Edisi 70

  • Uploaded by: lp3y.org
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Edisi 70 as PDF for free.

More details

  • Words: 8,346
  • Pages: 16
Edisi 70 Februari 2004

ISSN 0853-7402

L

P

3

Y

d

a

n

F

o

r

d

F

o

u

n

d

a

t

i

o

Artikel dan fotonya mana ?

D a f t a r ● ●

I s i

Pengantar Redaksi ................ 1 Kalender .............................. 2 Pelatihan Singkat Asisten Redaktur



Dapur Info ............................ 3 - Perlunya Program Eksekutif Media - Topik KB Masih Tidak Sexy & Menggigit



Analisis Info ......................... 7 Sosok Perempuan Dalam Film Remaja



Sumber Info ......................... 9 Mengenal Terapi Antiretroviral



Spesial Info ...............................11 Menyoal Kehamilan pada Remaja



Info Buku ..................................13 - Perempuan dan Otonomi Daerah Minang - Mewujudkan Idealisme yang Membumi



Profil .........................................16

Cara mendapatkan NEWSLETTER PMP AIDS: Kirimkan identitas serta nama media Anda, akan kami kirimkan secara gratis. Informasi yang kami muat di NEWSLETTER dapat dikutip atau disiarkan tanpa ijin asal menyebut sumber. Apabila anda memiliki informasi tentang HIV/AIDS yang layak untuk disebarkan kepada masyarakat luas, silakan kirim dan akan kami muat. Anda dapat menghubungi kami ke alamat: LP3Y Jl.Kaliurang Km 13,7 Ngemplak, Sleman, Yogyakarta 55584 atau via telepon dan faksimili No. (0274)896016, email: [email protected] dan situs http://www.lp3y.org Penanggung Jawab : Ashadi Siregar Pimpro/Pemimpin Redaksi : Slamet Riyadi Sabrawi Staf Redaksi : Ismay Prihastuti, Masduki, Th. Puspitawati, Rondang Pasaribu Sekretaris Redaksi : W. Nurcahyo Lay out : Ari R.

1

n

K

a

l

e

n

d

e

r

Pelatihan Singkat Asisten Redaktur Harian MEDIA INDONESIA (Kerjasama LP3Y & Media Indonesia) Yogyakarta, 1-13 Maret 2004

yang perlu diperbaiki, atau bahkan tidak layak muat. Karena itu, Pelatihan Asisten Redaktur harian Media Indonesia dapat dipandang sebagai bagian dari upaya strategisuntuk menjawab tantangan yang dihadapi akibat persaingan. Dengan pelatihan ini, Asisten Redaktur diharapkan mampu memberi kontribusi penting terhadap upaya peningkatan daya saing, hal mana akan terlihat dari sentuhan kerja yang bersangkutan terhadap berita yang akan dimuat. Pelatihan bagi para wartawan Media Indonesia ini, adalah pelatihan yang ke empat kalinya dalam dua tahun terakhir ini, setelah sebelumnya juga pernah digelar : Pelatihan Jurnalistik Pemula Media Indonesia I, 1-11 Juli 2003; Pelatihan Jurnalistik Pemula Media Indonesia II, 15-25 Juli 2002 dan Pelatihan Redaktur Media Indonesia, 1928 Mei 2003. Kita berharap dengan palatihan-pelatihan ini, kinerja karyawan Media Indonesia, khususnya Reporter, Asisten Redaktur dan Redaktur semakin meningkat, sehingga Media Indonesia tetap akan menjadi Media papan atas di Indonesia, karena kualitas informasinya. Bagi para peserta Pelatihan Singkat Asisten Redaktur Media Indonesia, kami mengucapkan selamat datang di kampus LP3Y dan selamat mengikuti Pelatihan. *

DI TENGAH persaingan antar suratkabar memperebutkan pembaca sebagai konsumen media, salah satu cara menghadapi persaingan yang semakin sengit itu adalah dengan menyajikan informasi yang berdaya saing. Informasi yang berdaya saing hanya bisa dihasilkan oleh personel redaksi berkemampuan teruji. Itu berarti, kemampuan personel juga perlu berkembang mengikuti perkembangan persaingan itu sendiri. Dalam arus kerja redaksi untuk menghasilkan informasi yang disajikan kepada pembaca, posisi Asisten Redaktur memiliki arti penting. Asisten Redaktur bertugas membantu Redaktur untuk mempersiapkan informasi yang disajikan, baik yang akan dimuat pada halaman yang menjadi tanggung jawab desk terkait, maupun yang akan dimuat pada halaman lain (semisal halaman depan) suatu suratkabar. Persiapan dimaksud mencakup perencanaan, penyuntingan, penulisan ulang, dan lain-lain yang berkaitan dengan tugas suatu desk untuk mempersiapkan berita yang siap cetak. Menilik cakupan tugas tersebut, Asisten Redaktur menjalankan peran utama dalam menentukan kualitas berita yang akan dimuat surat kabar. Setiap hasil kerja reporter berupa naskah berita, Asisten Redaktur lah yang menanganinya untuk diperiksa berdasarkan sejumlah kriteria, sehingga mana saja yang dinyatakan layak dimuat, 2

D

a

p

u

r

I

n

f

o

PERLUNYA PROGRAM EKSEKUTIF MEDIA JUDUL di atas inilah LP3Y m e r u p a k a n melahirkan rekomendasi untuk programnya yang langkah LP3Y b e r t u j u a n selanjutnya dalam mengajak pers program integrasi untuk berpihak AGKR (AIDSpada korban, Gender-Kesehatan yakni jurnalisme Reproduksi) yang empati. Tahun merupakan dari 1995 konperensi benang merah hasil di Beijing diskusi Seminar menghembuskan Evaluasi Program G e n d e r Integrasi AIDSMindstreaming, Gender-Kesehatan Pimpro PMP-AGKR, Slamet Riyadi sedang memberikan presentasi-nya negara dianggap Reproduksi, LP3Ytidak berpihak Ford Foundation, Jogjakarta Plaza Hotel, Jumat-Sabtu pada isu gender. Peran LP3Y pada situasi ini yang pal6-7 Februari 2004. Acara ini dihadiri 28 peserta yang ing pas adalah menjembatani situasi makro dengan mempunyai keterkaitan dengan program tersebut baik mikro melalui jurnalisme. pernah sebagai narasumber, fasilitator, alumni, mitra Diskusi yang terjadi memunculkan beberapa maupun bentuk lain. Beberapa peserta di antaranya pertanyaan di antaranya, sejauh mana capaian target Lies Marcoes, Sita Aripurnami, Tuti Parwati, Ruhaeni dalam pelatihan yang selama ini diselengga-rakan Dzuhatin, ‘Trio Libels’ tiga sekawan Daniel Dhakidae, LP3Y? Apa sebenarnya targetnya, mungkin secara Hotman Siahaan dan Saur Hutabarat. kuantitas bisa ditunjuk-kan sudah sekian jurnalis yang Untuk ‘membuka’ sejarah tentang program ikut pelatihan. Namun berapa persen dari yang ikut kerjasama dengan Ford Foundation ini, diawali pelatihan benar-benar bisa menerapkan ilmunya? pengantar Direktur LP3Y, Ashadi Siregar dan Apalagi selama ini workshop yang diselenggarakan pemaparan program keseluruhan oleh Slamet Riyadi oleh LP3Y dinilai lebih ditujukan pada jurnalis yunior, Sabrawi. Sesi pertama seminar diisi pemaparan peta reporter. Sepulang dari pelatihan mereka kebanyakan situasi makro mengenai dunia per-LSM-an dan tidak bisa ‘berkutik’ ketika liputannya kandas di meja dikaitkan dengan posisi LP3Y sebagai institusi yang redaktur. Oleh karena itu LP3Y perlu mengubah concern terhadap isu AGKR. Lies Marcoes mengurai kebijakannya agar tujuan yang diharapkan, jurnalisme sejak dari Konferensi Mexico 1975 di mana saat itu isuempati yang berpihak pada korban dan proses isu ekonomi tidak berhasil di negara berkembang di selanjutnya terjadi perubahan kebijakan, bisa terwujud. dunia III. Kaum feminis menyalahkan karena perempuan tidak diajak berperan serta. Dalam PROGRAM VS OTONOMI DAERAH Konferensi Nairobi 1985 muncul paradigma relasi Pilihan isu AGKR sebagai program, ke depannya gender. Isu ini merupakan isu sepihak dari LSM dan menghadapai tantangan besar seiring ditetapkannya akademisi, pemerintah tidak mau menanggapi. otonomi daerah. Lies Marcoes memandang era otonomi Tahun 1994 dalam ICPD (Konperensi daerah lebih sebagai suatu ‘masalah’. Di masa Internasional untuk kependudukan dan Populasi) di sebelumnya, pusat masih mempunyai hak dan Kairo mulai didengungkan ‘Reproductive Health & Rewewenang untuk mengontrol, terutama masalah productive Rights’. Relasi gender saja dianggap tidak pendanaan dalam program, dengan mulai berlakunya menyelesaikan masalah, karena ada isu yang spesifik otonomi daerah, bukan hanya kontrol yang tidak ada, tentang perempuan, yaitu tubuh dan seksualitasnya. bahkan isu-isu AGKR menjadi prioritas ke sekian. Di sini, unsur-unsur media, lembaga agama dan LSM Otonomi daerah juga memunculkan kembali mulai dilibatkan oleh funding agencies. Dalam konteks konservatismedalam agama, fragmentasi kelompok. 3

