Edisi 71

  • Uploaded by: lp3y.org
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Edisi 71 as PDF for free.

More details

  • Words: 7,997
  • Pages: 16
Edisi 71 Maret 2004

ISSN 0853-7402

L

P

3

Y

d

a

n

F

o

r

d

F

o

u

n

d

a

t

i

o

n

TUMBEN, halaman depan LP3Y ramai pada suatu sore. sudah mereka punyai, selain mengingatkan kembali Beberapa orang muda bergabung dengan anak-anak yang komitmen mereka kepada visi & misi institusi yang mereka tinggal di lingkungan LP3Y bermain bola. Ramai karena sambil geluti Mungkin ada beberapa dari mereka yang menganggap menendang atau merebut bola mereka juga berteriak. Belum hal itu sebagai rekreasi. Jamak saja. Tetapi ada juga yang para supporternya yang juga tak kalah berteriak, meski menikmati kebersatuan mereka, menabalkan tim kerja yang jumlahnya tak lebih dari 13 orang. Itulah cara Asisten Redaktur kuat. Karena dalam keseharian di Jakarta mereka lebih Media Indonesia memanfaatkan waktu sambil menunggu bus bersikap individualis akibat rutinitas tugas. jemputan ke tempat penginapan mereka. Selama musim pesta rakyat Sejumlah 17 Asred itu berlatih di LP3Y berdemokrasi ini LP3Y memang memilih D a f t a r I s i mulai 1 hingga 13 Maret 2004, mulai untuk tidak ikut terlibat memeriahkan pukul 08.00 - 17.00 WIB. pesta lima tahunan tersebut. Pada Pemilu ● Pengantar Redaksi .................... 1 Media Indonesia termasuk salah 1999 kami sangat antusias melibatkan diri ● Kalender ................................... 2 Diskusi Meja Bundar untuk Eksekutif Media satu institusi pers yang rajin mengirimkan dalam pesta yang masih segar beraroma ● Dapur Info ................................ 3 wartawannya berlatih di Yogya. Pada 19reformasi. Kami, kala itu, berkeliling di Dari Pelatihan Asisten Redaktur MI 28 Mei 2003 sekitar 30 redaktur senior berbagai daerah untuk melatih para ● Analisis Info .............................. 7 juga melaksanakan penyegaran di LP3Y, wartawan dalam meliput Pemilu. - Infotaintment = Womentainment laiknya bedhol deso. Sedang 20an Asred Dan kali ini kami memilih untuk - “Virus” dalam Praktek Jurnalisme lainnya menyusul berlatih pada 17-30 membangkitkan kembali semangat dasar ● Sumber Info .............................. 9 Mei 2004. jurnalisme. Melatih hal-hal dasar yang Kaum Marginal yang Juga Punya Hak Memacu pasukan kuli tinta ini seharusnya dikuasai dengan benar oleh ● Spesial Info ........................... 11 berlatih di tengah persaingan media yang jurnalis. Masyarakat yang lagi Ruang Publik Bagi Perempuan keras menjadi keharusan bagi institusi bersemangat mencari dan memperoleh ● Info Buku ............................... 13 yang ingin tetap unggul. Pelatihan singkat informasi yang layak harus diimbangi - Duka Perempuan dalam Sebuah Sejarah - Menuju Pers yang Independen & Berwibawa (sekitar 10 hari) ini memang lebih dengan kesigapan, kecepatan, ketelitian ● Profil ..................................... 16 difokuskan untuk memoles skill yang dan kejujuran para jurnalisnya. (srs) Cara mendapatkan NEWSLETTER PMP AIDS: Kirimkan identitas serta nama media Anda, akan kami kirimkan secara gratis. Informasi yang kami muat di NEWSLETTER dapat dikutip atau disiarkan tanpa ijin asal menyebut sumber. Apabila anda memiliki informasi tentang HIV/AIDS yang layak untuk disebarkan kepada masyarakat luas, silakan kirim dan akan kami muat. Anda dapat menghubungi kami ke alamat: LP3Y Jl.Kaliurang Km 13,7 Ngemplak, Sleman, Yogyakarta 55584 atau via telepon dan faksimili No. (0274)896016, email: [email protected] dan situs http://www.lp3y.org Penanggung Jawab : Ashadi Siregar Pimpro/Pemimpin Redaksi : Slamet Riyadi Sabrawi Staf Redaksi : Ismay Prihastuti, Masduki, Th. Puspitawati, Rondang Pasaribu Sekretaris Redaksi : W. Nurcahyo Lay out : Ari R.

1

K

a

l

e

n

d

e

r

Diskusi Meja Bundar untuk

EKSEKUTIF MEDIA “Kesehatan Reproduksi/Keluarga berencana di Era Otonomi Daerah” Jogjakarta Plaza Hotel, Selasa – Rabu, 27-28 April 2004

yang perlu diketahui, dari setiap daerah yang medianya dilibatkan dalam program ini, STARH sudah memfasilitasi terbentuknya sebuah tim, disebut Tim Distrik, yang terdiri tokoh, pemimpin organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, yang masingmasing memiliki kepedulian terhadap permasalahan Kesehatan Reproduksi. Tim ini selain dapat menjadi rujukan, narasumber, juga merupakan mitra dalam membangun aliansi strategis guna memberdayakan stake holder setempat. (Advokasi stake holder ini dilakukan tersendiri oleh INSIST) Sejak Oktober 2003 LP3Y bersama STARH didukung John Hopkins University-USAID mengadakan workshop untuk wartawan cetak dan praktisi radio bertajuk KB/KR di Era Otonomi Daerah. Peserta workshop berasal dari media (cetak/radio) yang berada/menjangkau 12 kabupaten ((Boyolali, Purbalingga, Malang, Kediri, Cianjur, Sukabumi, Lebak, Tulangbawang, Ogan Komiring Ilir, Bangka, Pematang Siantar dan Deli Serdang). Hasil liputan/perbincangan ini akan dipaparkan dalam sebuah forum, dimana peserta forum terbatas ini adalah eksekutif/manajer atau produser dari berbagai media nasional (cetak/radio/televisi). Peserta forum ini diharapkan dapat mengkritisi substansi hasil kerja mereka serta sharing. Oleh karena itu forum yang pas adalah Diskusi Meja Bundar untuk Eksekutif Media, di mana masing-masing peserta setara dan secara aktif dapat berdiskusi tentang problema KB/KR di Era Otda dengan hasil liputan/perbincangan peserta workshop sebagai pemicunya, sedang sebagian kecil peserta adalah pelaku program di lapangan yang dapat menceritakan tentang berbagai kendala yang dihadapi.

Latar Belakang

Persoalan terkait dengan isu Kesehatan Reproduksi/ Keluarga Berencana sebenarnya dapat dikatakan bukan sesuatu yang asing sama sekali bagi pekerja profesional media massa (cetak, radio dan televisi). Pengenalan atau pengetahuan atas persoalan dimaksud bisa terjadi melalui pengalaman pribadi, pengalaman anggota keluarga atau kenalan, dan sebagainya. Akan tetapi, pengenalan atau pengetahuan yang diperoleh lewat cara tersebut tidak selalu memberikan gambaran utuh tentang persoalan dimaksud. Selain itu, seringkali persoalan yang terjadi semata-mata dilihat sebagai kasus perseorangan. Tidak terpikirkan bahwa persoalan serupa mungkin sedang dihadapi lebih banyak orang. Dan karena itu, persoalan terkait dengan kesehatan reproduksi belum tentu termasuk realitas yang dipandang layak untuk diliput dan diberitakan. Suatu pelatihan tentang kesehatan reproduksi bagi pekerja profesional media massa, dirancang tidak hanya agar para profesional tersebut mengetahui dan memahami secara utuh persoalan yang terkait dengan kesehatan reproduksi. Lebih dari itu, pengetahuan dan pengenalan yang diperoleh diharapkan akan menumbuhkan suatu kesadaran bahwa persoalan kesehatan reproduksi penting mendapat perhatian berbagai pihak. Dan berkat kesadaran semacam itu, para profesional media massa itu kemudian tergerak untuk meliput dan memberitakan realitas terkait seusai pelatihan. Apalagi dalam era desentralisasi yg diwujudkan dalam UU No.22/1999, Pemerintah Daerah mempunyai peluang dan kewenangan besar untuk memberi perhatian pada permasalahan lokal, termasuk di dalamnya masalah kesehatan reproduksi. Namun, seberapa pentingkah isu kesehatan reproduksi memperoleh perhatian dari eksekutif, legislatif dan stake holder setempat? Untuk inilah pekerja profesional (dalam hal ini koresponden maupun redaktur media cetak serta produser perbincangan di radio) dilibatkan dalam program LP3Y & STARH (Sustaining Technical Achievement in Reproductive Health, sebuah program dari John Hopkins University yang didukung oleh USAID). Dan

Tujuan

1) Memperoleh umpan-balik serta sharing bagaimana media (cetak/radio/-televisi) sebaiknya menganggendakan permasalahan KB/KR di Era Otonomi Daerah. 2) Memberikan rekomendasi terhadap Kebijakan Redaksional media massa tentang seberapa penting persoalan KB/KR dipaparkan kepada publik melalui media.

