Doc-20190319-wa0019.pdf

  • Uploaded by: Muhammad Raka Al-fatih Rahmad
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Doc-20190319-wa0019.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 6,936
  • Pages: 36
BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG Pembangunan politik sebagai suatu bagian dari pembangunan secara menyeluruh, mempunyai beberapa karakteristik. Salah satu karakteristik dari pembangunan politik adalah tumbuhnya peningkatan partisipasi warga negara dalam beraneka ragam bentuknya, mulai dari yang resmi atau mengikuti jalur yang ditetapkan oleh pemerintah (konvensional) sampai bentuk yang tidak resmi (in konvensionil). Sebagai negara yang sedang giat melancarkan pembangunan, maka kita lihat masa sekarang ini pemerintah indonesia berusaha mengadakan dan melaksanakan pembangunan disegala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara guna mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju. Salah satu aspek yang termasuk didalamnya adalah “Pembangunan Politik” yang mempunyai beberapa segi. Salah satu segi diantaranya adalah melibatkan pertisipasi politik.1 Partisipasi politik merupakan suatu masalah yang dianggap penting pada akhirakhir ini, banyak dipelajari orang terutama dalam kaitannya dengan perkembangan negara-negara berkembang. Partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Secara konseptual, pertisipasi politik merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (Public Policy). Kegiatan tersebut mencakup tindakan seperti

1

Lucian W Pye, Pengertian Pembangunan Politik, dikutip oleh Juwono Sudarsono, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1991, hal 22-23

1

Universitas Sumatera Utara

memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan (countacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan lain sebagainya.2 Selain bentuk partisipasi politik yang aktif ada juga partisipasi yang bersifat pasif atau apatis. Bentuk apatis politik yaitu apti, anomie, sinisme, dan alienasi. Secara umum keempatnya didefenisikan sebagai suatu kegiatan yang tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap orang lain disekitar lingkungannya.3 Partisipasi politik dapat juga terwujud dengan berbagai bentuk, studi-studi tentang partisipasi dapat menggunakan skema klasifikasi yang agak berbeda-beda, namun kebanyakan riset belakangan ini membedakan jenis-jenis prilaku yaitu: kegiatan pemilihan yang mencakup pemungutan suara, akan tetapi juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Berpartisipasi dalam pemungutan suara adalah jauh lebih luas dibandingkan dengan bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya dan oleh sebab itu faktor-faktor yang berkaitan dengan kejadian itu sering kali membedakannya dari jenis-jenis partisipasi lainnya. Penelitian tentang partisipasi politik, salah satunya dilakukan oleh Lipset berdasarkan oleh pemilihan umum di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa barat seperti Jerman, Swedia, Norwegia, dan Finlandia, bahwasanya:

“ Di negara-negara itu orang kota lebih banyak memberikan suara dari pada orang desa, mereka yang berumur antara 35 dan 55 lebih banyak daripada yang usianya dibawah 35 tahun ataupun yang usianya diatas 55 tahun; pria lebih banyak dari 2

Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal 1-2 Michael Rusf dan Philip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta; PT.Raja Grafindo Persada, 2003, hal 143.

3

2

Universitas Sumatera Utara

pada yang belum kawin. Serta pendapatan, pendidikan dan status merupakan faktor penting dalam proses partisipasi, atau dengan kata lain orang yang berpendapatan tinggi, berpendidikan baik, dan yang berstatus social tinggi, cenderung banyak berpartisipasi deripada orang yang berpendapatan serta pendidikannya rendah.”4

Hasil penelitian ini kemudian diperkuat lagi untuk keadaan Amerika Serikat dalam suatu studi dari Sidney Verba dan Norman H.Nie, yang dianalisis kembali oleh Karl Deutsch dalam Politik and Government dan mengambil kesimpulan bahwa:

“ Di Amerika sepertiga dari kelompok warga Negara yang paling tinggi status serta pendapatannya, mengadakan partisipasi enam kali lebih banyak daripada sepertiga kelompok warga Negara yang paling rendah dan memperoleh dua kali lebih banyak tanggapan positip dari pemerintah.”5

Selain itu tingkat partisipasi orang itu berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya umur, jenis kelamin, status ekonomi dan sosial, pendidikan dan pekerjaan. Di negara-negara berkembang sebagaimana halnya Indonesia, partisipasi politik merupakan suatu masalah yang sulit dan rumit untuk diukur sacara jelas dilihat dan diukur melalui hal pemilihan atau pemungutan suara. Moeljarto Tjokrowinoto menyatakan dengan meningkatnya tingkat pendidikan dan status social ekonomi serta iklim kebutuhan yang semakin nyata, masyarakat menuntut keabsahan pada jenjang yang berbeda yaitu Political Legitimacy; ukuran kelayakan dicari kualitas Political Ferformance dari lembaga-lembaga politik.6

4

Miriam, Op.cit, hal 9 Ibid, hal 9 6 Moeljarto Tjokrowinoto, Pembangunan Dilema Dan Tantangan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hal 240-241 5

3

Universitas Sumatera Utara

Hasil penelitian Hetti SN Simanjutak yang dibimbing Tony Situmorang menyatakan bahwa tingkat pendidikan sangat mempengaruhi partisipasi politik seseorang atau sekelompok masyarakat yang mempunyai tingkat pendidikan yang masih rendah kurang menaruh perhatian pada partisipasi politik.7 Pendidikan merupakan suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum seseorang termasuk didalamnya peningkatan penguasaan teori dan keterampilan memutuskan terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan mencapai tujuan. Oleh karena itu pendidikan tinggi bisa memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan

politik,

bisa

mengembangkan

kecakapan

menganalisa

dan

menciptakan minat dan kemampuan berpolitik. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Lipset, penulis ingin melakukan penelitian bahwa pendidikan itu mempengaruhi partisipasi politik. Di banyak negara pendidikan tinggi sangat mempengaruhi partisipasi politik, mungkin karena pendidikan tinggi, bisa memberikan informasi tentang politik, bisa mengembangkan kecakapan menganalisa dan menciptakan minat dan kemampuan dalam berpolitik, juga lembaga pendidikan dan kurikulumnya sengaja berusaha mempengaruhi proses sosialisasi politik kaum muda. Hal itu terjadi disemua negara, baik negara komunis, otoriter maupun demokkratis. Orang terpelajar lebih sadar akan pengaruh pemerintah terhadap kehidupan mereka, lebih memperhatikan kehidupan politik, memperoleh lebih banyak informasi tentang proses-proses politik dan lebih kompeten dalam tingkah laku politiknya.8

7

Hetti SN Simanjuntak, Pengaruh Tingkat Pendidikan Terhadap Partisipasi Politik Pada Pemilihan Presiden dan Wakil, Presiden 2004, Skripsi Fisip USU Departemen Ilmu Politik 2007, hal 62 8 Mohtar Mas’oed, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta; Gajah Mada University Press, 2001, hal 49.

