Ego, Hasrat, Dan Kuasa

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ego, Hasrat, Dan Kuasa as PDF for free.

More details

  • Words: 1,210
  • Pages: 3
opini

Ego, Hasrat, dan Kuasa Oleh: Andi Budi Prayitno Pembelajar filsafat, alumnus Pondok Pesantren Nurul Ihsan Baturusa DALAM satu kata, saya dapat menggambarkan kelemahan kita sebagai manusia: “ego”. Ya, ego. Barangkali tidak semua orang sependapat dengan saya, bahwa ego adalah kelemahan Boleh jadi Anda dan banyak orang di luar sana yang menjadikan ego sebagai kekuatan bahkan kelebihan. Saya kira bukan masalah dengan hal itu, dalam hal ini perbedaan pandangan adalah sah-sah saja. Yang ingin dan penting saya sampaikan di sini adalah: ego sering menjerumuskan kemanusiaan kita, membuat kita bertikai dan saling menyakiti satu sama lain. Ada dua macam ego yang kita miliki. Pertama, saya menyebutnya: ego pasif. Ego jenis ini membuat kita tidak mau disalahkan orang lain, tak ingin dianggap bodoh, lebih parahnya lagi tak terima bila dikritik. Sebaliknya, kita hanya ingin dianggap pandai, dianggap penting, dianggap berharga. Siapa pun orangnya, selama masih bernama manusia, sangat mendambakan yang namanya pujian dari orang lain. Yang berbeda barangkali pada porsinya saja. Ada orang yang betul-betul menggantungkan dirinya pada pujian, ada pula orang yang menanggapinya dengan sekadarnya saja. Yang pasti, tak ada seorang pun yang tak suka dipuji. Kedua, ego aktif. Ego yang satu ini membuat kita suka mengkritik orang lain. Kita senang menyalahkan orang lain dan membuat mereka kelihatan salah dan bodoh. Kita suka menunjukkan bahwa kita lebih pandai, lebih tahu, lebih berpengalaman, lebih bijak, dan lebih hebat. Bahkan kalau kita mau dan berani jujur pada diri sendiri, kita sejatinya memiliki kecenderungan suka dan senang menyakiti orang lain. Mungkin Anda akan menolak pernyataan saya itu dengan cukup keras. Akan tetapi, saya ingin mengajak Anda untuk merenunginya dalam-dalam dan secara sungguh-sungguh lalu berikan jawabannya kepada diri Anda sendiri. Kita sebenarnya suka menyakiti orang lain seperti kepada orangtua dan orang-orang tertentu yang tidak kita sukai. Kalau kemudian kita memutuskan tidak menyakiti mereka, sebenarnya hal itu bukanlah karena kita tidak mau menyakiti mereka. Kita hanya tidak mau melukai diri kita sendiri. Kita sepenuhnya sadar bahwa menyakiti orang-orang itu hanya akan membuat diri kita tersakiti. Menyakiti mereka hanya akan merusak kredibilitas kita. Jadi, kita sebenarnya hanya tidak ingin menyakiti diri kita sendiri. Dua varian ego itu mengandung dua hal yang bertentangan. Di satu pihak, kita tak suka dikritik, tapi di lain pihak kita suka mengkritik orang lain. Kita tak suka digurui tapi kita suka menggurui orang lain. Dua hal inilah yang sering membuat kita sulit bersinergi dengan orang lain. Kita memiliki ego yang sangat tinggi. Ego inilah yang membuat kita suka melukai hati dan menyakiti orang lain. Namun, ego yang sangat tinggi ini pulalah yang membuat kita mudah terluka dan sakit hati. 0100090000037800000002001c00000000000400000003010800050000000b0200000000050 000000c022600530e040000002e0118001c000000fb021000070000000000bc0200000000010 2022253797374656d0000530e000084e10000801c110004ee833908e05b030c0200000400000 02d01000004000000020101001c000000fb029cff00000000000090010000000004400012546 96d6573204e657720526f6d616e0000000000000000000000000000000000040000002d0101 00050000000902000000020d000000320a5a00000001000400000000004f0e2600200f2d0004 0000002d010000030000000000 1

