Digital2015-1120352146-sp-tutik Ernawati.pdf

  • Uploaded by: Subahan Sanusi
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Digital2015-1120352146-sp-tutik Ernawati.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 36,729
  • Pages: 152
1

UNIVERSITAS INDONESIA

TATA LAKSANA NUTRISI PADA SINDROMA NEFROTIK IDIOPATIK ANAK

SERIAL KASUS

TUTIK ERNAWATI 1106026835

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK JAKARTA JUNI 2013

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

i

UNIVERSITAS INDONESIA

TATA LAKSANA NUTRISI PADA SINDROMA NEFROTIK IDIOPATIK ANAK

SERIAL KASUS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis Gizi Klinik

TUTIK ERNAWATI 1106026835

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 PROGRAM STUDI ILMU GIZI KLINIK JAKARTA JUNI 2013

i Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

ii Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 14 Juni 2013

iii Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

iv

KATA PENGANTAR

Puji sukur kepada Allah atas nikmat karunianya sehingga penyusunan serial kasus ini dapat terselesaikan meskipun dengan banyak kekurangan. Serial kasus ini disusun dalam rangka memenuhi sebagian persaratan untuk meraih gelar Spesialis Gizi Klinik Universitas Indonesia. Serial kasus ini mengenai tata laksana nutrisi terhadap pasien anak dengan Sindroma Nefrotik Idiopatik

di Rumah Sakit Umum Daerah Kebupaten

Tangerang. Sindroma nefrotik merupakan kelainan pada glomerulus yang menimbulkan kumpulan gejala berupa proteinuria, edema, dislipidemia, dan hipoalbuminemia. Penatalaksanaan di bidang nutrisi memegang peranan penting dalam meningkatkan kualitas hidup pasien dan menghambat progresifitas penyakit ini. Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada dr. Sri Sukmaniah,

MS, SpGK selaku pembimbing sekaligus Ketua

Program Studi Ilmu Gizi Klinik PPDS-I, yang telah dengan penuh kesabaran, ketelitian dan dedikasi membimbing penulis selama menjalani pendidikan, hingga tersusunnya makalah serial kasus ini Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Victor Tambunan MS, SpGK selaku Ketua Departemen Ilmu Gizi Klinik, DR. dr. Johana Titus, MS, SpGK selaku sekretaris Program Studi Ilmu Gizi Klinik PPDS-I, serta seluruh pengajar PPDS-1 PSIGK, atas bimbingan dan dukungan yang telah diberikan sejak awal penulis menjalani pendidikan hingga saat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Elvi Manurung, MS, SpGK dan dr. Trisno Wijanto MS, SpGK atas kesempatan, bimbingan serta dukungannya dalam melaksanakan kewajiban sebagai PPDS di RSUD Kebupaten Tangerang, sampai tersusunnya makalah serial kasus ini. Kepada direktur RSUD Dr. A. Dadi Tjokrodipo Bandar Lampung penulis juga mengucapkan terima kasih atas izinnya sehingga penulis dapat melanjutkan pendidikan di PPDS-1 PSIGK FKUI. Terima kasih kepada Direktur RSUD Kabupaten Tangerang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat melaksanakan tugas PPDS-1 PSIGK di RSUD Kebupaten Tangerang, serta

iv

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

v

terimakasih kepada seluruh staf di RSUD Tangerang yang telah terlibat dalam proses tata laksana pasien serial kasus ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan setinggi–tingginya kepada seluruh pasien yang terlibat dalam penyusunan serial kasus ini. Terima kasih kepada seluruh teman PPDS Gizi Klinik FKUI angkatan II, para staf dan karyawan departemen Ilmu Gizi Klinik, serta semua pihak yang telah memberikan motivasi, dukungan dan kerjasama yang baik selama penulis menjalankan pendidikan. Terimakasih kepada suami tercinta Kunjono SE, yang telah memberikan ijin dan kesempatan penulis untuk melanjutkan pendidikan, yang telah memberikan kekuatan saat dalam keputusasaan, serta tetap melindungi

dan

mengasihi saat dalam ketidakberdayaan. Kepada anak–anak terkasih, Afif Kunprasetyo Danu, Alvita Laksmi Primajati dan Alivia Hasna Ratridiani, terima kasih atas pengertian dan kesabarannya, sehingga penulis tetap tegar dan bertahan sampai berakhirnya pendidikan ini. Ucapan terima kasih pula kepada kedua orang tua tercinta dan keluarga besar di Yogyakarta atas dukungan dan doanya. Penulis berharap semoga Allah membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu dan melancarkan penyusunan serial kasus ini. Semoga serial kasus inipun bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 14 Juni 2013 Penulis

v

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

vi

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

vii

ABSTRAK

Nama Program Studi Judul Pembimbing

: Tutik Ernawati : Ilmu Gizi Klinik, Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 : Tata Laksana Nutrisi Pada Sindroma Nefrotik Idiopatik Anak : dr. Sri Sukmaniah, MSc, SpGK