2

D

a

p

u

r

I

n

f

o

Sakit dan Ujung-ujungnya Wisata

Dari Pelatihan Asisten Redaktur Media Indonesia PADA 1 Maret 2004, rombongan peserta Pelatihan Singkat Asisten Redaktur Media Indonesia, baru saja turun dari bus putih yang bertuliskan Bus Pariwisata. Pagi itu sekitar pukul delapan mereka memasuki kantor LP3Y. Setelah masing-masing peserta menerima kit dan mengisi absensi kehadiran, kemudian satupersatu meninggalkan front office, dan naik ke lantai dua untuk mengikuti acara karena pelatihan akan segera dimulai. Sekilas sepertinya agak berat untuk melakukan hal itu selama sepuluh hari. Dengan meninggalkan rutinitas pekerjaan sehari-hari di Jakarta, mereka harus “rela” memenuhi tuntutan redaksi untuk lebih meningkatkan kualitas output kerja mereka di tengah persaingan antar suratkabar dewasa ini. Adapun alasan mereka yang berjumlah 16 orang itu dikirim ke Yogya, salah satunya karena mereka mempunyai peran utama dalam menentukan kualitas berita yang dimuat Media Indonesia di tengah persaingan ini. Ada yang membuat saya agak terkesan, yakni tentang jumlah peserta perempuan. Dari keenam belas peserta tersebut, 4 di antaranya perempuan. Bagi saya itu sudah awal yang baik untuk pencapaian quota 30 %. Karena biasanya dari sekian banyak jumlah peserta laki-laki, jurnalis perempuan hanya satu, dan paling banyak berjumlah dua orang. Maksud lain dari pelatihan ini, selain sebagai upaya strategis menjawab tantangan yang dihadapi akibat persaingan, Asisten Redaktur diharapkan tidak hanya memiliki kemampuan dasar profesional agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Lebih dari itu, mereka diharapkan mampu memberikan kontribusi penting terhadap upaya peningkatan daya saing, hal mana akan terlihat dari sentuhan kerja yang bersangkutan terhadap berita yang akan dimuat. Memasuki hari pertama pelatihan diawali dengan pembukaan, perkenalan dan dilanjutkan dengan penjelasan kurikulum, sebelum masuk pada pembahasan pendalaman konsep. Peserta masih terlihat fresh dan bersemanngat. Itu sebuah awal yang baik, artinya mereka punya motivasi untuk mengikuti

pelatihan ini, selain motivasi terselubung lainnya ketika berada di kota Yogya ini. Minggu pertama pelatihan, semangat mereka masih ‘menyala’. Ini terlihat pada saat mereka melakukan diskusi dan mencoba mempertahankan argumennya pada saat diskusi pleno. Selain juga dalam hal kedisiplinan, mereka cukup rajin mengikuti setiap sesi baik itu diskusi kelompok, diskusi pleno, dan melakukan tugas individu. Penjelasan tentang materi, seperti apa tujuan dilakukannya diskusi kelompok adalah untuk mempertajam pemahaman konsep yang telah disampaikan sebelumnya. Selain juga mengkritisi hasil kerja peserta lainnya sebagai bahan masukan yang disampaikan pada saat diskusi pleno. Dari keseluruhan waktu yang diberikan, sebenarnya lebih banyak digunakan untuk mempraktikkan konsep yang diberikan. Sedangkan kurang lebih 40% waktu digunakan untuk paparan konsep. Sosok Peserta yang Unik Kompleksitas perilaku dan pengalaman didapat selama pelatihan berlangsung. Keunikan terjadi dari perilaku beberapa individu yang menonjol. Salah satu adalah Edy Hidayat, jurnalis berkacamata yang kocak ini, sering disebut-sebut sebagai ketua kelas. Beberapa peserta lain juga vokal ketika berdiskusi dan mempertahankan argumennya, meski tak seagresif Edy. Namun, ada juga yang tidak banyak mengeluarkan suara. Lain halnya dengan Edy A Effendi, jurnalis sastra, itulah sebutannya karena kebetulan ia berada di bidang yang menangani masalah seni dan sastra. Meski nama awal mereka sama-sama Edy, bukan berarti mereka saling mendukung. Keduanya terkadang saling “ngeyel” mempertahankan argumen atas persoalan yang sedang dibahas, meski dapat dikatakan mereka cukup aktif memberikan kontribusi bagi berlangsungnya pelatihan ini. Peserta perempuan yang satu ini terlihat seringkali menggoda teman lainnya. Ia adalah Ade 3

D

a

p

u

r

I

Siregar. Jurnalis berambut pendek yang seringkali terlihat santai ini, pada minggu terakhir sempat sakit serius hingga di bawa ke Rs. Panti Rapih. Meski cukup aktif memberikan kontribusi di setiap diskusi, ia ternyata punya perspektif kritis tentang persoalan perempuan. Itu yang diketahui ketika kami berada dalam satu meja, saat makan siang. Bahwa tidak hanya perempuan saja yang merasa tidak nyaman meninggalkan anaknya terlalu lama, laki-laki pun juga akan merasa tidak nyaman karena dia merasa punya kedekatan dengan anak. Contohnya, salah satu peserta, Simon Panggabean. Ia harus pulang meski hanya sehari, karena anaknya ingin bertemu. Dan menurut salah seorang temanya, memang anaknya dekat dengan Simon dari pada dengan dengan ibunya. Persoalan kedekatan dengan anak ini memang sering menjadi perbincangan. Pola hubungan yang bertumpu pada perempuan dan tidak seimbang, dapat mengakibatkan hubungan tidak harmonis dalam keluarga. Dan jika pengasuhan anak tidak dishare-kan dengan suami (laki-laki), maka sebenarnya yang dirugikan itu lakilaki. Karena dari kelima faktor kesehatan reproduksi (hubungan seksual, kehamilan, melahirkan, menyusui, mengasuh anak), hanya dua faktor saja yakni hubungan

n

f

o

sebenarnya salah satu bukti keseriusan bahwa mereka ingin punya “sesuatu” yang diperoleh selama mengikuti pelatihan ini. Selain juga ingin lebih mengembangkan diri, harapan mereka juga ingin perubahan lebih baik dari institusinya. Peserta juga meminta pihak LP3Y untuk memberikan rekomendasi kepada pihak Media Indonesia, seperti rapor individu untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan mereka. Selanjutnya, mereka juga meminta untuk memajukan sesi agar dapat selesai lebih awal. Alasannya adalah memang bukan rahasia lagi bahwa bagi peserta pelatihan (tidak hanya pelatihan MI) yang bukan orang Yogya dan jarang mengunjungi kota gudeg ini, ada tujuan lain selain pelatihan yakni UUW (Ujung-ujungnya Wisata-meminjam istilah

Suasana dalam ruangan komputer saat pengerjaan tugas

Daftar Peserta Pelatihan Singkat Asisten Redaktur Media Indonesia : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Edi Hidayat, Magang Redaktur Polkam Asnawi Khadaf, Magang Redaktur Int’l Agus Triwibowo, Asred Bid. Olahraga Agus W Kristianto, Ka.Biro.Pekanbaru Cri Qanon Ria Dewi, Asred Ibukota Dony Tjiptonugroho, Asred Bahasa Edy A. Effendi, Asred Minggu Fitriana Siregar, Asred Ekonomi

9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.

Haryo Prasetyo D, Asred Polkam M. Husen Hamidy, Asred Bid. Ibukota Sadyo Kristianto, Asred Ekonomi Santhy Mardiana S, Asred Bid. Minggu Resman M Tambunan, Kabag Pnlt & Png Ikl Simon A. Panggabean, Magang Asred Ek & Otomt Danof Dniel, Mag. Red. Kes Lingk & Kons Edwin Tirani, Rep. MIM

seksual dan pengasuhan anak, laki-laki bisa turut berperan serta. Selebihnya sepenuhnya wilayah perempuan. Iulah yang belum disadari oleh lakilaki, sehingga mungkin saat ini kita baru masuk pada tahap proses menuju ke arah suasana harmoni yang berkeadilan.