D

a

p

u

r

I

n

f

o

REKOMENDASI PROGRAM Workshop yang diselenggarakan LP3Y tentunya diharapkan sustainable, namun sulit terwujud karena selama ini yang mengikuti hanyalah level yunior atau reporter, bahkan sekian kali dijumpai media mengirimkan peserta yang tidak tepat, bukan jurnalis yang memegang desk berita. Suatu ketika seorang fasilitator radio mengurut dada ketika mengetahui bahwa jurnalis yang ikut pelatihan adalah bagian marketing! Peserta pelatihan ketika kembali ke medianya, tidak akan pernah mampu mengembangkan apa yang sudah diperolehnya. Selain persoalan berbenturan di newsroom management di mana kedudukan reporter lemah, juga rotasi di dalam struktur sering mengakibatkan ilmu yang diperoleh sia-sia. Redaktur yang selama ini berkuasa atas editing terakhir, justru tidak pernah diundang pelatihan. Oleh karena itu sangat mendesak untuk mengadakan pelatihan bagi kalangan struktural di tingkat manajerial media. Hari kedua, diskusi membahas rancangan program 2004. Selain program rutin penerbitan Newsletter dan buku, program pelatihan komprehensif dilaksanakan untuk dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok jurnalis/reporter yang digabung wakil LSM. Pelatihan ini diikuti oleh jurnalis/ reporter sebagai busway dan LSM sebagai feeder. Direncanakan dalam tahun 2004 ada lima kali pelatihan, tiga kali di Yogyakarta, dua lainnya di luar Yogyakarta. Satu di Medan dengan asumsi pelaksanaan dipegang jaringan mitra setempat (KIPPAS) dengan sasaran peserta media di Sumatara dan sekitarnya. Untuk Indonesia bagian Timur, Bali ditunjuk sebagai pelaksana dengan Citra Usada-nya. Hasil pelatihan tersebut diharapkan muncul TOR liputan mendalam untuk jurnalistik. Kelompok lain, eksekutif media, sebagai penentu kebijakan yang diharapkan agar mengubah kebijakan yang lebih akomodatif terhadap isu AGKR, sehingga untuk ‘mengundang’ kelompok ini bukanlah hal mudah. (Sekadar contoh, pada saat hampir bersamaan, LP3Y mengundang 15 redaktur senior berbagai media cetak, radio dan televisi. Namun menjelang batas akhir, baru tiga media yang memberi konfirmasi). Sehingga untuk menyiasati hal tersebut acara untuk mengundang eksekutif media ‘dibungkus’ dalam acara sarasehan. Bentuk acara dan materi harus dikemas sedemikian rupa agar ‘mengundang selera’ karena sulit mengundang mereka jika isu AGKR yang dikedepankan. Program dengan dua kelompok sasaran ini diharapkan akan menjadi titik awal dan bersinergi sehingga impian untuk mewujudkan jurnalisme empati yang mempunyai keberpihakan pada korban dan jangka panjangnya akan mempengaruhi kebijakan, bisa segera terwujud. (th puspitawati)

Masing-masing kelompok merasa kecil, sehingga memacu jumlah penduduk yang salah satunya dengan mendengungkan poligami. Ideologi diinternalisasi melalui tubuh dan seksualitas perempuan. Anak lakilaki dinilai lebih berharga, karena diharapkan kelak akan menjadi ‘tentara’ sehingga mendapat anak lakilaki adalah keharusan Hotman Siahaan sependapat dengan Lies, mulai mensinyalir bangkitnya kebudayaan lokal yang kecenderungannya sekadar nativisme belaka, menghidupkan kembali hukum atau tradisi lama sehingga terjadi dislokasi. Salah satu contohnya adalah sempat muncul perda tentang pelarangan perempuan ke luar rumah melebihi jam 21.00 kecuali dengan muhrimnya. Hotman memandang otonomi daerah sering bermakna sebagai etnopolitik atau politik etnis dan bukannya semangat demokratisasi sebagai nation state. Untuk mengatisipasi hal ini, Hotman meminta LP3Y untuk lebih menempatkan wartawan lokal untuk penyadaran. PEMBENAHAN KURIKULUM Tercapai atau tidaknya sebuah program bisa dilihat dari output-nya. Ruhaeni Dzuhayatin menyarankan agar dibuat modul yang integratif dengan gender mendapat porsi lebih besar karena membentuk perspektif. Dosen dan ketua PSW IAIN Sunan Kalijaga ini dalam beberapa kesempatan menjadi narasumber pada saat workshop, mendapatkan fakta betapa sulitnya memberi masukan untuk membentuk sebuah perspektif kepada jurnalis. “Kita tidak mungkin membentuk suatu perspektif bila tidak ada proses perubahan struktural. Dan di Indonesia, mau tidak mau harus melibatkan perspektif teologis. Persoalan gender lebih sulit diintegrasikan dalam program ini karena persoalan gender loaded value-nya di persoalan akidah” paparnya. Lebih lanjut Ruhaeni juga mengusulkan pemetaan yang rinci dengan menerangkan gender sebagai tataran yang berbeda-beda, misalnya gender sebagai sebuah kata asing, gender sebagai fenomena sosial, gender menjadi masalah sosial, gender menjadi tool of analysis dari ilmu sosial, gender sebagai concern dan gender sebagai ideologi gerakan. Sayangnya, waktu pelatihan tidak memungkinkan menyerap materi semua, mungkin sebagai kerangka berpikir yang paling pas bagai jurnalis adalah materi gender sebagai tool of analysis. Beberapa fasilitator pelatihan mengungkapkan betapa mayoritas peserta pelatihan masih awam sekali, bahkan untuk istilah-istilah yang wajib dipahami dalam peliputan, angle misalnya, belum dipahami. Untuk itu seleksi ketat peserta perlu dilakukan, bahkan Sita Aripurnami mengusulkan agar melakukan negosiasi dengan struktur media sebelum mengirim jurnalisnya. Bila memungkinkan, petinggi media yang bersangkutan diberi report ‘rapor’ jurnalis yang mereka kirim. 4

D

a

p

u

r

I

n

f

o

Topik KB

Tidak Sexy dan Tidak Menggigit Masih

Tempo, Jawa Pos, TOPIK tentang Keluarga Suara Pembaruan, Berencana selama ini Republika pun juga dianggap tidak sexy dan mengakui tidak tidak menarik. Begitupun memiliki kolom penilaian yang muncul khusus untuk dalam Diskusi Meja masalah KB Bundar. (roundtable dismaupun Kesehatan cussion) yang diikuti Reproduksi, namun kalangan redaktur dari menjadi bagian dari media cetak dan artikel kesehatan. elektronik yang Bahkan media raberlangsung 10 - 11 dio, SMART FM Februari 2004 lalu. misalnya, mengakui Diskusi yang diikuti 23 program kesehatan peserta dari media cetak yang dulu pernah dan media elektronik ini ada pun harus memang khusus Dari kiri ke kanan : Ashadi Siregar (LP3Y), Teddy Zuhary (Smart FM), Suriati dihapus dan membahas tentang KB/ Tasman (Sonora), Agus Utantoro (Media Indonesia), Anggit Nugroho, Fadmi digantikan dengan KR (Keluarga Sustiwi (KR), para penulis diskusi meja bundar LP3Y-STARH. program lain. Berencana/Kesehatan Lain halnya dengan media televisi. Satu-satunya Reproduksi) di Era Otonomi Daerah. Dari media cetak hadir peserta dari televisi, Suci Haryati (Metro TV) peserta dari Suara Pembaruan, Media Indonesia, Tempo, mengungkapkan, kalaupun medianya harus mengangkat Republika, Bernas, Kedaulatan Rakyat dan Jawa Pos. Sedang topik tentang KB, harus didasarkan atas kasus yang dialami media elektronik terdiri dari Sonora dan Smart FM (radio), serta masyarakat. “Kalau hanya seputar pengaturan anak, kita Metro TV (televisi). berasumsi pemirsa sudah tahu,” terang Suci yang Pada awalnya, Diskusi Meja Bundar yang diselenggarakan menyebutkan pula segmen medianya adalah kalangan LP3Y bersama STARH (Sustaining Technical in Reproductive menengah ke atas. Health) ini dimaksudkan untuk membawa topik-topik seputar Kendati demikian, beberapa peserta dari media KB yang ada di daerah (berdasarkan hasil liputan peserta worknasional menilai ada pula beberapa topik liputan di shop yang diselenggarakan sebelumnya, red) ke tingkat daerah (yang merupakan hasil liputan karya peserta nasional. Dengan diselenggarakannya rountable discussion workshop KB/KR di Era Otonomi Daerah, red) cukup ini diharapkan media nasional juga tertarik untuk mengangkat menarik untuk dijadikan agenda media mereka. Topik isu-isu yang ada di daerah tersebut menjadi agenda media tentang Desa Vasektomi di Boyolali dan Adat Karuhun mereka. di Banten misalnya, dinilai memiliki sisi human interest Namun hal itu tentu saja tidak mudah. Mengingat yang tinggi. masing-masing media memiliki kebijakan redaksional sendiriSelain kendala kebijakan masing-masing media, sendiri. Di samping itu, topik tentang KB selama ini diakui kendala yang dihadapi juga menyangkut SDM (Sumbert beberapa peserta diskusi meja bundar masih menjadi bagian Daya Manusia) yang dimiliki media. Istilah-istilah dalam dari artikel kesehatan. “Bidang kesehatan itu tidak mudah Keluarga Berencana misalnya, menurut Sabar Subekti dari digarap,” begitu komentar Idayani dari Tempo. Tak hanya 5

