Dody Firmanda 2006 - 036. Pelaksanaan Audit Medis Jawa Barat

  • Uploaded by: Dody Firmanda
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dody Firmanda 2006 - 036. Pelaksanaan Audit Medis Jawa Barat as PDF for free.

More details

  • Words: 6,343
  • Pages: 56
Pelaksanaan Audit Medik di RSUP Fatmawati Dr. Dody Firmanda, Sp.A, MA Ketua Komite Medik RSUP Fatmawati, Jakarta. Pendahuluan Sesuai dengan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dalam melaksanakan praktik kedokteran baik secara perorangan maupun berkelompok di institusi sarana penyelenggara pelayanan kesehatan (pemerintah dan swasta), dalam memberikan pelayanan medis harus sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional1 dan wajib melakukan kendali mutu dan biaya melalui audit medis. 2 Sedangkan standar prosedur operasional itu sendiri dibuat oleh profesi di tempatnya melaksanakan praktik kedokteran dengan mengacu kepada Standar Pelayanan Medis dari organisasi/perhimpunan profesi masing masing. Isu isu yang berkembang saat ini adalah semakin meningkatnya tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan, keamanan/keselamatan pasien dan isu akses pemerataan pelayanan kesehatan terutama terhadap masyarakat yang kurang/tidak mampu, disamping semakin pesatnya perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan tehnik medis dan terbukanya era persaingan global di segala bidang termasuk jasa pelayanan kesehatan yang telah memasuki tahap modus ke empat yakni tenaga profesi – maka secara tidak langsung profesi medis harus mempersiapkan dan membenah diri untuk meningkatkan profesionalismenya tidak hanya dari segi tehik medis semata akan tetapi juga bidang manajemen keprofesian agar lebih cepat tanggap ( responsiveness), bersifat tanggung jawab dan gugat ( responsibility) serta visioner dalam ruang lingkup keprofesiannya (duty of care) baik secara individu maupun organisasi. Salah satu tujuan dari subsistem pembiayaan kesehatan dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) 2004 adalah tersedianya pembiayaan kesehatan  Disampaikan pada Pertemuan Komite Medik Rumah Sakit diselenggarakan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Barat di Hotel Permata Bidakara, Bandung 30 Mei 2006. 1 Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51a. 2 Undang Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 49 ayat 1 dan 2.

1

dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil dan termanfaatkan secara berhasil dan berdaya guna3; serta bidang yang jarang/belum disentuh oleh profesi medis adalah kaitan dalam hal mutu profesi dan biaya, meskipun dalam Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada pasal 49 ayat 1 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan praktik 4 kedokteran wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya. Sebagaimana telah diketahui komponen terbesar dari pembiayaan kesehatan di Rumah Sakit adalah obat dan penggunaan pemeriksaan alat penunjang diagnostik maupun terapeutik, maka sudah sewajarnya bila pengadaan dan pelayanan obat di rumah sakit didasarkan pada formularium yang ditetapkan oleh Komite/Panitia/Tim Farmasi dan Terapi Rumah Sakit. 3,5,6 Pada saat seorang dokter lulus dari institusi pendidikan akan mendapat ijasah dan sertifikat kompetensi sebagai tanda lulus dan pengakuan kemampuan kompetensinya sebagai individu dokter dan berhak untuk mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) untuk waktu 5 tahun sesuai dengan Undang Undang 7 8 Sistem Pendidikan Nasional dan Undang Undang Praktik Kedokteran . Pertanyaan akan timbul, apakah dokter tersebut dapat melaksanakan dan mempertahankan serta bahkan meningkatkan kompetensi profesinya selama waktu tersebut? Apakah dokter tersebut dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan yang diharapkan berdasarkan Standar Profesi dan Standar Pelayanan Medik dalam rangka memenuhi salah satu dari falsafah tujuan dasar Undang Undang Praktik Kedokteran yakni melaksanakan praktik 9 kedokteran yang memberikan perlindungan dan keselamatan pasien? Apakah dokter tersebut telah dapat memberikan pelayanan sesuai dengan Format Clinical Pathways dan kajian varians dari Sistem Pembiayaan berdasarkan metode DRGs Casemix untuk melaksanakan praktik kedokteran secara kendali mutu dan biaya ?10,11,12 3

Keputusan Menteri Kesehatan RI No: 131/Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional Bab V Subsistem Pembiayaan Kesehatan. 4 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 5 WHO. Drugs and Therapeutics Committee: a practical guide WHO/EDM/PAR/2004.1. Geneva 2003. 6 Green T, Beith A, Chalker J. Drugs and Therapeutics Commmittee: a vehicles for improving rational drug use. WHO/EDM Anniversary Issue 2003:32;10-1. 7 Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Pasal 61. 8 Undang Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 Pasal 7 dan Pasal 8. 9 Undang Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 Pasal 2 dan Pasal 3 ayat 1. 10 Undang Undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 Pasal 49 ayat 1.

2

Disini letak akan pentingnya dimensi tempat, waktu dan individu profesi dalam meninjau kinerja (performance ) keprofesiannya. Kinerja atau performance tersebut tercermin dalam satu buku seperti log book individu atau di negara luar dikenal sebagai PYA (Penultimate Year Assessment) Form.13 Audit medis merupakan salah satu suatu kegiatan sistematik dari beberapa komponen yang saling berkaitan dan tidak terpisahkan di dalam satu sistem lingkaran Clinical Governance dalam rangka upaya meningkatkan mutu pelayanan profesi medis di institusi pelayanan kesehatan (dalam hal ini rumah sakit). Maka kegiatan audit medik tersebut sangat erat dengan mutu, clinical governance dan patient safety.14 Sebagai pedoman dan acuan awal dalam melakukan audit medis dapat digunakan instrumen yang telah diterbitkan oleh pemerintah (Departemen Kesehatan).15 Sistem Penataan Klinis (Clinical Governance) Komite Medik dan SMF di RS Fatmawati Untuk suatu rumah sakit yang akan mulai berbenah diri, sebaiknya terlebih dahulu membuat Sistem Rumah Sakit ( Corporate Governance) yang terdiri dari sistem manajemen rumah sakit, sistem profesi medis (Komite Medis dan SMF – Clinical Governance), sistem keperawatan, dengan berbagai subsistem untuk pelayanan, pendidikan/pelatihan serta penelitian rumah sakit dengan berbagai peraturan di tingkat rumah sakit (Hospital Bylaws) dan tingkat 11

Firmanda D. Integrated Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs Casemix di rumah sakit. Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22 Desember 2005, RSUP Hasan Sadikin Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka penyempurnaan Pedoman DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka 29 Desember 2006. 12 Firmanda D, Pratiwi A, Nuraini IS, Srie Enggar KD. Clinical Pathways Kesehatan Anak dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati, Jakarta 2006 (dalam percetakan). 13 Royal College of Paediatrics and Child Health. Guide to Penultimate Year Assessment Form. London, 2004. 14 Fimanda D. Audit Medis di Rumah Sakit. Disampaikan dalam Sosialisasi Pedoman Audit Medik di Rumah Sakit, diselenggarakan oleh DepKes RI, Cisarua 7 September 2005. 15 Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit.