Lies Marcoes). Tapi mudah-mudahan UUW tidak mengganggu konsentrasi mereka mengikuti pelatihan. Sehingga selain oleh-oleh juga didapat sejumlah “ilmu” untuk dibawa pulang. Cuma ada satu hal yang perlu menjadi catatan dari kegiatan workshop ini. Mereka harus belajar dari para seniornya dalam hal kedisiplinan. Karena pada Pelatihan Redaktur tahun 2003 lalu, kedisiplinan para senior mereka cukup terjaga, dari sejak awal dimulainya pelatihan sampai dengan berakhirnya pelatihan. (May)

Menjelang Akhir Pelatihan Sehari menjelang pelatihan berakhir ada sesi evaluasi. Ada beberapa hal yang perlu dibahas, dan para peserta meminta folow up dari kegitaan ini. Ini 4

D

a

p

u

r

I

n

f

o

Infotainment = Womentainment? FENOMENA ini mungkin hanya terjadi di Indonesia. Hampir 24 jam siaran televisi dipenuhi tayangan infotainmen. Infotainmen adalah sebutan populer untuk acara yang dikenal dalam konsep siaran televisi di Indonesia sebagai tayangan gosip selebritis terkenal di Jakarta dan sekitarnya. Sejak mata manusia menyapa matahari di pagi hari hingga menjelang meredup ketika akan tidur pukul 24.00, tayangan berdurasi 30 hingga 60 menit tersebut nyaris tampil seperti bergiliran diantara 10 stasiun televisi swasta nasional. Beberapa berhasil cukup dikenal seperti EeeKo Ngegosip, Kroscek, Cek dan Ricek hingga Silet, sehingga jam tayang dan serialnya bertahan lama. Tetapi nasib sial dialami beberapa acara serupa yang hanya berumur di bawah satu tahun. Setiap tahunnya, penghargaan tertinggi untuk kategori presenter juga diberikan pada program ini dan pernah diraih antara lain oleh Fanny Rahmasari, presenter Bulletin Sinetron. Apabila dicermati, sulit membedakan isi dan kemasan seluruh acara tersebut. Nyaris sama, kecuali nama televisi yang menayangkan, judul acara dan durasi siarnya. Penonton seakan menyaksikan peristiwa yang sama di banyak tempat, banyak layar tanpa sempat berpikir bahwa tayangan itu gosip semata. Yang menarik dan sekaligus relevan dalam konteks ini adalah kemiripan gaya bicara presenter dan keharusan jenis kelamin perempuan sebagai pengampunya. 5

Presenter infotainmen berjenis kelamin laki-laki amat jarang. Jikapun laki-laki seperti Eko Patrio, tiga perempuan cantik ternyata dianggap perlu “membantu” menjadi pemanisnya, yaitu Devi Permatasari, Elma Theana dan Nova Eliza. Beberapa acara lain nyaris menghadirkan perempuan cantik, dengan dandanan seksi atau make up yang menor sehingga menggoda mata. Tidak peduli apakah yang bersangkutan begitu kaku ketika membaca naskah, lebih mirip pembaca berita ketimbang pembawa kabar ringan untuk penonton yang sedang bersantai. Apa dampak spontan atau jangka panjang yang diperoleh penonton dari tayangan yang secara ekonomis laris-manis tersebut? Sungguh menarik diteliti. Penulis ingin menduga-duga bahwa tayangan ini digemari karena menimbulkan efek kenikmatan visual yang luar biasa dan berpadu dengan imajinasi yang berlapis-lapis dari penonton atas idola mereka dalam ruang kaca yang terbatas. Secara visual, memandang sosok selebritis yang “sempurna” sungguh menimbulkan sensasi tersendiri, sementara beragam aktifitas atau prestasi bahkan konflik keluarga selebritis yang diliput dan disajikan dengan pendekatan close-up pada acara infotainmen menjadi bumbu yang mampu mengaduk emosi sesaat dari lubuk hati penonton atas idolanya. Boleh jadi mereka terharu, memuji, sedih, marah atau bahkan tidak merasakan

D

a

p

u

r

I

perubahan sikap apa-apa, yang penting mereka tetap terpana di depan layar kaca menyaksikan gambar bergerak yang indah. Gambar apa atau gambar siapa yang menarik dipandang? Dalam ideologi televisi yang patriarkhis (male oriented) sudah pasti gambar perempuan cantik, baik kecantikan alamiah atau kecantikan oleh rekayasa canggih kamera. Infotainmen konon kabarnya menganut semacam nilai berita yang akan menentukann ratingnya dalam setiap edisi. Nilai berita itu terpusat pada beberapa aspek. Pertama dan utama adalah popularitas. Segala macam “perilaku remehtemeh” yang dialami terpopuler pasti lebih menarik ketimbang prestasi spektakuler yang diraih artis yang baru “naik daun”. Makin populer seorang artis, makin menarik kehidupan pribadinya, sedangkan bagi artis yang belum populer, prestasinya jadi bahan berita menarik ketimbang perilaku personalnya. Hukum visual yang memberi kesempatan penonton untuk dapat bertemu muka setiap saat dengan idolanya lebih berlaku ketimbang hukum teks yang lebih leluasa menyajikan fakta atau problematika personal selebritis yang bersangkutan. Dengan kata lain, gambarnya dulu baru cerita tentang si artis. Gambar apa yang menarik? Perempuan! Mengapa infotainmen berhasil marak dan seakan menguasai hampir semua jam tayang utama (prime time) di televisi? Apakah akibat mandegnya kreatifitas, atau semata tuntutan perut seperti banyak dituding oleh aktifis sosial dan pengamat televisi? Atau ini sekadar fenomena musiman. Sebutlah tayangan Akademi Fantasi Indosiar yang juga akan mengalami duplikasi serupa di televisi lain dan kemudian setelah satu atau dua tahun akan ditinggalkan penonton atau paling selamat menjadi program pelengkap? Kita lihat saja dalam dua atau tiga tahun lagi. Yang kita perlu prihatin adalah dampak ikutan dari tayangan tersebut terhadap proses pelembagaan atau penerimaan atas eksploitasi perempuan dalam layar kaca. Kehadiran presenter perempuan dan gosip-gosip selebritis perempuan menjadi kelumrahan dan kebutuhan yang terkonstruksi tanpa pandangan kritis sama sekali pada acara-acara infotainmen. Infotainmen tidak ubahnya womentainmen, hiburan yang bertumpu pada kemasan visual sosok perempuan. Adalah James Curran, profesor komunikasi dari London Unviersity menuding liberalisasi televisi sebagai akar masalahnya. Di Inggris tahun 1970-an akhir ketika

n

f

o

kebijakan liberalisasi televisi berlaku, tayangan yang berkaitan dengan urusan publik (public affairs) di televisi menempati porsi kurang dari 20 persen dari seluruh durasi. 80 persen tayangan di televisi adalah human interest dan private affairs dari para selebritis. Cerita fiksi menjadi lebih terhormat ketimbang cerita fakta, khususnya perilaku politik politisi yang merugikan publik. Curran mengingatkan bahwa liberalisasi atau pasar bebas media televisi yang lebih dikuasai pemodal atau pengiklan kapitalis akan mengakibatkan masyarakat tidak well informed dan terdislokasi dari kehidupan sosialnya. Tayangan semi-fiksi seperti gosip selebritis kerapkali menjadikan penonton sebagai objek yang bodoh, sekadar menuntut pemenuhan selera mata yang harus melakukan kedipan dan lirikan, bukan selera kepala yang berisi otak atau intelektualitas. Dalam konteks tersebut, tergesernya tayangan berselera publik oleh acara hiburan gosip selebritis berbahaya bagi peran demokratisasi yang seharusnya dimainkan oleh televisi. Di Indonesia, hadirnya tayangan infotainmen selebritis di Metro TV tahun 2003 yang awalnya dikenal sebagai kanal informasi aktual sempat menjadi sorotan. Jika merujuk pada fungsi media televisi, sudah seharusnya tiga hingga empat fungsi berjalan seirama dalam suatu tayangan, yaitu informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Acara infotainmen oleh banyak pihak lebih banyak mengumbar sisi fungsi hiburan semata, bahkan ia menjadi tayangan yang mubazir karena hiburan dalam bentuk lain justru lebih penting bagi pemirsa, lebih mendekati realitas kehidupan dan kultur komunalitas seperti tayangan Dangdut yang juga marak. Tayangan infotainmen, kecuali mengumbar gosip yang penuh ketidakpastian dan ajaran moral yang tidak sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pemirsa, keunggulan isinya seperti memacu kreatifitas atau memacu kompetisi yang sehat dalam berkarir di kalangan selebritis Indonesia justru amat sedikit. Yang terjadi adalah selebritis seakan berlomba menghamburkan uang agar selalu tampak manis dan glamour di layar kamera. Untuk tujuan itu, mereka berusaha keras sampai harus “menyogok” wartawan. Mengingat begitu dahsyatnya dampak televisi terhadap perilaku buruk selebritis, presenter acara infotainmen hingga penonton terutama kaum perempuan, maka regulasi yang ketat diperlukan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang sudah terbentuk sejak akhir tahun 2003 perlu segera beraksi. (Adink)