D

a

p

u

r

I

n

f

o

Dari diskusi yang dilakukan kelompok media Suara Pembaruan, banyak yang tidak mudah dipahami oleh elektronik, beberapa hal yang dibahas antara lain batasan masyarakat atau bahkan oleh wartawan itu sendiri. topik yang diberikan STARH, yang harus mencakup bidang Pernyataan Sabar ini cukup beralasan, karena saat dr Bimo yang ditangani STARH saja. “Seharusnya STARH tidak dari STARH memaparkan materi tentang perkembangan membatasi dalam pengembangan topik seputar KB/KR,” pemakaian metode KB tahun 1999 - 2003, terbukti banyak begitu rekomendasi yang dihasilkan kelompok radio yang istilah “baru” didengar oleh peserta diskusi meja bundar. disampaikan Suci Haryati dari Metro TV. “Yang terpenting “Kalau boleh saya menyarankan, perlu kiranya dibuat substansi tujuan atau target STARH yaitu pelayanan sebuah buku pintar KB dan Kespro untuk wartawan,” begitu berkualitas dan pilihan alkon bagi klien terpenuhi,” usulnya. “Agar kalau ada istilah-istilah atau info-info yang lanjutnya. Selain itu bentuk penyajian topik-topik KB/KR penting, bisa disajikan dengan tepat,” lanjutnya. Minimnya bagi media televisi maupun radio seharusnya tidak harus pengetahuan tentang istilah-istilah dalam KB diakui pula oleh berbentuk talkshow. “Disesuaikan dengan format dan Heri Sunanto dari Kedaulatan Rakyat yang mengaku cukup kondisi khalayak pendengar maupun pemirsa,” tambah kesulitan untuk memahami istilah-istilah yang disampaikan Suci. narasumbernya saat melakukan peliputan di lapangan. Hal lain yang Kendala SDM ini juga sempat muncul memang sempat dalam diskusi adalah menjadi bahan diskusi harus makin ketatnya yang cukup hangat. rekruitmen peserta Tak hanya tentang workshop. Sehingga pengetahuan dari ke-mungkinan salah wartawan maupun sasaran atau salah reporter saja, namun peserta yang juga masalah lain, yaitu mengakibatkan kemalasan wartawan. kurang optimalnya Terlebih saat hari hasil workshop dapat kedua disampaikan diminimalkan sejak pemaparan hasil dini. liputan dan karya proSementara itu, gram perbincangan rakelompok media dio yang diproduksi cetak menilai, peserta workshop KB/ Suasana pada diskusi meja bundar KB/KR di Era Otda LP3Y-STARH permasalahan yang KR tahap I dan II. diungkapkan INSIST sebelumnya cukup layak untuk Media cetak misalnya, baru terkumpul 14 tulisan. “Itu pun diangkat media nasional. Sehingga kelompok media cetak tidak semuanya berupa liputan mendalam, padahal kita ini pun merekomen-dasikan persoalan KB/KR maupun sudah menyampaikan untuk membuat liputan mendalam,” Kesehatan secara umum menjadi isu publik dan hak publik kata Ismay, salah satu fasilitator workshop untuk media dan menjadi “filosofi” media atau pengelola media/newscetak. room. Sedang dari radio meski telah terkumpul sebanyak 29 Hanya saja kelompok media cetak menilai perlu karya program perbincangan, namun tidak sedikit yang langkah untuk mengubah paradigma pengelola media hasilnya “pas-pasan”. Topik yang unik dari daerah-daerah, (jurnalis) dalam meliput persoalan KB/KR ini. Sudut tak satu pun muncul dari karya program perbincangan radio. pandang elit yang seringkali digunakan sudah semestinya Untuk membahas lebih jauh tentang liputan bagi mediubah untuk lebih fokus pada persoalan publik. Hal ini dia cetak dan program radio ini, para peserta pun dibagi tentu akan berbeda maknanya, jika menggunakan sudut menjadi dua kelompok, kelompok media cetak dan pandang publik maka kita juga akan melihat apakah hakkelompok media elektronik. Masing-masing membahas hak publik sudah terpenuhi, selain kita juga mampu tentang kelayakan isu KB/KR di daerah untuk diangkat mengangkat persoalan KB/KR menjadi realitas sosial. media nasional. Namun jika hanya elit yang menjadi titik tolak pemberitaan, Sebelumnya, pada sesi terakhir hari pertama peserta realitas sosial yang sesungguhnya tidak begitu tercermin diskusi meja bundar mendapatkan gambaran dari hasil assesskarena masih dalam kerangka paradigma lama. ment yang dilakukan Institut for Social Transformation (INHal lain yang disepakati dari diskusi bersama antara SIST) yang juga merupakan mitra STARH. Don dari INSIST peserta dari media cetak dan media elektronik adalah LP3Y menyebutkan, permasalahan yang mereka temukan antara lain mestinya lebih tegas lagi dalam menyikapi peserta workdaya jangkau masyarakat terhadap pelayanan KB/KR rendah, shop, baik tahap pertama maupun kedua untuk segera hambatan jarak tempuh, sarana transportasi, tarif pelayanan, menyelesaikan tugas peliputan maupun program supply alkon (alat kontrasepsi) tidak sesuai kebutuhan klien perbincangannya. (Runi) hingga minimnya alokasi APBD untuk KB/KR. 6

a

n

a

l

i

s

i

s

I

n

f

o

SOSOK PEREMPUAN Dalam Film Remaja Indonesia Menyusul sukses yang dialami film Ada apa dengan Cinta karya sutradara Rudi Soedjarwo, sejumlah film remaja bermunculan di Indonesia. Antara lain Tusuk jelangkung versi Jay Subiyakto yang merupakan kelanjutan dari film Jelangkung besutan Rizal Mantovani, Andai ia tau, Eiffel Im in love, Biarkan bintang menari dan 30 hari mencari cinta. Kecuali Tusuk jelangkung yang bertemakan horor kontemporer, puluhan film lain semuanya bertema serupa, percintaan dua pasang atau lebih remaja, lebih khusus lagi remaja di sekolah menengah di kota metropolitan Jakarta. Layak diduga, simbol remaja sekolah menengah umum ditonjolkan berkait potensi penonton film yang paling besar di kalangan mereka disamping energi kreatif yang tidak pernah habis dikupas dari serial kehidupan percintaan ketika manusia memasuki masa puber di SMU. Simbol metropolitan menonjol dari cara bergaul, berpakaian dan tempat-tempat hiburan yang didatangi para remaja itu, di samping sudah pasti idiom komunikasi seperti gue dan loe yang selalu tidak pernah ketinggalan. Tulisan kecil ini ingin menyoroti satu aspek lainnya dalam film-film tersebut, yaitu bagaimana pendeskripsian sosok perempuan muda atau remaja, meliputi jati diri dan interaksinya dengan pihak lain. Dalam artikelnya di majalah Tempo edisi 25 Januari 2004, kritikus film Laela S. Chudhori menyebut sejumlah stereotipi dalam film-film remaja Indonesia yang laris, yaitu remaja yang menyukai puisi dalam film Ada apa dengan Cinta, remaja yang suka iseng memanggil-manggil hantu dalam film Jelangkung dan Tusuk jelangkung, remaja dungu, cuek dan manja dalam film Eiffel Im In love dan remaja yang sibuk mengurusi penampilan fisik seperti payudaranya dalam film 30 hari mencari cinta. Sekilas stereotipi di atas menggambarkan sosok remaja yang mengurusi masalah-masalah sepele atau dalam bahasa lain mengurusi dunia permainan semata, dunia pergaulan yang mengacu pola pikir hedonistik dan konsumtifistik. Tentunya banyak pihak perlu khawatir jika penonton yang kebanyakan remaja hanya menangkap dan menginspirasi pola pikir di atas