3

profesi medis (Medical Staff Bylaws) dengan mengacu kepada Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang Peraturan 16 Internal Staf Medis (Medical Staff Bylaws) di rumah sakit. Fungsi dan wewenang Komite Medik adalah menegakkan etika profesi medis dan mutu pelayanan medis berbasis bukti. Adapun tugas dan fungsi dari Kelompok Staf Medis (KSM)/Staf Medis Fungsional (SMF) adalah melaksanakan kegiatan pelayanan medis, pendidikan, penelitian dan pengembangan keilmuannya yang berpedoman pada ketetapan Komite Medis atas etika profesi Medis dan mutu keprofesian medis. Jadi profesi Medis dalam melaksanakaan profesinya berdasarkan falsafah meliputi etika, mutu dan evidence-based medicine. Konsep dan filosofi Komite Medis RS adalah perpaduan antara ketiga komponen yang terdiri dari Etika Profesi, Mutu Profesi dan Evidence-based Medicine (EBM) sebagaimana terlihat dalam Gambar 1.17

Gambar 1. Konsep dan Filosofi Komite Medik RS Famawati: Etika, Mutu dan Evidence-based Medicine (EBM) Untuk itu berdasarkan keputusan Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmwati telah membuat suatu skema pendekatan strategi Komite Medik dalam merangkum seluruh kegiatan dengan menggabungkan konsep Clinical

16

Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 631/Menkes/SK/IV/2005 tentang Peraturan Internal Staf Medis (Medical Staff Bylaws) di rumah sakit, Jakarta 25 April 2005. 17

Firmanda D. Sistem Komite Medik RS Fatmawati, 20 Februari 2003.

4

Governance (termasuk Audit Medis) dengan Sistem Pembiayaan Casemix sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 2 berikut.

Health Resources Groups (HRG) Health Impact Intervention (HII)

Gambar 2. Skema pendekatan Komite Medik RS Fatmawati dalam Clinical Governance dan Sistem DRGs Casemix. 18

18

Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di rumah sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober 2005.

5

Definisi Audit Medik De fi ni si Au di t Me di s ad al ah pr os es analisis kritis yang dilaksanakan secara sistematis terhadap pelayanan medis (meliputi diagnosis, terapi, hasil dan penggunaan sumberdaya/peralatan) yang diberikan dan efeknya terhadap kualitas kehidupan pasien.19 Tujuan Audit Medik Tujuan utama audit medik adalah untuk evaluasi diri (self assessment) kinerja individu profesi dan kelompok profesi (SMF) dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu profesi serta pelayanan medik yang diberikan sesuai dengan standar yang telah disepakati bersama. Mekanisme Audit Medik Komite Medik RS Fatmawati membagi 2 tingkat audit medis yakni 1 st party audit (untuk tingkat SMF dan manajemen instalasi) dan 2nd party audit (untuk tingkat Komite Medik melalui Tim Etik dan Mutu Komite Medik). dengan 3 cara mekanisme pendekatan proses audit medis yaitu: 1. Pendekatan bottom up : dilakukan audit medis di lingkungan terbatas peer review tingkat profesi. 2. Pendekatan top down : dilakukan audit medis atas permintaan dari Komite Medik ke SMF profesi. 3. Pendekatan kombinasi keduanya

st

nd

Sedangkan mengenai mekanisme dan Format 1 dan 2 sebagaimana dapat dilihat sebagaimana berikut.

Party Audit tersebut

19

Firmanda D. Pedoman Audit Medis RS Fatmawati, Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati 2003.

6

7

Setiap kegiatan audit medis (baik 1 st Party Medical audit, 1st Party Managerial Audit maupun 2nd Party Audit) dicatat sesuai dengan format Formulir berikut.

8

9

10

Format “Etika Profesi Medis” 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Kasus: pidana/perdata/profesi/pengaduan*………………………………. Tanggal/Nomor Berkas: ………………………………….. Nama: …………………………………………… SMF : …………………………………………….. Nomor KTA IDI/KTA Ikatan/Perhimpunan Spesialis: …………………… Materi: Etika Kedokteran (Ethics)

Hukum Kedokteran/Kesehatan (Laws)

Kebijakan (Policy)

Studi empirik (Empirical studies)

Materi Consent Disclosure Capacity Voluntariness Substitute decision making Advance care planning Truth Telling Confidentiality …..dst Kesimpulan: Responsiveness: ……………………………………………………………….dst Responsibility : …………………………………………………………………...dst Duty of care:………………………………………………………………………dst Keputusan:……………………………………………………………….dst Saran/Anjuran: ………………………………………………………………….dst Jakarta, ………………………..…. Ketua Sidang Etika Profesi Medis:

(……………………………..)

