ua P ulu h T iga R ak a' at Selasa, 19 Oktober 2004 13:05:14 WIB Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadlan (shalat tarawih) 20 raka'at atau 21 atau 23 raka'at tidak ada satupun yang shahih. Tentang ini tidak tersembunyi bagi mereka yang alim dalam ilmu hadits. Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa di zaman Umar bin Khattab para shahabat shalat tarawih 23 raka'at tidak ada satupun yang shahih sebagaimana keterangan di atas. Bahkan dari riwayat yang Shahih kita ketahui bahwa Umar bin Khattab memerintahkan shalat tarawih dilaksanakan sebelas raka'at sesuai dengan contoh Rasululullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

Sh al atn ya O ran g Y an g S ed an g S ak it Se sua i D en ga n K ema mpu ann ya Selasa, 5 Oktober 2004 07:26:34 WIB Orang yang sakit wajib melaksanakan shalat fardhu sesuai dengan kemampuannya, berdasarjab sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang tata cara shalat orang yang sakit. “Shalatlah dengan berdiri. Jika kamu tidak sanggup, shalatlah sambil duduk. Jika masih tidak sanggup, shalatlah sambil tidur miring” . Dalam riwayat An-Nasa’i ada tambahan : “jika engkau tidak bisa, boleh sambil terlentang”. Jika dia tidak bisa ruku dengan sempurna, dia boleh ruku dengan cara membungkukkan badannya sedikit sesuai dengan kemampuannya. Begitu juga tidak mampu sujud dengan sempurna, dia boleh sujud dengan cara membungkukkan badannya sesuai dengan kemampuannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian”

Jar ak An tar a A dza m De ng an I qama h Jumat, 20 Agustus 2004 10:04:00 WIB Jadikanlah antara adzan-mu dengan iqamat-mu ada kelonggaran, seukuran al-mu’tashir (menyelesaikan hajatnya dengan tidak tergesa-gesa) dan seukuran orang yang makan menyelesaikan makanannya dengan tidak tegesa-gesa” . Aku (Al-Albani) berkata : Kemungkinan inilah yang nyata, haditsnya tentang perintah untuk memberi jarak antara adzan dan iqamat, dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam ziyaadaatnya dari jalan Salim bin Qutaibah Al-Bahiliy dari Malik bin Mighwal dari Abu Al-Fadhl. Dia juga mengeluarkan hadits tersebut dari riwayat Mu’aarik bin Abbad dari Abdullah bin Fadhl dari Abdullah bin Abi Al-Jauza dari Ubaiy. Tentang Abdullah bin Al-Fadhl, ada biografinya di dalam At-Tahdziib.

Katego ri S halat Rin gka san Si fat Sha la t N ab i ; U cap an T asy ahu d D an Do 'a Se su dahn ya Selasa, 20 Juli 2004 09:43:32 WIB Tasyahud adalah wajib, jika lupa harus sujud sahwi. Membaca tasyahud dengan sir (tidak dikeraskan). Dan lafadznya : "Attahiyyaatu lillah washalawaatu wat-thayyibat, assalamu 'alan - nabiyyi warrahmatullahi wabarakaatuh, assalaamu 'alaiynaa wa'alaa 'ibaadil-llahis-shaalihiin, asyhadu alaa ilaaha illallah, asyhadu anna muhamaddan 'abduhu warasuuluh". Sesudah itu bershalawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengucakan : "Allahumma shalli 'alaa muhammad, wa 'alaa ali muhammad, kamaa shallaiyta 'alaa ibrahiima wa 'alaa ali ibrahiima, innaka hamiidum majiid". Allahumma baarik 'alaa muhammaddiw wa'alaa ali muhammadin kamaa baarikta 'alaa ibraahiima wa 'alaa ali ibraahiima, innaka hamiidum majiid".

Si fat Du du k Da la m Sh al at Du a R ak a'a t Senin, 19 Juli 2004 16:30:04 WIB Telah berselisih para ulama dalam masalah sifat duduk di dalam shalat yang dua raka’at seperti shalat shubuh, shalat jum’at, dan shalat-shalat sunat yang dua rakaat, apakah sifat duduknya iftirasy seperti duduk di antara dua sujud, atau tawarruk? Sebagian ulama berpendapat bahwa : Setiap shalat yang dua raka’at atau dengan kata lain setiap shalat yang hanya ada satu tasyahhudnya saja, seperti shalat shubuh, shalat jum’at, dan shalat-shalat sunat yang dua raka’at, sifat duduknya adalah iftirasy seperti duduk di antara dua sujud. Dalil meraka ialah kemutlakan hadits-hadits atau riwayat yang menjelaskan bahwa hukum asal sifat duduk di dalam shalat adalah iftirasy. Kecuali shalat-shalat yang ada dua tasyahhud-nya seperti shalat zhuhur, ashar, maghrib, isyaa’, dan shalat-shalat sunat yang empat raka’at, maka duduk akhirnya tawarruk.

