Suplemen
Newsletter edisi 70
Hak Asasi Manusia dan HIV dalam latar belakang kemiskinan:
Menempatkan Manusia sebagai Pusat dari Epidemi Oleh: Elizabeth Reid
Sebuah Hak untuk Kesehatan? Wacana mengenai hak asasi manusia mulai diperbincangkan secara luas pada aktivitas dan literatur dalam epidemi HIV. Sejumlah hak telah dituntut oleh mereka yang terinfeksi HIV: hak untuk menikah, memiliki keturunan, hak untuk pengobatan antiretroviral, hak untuk perlindungan hukum, hak untuk kebebasan pribadi, hak untuk hidup, hak untuk mengemukakan pendapat, hak untuk anak-anak yang HIV positif untuk bersekolah, hak untuk tidak didiskriminasi, hak untuk bekerja, hak untuk berpartisipasi dan banyak lagi hak lainnya. Tapi hak untuk kesehatan adalah yang paling penting dalam perdebatan yang berlangsung baru-baru ini. Apakah yang mendasari konsep mengenai hak untuk kesehatan? Meski sering kali dijelaskan tentang hak kesehatan, yang sering sekali terabaikan dalam undang-undang internasional hak asasi manusia mengenai hak ini adalah, bahwa setiap orang berhak untuk menerima layanan dalam kesehatan fisik dan mental, yang memuaskan dan memenuhi standar. Dalam mendefinisikan mengenai hak ini, Mary Robinson, menyatakan:
Hak untuk sehat adalah hak yang harus segera terealisasikan. Mary Robinson melanjutkan: “ ……dibutuhkan peran serta pemeritah dan partisipasi masyarakat untuk menentukan kebijakan dan rencana aksi dalam mewujudkan layanan kesehatan yang dapat diakses dengan mudah untuk semua orang dalam waktu sesingkat mungkin.” Hak kesehatan seringkali dijabarkan dalam beberapa bagian yang lebih spesifik seperti hak untuk: - Kehamilan, memiliki anak dan kesehatan reproduksi - Pencegahan, pengobatan dan kontrol penyakit, termasuk akses untuk obat-obatan yang penting - Akses untuk meminum air minum yang aman, kebersihan, dan gizi. Contoh yang baru-baru ini terjadi adalah mengenai tuntutan untuk mengakses terapi antiretroviral pada negara-negara miskin, yang dituangkan dalam sebuah resolusi 22 April 2002 oleh Komisi Hak Asasi Manusia dengan tema akses pengobatan dalam konteks pandemi seperti HIV/AIDS. Diperkirakan lima sampai enam juta orang terinfeksi HIV di negara-negara berkembang membutuhkan terapi ARV untuk bertahan hidup. Hanya sekitar 350.000 orang saja yang mampu mengakses ARV. Salah satu anggota Komisi Hak Asasi Manusia Internastional melaporkan, pada bahasan tentang hak kesehatan juga didiskusikan mengenai ketidakseimbangan antara penelitian dan pengembangan mengenai obat antara penyakit yang diderita orang miskin dan penyakit yang diderita orang kaya. Dari sekitar 1393 obat-obatan baru yang dikembangkan antara tahun 1975 dan 1999, hanya 13 obat untuk penyakit-penyakit tropis. Pada tahun 1990, Komisi Penelitian dan Pengembangan Kesehatan mengidentifikasi apa yang sekarang disebut sebagai 10/90 disequilibrium: hanya 10 persen dari penelitian dan pengembangan yang ditujukan untuk masalah masalah kesehatan dari 90 persen jumlah populasi dunia.
