Dosenpendidikan.docx

  • Uploaded by: Muhammad Nanda Pradita
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dosenpendidikan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,026
  • Pages: 28
DosenPendidikan.Com – Dalam sebuah peraturan perundang-undangan memiliki arti yang penting untuk mewujudkan tujuan negara. Dengan terciptanya ketertiban dan keadilan memungkinkan para pekerja dapat bekerja dengan tenang, guru dan siswa belajar dengan nyaman, anak-anak bisa bermain dengan riang dan presiden dapat mengelola negara dengan bijak. Pada akhirnya, stbalitas nasional pun akan tercipta sehingga dari segi pembangunan nasional pun akan menuju pembangunan yang manusia Indonesia seutuhnya “manusia Indonesia harus dibentuk dari sisi kemanusiannya baik itu secara individu maupun kelompok” dan masyarakat Indonesia seluruhnya.

Dalam sebuah kehidupan kenegaraan, peraturan perundang-undangan, seperti UUD 1945 hingga dengan peraturan daerah disusun oleh lembaga yang berwenang dengan proses penyusunan yang berbeda. Untuk hal ini sebelum membahas mengenai pembuatannya ada baiknya kita mengkaji terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan undang-undang, simak uraiannya berikut ini.

Pengertian Undang-undang Undang-undang merupakan peraturan perundangan, yang dalam pembentukannya Presiden harus mendapat persetujuan DPR, ketentuan tersebut diatur dalam UUD 1945 pasal 5 ayat 1 “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR”, pasal 20 ayat 1 “DPR memegang kekuasaan membentuk UU” dan pasal 20 ayat 2 ” setiap RUU dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

Alur Pembentukan Undang-Undang Berdasarkan pasal 20 ayat (1) undang-undang dasar 1945 “UUD 1945”, kekuasaan untuk membentuk undang-undang “UU” ada pada Dewan Perwakilan Rakyat “DPR”, yang selanjutnya di dalam pasal 20 ayat (2) UUD 1945 diatur bahwa setiap rancangan undang-undang “RUU” dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. Dalam proses pembentukan UU diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan “UU 12/2011”, selain itu proses pembentukan UU juga diatur dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah “UU 27/2009”. Yang

berdasarkan pasal 10 AYAT (1) UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur melalui undangundang ialah:     

Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang. Pengesahan perjanjian internasional tertentu. Tidak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dan/atau. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Dalam UU 12/2011, proses pembuatan undang-undang diatur dalam pasal 16 s.d pasal 23, pasal 43 s.d pasal 51 dan pasal 65 s.d pasal 74. Sedangkan, dalam UU 27/2009, pembentukan UU diatur dalam pasal 142 s.d 163, untuk proses selengkapnya, saudara juga dapat melihat pada Tata tertib DPR mengenai tata cara pembentukan undang-undang. Berdasarkan ketentuan UU 12/2011, UU 27/2009 dan Tata Tertib DPR tersebut, kami sarikan proses pembentukan undang-undang sebagai berikut: 1. RUU dapat berasal dari DPR atau Presiden. 2. RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau Dewan Perwakilan Daerah (DPD). 3. RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. 4. RUU tersebut kemudian disusun dalam Program Legislasi Nasional “Prolegnas” oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun serta dibuat pula dalam jangka waktu tahunan yang berisi RUU yang telah diurutkan prioritas pembahasannya. 5. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara “APBN” RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang “Perpu” menjadi UU, serta RUU pencebutan UU atau pencabutan Perpu. 6. Pimpinan DPR memberitahukan adanya RUU dan membagikan RUU kepada seluruh anggota DPR dalam sebuah rapat paripurna. 7. DPR dalam rapat paripura berikutnya memutuskan RUU tersebut berupa persetujuan, persetujuan dengan perubahan atau penolakan. 8. Selanjutnya RUU ditindak lanjuti dengan dua tingkat pembicaraan. 9. pembicaraab tingkat I dilakukan dalam raoat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran atau rapat panitian khusus. 10. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I dilakukan dengan pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah dan penyampaian pendapat mini fraksi. 11. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam arapat peripurna, dalam rapat paripurna berisi yaitu: a. Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD dan hasil pembicaraan Tingkat I. b. Pernytaan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna dan c. Pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh materi yang mewakilinya.

12. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak. 13. RUU yang membahas tentang otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan wilayah, pengolaan sumber daya alam atau sumber daya lainnya dan perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan dengan melibatkan DPD tetapi hanya pada pembicaraan tingkat I saja. 14. Dalam penyiapan dan pembahasan RUU termasuk pembahasan RUU tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya. 15. RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan Presiden diserahkan kepada Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam lembaran Negara Republik Indonesia. Demikianlah pembahasan mengenai 15 Proses Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan semoga dengan adanya ulasan tersebut dapat menambah wawasan dan pengetahuan anda semua, terima kasih banyak atas kunjungannya. 🙂 🙂 🙂

ROSES PEMBENTUKAN PERUNDANG - UNDANGAN

Sejak bulan November 2004, proses pembuatan undang-undang yang selama ini dinaungi oleh beberapa peraturan kini mengacu pada satu undang-undang (UU) yaitu Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). UU ini disahkan oleh Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 24 Mei 2004, akan tetapi baru berlaku efektif pada November 2004. Selain itu, proses pembuatan undang-undang yang diajukan oleh Presiden juga diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan UndangUndang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden ((Perpres No. 68/2005). Perpres ini dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 24 UU PPP. Pada dasarnya proses pembuatan UU setelah berlakunya UU PPP terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: 1. perencanaan, 2. persiapan, 3. teknik penyusunan, 4. perumusan dan pembahasan, 5. pengesahan, 6. pengundangan dan

7. penyebarluasan (Ketentuan Umum angka 1 UU PPP). Bagaimanakah prosedur rincinya? Perencanaan Perencanaan adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres). Siapa Yang Merancang Sebuah RUU RUU dari Presiden Sebelum sebuah RUU diusulkan oleh presiden ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yang dalam UU PP terdiri dari tahapan persiapan, teknik penyusunan, dan perumusan. Ketiga tahapan tersebut dapat dikemas menjadi suatu istilah yang umum digunakan yaitu perancangan. Ketentuan yang mengatur mengenai tahapan penyusunan undang-undang tersebut diatur lebih lanjut dalam Perpres No. 68/2005. Sebelumnya, proses penyusunan RUU diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU. Namun dengan berlakunya Perpres No. 68/2005 maka Keputusan Presiden tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pengaturan tahapan atau tata cara mempersiapkan RUU dalam Perpres ini terdiri atas (i) penyusunan RUU yang meliputi penyusunan RUU beradasarkan Prolegnas dan penyusunan RUU di luar Prolegnas, (ii) penyampaian RUU kepada DPR. Penyusunan RUU Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin prakarsa kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang meliputi (i). urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). sasaran yang ingin diwujudkan, (iii). pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv). jangkauan serta arah pengaturan. Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a). menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b). meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; (c). melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d). mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e). keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan.

Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak memerlukan persetujuan ijin prakarsa dari presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama –sama dengan departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung jawab diidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian. Penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas Proses ini diawali dengan pembentukan panitia antar departemen oleh pemrakarsa. Keanggotaan panitia ini terdiri atas unsur departemen dan lembaga pemerintah non departemen yang terkait dengan substansi RUU. Panitia ini akan dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh pemrakarsa. Sementara itu, sekretaris panitia antar departemen dijabat oleh kepala biro hukum atau kepala satuan kerja yang emnyelenggarakan fungsi di bidang perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa. Dalam setiap panitia antar departemen diikutsertakan wakil dari Dephukham untuk melakukan pengharmonisasian RUU dan teknis perancangan perundang-undangan. Panitia antar departemen menitikberatkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat prinsipil mengenai objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan. Sedangkan kegiatan perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa. Hasil perancangan selanjutnya disampaikan kepada panitia antar departemen untuk diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati. Dalam pembahasan RUU di tingkat panitia antar departemen, pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial politik, profesi dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan RUU. Selama penyusunan, ketua panitia antar departemen melaporkan perkembangan penyusunan dan/atau permasalahan kepada pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau arahan. Ketua panitia antar departemen menyampaikan rumusan akhir RUU kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan. Selanjutnya dalam rangka penyempurnaan pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada masyarakat. Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan yang saat ini dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) dan menteri atau pimpinan lembaga terkait untuk memperoleh pertimbangan dan paraf persetujuan. Pertimbangan dan paraf persetujuan dari Menhukham diutamakan pada harmonisasi konsepsi dan teknik perancangan perundang-undangan. Pertimbangan dan paraf persetujuan diberikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak RUU diterima. Apabila pemrakarsa melihat ada perbedaan dalam pertimbangan yang telah diterima maka pemrakarsa bersama dengan Menhukham menyelesaikan perbedaan tersebut dengan

menteri/pimpinan lembaga terkait. Apabila upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil maka Menhukham melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada presiden untuk memperoleh keputusan. Selanjutnya, perumusan ulang RUU dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Menhukham. Dalam hal RUU tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi substansi maupun segi teknik perancangan perundang-undangan maka pemrakarsa mengajukan RUU tersebut kepada presiden untuk disampaikan kepada DPR. Namun, apabila presiden berpendapat RUU masih mengandung permasalahan maka presiden menugaskan kepada Menhukham dan pemrakarsa untuk mengkoordinasikan kembali penyempurnaan RUU tersebut dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima penugasan maka pemrakarsa harus menyampaikan kembali RUU kepada presiden. Penyusunan RUU diluar Prolegnas Pada dasarnya Proses penyusunan RUU diluar Prolegnas sama dengan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas. Hanya saja, dalam menyusun RUU diluar prolegnas ada tahapan awal yang wajib dijalankan sebelum masuk dalam tahapan penyusunan undang-undang sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tahapan awal ini dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini dilakukan melalui metode konsultasi antara pemrakarsa dengan Menhukham. Selanjutnya, untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU Menhukham mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya. Proses ini juga dapat melibatkan perguruan tinggi dan/atau organisasi. Apabila koordinasi tersebut tidak berhasil maka Menhukham dan pemrakarsa melaporkan kepada presiden disertai dengan penjelasan mengenai perbedaan pendapat atau pandangan yang muncul. Pelaporan kepada presiden ini ditujukan untuk mendapatkan keputusan atau arahan yang sekaligus merupakan izin prakarsa penyusunan RUU. Namun, apabila koordinasi yang bertujuan melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU tersebut berhasil maka pemrakarsa menyampaikan konsepsi RUU tersebut kepada presiden untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya, apabila presiden menyetujui maka pemrakarsa membentuk panitia antar departemen. Tacara pembentukan panitia antar departemen dan penyusunan RUU dilakukan sesuai dengan tahapan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas yang telah diuraikan sebelumnya. Penyampaian RUU Kepada DPR RUU yang telah disetujui oleh Presiden disampaikan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Proses ini diawali dengan penyampaian surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR guna menyampaikan RUU disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang dimaksud. RUU dari DPR

Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi dipersiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (TCP3) dipersiapkan oleh tim asistensi Baleg (Badan Legislasi). Di samping itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi (PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan undang-undang. Dalam menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di samping melakukan sendiri penelitian atas beberapa rancangan undang-undang, juga bekerjasama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk satu RUU biasanya Baleg akan meminta tiga universitas untuk melakukan penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut. Baleg juga banyak mendapatkan draft RUU dari masyarakat sipil, misalnya RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), RUU tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi) dan RUU Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi masyarakat sipil, pintu masuk suatu usulan mungkin lebih terlihat "netral" bila melalui Baleg ketimbang melalui fraksi, karena terkesan tidak terafiliasi dengan partai apapun. Sedangkan PPPI yang memiliki 43 orang peneliti, lebih banyak berfungsi membantu pihak Baleg maupun sekretariat guna mempersiapkan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan maupun dalam memberikan pandangan atas RUU yang sedang dibahas. Selain itu PPPDI sering juga melakukan riset untuk membantu para anggota DPR dalam melakukan tugas mereka, baik itu untuk fungsi legislasi, pengawasan, maupun budgeter. Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dari adanya amanat muktamar partai. Kemudian fraksi tersebut membentuk tim pakar yang merancang RUU tersebut berdasarkan masukan masyarakat melalui DPP maupun DPD partai. RUU dari DPD Sebagai lembaga legislatif baru, DPD sedang dalam masa untuk membangun sistem perancangan dan pembahasan RUU yang baik dan efektif. Di awal masa jabatan ini, DPD banyak mengadopsi sistem yang dipakai oleh DPR. Untuk merancang sebuah RUU mereka menyerahkan kepada individu atau panitia yang akan mengusulkannya. Hanya saja saringanya ada pada, Rapat Paripurna DPD yang akan mengesahkan apakah sebuah RUU bisa atau tidak diajukan menjadi usul DPD kepada DPR. Usul RUU boleh diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-undang (PPU) atau Panitia Ad Hoc. Sedangkan Usul Pembentukan RUU dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya ¼ jumlah anggota DPD. Usul pembentukan RUU harus dilengkapi dengan latar belakang, tujuan dan pokok-pokok pikiran serta daftar nama, nama provinsi dan tanda tangan pengusul. Baik Usul RUU maupun Usul Pembentukan RUU disampaikan kepada PPU. Selanjutnya pimpinan PPU akan menyampaikan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU kepada pimpinan DPD. Pada sidang paripurna DPD berikutnya pimpinan sidang harus memberitahukan

