FEMINISME Feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme juga terdiri dari beberapa bagian sosial, budaya, pergerakan politik,ekonomi, teori-teori dan filosofi moral. Kaum feminist disatukan dari pemikiran bahwa wanita di masyarakat memiliki kedudukan yang berbeda dengan pria, dan bahwa masyarakat terstruktur atas kepentingan kaum pria, yang merupakan kerugian bagi wanita. Menurut sejarah berkembangnya, feminisme terbagi menjadi 3 gelombang. Gerakan feminisme pertama berkembang sejak tahun 1800 sampai sekitar tahun 1930an. Gelombang pertama ini secara umum memiliki tujuan untuk meningkatkan kesamaan derajat dan hak wanita dengan pria. Dalam hal ini menyangkut hak pilih. Gelombang kedua dimulai pada akhir tahun 1960an. Gelombang dua merujuk kepada ide-ide dan gerakan-gerakan liberal kaum wanita. Gelombang ke tiga dimulai di awal tahun 1990an. Gelombang ketiga ini merupakan kelanjutan dari gelombang kedua, dan merupakan reaksi dari kegagalan di gelombang kedua.
GELOMBANG PERTAMA Bentuk awal daripada feminisme menyangkut persamaan hak antara wanita dan pria: dalam artian persamaan sebagai penduduk dalam kehidupan publik dan, lebih jauhnya berhubungan dengan persamaan status legal dalam rumah tangga. Ide ini timbul sebagai respon daripada revolusi Amerika (17751783) dan revolusi Perancis (1789-1799), keduanya mendukung nilai-nilai daripada kebebasan dan kesamaan hak. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme belum digunakan sampai akhir abad ke-19. Feminisme Gelombang Pertama ditandai dengan dikreasikannya kata Feminisme oleh aktivis sosial utopis, yaitu Charles Fourier pada tahun 1937, dan berkembangnya pergerakan center Eropa yang berpindah ke Amerika sejak ada publikasi dari John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Yang isinya sebagian terinfluens dari istrinya yaitu Harriet Taylor. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin)
khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki didepan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan kotbah-kotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam fakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat dijabat oleh pria. Banyak kotbah-kotbah mimbar menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus ´tunduk kepada suami!´ Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Dalam karya tulis ini, dia menuntut persamaan dan edukasi yang lebih baik untuk wanita dan menciptakan kritik terhadap sistem sosial yang menurunkan wanita ke posisi orang bawahan. Pada awal abad ke-19, grup2 kecil dari wanita kelas menengah di Inggris mulai menyuarakan edukasi yang lebih baik, hak-hak legal yang berkembang (terutama dalam pernikahan), kesempatan kerja, dan hak pilih. Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. Sampai di akhir abad ke-19, ada lagi pemikiran feminis muncul yang mempertanyakan perilaku sosial terhadap wanita. Perilaku ini di ekspresikan melalui representasi dalam wanita di literatur dan bentuk-bentuk seni dan peraturan-peraturan untuk perilaku wanita. Setelah menginjak abad ke 20, media di Amerika Utara dan Eropa jadi mengasyikkan dengan image dari “wanita baru”. Dalam hal ini, wanita tidak hanya melawan patriarki yang menuntut persamaan hak dalam masyarakat, tetapi juga dengan menantang adat dan memilih gaya hidupnya dan pakaiannya sendiri.
Tokoh-tokoh Feminisme Gelombang Pertama :
Mary Wollstonecraft Seorang penulis Mary Wollstonecraft yang menulis satu dari karya dokumen pertama yang hebat tentang feminisme, A Vindication of the Rights of Women, pada tahun 1792. (Tate Gallery, London/Art Resource, NY)
Lady Mary Wortley Montagu Pelopor era pencerahan di Eropa.