Tata laksana nutrisi pada sindroma nefrotik idiopatik anak meliputi penilaian status gizi, kebutuhan nutrisi baik makronutrien, mikronutrien, maupun managemen cairan. Penyakit sindroma nefrotik anak dapat menyebabkan berbagai komplikasi yang mengganggu pertumbuhan, memperberat kerja ginjal hingga berakhir pada keadaan gagal ginjal. Untuk itu peran nutrisi menjadi sangat penting dalam menekan progresifitas penyakit dan memperbaiki kualitas hidup pasien. Keempat pasien serial kasus ini memiliki karakteristik penyakit sindroma nefrotik idiopatik, dengan rentang usia 1–8 tahun, semua kasus merupakan serangan pertama dan sedang menjalani perawatan di sebuah rumah sakit. Penghitungan kebutuhan energi menggunakan rumus Schoefield (W–H) dikalikan faktor stres, kebutuhan protein sesuai RDA dikalikan faktor stres, dan lemak tidak lebih dari 28% total kalori, dengan komposisi SAFA 8 %, PUFA 8% dan MUFA 12 %. Berdasarkan hasil analisis keempat kasus tersebut, pencapaian asupan sesuai kebutuhan energi total sudah mencapai 100 % pada kisaran hari perawatan ke–3 sampai ke–6, dengan rata–rata kepulangan pasien setelah perawatan hari ke–7. Terjadinya peningkatan tekanan darah di atas persentil rata– rata mengalami perbaikan seiring perbaikan klinis yang terjadi. Pemberian nutrisi pada pasien sindroma nefrotik anak dilakukan secara individual, menyangkut status gizi, analisis asupan, serta berbagai komplikasi yang terjadi. Monitoring dan evaluasi meliputi keadaan klinis, tanda vital, analisis asupan dan toleransi, keseimbangan cairan dan elektrolit, keadaan hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria dan gambaran darah lengkap. Tata laksana nutrisi yang optimal harus disertai konseling dan motivasi kepada orang tua pasien ataupun pengasuh, dengan harapan dapat menekan progresifitas penyakit, meminimalisir kekambuhan, menekan komplikasi lebih lanjut, tercukupinya kebutuhan nutrisi, perbaikan status nutrisi, dan tercapainya tumbuh kembang yang optimal. Kata Kunci: Sindroma nefrotik idiopatik, anak, tata laksana nutrisi

vii

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

viii

ABSTRACT

Name Study Program

Title Counselor

: Tutik Ernawati : Study Program of Clinical Nutrition Spescialist, Faculty of Medicine, University of Indonesia : Nutrition Management in Nephrotic Idiopathic Syndrome of Children : dr. Sri Sukmaniah, MSc, SpGK

Nutritional management therapy for idiopathic nephrotic syndrome in children includes nutritional status assessment, nutritional requirement including macronutrient, micronutrient, and fluid management. Nephrotic syndrome in children could cause several complications which disrupt growth and worsening kidney function which ends to kidney failure. According to that condition, nutritional therapy has become more important to alleviate disease progression and increase quality of life of the patient. On this case series, four patients had the characteristics of idiopathic nephrotic syndrome. All of them was on the age group of 1–8 years, on the first attack, and admitted in certain hospital. Energy requirement calculation was done using Schoefield (W-H) formula multiplied by stress factor, protein requirement based on RDA multiplied by stress factor, and fat requirement was no more than 28% of total calories, with the composition of SAFA 8%, PUFA 8%, and MUFA 12%. Based on the analysis of those patients, energy intake of the patients which met 100% of total energy requirement had accomplished on day 3 to day 6 of hospitalization, and they were discharged from hospital after 7 days hospitalization. An increase in blood pressure above the median percentile improved as clinical improvement occurs. Nutritional management therapy for nephrotic syndrom in children was done individually, includes nutritional status, dietary assesment, and the possible complications. Monitoring and evaluations included clinical condition, vital signs, dietary assesment and tolerance, fluid and electrolyte balance, hypoalbuminemia condition, proteinuria, hematuria, and full blood count. Optimal nutritional management therapy should be completed with counseling and encouragment to parents or caregiver to alleviate the disease progression, prevent relaps, and avoid further complications, nutritional requirement completion, nutritional status improvement, and optimal growth and development. Keywords: Idiopathic nephrotic syndrome, children, nutritional management therapy