kepada anggota tentang masuknya Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU, yang selanjutnya harus dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang Paripurna memutuskan apakah Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut diterima, ditolak atau diterima dengan perubahan. Keputusan untuk menerima atau menolak harus terlebih dahulu memberi kesempatan kepada pengusul untuk memberi penjelasan, anggota juga diberi kesempatan untuk memberikan pendapat. Apabila Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU diterima dengan perbaikan maka, DPD menugaskan PPU untuk membahas dan menyempurnakan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut. Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU yang telah disetujui menjadi usul DPD selanjutnya di ajukan kepada pimpinan DPR. Siapa Yang Mengusulkan Undang-undang Sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) bisa datang dari tiga pintu yaitu Presiden, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam mengusulkan sebuah RUU ketiga lembaga tersebut harus berpedoman kepada Prolegnas.

Pengusulan Oleh Presiden RUU yang berasal dari presiden disampaikan kepada pimpinan DPR dengan mengirimkan surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang dimaksud. Surat presiden tersebut setidaknya memuat (i) menteri yang ditugasi untuk mewakili presiden dalam pembahasan RUU di DPR, (ii) sifat penyelesaian RUU yang dikehendaki dan (iii) cara penanganan atau pembahasan. Sementara itu, keterangan pemerintah yang menyertai surat presiden disiapkan oleh pemrakarsa paling sedikit memuat: (i) urgensi dan tujuan penyusunan, (ii) sasaran yang ingin diwujudkan, (iii) pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur, dan (iv) jangkauan serta arah pengaturan. Keempat unsur ini menggambarkan keseluruhan substansi RUU. Pengusulan Oleh DPD DPD berhak mengajukan RUU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Untuk mengajukan sebuah RUU, pimpinan DPD menyampaikan kepada ketua DPR RUU beserta naskah akademisnya, apabila tidak ada naskah akademis dari RUU yang bersangkutan, maka cukup menyampaikan keterangan atau penjelasannya. Dalam rapat paripurna berikutnya setelah RUU diterima oleh DPR, ketua rapat menyampaikan kepada anggota tentang masuknya RUU dari DPD, RUU tersebut kemudian dibagikan kepada seluruh anggota. Selanjutnya DPR akan menugaskan Baleg atau Komisi untuk membahas RUU tersebut bersama DPD. Paling lambat 15 (lima belas) hari sejak ditugaskan, Komisi atau Baleg yang telah ditunjuk mengundang alat kelengkapan DPD untuk membahas RUU tersebut. Pengusulan Oleh DPR Pengusulan oleh DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu, yaitu

1. Badan Legislasi 2. Komisi 3. Gabungan komisi 4. Tujuh belas orang anggota Usul RUU yang diajukan oleh Baleg, Komisi, Gabungan Komisi ataupun anggota diserahkan kepada pimpina DPR beserta dengan keterangan pengusul atau naskah akademis. Dalam rapat paripurna selanjutnya, pimpinan sidang akan mengumumkan kepada anggota tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. Rapat paripurna akan memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai RUU dari DPR. Sebelum keputusan diiterima atau tidaknya RUU, diberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk memberikan pendapat. Keputusan rapat paripurna terhadap suatu usul RUU dapat berupa: 1. Persetujuan tanpa perubahan 2. Persetujuan dengan perubahan 3. Penolakan Apabila usul RUU disetujui dengan perubahan, maka DPR akan menugaskan kepada Komisi, Baleg ataupun Panitia Khusus (Pansus) untuk menyempurnakan RUU tersebut. Namun, apabila RUU disetujui tanpa perubahan atau RUU telah selesai disempurnakan oleh Komisi, Baleg ataupun Pansus maka RUU tersebut disampaikan kepada presiden dan pimpinan DPD (dalam hal RUUyang diajukan berhubungan dengan kewenangan DPD). Presiden harus menunjuk seorang menteri yang akan mewakilinya dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah diterimanya surat dari DPR. Sedangkan DPD harus menunjuk alat kelengkapan yang akan mewakili dalam proses pembahasan. Pembahasan RUU Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR. Pembicaraan tingkat satu dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut: 1. Pandangan fraksi-fraksi atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didahului dengan pandangan dan pendapat presiden atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD. 2. Tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden. 3. Pembahasan RUU oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Dalam pembicaraan tingkat satu dapat juga dilakukan: 1. Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU) 2.

Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain

3. Diadakan rapat intern Pembicaraan dua, adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului oleh 1. laporan hasil pembicaraan tingkat I 2. pendapat akhir fraksi 3. pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Perpes No. 68/2005 mengatur bahwa Pendapat akhir pemerintah dalam pembahasan RUU di DPR disampaikan oleh menteri yang mewakili presiden setelah terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden. Selama pembahasan RUU di DPR, menteri yang mewakili presiden wajib melaporkan perkembangan dan permasalahan yang dihadapi kepada presiden untuk memperoleh keputusan dan arahan. Apabila terdapat masalah yang bersifat prinsipil dan arah pembahasannya akan mengubah isi serta arah RUU maka menteri yang terlibat dalam pembahasan wajib terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden disertai dengan saran pemecahan untuk memperoleh keputusan. Menteri yang ditugasi membahas RUU di DPR segera melaporkan RUU telah disetujui atau tidak disetujui oleh DPR. Selanjutnya apabila RUU tersebut tidak mendapat persetujuan bersama presiden dan DPR maka RUU tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang yang sama. Setelah disetujui dalam rapat paripurna, sebuah RUU akan dikirimkan kepada Sekretariat Negara untuk ditandatangani oleh presiden, diberi nomor dan diundangkan. (Sumber www.parlemen.net)

MAKALAH PERUNDANG-UNDANGAN, DAN PROSES PERATURAN UU BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Peraturan Perundang-Undngan Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mempunyai kekuatan yang mengikat. Tujuan undangundang dan peraturan negara adalah untuk mengatur dan menertibkan setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan undang-undang atau peraturan, kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi lebih tertib.Peraturan perundang-undangan dan peraturan memiliki kekuatan mengikat. Seseorang yang melanggar peraturan dan undang-undang, akan dikenai sanksi atau hukuman. Hukuman itu dapat berupa denda ataupun kurungan penjara. Kita sebagai warga negara harus taat kepada peraturan yang sudah dibuat ataupun diberlakukan oleh negara. Menurut Van Der Tak dalam Aziz Syamsudin, peraturan perundang-undangan merupakan hukum tertulis yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, berisi aturan-aturan tingkah laku yang bersifat abstrak dan mengikat umum. Istilah perundang-undangan (legislation atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu:

1.