11

Dalam memilih dan memilah penentuan judul/topik untuk dilakukan audit medis secara ‘top down’ yakni 2nd Party Medical Audit baik secara retrospective maupun cross sectional dan prospective , Setiap rumah sakit membuat dan mengirimkan secara berkala sesuai dengan jenis formulirnya masing masing (RL 1 sampai RL 6) sesuai dengan dengan Buku Petunjuk 20 Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah Sakit sebagaimana berikut: 1. Data Kegiatan Rumah Sakit (Formulir RL 1) setiap triwulan 2. Data Keadaan Morbiditas Pasien (Formulir RL 2) setiap triwulan: a. Morbiditas Rawat Inap (Formulir RL 2a) b. Morbiditas Rawat Jalan (Formulir RL 2b) c. Morbiditas Rawat Inap Surveilans Terpadu RS (Formulir RL 2a1) d. Morbiditas Rawat Inap Surveilans Terpadu RS (Formulir RL 2b1) e. Status Imunisasi (Formulir RL 2c) f. Individual Morbiditas Pasien Rawat Inap (Formulir RL 2.1, RL 2.2 dan RL 2.3) 3. Data Dasar Rumah Sakit (RL 3) setiap akhir tahun 4. Data Keadaan Ketenagaan Rumah Sakit (Formulir RL 4) setiap semester (6 bulan) 5. Data Peralatan Medik Rumah Sakit dan Data Kegiatan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit (Formulir RL 5) setiap akhir tahun 6. Data Infeksi Nosokomial Rumah Sakit (Formulir RL 6) setiap bulan.  Catatan sebagai bahan masukan: Laporan RL 1 s/d 6 tersebut di atas dikirim oleh rumah sakit ke Depkes RI dan Dinas Kesehatan Tk I/II, sebaiknya bila ada perubahan struktur di tempat tersebut alangkah baiknya disampaikan juga ke pihak rumah sakit agar setiap pelaporan dapat sampai kepada yang dituju tepat waktu dan tepat sasaran serta pihak rumah sakit diberikan feedback analisis secara berkala untuk meningkatkan lagi mutu validitas dan akurasi data yang dikirim oleh rumah sakit. Seluruh data tersebut yang sampai ke Komite Medik akan dimanfaatkan sebagai bahan masukan pengambilan keputusan dan monitoring serta evaluasi kinerja Rumah Sakit, kinerja SMF dan individu profesi.

20

Departemen Kesehatan RI. Buku Petunjuk Pengisian, Pengolahan dan Penyajian Data Rumah Sakit. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI, Jakarta 2005.

12

Ketua Komite Medik dapat memanfaatkan data kodefikasi ICD 10 berdasarkan sebab kematian terbanyak sebagaimana Gambar 3 berikut dan menggunakan data tersebut untuk melakukan analisis, dan deteksi sesuai mekanisme pada Gambar 4 berikut dengan menggunakan jalur 1, 3 dan 4.

Gambar 3. Data 10 Besar Sebab Kematian Pasien Rawat Inap untuk bulan Januari dan Februari 2006.

13

1

2 3

4

5

7

6

Gambar 4. Alur proses mekanisme data dan umpan balik (feed back) 21 Sebagai contoh ilustrasi di atas dengan menggunakan Data 10 Besar Penyakit (Gambar 5): 1. Kodefikasi ICD 10 untuk demam berdarah dengue (A 91) bulan Januari 2006 dan Februari 2006 untuk jumlah lama hari rawat dan jumlah pasien termasuk kategori ‘dubious’ dan menimbulkan ‘curiousity’ ( Lihat Gambar 5 tanda a), maka Ketua Komite Medik akan membuat disposisi ke Bagian Rekam Medik untuk klarifikasi validitas data tersebut (Alur 1 dan 2 Gambar 4).

Komite Medik RS Fatmawati. Sistem Komite Medik dan Sistem SMF di RS Fatmawati, Jakarta 2003. 21

14

2. Gambar 5 tanda b data Januari 2006 bayi lahir dengan sectio caesaria ( P 03.4 ICD 10) menempati urutan ke tiga dan menimbulkan ‘curiousity’. Ketua Komite Medik membuat disposisi kepada Ketua SMF Kebidanan dan Kandungan untuk melakukan audit medis tingkat pertama (1st Party Medical Audit) bersama Koordinator Pelayanan Medik dan Koordinator Etik dan Mutu dari SMF Kebidanan dan Kandungan terhadap 48 tindakan sectio caesaria tersebut. (Alur 3 Gambar 4). 3. Pada saat yang bersamaan dengan 2 di atas, Ketua Komite Medik membuat disposisi kepada Bagian Rekam Medik untuk klarifikasi data 48 kasus tersebut dengan Laporan Operasi Bulan Januari 2006 sebagaimana dapat dilihat dalam Gambar 6 dimana ada 59 kasus Kode Operasi ICPM 5-741 dan 4 kasus Kode Operasi ICPM 5-749. (Alur 2 Gambar 4). 4. Berdasarkan 2 dan 3 di atas, Ketua Komite Medik menugaskan Tim Etik dan Mutu Profesi Komite Medik untuk melakukan audit medis tingkat ke dua ( 2nd Party Medical Audit) sesuai dengan Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit dalam Sistem Komite Medik. (Alur 4 Gambar 4). Sebagai catatan Unit Coding Panitia Casemix dan Bagian Rekam Medik RS Fatmawati mulai menggunakan kodefikasi prosedur tindakan ICD 9 CM terhitung bulan Maret 2006, sebelumnya masih menggunakan kodefikasi operasi ICPM. Berdasarkan ilustrasi di atas, Komite Medik mengikuti perkembangan monitoring dan tindak lanjut dengan hasil sebagaimana dalam Gambar 7 berikut yang menunjukkan adanya perbaikan ( improvement) dari kinerja (performance ) SMF Kebidanan dan Kandungan dalam hal indikasi tindakan operasi sectio caesaria kode ICD 9 CM 74.4 dan 74.99 pada bulan Maret 2006. Secara rutin setiap bulan SMF Kebidanan dan Kandungan memberikan laporan tertulis kepada Ketua Komite Medik mengenai kinerja dari seluruh kegiatan yang dilakukan sebagaimana contoh dapat dilihat dalam Gambar 8.

15

b

a

Gambar 5. Data 10 Besar Jenis Penyakit Rawat Inap dengan ICD 10, Jumlah Pasien dan Jumlah Hari Rawat untuk bulan Januari dan Februari 2006.

16

Gambar 6. Kode Operasi ICPM di SMF Kebidanan dan Kandungan Januari dan Februari 2006. 17

Gambar 7. Kode Tindakan ICD 9 CM di SMF Kebidanan dan Kandungan bulan Maret 2006.