viii

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

ix

DAFTAR ISI

UNIVERSITAS INDONESIA .............................................................................. i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................ vi ABSTRAK ........................................................................................................ vii ABSTRACT ..................................................................................................... viii DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix DAFTAR TABEL .............................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi DAFTAR SINGKATAN .................................................................................. xiii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv 1. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2. Tujuan ....................................................................................................... 2 1.2.1 Tujuan Umum ...................................................................................... 2 1.2.2 Tujuan Khusus ..................................................................................... 2 1.3 Manfaat Penulisan ................................................................................. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. 4 2.1. Embriologi Ginjal ..................................................................................... 4 2.2. Anatomi Ginjal ......................................................................................... 4 2.3. Fisiologi Ginjal .......................................................................................... 7 2.4. Parameter Klinis Penyakit Ginjal ............................................................... 9 2.4.1 Protein Urin ...................................................................................... 10 2.4.2 Sel darah merah urin ......................................................................... 10 2.4.3 Pemeriksaan Mikroskopik Urin ......................................................... 11 2.5. Laju Filtrasi Glomerulus .......................................................................... 11 2.6. Patogenesis Penyakit Glomerulus ............................................................ 11 2.7. Sindroma Nefrotik ................................................................................... 12 2.7.1 Definisi .............................................................................................. 12 2.7.2 Epidemiologi...................................................................................... 13 2.7.3 Etiologi .............................................................................................. 13 2.7.4 Patofisiologi ....................................................................................... 13 2.7.5 Gambaran Klinis ................................................................................ 16 2.7.7 Komplikasi......................................................................................... 17 2.7.8 Pemeriksaan Penunjang ...................................................................... 21 2.7.9 Perubahan metabolisme nutrien pada sindroma nefrotik .................... 22 2.7.10 Terapi Farmakologi .......................................................................... 26 2.7.11 Terapi Nutrisi ................................................................................... 29 2.7.12 Prognosis ......................................................................................... 34 2.7.13 Monitoring, evaluasi dan konseling .................................................. 35

ix

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

x

3. KASUS.......................................................................................................... 39 3.1. Kasus 1 .................................................................................................... 39 3.2. Kasus 2. ................................................................................................... 45 4. PEMBAHASAN ........................................................................................... 62 5. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 88 5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 88 5.2.Saran ........................................................................................................ 90 DAFTAR REFERENSI ................................................................................... 91

x

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Analisis nilai proteinuria.................................................................... 10 Tabel 2. 2 Rumus Schofield (WH) anak ............................................................. 31 Tabel 2. 3 Batasan kadar kolesterol untuk anak usia 2–19 tahun pada................. 32 Tabel 3. 1 Karakteristik umum data pasien ......................................................... 39 Tabel 4. 1 Skrining gizi dan data subyektif ........................................................ 71 Tabel 4. 2 Tanda vital, kelainan fisik dan pemeriksaan penunjang ..................... 72 Tabel 4. 3 Terapi yang diperoleh ........................................................................ 76 Tabel 4. 4 Komplikasi yang terjadi ..................................................................... 78 Tabel 4. 5 Pemantauan dan evaluasi ................................................................... 85 Tabel 4. 6 Evaluasi proteinuria ........................................................................... 85 Tabel 4. 7 Evaluasi berat badan dan produksi urin .............................................. 86

xi

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Anatomi Ginjal ................................................................................ 5 Gambar 2. 2 Anatomi glomerulus. ....................................................................... 6 Gambar 2. 3 Gangguan permeabilitas glomerulus. ............................................. 15 Gambar 2. 4 Gagal ginjal akut ........................................................................... 19 Gambar 2. 5 Patofisiologi hipertensi renal .......................................................... 21 Gambar 3. 1 Analisis asupan makronutrien kasus 1 sebelum sakit, satu minggu SMRS,........................................................................................... 42 Gambar 3. 2 Grafik Tanda vital selama pemantauan kasus1 ............................... 43 Gambar 3. 3 Grafik asupan makronutrien selama pemantauan kasus 1 ............... 44 Gambar 3. 4 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan kasus 1 ................ 44 Gambar 3. 5 Analisis asupan makronutrien kasus 2 sebelum sakit, satu minggu SMRS, dan 24 jam terakhir ............................................................ 47 Gambar 3.6 Grafik Tanda vital selama pemantauan kasus 2 ............................... 49 Gambar 3.7 Grafik asupan makronutrien selama pemantauan kasus 2 ................ 49 Gambar 3.8 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan kasus 2 ................. 50 Gambar 3.9 Analisis asupan kasus 3 sebelum sakit, selama sakit sejak ............... 54 Gambar 3.10 Tanda–tanda vital selama pemantauan kasus 3 ............................. 55 Gambar 3.11 Analisis asupan makronutrien selama pemantauan kasus 3 ............ 55 Gambar 3.12 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan kasus 3 ............... 56 Gambar 3.13 Analisis asupan kasus 4 sebelum sakit, selama sakit tiga hari SMRS, ...................................................................................................... 59 Gambar 3.14 Tanda–tanda vital selama pemantauan kasus 4 .............................. 60 Gambar 3.15 Analisis asupan makronutrien kasus 4 ........................................... 60 Gambar 3.16 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan kasus 4 .............. 61

