Edisi September

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Edisi September as PDF for free.

More details

  • Words: 4,560
  • Pages: 6
Open Recruitment Coming soon, Kaderisasi “TIANGBENDERA” Institut sosial humaniora 'Tiang Bendera' Merupakan Unit kajian dan diskusi, akan mengadakan Open Recruitment Keanggotaan Organisasi.

PERTEMUAN PERDANA, Selasa 08 September 2009 pukul 17.00 WIB. @ Ruang Tengah Suncen Court ITB Bagi teman-teman yang telah mendaftar maupun belum medaftar, silahkan menghadiri pertemuan perdana. Cp: 081511005045(Lele) Kegiatan Tiben adalah : Nongkrong, Ngobrol(Diskusi), Bercanda, Tertawa bersama. Salam Humaniora!!!! Lanjutan Forum Rembug 2 Sungguh ironis keberjalanan kemahasiswaan kita yang kurang lebih baru berumur satu dasawarsa. Ketika kongres telah melemah, maka fungsi control terhadap cabinet jelas tidak berjalan. Dampak yang terjadi, sungguh akan sangat “berbahaya” bagi kemahasiswaan kita, bukan hanya inkonsitensi kita terhadap tujuan kemahasiswaan tersebut, namun, kosongnya fungsi control saat ini, akan memicu “kekuasaan” yang terlalu besar dari cabinet, sehingga bukan tidak mungkin, jika cabinet melakukan kesalahan, tidak ada yang mengetahui, atau kita terlambat untuk mengetahui. Hal ini pun dapat memicu lembaga-lembaga kampus (unit dan himpunan) untuk langsung terjun dalam fungsi control tersebut, dan mungkin saja lebih massive daripada kongres. (konsepsi kemahasisaan menyebutkan “…..maka menjadi tugas mahasiswa, himpunan mahasiswa, dan unit untuk melakukan control aktif secara informal.”) Hal ini menjadi cerminan bagi kita, sekaligus tamparan apakah kita siap untuk ber-KM ITB, atau memang system KM ITB tidak cocok untuk kemahasiswaan kita?? Massa kampus dan elemen lembaga kampus harus sadar pentingnya persatuan dan kesatuan dalam kemahasiswaan, apalagi himpunan sebagai penyususn utama kemahasiswaan ITB, seharusnya bisa menunjukkan perannya untuk membangun kemahasiswaan dan memperjuangkan tujuan kemahasiswaan kita. Ketika himpunan melemah, kongres pun melemah, sementara cabinet “kurang membumi” di kemahasiswaan kita, dan unit pun sibuk dengan mengurus “minat dan bakat” mahasiswa, maka kita hanya mempertontonkan kemandulan dari kemahasiswaan ITB. Apa layak kita masih berkemahasiswaan, ketika kita telah mandul?? Apakah diperlukan forum rembug 2?? Atau pembubaran KM ITB?? Dan Apa kabar himpunan?? REDAKSI CARPEDIUM Pelindung : TYME Pimpinan Umum : Samuel TM'06 Pimpinan Redaksi:Turnip MA'06 Kontributor :Samuel, Rafael, Turnip Tata Letak : Turnip MA'06 Distribusi : Tiben dan Mahasiswa ITB

MEDIA TIBEN Http://tiangbenderaitb.wordpress.com Email :[email protected]