“Hak kesehatan bukan hanya berarti hak untuk menjadi sehat, atau bukan juga berarti bahwa pemerintah harus menempatkan orang-orang yang tidak mampu dalam sebuah tempat pelayanan kesehatan yang mahal.” 1 Dalam undang-undang internasional hak asasi manusia, hak untuk mendapatkan akses layanan fisik dan mental yang memuaskan dan memenuhi standar adalah sebuah tuntutan dari serangkaian kebijakan, norma, kelembagaan, hukum, dll dan menjadi bagian dalam sebuah lingkungan yang memungkinkan terwujudnya hak tersebut. 2 Hak ini sudah termasuk dalam layanan kesehatan dan faktor-faktor yang menentukan kesehatan itu sendiri seperti akses untuk meminum air bersih, kebersihan yang cukup memadai, keamanan obat-obatan dan makanan, bebas dari kekerasan, penganiayaan, perbudakan, diskriminasi dan akses terhadap informasi dan pendidikan. 1
S u p l e m e n Newsletter edisi 70 Februari 2004
Tuntutan terhadap Hak Kesehatan Hal yang paling sering muncul dalam tuntutan kesehatan pada orang dengan HIV/AIDS adalah tuntutan untuk pengobatan, khususnya pengobatan ARV. Tetapi pada kenyataannya banyak masalah yang cukup kompleks dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia mempunyai akar masalah yang kompleks dalam hal politik, ekonomi dan sosial. Undang-undang HAM mengatur hubungan antara individu dan negara dalam hal tuntutan mengenai hak. Pemenuhan HAM sepenuhnya dijamin oleh undangundang HAM, melindungi individu-individu dan kelompok dalam memerangi aksi yang melanggar kebebasan pribadi dan martabat manusia.3 Kewajiban pemerintah terhadap HAM adalah menghormati, melindungi dan memenuhinya yang termasuk juga di dalamnya fasilitas, penyedia layanan dan promosi.4 Undang-undang HAM menyediakan kesempatan untuk menggunakan salah satu dari institusi yang ada untuk memenuhi kebutuhan kita. Hal ini juga akhirnya memaksa kita untuk berpikir tentang pertanyaan, pada area mana saja seseorang ingin mengintervensi hukum yang berkaitan denggan HIV dengan sensitifitas dan kompleksitasnya? Sebagai contoh, tuntutan hak Odha untuk menikah. Apakah masalah ini yang ingin kita buat peraturan hukumnya atau ini hanyalah masalah yang perlu didiskusikan dan dicari pemecahannya antarkeluarga dan masyarakat saja? Dalam masyarakat yang kuat dalam hal tradisi, tuntutan dan masalah yang berkaitan dengan perkawinan diselesaikan dalam hukum adat oleh para sesepuh masyarakat, dan hal ini terjadi jauh sebelum masuknya hukum modern. Diskusi mengenai masalah ini akan mengarah pada bagaimana sikap masyarakat sekitar menerima masalah ini, norma, stigma dan penghinaan yang mungkin diterima oleh Odha yang memutuskan menikah tadi. Contoh lainnya adalah tuntutan hak membesarkan seorang anak. Dalam situasi dimana seseorang tidak mempunyai akses untuk mendapatkan terapi ARV, bisa jadi kesempatan hidupnya lebih terbatas, bagaimana kita menanggapi mengenai tuntutan membesarkan anak tadi? Apakah kita akan menggunakan bahasa HAM dan berdebat bahwa hak membesarkan anak seimbang dengan hak seorang anak diasuh oleh orang tuanya selama tahun-tahun awal perkembangannya? Apakah kita akan menyerahkan kepada hukum pengadilan sejauhmana keseimbangan hak tersebut? Ataukah itu adalah sesuatu yang harusnya didiskusikan oleh pasangan tersebut dan mencari jalan keluar untuk menyelesaikan masalah yang ada? Pada akhirnya bahasa ‘tanggung jawab’ akan lebih berperan daripada bahasa ‘HAM’; jika kita melahirkan seorang anak ke dunia, apakah tanggung jawab kita terhadap anak tersebut? Bagaimana kita
merencanakan sebuah masa depan yang dapat melindungi dan membuatnya kuat? Di atas tadi adalah dua contoh yang menunjukkan bahwa penggunaan bahasa Hak lebih kepada sebuah alat advokasi, sebuah cara untuk menarik perhatian pada masalah yang sulit, sebuah jalan untuk membangun kepedulian masyarakat mengenai situasi yang kompleks, daripada merujuk ke bangunan undang-undang HAM itu sendiri. Bagaimanapun juga, ada tiga kunci penting di mana merupakan alat yang efektif untuk merespon epidemi ini yakni: - Hak dari Odha maupun Ohidha untuk dilindungi dari diskriminasi - Hak dari Odha maupun Ohidha untuk memiliki kebebasan pribadi, yang mana hak ini dijamin secara keseluruhan, ini termasuk mengenai informed consent dalam tes HIV - Hak nasional untuk dapat melindungi pelayanan kesehatan dan menyediakan akses obat-obatan untuk semua. HAM yang berkaitan dengan HIV ini perlu ditetapkan dalam undang-undang nasional dan ada kebijakan yang mengatur bahwa hal tersebut dapat diputuskan di pengadilan. HAM berbasis pendekatan kesehatan dan HIV Sebagaimana perdebatan dengan