xii Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

xiii

DAFTAR SINGKATAN

AA

: arachidonic acid

ADH

: anti deuretik hormon

ACE

: angiotensin-converting enzyme

AHA

: American Heart Association

ALA

: Alpha-linolenic acid

ASPEN

: American Society for Parenteral and Enteral Nutrition

ASI

: air susu ibu

BB

: berat badan

BMD

: bone mineral density

CCT

: creatinin clearance test

CDC

: Centre for Disease Control

CPA

: siklofosfamid

CVD

: cardiovascular disease

DHA

: docosahexaenoic acid

EPA

: eicosapentaenoic acid

EPO

: erythropoietin

ERDS

: End State Renal Disease

FDA

: Food and Drug Administration

FGF

: Fibroblast Growth Factor

GFR

: glomerular filtration rate

Hb

: haemoglobin

HBV

: high bioavaibylity value

HDL

: High–density lipoprotein

iv

: intra vena

IMT

: indek masa tubuh

ISKDC

: International Study on Kidney Disease in Children

KH

: karbohidrat

LA

: linoleic acid

LDL

: low–density lipoprotein

LPB

: lapang pandang besar

xiii Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

xiv

LPB

: lapang pandang besar

NCEP

: National Cholesterol Education Program guidelines

PTH

: pharatyroid hormone

p.o

: per oral

RDA

: recommended dietary allowances

SGA

: Subjective Global Assessment

SGNA

: Subjective Global Nutritional Assessment

RSUT

: Rumah Sakit Umum Tangerang

RS

: rumah sakit

TTG

: Tim Terapi Gizi

USG

: ultrasonography

WHO

: World Health Organization

xiv Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Analisis asupan An. G ................................................................................ 98 Lampiran 2 Analisis asupan An. R .............................................................................. 101 Lampiran 3 Analisis asupan An. F ............................................................................... 104 Lampiran 4 Analisis asupan An. E.............................................................................. 107 Lampiran 5 Form skrining RSUT ............................................................................... 108 Lampiran 6 Form SGNA Kasus 1 (An. G) .................................................................. 108 Lampiran 7 Form SGNA An. R ................................................................................... 108 Lampiran 8 Form SGNA An F .................................................................................. 108 Lampiran 9 Form SGNA Kasus 4. (An. E) ................................................................. 108 Lampiran 10 Grafik CDC anak laki–laki 0–36 bulan .................................................. 108 Lampiran 11 Grafik CDC anak laki laki 2–20 tahun ................................................... 108 Lampiran 12 Grafik CDC anak perempuan 2–20 tahun ............................................... 108 Lampiran 13 Tabel tekanan darah anak laki–laki ........................................................ 108 Lampiran 14 Tabel tekanan darah anak perempuan ..................................................... 108 Lampiran 15 Monitoring An. G .................................................................................. 108 Lampiran 16 Monitoring An. R .................................................................................. 108 Lampiran 17 Monitoring An. F................................................................................... 108 Lampiran 18 Monitoring An. E .................................................................................. 108

xiv Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Sindroma nefrotik merupakan kelainan pada glomerulus yang menimbulkan kumpulan

gejala

berupa

proteinuria,

edema,

hiperkolesterolemia,

dan

hipoalbuminemia.1,2,3,4 Pada sindroma nefrotik terjadi keluaran protein melalui urin lebih dari 40 mg/m2/jam, atau > 50 mg/kg BB/24 jam atau rasio albumin/kreatinin urin sewaktu ≥ 2 mg/mg), kadar albumin darah < 2,5 g/dL, kadar kolesterol darah > 200 mg/dL. Rasio kejadian sindroma nefrotik untuk anak laki–laki dan perempuan usia kurang dari delapan tahun adalah 2:1 sampai 3:2. Insiden sindroma nefrotik di Amerika Serikat dan di Eropa sekitar 1–7 per 100.000 anak usia kurang dari 16 tahun. Di Jakarta terdapat enam kasus dari 100.000 anak dibawah usia 14 tahun.1,4 Kombinasi berbagai keadaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya hipovolemia, hiperkoagulasi, dan infeksi. 2,3,4 Penyebab sindroma nefrotik dibagi menjadi penyebab primer dan sekunder. Sindroma nefrotik primer dikenal sebagai sindroma nefrotik idiopatik, yaitu penyakit yang terkait dengan faktor glomerular intrinsik pada ginjal dan tidak disebabkan oleh faktor sistemik. Sindroma nefrotik idiopatik adalah sindroma nefrotik yang paling sering terjadi, mencapai 90% kasus. Sindroma nefrotik sekunder disebabkan oleh faktor dari luar ginjal/faktor ekstrinsik, termasuk Henoch-Schönlein purpura (HSP), lupus eritematosus sistemik, Amyloidosis, diabetes melitus, sifilis, hepatitis B dan C, human immunodeficiency virus (HIV), keganasan, dan obat–obatan.1,2,3,4 Lebih dari 60% sindroma nefrotik idiopatik mengalami kekambuhan berulang, sehingga pemantauan jangka panjang menjadi sangat penting, baik dalam terapi medis maupun tata laksana nutrisinya. Kasus penyakit ini dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi komplek, seperti edema anasarka, berbagai kejadian infeksi, penyakit kardiovaskular, trombosis, dislipidemia, gagal ginjal akut, bahkan berkembang menjadi gagal ginjal kronis ataupun terminal dengan segala dampak psikologisnya.2,3