6

a

n

a

l

i

s

i

s

I

n

f

o

‘Virus’ dalam Praktik Jurnalisme BAGAIKAN VIRUS, kekeliruan jurnalis bisa menular. Pada judul, ada bagian kalimat: ...Meninggal Begitu pula ketidaktahuan para pewarta ini. Korban akibat HIV/AIDS.... Sedang pada alinea pembuka, penularan, siapa lagi kalau bukan khalayak pembaca ada bagian kalimat: ...mengidap virus AIDS.... HIV (pemirsa untuk media elektronik). dan AIDS adalah dua hal yang berbeda. Pembaca menjadi korban penularan, terutama HIV adalah singkatan nama virus (huruf V pada mereka yang memiliki singkatan) yang menyerang pengetahuan terbatas atas sistem kekebalan tubuh “Singkat kata, HIV tidak masalah yang diungkap manusia. Jadi, kalau ditulis melalui berita. Berita yang lengkap, HIV = Human Immumenyebabkan seseorang ditulis jurnalis tentang hal nodeficiency Virus. meninggal. AIDS juga begitu. tersebut dianggap Sedang AIDS adalah AIDS bukan penyakit, juga mengandung kebenaran, singkatan yang menggambarbukan virus. Maka, menulis padahal ada kekeliruan di kan suatu kondisi atau keadaan dalamnya. yang dialami tubuh manusia bahwa seseorang meninggal Akan tetapi, kekeliruan dan disebut sindrom (huruf S akibat HIV/AIDS, atau atau ketidaktahuan jurnalis pada singkatan AIDS). AIDS menulis bahwa seseorang tidak hanya merugikan = Acquired Immune Deficiency pembaca. Redaktur sebagai Syndrome. Sindrom ini terjadi mengidap virus AIDS, jelas penyunting setiap berita, saat sistem kekebalan tubuh keliru. Dan secara tegas termasuk media massa sebagai manusia tidak lagi mampu harus dikatakan bahwa institusi, turut dirugikan. menangkis serangan berbagai kekeliruan ini terjadi sebagai virus lain, bakteri, dan Bagaimana hal itu bisa sebagainya yang bukan HIV, akibat dari ketidaktahuan terjadi? namun menimbulkan penyakit jurnalis” Sebelum menjawab bagi tubuh manusia. Penyakit pertanyaan tersebut, ada inilah, saat sistem kekebalan baiknya menyimak kasus berikut. tubuh begitu lemah, menyebabkan seseorang Sebuah berita salah satu suratkabar terbitan meninggal. ibukota (18/3/04), ditulis dengan judul dan alinea Singkat kata, HIV tidak menyebabkan pembuka (lead) seperti ini: “Seorang Pemuda seseorang meninggal. AIDS juga begitu. AIDS bukan Meninggal akibat HIV/AIDS di Bandung” penyakit, juga bukan virus. Seorang pemuda yang didiagnosis mengidap virus Maka, menulis bahwa seseorang meninggal AIDS berinisial S, 18, asal Tanjung Priok, Jakarta akibat HIV/AIDS, atau menulis bahwa seseorang Utara, Rabu (17/3) sekitar pukul 11.15 WIB meninggal mengidap virus AIDS, jelas keliru. Dan secara tegas dunia dalam perawatan di Rumah Sakit (RS) Hasan harus dikatakan bahwa kekeliruan ini terjadi sebagai Sadikin Bandung. akibat dari ketidaktahuan jurnalis. 7

a

n

a

l

i

s

i

Merujuk ulasan di atas, berita seperti dicontohkan sudah tentu akan menyesatkan pembaca yang belum mengetahui HIV atau AIDS. Selama tidak ada pihak yang menunjukkan kekeliruan jurnalis yang menulis berita tersebut, akan ada pembaca yang juga beranggapan bahwa orang bisa meninggal akibat HIV/AIDS (seperti tertulis pada judul) dan bahwa AIDS adalah virus (seperti tertulis pada lead). Sudah tentu ada pembaca yang berpengetahuan cukup tentang HIV atau AIDS. Mereka ini akan mudah menyimpulkan bahwa kekeliruan tersebut timbul karena ketidaktahuan jurnalis. Lantas, sejumlah pertanyaan akan muncul di benak pembaca tersebut: Mengapa jurnalis berani menulis apa yang tidak diketahui? Mengapa redaktur dalam posisi sebagai penyunting meloloskan berita seperti itu? Apakah itu terjadi karena kemalasan redaktur, atau justru karena redaktur juga tidak tahu apa yang benar? Mengapa institusi suratkabar mempekerjakan jurnalis dan redaktur yang bisa membiarkan kekeliruan tersebut sampai ke pembaca, sehingga pembaca tertular kekeliruan akibat ketidaktahuan? Dalam praktik, banyak kekeliruan ditemukan pada penulisan berita. Kekeliruan bisa terjadi karena kekurangcermatan, bisa pula kerena ketidaktahuan jurnalis. Kekeliruan karena kekurangcermatan, umumnya bersifat teknis. Selain mudah dikenali, dampak kekeliruan bersifat teknis tidak terlalu

s

I

n

f

o

merusak, sebab substansi persoalan masih bisa dipahami. Sebagai contoh: salah ketik, salah eja, atau penggunaan kata tidak tepat. Persoalan menjadi lain apabila kekeliruan terjadi oleh ketidaktahuan jurnalis. Karena tidak tahu apa yang benar, jurnalis tidak sadar bahwa ia menyampaikan sesuatu yang keliru kepada pembaca. Pembaca yang berpengetahuan terbatas akan menerima kekeliruan itu sebagai sesuatu yang benar. Sementara pembaca yang berpengetahuan cukup, kekeliruan itu akan disikapi dengan sinis, dicemoohkan. Proses penularan yang merugikan bermula dari sini. Sebagian pembaca, oleh keterbatasan pengetahuan, tidak mampu mengidentifikasi kekeliruan yang terdapat dalam berita yang dibaca. Lewat suatu percakapan, mungkin kekeliruan itu akan ditularkan kepada orang lain. Dan bila suatu saat ada seseorang yang mengungkapkan kekeliruan dimaksud, tanggung jawab akan ditimpakan kepada suratkabar yang memuat berita tersebut. Sementara itu, sebagian pembaca yang berpengetahuan cukup, akan menularkan sikap sinis atau cemoohan atas kekeliruan dimaksud kepada pihak lain. Akibat yang timbul sama: citra suratkabar rusak. Jurnalisme selalu memperingatkan: hindari kekeliruan saat menulis berita, jangan menulis sesuatu yang tidak diketahui kebenarannya. Lewat berita, kekeliruan dan ketidaktahuan jurnalis bisa menyebar. Jangan menulari pembaca dengan ‘virus’ kekeliruan dan ketidaktahuan. (Rondang Pasaribu )

Rencana Malam Renungan AIDS 2004 di Yogyakarta tsb sesuai dengan tema-tema tersebut? (Kami ingin film cerita, bukan dokumentasi, baik asing maupun Indonesia. Sementara pada pagi hingga siang hari, kami berencana menggelar pameran foto Tegak Tegar (nagih janji mas Tato dkk, karena urung pada Desember tahun lalu). Tempat cukup layak, yakni di ruang pameran Beteng Vrederberg, Jl. Malioboro, Yogyakarta. Tempat ini sudah biasa untuk menggelar pameran foto, lukisan bahan senirupa lainnya, baik nasional maupun internasional. Jadi, tak ada alasan lagi tentang ketidaklayakan tempat pameran. Kami kira sudah waktunya —melalui foto— Anda berbagi dengan warga Yogyakarta. Semoga ASA atau funding lain yg terkait juga bisa membantu kami, meski daerah kami terlewati untuk dibantu. (srs)