GELOMBANG KEDUA : Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Pendorong dari munculnya Feminisme Gelombang Kedua datang dari pergerakan hak-hak masyarakat, dan gerakan protes antiperang yang berlangsung pada tahun 1960 di Amerika Utara dan melalui protes-protes sosial yang terjadi di Eropa dan Australasia. Dalama gelombang kedua ini, terdapat kelahiran daripada dekonstruksionis. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Pergerakan kebebasan wanita, yang dimulai di Amerika Serikat, liberal yang sudah dikombinasikan, perhatian-perhatian yang berdasarkan hak-hak memperoleh persamaan antara wanita dan pria dengan tuntutan hak wanita untuk menentukan identitas dan sexualitynya sendiri. Pergerakan ini dimulai antara tahun 1970 dan 1978, diantaranya menuntut kesamaan gaji, kesamaan pendidikan dan kesempatan kerja, kesamaan finansial dan kebebasan yang legal, kebebasan selama 24 jam dalam mengasuh anak, kebebasan dalam menggunakan kontrasepsi dan tuntutan diperbolehkannya aborsi, hak wanita untuk mendefinisikan kecenderungan seksualnya dan menuntut akhir dari diskriminasi kepada kaum lesbian, dan pembebasan dari kekerasan dan paksaan dalam seks. Pergerakan Hak-Hak Wanita Di akhir 1960an wanita mulai bergerak untuk mendapatkan hak-hak yang sama. Mereka ingin menghentikan diskriminasi wanita di tempat kerja dan di rumah. Untuk menyelesaikan ini, wanita-wanita ini mulai melakukan march, berusaha untuk meluluskan Equal Rights Amendment (ERA). Wanita di foto itu ikut berpartisipasi dalam serangan wanita untuk memperoleh persamaan yang diadakan pada bulan Agustus 1970 di New York. (Encarta Encyclopedia, JP Laffont/Corbis)
Sentral dari Feminisme Gelombang Kedua adalah nosi bahwa personal adalah politikal, dalam hal ini masing-masing wanita secara individu tidak mengalami tekanan dalam isolasi, tapi sebagai hasil dari kehidupan sosial yang lebih luas dan sistem politikal. Ideologi ini secara besar di terinfluens dari tulisan yang dibuat oleh seorang Filosofis dari Perancis yang bernama Simone de
Beauvoir dan seorang feminis dari Amerika bernama Kate Millett, yang menuliskan perhatiannya pada bagaimana wanita ditindas oleh struktur-struktur yang ada pada masyarakat Barat. Dalam The Second Sex (1949) de Beauvoir berargumen bahwa budaya barat memandang pria sebagai sesuatu yang normal, dan wanita sebagai suatu penyimpangan, dan dia menyuarakan pengenalan sifat-sifat alami yang spesial dari wanita. Kate Millett, dalam Sexual Politics (1970), menggambarkan atensi untuk pervasive terhadap patriarki dan dimana hal ini dipaksakan dalam keluarga dan budaya. Gelombang kedua ini menekankan kepada perbedaan wanita dengan pria secara fisik dan psikologis. Beberapa feminis mengkritik psikoanalisis yang merupakan karya Sigmund Freud yang mengasumsikan bahwa semua manusia itu adalah atau harus seperti pria. Salah satu bagian dari feminisme yang kuat mengenai bagaimana pria mengendalikan dan memperbudak tubuh wanita. Bagaimana patriarki mengeksploitasi tubuh wanita dan mendorong terjadinya kekerasan terhadap wanita. Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks "all women". Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu. Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial. Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Friedan berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang. Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic
Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia. Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).
Tokoh-tokoh Dalam Feminisme Gelombang Kedua : Betty Friedan Buku yang dibuat oleh Betty Friedan yang berjudul The Feminine Mystique, yang menjadi best-seller, memperkenalkan dan mempromosikan ide bahwa wanita dapat menemukan kebahagiaannya dalam karir dan tidak ada hubungannya dengan membangun keluarga. Friedan menjadi pemimpin dalam pergerakan wanita, dan di tahun 1966 dia mendirikan National Organization for Women (NOW), yang melanjutkan hak-hak persamaan dan kebebasan wanita. Dalam foto ini terlihat Friedan dan Gloria Steinem menandatangani “ERAgram” untuk meminta Presiden Jimmy Carter untuk mendukung Equal Rights Amendment pada bulan Agustus tahun 1977. (UPI/The Bettmann Archive) Simone de Beauvoir Seorang penulis dan filosofis dari Perancis bisa disebut pelopor terbaik dari pergerakan feminist pada tahun 1960an. Bukunya yang berjudul The Second Sex, dipublikasikan pada tahun 1949, merupakan literatur feminis klasik. (CSU Archives/The Everett
Gloria Steinem Seorang penulis yang menjadi pimpinan dari liberasi dari pergerakan wanita di Amerika Serikat selama tahun 1970an. Dalam eksepsinya ditujukan kepada Wanita di Amerika, Steinem menghubungkan kampanye untuk persamaan jender dengan persamaan secara rasial. (UPI/THE BETTMANN ARCHIVE/Courtesy of Gordon Skene Sound Collection)