18

Gambar 8. Laporan Kegiatan SMF Kebidanan dan Kandungan Maret 2006. Sebaliknya Tim Tim Komite Medik dan 20 SMF dapat memberikan masukan kepada Ketua Komite Medik untuk dapat diselenggarakan audit medis berdasarkan data dari Mortalitas dan Morbiditas dari masing masing SMF dan telah melakukan audit medis tingkat pertama (1 st Party Medical Audit) – pendekatan atau cara ‘ bottom up approach’. Bila ada hal yang menyangkut medical errors jenis aktif, Ketua Komite Medik akan menugaskan Tim Etik dan Mutu Profesi untuk melakukan audit. Sedangkan jika medical errors jenis aktif tersebut menyangkut hal etik kedokteran, maka Ketua Komite Medik akan menugaskan Tim Etik dan Mutu Profesi serta Tim Kredensial untuk mempersiapkan Sidang Etik Komite Medik. 19

Apabila medical errors tersebut jenis laten, maka Ketua Komite medik akan mengimplementasikan risiko manajemen klinis sesuai Pedoman Manajemen Risiko Klinis dan Keselamatan Pasien Komite Medik (Clinical Risks Management and Patient Safety) Komite Medik RS Fatmawati. Tim Pengendali Infeksi Nosokomial memberikan masukan kepada Ketua Komite Medik berdasarkan hasil surveilans infeksi nosokomial di setiap instalasi rawat inap, kamar operasi dan ruang rawat intensif. Ketua Komite Medik akan memilah dan melakukan analisis hasil tersebut untuk disajikan di Sidang Pleno Komite Medik sesuai mekanisme pengambilan keputusan dalam Sistem Komite Medik. Hasil keputusan Sidang Pleno Komite Medik tersebut bersifat mengikat dan diserahkan kembali kepada Tim Pengendali Infeksi Nosokomial untuk implementasi sesuai dengan Pedoman Health Impact Interventions Komite Medik RS Fatmawati. Pada saat yang bersamaan Ketua Komite Medik menugaskan Tim Farmasi dan Terapi Komite Medik untuk mengkaji data hasil surveilans tersebut untuk merevisi Standar Formularium Rumah Sakit tentang kebijakan penggunanan antibiotik sesuai hasil pola kuman dan sensitifitas serta resistensinya. (Gambar 9a sampai 9h).

Gambar 9a. Hasil Surveilans: Persentase kuman di RS Fatmawati untuk tahun 2005. 20

Gambar 9b. Hasil Surveilans: Persentase kuman Gram positif di RS Fatmawati untuk tahun 2005.

Gambar 9c. Hasil Surveilans: Resistensi dan Sensitifitas kuman Gram positif di RS Fatmawati untuk Bulan Januari sampai Juni 2005.

21

Gambar 9d. Hasil Surveilans: Resistensi dan Sensitifitas kuman Gram positif di RS Fatmawati untuk Bulan Juli sampai Desember 2005.

Gambar 9e. Hasil Surveilans: Persentase kuman Gram negatif di RS Fatmawati untuk tahun 2005.

22

Gambar 9f. Hasil Surveilans: Resistensi dan Sensitifitas kuman Gram negatif di RS Fatmawati untuk Bulan Januari sampai Juni 2005.

Gambar 9g. Hasil Surveilans: Resistensi dan Sensitifitas kuman Gram negatif di RS Fatmawati untuk Bulan Juli sampai Desember 2005.

23

Gambar 9h. Hasil Surveilans: Persentase kuman di RS Fatmawati untuk bulan Januari sampai Maret 2006.

Hubungan Audit Medik dengan Mutu Kompetensi Profesi Persoalan akan timbul bila yang bersangkutan akan dinilai untuk re-sertifikasi kompetensi seorang profesi medis, karena belum seluruh profesi di tanah air mempunyai standar profesi dan standar pelayanan medisnya masing masing. Beberapa organisasi profesi yang telah mempunyai standar profesinya, belum secara eksplisit dalam standar kompetensinya menyatakan secara kuantitatif batasan minimal kompetensi profesi. Persoalan kembali muncul bila akan mengukur secara kuantatif, karena kompetensi yang diukur tersebut sebenarnya secara tidak langsung ( indirect) adalah kinerja (performance) individu. Sedangkan kinerja (performance ) tersebut banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang melibatkan antara lain motivasi dan barriers sebagaimana bila secara ringkas formula kinerja (performance ) tersebut adalah sebagai berikut22 :

22

Gray JAM. Evidence-based Healthcare: how to make health policy and management decisions. Churchill Livingstone, Edinburgh, 1999.

24

Performance = Motivation x Competencies Barriers Oleh karena motivasi sangat bersifat individu dan sulit untuk diukur, maka kinerja ( performance) akan berhubungan langsung dengan kompetensi dan berhubungan terbalik dengan barriers . Di dalam barriers itu sendiri dapat terdiri dari fasilitas (terutama peralatan medis), penunjang medis, obat obatan dan sebagainya yang merupakan komponen struktur yang sangat menunjang proses implementasi kompetensi seseorang profesi untuk memberikan hasil ( oucome/output)23 pelayanan kepada pasien dan secara langsung memberikan dampak ( impact) kepada status derajat kesehatan 24 masyarakat secara keseluruhan dan indikator mutu sistem kesehatan di suatu daerah/negara. Maka sudah seyogyanya komponen barriers tersebut diminimalkan agar profesi tersebut dapat memberikan pelayanan seoptimal mungkin dan bahkan maksimal (clinical risk management) dengan kompetensi yang maksimum agar hasilnya baik (quality) serta pasien mendapat perlindungan dan keselamatan (patients safety) selama dirawat dengan biaya yang terjangkau (affordable) dan pasti (pre-fixed payment – DRGs Casemix ). Oleh karena itu sudah saatnya secara sinergis dengan profesi, pengadaan fasilitas (terutama peralatan medis) disediakan dan disesuaikan dengan kompetensi tenaga profesi tersebut yang mana keberadaan profesi medis dan pelayanannya sangat berhubungan erat dan identik dengan klasifikasi strata rumah sakit di tanah air. 25 Peralatan medis sebagai sebagai salah satu komponen fasilitas pelayanan kesehatan harus dikelola secara profesional sesuai dengan kaidah perkembangan keilmuan Health Technology Assesment dalam mekanisme pengambilan keputusan yang baik dan akuntabel sesuai dengan penerapan

23

Donabedian A. The quality of care: how can it be assessed ? JAMA 1988; 260:1743-8. WHO Health Report 2000. Improving Health Systems Development. 25 Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 131/Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional. 24

25

cost-effectiveness analysis moneys).

26

dalam rangka menuju kendali biaya (value for

Masalah kewenangan profesi dalam penatalaksanaan pasien di rumah sakit sering menjadi perdebatan, Ketua Komite Medik harus menentukan batasan kewenangan antar profesi terutama untuk kasus yang merupakan ‘gray area’ sebagaimana kasus contoh berikut di rumah sakit kami untuk kasus ‘stroke’ anatara profesi spesialis Bedah Saraf dan spesialis Neurologi. Audit Medis dilakukan secara retrospektif 3 bulan dan prospektif 3 bulan dengan variable kriteria dan indikator yang telah ditetapkan oleh Ketua Komite Medik melalui im Etik dan Mutu komite Medik serta kedua SMF terkait.