Perundang-undangan sebagai sebuah proses pembentukan atau proses membentuk peraturanperaturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah,

2. Perundang-undangan sebagai segala peraturan negara, yang merupakan hasil proses pembentukan peraturan-pearaturan, baik di tingkat pusat maupun ditingkat daerah.

Dalam peraturan perundang-undangan, terdapat landasan hukum dalam terbentuknya peraturan perundang-undangan. Namun apakah anda sudah mengetahui, apa itu peraturan perundang-undangan ?. Pengertian peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundangundangan. Bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, maka perlu dibuat peraturan yang memuat mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan dengan cara metode yang pasti, baku dan standar yang mengikat segala aspek dalam lembaga yang berwenang untuk membetuk peraturan perundang-undangan. Pasal 22A UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dengna undang-undang. Selanjutnya, dijabarkan dalam UU RI No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Di dalam pasal 1 UU RI No. 12. Tahun 2011, Berikut penjelasan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan.. 

Pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.



Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.



Program legislasi nasional yang selanjutnya disebut prolegna adalah instrumen perencanaan program pembentukan peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah kabupaten/kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.



Program legislasi daerah yang disebut dengan progleda adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana terpadu dan sistematis.



Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam lembaga negara Republik Indonesia, berita negara Republik Indonesia, tambahan berita negara Republik Indonesia, lembaga daerah, tambahan lembaran daerah atau berita daerah.



Materi muatan peraturan perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan jenis, fungsi dan hierarki peraturan perundangundangan. Peraturan perundang-undangan ini dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang atau legislatif. Dengan demikian, terdapat struktur atau tata perundang-undangan dalam sebuah negara. Pada peraturan perundang-undanga yang dikeluarkan oleh lembaga yang lebih rendah harus mengacu atau tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga yang lebih tinggi. Contohnya, perda provinsi yang mengatur tentang pendapatan daerah tidak boleh bertentangan dengan UU yang ditetapkan lembaga perwakilan rakyat di pusat.

1. Sifat dan Ciri-Ciri Peraturan Perundang-undangan Semua peraturan perundang-undangan memiliki sifat dan ciri-ciri sebagai berikut.  Peratran perundang-undangan dalam wujud peraturan tertulis  Peraturan perundang-undangan dibentuk, ditetapkan, dan di keluarkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang baik di tingkat pusat maupun didaerah  Peraturan perundang-undangan berisi aturan pola tingkah laku atau norma hukum.  Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum dan menyeluruh 2. Landasan Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di bentuk dalam 3 landasan hukum. Landasan Hukum pembentukan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut. a.

Landasan Filosofis, peraturan perundang-undangan dapat dikatakan memiliki landasan filosofis (filisofische grondslag) apabila rumusannya atau normanya mendapatkan pembenaran dikaji secara filosofis. Jadi, alasan sesuai dengan cita-cita pandangan hidup manusia dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan sesuai cita-cita kebenaran, keadilan, jalan kehidupan (way of life), filsafat hidup b. Landasan Sosiologis,

bangsa,

serta

kesusilaan.

Suatu peraturan perundang-undangan dapat dikatakan memiliki landasan sosiologis jika sesuai dengan keyakinan umum, kesadaran hukum masyarakat, tata nilai, dan hukum yang hidup dimasyarakat agar peraturan yang dibuat dapat dijalankan.

c. Landasan Yudiris, Peraturan perundang-undangan dapat dikatakan memiliki landasan yudiris jika terdapat dasar hukum, legalitas atau landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya. B. Peraturan Pusat Peraturan pusat merupakan peraturan yang berlaku, secara nasional dibuat oleh pemerintah pusat. Setiap warga dan daerah wajib menjalankan dan menaati jenis peraturan ini, segala peraturan harus bersumber pada pancasila dan UU 1945. Bentuk peraturan pusat bukan hanya undang-undang. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PerPU), peraturan pemerintah (PP), dan peraturan presiden, peraturan daerah juga merupakan bagian dari peraturan pusat.

 Contoh peraturan pusat a.

Peraturan hak dan kewajiban warga Negara Setiap warga Negara berhak dan sama memperoleh pendidikan bermutu, pernyataan ini dijelaskan dalam UU No. 2 tahun 2005 tentang system pendidikan nasional.hal ini merupakan jaminan pemerintah sesuai tanggung jawabnya dalam bidang pendidikan, tanggung jawab dalm mencerdaskan anak bangsa dalam hal ini pemerintah memberikan bantuan dalam bidang pendidikan dengan menyelenggarakan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) inilah upaya nyata pemerintah dalam memfasilitasi pembangunan dibidang pendidikan, khususnya pendidikan dalam jangka 9 tahun.

b. Peraturan lalu lintas Peraturan tata tertib lalu lintas diatur dalam UU No. 14 1992 peraturan tersebut mengatur tentang tata tertib lalu lintas jalan raya, peraturannya berlaku diwilayah NKRI. Salah

satu isinya menyatakan bahwa setiap orang menggunakan jalan wajib menaati segala peraturan lalu lintas yang ada. Peraturan pusat merupakan peraturan yang berlaku secara nasional dan dibuat oleh pemerintah atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setiap warga negara dan pemerintah daerah wajib menjalankan dan menaati jenis peraturan ini. Yang termasuk dalam peraturan ini adalah UUD 1945, UU.Peraturan Lalu Lintas dibuat untuk menciptakan keamanan, kenyaman, dan ketertiban bagi pengguna jalan raya, termasuk pejalan kaki dan pemilik atau pemakai kendaraan. Di jalan raya ada beberapa peraturan lalu-lintas yang harus ditaati, seperti kita harus menyeberang melalui z ebra cross atau jembatan penyeberangan atau jika kita berjalan di jalan raya harus di trotoar, dan sebagainya.Jika kita melanggar peraturan lalu lintas maka akan membahayakan keselamatan diri kita sendiri dan juga merugikan orang lain. Selain itu kita juga akan dikenakan sanksi. Contoh sanksi bagi pengemudi kendaraan bermotor yang tidak memiliki SIM dalam UU Lalu lintas No. 14 tahun 1992 yaitu dipidana kurungan maksimal 6 (enam) bulan atau denda Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah). c.

UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999, yang dimaksud “Tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang secara nyata melawan hukum melakukan pe3rbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) yaitu Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) melalui UU No. 30 tahun 2002.

d. Peraturan tentang Pendidikan Peraturan tentang pendidikan diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003. Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa anak yang berusia tujuh sampai dengan limabelas tahun harus bersekolah. Mereka harus mengikuti pendidikan dasar. Yang dimaksud dengan pendidikan dasar adalah Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama.

C. Peraturan Daerah Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan, yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (gubernur ataubupati/wali kota).

Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah terdiri atas: a. Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut. Peraturan Daerah Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

dibentuk

oleh

DPRD

Kabupaten/Kota

dengan

persetujuan

bersama Bupati/Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak subordinat terhadap Peraturan Daerah Provinsi.  Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (gubernur, bupati, atau wali kota). Raperda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD. Sedangkan Raperda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah Pembahasan Raperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama gubernur atau bupati/wali kota. Pembahasan bersama tersebut melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna. Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka waktu palinglambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan  Syarat berdirinya perda Perda merupakan produk legislasi pemerintahan daerah, yakni Kepala daerah dan DPRD. Pasal 140 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota. Selanjutnya, Rancangan Perda harus mendapat persetujuan bersama DPRD dan Gubernur atau Bupati/ Walikota

untuk dapat dibahas lebih lanjut. Tanpa persetujuan bersama, rancangan perda tidak akan dibahas lebih lanjut. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama antara DPRD dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sedang di dalam UU No 12 Tahun 2011 yang terdapat dua pengertian tentang peraturan daerah, yakni peraturan daerah provinsi dan peraturan daerah kabupaten/kota. Peraturan daerah provinsi adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. Sedang peraturan daerah Kabupaten/Kota adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Peraturan daerah sebagai salah satu bentuk perturan perundang-undangan merupakan bagian dari pembangunan sistem hukum nasional. Peraturan daerah yang baik dapat terwujud apabila didukung oleh metode dan standar yang tepat sehingga memenuhi teknis pembentuka peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011. Perda dibentuk karena ada kewenangan yang dimiliki daerah otonom dan perintah dari peraturan-undangan yang lebih tinggi. Kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Definisi Perda Sesuai dengan ketentuan UU No. 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (Perda) adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Definisi lain tentang Perda berdasarkan ketentuan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Propinsi maupun di Kabupaten/Kota. Pasal 136 ayat (2) UU No. 32/2004 mengamanatkan bahwa Perda dibentuk oleh pemerintah daerah dan DPRD dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan ; serta ayat (3) Perda yang dimaksud merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah .

Menurut undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundangundangan yang dimaksud dengan peraturan daerah (Perda) adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Definisi lain adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama oleh dewan perwakilan rakyat daerah ddengan kepala daerah baik dipropinsi maupun di kabupaten/kota.Dalam undang-undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah (UU Pemda), pada bentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah propinsi /kabupaten/kota dan tugas pembuatan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Sesuai ketentuan pasal 21 undang-undang No.10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembuatan dan penampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Rancangan peraturan derah dapat berasaldari dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Gubernur atau Bupati/Walikota.

D. Proses Pembuatan Peraturan Pusat Dan Daerah

1. Asas dan urutan pembuatan peraturan Sebelum membuat suatu peraturan, baik di tingkat pusat maupun di daerah harus memerhatikan beberapa hal. Salah satunya tentang materi yang dimuat dalam sebuah peraturan. Setiap materi peraturan perundang-undangan harus memuat asas-asas berikut.  Asas pengayoman bahwa setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.  Asas kemanusiaan bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.  Asas kebangsaan bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

 Asas kekeluargaan bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkanmusyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan..  Asas kenusantaraan bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Perda merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila..  Asas bhinneka tunggal ika bahwa setiap materi muatan Perda harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Asas keadilan bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.  Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bahwa setiap materi muatan Perda tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial.  Asas ketertiban dan kepastian hukum bahwa setiap materi muatan Perda harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.  Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara. Jadi,

ada

10

asas

yang

harus

dipenuhi

dalam

pembentukan

sebuah

peraturan.

Pada umumnya, proses pembuatan peraturan pusat dan peraturan daerah hampir sama. Namun, pihak-pihak yang membuatnya berbeda. Berikut ini. Urutan pembuatan peraturan pusat dan daerah: a.

Membuat rencana peraturan undang-undang

 Peraturan pusat : rancangan peraturan atau undangan-undangan dapat berasal dari DPR, presiden , atau DPD.  Peraturan daerah : rancangan peraturan daerah berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota. b. Mengajukan rancangan peraturan undang-undang  Peraturan pusat : Rancangan undang-undang yang dibuat oleh presiden, DPR atau DPD diajukan kepada DPR untuk dibahas bersama.  Peraturan daerah: rancangan peraturan daerah yang dibuat oleh DPRD, gubernur, atau Bupati/Walikota, kepada DPRD untuk dibahas bersama.

c.

Membahas rancangan peraturan undang-undang

 Peraturan pusat : DPR bersama Presiden mengadakan sidang bersama untuk membahas rancangan undang-undang yang sudah diajukan kepada DPR.  Peraturan daerah : DPRD bersama kepala daerah mengadakan sidang bersama untuk membahas rancangan peraturan daerah. d. Menetapkan atau mengesahkan peraturan undang-undang  Peraturan pusat : rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama oleh DPR dan presiden, disampaikan oleh pimpinan DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.  Peraturan daerah : rancangan peraturan daerah telah disetujui oleh DPRD dan kepala daerah disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada kepala daerahuntuk ditetapkan menjadi peraturan daerah. e.

Pengundangan dan penyebarluasan peraturan undang-undang

 Peraturan pusat : Seluruh rakyat Indonesia harus mengetahui adanya sebuah undang-undang. Oleh karena itu, agar semua warga negara mengetahuinya, undang-undang yang telah disahkan diundangkan

dalam

Lembaran

Negara

Republik

Indonesia.