sesudah menonton film dan idolanya berakting. Apabila sudah terlanjur menjadi trend atau kecenderungan yang ditiru secara mentah, pola pikir demikian tentu akan melahirkan efek negatif di kemudian hari bagi masa depan remaja. Berkait dengan penggambaran sosok perempuan remaja, nyaris terdapat upaya pencitraan yang sama atas perilaku mereka dalam film-film tersebut. Bukan kebetulan jika semua sutradara filmnya adalah lakilaki, akan tetapi yang krusial adalah jika film telah dianggap mewakili atau merepresentasi kondisi objektif remaja di tanah air. Lihat saja, dalam film Ada apa dengan Cinta, Eiffel Im in Love atau Andai ia tahu, remaja perempuan digambarkan sebagai pihak yang menjadi subordinat remaja pria terutama ketika berhadapan dengan masalah-masalah serius. Sosok remaja laki-laki pada umumnya tetap digambarkan sebagai sosok yang mandiri, tegar seperti Nicolas Saputra, meskipun cuek dan ketus seperti Samuel Rizal. Tanpa bermaksud memaksakan kedewasaan kepada remaja yang mungkin belum saatnya secara psikologis, perbedaan penggambaran yang signifikan pada dua jenis kelamin di atas sungguh merupakan masalah serius. Apalagi jika disadari bahwa sebagai medium komunikasi yang bersifat kultural, sebuah film tidak hanya berfungsi menghibur, tetapi menginformasikan sesuatu, mensugesti hingga menjustifikasi kebenaran perilaku tertentu kepada penonton dari semua kalangan khususnya remaja. Film sebagai produk komersial juga menjajakan pesan budaya tertentu di benak penonton. Sebagai produk komersial yang dikonsumsi secara massal, film memiliki dua aspek, yaitu sebagai tontonan alternatif, pengisi waktu luang bagi mereka yang memerlukan hiburan audio visual, dan sebagai wujud pencitraaan diri penonton berdasarkan kategorisasi tema dan pemain dalam film yang bersangkutan. Daya tarik orang menonton film pada level terendah adalah karena kebutuhan mencari hiburan di luar menu hiburan konvensional yang sudah tersedia secara mudah seperti televisi, radio atau hiburan rakyat. Pada level berikutnya daya tarik sebuah film amat ditentukan oleh penggarapan tema dan pemain yang 7

a

n

a

l

i

s

i

dikombinasi dengan skenario pencitraannya kepada publik, yang mendorong semakin banyak orang mengidentifikasi dirinya kepada citra yang sama. Contoh sederhana, remaja puteri tidak dikatakan gaul jika belum menonton film atau lebih utama lagi, jika tidak meniru gaya hidup Sandy Aulia dalam film Eiffel Im In Love.

s

I

n

f

o

apalagi sutradara sinetron. Aspek orisinalitas dari karyanya kerapkali nyaris tidak ada. Dalam konteks ini, gagasan genial yang dimiliki Mira Lesmana dalam film Ada apa dengan cinta atau Soe Hoek Gie yang sedang dalam proses produksi, patut diacungi jempol. Gagasan genial itu adalah mengintegrasikan sudut historis tertentu yang berkarakter kritis dalam bangunan seluruh cerita film dan pada segmen tertentu tampak jelas sehingga cukup produktif bagi proses penyadaran pola pikir remaja. Kompleksitas permasalahan yang dihadapi Rangga akibat keterlibatan ayahnya dalam gerakan menentang pemerintah di masa lalu dan sosok Soe Hoek Gie yang notabene seorang aktifis pergerakan melawan penindasan menjadi menarik dalam konteks peran kekinian remaja sebagai warga negara. Hanya saja, gagasan itu dilekatkan pada sosok Rangga atau Soe Hoek Gie yang notabene adalah lakilaki. Bukan Cinta yang diperankan Dian Sastrowardoyo. Sosok remaja perempuan tetap saja menjadi tempelan,

Meskipun diterpa keterbatasan materi dan fisik, remaja kota dan desa yang menyaksikan film tersebut, harus memaksakan diri menjadi Shandy Aulia oleh intervensi citra dan tuntutan semu lingkungan pergaulannya. Penggambaran perempuan dengan stereotipi tertentu dapat muncul dalam film akibat beragam interpretasi atas hasil riset ketika sebuah film akan diproduksi atau murni cangkokan dari sebuah novel yang diangkat menjadi karya audio visual. Penggambaran itu biasanya pula merupakan kombinasi antara idealisme tertentu dalam benak kreator film dalam menawarkan citra remaja dengan kepentingan komersial dari donator atau pemasang iklan yang secara langsung atau tidak mendukung kehadiran film tersebut. Dengan kata lain, penggambaran sosok remaja yang sangat bias gender dalam film-film tersebut merupakan kompromi dari berbagai kepentingan, yang harus diakui memang tidak bersumber dari kebutuhan murni remaja itu sendiri, apalagi kebutuhan yang berkait gagasan pemandirian mereka sebagai bekal menghadapi masa depan. Soal mencangkok atau meniru secara mentah terhadap karya terdahulu atau perilaku tertentu untuk dijadikan karya tontonan yang menghibur memang telah dimiliki oleh hampir semua sutradara Indonesia,

pemanis, pendamping sosok remaja pria yang menghadapi kompleksitas masalah politik. Dalam film Soe Hoek Gie yang sedang proses produksi, kita tentu berharap sosok remaja perempuan tampil lebih seimbang dalam penggambaran perilakunya dengan sosok remaja pria. Apabila ini terjadi, kita patut mengacungi jempol kedua kalinya untuk Mira Lesmana dan kawan-kawan. Dan jika sutradara lainnya mau mengikuti paling tidak mengambil inspirasi, maka akan lahir banyak karya film yang lebih edukatif, setidaknya lebih setara dalam penggambaran antara laki-laki dan perempuan. Semoga demikian. (Adink) 8

S

u

m

b

e

r

I

n

f

o

Mengenal Terapi Antiretroviral Pendahuluan. JUMLAH orang yang terinfeksi HIV/AIDS di Indonesia sudah semakin banyak terutama dengan maraknya penggunaan narkoba suntikan. Upaya pencegahan terus dilakukan namun jumlah orang yang terinfeksi sudah banyak dan sebagian memerlukan obat ARV (Antiretroviral). Terapi HIV/AIDS terdiri atas terapi dasar (nutrisi dan terapi pendukung berupa vitamin dan penghilang gejala), terapi infeksi oportunistik dan terapi ARV. Selain itu jangan lupa dukungan psikologis, sosial dan spiritual. Pada tahun 1996 didapatkan bahwa terapi kombinasi ARV ternyata amat bermanfaat. Sejak itu penggunaan obat ARV di negara maju meningkat tajam. Namun penggunaan di negara yang sedang berkembang baru dapat dilaksanakan setelah tersedia obat generik. Sekarang ini jumlah pengguna obat ARV generik di Indonesia sudah melebihi seribu orang. Obat ini semakin terjangkau harganya serta semakin tersebar di seluruh Indonesia.

ditemukan dengan pemeriksaan laboratorium yang cukup sensitive biasanya kurang dari 400 kopi/ml). Meski obat ini telah diakui secara luas manfaatnya namun setiap orang yang akan menggunakan obat ini, sebaiknya memahami obat ini dengan baik terlebih dahulu. Seperti diketahui, setiap obat selain membawa manfaat juga mempunyai efek samping serta mungkin dapat pula berinteraksi dengan obat lain. Pemahaman mengenai obat antiretroviral akan dapat meningkatkan kepatuhan minum obat serta manfaat obat ini. Kemajuan Dalam Penelitian Obat ARV AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Lama para pakar tak mengetahui apa sebenarnya yang menyebabkan AIDS. Barulan pada tahun 1984 pada waktu yang hampir bersamaan di Perancis dan Amerika Serikat, ditemukan virus penyebab AIDS yang kemudian dinamakan HIV (Human Immunodeficiency Virus). Sejak itu para peneliti mencoba menemukan obat yang dapat menghambat berkembang biaknya HIV. Upaya tersebut berhasil pada tahun 1987. Pada waktu itu para peneliti menemukan obat AZT (Azidotimidin) yang kemudian popular sebagai Zidovudin. Obat ini diproduksi oleh perusahaan obat Wellcome dan diizinkan penggunaannya di Amerika Serikat pada tahun 1987. Sejak itu beberapa obat lain juga ditemukan, obatobat ini termasuk dalam golongan nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI). Pemakaian obat-obat ini semula sebagai obat tunggal. Ternyata hasil evaluasi terapi dengan obat tunggal ini kurang menggembirakan. Obat ini potensinya sebagai penghambat berkembang biaknya HIV kurang kuat, toksititasnya cukup tinggi dan penggunaan obat ini mudah menimbulkan resistensi. Kemudian dicobakan penggunaan obat secara kombinasi 2 macam obat. Hasilnya ternyata lebih baik daripada satu macam obat, baik dalam menghambat perjalanan penyakit maupun dalam menurunkan kematian. Pada tahujn 1996, ditemukan obat golongan lain yang disebut protease inhibitor. Obat ini juga menghambat berkembang biaknya HIV, tapi dengan