Rin gka san Si fat Sha la t N ab i ; R uk u Da n S uju d Rabu, 14 Juli 2004 11:41:19 WIB Wajib berlaku tegak ketika sujud, yaitu tertumpu dengan seimbang pada semua anggota sujud yang terdiri dari : Dahi termasuk hidung, dua telapak tangan, dua lutut dan ujung-ujung jari kedua kaki. Barangsiapa sujud seperti itu berarti telah thuma'ninah, sedangkan thuma'ninah ketika sujud termasuk rukun juga. Mengucapkan ketika sujud. "Subhaana rabbiyal 'alaa" [Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi] diucapkan tiga kali atau lebih. Disukai untuk memperbanyak do'a saat sujud, karena saat itu do'a banyak dikabulkan. Menjadikan sujud sama panjang dengan ruku' seperti diterangkan terdahulu. Boleh sujud langsung di tanah, bolah pula dengan pengalas seperti kain, permadani, tikar dan sebagainya. Boleh sujud langsung di tanah, bolah pula dengan memakai alas seperti kain, permadani, tikar dan sebagainya

Rin gka san Si fat Sha la t N ab i ; N ia t, Takbir Da n Q ir a'a h Rabu, 14 Juli 2004 10:40:15 WIB Didalam membaca Al-Fatihah, disunnahkan berhenti pada setiap ayat, dengan cara membaca. (Bismillahir-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Alhamdulillahir-rabbil 'aalamiin) lalu berhenti, kemudian membaca. (Ar-rahmanir-rahiim) lalu berhenti, kemudian membaca. (Maaliki yauwmiddiin) lalu berhenti, dan demikian seterusnya. Demikianlah cara membaca Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam seluruhnya. Beliau berhenti diakhir setiap ayat dan tidak menyambungnya dengan ayat sesudahnya meskipun maknanya berkaitan. Boleh membaca. (Maaliki) dengan panjang, dan boleh pula. (Maliki) dengan pendek. Wajib bagi ma'mum membaca Al-Fatihah dibelakang imam yang membaca sirr (tidak terdengar) atau saat imam membaca keras tapi ma'mum tidak mendengar bacaan imam.

Rin gka san Si fat Sha la t N ab i ; Me ng ha da p K a' ba h D an Ber di ri Jumat, 9 Juli 2004 07:10:56 WIB Apabila anda - wahai Muslim - ingin menunaikan shalat, menghadaplah ke Ka'bah (qiblat) dimanapun anda berada, baik shalat fardlu maupun shalat sunnah, sebab ini termasuk diantara rukun-rukun shalat, dimana shalat tidak sah tanpa rukun ini. Ketentuan menghadap qiblat ini tidak menjadi keharusan lagi bagi 'seorang yang sedang berperang' pada pelaksanaan shalat khauf saat perang berkecamuk dahsyat. Dan tidak menjadi keharusan lagi bagi orang yang tidak sanggup seperti orang yang sakit atau orang yang dalam perahu, kendaraan atau pesawat bila ia khawatir luputnya waktu. Juga tidak menjadi keharusan

lagi bagi orang yang shalat sunnah atau witir sedang ia menunggangi hewan atau kendaraan lainnya. Tapi dianjurkan kepadanya -jika hal ini memungkinkan - supaya menghadap ke qiblat pada saat takbiratul ikhram, kemudian setelah itu menghadap ke arah manapun kendaraannya menghadap.

Me ma km ur kan Da n M end at ang i Ma sji d [U ntu k B eri ba da h] Kamis, 17 Juni 2004 11:18:32 WIB Masjid-masjid itu dibangun agar manusia mengerjakan shalat dan berdzikir kepada Allah, membaca Al-Qur'an dan taqarrub kepada-Nya, merendah di hadapan-Nya dan mengharapkan pahala di sisi-Nya. Sesungguhnya memakmurkan masjid adalah bagian terbesar untuk taqarub kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Di antara bagian dari memakmurkan masjid adalah membangun, membersihkan, membentangkan permadani, meneranginya dan masih banyak lagi bagian-bagian dari pemerliharaan masjid. Adapula memakmurkan masjid dengan i'tikaf di dalamnya, shalat dan senantiasa mendatanginya dengan berjama'ah, mengajarkan ilmu-ilmu yang bermanfaat, membaca Al-Qur'an, belajar dan mengajarkannya. As-Sunnah telah menjelaskan keutamaan dan balasan yang besar dalam memakmurkan, membangun dan memelihara masjid