tuntutan HAM, ada perbincangan lain yang muncul dalam konteks epidemi HIV, yaitu tentang pendekatan HIV berbasis HAM. Pendekatan berbasis HAM adalah seperangkat aksi, dengan menggunakan undang-undang HAM sebagai alat analisis untuk mengembangkan sebuah kerangka kerja untuk melakukan aksi. Telah diperdebatkan hubungan antara kesehatan, atau HIV, dan HAM bahwa pelanggaran HAM dapat menimbulkan masalah kesehatan yang serius; bahwa kebijakan kesehatan dapat tidak berpihak pada HAM; dan dampak dari pelayanan kesehatan yang buruk dapat dikurangi dengan mengambil langkah-langkah yang berpihak pada HAM. Pendekatan ini mengidentifikasi prinsip-prinsip dasar yang harus dihormati dalam pendekatan berbasis HAM. Prinsip-prinsip ini meliputi: menghormati harga diri manusia, memberikan perhatian pada populasi masyarakat yang lebih rentan terhadap penyakit, meyakinkan bahwa sistem kesehatan dapat dengan mudah diakses tanpa diskriminasi dan kesetaraan gender dalam pelayanan dan hasil yang diberikan. Prinsipprinsip dasar ini secara eksplisit berhubungan dengan norma HAM secara internasioal tetapi penyebutan tidak melibatkan institusi hukum melainkan lebih kepada kode etik dalam membuat kerangka kerja untuk melakukan aksi. Sebuah pendekatan kesehatan berbasis HAM dapat juga menjadi kontras, misalnya saja, pada konsep 2
S u p l e m e n Newsletter edisi 70 Februari 2004
bahwa kesehatan sebagai komoditas, akan menggiring pada kebijakan pasar bebas, di mana keefektifan biaya menjadi salah satu aturan yang harus dipatuhi oleh pembuatan kebijakan. Prioritas dan praktik kesehatan yang dilakukan oleh masing-masing pendekatan akan berbeda secara signifikan, sebagai contoh, jika hanya ketetapan untuk perawatan diberikan kepada orang miskin, orang yang secara sosial termarginalkan, atau tidak difungsikan, dan kecaman akan datang jika harga yang ditetapkan akan lebih mahal daripada yang telah ditetapkan pada layanan yang berbasis mandiri (bayar sendiri).
diberikan perawatan sehingga mereka bisa tetap bertahan hidup untuk memelihara anak mereka. Lalu baru kemudian mereka menanyakan apakah anakanak, suami, dan orang dengan HIV lain bisa diberikan perawatan juga. Masyarakat tersebut memahami konsekuensi dari program yang ada untuk menyelamatkan hidup anakanak mereka dan bersedia melakukan perubahan secara radikal. Mereka menerapkan sebuah analisis kontekstual, ada yang mempelajari tentang kehamilan, tentang konsekuensi dari intervensi yang diberikan terutama mengenai sakit dan penderitaan yang akan dialami anak-anak yang akan ditinggalkan orangtuanya karena epidemi ini. Dan saat ini di pedalaman tersebut, bisa dibilang sekitar 1000 anak bisa dilahirkan dengan kesempatan untuk tidak tertular HIV, sekitar 300 keluarga menerima perawatan sehingga mereka bisa tetap bertahan sebagai sebuah keluarga, merawat dan mendukung anak-anak mereka sehingga mereka bisa mendapat kesempatan untuk kehidupan yang lebih baik. Masyarakat ini kemudian memutuskan apa yang akan dilakukan untuk masa depan sebagai sebuah komunitas dan nilai-nilai apa yang akan digunakan untuk menjalani kehidupan di sana. Ini yang kemudian disebut sebagai cara pandang bagaimana memaksimalkan sumber daya yang kurang sehingga bisa dapat digunakan. Mereka bersedia melakukan ini dengan sepenuhnya mengetahui bahwa hanya beberapa orang dari mereka yang bisa mengakses perawatan. Tidak ada diskusi apapun mengenai hak! Pertimbangan ini mempengaruhi perubahan program dalam kasus penularan kepada janin dengan program penjangkauan kepada keluarga, yang biasa disebut ‘parent to child transmission plus’. Sebagai pusat dari diskursus mengenai moral, ada muncul pertanyaan, di masyarakat model apakah kita ingin hidup, dengan nilai-nilai yang kita bangun sendiri? Seringkali hak tidak mewakili tuntutan secara hukum tapi lebih mengarah kepada bahasa keadilan sosial, kesetaraan dan solidaritas. Ini mungkin dapat dilihat lebih jelas dalam kasus pengobatan pada sumber daya yang minim. Ini adalah situasi di mana meski hak untuk mendapatkan pengobatan telah dimiliki tapi hanya dapat direalisasikan dengan cara-cara yang progresif. Thailand contohnya, meskipun sudah memiliki kebijakan menyeluruh untuk akses ARV, tapi masih kekurangan infrastruktur dalam menjalankannya. Pada awal tahun 2003, diperkirakan hanya 5 persen yang bisa mengakses layanan tersebut. Pembuat kebijakan dihadapkan pada keputusan yang sulit mengenai sumber yang akan dialokasikan. Pendekatan yang berbeda dapat diadvokasikan cukup jelas jika tidak berkonflik dengan prinsip-prinsip moral yang menggarisbawahinya.