1 Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

gagal ginjal

2

Sejak ditemukannya pilihan terapi dengan kortikosteroid, angka kematian penderita sindroma nefrotik menurun lebih dari 50 %, sehingga prognosis menjadi sangat penting sejak pasien terdiagnosis penyakit ini karena keluarga/lingkungan sangat berperan dalam menjaga kepatuhan terapi medis dan edukasi yang telah diberikan.2 Penatalaksanaan di bidang nutrisi memegang peranan penting dalam menghambat

progresifitas penyakit

ini.

Beberapa pendapat

mengatakan

pemberian protein tinggi dianggap kontra indikasi karena akan memperberat kerja glomerulus dan mempercepat terjadinya sklerosis sehingga mempercepat progresifitas kerusakan ginjal. Diet rendah protein juga tidak diperbolehkan karena dapat menghambat pertumbuhan dan menyebabkan malnutrisi. Berbagai suplementasipun perlu hati–hati.3,4 Berdasarkan pemaparan tersebut di atas, dilakukan studi serial kasus ini yang membahas tata laksana nutrisi pada sindroma nefrotik idiopatik anak, mencakup berbagai dampak metabolisme dan managemen komplikasi yang terjadi.

1.2. Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Tujuan

umum

penyusunan

serial

kasus

ini

untuk

memperbaiki

atau

mempertahankan status nutrisi, meningkatkan kualitas hidup pasien dan mencapai tumbuh kembang yang optimal. 1.2.2 Tujuan Khusus 1.2.2.1 Mengetahui perubahan fisiologi dan metabolisme zat gizi pada kasus anak dengan sindroma nefrotik idiopatik 1.2.2.2 Menilai riwayat nutrisi, antropometri, keadaan klinis, pemeriksaan penunjang, serta diagnosis kerja gizi pada kasus anak dengan sindroma nefrotik idiopatik 1.2.2.3 Menilai interaksi obat dengan zat gizi dan komplikasi terapi jangka panjang pada kasus anak dengan sindroma nefrotik idiopatik 1.2.2.4 Memberikan terapi gizi pada kasus anak sindroma nefrotik idiopatik dengan berbagai komplikasi

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

3

1.2.2.5 Untuk mengetahui peranan monitoring dan evluasi dalam terapi gizi 1.3 Manfaat Penulisan 1.3.1 Manfaat Bagi Pasien Untuk meningkatkan status nutrisi, mempercepat kesembuhan dan menurunkan risiko kekambuhan pasien 1.3.2 Manfaat Bagi Masyarakat Tersusunnya makalah ini dapat memperbaiki status nutrisi dan menurunkan risiko kekambuhan para pasien anak dengan sindroma nefrotik idiopatik 1.3.3 Manfaat Bagi Institusi Makalah ini dapat menjadi tambahan informasi dalam penatalaksanaan nutrisi kasus anak sindroma nefrotik idiopatik 1.3.4 Manfaat Bagi Penulis Sebagai media untuk menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang diperoleh selama menjalani pendidikan spesialis

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Embriologi Ginjal Selama kehidupan intra uterus, ginjal manusia terbentuk tiga sistem yaitu pronefros, mesonefros, dan metanefros. Pronefros tidak berfungsi dan mengalami rudimenter, mesonefros berfungsi sementara dalam kehidupan intra uterus, dan metanefros membentuk ginjal permanen. Metanefros terbentuk pada minggu kelima. Sistem ekskretoriknya terbentuk dari mesoderm metanefros. Duktus koligentes ginjal permanen terbentuk dari tunas ureter, suatu pertumbuhan keluar dari duktus mesonefrikus dekat dengan muaranya ke kloaka. Perkembangan selanjutnya tubulus koligentes terus memanjang dan mengumpul ke kaliks minor, membentuk piramis renalis. Tunas ureter membentuk ureter, pelvis renalis, kaliks mayor dan minor, dan lebih kurang 1–3 juta tubulus koligentes. Setiap tubulus koligentes yang terbentuk, di ujung distalnya tertutup oleh suatu jaringan metanefros yang diinduksi oleh tubulus. Sel–sel jaringan penutup akan membentuk vesikel kecil ginjal, kemudian menghasilkan tubulus kecil berbentuk S. Pembuluh kapiler tumbuh ke dalam kantong di salah satu ujung S dan berdiferensiasi menjadi glomerulus. Tubulus bersama dengan glomerulus membentuk nefron, suatu unit ekskretorik yang setiap ujung proksimalnya membentuk kapsula Bowman, sedangkan ujung distal berhubungan dengan salah satu tubulus koligentes, membentuk suatu saluran dari kapsula Bowman ke unit pengumpul. Tubulus ekskretorik terus memanjang membentuk tubulus kontortus proksimalis, ansa Henle, dan tubulus kontortus distalis. Nefron terus terbentuk sampai janin lahir, sedangkan produksi urin sudah dimulai sejak awal kehamilan, yaitu setelah diferensiasi kapiler glomerulus mulai terbentuk di minggu ke sepuluh. Pada saat bayi lahir keadaan ginjal masih berlobus–lobus,