Kami, PKBI DIY, LP3Y dan JOY, telah merancang kegiatan untuk Malam Renungan AIDS yang akan kami gelar pada 20, 21, 22 Mei 2004. Kegiatan ini juga merupakan bagian dari acara KPAD DIY. Secara tiga hari berturut itu kami akan memutar film (dilanjutkan diskusi & doorprize untuk umum) bertema AIDS. Hari pertama tentang AIDS secara umum, hari kedua tentang ODHA sedang hari ketiga tentang Aksi Penanggulangan HIV/ AIDS. Pemutara film dimulai pukul 15.00-17.00 WIB, kecuali pada 22 Mei pada pukul 14.00-16.00 karena akan dilanjutkan dengan Talkshow Interaktif (on air dengan salah satu radio di Yogya). Kami ingin masukan dari teman-teman tentang film yang akan kami putar tersebut. Kami berharap film

8

S

u

m

b

e

r

I

n

f

o

Kaum “Marginal” yang Juga Punya Hak Suara …. Kamu kenapa Padmi…, kamu kok diam saja… Ayo tho ngomong, capek aku nyuruh kamu ngomong…. Diam saja kayak patung. Kamu kenapa?....... BEGITULAH kira-kira dialog yang terdengar pada pementasan teater yang berjudul Tanda Tanya yang digelar 29 Maret lalu di auditorium Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta. Pementasan teater itu merupakan salah satu acara dari rangkaian acara dialog publik tentang “sikap caleg dan Partai Politik peserta pemilu dalam mensikapi Isu PRT” yang diselenggarakan oleh Rumpun Tjoet Nyak Dien, suatu organisasi sosial yang concern terhadap pemberdayaan dan perlindungan PRT bekerjasama dengan Serikat PRT Tunas Mulya, LP3ES dan USAID. Acara yang digelar bulan maret sebelum pemilu ini tentu punya tujuan khusus. Bahwa jumlah PRT yang menurut sensus tahun 2002 sudah mencapai 36.961 untuk wilayah DIY, itu merupakan angka yang tidak sedikit. Mengingat dalam waktu dekat akan dilaksanakannya pemilu, meskipun secara tidak langsung, mereka juga punya andil suara dalam proses ini. Pementasan teater yang disutradarai oleh Zuhdi Siswanto, cukup menarik untuk diceritakan. Bagaimana dalam kesehariannya mereka (PRT) menghadapi kondisi pemilu yang semakin membuat bertambah bingung, karena sistem pemilu saat ini sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Kebingungan mereka terlihat ketika mencoba memilih partai dan mengenal para caleg-caleg (calon legislatif) yang harus mereka pilih.

Tidak hanya itu, gambaran aktivitas di mana mereka berkumpul, menceritakan pengalamanpengalaman mereka, tentang perlakuanperlakuan dari sang majikan ketika sedang bekerja merupakan realita yang mungkin saja terjadi di sekeliling kita. Kondisi mereka dengan serba “tanda tanya” diperankan dengan baik. Kisah-kisah PRT, yang terkadang tidak dipedulikan ini, dimainkan oleh 7 orang yang kesemuanya, perempuan itu. Cerita teater itu bisa menjadi awal dari kepedulian kita untuk memandang manusia yang biasa disebut dengan pembantu rumah tangga. Yang dalam perjuangannya juga menuntut hak sebagai pekerja lain yang sering disebut dengan buruh. PRT yang dalam pasal Undang-undang no. 14 tahun 1969, tentang ketentuan pokok tenaga kerja, hampir sama dengan buruh. Disebutkan bahwa yang termasuk tenaga kerja adalah orang yang mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang/jasa demi memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan dalam penjelasan pasal tersebut dibeberkan bahwa pengertian tenaga kerja itu meliputi tenaga kerja di dalam dan di luar hubungan kerja dengan mempergunakan alat reproduksi. Di sini dapat diihat bahwa yang dimaksud hubungan kerja adalah bekerja di bawah perintah orang lain dan menerima upah. Dengan demikian jelas bahwa PRT adalah tenaga kerja 9

S

u

m

b

e

r

atau pekerja pokok, hanya saja tidak diperlakukan layaknya tenaga kerja. Selama ini memang tugas-tugas yang dibebani PRT nyaris tak terbatas seperti memasak, mecuci, menyetrika, mengasuh dan memandikan anak, menyapu, mengepel, menjaga rumah dan sebagainya. Belum lagi sewaktu-waktu kalau majikan memerlukan tenaganya, PRT haruslah siap setiap saat. Bahkan mengenai gaji pun banyak sekali yang dibayarkan tidak penuh atau bahkan sampai tidak dibayar sama sekali Bentuk lain yang kerap kali muncul di media tentang PRT ini adalah kekerasan yang didapat dari majikan selama bekerja. Tidak hanya kekerasan psikis, kekerasan fisik seperti p e m u k u l a n , penganiayaan bahkan pemerkosaan seringkali terjadi. Faktor apa yang menyebabkan PRT tidak memiliki bargaining position dengan pengguna jasanya. Salah satunya adalah karena mereka kebanyakan berpendidikan rendah dan berasal dari desa. Sehingga tidak punya kekuatan untuk itu. Selain itu, usaha untuk ada semacam kontrak kerja dengan pengguna jasa memang diperlukan. Sehingga PRT yang notabene juga manusia, tentu mempunya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Hak-hak itu misalnya memperoleh gaji, perlakuan layak, menuntut ilmu, berorganisasi dan sebagainya. Sedangkan Contoh Media karya para PRT kewajibannya adalah bekerja sesuai tugas secara baik dan penuh tanggungjawab, tidak menunda-nunda pekerjaan dan menghargai serta menghormati anggota atau kerabat keluarga majikan.

I

n

f

o

Masing-masing parpol punya pemahamannya sendiri-sendiri dalam memandang isu PRT ini. Sebagai contoh caleg PAN, meskipun ia melihat bahwa tidak ada satu parpol besar pun yang memperhatikan isu PRT ini. Siti Majmuah, mengakui, bahwa untuk isu PRT ini mungkin hanya mendapatkan porsi 10 % di partainya dengan alasan karena masih banyak-isu lain yang perlu digarap. Dan jika ia menjadi anggota legialatif, “Insya Allah saya akan memperjuangkan masalah hubungan kerja, UMR (Upah Minimum Regional), dan hak cuti dan istirahat”, katanya. “Perjuangan hak cuti dan waktu istirahat itu bisa ditempuh dengan cara dialog antara PRT dengan pengguna”, imbuhnya.. Adapun PKS dan PKB, ketika diminta untuk berbagi pengalaman tentang kondisi PR T, terutama menyangkut PRT masing-masing, mereka tidak bisa memerincinya karena di rumah mereka tidak punya secara spesifik yang dikatakan PR T. Tetapi ada PR T “Pocokan” seperti: tukangcuci baju dan setrika yang setiap hari bisa pulang. Hal yang menarik ketika caleg partai Golkar mencoba melihat persoalan itu dari sisi kultur. Dikatakan Khoiruddin, bahwa PRT (pembantu Rumah Tangga) itu berasal dari tradisi rewang, dalam bahasa jawa artinya, bantu-bantu dan tidak digaji dan hanya dibayar makan selama 1 hari. Demikian juga dengan arti PRT yang masih sering diartikan demikian. Dengan demikian secara kultural memang PRT ini lebih pada kontrak persahabatan dari pada sebagai kontrak kerja. Oleh karenanya Khoiruddin juga tidak setuju dengan sebutan kata pekerja untuk pembantu rumah tangga. Karena sampai saat ini belum ada legal drafting yang memberikan legitimasi bagi PRT sebagai pekerja. Meski diakui pressure untuk mengarah kepada kepedulian tentang hak legitimasi PRT sudah memang harus diperjuangkan, sehingga PRT sebagai pekerja pun lebih jelas akan hak-haknya dalam menjalankan pekerjaannya.(May)

Sikap caleg terhadap isu PRT Dalam kesempatan ini hadir beberapa caleg yang mewakili parpolnya, seperti Partai Amanat Nasional, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. 10

S

p

e

s

i

a

l

I

n

f

o

Ruang Publik bagi Elizabeth Cady Stanton (Perempuan) Oleh : Luviana *)