Perkembangan ARV Terapi HIV/AIDS mengalami kemajuan pesat sejak 1996. Pada waktu itu ditemukan bahwa terapi kombinasi 3 macam obat antiretroviral merupakan terapi HIV/AIDS yang efektif. Jika kombinasi obat ini digunakan dengan teratur, maka terjadi perbaikan klinis berupa hilang atau berkurangnya gejala, peningkatan berat badan secara nyata, risiko terkena infeksi oportunistik berkurang serta kemungkinan perawatan di rumah sakit juga berkurang. Mortalitas (kematian) dan morbiditas (kesakitan) menurun serta kualitas hidup penderita meningkat. Cukup banyak penderita yang dapat hidup produktif, sekolah atau bekerja kembali seperti keadaan sebelum sakit. Pada pemerikasaan laboratorium penggunaan obat antiretroviral kombinasi ini mampu menurunkan jumlah viral load (hitungan secara tidak langsung jumlah HIV) secara amat nyata , bahkan pemakaian secara teratur dalam enam bulan pada sekitar 80% orang yang menggunakan obat ini, dalam darahnya jumlah HIV tergolong undetacable (tak dapat 9

S

u

m

b

e

r

I

n

f

o

cara yang lain dengan NRTI. Jika NRTI menghambat Pada tahun 2001, Afrika Selatan mengimpor obat RNA virus menjadi DNA, maka protease inhibitor ini dari India dan menggunakannya dalam terapi HIV/ menghambat pemecahan protein virus menjadi bagianAIDS di Afrika Selatan. Tapi perusahaan obat paten bagian kecil untuk membentuk virus baru. Jika proses mengajukan pemerintah Afrika Selatan ke pengadilan pemotongan menjadi karena melanggar hak protein yang lebih paten, namun pengpendek ini dihambat, adilan memenangkan Sampai bulan Oktober 2003 obat ARV yang tersedia maka pembentukan vipemerintah Afrika di Indonesia adalah : rus baru tak terjadi. Selatan, dengan Upaya untuk pertimbangan bahwa ● AZT tablet 100 mg, 300mg, sirup 10mg/ml. (Zidovudex menekan berkembang kepentingan masyabuatan India dan Thailand serta Retrovir buatan Glaxo) biaknya HIV melalui rakat luas lebih penting ● 3TC Tablet 150mg, sirup 10mg/ml (Lamivox buatan gabungan 2 obat NRTI dari pada hak paten. India, Lavasir buatan Thailand dan Lamivudin buatan Glaxo) dan 1 macam obat PI Langkah Afrika Selatan ● Nevirapine tablet 200mg, sirup 10mg/ml (Nevirex memberikan daya kerja kemudian diikuti oleh buatan India, Viramune buatan BoeringerIngelheim) yang baik untuk negara-negara ● D4T tablet 40mg dan 30mg (Stavex buatan India, Stavir menekan berkembang berkembang lainnya buatan Thailand, Zerit buatan BMS) biaknya HIV. seperti : Negara-negara ● DdI (Videx buatan Bristol Meyer Squib) Kemudian para peneliti Afrika, Thailand, ● Nelfinavir 250mg (Nelvex buatan India dan Viracept menemukan obat lain, Kambodja, Vietnam, buatan Roche) yaitu Non-nucleoside Cina dan Indonesia. ● Efavirenz 200mg (Stocrin buatan MSD) Reverse transcriptase Begitu pula Haiti, ● Selain itu tersedia gabungan obat (AZT,3TC), dan tiga inhibitor (NNRTI) yang Brasilia dan Kuba di obat (AZT 3TC, Nevirapin dan d4T,3TC dan Nevirapin) dapat menggantikan Amerika Selatan. protease inhibitor Penggunaan obat Obat ARV yang dianjurkan adalah obat yang terdiri dalam kombinasi 3 antiretroviral kombinasi dari 3 macam obat : macam obat yang ini dengan demikian 1. AZT, 3TC, Nevirapin atau digunakan. Sehingga mempunyai dua pola 2. d4T, 3TC, Nevirapin atau disamping kombinasi 2 yaitu penggunaan obat 3. AZT, 3TC, Efavirenz NRTI dan 1 PI dapat juga paten di negara maju 4. d4T, 3TC, Efavirenz menggunakan 2 NRTI dan penggunaan obat 5. AZT, 3TC, Nelfinavir dan 1 NNRTI. generik di negara Keuntungan mengberkembang. Dengan gunakan NNRTI adalah harganya lebih murah daripada demikian maka semakin banyak Odha yang dapat PI. mengakses obat antiretroviral kombinasi ini. Dengan demikian tahun 1996 dapat dianggap Pada pertemuan menteri-menteri perdagangan sebagai titik balik pengobatan AIDS. Jika semula anggota WTO di Dhoha (Qatar) Nopember 2001, dianggap AIDS tak ada obatnya, maka sejak tahun 1996 disepakati bahwa untuk kepentingan masyarakat sudah tersedia obat yang efektif untuk AIDS. luas,maka hak paten dapat dikesampingkan. Negara Meski obat AIDS yang efektif sudah tersedia, tapi yang miskin diperbolehkan menggunakan obat penggunaan obat ini tak dapat dilaksanakan secara generik. Kesepatakan ini mendorong peningkatan luas karena harganya yang amat mahal. Kombinasi 3 akses terapi terhadap HIV/AIDS di negara macam obat menggunakan 2 NRTI dan 1 PI berkembang. membutuhkan biaya sekitar 10 juta perbulan, Pada tahun 2002, WHO kemudian menyusun sedangkan 2 NRTI dan 1 NNRTI sekitar 5 juta per bulan. pedoman terapi ARV dipelayanan kesehatan, yang Dengan demikian, hanya mereka yang berpenghasilan sederhana dan mampu di laksanakan di negara miskin. tinggi atau yang dijamin oleh asuransi yang dapat Pedoman tersebut hanya mensyaratkan pemeriksaan menikmati obat ini. laboratorium yang sederhana. Melalui pedoman ini Pada sekitar tahun 2000, India berhasil membuat WHO berharap pada tahun 2010, sekitar 6 juta orang obat generik (obat yang formulanya sama dengan obat dapat mengkases ARV dan pada tahun 2005,dapat paten) yang mempunyai kualitas baik, tapi dengan dilayani 3 juta orang. Program ini dikenal dengan proharga yang amat murah, yaitu hanya sekitar 300.000 gram 3x5. * rupiah perbulan. Obat ini terdiri atas 2 NRTI dan 1 NNRTI. Keberhasilan India memberi harapan bagi Odha Sumber : Cuplikan dari buku “Mengenal Terapi di negara miskin untuk juga dapat menikmati obat Antiretroviral” antiretroviral kombinasi ini. Tulisan DR. Samsuridjal Djauzi ( POKDISUS-UI & YPI). 10

S

p

e

s

i

a

l

I

n

f

o

Menyoal Kehamilan Pada Remaja & Peran Strategis Media Oleh : Henri Puteranto S.Sos *)