Katego ri S halat Men una ik an Sh al at Jam a' ah D i L ua r Ma sji d Selasa, 15 Juni 2004 20:31:43 WIB Siapa saja yang mau merenungkan as-Sunnah dengan sebenarnya, ia akan mendapatkan kejelasan bahwa mengerjakan shalat berjama'ah di masjid itu adalah kewajiban yang telah ditetapkan, kecuali bagi orang yang berhalangan sehingga ia boleh meninggalkan shalat Jum'ah dan jama'ah. Meninggalkan masjid (shalat berjama'ah) tanpa udzur itu seperti meninggalkan asal perintah berjama'ah dengan tanpa udzur, hal ini telah disepakati oleh berbagai hadits dan atsar [Kitab Shalat Ibnu Qayyim alJauziyah 461]. Beliau berkata : " Demi Allah yang kita tunduk kepada-Nya, sesungguhnya tidak diperbolehkan bagi seorangpun untuk meninggalkan shalat berjama'ah di masjid kecuali orang yang memiliki udzur, wallahu 'alam bish shawab"

Hu ku m Be pe rg ia n P ada Ha ri Ju m' at , M usa fi r D an Sh al at Jum 'a t Rabu, 9 Juni 2004 16:29:15 WIB Tidak ada ketarangan shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau melaksanakan shalat Jum'at saat dalam perjalanan, bahkan riwayat menyebutkan bahwa beliau menjama' (mengumpulkan) dua shalat –dhuhur dan ashar- saat di Arafah dan itu terjadi pada hari Jum'at. Oleh karena itu ada keterangan-keterangan dari Shahabat yang menguatkannya. Dari Hassan Al-Bashri diriwayatkan bahwa Anas bin Malik menetap di Naisabur selama satu tahun -atau dua tahun- di selalu shalat dua raka'at lalu salam dan dia tidak melaksanakan shalat jum'at. Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu berkata "Tidak ada shalat Jum'at bagi Musafir". Ibnul Mundzir Rahimahullah berkata : "Keterangan yang dapat dijadikan dalil gugurnya kewajiban shalat Jum'at bagi musafir yaitu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam beberapa kali perjalanan-perjalanan beliau - Tetapi tidak ada keterangan yang sampai pada kami bahwa beliau melaksanakan shalat Jum'at

Waji bn ya Pelak san aan Sh al at D en ga n Ber jam a' ah Rabu, 19 Mei 2004 08:31:41 WIB Telah sampai khabar kepada saya, bahwa banyak orang yang menyepelekan pelaksanaan shalat berjama’ah, mereka beralasan dengan adanya kemudahan dari sebagian ulama. Maka saya berkewajiban untuk menjelaskan tentang besarnya dan bahayanya perkara ini, dan bahwa tidak selayaknya seorang Muslim menyepelekan perkara yang diagungkan Allah di dalam KitabNya yang agung dan diagungkan oleh RasulNya yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu wa Ta’ala banyak menyebutkan perkara shalat di dalam KitabNya yang mulia dan mengagungkannya serta memerintahkan untuk memeliharanya dan melaksanakannya dengan berjama’ah. Allahpun mengabarkan, bahwa menyepelekannya dan bermalas-malas dalam melaksanakannya termasuk sifat-sifat kaum munafiqin.

Men de ng ark an A dza n T ap i T idak Da ta ng Ke M asj id Jumat, 7 Mei 2004 08:16:27 WIB Diriwayatkan, bahwa seorang buta datang kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata : "Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid. Apakah aku punya rukhshah untuk shalat di rumah?" Kemudian beliau bertanya. "Apakah engkau mendengar seruan untuk shalat ? Ia menjawab, 'Ya', beliau berkata lagi, 'Kalau begitu, penuhilah'. Itu orang buta yang tidak ada penuntunnya, namun demikian Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap memerintahkannya untuk shalat di masjid. Maka orang yang sehat dan dapat melihat tentu lebih wajib lagi. Maka yang wajib atas seorang Muslim adalah bersegera melaksanakan shalat pada waktunya dengan berjama'ah.