Kasus Pencurian Budaya Indonesia Oleh : Samuel Sekitar empat puluh lima tahun yang lalu, Indonesia pernah berkonflik dengan Malaysia. Pada waktu itu marak diteriakkan “Ganyang Malaysia” oleh Presiden Soekarno pada Malaysia. Konflik tersebut dipicu oleh rencana Inggris yang hendak menyatukan wilayah koloninya di Kalimantan dan Semenanjung Malaya dalam satu wilayah Malaysia. Soekarno pada waktu itu menentang rencana tersebut, karena Soekarno menduga hal tersebut akan mengancam kemerdekaan Indonesia dan bentuk penjajahan baru. Namun, tahun 1966 konflik tersebut diakhiri dengan perjanjian damai antara kedua Negara. Belakangan ini, konflik antara Malaysia dan Indonesia mulai kembali mencuat semenjak pihak Pemerintah Malaysia mengklaim beberapa budaya Indonesia. Tentu kita masih ingat dengan kain batik yang merupakan salah satu khazanah budaya Indonesia yang pertama kali diklaim oleh Malaysia. Tiba-tiba Malaysia memperkenalkan kain batik sebagai barang buatan asli Malaysia ke mancanegara di awal tahun 2000. Para perajin batik di Pekalongan, Jawa Tengah, sempat mengeluhkan tindakan Pemerintah Malaysia yang akan mematenkan batik sebagai barang buatan mereka. Berlanjut dengan lagu Rasa Sayange yang diklaim oleh Malaysia sebagai budaya Malaysia yang digunakan dalam agenda “Visit Malaysia Year 2007”. Dalam video yang beredar di Internet, lagu Rasa Sayange itu diberi judul Rasa Sayang Eh. Menurut Pemerintah Malaysia, lagu Rasa Sayange dibuat pada 1907 oleh orang Malaysia. Tak hanya itu, tarian Reog Ponorogo pun diklaim sebagai budaya Malaysia dengan diberi nama tarian Barongan. Sejumlah lain kekayaan budaya Indonesia juga turut diklaim pihak Malaysia, yaitu lagu khas Betawi yang berjudul Jali-Jali dan alat musik angklung. Makanan rendang yang merupakan makanan khas daerah Padang pun sudah diklaim sebagai makanan rumpun Melayu atau makanan Malaysia. Pihak Malaysia juga mengklaim bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa Malaysia atau bahasa Melayu. Hal ini pernah diucapkan oleh Wakil Duta Besar Malaysia untuk Indonesia, Datuk Abdul Aziz Harun. Dan saat ini, tengah ramai dibicarakan di media massa terkait klaim pihak Malaysia pada tari Pendet yang berasal dari Bali yang digunakan dalam ikaln Pariwisata Malaysia. Berikut ini adalah daftar artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan, diklaim, dan atau dieksploitasi secara komersial oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun negara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

(2)

Batik dari Jawa oleh Adidas Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia Naskah Kuno dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia Rendang dari Sumatera Barat oleh Oknum WN Malaysia Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Belanda Sambal Petai dari Riau oleh Oknum WN Belanda Sambal Nanas dari Riau oleh Oknum WN Belanda Tempe dari Jawa oleh Beberapa Perusahaan Asing Lagu Rasa Sayang Sayange dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia Tari Reog Ponorogo dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia

Forum Rembug 2..…..?? Sudah hamper tujuh bulan kita melewati waktu saat forum rembug yang dilaksanakan oleh kongres pada februari 2009. Beberapa orang senator menggagas forum rembug untuk menegaskan komitmen massa kampus yang terwakili oleh lembaga-lembaga unit dan himpunan tentang kemauan untuk ber-KM ITB!! Berlangsung hingga melewati tengah malam, akhirnya dapat dirumuskan satu suara untuk terur melanjutkan kemahasiswaan yang terjewantahkan dalam KM ITB. Khususnya, lembaga-lembaga setuju untuk memperkuat legitimasi kongres yang diisi oleh senator sebagai perwakilan lembaga. Keberjalanan kemahasiswaan terpusat pun berlanjut dengan forum kompersis (komisi perubahan system) yang merumuskan kembali konsep KM ITB, serta pengajuan beberapa perubahan pada konsepsi kemahasiswaan, dan secara khusus menyentuh pembahasan structural KM ITB. Para wakil lembaga yang turut serta dalam kompersis berjalan tersendat-sendat, namun beberapa pihak akhirnya mengajukan usulan final yang telah disampaikan pada forum dan kongres, namun hingga saat ini, belum ada follow up lebih lanjut. Saat ini, setelah kongres baru dilantik pada april 2009, keberjalanan kongres hingga saat ini berusaha merumuskan dan mengesahkan beberapa kebijakan seperti RUK. Namun, hingga 18 Agustus 2009, kelemahan kongres dan kemahasiswaan yang ada dari awal mula keberjalanan KM ITB hingga forum rembug kembali terulang, dan bahkan bukan tidak mungkin keadaan saat ini cenderung makin parah. Dalam forum itu dihasilkan sebuah konklusi yang sungguh diluar harapan forum rembug yang telah dilaksanakan pada februari 2009 (hanya satu semester setelah forum rembug), melalui milis agenda ganesha ditulis berita sebagai berikut : “Rapim yang dilaksanakan 180809 mendapatkan sevbuah konklusi bahwa dalam satu bulan ini masing-masing lembaga (yang hadir) sepakat untuk mengadakan perbaikan dan partisipasi aktif dalam pengawasan masing-masing senatornya, dan akan kita lihat apakah akan ada perbaikan kinerja dari senator2 yang ada. Dan internal kongres sendiri akan mencoba memperbaiki sistematisasi kerja dan keefektifan kerja sehingga tercipta kenyamanan senator untuk berkumpul dan bekerja sesuai fungsinya di kongres KM ITB. Jika dalam sebulan ini tidak terjadi perbaikan yang berarti, maka aka nada tindak lanjut terhadap masalah ini, bukan tidak mungkin kita akan menyatakan bahwa mahasiswa S1 ITB tidak mampu ber KM ITB, sehingga KM ITB (dan semua organ pembentuknya) untuk sementara waktu akan kita bekukan sampai kita kembali siap berKM ITB. Oleh karena itu, dalam satu bulan ini, kongres akan tetap menjalankan aktifitas seperti biasa, dan masing-masing lembaga (himpunan dan unit) mulai membenahi pengawasan terhadap kinerja senatornya.” Dengan lembaga yang hadir HMS, Skor Hoki, Aikido, MTI, IMA-G, MUSI, IMMG, IMG, KMKL, Nymphaea, Himastron, Patra, KPA, HME, LSS, KSEP, UGreen, HMP, Tarung Derajat, HIMAFI, HMIF, HIMATEK, MTM, G-TV, Persma, Gamais, Karate, dan HMTL. Insitut Sosial Humaniora ”Tiang Bendera” ITB juga terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung untuk sekedar berdiskusi dan mengkaji segala fenomena. Saat ini ”Tiang Bendera” bertempat di gedung tengah Sunken Court kampus ITB. Kami mengundang kawan-kawan untuk datang dan berdiskusi bersama kami di sekretariat kami. Untuk mendapatkan bulletin Tiang (11) Bendera, dapat menghubungi kami di sekretariat.

