FEMINISME ISLAM Faham yang membela dan memperjuangkan hak-hak perempuan KOMITMEN ISLAM DALAM MENGHORMATI PEREMPUAN 2. MEMBEBASKAN DARI KETERJEPITAN (QS. 16: 58-59) 3. MEMBEBASKAN DARI KEHINAAN (QS 17: 31). 4. MEMBEBASKAN DARI KUBUR HIDUP-HIDUP (QS. 81: 8-9) 5. MEMBEBASKAN DARI ANGGAPAN SBG HARTA WARIS (QS.4: 19) 6. MEMBEBASKAN DARI KERUSAKAN KELUARGA KRN PERKAWINAN (QS. 4: 22-23)
SYARIAH DAN PEREMPUAN Syariah diskriminatif (?): • • • • • • •
Laki-laki boleh beristri lebih dari satu (al-Nisa’/4: 2), Laki-laki Muslim boleh menikahi perempuan Ahli Kitab/ Yahudi dan Kristen (al-Maidah/5: 5), perempuan muslimah tidak boleh nikah dengan Ahli Kitab. Larangan menikahi perempuan Musyrik (al-Baqarah/2: 221), warisan laki-laki dan perempuan berbeda.(al-Nisa’/4: 11 dan 176) Perempuan hanya boleh bersaksi dalam kasus perdata, itu pun dinilai setengah dari laki-laki, tidak dalam kasus pidana. Laki-laki punya otoritas menceraikan (talak), perempuan tidak. Laki-laki pemimpin atas perempuan (Al-Nisa’/4: 34), perempuan tidak boleh jadi presiden/ jabatan publik
DALAM ISLAM, MUNGKINKAH PEREMPUAN JADI HAKIM, ANGGOTA LEGISLATIF, DAN PRESIDEN? JAWABANNYA, TERGANTUNG PERSPEKTIF ISLAMNYA ATAU DALAM PERSPEKTIF SIAPA?
IMAM MALIK, AL-SYAFI’I DAN AHMAD BIN HAMBAL: Hakim harus laki-laki tidak boleh perempuan, karena hakim diharuskan memiliki kecerdasan prima, sementara perempuan dianggap naqishat al-’aql, qalilat al-ra’yi, dan dapat menimbulkan fitnah. HANAFI DAN IBNU HAZM: Perempuan boleh jadi hakim, terbatas untuk menangani kasus perdata, tidak untuk pidana. karena hakim bukan penguasa. Fungsinya sama dengan mufti. IBNU JARIR AL-THABARI DAN HASAN AL-BASHRI Perempuan boleh jadi hakim untuk masalah perdata maupun pidana. Pendapat ini ditolak oleh Al-Mawardi karena dianggap menyimpang dari ijma’ dan QS. An-Nisa: 34.
JADI ANGGOTA LEGISLATIF (AHLU AL-HALLI WA AL-AQDI) ? AL-MAWARDI, ABU YA’LA, DAN AL-MAUDUDI: Tidak membolehkan perempuan jadi anggota legislatif. Selain alasan nash (QS. An-Nisa’: 30), karena keanggotaan perempuan dalam majelis ini membuka peluang bagi pergaulan dengan lain jenis yang jelas diharamkan Islam.
Sa’id Ramadhan al-Buthi: Membolehkan perempuan jadi anggota legisltif, karena fungsinya sama dengan mufti.
JADI PRESIDEN ? Fuqaha pada umumnya tidak membolehkan perempuan jadi presiden.
Syah Waliyullah ad-Dahlawi: Syarat seorang khalifah adalah: berakal, dewasa, merdeka, laki-laki, pemberani, cerdas, mendengar, melihat, dan dapat bericara.
Wahbah al-Zuhaili: Laki-laki sebagai syarat sebagai imam (kepala negara) merupakan ijma’ para ulama ahli fiqh. Tidak sah perempuan menduduki jabatan alimamah al-uzhma (kepala negara) dan gubernur. Nabi SAW dan Khualafa Rasyidun, dan para penguasa sesudahnya tidak pernah mengangkat perempuan menjadi hakim dan gubernur (wilayah balad).
Alasannya: QS. An-Nisa’ ayat 34 Laki-laki adalah qawwam (pemimpin, pelindung, penannggungjawab, pendidik, pengatur, dll yang semakna) atas perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) memberikan nafkah dari hartanya. Menurut ulama, kelebihan laki-laki atas perempuan karena Keunggulan akal dan fisiknya.
Al-Razi: kelebihan itu meliputi: ilmu pengetahuan dan kemampuan fisiknya (al-qudrah).
Zamakhsyari: kelebihan laki-laki atas perempuan karena akal, ketegasan (al-hazm), tekadnya yang kuat (al-’azm), kekuatan fisik(al-qudrah), secara umum memilki kemampuan menulis (alkitabah) dan keberanian (al-furusiyah wa ar-ramyu).
Ath-Thabathaba’i: Kelebihan laki-laki atas perempuan karena quwwatu at-ta’aqul, memiliki Keberanian, kekuatan, dan kemampuan mengatasi berbagai kesulitan. Sementara perempuan lebih sensitif dan emosional. Pendapat yang sama dikemukakan oleh al-Qurthubi, Ibnu Katsir, Muhammad Abduh, dan beberapa mufassir lain. Mereka berpendapat bahwa kelebihan laki-laki itu merupakan pemberian Tuhan yang alami dan kodrati.
Sekarang, realitasnya berlawanan dengan semua pendapat itu. Di mana-mana, perempuan sudah eksis menjadi pemimpin dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang politik dan jabatan-jabatan publik lainnya. Perlu reaktualisasi ajaran Islam, melalui tafsir kontekstual.