Wacana Moral dalam Kesehatan dan HIV Bahasa hak bukanlah satu satulah bahasa yang digunakan ketika kita membicarakan epidemi HIV. Ada wacana moral yang juga dipakai dalam membicarakan kesehatan dan HIV. Marilah kita lihat contoh kasus pencegahan penularan HIV dari ibu ke janin. Persoalan yang terjadi pada kasus ini sering sekali menggunakan bahasa hak, dengan kata lain hak untuk hidup bagi janin. Coba kita lihat apakah isu moral terkait dengan persoalan ini. Pertanyaan pertama yang menyangkut tentang moral pada kasus ini adalah penamaan dari kata-kata intervensi penularan ibu ke janin. Penggunaan kata ibu menjadi salah satu instrumen yang menyalahkan si ibu mengapa bisa menularkan ke janinnya. Hal ini cukup menjadi masalah ketika dikatakan bahwa sekitar 90% ibu hamil terinfeksi HIV bukan kerena perilakunya melainkan karena perilaku suami atau pasangan tetapnya. Jadi seharusnya untuk menanggapi masalah yang cukup sensitif ini maka penyebutan yang seharusnya adalah penularan dari orangtua kepada janin. Ada kesepakatan bahwa kelahiran seorang janin yang HIV positif sedapat mungkin dihindari. Ini menjadi kesepakatan yang bisa dipakai bilamana dalam keadaan yang sumber daya apapun untuk mendukung kasus ini kurang tersedia. Haruskan alasan sumber daya dipakai untuk mencegah kelahiran janin ke dunia karena dikhawatirkan akan terinfeksi HIV? Atau haruskah diberikan pertimbangan andaikan janin yang keluar tidak terinfeksi HIV, tapi apakah ia dilahirkan hanya untuk kehilangan orangtuanya di masa awal pertumbuhannya? Meskipun beberapa di antara anakanak ini akan diasuh oleh keluarga dekatnya atau oleh orangtua asuh, itu tergantung dari budaya setempat, dan banyak yang kemudian berakhir di jalanan, kelaparan, terlibat dalam prostitusi, atau menjadi preman Siapa yang kemudian harus membuat keputusan tentang bagaimana sumber daya digunakan? Dalam sebuah program kecil di pedalaman Blantyre di Malawi, para ibu mempunyai inisiatif untuk menanyakan kepada direktur program apakah mereka bisa 3
S u p l e m e n Newsletter edisi 70 Februari 2004
Apakah mungkin akses perawatan HIV dengan setting kemiskinan menggunakan pendekatan moral? Dalam semua sumber daya yang minim, selalu ada saja orang yang mampu untuk membiayai pengobatan. Seringkali yang dibutuhkan untuk memperluas akses yang dibutuhkan untuk kelompok ini bisa jadi tidak dibutuhkan oleh kelompok lain. Haruskah kesempatan untuk membuat akses pengobtan yang lebih mudah dirampas, meskipun sebenarnya ini sudah menjadi lebih buruk dengan adanya ketidaksetaraan, terutama ketidaksetaraan kesehatan dan gender? Juga dapat diperdebatkan hal-hal apakah yang diperbolehkan meskipun hanya satu orang dengan HIV saja yang bisa mengakses treatment dapat dibenarkan. Bagaimana pun juga kemudahan pengobatan bagi mereka yang relatif sudah berkecukupan bisa menimbulkan ketidakadilan bagi mereka yang tidak mampu. Banyak kriteria diberikan untuk memberikan pengobatan yang selama ini sulit didapat. Beberapa memberikan prioritas kepada janda dan anak-anak. Yang lainnya memberikan prioritas pada pekerja medis. Ada juga yang memberikan prioritas pada para penyuluh HIV. Ada lagi yang memberikan prioritas pada orang-orang miskin di desa. Beberapa juga berdebat mengenai pentingnya memprioritaskan orang-orang yang berada di posisi kunci, misalnya pemerintah, birokrat, atau politisi. Dasar pemikiran apa yang digunakan untuk membuat keputusan dan siapa yang harus membuat keputusan tersebut? Dapatkah kriteria-kriteria objektif dipakai dalam memilih antara orang-orang awam atau mempertimbangkan birokrasi agar lebih mudah dalam anggaran? Jika upaya yang dilakukan fokus pada pengadaan