Pemerintah

juga

wajib

menyebarluaskan UU tersebut. Penyebarluasan undang-undang dapat dilakukan melalui media elektronik dan media cetak.  Peraturan daerah :Peraturan daerah diundangkan dalam lembaran daerah. Pemerintah daerah wajib menyebarluaskan peraturan daerah yang telah diundangkan tersebut. Penyebarluasan peraturan daerah dapat dilakukan melalui media cetak, seperti majalah dan surat kabar. Di negara kita sudah ditetapkan lembaga negara yang membuat undang-undang. Namun masyarakat juga harus terlibat. Masyarakat tidak boleh menerima begitu saja terhadap sebuah undang-undang. Masyarakat harus berperan aktif dalam pembuatan peraturan karena yang akan melaksanakannya adalah masyarakat, bukan hanya lembaga negara saja.Bayangkan jika sebuah peraturan telah ditetapkan tetapi tidak disetujui oleh masyarakat. Masyarakat akan memprotesnya dan meminta pemerintah untuk mengganti dengan peraturan yang baru. Protes masyarakat terhadap sebuah peraturan dapat diwujudkan dalam kegiatan demonstrasi. Hal itu merupakan salah satu akibat bila masyarakat tidak ikut dilibatkan dalam pembuatan peraturan. E. Pelaksanaan peraturan Pelaksanaan adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci, implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaan sudah

dianggap siap. Secara sederhana pelaksanaan bisa diartikan penerapan. Majone dan Wildavsky mengemukakan pelaksanaan sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky mengemukakan bahwa Pelaksanaan adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan. Peraturan Pelaksanaan yang dimaksud disini adalah aturan yang dibuat oleh eksekutif (pemerintah) atau badan lain dalam rangka melaksanakan undang-undang. Berbeda dengan pembuatan undang-undang, peraturan pelaksanaan dibuat dengan tidak melibatkan lembaga legislatif (DPR Pada dasarnya kewenangan membuat undang-undang, termasuk peraturan pelaksanaannya, ada di tangan lembaga legislatif. Eksekutif memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya. Namun, suatu peraturan perlu didelegasikan karena mendesaknya pemberlakuan suatu aturan, perlunya pengaturan yang detil, memerlukan keahlian khusus, dan pengaturan yang harus sesuai dengan karakter masing-masing daerah. Selain itu, secara praktis, mekanisme penetapan suatu keputusan yang panjang dan rumit tidak memungkinkan dibuat sendiri oleh DPR. Pendelegasian pembuatan peraturan pelaksanaan kepada eksekutif menjadi lebih cepat prosesnya karena tidak memerlukan debat di DPR yang seringkali berlarut-larut. Waktu DPR akan tersita untuk membahas hal detil. Seringkali diperlukan pengaturan yang mendesak dan segera harus diberlakukan, misalnya pengaturan mengenai kenaikan jalan tol atau kenaikan harga BBM. DPR dengan mekanisme pengambilan keputusan yang ada tidak mungkin dapat menghasilkan peraturan seperti itu. Seringkali kebijakan teknis perlu diubah sehingga akan lebih cepat mengubah peraturan pelaksanaan daripada mengubah undang-undangnya. Apabila kebijakan teknis diserahkan kepada DPR, maka waktu DPR akan tersita untuk membahas hal yang bersifat teknis. Contoh peraturan yang demikian adalah peraturan mengenai perubahan organisasi pada kementerian. Kementerian dan lembaga cenderung lebih mampu membuat pengaturan yang efektif karena merupakan area keahlian mereka. Khusus peraturan daerah, mereka lebih mengetahui kondisi masing-masing daerah setempat. Sebagai contoh peraturan mengenai tata ruang suatu wilayah. Pendelegasian pembuatan peraturan pelaksanaan memiliki beberapa manfaat, yakni menghindari salah satu cabang kekuasaan (eksekutif atau legislatif) mendominasi kekuasaan sehingga dan tidak menciptakan prinsip checks and balances kekuasaan. Apabila peraturan pelaksanaan didominasi oleh legislatif, dalam arti peraturan pelaksanaan dibuat oleh legislatif, secara praktis dapat menghambat pelaksanaan suatu undang-undang oleh eksekutif mengingat legislatif tidak mengetahui praktik pelaksanaan secara detail dan pengaturan lokal. Sebaliknya

apabila peraturan pelaksanaan dibuat secara penuh oleh eksekutif, maka akan berpotensi kekuasaan legislatif akan diambil alih oleh eksekutif. Selain itu, mencegah eksekutif menyelenggarakan pemerintahan secara tidak terkendali. Adanya delegasi kewenangan dari legislatif kepada eksekutif akan mencegah eksekutif melakukan improvisasi yang tidak tepat dalam menyelanggarakan pemerintahan.

ROSES PEMBENTUKAN PERUNDANG - UNDANGAN

Sejak bulan November 2004, proses pembuatan undang-undang yang selama ini dinaungi oleh beberapa peraturan kini mengacu pada satu undang-undang (UU) yaitu Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). UU ini disahkan oleh Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 24 Mei 2004, akan tetapi baru berlaku efektif pada November 2004. Selain itu, proses pembuatan undang-undang yang diajukan oleh Presiden juga diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan UndangUndang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden ((Perpres No. 68/2005). Perpres ini dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 24 UU PPP. Pada dasarnya proses pembuatan UU setelah berlakunya UU PPP terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu: 1. perencanaan, 2. persiapan, 3. teknik penyusunan, 4. perumusan dan pembahasan, 5. pengesahan, 6. pengundangan dan 7. penyebarluasan (Ketentuan Umum angka 1 UU PPP). Bagaimanakah prosedur rincinya? Perencanaan Perencanaan adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan

bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000. Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres). Siapa Yang Merancang Sebuah RUU RUU dari Presiden Sebelum sebuah RUU diusulkan oleh presiden ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yang dalam UU PP terdiri dari tahapan persiapan, teknik penyusunan, dan perumusan. Ketiga tahapan tersebut dapat dikemas menjadi suatu istilah yang umum digunakan yaitu perancangan. Ketentuan yang mengatur mengenai tahapan penyusunan undang-undang tersebut diatur lebih lanjut dalam Perpres No. 68/2005. Sebelumnya, proses penyusunan RUU diatur melalui Keputusan Presiden Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU. Namun dengan berlakunya Perpres No. 68/2005 maka Keputusan Presiden tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pengaturan tahapan atau tata cara mempersiapkan RUU dalam Perpres ini terdiri atas (i) penyusunan RUU yang meliputi penyusunan RUU beradasarkan Prolegnas dan penyusunan RUU di luar Prolegnas, (ii) penyampaian RUU kepada DPR. Penyusunan RUU Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin prakarsa kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang meliputi (i). urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). sasaran yang ingin diwujudkan, (iii). pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv). jangkauan serta arah pengaturan. Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a). menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b). meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; (c). melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d). mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e). keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan. Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak memerlukan persetujuan ijin prakarsa dari presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama –sama dengan departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung jawab diidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham). Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah

akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian. Penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas Proses ini diawali dengan pembentukan panitia antar departemen oleh pemrakarsa. Keanggotaan panitia ini terdiri atas unsur departemen dan lembaga pemerintah non departemen yang terkait dengan substansi RUU. Panitia ini akan dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh pemrakarsa. Sementara itu, sekretaris panitia antar departemen dijabat oleh kepala biro hukum atau kepala satuan kerja yang emnyelenggarakan fungsi di bidang perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa. Dalam setiap panitia antar departemen diikutsertakan wakil dari Dephukham untuk melakukan pengharmonisasian RUU dan teknis perancangan perundang-undangan. Panitia antar departemen menitikberatkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat prinsipil mengenai objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan. Sedangkan kegiatan perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa. Hasil perancangan selanjutnya disampaikan kepada panitia antar departemen untuk diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati. Dalam pembahasan RUU di tingkat panitia antar departemen, pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial politik, profesi dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan RUU. Selama penyusunan, ketua panitia antar departemen melaporkan perkembangan penyusunan dan/atau permasalahan kepada pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau arahan. Ketua panitia antar departemen menyampaikan rumusan akhir RUU kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan. Selanjutnya dalam rangka penyempurnaan pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada masyarakat. Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan yang saat ini dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) dan menteri atau pimpinan lembaga terkait untuk memperoleh pertimbangan dan paraf persetujuan. Pertimbangan dan paraf persetujuan dari Menhukham diutamakan pada harmonisasi konsepsi dan teknik perancangan perundang-undangan. Pertimbangan dan paraf persetujuan diberikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak RUU diterima. Apabila pemrakarsa melihat ada perbedaan dalam pertimbangan yang telah diterima maka pemrakarsa bersama dengan Menhukham menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri/pimpinan lembaga terkait. Apabila upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil maka Menhukham melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada presiden untuk memperoleh keputusan. Selanjutnya, perumusan ulang RUU dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Menhukham. Dalam hal RUU tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi substansi maupun segi teknik perancangan perundang-undangan maka pemrakarsa mengajukan RUU tersebut kepada presiden untuk disampaikan kepada DPR. Namun, apabila presiden berpendapat RUU masih mengandung

permasalahan maka presiden menugaskan kepada Menhukham dan pemrakarsa untuk mengkoordinasikan kembali penyempurnaan RUU tersebut dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima penugasan maka pemrakarsa harus menyampaikan kembali RUU kepada presiden. Penyusunan RUU diluar Prolegnas Pada dasarnya Proses penyusunan RUU diluar Prolegnas sama dengan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas. Hanya saja, dalam menyusun RUU diluar prolegnas ada tahapan awal yang wajib dijalankan sebelum masuk dalam tahapan penyusunan undang-undang sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tahapan awal ini dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini dilakukan melalui metode konsultasi antara pemrakarsa dengan Menhukham. Selanjutnya, untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU Menhukham mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya. Proses ini juga dapat melibatkan perguruan tinggi dan/atau organisasi. Apabila koordinasi tersebut tidak berhasil maka Menhukham dan pemrakarsa melaporkan kepada presiden disertai dengan penjelasan mengenai perbedaan pendapat atau pandangan yang muncul. Pelaporan kepada presiden ini ditujukan untuk mendapatkan keputusan atau arahan yang sekaligus merupakan izin prakarsa penyusunan RUU. Namun, apabila koordinasi yang bertujuan melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU tersebut berhasil maka pemrakarsa menyampaikan konsepsi RUU tersebut kepada presiden untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya, apabila presiden menyetujui maka pemrakarsa membentuk panitia antar departemen. Tacara pembentukan panitia antar departemen dan penyusunan RUU dilakukan sesuai dengan tahapan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas yang telah diuraikan sebelumnya. Penyampaian RUU Kepada DPR RUU yang telah disetujui oleh Presiden disampaikan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Proses ini diawali dengan penyampaian surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR guna menyampaikan RUU disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang dimaksud. RUU dari DPR Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi dipersiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (TCP3) dipersiapkan oleh tim asistensi Baleg (Badan Legislasi). Di samping itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi (PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atas

substansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan undang-undang. Dalam menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di samping melakukan sendiri penelitian atas beberapa rancangan undang-undang, juga bekerjasama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk satu RUU biasanya Baleg akan meminta tiga universitas untuk melakukan penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut. Baleg juga banyak mendapatkan draft RUU dari masyarakat sipil, misalnya RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), RUU tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi) dan RUU Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi masyarakat sipil, pintu masuk suatu usulan mungkin lebih terlihat "netral" bila melalui Baleg ketimbang melalui fraksi, karena terkesan tidak terafiliasi dengan partai apapun. Sedangkan PPPI yang memiliki 43 orang peneliti, lebih banyak berfungsi membantu pihak Baleg maupun sekretariat guna mempersiapkan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan maupun dalam memberikan pandangan atas RUU yang sedang dibahas. Selain itu PPPDI sering juga melakukan riset untuk membantu para anggota DPR dalam melakukan tugas mereka, baik itu untuk fungsi legislasi, pengawasan, maupun budgeter. Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dari adanya amanat muktamar partai. Kemudian fraksi tersebut membentuk tim pakar yang merancang RUU tersebut berdasarkan masukan masyarakat melalui DPP maupun DPD partai. RUU dari DPD Sebagai lembaga legislatif baru, DPD sedang dalam masa untuk membangun sistem perancangan dan pembahasan RUU yang baik dan efektif. Di awal masa jabatan ini, DPD banyak mengadopsi sistem yang dipakai oleh DPR. Untuk merancang sebuah RUU mereka menyerahkan kepada individu atau panitia yang akan mengusulkannya. Hanya saja saringanya ada pada, Rapat Paripurna DPD yang akan mengesahkan apakah sebuah RUU bisa atau tidak diajukan menjadi usul DPD kepada DPR. Usul RUU boleh diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-undang (PPU) atau Panitia Ad Hoc. Sedangkan Usul Pembentukan RUU dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya ¼ jumlah anggota DPD. Usul pembentukan RUU harus dilengkapi dengan latar belakang, tujuan dan pokok-pokok pikiran serta daftar nama, nama provinsi dan tanda tangan pengusul. Baik Usul RUU maupun Usul Pembentukan RUU disampaikan kepada PPU. Selanjutnya pimpinan PPU akan menyampaikan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU kepada pimpinan DPD. Pada sidang paripurna DPD berikutnya pimpinan sidang harus memberitahukan kepada anggota tentang masuknya Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU, yang selanjutnya harus dibagikan kepada seluruh anggota. Sidang Paripurna memutuskan apakah Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut diterima, ditolak atau diterima dengan perubahan. Keputusan untuk menerima atau menolak harus terlebih dahulu memberi kesempatan kepada pengusul untuk memberi penjelasan, anggota juga diberi kesempatan untuk memberikan pendapat.