DEBAT opini dengan memuat tulisan para pakar di bidangnya masing-masing, seperti peneliti, pengamat sosial, aktivis LSM dan pihak sekolah tentang problematika siswi yang mengalami kehamilan sering kita temui. Tulisan para pakar di bidang masing-masing tersebut memaparkan dari berbagai sudut pandang tentang masalah ini sehingga masyarakat mendapat gambaran komprehensif tentang apa, mengapa, dan bagaimana seharusnya problema ini dihadapi. Persoalan tentang siswi yang hamil ternyata menghasilkan paparan masalah yang cukup rumit, pelik tetapi krusial untuk segera dicarikan solusinya. Mulai dari problema cara pandang menghadapi masalah ini baik dari sekolah, orang tua, maupun pihak guru, permasalahan teknis sekolah yang akan dianggap punya aib jika masih mengaktifkan siswinya untuk sekolah, sampai upaya keberanian menentukan upaya preventif intervensi apa yang akan diberikan supaya masalah ini bisa diantisipasi, misalnya: dimasukannya informasi kesehatan reproduksi pada remaja (baca: pelajar). Selain problema di atas ternyata masalah ini juga melingkupi serta berhubungan erat dengan berbagai bidang, seperti lembaga sekolah sebagai tempat di mana siswi selama ini berada, pihak orang tua yang merasa bertanggung jawab sepenuhnya terhadap anaknya, peran lembaga agama yang kemudian dipertanyakan posisinya di tengah munculnya masalah perilaku seksual, dan tak lepas juga peran aktivis LSM dan peneliti yang mempunyai data serta penguasaan konsep tentang masalah ini. Sehingga dari sini kita mempunyai kemungkinan memetakan konsentrasi masalah ada di mana dan seberapa beratkah bobot masalah di tiap bidang-

bidang tersebut untuk kemudian dicarikan solusinya. Paparan para pakar tentang problematika siswi yang mengalami kehamilan membuat masyarakat menjadi terbuka, bahwa ada masalah penting yang harus segera dihadapi atau orang akan menjadi lebih penasaran, dan berpikir keras sebetulnya gambaran prilaku seksual para pelajar kita yang nota bene masih remaja itu bagaimana, karakteristik prilaku remaja yang bagaimanakah sehingga mereka sangat rentan dengan permasalah seksualitas, dan peran dari bidang apa untuk mendukung solusi permasalahan tersebut Karakteristik dan Perilaku Seksual Remaja Sejumlah penelitian diberbagai tempat baik di kota besar maupun pedesaan menunjukan bahwa pada usia remaja baik putra dan putri, masalah seksualitas sudah mulai dibicarakan, khususnya ketika seorang remaja putri mengalami pubertas, yaitu masa di mana remaja mengalami perubahan baik fisik atau psikologis yang berhubungan dengan masalah seksualitas. Pada masa ini keingintahuan remaja tentang masalah seksualitas cukup tinggi. Hal ini ditunjang dengan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa remaja adalah masa di mana seseorang sedang mencari jati dirinya, mudah mengalami ketidak stabilan karena masih mencari-cari dasar pengambilan keputusan yang nantinya melandasi pada setiap perilaku yang akan dia ambil. Selain hal tersebut, penelitian lain yang berhubungan dengan masalah seksualitas memaparkan bahwa keingintahuan remaja tentang masalah seksualitas ternyata tinggi. Pertama, masih 11

S

p

e

s

i

a

l

I

n

f

o

Media Informasi: Sebuah Peran Strategis Dari runutan masalah yang terpapar di atas peran media informasi baik cetak maupun elektronik menjadi hal menarik untuk dicermati karena mereka bisa menjadi agen untuk perubahan perilaku remaja baik dari baik ke buruk ataupun sebaliknya yang cukup signifikan. Sajian beritanya memungkinkan seseorang menjadi terbuka bahkan bisa saja mengalami pencerahan, walaupun ini tergantung materi apa yang diangkat apakah sekadar mencari sensasionalitas berita atau memuat isi yang membuat orang pintar. Media informasi juga memungkinkan masyarakat saling melempar ide dan argumentasinya tentang sesuatu hal sehingga menghasilkan cara pikir dan pandang yang tidak satu dimensi. Seperti halnya sebagai sebuah contoh kegiatan dengan memunculnya debat opini tentang siswi yang hamil dari sejumlah pakar atas kerjasama dari pihak media baik cetak atau elektronik, akan mampu menghasilkan keluaran yang produktif bagi siapapun. Bagi siswi yang bersangkutan membuat dia merasa ada yang memperhatikan atau berpihak. Bagi dunia pendidikan mendapat masukan yang berarti untuk selanjutnya menjadi bahan untuk diskusi. Bagi kalangan aktivis dan peneliti serta pengamat sosial semakin giat melakukan studi pada masalah ini karena ternyata problema ini sangat rumit tetapi krusial untuk segera diselesaikan dan bagi pengelola medianya sendiri akan tampak kejelasan tanggung jawab kemasyarakatan sebagai media yang mampu membawa peran strategis dalam menghadapi masalah sosial di masyarakat.

banyak prosentase jumlah remaja yang belum mempunyai informasi memadai tentang permasalah seksualitas karena akses informasi tentang seksualitas yang benar terbatas. Kedua, masih adanya stigma bahwa seksualitas merupakan hal tabu untuk dibicarakan secara terbuka di kalangan remaja bahkan di masyarakat, dan Ketiga, ketidakberanian bertanya pada semua orang khususnya orang tua tentang kondisi seksual yang sedang dihadapi, misalnya ketika seorang remaja putri mengalami menstruasi pertama (menarche) atau ketika remaja laki-laki mendapati mimpi basah. Kondisi ini memperburuk posisi seorang remaja, yaitu tatkala mereka dalam tahapan untuk mencari siapakah dirinya sebenarnya, banyak akses informasi yang tidak bisa mereka dapatkan dengan mudah. Kecenderungannya adalah mereka mencari informasi khususnya tentang masalah seksualitas dengan sembunyi-sembunyi dari media apapun atau dari teman sebayanya yang informasinya kemungkinan belum tentu benar. Apalagi dalam situasi globalisasi saat ini jika berbicara tentang media, kita bisa mendapatkan informasi dari belahan dunia manapun dengan waktu yang singkat. Berbicara tentang masalah kehamilan yang dialami oleh seorang siswi, kita menjadi tersadar bahwa justru remaja adalah korban dari situasi yang ada dan tersirat ketidak berdayaan kita untuk mengelola problema ini. Hal ini sangat penting dipikirkan karena kita perlu sejenak berpikir apa yang sudah dilakukan untuk para remaja ini. Selama ini dukungan untuk remaja seringkali hanya sebatas supaya mereka rajin di sekolah, mendapat ilmu pengetahuan yang setinggi-tinggi dan akhirnya mendapat rangking bagus tetapi kita jarang memikirkan hasil riset seperti halnya di atas. Sehingga kiranya remaja perlu didukung untuk mampu mengambil keputusan sendiri dengan mempertimbangkan kelebihan dan kelemahannya sendiri baik dalam persoalan apapun, mendukung mereka untuk berani bersuara dengan memperlancar proses komunikasi dan keterampilan berkomunikasi agar mereka mampu menyampaikan masalahnya. Dan memberikan akses informasi yang luas pada mereka agar dengan informasi yang berasal dari manapun bisa menghasilkan remaja yang matang cara berpikirnya, yaitu mampu memilah serta memilih informasi mana yang sesuai dengan mereka, agar mekanisme kontrol serta monitoring tidak harus orang tua atau guru yang terus mengawasi tetapi mereka sendirilah yang menjadi kuncinya. Upaya ini diharapkan mampu membuat remaja berani mengambil pilihan keputusannya yang paling menguntungkan buat diri mereka sendiri pada situasi dan masalah apapun.

Penutup Gambaran perilaku dan karakteristik seksualitas remaja putri dan putra serta peran strategis yang dibawa oleh media, memberikan keyakinan pada kita bahwa akar masalah dari persoalan siswi yang mengalami kehamilan sebetulnya bisa diurai satu demi satu. Namun kita perlu refleksi bahwa terjadinya polemik di media tidak akan berbuah jika tidak dilanjutkan dengan sebuah tindakan untuk membahas problema ini. Tindakan tersebut diharapkan menghasilkan kesepahaman dan nantinya keluar sebagai sebuah aksi-aksi konkrit yang akan dilaksanakan oleh bidang-bidang yang bersangkutan sesuai dengan ahlinya masing-masing. Sehingga dialektika dari ide yang muncul bisa betul-betul bermanfaat. Semoga! *) Penulis adalah Staf Program Media di Yayasan Kembang (Lembaga Kajian Aksi untuk Kesehatan Reproduksi dan Seksual)