Sh al at Su nna t D i Perja la nan , Men yamb un g S ha la t S un nat De ng an S ha la t F ar dh u Rabu, 28 April 2004 08:18:00 WIB Diantara petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan adalah mengqashar shalat fardhu saja. Dan tidak ada riwayat yang diperoleh dari beliau yang menunjukkan bahwa beliau mengerjakan shalat sunnat sebelum atau sesudahnya

dalam perjalanan, kecuali shalat witir dan shalat qabliyah Shubuh, karena beliau tidak pernah meninggalkan keduanya, baik ketika sedang tidak dalam perjalanan maupun sedang dalam perjalanan. Allah Subhanahu wa Ta'ala keringanan kepada musafir untuk mengerjakan dua raka’at saja dari shalat empat raka’at. Seandainya disyari’atkan lagi dua raka’at sebelum dan sesudahnya, maka sepatutnya menyempurnakan shalat fardhu yang diqashar.

Hu ku m Me re meh ka n S hal at Sabtu, 24 April 2004 08:52:45 WIB Meremehkan shalat termasuk kemungkaran yang besar dan termasuk sifat orang-orang munafik, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman : “ Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali” . Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada shalat yang lebih berat bagi orang-orang munafik daripada shalat Shubuh dan shalat Isya, dan seandainya mereka mengetahui apa yang terkandung pada keduanya, tentulah mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak” .

Katego ri S halat Hu ku m Me ni ng ga lka n S ha la t S hu buh Da ri W akt un ya Selasa, 13 April 2004 08:22:02 WIB Adapun orang yang ketiduran sehingga terlewatkan waktunya, maka itu tidak mengapa, ia hanya wajib melaksanakannya saat terbangun dan tidak berdosa, demikian juga jika ia ketiduran atau karena lupa. Adapun orang yang sengaja menangguhkannya hingga keluar waktunya, atau dengan sengaja mensetting jam hingga keluar waktunya sehingga mengakibatkan ia tidak bangun pada waktu shalat, maka ia dianggap sengaja meninggalkan, dan berarti ia telah melakukan kemungkaran yang besar menurut semua ulama. Akan tetapi, apakah ia menjadi kafir atau tidak ?

Hu ku m Me nan gg uh ka n S hal at H in gga Ma la m Ha ri Rabu, 7 April 2004 07:15:07 WIB Waktu-waktu shalat harus dikecualikan dari waktu kerja. Ketika tiba waktu shalat, seorang pekerja hendaknya membersihkan pakaiannya dari najis atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Adapun kotoran, maka kotoran itu tidak menghalangi shalat jika bukan merupakan najis atau tidak mengeluarkan bau busuk yang mengganggu dirinya, maka harus dicuci terlebih dahulu sebelum shalat atau menggantinya dengan pakaian bersih sehingga bisa melaksanakan shalat secara berjama'ah. Bagi orang yang mendapat udzur secara syar'i, seperti ; orang sakit dan musafir, maka dibolehkan menjama shalat Zhuhur dengan Ashar di salah satu waktunya, juga antara Maghrib dengan Isya di salah satu waktunya.

Keen gg an an P ar a So pir Un tu k S ha la t Ja ma 'a h Kamis, 1 April 2004 10:25:55 WIB Tidak dibenarkan mereka melarang para pekerja itu untuk melakukan shalat jama'ah, karena shalat jama'ah itu kewajiban syari'at, dan kewajiban syari'at itu harus dikecualikan (tidak kerja) dari jam kerja di kalangan kaum Muslimin, karena mentaati Allah dan RasulNya harus didahulukan daripada menta'ati manusia. Tapi jika pekerja itu terhalangi oleh untuk melaksanakan shalat secara berjama'ah dan tidak punya cara lain untuk berlepas dari pekerjannya, maka dalam kondisi seperti itu dibolehkan, karena ia terhalangi bukan karena kehendaknya, yaitu karena jika ia meninggalkan pekerjaannya maka akan menimbulkan bahaya.

Kacaun ya P ikir an K et ika Sh al at Kamis, 25 Maret 2004 21:58:22 WIB Jika anda sadar bahwa anda sedang shalat di hadapan Allah dan bemunajat kepadaNya, maka hal itu akan mendorong anda untuk khusyu' dan konsentrasi ketika shalat, syetan pun akan menjauh dari anda sehingga selamatlah anda dari bisikkannya. Jika dalam shalat anda terasa banyak godaan, meniuplah tiga kali ke samping kiri dan memohonlah perlindungan Allah tiga kali dari godaan syetan yang terkutuk, insya Allah hal ini akan membebaskan anda. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah menyuruh salah seorang sahabatnya melakukan itu, ketika orang tersebut berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya syetan telah menyelinap diantara diriku dan shalatku serta bacaanku, ia mengacaukan shalatku'.