Apabila Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU diterima dengan perbaikan maka, DPD menugaskan PPU untuk membahas dan menyempurnakan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut. Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU yang telah disetujui menjadi usul DPD selanjutnya di ajukan kepada pimpinan DPR. Siapa Yang Mengusulkan Undang-undang Sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) bisa datang dari tiga pintu yaitu Presiden, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam mengusulkan sebuah RUU ketiga lembaga tersebut harus berpedoman kepada Prolegnas.

Pengusulan Oleh Presiden RUU yang berasal dari presiden disampaikan kepada pimpinan DPR dengan mengirimkan surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang dimaksud. Surat presiden tersebut setidaknya memuat (i) menteri yang ditugasi untuk mewakili presiden dalam pembahasan RUU di DPR, (ii) sifat penyelesaian RUU yang dikehendaki dan (iii) cara penanganan atau pembahasan. Sementara itu, keterangan pemerintah yang menyertai surat presiden disiapkan oleh pemrakarsa paling sedikit memuat: (i) urgensi dan tujuan penyusunan, (ii) sasaran yang ingin diwujudkan, (iii) pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur, dan (iv) jangkauan serta arah pengaturan. Keempat unsur ini menggambarkan keseluruhan substansi RUU. Pengusulan Oleh DPD DPD berhak mengajukan RUU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Untuk mengajukan sebuah RUU, pimpinan DPD menyampaikan kepada ketua DPR RUU beserta naskah akademisnya, apabila tidak ada naskah akademis dari RUU yang bersangkutan, maka cukup menyampaikan keterangan atau penjelasannya. Dalam rapat paripurna berikutnya setelah RUU diterima oleh DPR, ketua rapat menyampaikan kepada anggota tentang masuknya RUU dari DPD, RUU tersebut kemudian dibagikan kepada seluruh anggota. Selanjutnya DPR akan menugaskan Baleg atau Komisi untuk membahas RUU tersebut bersama DPD. Paling lambat 15 (lima belas) hari sejak ditugaskan, Komisi atau Baleg yang telah ditunjuk mengundang alat kelengkapan DPD untuk membahas RUU tersebut. Pengusulan Oleh DPR Pengusulan oleh DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu, yaitu 1. Badan Legislasi 2. Komisi 3. Gabungan komisi 4. Tujuh belas orang anggota

Usul RUU yang diajukan oleh Baleg, Komisi, Gabungan Komisi ataupun anggota diserahkan kepada pimpina DPR beserta dengan keterangan pengusul atau naskah akademis. Dalam rapat paripurna selanjutnya, pimpinan sidang akan mengumumkan kepada anggota tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. Rapat paripurna akan memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai RUU dari DPR. Sebelum keputusan diiterima atau tidaknya RUU, diberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk memberikan pendapat. Keputusan rapat paripurna terhadap suatu usul RUU dapat berupa: 1. Persetujuan tanpa perubahan 2. Persetujuan dengan perubahan 3. Penolakan Apabila usul RUU disetujui dengan perubahan, maka DPR akan menugaskan kepada Komisi, Baleg ataupun Panitia Khusus (Pansus) untuk menyempurnakan RUU tersebut. Namun, apabila RUU disetujui tanpa perubahan atau RUU telah selesai disempurnakan oleh Komisi, Baleg ataupun Pansus maka RUU tersebut disampaikan kepada presiden dan pimpinan DPD (dalam hal RUUyang diajukan berhubungan dengan kewenangan DPD). Presiden harus menunjuk seorang menteri yang akan mewakilinya dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah diterimanya surat dari DPR. Sedangkan DPD harus menunjuk alat kelengkapan yang akan mewakili dalam proses pembahasan. Pembahasan RUU Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR. Pembicaraan tingkat satu dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut: 1. Pandangan fraksi-fraksi atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didahului dengan pandangan dan pendapat presiden atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD. 2. Tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden. 3. Pembahasan RUU oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Dalam pembicaraan tingkat satu dapat juga dilakukan: 1. Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU) 2.

Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain

3. Diadakan rapat intern Pembicaraan dua, adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului oleh 1. laporan hasil pembicaraan tingkat I 2. pendapat akhir fraksi

3. pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Perpes No. 68/2005 mengatur bahwa Pendapat akhir pemerintah dalam pembahasan RUU di DPR disampaikan oleh menteri yang mewakili presiden setelah terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden. Selama pembahasan RUU di DPR, menteri yang mewakili presiden wajib melaporkan perkembangan dan permasalahan yang dihadapi kepada presiden untuk memperoleh keputusan dan arahan. Apabila terdapat masalah yang bersifat prinsipil dan arah pembahasannya akan mengubah isi serta arah RUU maka menteri yang terlibat dalam pembahasan wajib terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden disertai dengan saran pemecahan untuk memperoleh keputusan. Menteri yang ditugasi membahas RUU di DPR segera melaporkan RUU telah disetujui atau tidak disetujui oleh DPR. Selanjutnya apabila RUU tersebut tidak mendapat persetujuan bersama presiden dan DPR maka RUU tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang yang sama. Setelah disetujui dalam rapat paripurna, sebuah RUU akan dikirimkan kepada Sekretariat Negara untuk ditandatangani oleh presiden, diberi nomor dan diundangkan. (Sumber www.parlemen.net)

More Documents from "Muhammad Nanda Pradita"