akses terapi ARV, apa yang akan terjadi pada mereka yang tidak diuntungkan dalam akses ini? Apakah prioritas akan diberikan untuk menjamim setidaknya mereka mendapatkan akses perawatan dan profilaksis pada saat mengalami infeksi oportunistik? Meskipun WHO menargetkan sekurang-kurangnya setengah dari mereka yang memenuhi syarat akan mendapatkan terapi ARV pada tahun 2005, apa yang akan terjadi pada yang setengahnya lagi? Dalam sebuah kesempatan, organisasi dukungan terhadap Odha di Burundi menyepakati bahwa kriteria untuk mendapatkan akses terapi harus disusun melalui cara diskusi dengan komunitas yang ada sehingga dapat membicarakan dan mencari jalan tengah atas konflik yang mungkin muncul dalam penetapan kriteria penerima layanan akses terapi. Tidak ada jawaban yang mudah untuk pertanyaanpertanyaan di atas tadi, tapi itulah pertanyaan-pertanyaan yang menghimpit masyarakat di negara-negara dengan sumber daya yang sangat kurang.
Prinsip Moral Berdasarkan Kepedulian dan Keadilan Sosial Mungkin satu lagi masalah yang muncul adalah teknologi dan formulasi dokter dengan pasien. Obat sudah ada; bisa diberikan kepada pasien. Seperti pada kasus penularan dari orangtua ke anak, faktor-faktor kontekstual harus dilibatkan dalam analisis ini. Masyarakat tidak hanya terdiri dari perempuan atau orang yang miskin. Mereka melekat dalam sebuah hubungan jaringan sosial yang padat dan hidup dalam persimpangan sebagai poros dari pelaksanaan kekuasaan: gender, kelas, kasta, etnis, kesempatan, kekayaan, dan pendidikan sebagai contoh. Mendiskusikan pemberian prioritas akses pada perempuan atau orang miskin, sama saja membantu mereka untuk memutuskan sesuatu yang akan mempengaruhi hidup mereka. Mungkinkah sebuah pendekatan dikembangkan dengan berdasarkan pada prinsip keadilan sosial dan kepedulian? Dapatkah pertanyaan tadi dilihat tidak dengan kacamata siapa yang harus memberikan layanan obat-obatan, tapi lebih kepada bagaimana mempertimbangkan keadilan dan martabat seseorang dalam memberikan program akses pengobatan? Sebuah proposal yang telah dibuat dalam program pemberian akses treatment harus dimulai dari rumah sakit atau pusat layanan kesehatan yang mana kualitas kesehatan diberikan kepada Odha dijaga, yang memberikan perawatan dengan menghormati martabat orang yang bersangkutan, yang akhirnya adalah pemberian dukungan sosial kepada keluarga dan orang-orang di sekitarnya yang akan mendukung perawatan, yang mampu mengembangkan berbagai cara untuk mengembangkan dan memperpanjang hidup orang yang bersangkutan. Karakteristik yang luar biasa dari epidemi ini adalah menggiring orang untuk melakukan sesuatu yang juga luar biasa, banyak orang yang akhirnya mendedikasikan diri bekerja untuk orang lain, dengan semangat kebersamaan dan dukungan. Banyak orang yang hidup dengan prinsipprinsipnya menolong dengan rasa solidaritas, berkomitmen untuk merubah ketidakadilan, tidak hanya sekadar meringankan masalah saja. Mungkin kompleksitas dari isu ini dapat disederhanakan dengan bekerja bersama orang-orang yang punya komitmen. Dengan demikian, kriteria tentang lokasi geografi, kebutuhan, kelas, tanggung jawab sosial dan ekonomi sebagai contoh, dapat digantikan dengan rasa empati dan efektifitas layanan kesehatan yang terjamin kapasitasnya. Ini adalah salah satu cara dari menempatkan manusia sebagai inti dari pemecahan masalah yang berkaitan dengan epidem ini - penyedia layanan yang tidak hanya sekadar melihatnya sebagai pasien saja, tapi juga peduli dengan mereka yang dirawat dan keluarganya. * Sumber: HIV Australia (Incoorporating The National AIDS Bulletin, The HIV Herald and Legal Link) Edisi: Desember 03 - Februari 04 4