PADA satu hari Elizabeth Cady Stanton, ibu dari 7 anak berkirim surat kepada sahabat perempuannya, Susan B Anthony. Ia mengeluhkan karena tidak punya waktu untuk menghadiri pertemuan-pertemuan di luar rumah. Waktunya telah habis untuk mengerjakan pekerjaan rumah dan mengasuh anak-anaknya yang masih kecil. Ketika pertemuan dilakukan pada malam hari pun, ia tidak bisa juga hadir, karena harus menunggui anaknya sampai benar-benar tertidur. Beberapa tahun kemudian setelah anak-anaknya dewasa, ia kembali berkirim surat pada Anthony. Ia menyatakan saat ini sudah bisa mengikuti pertemuan di luar rumah karena anaknya sudah bisa mengurus diri mereka sendiri. Namun dalam surat itu ia juga menghitung, betapa lamanya masa penantiannya untuk mengikuti pertemuan di luar rumah. Padahal suaminya, Henry Stanton, seorang aktivis anti perbudakan sering meninggalkan rumah karena pekerjaan politiknya. Susan B. Anthony-lah yang selama ini selalu mendorong Stanton untuk membaca di rumah. Karena ini bisa menjadi pengisi waktu yang paling baik ketika tidak bisa mengetahui aktivitas di luar rumah. Anthony juga yang selanjutnya mengajak Stanton untuk terjun ke dunia politik menjadi pejuang bagi perempuan lainnya. Keduanya kemudian dikenal sebagai feminis yang banyak memperjuangkan anti perbudakan bagi perempuan di Amerika Serikat, terutama para perempuan kulit hitam. Pada tahun 1848, keduanya juga memprakarsai konvensi hak-hak perempuan, dan ikut mendeklarasikannya pada peringatan kemerdekaan

Philadelphia, 4 juli 1876. Karena kesukaannya pada bacaan bible/injil, Elizabeth kemudian dikenal sebagai pencetus teori, bahwa Tuhan itu mempunyai sifat androgin. Teori ini menjadi sangat penting dan banyak dipercayai bahwa Tuhan punya sifat feminine dan maskulin. Ia kemudian juga menelorkan teori yang sangat penting di kalangan feminis bahwa seorang ibu mempunyai kekuatan luar biasa untuk berbuat sesuatu, karena seorang ibu sudah menapaki banyak tahap kehidupan yang penting. Salah satunya, ia bisa menjadi sumber energi bagi anak-anaknya. Dari catatan harian Elizabeth ini, kita seperti diingatkan, seberapa lama seorang ibu mempunyai waktu untuk berdialog di luar rumah? Dan seberapa lama pula ia harus menunggui waktu ketika anakanaknya dewasa, atau ketika waktu mengatakan bahwa sudah tidak ada lagi waktu yang tersisa? Salah satu penelitian penting, pernah dicatat oleh pusat layanan informasi perempuan (PLIP) Mitra Wacana, yang dilakukan di yogyakarta pada tahun 1998-1999. Penelitian ini menemukan bahwa seorang ibu harus menyelesaikan pekerjaan publiknya, dan kemudian pekerjaan domestiknya, sebelum mengikuti pertemuan. Kalaupun ia datang ke pertemuan di malam hari, di mana para suami mereka berkumpul, ia hanya menjadi seksi konsumsi, dan tidak punya kesempatan berada dalam suatu ruang/forum dialog. Akibatnya mereka tidak paham betul, keputusan apa yang harus diambil. Selain itu, mitos-mitos untuk menjadi perempuan pun harus ia terima, seperti di antaranya perempuan tidak boleh keluar rumah sendiri. Hal inipun terjadi pada perempuan yang berstatus sebagai janda. 11

S

p

e

s

i

a

l

I

n

f

o

Paradoks yang sama, selanjutnya juga muncul. menyelesaikan pekerjaan domestiknya, memandikan, Ketika ada larangan untuk membawa anak-anak menidurkan anak-anaknya, sampai bisa menyisihkan mengikuti kampanye atau mengikuti dialog publik, waktu untuk ke luar rumah. Padahal para pelaku pada pemilu 2004 baru-baru ini. politik yang kebanyakan laki-laki, tidak pernah mau Dari beberapa tayangan televisi dan berita di melihat hal ini. Laki-laki hanya memunculkan idemedia cetak, umumnya diketahui bahwa yang ide, tanpa tahu bagaimana mengerjakannya. membawa anak-anak ini adalah para ibu, yang ingin Dalam struktur Yunani pada abad ke-5 kala itu, mengenal caleg mereka secara langsung. Jika anakArrend menuliskan bahwa perempuan, anak-anak dan anak ini ditinggal, maka tidak ada yang menemani budak tidak pernah dilibatkan sebagai warga negara mereka di rumah. Padahal para ibu ini sangat ingin polis. menggunakan hak publik sekaligus hak pilihnya Betty Friedan dalam bukunya Feminine Mysnanti. Mengenai urusan anak, selalu menjadi milik tique (1963) kemudian memberi ide tentang sebuah ibu/perempuan, sedangkan ruang publik. Ruang publik laki-laki ingin banyak semestinya bisa dihiasi tampil di depan. pemikiran semua orang. Jadi Hannah Arrend, filsuf perempuan Dari beberapa kali ruang publik ini menjadi berdarah Yunani mengatakan, peliputan dialog para caleg ruang yang androgini, yang “para pelaku politik hanya pintar (calon legislatif) dan menampung keluhan semua beretorika, tapi tidak mengerjakan masyarakat pada malam hari orang dan pendapat semua hal-hal politis yang sudah di Jabotabek, sangat jarang orang. Karena dari sinilah saya dapatkan perempuan akan dimunculkan konsep dikerjakan seorang perempuan. yang hadir di situ. Mereka tentang pluralitas dan Seorang perempuan harus melalui sedang menidurkan kesetaraan. banyak tahapan untuk hadir dalam anaknya atau menemani Semua orang ruang publik. Ia harus anaknya belajar ketika seharusnya memikirkan hal menyelesaikan pekerjaan dialog ini berlangsung. ini. Caleg dan laki-laki harus domestiknya, memandikan, Padahal, ruang dialog ini mulai berpikir untuk merupakan media untuk mengerjakan pekerjaan menidurkan anak-anaknya, sampai menuangkan segala rumah bersama-sama, baru bisa menyisihkan waktu untuk ke gagasan, tentang kehidupan menuangkan ide-ide luar rumah. Padahal para pelaku domestik yang jarang persoalan ke dalam ruang politik yang kebanyakan laki-laki, disentuh laki-laki. publik. Mereka juga harus tidak pernah mau melihat hal ini. Seharusnya para caleg memikirkan sebuah ruang ataupun parpol (partai publik yang ramah bagi Laki-laki hanya memunculkan idepolitik) cukup kritis untuk semua orang, sehingga yang ide, tanpa tahu bagaimana memikirkan, bahwa ruang satu tidak merasa mengerjakannya” ini seyogyanya bisa ditinggalkan oleh yang lain, dijadikan sebagai media seperti yang dialami Stanton, untuk melakukan partisipasi yang harus menunggu sekian publik, di mana semua orang bisa berkumpul dan lama untuk bisa keluar ke ruang publik. berpendapat. 18 tahun setelah kematian Stanton(1805-1902), Hannah Arrend (1906-1975), salah seorang filsuf para perempuan Amerika baru bisa memperoleh hak perempuan berdarah Yunani menyatakan, bahwa suaranya. Barangkali kita tidak usah menunggu partisipasi warga dalam ruang publik/ruang dialog jatuhnya banyak pencetus ide untuk melahirkan ini sering luput dari perhatian para pelaku politik. sebuah konsep ruang dialog/publik yang ramah untuk Ia menilai para pelaku politik hanya pintar beretorika, semua orang. tapi tidak mengerjakan hal-hal politis yang sudah dikerjakan seorang perempuan. Seorang perempuan harus melalui banyak *) Pernulis bekerja sebagai jurnalis Metro TV, aktif di tahapan untuk hadir dalam ruang publik. Ia harus salah satu kelompok studi/kajian feminis, Jakarta. 12