4

Universitas Sumatera Utara

Bertitik tolak dari konteks kalimat diatas dibarengi dengan kemajuan-kemajuan dalam bidang pendidikan, pembangunan ekonomi, stabilitas politik, ideologi dan keamanan maka meningkat pula pola pikir dan taraf hidup masyarakat disertai meningkatnya tuntutan kebutuhan masyarakat secara kwalitas dan kwantitas. Masyarakat juga semakin kritis dalam setiap langkah, pemikiran, ucapan, dan tindakan serta memberikan partisipasinya secara intens. Hal ini sangat ditanggapi secara wajar, karena kenyataan ini justru semakin tingginya kesadaran berbangsa dan bernegara dalam masyarakat. Meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan dan kemampuan masyarakat diimbangi kondisi prasarana dan sarana mendukung dan fakta meningkatnya secara pesat media komonikasi, merupakan peluang yang menguntungkan dalam membina partisipasi politik masyarakat. Apalagi perencanaan pembangunan sekarang ini memiliki pandangan yang baru dan aktual, karena terlihat fisi yang baru. Fisi itu mengangkat bahwa tujuan pembangunan seyogiyanya mengandung bobot pembinaan partisipasi politik. Sehingga aktifitas pembangunan diwarnai dengan istilah politik seperti pembangunan politik, sosialisasi politik, partisipasi politik, sistem politik, public policy dan pendidikan politik. Masyarakat desa Batukarang mempunyai latar belakang

semangat tinggi untuk

berpendidikan mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai jenjang pendidikan Tinggi.Desa Batu karang mempunyai tanah yang subur ,sumber nafkah daerah ini adalah pertanian,produksi hasil pertanian yang paling terkenal adalah tembakau dan cabe merah. Bila ditinjau dari sejarahnya masyarakat desa Batukarang sejak tahun 1852 sampai 1942 Kiras Bangun (Garamata) sudah ikut berpartisipasi politik dalam memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia hal ini dapat dibaca dalam sejarah perjuangan Kiras Bangun

5

Universitas Sumatera Utara

melawan Belanda.9 Sehubungan dengan hal tersebut maka penulis sebagai generasi penerus bangsa ini

ingin mengetahui bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan

terhadap partisipasi politik masyarakat desa Batukarang didalam pemilihan Kepala Daerah tahun 2005 di Kabupaten Karo. Dalam penelitian yang akan diadakan, penulis membahas partisipasi politik dari segi tingkat pendidikan. Tingkat partisipasi politik sangat memiliki hubungan erat dangan pendidikan, artinya semakin tinggi pendidikan seseorang itu dapat mempengaruhi tingginya tingkat partisipasi masyarakat dibidang politik. Partisipasi berhubungan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat sehingga apa yang dilakukan rakyat dalam partisipasi politiknya menunjukkan drajat kepentingan mereka.

2. PERUMUSAN MASALAH Dari latar belakang diatas, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “ Bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan terhadap partsipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005 dikabupaten Karo, dengan mengambil studi pada masyarakat desa Batukarang, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo

3. RUANG LINGKUP PENELITIAN Penelitian ini memerlukan pembatasan ruang lingkup agar pembahasannya dapat lebih terfokus, maka penelitian ini mempunyai ruang lingkup:

9

Payung Bangun dkk, Kiras Bangun – Pahlawan Nasional Dari Tanah Karo,Jakarta: Kesaint Blanc, 2008 hal. 19

6

Universitas Sumatera Utara

a. Pada pembahasan pengaruh tingkat pendidikan terhadap partisipasi politik dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005 dikabupaten Karo. b. Penulis melakukan penelitian ini pada Masyarakat Desa Batukarang, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo.

4. TUJUAN PENELITIAN Setiap penelitian senantiasa diupayakan kearah terwujudnya tujuan yang diinginkan. Adapun yang menjadi tujuan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan terhadap partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005 dikabupaten Karo, dengan mengambil studi pada masyarakat desa Batukarang, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo.

5. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan yang bermanfaat kepada semua pihak secara umum yaitu: 1. Bagi penulis dapat mengasah dan meningkatkan serta mengembangkan kemampuan berpikir penulis melalui penulisan ilmiah. 2. Memberikan bahan masukan dan bahan pertimbangan pada pihak yang berkepentingan berkaitan dengan tingkat pendidikan dalam partisipasi politik. 3. Dan diharapkan dapat menambah referensi karya ilmiah dibidang ilmu sosial dan ilmu politik.

7

Universitas Sumatera Utara

6. KERANGKA TEORI 6.1. Partisipasi Politik Dalam analisis politik modern partisipasi politik merupakan suatu masalah yang penting, dan akhir-akhir ini banyak dipelajari terutama dalam hubungannya dengan negara-negara yang sedang berkembang. Apakah yang dinanamakan partisipasi politik itu? Sebagai defenisi umum dapat dikatakan bahwa partisipasi partai politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contatcting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini disajikan pendapat beberapa sarjana.10

Herbet Mc Closky dalam International Encyclopedia of the Social Sciences. “Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.” (The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society in the selection of rules and, directly or indirectly, in the formation of public policy). Norman H.Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of Political Science. “Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga Negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejebat Negara 10

Miriam,OP.Cit, hal.1-2.