Ger akan Da la m Sh al at Minggu, 21 Maret 2004 07:37:16 WIB Dimakruhkan melakukan gerakan sia-sia di dalam shalat, seperti menggerak-gerakan hidung, jenggot, pakaian, atau sibuk dengan hal-hal tersebut. Jika gerakan sia-sia itu sering dan berturut-turut, maka itu membatalkan shalat, tapi jika hanya sedikit

dan dalam ukuran wajar, atau banyak tapi tidak berturut-turut, maka shalatnya tidak batal. Namun demikian, disyari'atkan bagi seorang Mukmin untuk menjaga kekhusyu'an dan meninggalkan gerakan sia-sia, baik sedikit maupun banyak, hal ini sebagai usaha untuk mencapai kesempurnaan shalat. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa gerakan-gerakan yang sedikit tidak membatalkan shalat, juga gerakan-gerakan yang terpisah-pisah dan tidak berkesinambungan tidak membatalkan shalat.

Hu ku m Me ni ng ga lka n S ha la t Selasa, 16 Maret 2004 07:21:16 WIB Terdapat banyak hadits yang menjelaskan, bahwa orang yang meninggalkan shalat maka ia telah kafir. Akan tetapi berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas tetapi dia tetap mempercayai tentang wajibnya shalat, serta mengakui kekurangannya dalam hal meninggalkan shalat, akan tetapi karena ia mengikuti hawa nafsunya, mengikuti syaithan, mengikuti kesibukannya, dan dia tidak menganggap bahwa meninggalkan shalat itu boleh dan tidak pula menentang wajibnya shalat maka ia adalah orang yang beriman kepada wajibnya shalat walaupun hanya dengan hati tetapi tidak beramal sesuai dengan apa yang dia imani.

Katego ri S halat Hu ku m Or an g Y an g M eni ng gal ka n S ha la t Jumat, 12 Maret 2004 08:37:56 WIB Adapun berdasarkan pandangan yang benar, dikatakan, apakah masuk akal bahwa seseorang di dalam hatinya terdapat keimanan sebesar biji sawi, ia mengetahui agungnya shalat dan pemeliharaan Allah terhadapnya, namun ia malah senantiasa meninggalkannya ? Tentu saja ini tidak masuk akal. Jika diperhatikan alasan-alasan orang yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat tidak menyebabkan kekufuran, maka akan ditemukan alasan-alasan itu tidak keluar dari lima hal. Diantaranya : Karena tidak ada dasar dalilnya. Atau, hal itu terkait dengan suatu kondisi atau sifat yang menghalanginya sehingga meninggalkan shalat. Atau, hal itu terkait dengan kondisi yang diterima udzurnya untuk meninggalkan shalat.

Man ak ah W ak tu Y ang P alin g A fdha l U nt uk Me la ks ana ka n Sh al at Jumat, 5 Maret 2004 17:15:28 WIB Melaksanakan shalat sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh syar'i adalah lebih sempurna oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya : ' Amalan apakah yang paling dicintai Allah ? Beliau menjawab : Shalat tepat pada waktunya'. Beliau tidak menjawab (shalat pada awal waktu) dikarenakan shalat lima waktu ada sunnah untuk didahulukan pelaksanaannya dan ada yang sunnah untuk diakhirkan. Misalnya shalat isya', sunnah untuk mengakhirkan pelaksanaannya sampai sepertiga malam, maka apabila seorang wanita bertanya mana yang lebih afdhal bagi saya, saya shalat isya' ketika adzan isya' atau mengakhirkan shalat isya' sepertiga malam ? Jawabannya : Yang lebih afdhal kalau dia mengakhirkan shalat isya' sampai sepertiga malam

Hu ku m Me ni ng ga lka n S ha la t D en gan Sen ga ja Rabu, 3 Maret 2004 13:55:35 WIB Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja hukumnya kafir, ini berarti ia telah melakukan kekufuran yang besar menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, yang demikian ini jika orang tersebut mengakui kewajiban tersebut. Jika ia tidak mengakui kewajiban tersebut, maka ia kafir menurut seluruh ahlul ilmi, demikian berdasarkan beberapa sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. "Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat dan punckanya adalah jihad". "Sesungguhnya (pembatas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat". "Perjanjian (pembatas) antara kita dengan mereka adalah shalat, maka barangsiapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir".