Disamping itu juga Komite Medik melalui Tim Etik dan Mutu Komite Medik melakukan audit medis secara cross sectional terhadap seluruh kasus apensitis akut yang dilakukan apendektomi ditinjau dari saat mulai di Ruang Ememergensi dan Kamar Operasi oleh dokter anestesi dan bedah dengan hasil sebagai berikut:

26

Firmanda D. Aplikasi sinergis antara Evidence-based Medicine, Evidence-based Healthcare dan Evidence-based Policy dalam satu sistem peningkatan mutu pelayanan kesehatan dan kedokteran (Clinical Governance) : suatu tantangan profesi di masa mendatang – Cost effectiveness Analyses (CEA) Standar Pelayanan Medis. Disampaikan pada Persiapan JPKM, DirjenBinKesMas, Bogor Januari 2005.

26

Gambar 10. Contoh Hasil Audit Medis Cross Sectional kasus apendektomi

27

Audit Medis juga dapat menilai kinerja setiap SMF dan individu dalam memberikan pelayanan sebagaimana contoh berikut.

Gambar 11. Contoh Kinerja Rawat Inap setiap individu dokter tahun 2005.

28

Gambar 12. Contoh Kinerja Rawat Inap setiap individu dokter tahun 2005.

29

Hubungan Audit Medik dalam Manajemen Risiko Klinis dan Keselamatan/Keamanan Pasien (Clinical Risks Management and Patient Safety) Konsep dasar pemikiran mengenai Patient Safety di RS Fatmawati adalah dengan memadukan peraturan perundangan yang berlaku di tanah air, dalam hal ini memperhatikan Undang Undang Republik Indonesia Nomor: 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) - karena rumah sakit pendidikan, Undang Undang Republik Indonesia Nomor: 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 131/Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional, serta mengacu kepada berbagai referensi luar negeri seperti Trilogy of World Federation for Medical Education Documents – World Standards for Medical Education, British General Medical Council dan Royal College of Physicians, American Institute of Medicine, Association of American Medical Colleges, WHO: World alliance for patient safety – forward programme serta disesuaikan aplikasinya dengan situasi kondisi di tanah air melalui suatu upaya program sistem peningkatan mutu pelayanan dan pendidikan di rumah sakit (Clinical Governance). Komite Medik RS Fatmawati telah melakukan analisis terhadap seluruh pengaduan kasus 5 tahun terakhir yang cenderung meningkat sebagaimana berikut.

30

Maka Komite Medik RS Fatmawati telah mengadakan Sidang Pleno sebanyak 5 kali khusus mengenai Patient Safety, pada tanggal 11 Juli 2005 memutuskan untuk mendesain khusus langkah langkah antisipasi sebagai berikut: Resiko Manajemen Klinis (Clinical Risks Management and Patient Safety) 1. Konsep 3 unsur: a. Persepsi suatu kejadian 31

b. Kemungkinan (probabilitas) terjadi (Likelihood Ratio) c. Konsekuensi (dampak atau akibat) kejadian (Impact) Matriks Nilai Derajat Resiko = LR x I 2. Struktur: resiko bisa timbul pada setiap segi dan sudut perjalanan pasien selama dirawat a. Sistem: Sistem Manajemen RS, Sistem Komite Medik, Sistem SMF, Sistem Pendidikan, Sistem Penelitian dll b. Legalitas: SP, SIP, SPTP c. Kebijakan: tingkat RS, Instalasi, Komite Medik & SMF d. Prosedur: SPO/SPM, Daftar Formularium RSF edisi 3 & adendum.

3. Model – Manajemen Resiko Klinis (Clinical Risk Management/CRM) a. Identifikasi b. Analisis: Derajat Resiko, Tingkat Keparahan, Penyebab (RCA) c. Penanganan Resiko d. Umpan balik e. Pendidikan dan pelatihan f. Governance

Maka Komite Medik RS Fatmawati membuat Pedoman dan Instrumen Penilaian Manajem,en Risiko Klinis dan Keamanan/Keselamatan Pasien (Clinical Risks Management and Patient Safety) untuk rumah sakit secara umum dan untuk seluruh 20 SMF sesuai dengan spesifikasi spesialisasinya masing masing sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14 berikut. Sedangkan mengenai tehnik cara penilaian besarnya dampak risiko tersebut dapat dilihat pada Gambar .

32

Gambar 13. Contoh Buku Pedoman dan Instrumen Penilaian Manajem,en Risiko Klinis dan Keamanan/Keselamatan Pasien (Clinical Risks Management and Patient Safety) Komite Medik RS Fatmawati Edisi 2005.

33

Gambar 14. Tehnik dan cara penilaian dampak risiko klinis dari Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan/Keselamatan Pasien (Clinical Risks Management and Patient Safety) Komite Medik RS Fatmawati Pada saat ini sedang diolah mengenai Pedoman 27 Clinical Risks Management dan Patient Safety di Depkes RI dan sedang dilakukan uji coba di 4 propinsi yakni RSUD Serang (Banten), RSUD Sukabumi (Jawa Barat) , RSUD Malang

27

Firmanda D. Instrumen Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan Pasien. Disampaikan pada Rapat Penyusunan Pedoman Manajemen Risiko Klinis, Depkes RI Agustus 2005.

34

(Jawa Timur) dan RSUD Labuang Baji (Sulawesi Selatan) untuk 4 bidang pelayanan (kesehatan anak, kebidanan-kandungan, anestesi dan bedah). Contoh Kasus Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan/Keselamatan Pasien yang telah dilakukan audit medis secara 1st dan 2nd Party Medical Audit serta pemberian sangsi dalam rangka pembinaan profesi (Gambar 15)

Gambar 15. Contoh Kasus hasil audit medis dalam rangka Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan/Keselamatan Pasien.