8

Universitas Sumatera Utara

dan atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka”. (By political participation we refer to those legal activities by private citizens which are more or less directly aimed at influencing the selection of governmental personnel and or the action they take). Yang diteropong terutama adalah “tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi keputusan-keputusan pemerintah”, sekalipun fokus utamanya lebih luas tetapi abstrak, yaitu usaha-usaha untuk mempengaruhi “alokasi nilai secara otoritatif untuk masyarakat” (the authoritative allocation of values for a society).

Samuel P.Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries “Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang bertindak sebagai pribadipribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif.” (By political participation we mean activity by private citizens designed to influence goverment decision making. Participation may be individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic, peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective).

Di pihak lain, Budiardjo secara umum mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan sesorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah (public policy).11 Partisipasi politik dapat dilihat dari beberapa sisi sebagai suatu kegiatan dibedakan menjadi partisipasi aktif dan partisipasi pasif.12

11 12

Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Parttai Politik, PT. Gramedia Jakarta, 1982, hal.1. Surbakti,Op. cit, hal. 142

9

Universitas Sumatera Utara

Partsisipasi aktif mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternative kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan. Di pihak lain partisipasi pasif, anatara lain berupa kegiatan mentaati peraturan/perintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah.13 Sementara Milbart dab Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa katagori.14 Katagori pertama adalah apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik . Kedua adalah spektator, yaitu orang-orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum. Ketiga gladiator, yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak tatap muka, aktifis partai dan pekerja kampanyenya, serta aktifis masyarakat. Keempat pengkritik, yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional. Rosenberg menyebutkan tiga alasan adanya partisipasi politik. Alasan pertama bahwa individu memandang bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial, dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai politk tertentu.15

13

Sidujoni Sastroatmodjo, Prilaku Politik, Semarang, IKIP Semarang Press, 1995, hal.74. Surbakti, op.cit, hal 43. 15 Rusf, op.cit, hal. 147. 14

10

Universitas Sumatera Utara

Alasan kedua, individu menganggap aktivitas politik merupakan kegiatan yang sia-sia belaka. Individu-individu beranggapan bahwa ia tidak akan mungkin dapat mengubah keadaan dan melakukan kontrol politik. Alasan ketiga, berupa ketidakadaan pesaing politik. Hal itu didasarkan atas pemikiran bahwa buah pemikiran poltik itu tidak menarik baginya dan menganggap bahwa politik hanyalah memberikan kepuasan sedikit dan tidak langsung, sedang hasil langsung yang diterimanya sangat sedikit. Dengan kata lain bahwa partisipasi politik baginya bukanlah hal yang layak untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Sanit membagi partisipasi di Indonesia dapat menjadi tiga tujuan. Pertama, memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang dibentuknya. Partisipasi politik ini sering terwujud dalam bentuk pengiriman wakil-wakil/utusan pendukung kepusat pemerintah, pembuatan pernyataan yang isinya memberikan dukungan terhadap pemerintah dan pemilihan calon yang diusulkan oleh organisasi politik yang telah dibina dan dilembagakan oleh penguasa tersebut. Kedua, partisipasi yang dimaksud sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah. Ketiga, partisipasi sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga diharapkan terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik.16

16

Arbi Sanit, Swadaya Politik Masyarakat, Telaah Tentang Keterkaitan ORMAS, Partisipasi Politik dan Pertumbuhan Hukum dan Hak Azasi, PT. Rajawali, Jakarta, hal. 95.

11

Universitas Sumatera Utara

6.2.1 Cara-cara Berpartisipasi Kegiatan politik yang tercakup dalam konsep partisipasi politik mempunyai bermacam-macam bentuk dan intensitas. Biasanya diadakan perbedaan jenis partisipasi menurut frekuensi dan intensitasnya. Menurut pengamatan, orang yang mengikuti kegiatan secara tidak intensif, yaitu kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan yang biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri, seperti memberikan suara pada pemilihan umum, besar sekali jumlahnya. Sebaliknya, kecil sekali jumlah orang yang secara aktif dan sepenuh waktu melibatkan diri dalam politik. Kegiatan sebagai aktifis politik ini mencakup antara lain menjadi pimpinan dari partai atau kelompok kepentingan. Berbagai jenis partisipasi tergambar dalam piramida yang basisnya lebar, tetapi menyempit ke atas sejalan dengan meningkatnya intensitas politik. Diantara basis dan puncak terdapat berbagai kegiatan yang berbeda-beda intensitasnya; berbeda menurut intensitas kegiatan maupun mengenai bobot komitmen dari orang yang bersangkutan. Termasuk didalamnya memberi suara dalam pemilihan umum, mendiskusikan masalah politik, menghadiri rapat umum yang bersifat poltik, dan menjadi anggota kelompok kepentingan. Yang lebih intensif lagi adalah melibatkan

diri dari berbagai proyek

pekerjaan sosial, contacting atau lobbying pejabat-pejabat, bekerja aktif sebagai anggota partai politik dan menjadi juru kampanye; dan yang paling intensif, sebagai pimpinan partai atau kelompok kepentingan dan pekerja sepenuh waktu.

12

Universitas Sumatera Utara

6.2.2. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara dan berbagai waktu dapat

dibedakan

menjadi

kegiatan

politik

dalam

bentuk

konvensional

dan

non-konvensional, termasuk yang legal maupun ilegal, penuh kekerasan, dan revolusioner. Pertisipasi politik masyarakat Indonesia dapat dibedakan menjadi tiga tujuan, yaitu: Pertama, memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuk beserta sistem politik yang disusunnya. Partisipasi ini diwujudkan dalam bentuk mengirim utusan pendukung ke pusat pemerintahan, membuat pernyataan sikap mendukung kebijaksanaan pemerintahan, memeilih calon yang ditawarkan oleh organisai politik yang dibina ataupun dikembangkan oleh penguasa dan sebagainya. Kedua, partisipasi politik dimaksudkan sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan penguasa dengan harapan supaya penguasa mengubah atau memperbaiki kelemahan tersebut. Partisipasi ini diwujudkan dalam bentuk petisi, resolusi, mogok, demonstrasi dan sebagainya. Di dalam ini disalurkan kepentingan para peserta partisipasi tersebut beserta keinginan masyarakat yang diwakilinya. Ketiga, partisipasi sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga terjadi perubahan pemerintah atau sistem politik. Mogok, pembangkangan politik, huru hara dan pemberontak bersenjata dapat merupakan usaha untuk mencapai maksud tertentu. Apabila partisipasi politik yang pertama mendukung kekuatan pemerintah, maka yang kedua berusaha untuk melemahkan pemerintah. Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan/ketidakpuasan warga Negara.