Penggunaan Sasana Budaya Ganesha ITB sebagai tempat deklarasi pasangan CapresCawapres SBY-Boediono. Saai ini, kepengurusan Sabuga bukan lagi di tangan pihak ITB sepenuhnya, namun penggunaannya diatur oleh pemerintah daerah kota Bandung, dan juga penggunaannya beberapa tahun ke belakang lebih banyak untuk tujuan komersial. Namun, tetap saja image Sabuga melekat dekat dengan ITB. Sabuga tetaplah salah satu fasilitas yang dimiliki ITB. Publik dan masyarakat luas lebih mengenal Sabuga sebagai bagian dari ITB. Sehingga, aksi penolakan deklarasi partai politik tersebut memang layak dilakukan dan sudah seharusnya dilakukan. Kalau aksi tersebut tidak dilakukan, maka hal ini akan menjadi “tamparan keras” pada kemahasiswaan, terutama ITB yang telah dikenal masyarakat luas semenjak dahulu. Ilmu pengetahuan sebagai pencarian kebenaran bersifat universal, netral dan tidak memihak. Itulah mengapa Kampus sebagai lembaga pendidikan berperan sebagai penjaga nilai-nilai universal tersebut dan seyogyanya bebas dari kepentingan apapun terutama politik praktis, apalagi saat-saat menjelang Pemilu RI. Sayangnya Pihak Rektorat tidak peka dengan hal mendasar diatas dengan membiarkan adanya deklarasi salah satu pasangan capres-cawapres di Sasana Budaya Ganesha ITB. Banyak kecurigaan berbagai pihak tentang adanya politik praktis dalam kampus Ganesha, namun sampai saat ini masih belum terbukti, apakah benar atau hanya isu belaka. Namun, yang terpenting kampus haruslah netral dari “politik panas” yang tengah berlangsung saat ini, karena kampuslah yang seharusnya masih bisa dipercaya oleh masyarakat ketika tengah terjadi krisis kepercayaan di negeri ini. Diskusi politik, sebagai kegiatan intelektual akademis tentu diperbolehkan di Kampus. Hal ini juga terjadi pada Pemilu di Amerika Serikat dimana ketika itu para Capres berdebat di depan publik di kampus. Namun Pendeklarasian Pasangan salah satu Capres-Cawapres yang diajukan Partai Politik dalam fasilitas Kampus jelas merupakan pelecehan terhadap netralitas Kampus. Berikut peraturan perundangan tentang Pilpres dalam UU 42 2008 : 1). Bagian Keempat, Larangan dalam Kampanye Pasal 41ayat 1 bagian h : Pelaksana, peserta, dan petugas Kampanye dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan; Dalam pasal 33, Deklarasi Capres Cawapres termasuk dalam kegiatan kampanye, yaitu kampanye yang dilakukan dengan prinsip jujur, terbuka, dialogis serta bertanggung jawab dan merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat. 2). Pasal 38 ayat 1 bagian h : Kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 dapat dilaksanakan melalui kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perundangan. Dalam penjelasan pasal 38 ayat 1 bagian h, dikatakan bahwa “kegiatan lain” yang dimaksud dalam ketentuan ini, antara lin, kegiatan deklarasi atau konvensi Pasangan Calon oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik juga termasuk kegiatan kampanye. Maka, jelas bahwa selain pihak Rektorat juga turut bertanggung jawab atas deklarasi tersebut, pasangan Capres Cawapres yang terlibat juga telah melanggar UU Pilpres tersebut. Kampus ITB pernah menjadi pelopor dalam memperjuangkan kemerdekaan, hingga suka duka dan pahit manisnya pergerakan nasional bangsa Indonesia. Kampus ITB pernah menjadi kampus dimana rakyat begitu percaya pada kemahasiswaanya. Akankah itu terus berlanjut, atau hanya sebuah romantisme sejarah yang hanya dikenang dengan arogan?? Semuanya ada ditangan aku, kau dan kita semua sebagai mahasiswa kampus Ganesha. Demi Tuhan, Bangsa dan Almamter!!