35

Hubungan Audit Medik dengan Sistem Pembiayaan (Sistem Casemix) Rumah Sakit melalui Clinical Pathways.28 Sebagaimana telah diuraikan pada Gambar 2 di atas mengenai strategi pendekatan Komite Medik RS Fatmawati dalam implementasi Clinical Governance (termasuk audit medis) dan Sistem (Pembiayaan) Casemix melalui salah satu komponen dari tiga komponen Sistem Casemix (Clinical Pathways, Kodefikasi ICD 10 dan 9 CM dan Costing), Sedangkan untuk pilot project Sistem Casemix di RS Fatmawati, Panitia Casemix telah menyusun jadwal rencana kerja dengan jadwal ujicoba di 5 SMF sebagaimana dalam Tabel 1 dan 2 berikut:

Tabel 1. Jadwal Rencana Kerja Pilot Project Sistem casemix RS Fatmawati 28

Firmanda D. Kodefikasi ICD 10 dan ICD 9 CM: sebagai indicator mutu rekam medik dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan di rumah sakit. Disampaikan pada Sosialisasi Pola Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit. Diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Depkes RI di Hotel Panghegar Bandung 1-3 Juni 2006.

36

Tabel 2. Rencana Kerja Ujicoba Clinical Pathways di 5 SMF RS Fatmawati

Clinical Pathways Komite Medik RS Fatmawati Komite Medik RS Fatmawati telah membuat fomat umum Clinical Pathways dan melakukan revisi sebanyak 3 kali sehingga terbentuk format yang dapat diterima oleh seluruh 20 SMF melalui Sidang Pleno Komite Medik. Contoh format tersebut sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 16 sampai 21 di bawah berikut. Definisi Integrated Clinical Pathways (ICP) Integrated Clinical Pathways (ICP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang

37

berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit.29,30, 31 Implementasi ICP sangat erat berhubungan dan berkaitan dengan Clinical Governance dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan dengan 32, 33,34,35,36,37,38,39 biaya yang dapat diestimasikan dan terjangkau.

Hubungan Clinical Pathways dengan Mutu Profesi (Quality) Integrated Clinical Pathways (ICP) merupakan salah satu komponen dari Sistem DRG-Casemix yang terdiri dari kodefikasi penyakit dan prosedur tindakan (ICD 10 dan ICD 9-CM) dan perhitungan biaya (baik secara top down 7,8,9 costing atau activity based costing maupun kombinasi keduanya). ICP dapat digunakan sebagai alat (entry point) untuk melakukan audit medis st nd dan manajemen baik untuk tingkat pertama maupun kedua (1 Party and 2 29

Firmanda D. Pedoman Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di rumah sakit. Disampaikan dalam Sidang Pleno Komite Medik RS Fatmawati, Jakarta 7 Oktober 2005. 30 Firmanda D. Integrated Clinical Pathways: Peran profesi medis dalam rangka menyusun Sistem DRGs Casemix di rumah sakit. Disampakan pada kunjungan lapangan ke RSUP Adam Malik Medan 22 Desember 2005, RSUP Hasan Sadikin Bandung 23 Desember 2005 dan Evaluasi Penyusunan Clinical Pathways dalam rangka penyempurnaan Pedoman DRGs Casemix Depkes RI, Hotel Grand Cempaka Jakarta 29 Desember 2005. 31 Firmanda D, Pratiwi Andayani, Nuraini Irma Susanti, Srie Enggar KD dkk. Clinical Pathways Kesehatan Anak dalam rangka implementasi Sistem DRGs Casemix di RS Fatmawati, Jakarta 2006 (dalam pencetakan). 32 Campbell H et al. Integrated clinical pathways. BMJ 1998:316;133-4. 33 Johnson S. Pathways of care. Blackwell Science, Oxford 1997. 34 Edwards J. Clinical Care Pathways: a model for effective delivery of health care? J of Integrated Care 1998:2; 59-62 35 Hale C. Case Management and Managed Care. Nursing Standard 1995: 9(19); 33-5 36 Kitchener D et al. Integrated Care Pathways; Effective Tools for Continuous Evaluation of Clinical Practice. J Evaluation in Clinical Practice 1996:2(1); 65-9 37 Petryshen PR, Petryshen PM. The case management model: an approach to the delivery of patient care. J Advance Nursing 1992:17;1188-94 38 Wall M. Managed Care: Development of an Integrated Care Pathway in Neurosciences. NT Research 1997: 2(4); 290-1 39 Wilson J, Integrated Care Management: The Pathway to Success? Oxford Butterworth Heimeman 1997

38

Party Audits) dalam pelayanan.40,41,42,43

rangka

menjaga

dan

meningkatkan

mutu

ICP dapat digunakan juga sebagai salah satu alat mekanisme evaluasi penilaian risiko untuk mendeteksi kesalahan aktif (active errors) dan laten (latent / system errors) maupun nyaris terjadi (near miss) dalam Manajemen Risiko Klinis (Clinical Risk Management ) dalam rangka menjaga dan meningkatkan keamanan dan keselamatan pasien (patient safety). 44, 45 Dalam membuat Integrated Clinical Pathways penanganan kasus pasien rawat inap di rumah sakit harus bersifat: a. Seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan harus secara terpadu/integrasi dan berorientasi fokus terhadap pasien (Patient Focused Care) serta berkesinambungan (continuing of care) b. Melibatkan seluruh profesi (dokter, perawat/bidan, penata, laboratoris dan farmasis) c. Dalam batasan waktu yang telah ditentukan sesuai dengan keadaan perjalanan penyakit pasien dan dicatat dalam bentuk periode harian (untuk kasus rawat inap) atau jam (untuk kasus gawat darurat di unit emergensi). d. Pencatatan ICP seluruh kegiatan pelayanan yang diberikan kepada pasien secara terpadu dan berkesinambungan tersebut dalam bentuk dokumen yang merupakan bagian dari Rekam Medis. e. Setiap penyimpangan langkah dalam penerapan ICP dicatat sebagai varians dan dilakukan kajian analisis dalam bentuk audit.

40

Firmanda D. Pedoman Audit Medis. Komite Medis RS Fatmawati Jakarta 2003. Firmanda D. Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit. Disampaikan di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya 2003. 42 Firmanda D. Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit. Disampaikan dalam rangka Penyusunan dan Penyempurnaan Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit. Depkes RI, Jakarta 2004. 43 Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit. 44 Firmanda D. Pedoman dan Instrumen Manajemen Risiko Klinis dan Keamnan Pasien ( Clinical Risks Management and Patients Safety ). Pleno Komite Medik RS Fatmawati 21 Juni 2005. 45 Firmanda D. Instrumen Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan Pasien (Clinical Risks Management and Patients Safety). Disampaikan dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan Instrumen Manajemen Risiko Klinis dan Keamanan Pasien ( Clinical Risks Management and Patients Safety) dan uji coba di 4 propinsi di Depkes RI Jakarta 2005. 41

39

f. Varians tersebut dapat karena kondisi perjalanan penyakit, penyakit penyerta atau komplikasi maupun kesalahan medis (medical errors) . g. Varians tersebut dipergunakan sebagai salah satu parameter dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan. Integrated Clinical Pathways tersebut dapat merupakan suatu Standar Prosedur Operasional yang merangkum: a. Profesi medis: Standar Pelayanan Medis dari setiap Kelompok Staf Medis/Staf Medis Fungsional (SMF) klinis dan penunjang. b. Profesi keperawatan: Asuhan Keperawatan c. Profesi farmasi: Unit Dose Daily dan Stop Ordering d. Alur Pelayanan Pasien Rawat Inap dan Operasi dari Sistem Kelompok Staf Medis/Staf Medis Fungsional (SMF), Instalasi dan Sistem Manajemen Rumah Sakit.