Dunia ini memang dipenuhi orang-orang yang memiliki ego yang sangat tinggi. Ini membuat sinergi sulit sekali dilakukan. Di rumah, ego yang tinggi akan membuat bahtera rumah tangga karam dan berakhir dengan perceraian. Di kantor juga demikian. Atasan suka seenaknya memerintah bawahan, kadang dengan cara yang kurang santun alias kasar, tanpa mempertimbangkan perasaan bawahan. Bukannya memberi perhatian dan penghargaan, tetapi malah merendahkan dan melecehkan mereka. Sesama rekan kerja suka saling menjelekkan. Bukannya membantu teman yang kesusahan, tetapi malah menciptakan kesulitan buat teman. Banyak orang yang ingin kelihatan hebat dan lebih unggul dari yang lain, tapi dengan cara yang buruk. Semuanya karena ingin dirinya dianggap penting. Di dunia politik juga tak kalah serunya. Orang saling bersaing, bila perlu saling sikut dan saling menjatuhkan, saling mengklaim dirinyalah yang paling benar dan berhak. Situasi ini menciptakan “lingkaran setan” (vicious circle) yang tak pernah ada habisnya karena tak berujung. Sebetulnya untuk mengubahnya tidak terlalu sulit. Caranya sederhana, hanya dibutuhkan satu orang yang mau berpikir “menang-menang” (win-win solution). Ialah pemimpin. Banyak orang yang ingin menang tapi lupa bahwa orang lain juga menginginkan kemenangan. Mereka lupa bahwa ‘menang-menang’ memang tak akan dapat dicapai jikalau kita tidak memulainya dengan mengubah pola berpikir (mind-set) kita sendiri. “Mau menang sendiri” adalah ego terbesar yang dimiliki seorang pemimpin: pimpinan pemerintahan, perusahaan, agama, masyarakat, rumah tangga. Inilah akar dari setiap masalah. Pemimpin sering bilang mereka adalah pemegang kebenaran. Dengan menyatakan “saya yang paling benar dan paling bijaksana memimpin”, dan “saya tak punya kesalahan”, itu sudah merupakan awal dari kehancuran. Seorang pemimpin mestinya berani mengakui kesalahan, tidak mencari kambing hitam dan berpura-pura (hipokrit). Seorang pemimpin, menurut filsuf Jerman Karl Popper, pertama-tama harus mencari dan menemukan sendiri kesalahannya, lalu menyingkirkannya secara sistematis dan kemudian menganalisisnya untuk belajar darinya. Hanya dengan sikap seperti itu kesalahan menjadi reflektif karena ada kesediaan untuk menyingkirkannya secara sistematis. Yang terpenting dari seorang pemimpin adalah kesadaran bahwa ‘ingin menang sendiri’ itu sebetulnya tidak realistis. Kalau semua orang ‘ingin menang sendiri’, apa yang akan kita dapat? Seseorang baru disebut pemimpin bila ia mampu menurunkan egonya ke level yang paling minimal. Ego itu sendiri sebenarnya dibutuhkan, kalau bisa dianggap sebagai ‘potensi’. Karena tanpa ego kita tak akan memiliki kepercayaan diri dan harga diri. Seorang pemimpin harus menyadari, kunci menjalin hubungan baik dengan orang lain adalah menjaga ego dan harga diri orang lain. Dengan gagasan itu, satu jalan sulit mesti ditempuh. Pemimpin harus bersikap kritis terhadap dirinya sendiri dan bersedia menerima kritik dari orang lain. Ia harus berangkat dari pikiran, “saya mungkin salah dan orang lain barangkali benar”. Karena itu, ia tak akan mengkritik orang lain sebelum benar-benar meyakini bahwa kritikannya itu akan memberikan manfaat. Ia berusaha memperbaiki dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum memberanikan diri mengkritik orang untuk memperbaiki diri. 0100090000037800000002001c00000000000400000003010800050000000b0200000000050 000000c022600530e040000002e0118001c000000fb021000070000000000bc0200000000010 2022253797374656d0000530e000084e10000801c110004ee833908e05b030c0200000400000 02d01000004000000020101001c000000fb029cff00000000000090010000000004400012546 96d6573204e657720526f6d616e0000000000000000000000000000000000040000002d0101 00050000000902000000020d000000320a5a00000001000400000000004f0e2600200f2d0004 0000002d010000030000000000 2