13

Universitas Sumatera Utara

Menurut Almond bentuk partisipasi konvensional dan non-konvensional Tabel 1 Partisipasi Politik Konvensional dan Non Konvensional Konvensional

Non Konvensional

Pemberian suara

Pengajuan petisi

Diskusi politik

Berdemokrasi

Kegiatan kampanye

Konfrontasi

Membentuk dan bergabung dengan partai Mogok politik Komonikasi individual dengan pejabat Tindakan kekerasan politik terhadap harta politik dan administrasi

benda (perusakan, pemboman, pembakaran)

Sumber: adaptasi dari Gabriel Almond dalam Mochtar Mas’oed dan Cillin Mc Andrews, Perbandingan Sisitem Politik, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001, hal 47

Dari berbagai aktivitas ini kita bisa melihat keberagaman aktivitas dalam partisipasi politik. Dari hal yang paling sederhana hingga yang kompleks, dari bentuk-bentuk yang mengedepankan kondisi damai hingga tindakan-tindakan kekerasan. Namun pada umumnya partisipasi politik hanya mencakup kegiatan yang bersifat positif.

6.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik: Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik yaitu:17 1. Pendidikan sangat mempengaruhi partisipasi politik. Menurut Heidjrachman18 mengatakan pendidikan adalah suatu kegiatan untuk meningkatkan pengetahuan umum seseorang termasuk didalamnya peningkatan penguasaan teori dan keterampilan memutuskan terhadap persoalan-persoalan yang menyangkut kegiatan mencapai tujuan. Oleh karena itu, pendidikan tinggi bisa memberikan informasi 17

Mohtar Mas’oed dan Colin Mac Andrews, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1986, hal. 49-50.

14

Universitas Sumatera Utara

tentang politik dan persoalan-persoaln politik, bisa mengembangkan kecakapan menganalisa, dan menciptakan minat dan kemampuan berpolitik. Makin tinggi pendidikan masyarakat menjadi makin tinggi kesadaran politiknya. Demikian juga sebaliknya, makin rendah tingkat pendidikannya, makin rendah pula tingkat kesadaran politiknya. Menurut Dr. B. Siswanto Sastrohadiwiryo berdasarkan sifatnya, pendidikan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: a. Pendidikan Umum, yaitu pendidikan yang dilaksanakan di dalam dan diluar sekolah, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta, dengan tujuan mepersiapkan dan mengusahakan para peserta pendidikan memperoleh pengetahuan umum. b. Pendidikan Kejuruan, yaitu pendidikan umum yang direncanakan untuk mepersiapkan para peserta pendidikan mampu melaksanakan pekerjaan sesuai dengan bidang kejuruannya. 2. Perbedaan jenis kelamin dan status sosial-ekonomi juga mempengaruhi keaktifan seseorang dalam berpartisipasi politik. Tingkat partisipasi politik memiliki hubungan erat dengan pertumbuhan sosial ekonomi. Artinya bahwa kemajuan sosial ekonomi suatu negara dapat mendorong tingginya tingkat partisipasi rakyat. Partisipasi itu juga berhubungan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat, sehingga apa yang dilakukan rakyat dalam partisipasi politiknya menunjukkan drajat kepentingan mereka. Kedudukan sosial tertentu, misalnya orang yang memiliki jabatan atau kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, akan memiliki tingkat partisipasi politik yang cenderung lebih tinggi daripada orang yang hanya memiliki kedudukan sosial 18

Heidjrachmant, Pelatihan Ketenagakerjaan, Aneka Cipta, Jakarta, 1990, hal. 770.

15

Universitas Sumatera Utara

yang rendah. Orang yang berstatus sosial ekonomi tinggi lebih aktif daripada yang berstatus rendah. 3. Media massa berfungsi sebagai penyampai informasi tentang perkembangan politik nasional maupun local. Media massa dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai kebijakan dan media massa juga mencerminkan jiwa zaman dari suatu pemberitaan.19 Media massa juga mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dikarenakan para calon kandidat menyampaikan visi-misinya melalui media yang ada, baik itu media elektronik seperti TV, dan Radio maupun media cetak seperti Koran. 4. Aktivitas kampanye. Biasanya kampanye-kempenye politik hanya dapat mencapai pengikut setia partai, dengan memperkuat komitmen mereka untuk memberikan suara.

6.3. Kontruksi Teoritis Tentang Pemilu 6.3.1. Pengertian Dalam wacana poltik umumnya, wahana pemilu dikenal sebagai suara untuk melakukan pergantian dan sekaligus kaderisasi politik. Berbagai perubahan dan implementasi konsep-konsep baru dalam penataan negara dijanjikan terfasilitasi oleh pemilu. Dengan demikian pemilu dapat dikatakan sebagai tonggak utama dalam memandu setiap perubahan supra struktur politik yang ada disebuah negara.

19

Noveri, dkk, Peranan Media Massa Lokal Bagi Pembinaan dan Pembangunan Kebudayaan Daerah Sumatera Barat, Sumatera Barat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1997, hal. 23-24.