I

n

f

o

B

u

k

u

Duka Perempuan dalam Sebuah Sejarah BUKU ini diawali dengan sebuah Buku hasil investigasi puluhan pengantar yang membukakan relawan Tim Kemanusiaan Timor “mata hati” pembaca tentang Barat (TKTB) sampai bulan April pemahaman terhadap sejarah, 2000 di 74 kamp pengungsian dari khususnya sejarah tentang perang sekitar 200 kamp pengungsian di yang selalu berkisah tentang Timor Barat ini, dari sisi pemilihan kepahlawanan. Pastor Katolik judul memang menarik. Pemilihan Paroki Buraen Amarasi RD Leo kata “dibawa/h” seperti dijelaskan Malli menyebutkan, sejarah di Bagian I (hal. 3) bukan sekadar kepahlawanan adalah sejarah bahwa kaum perempuan dibawa para pemenang. Kecenderungan dari Timor Timur ke Timor Barat, ini juga berlaku untuk sejarah namun juga dalam arti mereka rakyat Timor Timur, utamanya dalam posisi ketergantungan pasca Jajak Pendapat 1999 yang secara ekonomis, psikologis dan adalah sebuah realita yang amat sosio-budaya terhadap laki-laki. pedih dari sejarah yang Kendati “dibawa/h” adalah berlumuran darah, dan gabungan dibawa dan memakan korban dari dibawah, namun Judul buku: Perempuan dibawa/h Laki-laki Yang rakyat yang tak fokus dari paparan Kalah, Kekerasan Terhadap terhingga. Dan korban buku ini adalah Perempuan Timor Timur dalam Kamp yang paling menderita kekerasan yang Pengungsi di Timor Barat akibat peristiwa politik dihadapi pengungsi Penulis : Karen Campbell Nelson dkk Jajak Pendapat 1999 perempuan yang di Penerbit : JKPIT dan Yayasan PIKUL adalah perempuan dan bawah tangan dan anak-anak. kaki laki-laki yang Halaman : xii + 272 halaman Buku ini seperti keras. Tahun : 2001 ditulis RD Leo Malli, Membaca buku menyodorkan sebuah ini seperti menyusuri paradigma baru untuk melihat sejarah dari perspektif sebuah perjalanan sejarah dengan sangat nyata, lewat para korban, dalam hal ini perempuan sebagai pemuatan foto-foto dengan tingkat human interest yang korban. Analisa makro maupun mikro yang tinggi membantu pembaca menumbuhkan imajinasi dikuatkan oleh analisis integratif atas kasus-kasus tentang kondisi yang selama ini tak terungkap. kekerasan yang menimpa kaum perempuan Timor Demikian pula dengan Dokumen Garnadi yang “rahasia” Timur di kamp-kamp pengungsian Timor Barat maupun data dari kasus kekerasan yang dialami menyadarkan tentang kompleksnya dimensi pengungsi perempuan, yang kebanyakan terjadi di kekerasan tersebut. Dimensi sosio-politis, sosiokamp-kamp pengungsian (Bab IV–X, hal 91 – 198).. kultural serta akar historis dari kekerasan semuanya Demikianlah, buku ini memang menawarkan membuktikan bahwa kekerasan terhadap perempuan sejarah yang pahit, kekerasan terhadap perempuan pengungsi di kamp-kamp pengungsian Timor Barat pengungsi. Namun seperti harapan yang tertuang bukanlah sebuah fakta tunggal. Bahkan hampir dalam pengantar redaksi, kalau kita dapat belajar semua persoalan yang ada di kamp selalu dengan baik dari pengalaman dan refleksi perempuan mengandung kemungkinan timbulnya kekerasan (di kamp pengungsian, red) tersebut, bisa saja sejarah terhadap perempuan. pahit ini tidak perlu terulang lagi.(runi) 13

I

n

f

o

B

u

k

u

Menuju Pers yang Independen dan Berwibawa! Melihat kondisi demikian, SAAT INI Indonesia tengah berada ternyata mampu menggelitik dalam masa transisional dari rejim seorang praktisi media massa, otoriter ke demokrasi. Belenggu untuk menerbitkan sebuah buku terhadap pers yang sudah alternatif tentang kebebasan pers berlangsung lama putus secara dan Kode Etik Jurnalistik, yang tiba-tiba sehingga pers tampak diharapkan dapat turut serta kelebihan energi dalam meluapkan membantu mengatasi problem kebebasan itu. Pada beberapa hal, struktural pers dan rendahnya pers tampak kebablasan. Secara profesionalisme pekerja pers di Ineksternal, pengaruh kapitalisme donesia. juga turut mengurung institusi pers. Buku ini secara garis besar Pada kaitan ini, pers dibagi dalam tiga bagian, mengalami kebimbangan. Pers pertama, pembaca akan dibawa dipersepsi sebagai pilar keempat ke alam sejarah pers Indonesia (fourth estate) setelah eksekutif, dari jaman voc abad 18 hingga era legislatif, dan yudikatif. Ketika pers reformasi. Kedua, paparan teoritis sangat berdaya (powerfull) seperti tentang kebebasan pers, kode etik saat ini, ia berada pada posisi jurnalistik dan kaitannya dengan bimbang, kepada siapa profesionalisme sesungguhnya pers wartawan, disampaiharus berpihak. Judul buku : Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik kan secara ringkas Sementara di sisi lain, Penulis : Masduki namun padat. Dan godaan secara materil Penerbit : UII Press ketiga, adalah begitu di depan mata. Halaman : xvi + 152 halaman pembahasan tentang Mengutip buku problematika Pers di bertajuk Public PhilosoTahun : 2003 Indonesia. phy, karya seorang Buku ini tokoh pers AS, Walter bersumber dari bahan mengajar mata kuliah, materi Litman, yang juga pemimpin redaksi Newsweek. ceramah penulis dalam beragam pelatihan jurnalistik “Dalam buku itu, Litman menyatakan bahwa dan penyiaran, dan dari sejumlah artikel yang dimuat seharusnya pers mampu meposisikan dirinya pada di media massa lokal dan diperkaya sejumlah literatur. ‘aras (tempat) yang paling ideal. Pada pers seharusnya Isi buku ini mengupas lebih lengkap dalam dua juga melekat dimensi kenegarawanan sehingga pers sisi sekaligus, sisi teoritis dan sisi aplikatif. Karena memiliki wibawa yang dihormati semua kalangan,” itu penulisnya sempat meng-klaim bukunya amat tegasnya. berbeda dengan buku serupa yang ada duluan di Yang terjadi disini, di tengah kegamangan pers pasaran. “Memang banyak buku serupa telah yang Indonesia, ada masalah lainnya yang cukup pula beredar di pasaran, tapi umumnya buku-buku pelik.. Yakni, masih lemahnya profesionalisme tersebut masih teoritis, sehingga penulis sendiri selaku pekerja pers. Buktinya, begitu kran demokrasi praktisi media kerap kesulitan mengkonsumsniya, dibuka lebar-lebar. Pers merespon begitu antusiasnya, bandingkan dengan buku ini,” jelas Masduki. sementara profesionalisme pekerjanya belum sempat Semoga buku ini nantinya dapat turut serta dibangun. Yang terjadi kemudian, banyak Media menyemaikan kehidupan pers yang demokratis. Massa Cetak dan Elektronik, yang muncul dan Ditunjang sikap masyarakat dan pemerintah yang tenggelam kembali. Dari sisi jurnalisme, mutu tulisan tepat dan kondusif bagi berlangsungnya kemerdekaan yang amat rendah menyebabkan sering terjadinya: pers sebagai hak asasi manusia, akan mampu berita yang tidak akurat, tidak berimbang, mendorong terwujudnya Pers yang independen dan sensasional, banyak melanggar kode etik jurnalistik berwibawa di negeri ini, semoga! (Anung) dan sebagainya. 14

S u r a t

P e m b a c a

(pelatihan Banjarmasin lalu)... Jadi pastilah kami bisa membantu.

From: adi prabowo To: [email protected] Sent: Saturday, March 06, 2004 8:35 PM Subject: PINDAH MEDIA Salam hormat, Pak Slamet... Pak, saya sekarang sudah pindah ke koran Tribun Kaltim, Balikpapan, Kaltim. Bisa tidak newsletter yang sekarang (mungkin) masih terkirim di Harian Bernas, dikirimkan ke alamat saya terbaru di Balikpapan. Kalau bisa terima kasih. Kapan pelatihannya diselenggarakan di Balikpapan, kan sudah sering di Banjarmasin. Apalagi di Balikpapan (Tribun Kaltim..he..he..he..) ada alumninya, saya, Baskoro Muncar dan Siti Munawaroh

Alamat saya Adi Prabowo Harian Tribun Kaltim Jl Indrakila (Straat III Dalam) RT 52 Nomor 1 Kampung Timur, Balikpapan, Kalimantan Timur 76125 Terima kasih atas perhatiannya. adi prabowo ... dengan senang hati permintaan anda akan kami penuhi segera! Selamat Berkarya.(Red)

Mungkin dengan begitu kami bisa saling sharing dan berbagi berita untuk disajikan kepada khalayak ramai. mungkin ini saja dulu lebih dan kurang saya mohon maaf.