12

I

n

f

o

B

u

k

u

Perempuan dan Otonomi Daerah Di Minang dan subur bagi semua warga adat untuk OTONOMI daerah yang berlaku sejak berkembang (hal. vii). Sehingga tahun 2001 diyakini banyak pihak diperlukan penjelasan komprehensif akan membawa perubahan terhadap mengapa Bundo Kanduang dalam adat posisi perempuan dalam masyarakat. Minangkabau justru menjadi bagian yang Otonomi daerah atau desentralisasi paling dilemahkan dalam sistem bagi kalangan yang optimis akan pengambilan keputusan budaya dan memberi ruang partisipasi lokal yang ekonomi masyarakat setempat. Institusi kuat yang di dalamnya kaum ini tidak lagi menjadi tempat yang perempuan dapat mengambil peran. setara dan rujukan perlindungan bagi Sentralisasi yang berlaku di era Orde mereka yang terhina. Baru identik dengan pemusatan Riset lapangan yang ditampilkan kekuasaan pada laki-laki karena dalam buku ini, menggambarkan kebijakan politik nasional yang betapa politik otonomi daerah ikut patriarkhis. Di era pasca Orde baru, memperkuat institusi Bundo Kanduang DPRD mendapat peluang lebih besar bukan sebagai lembaga yang berpihak untuk mengagregati kepentingan kepada masyarakat, tetapi justru lokal. Sementara bagi kalangan yang kepada kaum elit. Kebijakan otonomi pesimis, desentralisasi sama halnya daerah kemudian dengan memperluas dan menjadi tampak tidak memperparah diskriminasi Judul buku : Partisipasi Politik Perempuan Minang, bijak diberlakukan. terhadap perempuan. Dalam Sistem Masyarakat Matrilineal Sejumlah institusi lokal Desentralisasi berarti Penulis : Lany Verayanti, DKK yang diberi nama lokal penguatan peran aktor Penerbit : LPM Padang dan The Asia Foundation seperti Kerapatan Adat politik dan budaya politik Nagari (KAN), Kerapatan lokal, yang justru banyak Halaman : xvii + 107 halaman Alam Adat Minangkabau, mengandung nilai Tahun : 2003 Institusi Bundo patriarkhis. Pernyataan ini Kanduang mematikan sebagaimana dimuat pada proses politik lokal. Padahal sebelumnya institusi itu mandiri bab empat buku ini, bukan ingin mengatakan sistem sosialdan otonom tetapi ketika diambil alih oleh simbol negara, politik yang sentralistik lebih demokratis dan adil gender ia menjadi dependen. Sebagai contoh, minimnya perwakilan dibanding sistem lokal (hal.77). perempuan dalam Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) Buku setebal 107 halaman ini memaparkan bagaimana padahal lembaga ini sangat berpengaruh dalam pengambilan kondisi objektif dan analisis atasnya di tanah Minang terutama keputusan dan peraturan dalam struktur Nagari. dengan fokus adat Minangkabau, telah sarat dengan warna Sejumlah institusi lain yang secara formal dibentuk subordinasi dan marginalisasi perempuan, khususnya dalam berdasarkan prinsip otonomi daerah juga sepi keterwakilan pengambilan keputusan pada keluarga dan lembaga formal. perempuan. Sayang sekali penjelasan seputar masalah ini Salah satu dari subsistem adat yang sangat dikenal adalah masih sangat awal dan sederhana, sehingga pembaca belum Bundo Kanduang. mendapatkan gambaran yang mendalam. Buku ini juga Pada dasarnya menurut Mansour Fakih dalam minim tabulasi data untuk mendukung analisis atasnya. pengantarnya untuk buku ini, ketika diciptakan adat adalah Namun demikian, pembahasan dalam buku ini terasa suatu hasil daya pikir dan budaya masyarakat dalam rangka lengkap ketika diawali dengan pemaparan budaya alam memberi perlindungan dan pemajuan harkat manusia. Adat Minangkabau, dinamika politik perempuan secara historis Minangkabau termasuk pula di dalamnya. Semua konsep dan dan dilengkapi pula pemaparan kondisi sosial ekonomi dan simbol adat dalam suatu kesatuan sistem adat, pada budaya perempuan.(Adink) hakekatnya merupakan tempat berteduh yang paling aman 13

I

n

f

o

B

u

k

u

MEWUJUDKAN IDEALISME YANG MEMBUMI NYAWA media adalah berita. Sayangnya, rambu-rambu ini Tanpa berita, maka matilah media. sering dilanggar oleh kalangan Sedemikian kunci peran berita, pers, terlebih dalam suasana maka berbagai upaya dilakukan demokratis yang menjamin supaya berita mempunyai makna kebebasan mengemukakan dan nilai jual. Posisi strategis yang pendapat. dimiliki berita, kadang Pelanggaran rambu-rambu mengundang orang-orang media misalnya dalam bentuk untuk mengemasnya sedemikian perekayasaan berita, bukan hanya rupa sesuai kepentingan. membuat masyarakat Buku ini mengungkapkan dibingungkan sehingga pers bahwa manajemen berita yang memiliki seribu wajah, tetapi dipraktikkan di kalangan media mereka juga dirugikan. Opini massa telah berdiri di atas dua yang timbul di masyarakat bila pijakan yang paradoksal (hal. 3). tidak disikapi secara bijaksana, Pijakan pertama adalah idealisme bisa menimbulkan saling-silang bahwa berita itu suci sehingga yang tidak efektif dan menguras harus dikelola dengan energi. Jika ini kesucian, tidak di terjadi, maka layak Judul buku : Manajemen Berita bawah bayang-bayang dipertanyakan “Antara Idealisme dan Realita” kepentingan tertentu kerdibilitas berita Penulis : DR. H. Sam Abede Pareno, MM termasuk kepentingan tersebut. Penerbit : Papyrus media massa Berita hanya Halaman : xii+154 halaman bersangkutan. Pijakan akan mempunyai nilai Tahun : 2003 kedua adalah tinggi bila kredibilikenyataan bahwa tasnya tinggi. Tingkat persaingan untuk menjadi nomor satu atau market kredibilitas ditentukan oleh indi-kator yang leader mengharuskan pers untuk melakukan merupakan syarat sehingga berita tersebut layak perekayasaan berita. disebut sebagai news, antara lain laporan, informasi, Dua kepentingan tersebut membuat berita baru, benar, tidak memihak, fakta, arti penting dan memiliki banyak sisi yang mungkin bisa juga menarik perhatian umum (hal. 22) diasumsikan mempunyai banyak makna tergantung Buku ini selain menampilkan secara teoritis kepentingan apa dan mana yang sedang bicara. Dalam bagaimana seharusnya pers yang ideal dan praktiknya, berita yang ‘telanjang’ atau tanpa intervensi bagaimana sebenarnya berita dikemas, juga jurnalis adalah mitos. Hal ini diakui oleh penulis yang menampilkan fakta-fakta di lapangan yang dijumpai telah malang melintang selama kurun tiga puluh tahun oleh para jurnalis ketika bertugas (hal. 136-148). di dunia jurnalistik. Memang kenyataan di lapangan antara idealisme Salah satu nilai yang harus dipenuhi berita adalah dan realitas sulit untuk berjalan seiring. Namun, memiliki muatan informasi. Informasi yang bagaimanapun yang paling baik adalah membumi. disampaikan seharusnya ditampilkan secara murni Idealisme kadang tidak sepenuhnya bisa diwujudkan, dan netral, tidak melibatkan opini jurnalis. Opini harus ‘dimodifikasi’ sedemikian rupa tentu saja tanpa dalam dunia jurnalistik bukanlah sesuatu yang mengabaikan esensinya. Idealnya, idealisme dilarang, tetapi opini mempunyai wilayah tertentu. dipadukan dengan realitas secara luwes sehingga Opini tidak boleh memasuki wilayah berita (hal. 15). lebih bisa dirasakan manfaatnya. (th. Puspitawati) 14

S u r a t

P e m b a c a

To : [email protected], [email protected] Form :“JOY” wrote : Rekan-rekan milis Yth, Beberapa minggu lalu ada teman HIV + yang baru bergabung dengan JOY. Dia masih sangat muda, baru lulus SMA. Dia bermaksud kerja di kapal pesiar dan diwajibkan unt tes HIV, ternyata hasilnya +, satu kali dipstik dan 2 kali ellisa. Yang menjadi masalah adalah dia merasa tidak pernah sama sekali melakukan perilaku yang selama ini dianggap berisiko. Ketika sharing dengan teman2 Odha yang lain, dia sangat bingung karena sampai sekarang tidak tau dia terinfeksi dari mana.(saya rasa kemungkinan dia untuk berbohong sangat kecil karena dalam pertemuan tertutup biasanya semua menceritakan perilaku2 buruknya di masa lalu sehingga (tidak ada alasaan untuk malu....)

Dear Ayi, Maaf, bukan soal percaya atau tidak percaya tetapi ada semacam salah pengertian tentang perilaku berisiko. Dalam berbagai kesempatan saya mencacat pendapat yang muncul tentang perilaku berisiko. Banyak yang menyebut perilaku berisiko (dalam seks) adalah jika melakukan hubungan seks dengan, maaf, pelacur (baca: pekerja seks) dan di lokalisasi. Kalau dilakukan dengan ‘anak sekolah’ dll di hotel atau tempat lain di luar lokalisasi itu dianggap tidak berisiko. Jadi, bukan soal ‘perilaku buruk’ seperti yang Ayi sebutkan karena perilaku yang halal pun bisa berisiko seperti kawin-cerai. Saya khawatir ada pandangan ke arah pengertian yang salah yaitu perilaku buruk adalah ‘zina di lokalisasi’. Dalam kaitan inilah, sekali lagi, maaf, diperlukan konseling yang komprehensif. Mungkin, diperlukan cara lain.