16

Universitas Sumatera Utara

Menurut Tataq Chimad pada prinsipnya pemilu dalam tanah demokrasi lebih bermakna:20 1. Kegiatan partisipasi politik dalam memajukan kesempurnaan oleh berbagai pihak. 2. Sisitem perwakilan bukan partisipasi langsung dimana terjadi perwakilan penentuan akhir dalam memilih elit politik yang berhak duduk mewakili masyarakat. 3. Sirkulasi para elit politik yang berujung pada perbaikan performance eksekutif. Pemilu sebagai wujud dari demokrasi bertujuan sebagai makanisma untuk mnyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternative kebijakan umum. Selain itu juga bertujuan sebagai makanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan perwakilan rakyat sehingga integritas masyarakat tetap terjamin. Selain itu pemilihan kepala daerah bertujuan untuk menggalang dukungan rakyat terhadap daerahnya dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.21

6.3.2. Sisitem Pemilihan Macam-macan sistem pemilihan, yaitu:22 1. Sisitem Distrik (single-member-constituencies) Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang

20

Tataq Chimad, Kritik Terhadap Pemilihan Langsung, Yogyakarta, Pustaka Widyatama, 2004. hal. 3. Eman Hermawan, Politik Membela Yang Benar: Teori, Kritik dan Nalar, Yogyakarta; LKIS, 2001. hal. 76 22 Miriam Bidiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1983, hal. 177. 21

17

Universitas Sumatera Utara

ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya. Sistem ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu: Pertama, sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apabila jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik. Kedua, sistem ini kurang representitatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali; dan kalau ada beberapa partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai sumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan. Disamping kelemahan-kelemahan tersebut diatas ada banyak segi positifnya, yang oleh negara-negara yang menganut system ini dianggap lebih menguntungkan dari pada sistem pemilihan lain: Pertama, karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Padahal sebagai seorang anggota badan perwakilan rakyat seharusnya “belong to the nation dan speak for the nation”. Kedua, sistem ini kurang memperhatikan adanya partaipartai kecil dan golongan minoritas apalagi bila golongan-golongan in terpencar dalam berbagai diatrik.23 Ketiga, sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.

23

Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia, Dalam Perspektif Struktural Fungsional, Surabaya: SIC, 2002. hal. 198.

18

Universitas Sumatera Utara

2. Sistem Perwakilan Proporsional (multi-member-consituency) Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini ditentukan suatu perimbangan, misalnya 1 : 400.000 yang berarti bahwa sejumlah pemilih tertentu ( dalam hal ini 400.000 pemilih ) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Dalam sistem ini setiap suara dihitung, dalam arti bahwa suara lebih yang diperoleh oleh suatu partai atau golongan dalam suatu daerah pemilihan dapat ditambahkan pada jumlah suara yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam daerah pemilihan lain, untuk menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh kursi tambahan. Dalam sisten perwakilan proporsional dikenal dua sistem yakni hare system dan list system.24 Dalam hard system, pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua dan seterusnya dari wilayah pemilihan yang bersangkutan. Konsekuensi dari sistem ini adalah berbelit-belit dan butuh kecermatan. Sedangkan dalam list system, pemilih diminta memilih diantara daftar calon yang berisi nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilu. Dalam sistem ini ada beberapa kelemahan: Pertama, system ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Kedua, wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya, hal ini dikarenakan peranan partai lebih kuat daripada wakil itu sendiri Ketiga, stabilitas pemerintahan akan sukar terbentuk karena banyaknya partai.25

24 25

David E Apter, Pengantar Analisa Politik, Jakarta: LP3ES. 1998. hal. 214. Miriam Bidiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2000. hal 179

19

Universitas Sumatera Utara

Disamping kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai kebaikan anatara lain: Pertama, tidak ada suara yang terbuang karena perhitungan dilakukan/digabungkan secara nasional. Kedua, sering dianggap lebih demokratis disbanding sistem distrik karena partai minoritas pasti memiliki wakil dibadan legislative. Ketiga, karena semua partai politik memperoleh kursi di badan legislatif yang tidak ditentukan secara distrik/ wilayah, maka system ini lebih “belong to thr nation atau speakfor the nation”.26

6.4. Pemilihan Kepala Daerah Langsung Dalam UUD 1945 sebelum amandemen pada pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR” namun setelah amandemen UUD 1945, pasal 1 ayat (2) ini menjadi “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undan-Undang Dasar”. Hal ini mengandung makna bahwa kedaulatan tidak lagi sepenuhnya berada ditangan MPR tetapi dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar. Sebagai konsekuensi dari perubahan tersebut maka presiden/wakil presiden beserta kepala daerah yang lain baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota akan dipilih langsung oleh rakyat sehingga pemerintahan yang terbentuk merupakan cerminan kehendak dan kedaulatan rakyat dan menunjukkan semakin demokratisnya pemerintahan yang ada. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, atau sering sekali disebut Pemilihan Kepala Daerah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan 26

Arifin Rahman, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2000. hal 179.

20

Universitas Sumatera Utara

Rakyat Daerah. Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah ( KPUD ). Pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diusulkan oleh partai politik atau Gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan tertentu. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah sebuah pemilihan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Indonesia secara langsung oleh penduduk daerah setempat yang memenuhi syarat.27 Kepala Dearah dan Wakil Kepala Daerah adalah: 1. Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Provinsi 2. Bupati dan Wakil Bupati untuk Kabupaten 3. Walikota dan Wakil Walikota untuk Kota Dapat dikatakan bahwa dengan digantinya UU No.22/1999 dengan UU No. 32/2004 maka proses perbaikan dalam politik lokal tengah berlangsung. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada berbagai hal yang menjadi persoalan yang dapat menghambat berjalannya proses demokrasi ini.

6.4.1 Aspek-Aspek Dasar Pemilihan Kepala Daerah Yang Demokratis Adapaun aspek-aspek dasar Pemilihan Kepala Daerah Yang Demokratis itu adalah:28 1. Adanya pengakuan terhadap hak pilih universal, semua earga Negara yang memenuhi syarat tanpa pengecualian yang bersifat politik dan ideologis diberi hak untuk memilih dan dipilih dalam pilkada. 2. Adanya keleluasaan dalam menampung pluralitas aspirasi, dalam arti bahwa masyarakat memiliki alternatif pilihan saluran aspirasi politik yang leluasa. 27

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, http://wikipedia.indonesia.com /ensikopedia/bebas/berbahasa/Indonesia/pemilihan/kepala/daerah/ dan/wakil/kepala/daerah/pdf (Diakses November 2007) 28 Eman Hermawan, Op.cit., hal.82-85.