tetapi

kemudian menghilang sejalan pertumbuhan nefron pada masa bayi.5,6 2.2. Anatomi Ginjal Ginjal terletak di rongga retroperitoneum bagian belakang, di depan dua iga terakhir dan tiga otot besar, otot transversus abdominalis, kuadratus lumborum dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan posisinya oleh bantalan lemak tebal.

4 Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

5

Bagian depan terlindungi oleh usus yang tebal. 7,8 Ginjal anak memiliki panjang berkisar enam sampai dua belas sentimeter dengan berat kurang lebih 24 g. Ginjal terdiri dari dua lapis, lapisan luar disebut kortek dan lapisan dalam disebut medula. Kortek dikelilingi oleh kapsul fibrosa yang kuat. Kortek melebar diantara piramida ginjal membentuk kolum ginjal (dari Bertini). Kortek berisi glomeruli, tubulus kontortus proksimalis, tubulus kontortus distalis dan duktus kolektivus. Kalik minor merupakan tabung berbentuk cangkir yang mengelilingi papila ginjal, dan menyatu membentuk kalik mayor, kemudian membentuk pelvis ginjal.8,9 Medula terdiri dari serangkaian masa berbentuk kerucut disebut piramida ginjal. Puncak piramida membentuk papila yang berproyeksi ke dalam kalik minor. Di dalam medula terdapat tubulus yang lurus, lengkung (ansa) henle, vasa rekta dan duktus koligens terminal. Ginjal dialiri oleh arteri renalis dari aorta. Arteri renalis ini

bercabang–cabang segmental dalam medula menjadi arteri

interlobularis, menembus medula ke batas antara kortek dan medula. Arteri interlobaris ini bercabang membentuk arteri arkuata, berada didasar piramida ginjal. Arteri interlobularis dari arteri arkuata membentuk arteriole aferen glomerulus.8,9 Anatomi ginjal tampak pada Gambar 2.1.9

Gambar 2. 1 Anatomi Ginjal Sumber : daftar referensi nomor 9

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

6

Sel–sel otot dinding arteriole aferen, sel lacis dan bagian distal tubulus (makula

densa)

yang

dekat

dengan

glomerulus

membentuk

aparatus

jukstaglomeruler. Aparatus ini berperan dalam pengaturan sekresi renin. Arteriol aferen membentuk anyaman kapiler glomerulus dan bergabung menjadi arteriol eferen. Kapsula Bowman, glomerulus, tubulus kontortus proksimal, lengkung henle, dan tubulus kontortus distal membentuk unit kerja fungsional ginjal yang disebut nefron. Dalam satu ginjal terdapat lebih kurang satu juta nefron, yang telah terbentuk sempurna saat bayi lahir dan mengalami maturasi seiring bertambahnya usia bayi.7,8 Kapiler glomerulus dilapisi sel endotelium dengan sitoplasma tipis, berlubang dan berfungsi sebagai penyaring ginjal. Membran ini terdiri dari tiga lapis, yaitu lamina densa, lamina rara interna dan lamina rara eksterna. Diantara kapiler glomerulus pada sisi endotel glomerulus terdapat mesangium. Mesangium berfungsi sebagai struktur pendukung kapiler glomerulus dan mengatur filtrasi glomerulus, pembuangan makro molekul, termasuk komplek imun dari glomerulus, dengan cara fagositosis intraseluler atau interseluler ke dalam junkstaglomerulus. Glomerulus dikelilingi oleh kapsula Bowman

yang terdiri

dari dua lapis, membrana basalis dan sel–sel parietalis.7,8 Anatomi glomerulus tampak pada Gambar 2.2.10

Gambar 2. 2 Anatomi glomerulus. Sumber : daftar referensi nomor 10

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

7

2.3. Fisiologi Ginjal Ginjal memiliki fungsi utama dalam mempertahankan volume darah dan cairan ekstra sel, yang dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsobsi dan sekresi tubulus. Proses pembentukan urin diawali dari filtrasi glomerulus. Aliran darah ginjal setara sekitar 25 % curah jantung atau 1200 mL/menit. Pada kadar hematokrit darah 45 %, maka aliran plasma ginjal 1200 x 55 % (660 mL/menit). Lebih kurang seperlima