From: litbang pusdok To: [email protected] Sent: Wednesday, March 17, 2004 11:55 AM Subject: Ingin Mendapatkan Newslatter PMP AIDS Assalamualaikum wr. wb Kami dari redaksi Harian Umum Riau Mandiri bagian LITBANG dan Perpustakaan ingin sekali mengetahui bagaimana caranya mendapatkan Newslatter setiap bulannya atau perterbitnya sebagai acuan bagi media kami.

Hormat Saya Renny Rahayu Permohonan Newsletter disampaikan kepada Pimpro AGKR-LP3Y dapat melalui email (Red)

hallo mas anung, bisa nggak saya minta tolong mas untuk untuk mengirimkan file tentang buku Media dan Gender terbitan LP3Y, kalau ada file yang berbahahsa Ingris, kalau nggak ada yang bahasa Indonesia nggak papa. Kalau bisa dalam bentuk file buku, kalau nggak bisa paling tidak mas bisa kirimkan ke saya melalui email ini (aattachment) file paper/makalah yang membahas tentang buku itu atau paper tentang peranan media dalam meliput isu gender di Indonesia. AKu perlu untuk membuat makalah tugas kuliah di Manila sekarang nih mas. Sekalian mempopulerkan LP3Y ke teman-teman yang berasal dari liam negara Asia. Saya tunggu secepatnya dan semoga tidak mengganggu dan terima kasih banyak ya.

From: Masduki Masduki To: [email protected] Cc: [email protected] Sent: Monday, April 19, 2004 3:46 PM Subject: minta tolong Catatan : Masduki, selepas kuliah S2 di Jurusan Ilmu Komunikasi di UNS, tiba-tiba kembali harus berpamitan untuk mengikuti kuliah perdana program Master di Bidang Ilmu Komunikasi pula di Manila. Tentu kami amat kehilangan satu orang ini, karena kontribusi nya pada Newsletter amat besar dan itu jadi beban tambahan bagi lainnya. Eh, belum sempat cari akal mengatasi tambahan beban ini, lewat email dia malah minta-minta tolong! ahh tega nian orang ini!

Salam, ADINK, dari Manila 15

P

R

O

F

I

L

Fadmi Sustiwi :

Perjuangan Masih Panjang PEMILU legislatif telah berlangsung 5 April lalu. Hasilnya pun sudah tampak. Bisa ditebak , keterwakilan perempuan sangat minim. Akomodasi caleg perempuan berdasar aturan perundangan sebesar 30 persen memang tidak mengikat. Bahkan parpol yang sebelum pemilu gembar gembor menyatakan mengakomodasi caleg perempuan lebih dari 30 persen pun setelah pemilu akhirnya “gembos”. Bisa jadi karena para caleg perempuan ini sejak awal tidak ditempatkan pada urutan ‘nomor jadi’. Dari awal telah diprediksikan perempuan yang masuk legislatif pada Pemilu 2004 ini untuk tingkat kabupaten dan kota hanya 3 persen, sedang di tingkat propinsi hanya sekitar 5 persen, dan di tingkat pusat paling banyak mencapai 10 persen. “Itu memang sebuah persoalan, tapi itu hal yang memang harus bisa kita terima, “ ujar Ninik, panggilan akrab perempuan kelahiran Magelang 13 Januari 1961, alumnus Fisipol Jurusan Pemerintahan UGM ini. “Karena memang tidak akan mungkin 30 persen itu terpenuhi ketika aturan yang mengaturnya tidak mengikat” lanjutnya. Perempuan ber hobby travelling dan membaca ini lebih jauh kepada Newsletter mengatakan, kuota 30 persen itu baru merupakan permulaan. “Siapa perempuan yang masuk di legislatif, kalau kita istilahkan dia memperpanjang nafas, karena perjuangan masih panjang “, papar redaktur yang juga aktif menulis tentang relasi gender, kesehatan reproduksi dan pemberdayaan perempuan ini. Ninik menolak anggapan perjuangan mencapai kuota 30 persen bagi perempuan telah gagal. “Tidak, kita tidak gagal. Kita masih baru memulai dan ini langkah awal yang harus kita lalui untuk kemudian kita menyusun strategi baru”, papar Ninik. Kampanye perempuan pilih perempuan yang banyak didengungkan menjelang Pemilu Legislatif lalu cukup efektif. “Caleg perempuan banyak yang memperoleh suara lumayan”, katanya lagi. “Cuma mereka tidak di nomor satu. Kalau mereka tidak di nomor 1 itu adalah dampak dari UU Pemilu pasal 65 karena tidak ada keterikatan pada aturan itu”. Menyinggung tentang pentingnya kontrak politik para anggota legistatif yang terpilih, perempuan yang nyaris tidak pernah lepas dari kacamatanya ini menilai, hal tersebut terpulang pada anggota legislatif sendiri. “Mungkin membuat kontrak penting, ini adalah hal baru bagi masyarakat”. Namun menurut Ninik, kontrak politik maupun kontrak sosial itu tidak berguna jika nantinya tidak diikuti dengan implementasi. “Yang paling penting bagi kita adalah implementasinya dan komitmen mereka terhadap pemberdayaan perempuan,” tegasnya.

Begitulah, satu dari sedikit redaktur perempuan ini memang memilih banyak menyuarakan persoalan-persoalan tentang keadilan gender, kesehatan reproduksi dan pemberdayaan perempuan. “Persoalan, yang tak pernah dianggap sebagai sebuah persoalan penting, persoalan serius oleh bangsa ini” papar Ninik bersemangat. “Meskipun saya redaktur bidang politik, saya punya komitmen yang sangat kuat pada problem ketidakadilan gender ini” katanya. Komitmen itu tidak begitu saja terbangun. Ninik mengisahkan, awalnya adalah sebuah ‘kecelakaan’. “Karena saya reporter perempuan, saya banyak diterjunkan ke bidang-bidang seperti PKK, Darma Wanita, dan ketika itu sedang digalakkan peran ganda perempuan. “Saya waktu itu hanya berpikir kenapa peran ganda perempuan? kenapa selalu itu?” kenangnya. Berbagai pertanyaan yang mengusik pikirannya itu baru terjawab sekitar tahun 1993. “Sampai ada pertemuan Beijing, kebetulan ada teman yang ikut, kemudian banyak memberikan masukan pada saya,” katanya lagi. Dari situlah Ninik mulai belajar satu per satu. Banyak kegiatan yang lantas ikutinya.. Tak mudah bagi Ninik untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialami perempuan, lewat tulisan di Media di mana ia bekerja. “Mereka menganggap ini bukan persoalan, ini persoalan biasa, ini isu domestik,” kata Ninik. Maka yang dilakukannya adalah mencoba menyampaikan persoalan tidak semata-mata sebagai masalah perempuan, tapi lebih pada masalah ketidakadilan sosial. Sembari tentu saja Ninik terus memberikan pengertian kepada jajaran redaksi di medianya. “Sekarang sudah berubah, tulisan-tulisan saya tentang ketidakadilan gender, bisa dikatakan semuanya lolos,” katanya sambil tersenyum. Berbagai tulisannya sempat membuahkan penghargaan. Diantaranya, Juara I Penulisan Kespro yang diadakan PKBI dan UNFPA, Juara II Penulisan Pemberdayaan Perempuan yang diselenggarakan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Kendati begitu Ninik tetap menyimpan kegelisahan. Karena ternyata masyarakat belum mampu menangkap secara utuh pesan-pesan yang disampaikann melalui tulisan. “Kemarin di diskusi remaja, ada pertanyaan dari seorang mahasiswa yang menanyakan gender itu isu dimana, apakah hanya isu di Jogja atau isu nasional. Terus terang saya sedih dengan pertanyaan itu, saya merasa o ....artinya selama ini saya menulis tidak ada artinya, karena tidak dibaca. Apalagi media yang tidak pernah menulis,” katanya. Meski begitu Ninik tetap optimis dan menyadari bahwa pencerahan memang tidak bisa seketika, butuh waktu. (Runi) 16

Related Documents

Edisi 71
December 2019 0
71
October 2019 50
71
November 2019 54
71
August 2019 38
71
April 2020 24
71
December 2019 48