Seorang pemimpin tak akan pernah memberikan kritik sekadar untuk memuaskan dirinya sendiri, menunjukkan bahwa ia punya kuasa. Ini memang sulit. Sebab, orang cenderung bermain dengan kekuasaan. Hasrat atau kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht), kata Friedrich Nietzsche (1844-1900), merupakan inti hidup manusia. Masalahnya, orang kadang lupa dan tak sadar bahwa kehendak untuk berkuasa dan kekuasaan yang saat ini diduduki sesungguhnya sedang dan telah mempermainkannya. Kekuasaan memang mengasyikkan dan menggoda, membuat para pemimpin bermegah-megah—dan rakyat bermegap-megap. Tetapi, perlu dicatat, kekuasaan juga yang menghempaskan mereka secara keji ke lubang kehancuran/kerusakan. Saya teringat satu pesan yang pernah disampaikan almarhum Nurcholish Madjid (Indonesia Kita, 2003). Cak Nur mengajak kita dan terutama pemimpin untuk sudi bersikap asketis, yaitu ingkar diri sendiri (self denial) dan tidak menikmati reward perjuangan dalam jangka pendek, serta menunda kesenangan (to defer the gratification). Dia beramsal tentang asketisme, “Jadilah pohon bambu, jangan menjadi seperti pohon pisang. Daun pisang lebar sehingga membuat anak-anaknya tidak kebagian sinar surya. Sementara bambu rela telanjang asalkan anaknya, rebung, berpakaian lengkap dan tercurahkan sinar surya. Tugas pemimpin—dan juga tugas setiap manusia dengan demikian, menurut hemat saya, dapat disimpulkan dalam satu kalimat berikut: menundukkan egonya sendiri dan menjaga ego orang lain. Atau dalam bahasa agamanya, “menundukkan hawa nafsu” (dan berorientasi kepada kebahagiaan kolektif). Sebab itu, partai politik yang sukses mengusung calon legislatornya dan caleg yang unggul dalam Pemilu Legislatif 2009 sehingga duduk di legislatif, termasuk presiden dan wakil presiden terpilih, seyogianya tidak tergesa-gesa menikmati reward dalam jangka pendek. Tapi berdiri dan tampillah bagai pohon bambu yang melindungi para rebung, bukan pohon pisang berdaun lebar yang egois dan oportunis. Sederhana memang, tetapi perlu perjuangan besar dan terus-menerus untuk bisa melakukannya. Sebagai penutup, ilustrasi berkenaan dengan seorang pemimpin yang pernah disampaikan ekonom Sri Edi-Swasono ada baiknya dikutipkan di sini, “Bila ia matahari, menyinari semua. Bila ia angin, mengelu-elus semua. Bila ia air, mengaliri semua. Bila ia bumi, rela menjadi pijakan publik.” []

0100090000037800000002001c00000000000400000003010800050000000b0200000000050 000000c022600530e040000002e0118001c000000fb021000070000000000bc0200000000010 2022253797374656d0000530e000084e10000801c110004ee833908e05b030c0200000400000 02d01000004000000020101001c000000fb029cff00000000000090010000000004400012546 96d6573204e657720526f6d616e0000000000000000000000000000000000040000002d0101 00050000000902000000020d000000320a5a00000001000400000000004f0e2600200f2d0004 0000002d010000030000000000 3

Related Documents

Hasrat
October 2019 6
Ego
June 2020 22
Kuasa Dan Keabsahan
May 2020 11
Ego
July 2020 30