aliran plasma tersebut akan dialirkan oleh glomerulus ke

kapsula Bowman. Kecepatan alirannya disebut laju filtrasi glomerulus dan proses filtrasinya disebut ultrafiltrasi glomerulus. 7,8,11 Sel darah dan molekul protein berukuran besar atau bermuatan negatif tidak akan difiltrasi oleh glomerulus. Molekul yang tersaring langsung oleh glomerulus adalah molekul berukuran kecil dengan beban netral atau positif seperti air dan kristaloid. Laju filtrasi glomerulus/ glomerular filtration rate (GFR) adalah sebesar 173 L perhari, kemudian di tubulus akan mengalami reabsobsi maupun sekresi berbagai zat dari dan ke dalam filtrat sehingga yang keluar sebagai urin menjadi sekitar 1,5 L/hari. Proses filtrasi glomerulus bersifat pasif, tidak membutuhkan energi, sedangkan tekanan filtrasi glomerulus sebesar 10 mmHg berasal dari perbedaan tekanan antara kapiler glomerulus dengan kapsula Bowman. Pada keadaan normal tidak ada protein dalam filtrasi, maka tekanan onkotik kapsula Bowman adalah nol. Keadaan yang mempengaruhi tekanan filtrasi glomerulus selain tersebut di atas juga dipengaruhi oleh permeabilitas membran filtrasi. Laju filtrasi kapiler glomerulus lebih tinggi dibandingkan kapiler tubuh lainnya.7,8,11 Laju filtrasi glomerulus dalam keadaan stabil meskipun terjadi perubahan tekanan darah sistemik ataupun tekanan perfusi ke ginjal, dengan tujuan untuk menghindari fluktuasi yang tidak sesuai untuk natrium dan ekskresi air. Kestabilan GFR tersebut adalah suatu autoregulasi intrinsik di ginjal, dan efektif pada tekanan darah arteri 80–180 mmHg. Mekanisme yang berperan pada autoregulasi GFR adalah reseptor regangan miogenik otot polos vaskular arteriol aferen, timbal balik tubuloglomerular, serta suatu sistem hormonal, antara lain peran norepinefrin dan angiotensin II. Apabila tekanan darah sistemik turun maka terjadi pengaktifan sistem renin angiotensin dengan membentuk angiotensin II,

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

8

sehingga terjadi vasokonstriksi arteriol aferen dan eferen diikuti penurunan tekanan perfusi ginjal.7,11 Jenis zat yang difiltrasi oleh glomerulus adalah air, elektrolit dan non elektrolit. Elektrolit terpenting adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (C++), magnesium (Mg++), bikarbonat (HCO3-), klorida (Cl-), dan fosfat (HPO4--). Zat non elektrolit terpenting adalah glukosa, asam amino, dan produk akhir metabolisme protein (urea, asam urat, kreatinin). Setelah proses filtrasi diglomerulus, selanjutnya terjadi proses reabsorbsi dan sekresi di tubulus. Glukosa dan asam amino direabsorbsi seluruhnya di tubulus proksimal, kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorbsi untuk kemudian disekresi di tubulus distal. Sekitar dua per tiga natrium yang difiltrasi akan direabsorbsi di tubulus proksimal, selebihnya di rebasorbsi di lengkung henle, tubulus distal dan tubulus pengumpul dan hanya kurang dari 1 % yang diekskresikan melalui urin. Proses sekresi dan reabsorbsi di tubulus diatur oleh beberapa hormon, dan proses berakhir di tubulus distal dan pengumpul. Tubulus distal memegang peranan penting dalam pengaturan keseimbangan air dan asam basa, pH dipertahankan pada 7,35– 7,45.7,11 Pharatyroid hormone (PTH) mengatur reabsobsi kalsium dan fosfat, sehingga peningkatan PTH akan meningkatkan reabsorbsi kalsium dan ekskresi fosfat. Anti diuretik hormon (ADH) mengatur reabsorbsi air, membantu mempertahankan volume plasma

dan osmolalitasnya sebesar 285 mOsm.

Osmolalitas ditentukan oleh rasio zat terlarut (terutama garam natrium dan kalium) terhadap air. Hormon aldosteron merangsang reabsorbsi natrium dan sekresi kalium. Apabila aldosteron meningkat maka reabsorbsi natrium dan sekresi kalium akan meningkat. Mekanisme renin–angiotensin–aldosteron memegang peranan penting dalam pengaturan natrium. 7,11 Peran renin adalah mempertahankan volume plasma dan perfusi jaringan, dengan mengatur ekskresi natrium dan air serta tekanan pembuluh darah ginjal. Keadaan hipotensi, penurunan volume plasma dan peningkatan aktivitas simpatetik akan menyebabkan hipoperfusi ginjal diikuti rangsangan sekresi renin. Baroreseptor tubuh terletak pada arkus aorta dan sinus karotis, yang direspon oleh perubahan tekanan arteri darah. Meningkatnya volume intravaskular akan