(10

13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.

Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Perancis 21. Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris 22. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia 23. Desain Kerajinan Perak Desak Suwarti dari Bali oleh Oknum WN Amerika 24. Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd 25. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia 26. Kopi Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda 27. Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang 28. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia 29. Kain Ulos oleh Malaysia 30. Alat Musik Angklung oleh Pemerintah Malaysia 31. Lagu Jali-Jali oleh Pemerintah Malaysia 32. Tari Pendet dari Bali oleh Pemerintah Malaysia Dari daftar tersebut, ternyata cukup banyak kebudayaan Negara kita yang diklaim “pihak lain”. Kekayaan budaya bangsa, bukan hanya sekedar peninggalan sejarah dan tradisi, namun juga dapat dimanfaatkan sebagai asset ekonomi yang berguna bagi perekonomian Indonesia kedepannya. Hal ini telah dibuktikan dengan berbagai inovasi pada banyak barang-barang ekonomi, seperti pakaian, sepatu (sepatu batik adidas), dan tentu masih banyak lagi barangbarang lainnya. Selain itu, kekayaan budaya bangsa seharusnya menjadi identitas Indonesia, dan melalui keragaman tersebut, dapat menjadi alat pemersatu bangsa. Dalam era globalisasi saat ini, identitas menjadi suatu hal yang krusial, tatkala kemajuan teknologi dan kecepatan informasi berpindah semakin tinggi, menyebabkan generasi saat ini justru bingung dengan jati dirinya sendiri. Kebudayaan menjadi faktor penting yang menjaga interaksi setiap orang sesama suku bangsa dalam negeri ini dan jika kita dapat memanage kekayaan budaya kita sendiri, akan banyak dampak positif yang kita dapatkan baik sebagai individu, komunitas dan terutama sebagai satu bangsa Indonesia. Sebagai generasi penerus bangsa, apa jawaban kita akan tindakan pengeklaiman budaya yang kata orang-orang tua kita adalah budaya kita? Apakah memang sekuno itu sehingga harus kita tinggalkan? Atau malah nilai-nilai budaya itu masih ada tersimpan di diri kita? Atau, justru iri karena nilai ekonomisnya justru didapat oleh orang lain dan bukan kita? Mari kita bergerak secara massif, sporadis ataupun teratur, bila dirasakan perlu, bila memang itu adalah milik kita dan bukan milik mereka, kitalah yang harus menunjukkannya pada dunia. Kita jaga, lestarikan! (3)