Hu ku m S hal at D i Mas ji d Yang Ad a K ub ur an nya Di D al amn ya, D i H ala ma nn ya A tau D i Ar ah Kib lat nya Selasa, 2 Maret 2004 07:18:56 WIB Jika di dalam masjid tersebut terdapat kuburan, maka tidak shah shalat di dalamnya. Baik kuburan tersebut di belakang orangorang shalat maupun di depan mereka, baik di sebelah kanan maupun di sebelah kiri mereka, hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Allah melaknat kaum yahudi dan kaum nashrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah” Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka dan orang-orang shalih mereka sebagai tempat ibadah. Ketahuilah, maka janganlah kamu menjadikan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kamu dari hal itu”

Hu ku m S uju d T ilawah, S uju d S ah wi, Sh al at Na fila h

Minggu, 29 Februari 2004 08:53:01 WIB Jika ia lupa akan kelebihannya dan baru sadar ketika sudah selesai, maka ia wajib sujud sahwi. Jika sadarnya itu terjadi di tengah-tengah shalat, hendaklah ia kembali ke shalatnya lalu sujud sahwi. Contohnya, jika ia lupa shalat Zuhur lima raka'at dan baru ingat sedang tasyahud, hendaklah ia sujud sahwi dan salam. Jika ingatnya itu di tengah-tengah raka'at kelima, hendaklah langsung duduk tasyahud dan salam. setelah itu sujud sahwi dan salam. Cara di atas bersumber kepada hadits dari Abdullah bin Mas'ud yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah shalat Zhuhur lima rakaat. Lalu ditanyakan apakah ia menambahkan raka'at shalat .? Maka setelah para sahabat menjelaskan bahwa beliau shalat lima raka'at, beliau langsung bersujud dua kali setelah salam (shalat).

Hu ku m S hal at D i Mas ji d Yang Ad a K ub ur an nya Sabtu, 28 Februari 2004 20:35:24 WIB Masjid-masjid yang di dalamnya terdapat kuburan tidak boleh dipakai untuk shalat, dan kuburan-kuburan itu harus dibongkar dan dipindahkan mayat-mayatnya ke pekuburan umum, setiap jasad dikubur kembali masing-masing dalam satu lubang tersendiri seperti layaknya kuburan. Tidak boleh ada kuburan dibiarkan di dalam masjid, tidak kuburan wali dan tidak pula yang lainnya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dan memperingatkan hal tersebut, bahkan Allah telah melaknat kaum yahudi dan nashrani karena perbuatan itu. Diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda. “Allah melaknat kaum yahudi dan kaum nashrani karena mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah".

Katego ri S halat Sh al at Da n Ber suc i Ba gi Y an g S ak it Jumat, 27 Februari 2004 21:58:26 WIB Bagi yang sedang sakit terdapat beberapa hukum yang khusus dan mesti di pelihara, dan sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam di utus Allah dengan membawa agama yang hanif (lurus) berdasarkan kemudahan dan keringanan. Allah berfirman. "Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan". Ayat lain : Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu", ayat lain : "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu", Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda "Artinya : Sesungguhnya agama itu mudah".

Sh al at Sen di ri an Di Bel ak an g S ha f, Ber ma kmu m Kepad a O ran g Y an g S ed an g S ha la t Se nd ir ia n Rabu, 25 Februari 2004 22:13:03 WIB Ada beberapa pendapat tentang shalat sendirian di belakang shaf imam, diantaranya : Shalatnya sah tetapi menyalahi sunnah, baik shaf yang ada di depannya penuh atau tidak. Inilah yang terkenal dari ketiga imam madzhab ; Malik, Abu Hanifah, dan AlSyafi'i, dari riwayat Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka menafsirkan hadits kepada ketidaksempurnaan, bukan ketidaksahan : "Artinya : Tidak sempurna shalatnya orang sendirian di belakang shaf". Shalatnya batal, baik shaf yang di depannya penuh atau tidak. Dasar hukumnya adalah hadits : "Artinya : Tidak sah shalat bagi yang sendirian di belakang imam". Juga hadits yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melihat seorang lelaki shalat sendirian di belakang shaf, lalu ia disuruh agar mengulanginya kembali.