21

Universitas Sumatera Utara

3. Tersedia mekanisme rekruitmen politik bagi calon-calon rakyat. Makanisme yang diharapkan adalah botton up (berdasarkan inisiatif dan aspirasi dari bawah) bukan top down (diturunkan oleh elite partai dan penguasa). Perekrutan calon-calon wakil rakyat oleh parpol diharapkan makin mendekatkan calon legislatif dengan rakyat dan wakilnya. Makin terbuka proses perekrutan dalam tubuh partai, maka makin demokratis hasil pilkada, demikian pula sebaliknya, rakyat mengetahui dengan kualifikasi seperti calon legislatif tersebut ditentukan. 4. Adanya kebebasan bagi pemilih untuk mediskusikan dan menetukan pilihan, kebebasan untuk menetukan preferensi politik bagi para pemilih adalah sebuah faktor penting dalam menakar kualitas sebuah pilkada. 5. Terdapat komite atau panitia pemilihan yang independent. Sebuah pilkada yang sehat membutuhkan sebuah komite yang tidak memihak yaitu komite yang tidak berpretensi untuk merekayasa hasil akhir dari pilkada. 6. Ada keluasan bagi setiap kontentan untuk berkompetisi secara sehat. Peluang kompetisi ini tentu saja masti diberikan mulai dari penggalangan massa, rekruitmen dan penyeleksian calon anggota hingga ketahap kampanye dan tahap-tahap berikutnya. 7. Netralisasi birokrasi pilkada yang demokratis membutuhkan birokrasi yang netral, tidak memihak dan tidak menjadi perpanjangan tangan salah satu kekuatan politik yang ikut bertarung dalam pilkada.

6.4.2. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Pada hakekatnya pemilihan umum merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga pemerintahan guna menjalankan kedaulatan rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum. Perbedaan sistem pemilihan umum ini banyak tergantung pada dimensi dan pandangan yang ditujukan terhadap rakyat. Pertama, apakah rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya dan sekaligus dapat mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat. Kedua, apakah rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak untuk menentukan siapa wakilnya yang

22

Universitas Sumatera Utara

akan duduk dalam lembaga pemerintahan dan ia tidak berhak mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Dari perbedaan dimensi dan pandangan diatas, maka sistem pemilihan umum dapat dibedakan menjadi29 Sistem Pemilihan Mechanis dan Sistem Pemilihan Organis. Pandangan Mechanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-individu yang sama sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai kompleks hubungan yang bersifat kontraktuil. Berbeda dengan pandangan organis yang menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis, fungsi tertentu, lapisan sosial dan lembagalembaga sosial. Berdasarkan sistem pemilihan mechanis, dapat dilaksanakan dengan dua cara,30 yakni Sistem Perwakilan Distrik/Mayoritas/Single Member Constituencies dan Sistem Perwakilan Proporsional. Karakter utama dari sistem distrik dimana wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan di badan perwakilan rakyat yang dikehendaki. Dalam sistem proporsional tidak ada pembagian wilayah pemilihan, karena pemilihan bersifat nasional. Dalam sistem perwakilan proporsional ini dikenal dua sistem yakni hare system dan list system. Dalam hare system atau single transferable vote pemilih diberi kesmpatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari distrik pemilihan yang bersangkutan. Berbeda dengan list system pemilih diminta memilih diantara daftar

29

Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia;Dalam Perspektif Struktural Fungsional, Surabaya, SIC, 1998, hal. 195. 30 Arifin Rahman, Ibid., Hal. 196.

23

Universitas Sumatera Utara

calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilihan umum. Berbeda dengan sistem pemilihan presiden dimana yang digunakan adalah model second round past the post dengan batas minimal perolehan suara 50 % plus satu untuk meraih kursi, jika tak ada calon dengan jumlah suara tersebut pada putaran pertama, digelar putaran kedua terhadap dua calon teratas dengan konsekuensi biaya menjadi sangat besar ;model penetapan kepala daerah terpilih yaitu dari sistem first past the post dengan batas minimal perolehan suara 25 %. Sesuai dengan pasal 95 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005, bahwa apabila tidak terpenuhi lebih dari 50 % dari jumlah suara sah, maka pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara sah lebih dari 25 % dari seluruh jumlah suara sah, maka pasangan calon yang memperoleh suara tersebar ditetapkan sebagai Calon Terpilih.31 Dan prinsip yang dipakai dalam Pemilihan Kepala Daerah adalah prinsip Voluntary Voting, dimana massa pemilih menggunakan hak pilihnya secara sukarela.

6.4.3. Tata Kelola Pemilihan Kepala Daerah Tata kelola (governance) Pemilihan Kepala Daerah menyangkut berbagai aspek yang menentukan keberhasilan Pemilihan Kepala Daerah yaitu aspek kesiapan masyarakat pemilih, ketrampilan petugas lapangan, pendanaan, dan peraturan pemilihan. Good Pilkada Governance adalah Pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan secara demokratik, dengan memberi peluang kepada para calon kepala daerah untuk berkompetisi secara jujur dan adil. Pemilihan Kepala Daerah harus bebas dari segala

31

KPU Kab. Karo, Proses Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung di Kabupaten Karo 2005, Kabanjahe, KPU Kab. Karo, 2006, hal. 24.

24

Universitas Sumatera Utara

bentuk kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilihan, mulai dari proses pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara.32 Pemilihan Kepala Daerah berupaya menghasilkan kepala daerah yang lebih baik, lebih berkualitas, dan memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi yang kuat, karena kepala daerah terpilih mendapat mandat langsung dari rakyat. Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah terpilih sesuai dengan prinsip mayoritas perlu agar kontroversi yang terjadi dalam pemilihan dapat dihindari. Pada gilirannya, pemilihan kepala daerah secara langsung akan menghasilkan Pemerintah Daerah yang lebih efektif dan efisien, karena legitimasi eksekutif menjadi cukup kuat, tidak gampang digoyang oleh legislatif. Good Pemilihan Kepala Daerah governance setidaknya akan menghasilkan enam manfaat penting.33 1. Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses maupun hasil pemilihan kepala daerah secara tidak langsung lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagimana diatur di dalam Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999. Pemilihan Kepala Daerah menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala kelemahan dalam pemilihan Kepala Daerah pada masa lalu. Pemilihan Kepala Daerah bermanfaat untuk memperdalam dan memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintahan maupun lingkungan kemasyarakatan (civil society). 2. Pemilihan Kepala Daerah akan menjadi penyeimbang arogansi lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selama ini seringkali mengklaim dirinya sebagai satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang representatif. Dengan Pemilihan