Wawancara Budaya dan Kesenian Beberapa hari yang lalu, tepatnya 2 September 2009, tim redaksi Tiang Bendera mewawancarai beberapa kawan mahasiswa ITB yang aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Kesenian dan Kebudayaan. Kami mewawancarai kawan-kawan dari Unit Kesenian Minangkabau (UKM), Lingkung Seni Sunda (LSS) dan Maha Gotra Ganesha (MGG). Dalam kesempatan kali ini, kami mewawancarai mereka tentang kesenian dan kebudayaan dari perspektif mereka sebagai mahasiswa dan juga aktif menari tarian daerah masing-masing Unit Kegiatan Mahasiswa. Wawancara dengan Deon (Telkom '06) dan Keke (MA'08) dari UKM. Tiben : Sejak Kapan Belajar tari ? Keke : Belajar tari piring sejak di masuk UKM 2008. Tiben : Bagaimana menanggapi tari piring yang di klaim Malaysia? Keke : Minangkabau berteman dengan Malaysia dan ada kesamaan karena sama-sama suku bangsa Melayu. Kenal tari piring tidak apa-apa, namun tidak setuju kalau diklaim oleh Negara lain. Deon : Memang kita satu rumpun dengan Malaysia, ada hubungan tetapi tidak persis tariannya. Tiben : Bagaimana menurut Anda mengenai rendang yang juga diklaim Malaysia? Keke : Rendang sudah terkenal di Indonesia. Jadi, aneh saja dengan adanya klaim rendang di Malaysia. Deon : Kalau melihat gaya masakannya, jelas itu khas dari Sumatera Barat (Minang). Tiben : Bagaiamana pandangan kamu sendiri mengenai budaya khususnya budaya Minangkabau? Keke : Budaya adalah identitas kita, kita lahir dari budaya itu juga. Kalau saya, merasa cinta ama budaya itu sendiri justru semenjak di Bandung, di perantauan. Deon : Budaya adalah kelebihan atau keunggulan daripada suku-suku yang lain dan harus ditunjukkan. Tiben : Menurut anda, bagaimana dengan perkembangan pelestarian budaya itu sendiri, khususnya budaya Minangkabau? Deon : menurut saya promosi-promosi budaya itu masih ada, tapi tidak tahu kenapa masih kurang saja. Kalau di acara-acara pernikahan dan acara adat lainnya, masih terasa pelestarian budaya itu. Tiben : Menurut kamu, apakah yang perlu dilakukan mahasiswa sebagai generasi muda terkait pelestarian budaya? Deon : Pemuda harus tahu budaya sendiri, mempelajari, dan mengenalkan budaya Indonesia kaya dan harus menjaganya. Keke : Kita sebagai bangsa Indonesia dan sebagai pemilik kebudayaan harus inisiatif sendiri untuk menjaga kebudayaan kita, jangan tunggu ada kasus seperti klaim Malaysia dulu. Wawancara dengan Fian (SI'07) dan (Puri FI'07) dari LSS. Tiben : Bagaimana menurut Anda mengenai klaim Angklung sebagai salah satu alat kesenian dari Jawa Barat yang dilakukan oleh Malaysia? Puri : Aneh saja kalau diklaim karena budayanya kan budaya Indonesia?!. Fian : Angklung memang aslinya dari orang Indonesia dan diperkenalkan di Malaysia. Dari kejadian ini, ada efek negatifnya, yaitu orang Indonesia marah, tapi ga jelas apa yang dilakukan. Efek positifnya ada kesadaran untuk menjaga. Tapi, jangan hanya ngomong saja, ya, harus ada tindakan juga!

(4)

Deklarasi Capres…….. Oleh : Samuel Jumat, 16 Mei 2009, SBY mendeklarasikan pasangannya Boediono sebagai cawapres yang diusung oleh Partai Demokrat di Sasana Budaya Ganesha Institut Teknologi Bandung. Sekitar pukul 19.00 acara deklarasi dimulai dengan segala taburan kemewahan yang menghiasi Sabuga. Sudah pasti dana yang dihabiskan tidaklah kecil. Sementara itu, iringiringan rombongan SBY yang masih resmi menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, dikawal ketat oleh Paspampres dan pasukan yang berlapis-lapis dalam acara partai tersebut. Namun, kedatangan Bapak Presiden yang terhormat tersebut “disambut” cukup meriah dengan demonstrasi mahasiswa dari berbagai golongan, terutama ratusan mahasiswa ITB. Aksi massa yang digelar para mahasiswa ITB tersebut merupakan aksi damai di gerbang selatan (gerbang belakang) ITB, dan tidak ada aksi kekerasan. Persiapan aksi massa dimulai siang hari sebelum sholat jumat, dengan persiapan spanduk-spanduk dan susunan acara aksi. Dua spanduk utama yang berukuran cukup besar bertuliskan “Kampus Netral Harga Mati” dan “ Tolak Capres Cawapres yang tidak Pro Rakyat” menjadi tema utama yang diusung para mahasiswa. Hal ini pun terkait dengan pemberitaan pada salah satu website berita “detik.com” yang menyatakan bahwa Jaringan Alumni-Mahasiswa ITB mendukung salah satu Capres yaitu SBY sebagai Presiden 2009-2014. Berikut kronologis aksi massa para mahaiswa ITB :  Sebelum sholat jumat, persiapan spanduk dan susunan acara aksi massa di Sunken Court.  Sekitar pukul 14.00, aksi massa dimulai di sekitar campus center, yaitu aksi tanda tangan para mahasiswa sebagai bentuk dukungan pada pernyataan yang diusung mahasiswa ITB, yaitu “Kampus Netral Harga Mati”, dan “Tolak Capres Cawapres yang tidak Pro Rakyat”.  Aksi dilanjutkan dengan orasi beberapa mahasiswa di gerbang depan ITB dan spanduk turut digelar.  Aksi dilanjutkan dengan jalan melewati tengah-tengah kampus ITB untuk menggalang dukungan massa kampus menuju gerbang selatan ITB.  Aksi puncak dilakukan di gerbang selatan dengan jumlah mahasiswa yang berpartisipasi sekitar 200an. Aksi diisi oleh orasi, teriakan yel-yel dan nyanyian lagu kampus oleh para mahasiswa tersebut.  Aksi berlangsung hingga sekitar pukul 20.00. Selama aksi di gerbang selatan ITB, para polisi terus mengawal para mahasiswa, hingga sekitar pukul 18.30-19.00, pengawalan para polisi semakin ketat, namun aksi tetap berjalan damai tanpa tindakan anarkis. Berikut rasionalisasi dan latar belakang aksi massa dilakukan : Klaim pihak Jaringan Alumni-Mahasiswa di “detik.com” yang menyatakan dukungan kepada Capres SBY. Klaim tersebut terbukti tidak benar dan dimotori oleh kepentingan pihak-pihak tertentu, tindakan yang diduga sebagai politik praktis. Institut Sosial Humaniora “Tiang Bendera” ITB adalah wahana tempat berdiskusi dan mengkaji segala fenomena yang terjadi dalam lingkungan sosial baik itu di kampus ITB maupun di luar kampus ITB. Di sini kami mencoba untuk memandang dunia dan fenomena yang terjadi dari berbagai sudut pandang dan juga dari kaca mata kami sendiri. Kegiatan mingguan kami adalah diskusi dan kajian rutin setiap hari Rabu malam dan Jumat malam. Kami juga menerbitkan bulletin rutin setiap bulan yang berisi kritik, issue, dan permasalahan yang kami tinjau dari kaca mata kami.