Langkah selanjutnya adalah mengkaji dan mendesain Format Umum Clinical Pathways sebagai ‘template’

untuk setiap profesi untuk membuat clinical

pathways masing masing sesaui dengan bidang keahliannya dan melibatkan multidisiplin profesi medis, keperawatan dan farmasis/apoteker seabgai contoh dapat dilihat pada Gambar 43 berikut.

40

Gambar 16. Format Umum Clinical Pathways yang telah disepakati bersama dalam Sidang Pleno Komite Medik untuk seluruh 20 SMF di RS Fatmawati.

41

Dalam kolom obat obatan harus sesuai dengan yang dari Standar Formularium Rumah Sakit yang telah disusun oleh Komite (Tim) Farmasi dan Terapi Rumah Sakit. Penyimpangan (deviasi) obat obatan (jenis, dosis dan cara pemberian) dapat diperkenankan bila memang diperlukan setelah mengisi Formulir Lampiran 1 Formularium Rumah Sakit Edisi III 2003 dan harus dicatat dalam kolom varians serta dapat dipertanggungjawabkan melalui audit medis tingkat pertama ( 1st party medical audit ) sebagaimana dalam Form 1 Audit Medis

Gambar 17. Contoh Format Clinical Pathways SMF Kesehatan Anak untuk Demam Berdarah Dengue.

42

Gambar 18. Contoh Format Clinical Pathways SMF Penyakit Dalam untuk Gagal Ginjal Kronik.

43

Gambar 19. Contoh Format Clinical Pathways SMF Bedah Orthopedik untuk Fraktur Tibia.

44

Gambar 20. Contoh Format Clinical Pathways SMF Bedah untuk Tumor Rektum.

45

Gambar 21. Contoh Format Clinical Pathways SMF Kebidanan dan Kandungan.

46

Untuk memprioritaskan judul/topik Clinical Pathways yang dibuat di seluruh SMF dapat dimanfaatkan informasi dari data dalam Gambar 3 di atas, disamping itu juga dapat dihitung rencana lama hari rawat rerata (means ±SD; means ± SE dan 95% CI) dan varians lama rawat setiap kasus berdasarkan kodefikasi ICD 10 dari Laporan Bulanan 10 penyakit terbesar SMF sebagaimana contoh Gambar 22 sampai 25 berikut.

Gambar 22. Kodefikasi ICD 10 untuk 10 Penyakit di SMF Bedah Ortopedik untuk bulan Januari dan Februari 2006. 47

Gambar 23. Kodefikasi ICD 10 untuk 10 Penyakit di SMF Bedah untuk bulan Januari dan Februari 2006.

48

Gambar 24. Kodefikasi ICD 10 untuk 10 Penyakit di SMF Bedah Saraf untuk bulan Januari dan Februari 2006. 49

Gambar 25. Kodefikasi ICD 10 untuk 10 Penyakit di SMF Bedah (Plastik) untuk bulan Januari dan Februari 2006.

50

Untuk mempermudah setiap SMF dalam pembuatan Clinical Pathways SMF untuk kodefikasi diagnosis ICD 10 dan tindakan prosedur ICD 9 CM dapat merujuk kepada data 10 penyakit terbesar di setiap SMF dan laporan bulanan tindakan operasi yang paling sering, sehingga SMF tersebut lebih mudah dan waktu relatif singkat menyusun kodefikasi diagnosis dan prosedur tindakan dalam Clinical Pathways masing masing sebagaimana contoh dalam Gambar 26 dan 27 berikut.

Gambar 26. Contoh Kodefikasi Tindakan ICD 9 CM untuk SMF Mata bulan Maret 2006.

51

Gambar 27. Contoh Kodefikasi Tindakan ICD 9 CM untuk SMF Mata bulan Maret 2006.

52

Kesimpulan 1. Fungsi, Tugas, Wewenang & Tanggung Jawab/Gugat setiap jenjang pelayanan terutama barisan depan dan lokasi beresiko. 2. Alur pasien dan pelayanan harus jelas, mudah dimengerti dan tidak tumpang tindih. 3. Prinsip dasar “profesionalisme” ditingkatkan: a. Responsiveness b. Responsible c. Duty of care 4. Faktor Keberhasilan Audit Medis - 4 Kunci Keberhasilan: 1. Kepemimpinan (Leadership) : a. Melibatkan seluruh staf medis Dipimpin oleh Ketua SMF dan didampingi oleh Koordinator Etik dan Mutu sebagai Sekretaris I (berfungsi sebagai notulen agenda rapat) dan Koordinator Pelayanan Medis sebagai penanggung jawab SPM. b. Audit Medis dilaksanakan secara terbuka, tidak konfrontatif, tidak menyalahkan individu, rasa kebersamaan dan bersifat rahasia intern profesi. 2. Organisasi (Organisation) : Audit Medis di tingkat KSM dan Komite Medis (Tim Etik & Mutu/SubKomite Audit Medis) a. Audit Medis dilakukan di tingkat SMF: i. ‘Bottom up’ : setiap 2 minggu/setiap diperlukan (SMF) ii. ‘Top down’ : setiap 3 atau 6 bulan (Komite Medis) b. Acara Setiap Rapat Audit Medis: i. Koordinator Etik dan Mutu membacakan notulen Rapat Audit Medis sebelumnya, ii. Koordinator Pelayanan Medis membacakan setiap langkah yang diambil/diputuskan dalam SPM/SOP iii. Penetapan ruang lingkup (scope ) dan Penjadwalan Audit Medis

3. Pedoman (Guidelines): yang jelas bagi setiap langkah yang akan dan harus dilakukan. 4. Motivasi (Individual motivation): diperlukan kepemimpinan klinis yang baik, konsekuen dan konsisten.