32 33

Syamsul H. Tubani Op.cit., hal. x-xi. Op.cit., hal. xiii-xiv

25

Universitas Sumatera Utara

Kepala Daerah akan memposisikan Kepala Daerah juga sebagai pemegang langsung mandat rakyat, yaitu untuk memerintah (eksekutif). 3. Pemilihan Kepala Daerah akan menghasilkan kepala pemerintahan daerah memiliki legitimasi dan justifikasi yang kuat di mata rakyat. Kepala Daerah hasil Pemilihan Kepala Daerah memiliki akuntabilitas publik langsung kepada masyarakat daerah selaku konstituennya, bukan seperti yang selama ini berlangsung yaitu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan begitu, manuver politik para anggota dewan akan berkurang, termasuk segala perilaku bad politics-nya. 4. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi menghasilkan Kepala Daerah yang lebih bermutu, karena pemilihan langsung berpeluang mendorong majunya calon dan menangnya calon Kepala Daerah yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat daerah, menguatkan derajat legitimasi dan posisi politik Kepala Daerah sebagai konsekuensi dari sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat. 5. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi menghasilkan pemerintahan suatu daerah yang lebih stabil, produktif dan efektif. Tidak gampang digoyah oleh ulah politisi lokal, terhindar dari campur tangan berlebihan atau intervensi pemerintah pusat, tidak mudah dilanda krisis kepercayaan publik, dan berpeluang melayani masyarakat secara lebih baik. 6. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi mengurangi praktek politik uang (money politics) yang merajalela dalam proses pemilihan Kepala Daerah tidak langsung

26

Universitas Sumatera Utara

6.5. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dari kegiatan masyarakat yang merupakan kumpulan dari individu-individu untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Karena melalui pendidikan akan terbina kepribadian dan kemampuan manusia, baik kemempuan jasmani maupun kemampuan rohani untuk dapat mempertahankan dan mengembangkan hidup serta kelangsungan hidup masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Taufik Abdullah sebagai masyarakat berikut: “ Pendidikan adalah usaha untuk membina kepribadian dan kemampuan manusia baik kemampuan jasmani maupun kemampuan rohani yang dilakukan dalam rumah tangga, sekolah dan dalam masyarakat agar dengan kemampuan dapat mempertahankan dan mengembangkan hidup dan kelangsungan hidup masyarakat “.34 Jadi pelaksana pendidikan itu dapat berlangsung dalam keluarga, perguruan dan masyarakat luas. Di pandang dari sudut perguruan, maka ada pendidikan formal, non formal dan informal. Untuk jelasnya dibawah ini diuraikan bentuk-bentukpendidikan yang menurut S. Sudarmi ada tiga bentuk pendidikan: 1. Pendidikan formal yaitu yang kita kenal dengan pendidikan di sekolah yang diatur bertingkat dan mengikuti syarat-syarat yang jelas. 2. Pendidikan non formal yaitu pendidikan yang teratur dan sadar dilaksanakan tetapi perlu mengikuti peraturan ketat dan tetap. 3. Pendidikan informal yaitu pendidikan yang diperoleh sesorang dengan pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sejak lahir sampai mati, didalam pergaulan sehari-hari.35

34

Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial, Jakarta: PT. Rajawali, 1987, hal. 327. S. Sudarmi, Pendidikan Nonformal Dalam Rangka Pembangunan Sumber Tenaga Manusia Usia Muda, Jakarta: LP3ES, 1989, hal. 45. 35

27

Universitas Sumatera Utara

Pendapat S. Sudarmi di atas, lebih lanjut dapat dijabarkan yaitu: pendidikan formal yaitu seluruh yang terorganisir, yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, kepribadian seseorang, yang diperoleh dalam lembaga-lembaga pendidikan seperti SD, SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Pendidikan nonformal juga bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan kepribadian seseorang yang diperolah dalam bentuk kursus-kursus. Sedangkan pendidikan informal lebih dimaksudkan sebagai hasil yang diperoleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari, yang juga berpengaruh terhadap pengembangan pengetahuan dan kepribadian seorang anggota masyarakat. Menurut Sanafiah Faisal pendidikan memberikan sejumlah pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang banyak dari padanya tidak bisa segera dilihat hasil atau dampaknya, baik seorang anggota masyarakat.36 Pendapat diatas menunjukkan bahwa pendidikan yang diperoleh seseorang akan menambah pengetahuan dan keterampilannya, mengubah dan nilai-nilai yang dianutnya, yang pada dasarnya akan terlihat dalam waktu yang agak lama misalnya setelah seseorang itu memasuki sesuatu organisasi dan dalam hubungan dengan masyarakat. Dari defenisi diatas dijelaskan bahwa dengan pendidikan akan diperoleh manfaat yang besar, yaitu pengembangan atau peningkatan kualitas manusia Indonesia yang cakap dan terampil diberbagai bidang yang diperlukan dalam pembangunan. Dari beberapa defenisi diatas, dapat kita lihat bahwa pendidikan tersebut dapat diperoleh tidak hanya melalui jalur formal saja, melainkan juga diperoleh melalui pendidikan informal. Pendidikan informal ini turut mendukung pendidikan formal yang telah diperoleh seseorang, ada kalanya seseorang itu tidak mendapatkan pengetahuan dan

36

Sanafiah Faisal , Sosiologi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, hal. 104.

28

Universitas Sumatera Utara

keterampilan yang dibutuhkan sesuai dengan tuntutan lingkungannya, disinilah peranan pendidikan informal dibutuhkan. Pendidikan disekolah mempunyai peranan utama dalam aspek intelektual dan fisik, sedangkan dalam keluarga berperan dalam aspek mental dan karakter. Karena besarnya pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kehidupan manusia, maka pendidikan intelektual bangsa makin menjadi penting. Harus diusahakan agar sebanyak mungkin rakyat pernah mengalami pendidikan sekolah. Makin tinggi pendidikan sekolah dinikmati rakyat makin baik untuk perkembangan bangsa.