(9)

Dalam sebuah komunitas, seperti organisasi misalnya, mulai dari kebutuhan bersosialisasi, ego pribadi dan aktualisasi diri dapat dicapai oleh individu-individu yang bergelut di organisasi tersebut. Bagaimana dengan kaderisasi? Mungkin motivasi pengkader ialah sosialisasi, karena dengan mengikuti kaderisasi, kita bisa punya lebih banyak teman. Mungkin ego-pribadi, dengan menjadi pengkader kita bisa eksis atau menonjol, setidaknya di kalangan para kader(orang yang diwarisi nilai). Mungkin aktualisasi diri, seperti saat perencanaan kaderisasi, atau mengajari para kader. Karena motivasi itu berasal dari dalam diri masing-masing orang, hanya kitalah yang mengetahui apa motivasi kita di kaderisasi Apakah kaderisasi itu sebuah harapan atau teladan? Menjelang akhir hidupnya, Maslow menambahkan satu hal pada teori hirarki kebutuhan, yakni transendensi diri.Transendensi diri memang tidak sepopuler pendahulunya, yakni teori hirarki kebutuhan. Dan, memang tidak termasuk dalam teori hirarki kebutuhan yang dikenal secara luas. Transendensi diri maksudnya adalah setiap orang yang telah memenuhi aktualisasi diri juga ingin agar orang lain dapat mencapai aktualisasi diri dan membimbingnya ke arah tersebut, orang yang mencapai transendensi diri sudah tidak terikat ego. Membimbing tulus menuju pemenuhan potensi diri dan lepas dari ego, itulah kata kuncinya dari transendensi diri. Berbeda dengan motivasi untuk mendapat keuntungan materi atau gengsi atau bahkan sekedar menjalankan kaderisasi agar organisasi tetap hidup, lebih kepada kepuasan pribadi karena telah membantu orang lain menjadi lebih baik. Lagu John Mayer 'Waiting on The World to Change', mungkin tepat menggambarkan bahwa kita memberikan harapan agar generasi baru bisa lebih baik dari kita. Kecewa dengan keadaan sekarang. Berharap masa depan dapat lebih baik. Menyimpan harapan akan keadaan dimana terdapat kedamaian dan kebaikan. Berharap semoga generasi baru bisa mencapai keadaan tersebut. Jika kita coba lihat dari sudut pandang seorang Maslow, dimana pengkader (orang yang mewariskan nilai) ialah orang yang telah mencapai aktualisasi diri terlebih dahulu ingin membimbing orang bisa mencapai tahap aktualisasi diri, maka dari kacamata Maslow seorang pengkader ialah orang yang telah mencapai aktualisasi diri dan berada pada tahap transendensi diri. Orang yang telah mencapai aktualisasi diri ialah sebuah teladan yang baik. Pengkader adalah orang yang dipercayai paling mengerti nilai dalam organisasi tersebut. Mungkin dengan alasan ini, terdapat sebuah kebudayaan unik di ITB, sedikit banyak swasta (mahasiswa tingkat atas) cenderung lebih dihargai pendapatnya dalam beberapa himpunan di ITB. Memang sebuah harapan agar ke depannya lebih baik haruslah kita tanamkan dalam sebuah kaderisasi ideal. “There's always the better way.” Namun, menjadi teladan adalah hal yang esensial yang tidak boleh kita lupakan.Memberikan harapan, menunjukkan teladan. Mungkin semboyan yang perlu kita tanamkan dalam sebuah kaderisasi. Motivasi transendensi diri yang tulus demi orang lain. Bukan karena kita terseret arus kepentingan diri melulu. Apakah para pengkader di ITB punya motivasi ini? Mari kita bercermin dan berjuang untuk kemahasiswaan yang lebih baik!