Hikm ah D ima su kk ann ya K ub ur an R as ul ul lah Sha lla ll ah u ' Ala ih i W a S al la m K e D ala m Mas ji d Rabu, 25 Februari 2004 21:34:08 WIB Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya tidak dikubur di dalam masjid, akan tetapi di kubur di rumah Aisyah, namun ketika perluasan masjid pada masa Al-Walid bin Abdul Malik di akhir abad pertama hijriyah, rumah tersebut dimasukkan ke dalam masjid (termasuk dalam wilayah perluasan masjid). Demikian ini tidak dianggap mengubur di dalam masjid, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua sahabatnya tidak dipindahkan ke tanah masjid, tetapi hanya memasukkan rumah Aisyah, tempat mereka di kubur, ke dalam masjid untuk perluasan. Jadi hal ini tidak bisa dijadikan alasan oleh siapapun untuk membolehkan membuat bangunan di atas kuburan atau membangun masjid di atasnya atau menguburkan mayat di dalam masjid, karena adanya hadits-hadits yang melarang hal tersebut.

Ses uat u Y an g Me mbu at S ha la t D imak ruh ka n Sabtu, 21 Februari 2004 13:19:36 WIB Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda : 'Jika shalat hendak didirikan, sedang makan malam sudah dihidangkan, maka mulailah dengan makan malam". Jika shalat hendak didirikan, sementara makanan dan minuman sudah dihidangkan, maka yang lebih dahulu dilakukan ialan makan dan minum, agar konsentrasi orang yang shalat tidak terpecah dan pikirannya tidak tertuju ke makanan dan minuman, agar hatinya teralihkan dari kekhusyu'an, yang menjadi inti shalat. Dengan catatan, jika waktunya tidak mepet dan sempit. Jika waktunya sempit, yang lebih didahulukan ialah shalat daripada mengerjakan yang lainnya, karena sesuatu yang disunatkan tidak dapat mengalahkan sesuatu yang wajib.

Sh al at Jam a' Taqdim Jumat, 20 Februari 2004 14:31:23 WIB Sesungguhnya diperbolehkan jama' pada waktu turunnya (dari kendaraan) sebagaimana diperbolehkan manakala berlangsung perjalanan. Imam Syafi'i dalam Al-Um, setelah meriwayatkan hadits ini dari jalur Malik, mengatakan : "Ini menunjukkan bahwa dia sedang turun bukan sedang jalan. Karena kata 'dakhala' dan 'kharaja' (masuk dan keluar) adalah tidak lain bahwa dia sedang turun. Maka bagi seorang musafir boleh menjama' pada saat turun dan pada saat berjalan'. Saya berpendapat : Dengan nash ini maka tidaklah perlu menghiraukan kata Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma'ad (1/189) menuturkan : "Bukanlah petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, melakukan jama' sambil naik kendaraan dalam perjalanannya, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan orang, dan tidak juga jama' itu harus pada waktu dia turun".

Bep er gi an Y ang Bo leh M el ak uk an S ha la t Q as har Selasa, 17 Februari 2004 17:20:05 WIB Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan : "Setiap nama dimana tidak ada batas tertentu baginya dalam bahasa maupun agama, maka dalam hal itu dikembalikan kepada pengertian umum saja, sebagaimana 'bepergian" dalam pengertian kebanyakan orang yaitu bepergian dimana Allah mengaitkannya dengan suatu hukum". Para ulama telah berbeda pendapat mengenai jarak perjalanan diperbolehkannya qashar shalat. Dalam hal ini ada lebih dari dua puluh pendapat. Namun apa yang kami sebutkan dari pendapat Ibnul Qayyim dan Ibnu Taimiyah adalah yang paling mendekati kebenaran, dan lebih sesuai dengan kemudahan Islam.

Katego ri S halat Wakt u- Waktu Sh al at Y an g Mak ruh Sabtu, 14 Februari 2004 14:04:41 WIB Memang ada beberapa waktu makruh untuk shalat ; sehabis waktu Fajar (Subuh) sehingga matahari mencapai tinggi 1 (satu) meter (setumbak), yakni kira-kira seperempat jam setelah terbit ; ketika matahari berada tepat di pertengahan siang hari sehingga tergelincir kira-kira lima menit lamanya ; setelah shalat Ashar sampai terbenam. Jika seseorang telah shalat Ashar, maka ia haram melakukan shalat hingga matahari terbenam kecuali pada shalat fardhu yang belum dilaksanakan berdasarkan umumnya makna hadits berikut : "Barangsiapa tertidur atau lupa belum shalat, hendaklah melakukannya ketika ia sadar".