29

Universitas Sumatera Utara

7. DEFENISI KONSEP Konsep adalah unsur penelitian yang terpenting yang merupakan defenisi yang dipakai para peneliti untuk menggambarkan sacara abstrak suatu fenomena sosial atau fenomena alam.37 Untuk menghindari kesalahan maupun kekaburan didalam pengertian konsep yang digunakan, maka perlu ditegaskan batasan-batasan yang dipergunakan dalam tulisan ini. Adapun defenisi konsep yang dikemukakan disini adalah sebagai berikut: 1. Pendidikan adalah usaha untuk membina kepribadian dan kemampuan manusia baik kemampuan jasmani maupun rohani yang dilakukan dalam rumah tangga, sekolah dan dalam masyarakat agar dengan kemampuannya dapat mempertahankan dan mengembangkan hidup dan kelangsungan hidup masyarakat. 2. Partisipasi Politik adalah kegiatan warga masyarakat melaui mana mereka mnegambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum. 3. Pengaruh tingkat pendidikan terhadap partisipasi politik adalah semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan kepala daerah.

30

Universitas Sumatera Utara

8. DEFENISI OPERASIONAL Defenisi operasional adalah penjelasan tentang bagaimana suatu variabel akan diukur. Defenisi operasional merupakan rincian dan indikator-indikator pengukur suatu variabel. Dalam penelitian ini variabel yang akan diteliti adalah apakah terdapat pengaruh tingkat pendidikan terhadap partsipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Tahun 2005 dikabupaten Karo antara lain: 1. Pendidikan, dengan indikator: a. Pendidikan formal b. Pendidikan non formal c. Pendidikan informal 2. Partisipasi Politik, dengan indikator: a. Menberikan suara dalam pemilihan kepala daerah b. Partisipasi dalam kampanye c. Diskusi pemilihan d. Menjadi anggota partai politik 3. Pengaruh pendidikan terhadap partisipasi politik, semakin tinggi tingkat pendidikan suatu daerah, semakin tinggi partisipasi politik masyarakatnya.

37

Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survai, Jakarta; LP3S, 1989, HAL., 17

31

Universitas Sumatera Utara

9. METODOLOGI PENELITIAN 9.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu sekarang. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena.38 Tujuan dasar penelitian deskriptif ini adalah membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifatsifat, serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.

9.2. Lokasi Penelitian Penelitian ini difokuskan di Masyarakat Desa Batukarang, Kecamatan Payung, Kabupaten Karo.

9.3. Populasi dan Sampel Populasi Populasi penelitian adalah seluruh warga masyarakat Desa Batukarang yang memberikan suaranya dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung Tahun 2005. Sampel

38

Bambang Prasetyo dkk, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 42

32

Universitas Sumatera Utara

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi yang menggunakan cara tertentu. Dalam menentukan jumlah sampel untuk questioner, penulis menggunakan rumus Taro Yamame39, yaitu:

N n = ───────── N (d)² + 1 Keterangan: n

= Jumlah sampel

N

= Jumlah Populasi

d

= Presisi 10% dengan tingkat kepercayaan 90% Pada lokasi penelitian Masyarakat Desa Batukarang, berdasarkan data Pemilihan

Kepala Daerah 2005, jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya adalah 2880 jiwa. Jadi sampel yang diambil adalah:

2880 n = ───────── 2880 (0,1)² + 1 2880 n = ───── 29,8 n = 96,64 Jadi setelah melalui penggenapan maka jumlah sampel yang diambil ad 97 orang. 39

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komonikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991. hal 81

33

Universitas Sumatera Utara

9.3. Teknik Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini digunakan teknik Purposive Sampling yaitu terdapatnya kriteria-kriteria yang perlu dilakukan ataupun dibuat batasan-batasan berdasarkan tujuantujuan tertentu sehingga sesuai dengan sumber daya yang tersedia namun tetap mencapai jumlah sampel yang ditetapkan. Di desa Batukarang ada 11 lingkungan, .perlingkungan ditentukan 9 responden Dibagikan total koesioner sebanyak 99 .Sebanyak 2 koesioner tidak kembali .Maka yang menjadi sampel sesuai dengan tujuan yaitu 97 diolah menjadi data dalam tulisan skripsi ini.

9.4. Teknik Pengumpulan Data Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan, maka penulis melakukan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung dengan objek yang akan diteliti untuk memperoleh data-data. Studi lapangan yang dilakukan adalah dengan datang langsung ke lokasi yang dijadikan sebagai objek penelitian dengan cara menyebarkan angket/kuesioner kepada responden yang dijadikan sebagai sampel penelitian. Responden menjawab dengan memilih pilihan jawaban telah disediakan dalam daftar pertanyaan.

34

Universitas Sumatera Utara

b. Data sekunder yaitu dengan cara penulis mengadakan penelitian dengan mencari data dan informasi melalui buku-buku, literatur dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini. 9.5. Teknik Analisa Data Penelitian ini bersifat deskriptif dengan arah tujuan memberikan gambaran mengenai situasi ataupun kondisi yang terjadi. Data-data yang telah terkumpul, baik data yang berasal dari kepustakaan maupun penelitian lapangan akan diolah dan dieksplorasi secara mendalam, selanjutnya akan menghasilkan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti. 10. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I

: Pendahuluan Pada bab ini memuat latar belakang penelitian, rumusan masalah, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, defenisi konsep, defenisi operasional, metodologi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II

: Deskripsi Lokasi Penelitian Pada bab ini akan diuraikan gambaran umum dari lokasi penelitian di Masyarakat Desa Batukarang antara lain letak geografis, demografi (keadaan sosial ekonomi, tingkat pendidikan, agama dan lain-lain) dan struktur pemerintahan.

BAB III

: Penyajian Data dan Analisis

35

Universitas Sumatera Utara

Bab ini memuat data dan analisa data yang akan didapat dari hasil penelitian yang dilakukan. BAB IV

: Penutup Bab ini merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan yang akan diambil dari penelitian serta terdapat saran-saran didalamnya.

36

Universitas Sumatera Utara

More Documents from "Muhammad Raka Al-fatih Rahmad"