Tiben : Bagaimana pandangan Anda mengenai budaya itu sendiri? Puri : Budaya adalah ciri khas. Misalnya, LSS ciri khas dari Sunda (identitas). Budaya bisa juga dimanfaatkan untuk pariwisata. Fian : Budaya itu yang diciptakan oleh sekumpulan orang sebagai identitas. Kesenian hanya sebagian dari budaya. Inti dari budaya adalah nilai-nilai filosofisnya. Tiben : Menurut kamu, bagaimana dengan perkembangan pelestarian budaya itu sendiri, khususnya budaya Sunda? Fian : Pengembangan sekarang sudah lumayan, mungkin dari isu Malaysia juga, sehingga makin banyak orang yang memperhatikan budaya itu. Kalau di daerah pedalaman mungkin lebih berkembang dibanding di kota besar yang banyak musik luar. Kalau di ITB, pengembangan sudah cukup bagus. Tiben : Menurut kamu, apa yang harus kita lakukan sebagai generasi muda? Puri : Lestarikanlah kekayaan yang dipunyai, yang orang lain tidak punya. Fian : Ga ada salahnya pakai budaya luar kalo ada baiknya, tetapi jangan lupa dengan kebudayaan sendiri. Dalamilah kebudayaan sendiri, jangan hanya asal peduli saja. Tiben : Bagaimana menurut Anda mengenai apresiasi masyarakat kita terhadap budaya daerah? Puri : Masih kurang. Orang masih suka dengan budaya luar. Fian : Masih cenderung suka dengan budaya luar. Karena budaya luar memiliki modal besar dan penyebaran yang lebih massive. Karena orang-orang kita apatis dan kurang mendukung budaya sendiri. Wawancara dengan Putu Yuni dan Made Edina dari MGG. Tiben : Sejak kapan nari pendet ? Yuni : Latihan sejak kecil (SD) tapi sempat vakum, mulai nari karena emang suka karena sejak kecil sering nonton tarian daerah bali. Dina : Dari kecil juga. Tiben : Bagaimana pendapat kamu tentang klaim Malaysia terhadap beberapa budaya Indonesia, khususnya tari pendet? Dina : Ga seneng, karena itu punya Bali !! Yuni : Kecewa banget, karena mereka ngeklaim yang bukan punya mereka, jelas-jelas itu punya bali…tapi dari masalah ini, kita yang kurang merasa memiliki jadi merasa memiliki budaya kita. Tiben : Menurut kamu, bagaimana dengan budaya itu sendiri? Yuni : Dibalik budaya itu ada tujuannya, ada nilai-nilai dan juga budaya itu identitas dan ciri khas kita. Selain itu, budaya juga bisa menjadi penarik wisatawan dan ngebantu buat devisa Negara. Tiben : Bagaimana dengan pelestarian budaya di Bali dibanding di daerah lain di Indonesia? Yuni : Di bali, tarian bali dan beberapa kesenian Bali dimasukkan ke dalam kurikulum, banyak juga orang yang suka nari. Tiben : Bagaimana dengan apresiasi masyarakat di desa dan kota di Bali terhadap budaya Bali itu sendiri? Yuni : Sama aja, karena kalo ke Pura (beribadah,) terus ngasih persembahan dan dupa yang juga sesuai ama tradisi budaya Bali. Tiben : Apakah budaya dari luar Bali mempengaruhi pelestarian budaya Bali itu sendiri?

Oleh : Rafael

(8)

(5)

Budaya tidak mengenal usia!

Yuni dan Dina : Cukup berpengaruh juga, tapi budaya asli tetap dijaga dengan baik. Budaya Bali juga jadi keseharian di Bali seperti tulisan Sansekerta tetap diajarin. Selain itu, Kesenian dan Kebudayaan Bali yang lain juga turut dijaga, seperti patung, ukiran, motif kain, dan lainnya. Tiben : Menurut kamu, apa peran kita sebagai mahasiswa dan generasi muda terhadap budaya kita sendiri ? Yuni dan Dina : Kalau kita akan tetap nari. Seharusnya kita membuat suatu lembaga kesenian, lalu sering membuat pentas pertunjukan kesenian agar apresiasi masyarakat terhadap budaya makin tinggi dan juga lebih mengeksplor budaya-budaya kita agarmasyarakat bisa lebih menghargai budaya itu.