53

5. Pembiayaan di rumah sakit sudah saatnya menerapkan sistem pembiayaan yang bersifat fixed prospective payment yakni berdasarkan DRGs-Casemix versi Indonesia (Indonesian DRGsCasemix) sesuai amanah dari Undang Undang Praktik Kedokteran Nomor: 29 Tahun 2004 pasal 49 ayat 1 dan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 131/Menkes/SK/II/2004 Bab V Subsistem pembiayaan kesehatan. 6. Integrated Clinical Pathways (ICP) sebagai kunci utama untuk masuk ke dalam sistem pembiayaan yang dinamakan DRG-Casemix. 7. Integrated Clinical Pathways (ICP) adalah suatu konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis dan asuhan keperawatan yang berbasis bukti dengan hasil yang terukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit. 8. Integrated Clinical Pathways (ICP) merupakan salah satu komponen dari Sistem DRG-Casemix yang terdiri dari kodefikasi penyakit dan prosedur tindakan (ICD 10 dan ICD 9-CM) dan perhitungan biaya (baik secara top down costing atau activity based costing maupun kombinasi keduanya). 9. Implementasi ICP sangat erat berhubungan dan berkaitan dengan Clinical Governance dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan dengan biaya yang dapat diestimasikan dan terjangkau. 10. Variabel varians dalam ICP dapat digunakan sebagai alat ( entry point) untuk melakukan audit medis dan manajemen baik untuk tingkat st nd pertama maupun kedua ( 1 Party and 2 Party Audits ) dalam rangka menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan. 11. Variabel tindakan dalam ICP dapat digunakan sebagai alat ( entry point) untuk melakukan surveilans Tim Pengendalian Infeksi Nosokomial (Lihat Pedoman dan format surveilans Tim Pengendalian Infeksi Nosokomial Komite Medik RS Fatmawati) dan selanjutnya untuk menilai Health Impact Intervention (Lihat Pedoman Health Impact Intervention Komite Medik RS Fatmawati). 12. Variabel obat obatan dalam ICP dapat digunakan sebagai alat ( entry point) untuk melakukan kegiatan evaluasi dan monitoring dari 5 Langkah 12 Kegiatan Tim Farmasi dan Terapi Komite Medik RS Fatmawati (Lihat Pedoman Mekanisme Kerja Tim Farmasi dan Terapi Komite Medik RS Fatmawati).

54

13. ICP dapat digunakan juga sebagai salah satu alat mekanisme evaluasi penilaian risiko untuk mendeteksi kesalahan aktif (active errors) dan laten ( latent / system errors) maupun nyaris terjadi (near miss) dalam Manajemen Risiko Klinis (Clinical Risk Management) dalam rangka menjaga dan meningkatkan keamanan dan keselamatan pasien ( patient safety ) (Lihat Pedoman Manajemen Risiko Klinis (Clinical Risk Management) dan Keamanan Pasien (Patient Safety) Komite Medik RS Fatmawati). 14. Hasil dan revisi ICP dapat digunakan juga sebagai alat (entry point) untuk melakukan perbaikan dan revisi Standar Pelayanan Medis dan asuhan Keperawatan yang bersifat dinamis dan berdasarkan pendekatan Evidence-based Medicine (EBM) dan Evidence-based Nurse.(EBN) 15. Partisipasi aktif, komitmen dan konsistensi dari seluruh jajaran direksi, manajemen dan profesi harus dijaga dan dipertahankan demi terlaksana dan suksesnya program Casemix di rumah sakit. 16. Bila Sistem Casemix Rumah Sakit telah berjalan, maka untuk selanjutnya akan lebih mudah untuk masuk ke dalam sistem pembiayaan lebih lanjut yakni Health Resources Group (HRG) yang saat ini sedang dalam penggarapan Komite Medik Rumah Sakit Fatmawati.

55

CURRICULUM VITAE Nama Tgl Lahir Pendidikan

Pekerjaan

Organisasi

Dr. Dody Firmanda, Sp.A, MA. Bandung, 20 Februari 1959 1. Fakulti Perubatan, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur 19791982 2. FKUI Jakarta 1982-1986 3. Spesialis Anak FKUI Jakarta 1989-1993 4. Hospital Management and Quality Assurance, University of Leeds, United Kingdom 1997-1998 5. IRCA Lead Auditor, Bristol, United Kingdom 1998 6. Health Systems Development, Karolinska Institute, Stockholm, Sweden 1999-2000 1. Ketua Komite Medik RSUP Fatmawati periode 2003-2006 dan 20062009 2. Ketua SMF Kesehatan Anak RSUP Fatmawati periode 2003-2006 dan 2006-2009 3. Ketua Tim Farmasi dan Terapi RSUP Fatmawati periode 2003-2006 dan 2006-2009 4. Ketua Panitia Casemix RSUP Fatmawati 2005-sekarang 5. Dosen Luar Biasa Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI 2001-sekarang 6. Staf Pengajar S2 Kajian Administrasi Rumah Sakit FKM-UI untuk mata ajaran Tata Kelola Korporat dan Klinis (Corporate and Clinical Governance) 7. Direktur RSUD Dr. Soemarno S, K.Kapuas, Kalimantan Tengah 1994-1997 8. Ketua Komite Medik RSUD Dr. Soemarno S, K. Kapuas, Kalimantan Tengah 1993-1994 9. Kepala Bagian Kesehatan Anak RSUD Dr. Soemarno S, K. Kapuas, Kalimantan Tengah 1993-1994 10. Kepala Puskesmas Kecamatan Basarang dan Kepala Puskesmas Kecamatan Selat, Kalimantan Tengah 1987-1989 1. Centre of Evidence-based Medicine (CEBM), University of Oxford, United Kingdom 1997-sekarang 2. PB IDI 2003-sekarang 3. Pengurus Nasional Kolegium Ilmu Kesehatan Anak Indonesia 2005sekarang 4. Pengurus Pusat IDAI 2002–2005 5. Satgas Evaluasi Kolegium IDAI, Tahun 2002–2005 6. Sekretaris IDAI Cabang Jakarta Raya, Tahun 1999–2002 7. Sekretaris Jendral IDI Wilayah DKI Jakarta Raya, Tahun 2001–2004 8. MKEK IDI Wilayah DKI Jakarta Raya, Tahun 2001–2004 9. Wakil Ketua IDI Cabang Jakarta Selatan, Tahun 2001–2004

Related Documents


More Documents from "Dody Firmanda"