Filosofi Menangis Oleh: Toto Dwi Arso 10/02/2009 3:36:11 AM Ketika manusia dilahirkan dari perut ibunya, tindakan pertama yang dilakukanya adalah menangis. Ini adalah satu aktivitas yang sangat penting baik bagi bayi maupun bagi keluarga yang sedang menerima kehadiran anggota baru keluarganya. Menangis selanjutnya menjadi aktivitas rutin si anak jika ia membutuhka sesuatu. Manangis adalah satu-satunya cara bayi untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang berada disekitarnya. Ketika ia merasa tidak nyaman karena ompolnya, ia akan menangis sejadi-jadimya agar si ibu mendatanginya dengan penuh cinta dan membersihkan kotoran yang ada dalam popoknya. Setelah popok diganti dengan yang beersih ia akan diam dan tidur nyenyak. Ketika lapar dan haus pun demikian. Ia akan melakukan itu (menangis) untuk mengatakan bahwa ‘ibu, aku tidak merasa aman/nyaman’. Yah, kira-kira itulah bahasa terjemahanya. Seiring berjalanya waktu si bayi sudah bias berdiri dan berkomunikasi. Namun apakah potensi menangis sudah hilang? Tidak. Ia masih menyimpanya. Dan akan menggunakanya ketika sensor ketidaknyamanan anak tersebut berkedip. Ketika terjatuh, atau diniaya orang yang lebih besar, ia akan melakukan itu. Namun pengendalianya sudah teratur. Ia tidak akan menangis sebagaimana ia dahulu waktu bayi. Ia akan menangis jika memang sudah tak ada lagi jalan lain untuk meluapkan kesedihan dan kejengkelanya dalam hal-hal tertentu. Lebih dari itu, menangis akan menjadi sebuah senjata yang luar biasa bagi kaum hawa dalam menaklukkan pasanganya. Namun ini adalah bahasan lain tentang the power of women tears. Manusia dewasa hanya akan menangis ketika emosional terdalamnya tersentuh. Perubahan perilaku ini tidak hanya dipengaruhi oleh umur dan kedewasaanya, namun lebih pada kemapuannya untuk menganalisa masalah dengan membedakan antara emosional yang menuntut meneteskan air mata denganyang tidak. Namun diantara tangisan yang paling bermakna adalah tangisan sebagai rekasi terhadap kejadian yang menimpa orang lain disekitarnya. Disinilah, air mata menjadi berharga. Karena air mata tidak dikeluarkan untuk dirinya; Bukan karena dirinya terancam atau merasakan kepiluan emosional. Namun tangisan dan air mata ini ditujukan untuk orang lain yang ada disekitarnya sebagai cara dia untuk meluapkan rasa kasih pada kaum lemah dan perlawanan terhadap ketidakadilan dan penindasan yang sedang dilihatnya. Ketika melihat seseorang disiksa atau dizalimi, dikedalaman hati manusia akan terasa pedih, hati terasa penuh, dada terasa sesak dan air mata menggenang di pelupuk mata. Inilah tangisan yang menggugah hati, dan menimbulkan efek positif. Efek positif yang dimaksud adalah
kesadaran akan hakikat manusia yang senantiasa membenci kejahatan dan membela yang lemah. Tanpa tangisan, manusia tak lebih dari sekawanan binatang yang biasa-biasa saja ketika melihat kawannya diterkam dan dimakan oleh predator lain. Namun tangisan terhadap Imam Husein bukan sekedar kasihan terhadap imam husein yang sedang teraniaya. Namun tangisan terhadap Imam Husein dalah symbol perlawanan terhadap segala macam bentu kezaliman dan pengkhianatan. Tangisan untuk Imam Husein adalah bentuk Tawalli dan tabarri. Artinya bahwa mereka yang tidak meneteskan air mata untuk Imam Husein, maka ia pasti tidak akan tergugah hatinya ketika melihat penindasan dan kezaliman. Mengapa? Karena Imam Husein adalah ukuran kebenaran. Imam Husein adalah symbol kebenaran dan keadilan. Jika imam dilawan, maka sudah pasti lawanya adalah kejahatandan kezaliman. Karena tidak mungkin kebenaran melawan kebenaran. Apalagi Imam sebagai kebenaran sedang dihancurkan, maka bagaimana mungkin manusia berakal akan tinggal diam dan bersikap acuh melihat peristiwa agung ini. Nabi Ayyub as menangis sampai buta matanya hanya karena ditinggal anaknya, padahal ia tahu bahwa anaknya masih hidup. Namun adakah manusia yang mengaku umat nabi saw kemudian acuh dengan penganiayaan yang dilakukan terhadap cucu nabinya? Sudah pasti, manusia itu sudah menukar harga dirinya sebagai manusia dengan sesuatu yang jauh lebih rendah dan hina. Wallahu a’lam. Sholawat!!!