Setelah kami berdiskusi lebih lanjut, ternyata memang dia sering sekali ke dokter gigi karena giginya sering sekali bermasalah. Apakah ini bisa dibaca sebagai pertanda mulai munculnya kasus2 paparan HIV melalui medis (dokter gigi). Kalau iya berarti sebaiknya kita menghapus penggolongan2 perilaku berisiko tinggi karena teman ini sangat stress jika mendengar penggolongan ini. Saya masih agak bingung apakah sebaiknya menyarankan untuk konfirmasi dengan tes WB, karena menurut dia proses menunggu hasil tes itu betul2 menyiksa. Mohon masukan dan sarannya atas kasus ini. salam, ayi

Soalnya, terlalu cepat untuk mengaitkannya dengan penularan melalui alat-alat kesehatan dokter gigi. Hal yang sama terjadi pada pengguna narkoba suntikan (IDUs). Bagaimana membuktikan bahwa seorang IDUs yang HIV-positif tertular melalui penggunaan jarum suntik? Kalau perempuan mungkin bisa. Tapi, laki-laki? Mana yang duluan: melalui seks atau penggunaan jarum suntik? Kesalahpahaman itu terjadi karena banyak yang membicarakan HIV/AIDS dan Narkoba dari sudut MORAL dan AGAMA sehingga FAKTA MEDIS dan FAKTA EMPIRIS hilang. Yang muncul pun mitos. Akan lebih baik kalau hasil tes dikonfirmasi dengan Western blot agar tidak ada lagi keragu-raguan. Salam, Syaiful W. Harahap

Bang Syaiful, Terima kasih atas responnya. Menurut yang bersangkutan dia tidak pernah disuntik, tindik, tato, transfusi darah atau berhubungan seksual, bahkan merokok pun tidak. Sebenarnya masalah ini agak rumit karena definisi berhubungan seksual sendiri bisa 1001 macam. Tapi kalau menurut yang bersangkutan dia tidak pernah ngapa2in yang bisa menjadi peluang untuk terinfeksi HIV, kita juga nggak bisa maksa dia mesti ngaku. Dia jadi merasa bahwa saya tidak percaya/meragukan ceritanya. Saya sendiri jadi merasa terlalu antusias untuk mengorek2 riwayat hidupnya. (sebenernya sih percaya tapi karena dibahas berulang kali dia jadi ngerasa saya meragukan

15

dia). Mungkin saya akan menyarankan untuk tes WB, tetapi banyak yang harus dipersiapkan, misalnya dukungan apa yang harus diberikan selama dia menunggu hasil tes, termasuk bagaimana mencari dana untuk membiayai tes wb yang cukup mahal. Mudah2an kasus ini bisa menjadi jelas, karena kalau terbukti benar, wah berarti masalah universal precaution di negara kita harus lebih diperhatikan terutama di daerah2 terpencil. Salam, ayi

P

R

O

F

I

L

SITA ARIPURNAMI :

Perubahan Datang dari yang Tertindas Kami ingin mendapatkan pendidikan untuk menjadi akuntan yang handal. Dengan demikian, kami akan dapat mengaudit anggaran untuk meningkatkan pelayanan kesehatan.”

N

urani Sita Aripurnami tersentuh. Tidak pernah disangka, dalam pertemuan yang juga melibatkan kelompok perempuan di Nangro Aceh Darussalam (NAD) akan muncul permintaan tersebut. Agaknya, lanjut putri Prof Umar Kayam (alm) para perempuan itu menyadari betapa pentingnya mengetahui besarnya anggaran dan kemudian penggunaannya dalam pelayanan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi mereka. Ini diakuinya di luar dugaan. “Saya benar-benar terharu. Perubahan selalu datang dari yang tertindas,” ucap Sita di sela evaluasi program AIDS, Gender dan Kesehatan Reproduksi LP3Y dan Ford Foundation belum lama ini. Berkisah tentang perempuan Aceh - perasaan dan penderitaannya sebagai korban, tuntutan, aspirasi dan harapan - bukan hal yang sulit bagi aktivis perempuan yang ikutserta mendirikan LSM perempuan Kalyanamitra. Hampir setiap bulan berkunjung ke Aceh, Sita yang kini bergabung dalam Partnership Governance Reform on Indonesia (PGRI) sangat memahami benar suara dan penderitaan perempuan Aceh. Persoalan yang membawa penderitaan panjang perempuan Aceh akibat DOM (Daerah Operasi Militer) di masa yang lalu belum selesai, kini ditambah ketika pemerintah memberlakukan darurat militer. “Penderitaan perempuan Aceh itu tak terkira kompleksnya. Soal kekerasan pada perempuan Aceh sejak DOM yang belum selesai sampai kini, sudah ditambah ketika diberlakukan darurat militer,” ujarnya berapi-api. Mengingat perempuan Aceh bagi Sita seakan mengingat duka yang harus dialami perempuan sebagai korban, di daerah konflik. Tanpa harus menafikan beban yang disandang perempuan korban kekerasan pada umumnya, Sita mengakui jika apa yang dialami perempuan Aceh sungguh sudah di luar jangkauan pemikiran normal. Ada dimensi fisik, psikhis dan sosial lain seperti politik, budaya, pendidikan bahkan juga ekonomi. “Jika suami terbunuh apalagi kemudian diindikasikan sebagai anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka), ia bukan hanya akan menjadi orangtua tunggal bagi anaknya. Namun juga harus berpikir pendidikan dan masa depan anak, sementara ruang geraknya semakin sempit, Untuk mendapatkan akses dan pelayanan kesehatan yang seharusnya gratis pun harus membeli,” tambahnya. Padahal negara menurut Sita sebenarnya memiliki kewajiban menyediakan pelayanan publik apalagi untuk kesehatan reproduksi Kalau kemudian ini tidak terjadi (dan kondisinya demikian) menurut Sita ini sebenarnya merupakan bentuk kekerasan negara terhadap perempuan.

Kekerasan terhadap perempuan (KTP) memang merupakan fenomena gunung es di pelbagai daerah di bumi tercinta Indonesia. Tetapi di daerah-daerah konflik seperti NAD diakui Sita, KTP terlebih yang sifatnya non fisik, dampaknya sangat luar biasa. Jangan salahkan perempuan lanjut Sita lirih, jumlah pekerja seks komersial (PSK) di NAD jauh meningkat. Yang kemudian semakin dirasa memprihatinkan Sita, pelayanan kesehatan khususnya kesehatan reproduksi, masih belum terperhatikan. “Karena itu ketika pertemuan semua elemen mulai pemerintah, ulama, militer, LSM dan kelompok perempuan kemudian muncul permintaan itu, saya benar-benar terharu,” tambahnya. Yang makin membuat Sita makin terharu, karena para perempuan itu ‘mulai masuk’ melalui persoalan hak kesehatan dan hak pendidikan yang adalah milik mereka. Bayangkan saja tambah aktivis perempuan yang selalu tampil santai ini, selain keinginan mendapat pendidikan sebagai akuntan handal mereka juga mengangankan untuk membentuk radio komunitas. “Harus kita akui, kemajuan berpikir perempuan Aceh sangat luar biasa,” ujar Sita. Yang juga mengharukan hati Sita, sekalipun perempuan Aceh tertindas dan menderita dalam kurun waktu lama, namun tidak menjadikan mereka seakan terbenam. Kegigihan mereka berjuang dari ketertindasan ini, kini mulai tampak bersemi. Banyak fungsi negara yang sampai saat ini belum dilaksanakan di banyak daerah. Tetapi bisa dikatakan, pelayanan publik di NAD tidak ada. Di sisi lain, ruang untuk yang lain juga terbatas sama sekali. Tidak heran jika kemudian yang terasa menjadi problem adalah perlunya warga diberi pelayanan kesehatan yang baik tentang kesehatan, pendidikan dan mengenai UU Otonomi Khusus. “KTP yang dialami perempuan Aceh lebih pada negara dalam arti negara tidak menjalankan kewajibannya. Dan ini memberi pengaruh luar biasa bagi perempuan,” tambahnya. Toh Sita melihat upaya yang dilakukan untuk memperbaiki masyarakat NAD khususnya perempuan, ada titik terang. Dalam pertemuan belum lama ini yang juga dihadiri Sita Aripurnami dari PGRI tersebut, dihadiri 105 peserta dari 20 tingkat II yang ada (kabupaten/kota). Di antara 105 peserta itu terdapat 29 perempuan yang diundang dan ikut berbicara menentukan masa depan wilayahnya. Paling tidak, eksistensi dan suara perempuan telah didengar dan dihargai sebagai wujud partisipasinya memperbaiki kondisi yang ada. Apalagi ketika penguasa militer pun juga menunjukkan itikad dan upayanya untuk menurunkan dan mengurangi perilaku KKN yang terjadi di pemerintahan. Memang menjadi pertanyaan, bagaimana jika KKN itu terjadi di kalangan militer sendiri (Fadmi Sustiwi) 16

Related Documents

Edisi 70
December 2019 5
Suplemen Edisi 70
December 2019 3
70
May 2020 29
70
July 2020 28
70
December 2019 62
70
November 2019 48