Satu titik budaya Indonesia

(6)

Budaya itu berkaitan dengan budi dan akal manusia, dan semestinya di di lestarikan dan di kembangkan untuk membuat manusia lebih baik. Dalam budaya itu juga terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuankemampuan lain. Dengan memandang budaya sebagai sesuatu yang luas, kini budaya tidak lagi dipandang hanya sebuah seni ato alat musik bahkan hanya tradisi semata, tetapi budaya menjadi suatu identitas.

Ketika menyadari bahwa budaya merupakan sesuatu yang penting dan berharga, maka perlu berpikir bagaimana melestarikan dan mengembangkannya, serta siapa yang berperan. Saya menyadari “sesuatu hal yang sulit untuk melestarikan dan mengembangkan budaya itu, namun jauh lebih sulit hidup tanpa budaya”. Saat ini saya mencoba mengingat kembali pengalaman saya di pulau Samosir 10 tahun yang lalu. Kondisi saat itu saya gambarkan sebagai berikut: gotong royong menjadi metode orang untuk bekerja, kompetisi saat perayaan 17 agustus masih memperlombakan kesenian batak, anak anak masih kenal permainan khas indonesia, menghargai orang yang lebih tua sudah menjadi kesadaran, adat istiadat menjadi aturan dan koridor dalam kehidupan sehari hari, keinginan melestarikan rumah batak (rumah adat batak) masih tinggi, dan sebagainya. Kembali ke waktu sekarang, kondisinya jauh berbeda; dimana gotong royong tidak lagi menjadi kebiasaan, kompetisi prayaan 17 agustus mulai menghilangkan perlombaan kesenian batak, anak anak telah sibuk menonton sinetron indosiar ato sctv, semboyan siapa lu siapa gue mulai berlaku, adat istiadat telah tergantikan oleh peran polisi, kemauan memiliki rumah batak makin rendah di tambah lagi aturan pemerintah yang sangat membatasi ruang gerak masyarakat untuk membeli/mengambil bahan rumah batak. Dari sekilas cerita diatas dapat di simpulkan hanya 10 tahun untuk menghilangkan suatu budaya, bahkan mungkin lebih singkat. Selain itu, kita dapat melihat peran media, pemerintah, dan masyarakat merupakan salah satu ujung tombak pelestarian suatu budaya maupun menjadi penghilang suatu budaya. Jadi, kerja sama antara pemerintah dan masyarakat sangat mempengaruhi pelestarian suatu budaya. Dan jika salah satu elemen tersebut tidak terlibat, akan sangat menghambat perkembangan budaya. Akhir kata, jepang boleh bangga dengan teknologinya, amerika boleh bangga dengan militernya, china boleh bangga dengan ekonominya, tapi kita tidak boleh menjadi inferior, kita harus bangga dengan budaya kita. Ayo bangga dengan budaya Indonesia. ~Turnip Memandang kaderisasi dengan meminjam kacamata Maslow Bila mendapat pertanyaan, “Kaderisasi itu apa ya?” Banyak mungkin di antara kita yang akan menjawab bahwa kaderisasi itu ialah sebuah pewarisan nilai. Dalam sebuah organisasi misalnya ada nilai-nilai yang harus dimiliki oleh setiap anggotanya. Melalui kaderisasi itulah, orang-orang baru yang akan masuk organisasi diajarkan. Mungkin karena menyadari pentingnya kaderisasi ini, banyak himpunan di ITB masih bersikeras mengadakan kaderisasi meski mendapat larangan dari rektorat. Bahkan, kaderisasi juga dilaksanakan dalam keluarga. Misalnya saja, dari orangtua ke anak. Dalam sebuah keluarga yang beragama Islam misalnya, seorang anak umumnya diajari salat oleh orangtuanya. Atau, sopan santun seorang anak diajari mula-mula dari orangtuanya. Dari kaderisasi, mari kita beralih pandangan sejenak ke Abraham Maslow. Bila mendengar kata Abraham Maslow, banyak mungkin yang langsung berpikir tentang teori hirarki kebutuhan. Ya, Maslow adalah penggagas teori hirarki kebutuhan. Bahwa motivasi memiliki tingkatan. Motivasi didefenisikan sebagai faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang yang berasal dari dalam dirinya sendiri dan memiliki arah, ketekunan, dan intensitas. Berangkat dari level paling bawah, yakni kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, ego, hingga puncaknya pada aktualisasi diri. Banyak kritik memang diterima oleh teori ini, salah satunya ialah kebutuhan tidak selalu bertingkat-tingkat. Namun, terlepas dari itu semua, mari coba kita sama-sama menelaah bagaimana motivasi kaderisasi dari kacamata (7) Maslow.

Related Documents