GELOMBANG KETIGA : Feminisme gelombang ketiga dimulai di awal tahun 1990an, melalui munculnya respons dari kegagalan yang ada pada gelombang kedua, dan juga merupakan respons dari pukulan terhadap inisiative dan pergerakan yang tercipta di gelombang kedua. Gelombang ketiga melihat kesempatan untuk menantang atau menghindari apa yang dipertimbangkan sebagai definisi esensia dari feminity dari gelombang kedua, yang menurut mereka terlalu menekankan kepada pengalaman dari wanita kulit putih kelas menengah keatas. Sebuah interpretasi post-structuralis daripada jender dan seksualitas merupakan pusat dari ideologi-ideologi yang ada di gelombang ketiga. Feminis di gelombang ketiga ini lebih fokus kepada “mikro politik” dan menantang paradigma di gelombang kedua tentang apa yang baik dan tidak untuk kaum wanita. Tokohtokoh pimpinan feminist : Gloria Anzaldua, bell hooks, Chela Sandoval, Cherrie Moraga, Audre Lorde, Maxine Hong Kingston, dan beberapa feminis kulit hitam, melihat negosiasi ruang antara feminis yang mempertimbangkan juga mengenai ras sebagai subjek. Gelombang ketiga juga mengandung debat antara perbedaan para feminis, seperti debat antara seorang psikologis bernama Carol Gilligan yang percaya bahwa ada perbedaan penting antara seks, dengan yang percaya bahwa tidak ada perbedaan yang melekat antara seks dan berpendapat mengenai peran jender dalam pengkondisian dunia sosial. Post Feminisme Post Feminism mendeskripsikan beberapa sudut pandang terhadap feminisme. Termin ini pertama kali digunakan pada tahun 1980an untuk mendeskripsikan pukulan melawan feminisme gelombang kedua. Post feminists mengatakan bahwa feminisme tidak lagi relevan pada masyarakat saat ini. Amelia Jones telah menuliskan bahwa tulisan post feminists yang muncul pada tahun 1980an dan 1990an melukiskan feminisme gelombang kedua sebagai sesuatu yang monolitik dan mengkritiknya menggunakan generalisasi. Beberapa feminis kontemporer, seperti Kathe Pollitt atau Nadine Strossen, mempertimbangkan bahwa feminisme hanya berpegang pada pernyataan bahwa “women are people”. Pandangan yang memisahkan seks daripada menyatukannya dipertimbangkan oleh penulis-penulis ini sebagai seksist, bukan feminist. Susan Faludi, dalam bukunya yang berjudul Backlash: The Undeclared War Against American Women, berargumen bahwa pukulan melawan feminisme gelombang kedua di tahun 1980 telah secara sukses mendefinisikan kembali feminisme lewat istilah-istilah yang ada. Menurut dia, tipe pukulan ini adalah trend sejarah, akan terulang ketika hal tersebut terjadi bahwa wanita telah menciptakan keuntungan yang substansial dalam hal usahanya untuk memperoleh persamaan hak.
Tokoh-tokoh Feminisme Gelombang Ketiga : Susan Faludi Melahirkan sebuah buku yang menciptakan kontroversi pada tahun 1991 yang berjudul Backlash : The Undeclared War Against American Women.
Angela Davis Dalam foto di samping menunjukkan Angela Davis sedang berbicara di Universitas Alberta pada 28 Maret 2006. Angela Davis merupakan salah satu orang pertama yang mengartikulasikan sebuah argumen yang berpusan pada interseksi dari ras, jender dan kelas dalam bukunya Women, Race, and Class.
ALIRAN-ALIRAN FEMINISME : Feminisme liberal Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal. Feminisme radikal Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal". Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. “The personal is political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah
Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Feminisme post modern Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial. Feminisme anarkis Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan. Feminisme Marxis Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus. Feminisme sosialis Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan baha patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
Feminisme postkolonial Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.” Feminisme Perancis Feminisme Perancis biasanya mengenai cabang dari pemikiran feminis dari grup feminis di Perancis dari tahun 1970 sampai 1990. Feminisme perancis, dibandingkan dengan feminisme Anglophone, dibedakan dengan pendekatannya dimana yang satu lebih filosofikal dan lebih literary. Tulisannya cenderung lebih efusif dan metaforikal, daripada fragmatik . Feminisme Perancis melakukan pendekatan terhadap feminisme dengan konsep écriture féminine (yang artinya wanita, atau feminin, tulisan). Karya dari seorang psikoanalisis dan filosofis bernama Julia Kristeva, telah mempengaruhi teori feminis secara umum dan kritikan terhadap tulisan feminis secara khususnya. Seorang ilmuwan bernama Elizabeth Wright menekankan, bahwa “tidak ada feminis Perancis ini yang bersekutu dengan pergerakan feminis seperti yang ada dalam dunia Anglophone.
Sumber tulisan : en.wikipedia.org id.wikipedia.org Microsoft ® Encarta ® 2008. © 1993-2007 Microsoft Corporation. All rights reserved.