Hu ku m S hal at Da lam P erj al ana n Kamis, 12 Februari 2004 11:42:12 WIB Safar merupakan salah satu sebab bolehnya bahkan menuntut meringkas shalat empat raka'at menjadi dau raka'at, baik wajib atau dianjurkan (mandub) menurut perbedaan pendapat yang ada. Tetapi yang benar, qashar shalat itu dianjurkan, bukan wajib walau dari zhahir nas terlihat wajib, sebab di sana sini masih banyak nas lainnya yang menunjukkan tidak wajib. Safar yang bisa membolehkan qashar shalat, berbuka puasa, menyapu dua sepatu atau dua kaos kaki, adalah tiga hari lamanya. Hal ini masih diperselisihkan ulama. Sebagian mereka mensyaratkan bahwa jarak qashar itu harus mencapai sekitar 81 Km. Sebagian lainnya tidak menentukan jarak tertentu yang penting sesuai dengan adat yang berlaku.

Sh al at Su nat Rawati b Da n P en eg asa n S hal at Du a R ak aa t F ajar Rabu, 11 Februari 2004 20:39:06 WIB Shalat sunat rawatib ini mempunyai faidah yang besar dan pahala yang agung, nerupa tambahan kebaikan, ketinggian derajat, penghapusan keburukan, menambal kekosongan dan menyempurnakan kekurangannya. Karena itu harus ada perhatian terhadap shalat rawatib ini dan menjaganya ketika berada di tempat. Adapun ketika dalam perjalanan, tidak pernah disebutkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adanya satu shalat rawatib kecuali dua rakaat fajar. Beliau tidak pernah meninggalkannya, baik ketika menetap maupun ketika dalam perjalanan.

Hu ku m S hal at Ja ma 'ah Kedua Senin, 9 Februari 2004 20:52:06 WIB Ulama fikih berbeda pendapat tentang hukum shalat jama'ah kedua. Sebelum aku menunjukkan perbedaan-perbedaan (pendapat) di antara mereka dan menjelaskan mana yang rajih (unggul) dan marjuh (lemah), aku perlu membatasi (pengertian) jama'ah (kedua) yang diperselisihkan itu. Permasalahan yang diperselisihkan adalah (shalat) jama'ah yang didirikan disatu masjid yang sebelumnya sudah didirikan oleh imam dan muadzdzin tetap (masjid tersebut). Adapun jama'ahjama'ah yang didirikan di tempat lain, seperti di rumah, di masjid jalanan, kompleks pertokoan tidak termasuk yang dipermasalahkan. Ulama-ulama mengambil pendapat, bahwa mendirikan jama'ah untuk kedua kalinya dalam satu masjid yang ada imam dan mu'adzdzin rawatibnya hukumnya makruh.

Tata Car a Me la ksa na kan Sh al at D i D al am P esa wat

Kamis, 5 Februari 2004 07:48:54 WIB Yang wajib bagi seorang Muslim ketika sedang berada di pesawat, jika tiba waktu shalat, hendaknya ia melaksanakannhya sesuai kemampuannya. Jika ia mampu melaksanakannya dengan berdiri, ruku' dan sujud, maka hendaknya ia melakukan demikian. Tapi jika ia tidak mampu melakukan seperti itu, maka hendaknya ia melakukan sambil duduk, mengisayaratkan ruku dan sujud (dengan membungkukkan badan). Jika ia menemukan tempat yang memungkinkan untuk shalat di pesawat dengan berdiri dan sujud di lantainya. maka ia wajib melakukannya dengan berdiri, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu"

Sh al at Da la m Kendar aa n Kamis, 5 Februari 2004 07:46:27 WIB Shalat di pesawat wajib dilakukan bila telah masuk waktunya. Tetapi jika kesulitan melakukan shalat di pesawat sebagaimana shalat di bumi, maka tidak usah melakukan shalat fardhu kecuali jika pesawat telah mendarat, dan waktu shalat masih mencukupi. Atau jika waktu shalat berikutnya masih bisa ditemui untuk melakukan jamak. Misalnya, jika anda tinggal landas dari Jeddah sebelum matahari terbenam, lalu saat diudara matahari telah terbenam maka anda tidak usah shalatmaghrib sampai pesawat mendarat di bandara, dan anda turun padanya. Jika anda khawatir waktunya habis maka niatkanlah untuk melakukan jamak ta'khir lalu melakukan jamak setelah turun.

Related Documents

All About Shalat
June 2020 33
Shalat
May 2020 32
All About Brands1
November 2019 32
All About Fractures
April 2020 21
All About Computers
June 2020 18

More Documents from "ENRICO SANORIA PALER, M.A."

Ilmu Tauhid
June 2020 32
All About Shalat
June 2020 33
Tauhid
June 2020 38
Isra Dan Mi
June 2020 23