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

9

menimbulkan beban atrium jantung, menurunnya aktivitas simpatis ginjal dan pelepasan peptida natriuretik atrium jantung, sehingga meningkatkan ekskresi natrium di ginjal. Sedangkan menurunnya tekanan darah akan meningkatkan aktivitas simpatis ginjal, retensi natrium dan air. Peptida natriuretik adalah hormon yang disintesis oleh atrium jantung, sekresinya direspon oleh adanya regangan atrium akibat peningkatan volumenya. Efek vasodilatasi pada hormon ini akan meningkatkan perfusi ginjal, menekan sekresi ADH dan aldosteron, sehingga ekskresi air dan natrium di ginjal akan meningkat.7,11 Dilepasnya renin oleh sel junktaglomerular akan merubah angiotensinogen menjadi angiotensin I, kemudian angiotensin I diubah menjadi angiotensin II oleh suatu enzim pengubah angiotensin (ACE/angiotensin converting enzyme). Angiotensin II memiliki dua efek penting dalam sirkulasi sistemik, efek pertama yaitu vasokonstriksi arteriole, meningkatkan reabsorbsi natrium dan air di tubulus distal dan pengumpul. Efek kedua adalah dengan merangsang sekresi aldosteron dari kortek adrenal kemudian berkerjasama dalam memperbaiki perfusi jaringan, dengan mengoreksi keadaan hipovolemia maupun hipotensi.7,11 Peran

ginjal dalam fungsi non ekskresi antara lain mensintesis dan

mengaktifkan hormon eritropoietin, yang berfungsi merangsang tulang untuk memproduksi sel

darah

merah,

hidroksilasi

vitamin

D

menjadi 1,25

dihidroksivitamin D, prostaglandin, sebagai vasodilator lokal dan melindungi kerusakan ginjal akibat iskemia. Sifat non ekskresi ginjal lainnya adalah mendegradasi hormon–hormon polipeptida, insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, hormon–hormon gastrointestinal seperti gastrin dan polipeptida vasoaktif.7,11

2.4. Parameter Klinis Penyakit Ginjal Parameter klinis dalam menilai penyakit ataupun evaluasi ginjal meliputi parameter biokimia dan morfologi. Parameter biokimia meliputi pemeriksaan kimia urin, laju filtrasi glomerulus dan tes fungsi tubulus. Sedangkan metode pemeriksaan morfologi meliputi pemeriksaan mikroskopik urin, bakteriologik urin, pemeriksaan radiologik dan biopsi ginjal. Pemeriksaan laboratorium utama sehubungan dengan penyakit ginjal adalah pemeriksaan proteinuria, hematuria,

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

10

dan mikroskopik urin. Laju filtrasi glomerulus merupakan parameter penting untuk menilai fungsi ginjal.7 2.4.1 Protein Urin Pada keadaan normal ekskresi protein melalui urin 40–80 mg/hari, secara kasat mata hal ini tidak tampak. Protein tersebut merupakan protein plasma yang melewati filtrasi dan protein non plasma yang berasal dari tubulus dan saluran kemih bagian bawah. Komposisinya berupa 30–40 % albumin, 5–10 % IgG, 5 % rantai ringan, 3% igA, dan selebihnya adalah protein Tamm–Horsfall, sedangkan IgG dan IgM tidak terdeteksi. Proteinuria ringan tidak menimbulkan konsekuensi klinis, sedangkan proteinuria berat (> 3 g/24 jam) memberikan konsekuensi klinis berupa

hemodinamik tidak stabil, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan

hiperkoagulabilitas. Keadaan proteinuria dapat dikategorikan dalam proteiunuria patologis dan non patologis. Proteinuria non patologis dapat disebabkan oleh olah raga, demam dan ortostatik. Pada keadaan non patologis biasanya kurang dari 1000 mg/24 jam dan tidak disertai edema. Proteinuria dianggap patologis apabila diatas 150 mg/24 jam. Penyebab proteinuria patologis adalah terdapatnya gangguan pada glomerulus atau tubulus.4,7,8 Analisis jumlah protein pada keadaan proteinuria pada Tabel 2.1.7 Tabel 2. 1 Analisis nilai proteinuria Nilai pemeriksaan mikroskopik 0 Samar 1+ 2+s 3+ 4+

Jumlah protein (mg/dL) 0–5 5 – 20 30 100 300 1000

Sumber : daftar referensi no 7

2.4.2 Sel darah merah urin Adanya sel darah merah diatas normal dalam urin disebut hematuria, terdapat secara makroskopik (gross hematuria), dan mikroskopik. Penyebabnya dapat dari ginjal maupun dari luar ginjal, kelainan sistemik, atau penyakit darah. Kelainan di dalam ginjal menurut asalnya dibedakan menjadi hematuria glomerulus dan non glomerulus.4,8

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

11

2.4.3 Pemeriksaan Mikroskopik Urin Pemeriksaan mikroskopik urin dengan sentrifugasi, kemudian endapannya disuspensi. Kandungan urin normal adalah terdapat beberapa epitel, 1–2 erotrosit/LPB, 3–4 leukosit/LPB. Nilai eritosit dan leukosit lebih dari itu disebut abnormal, demikian juga apabila terdapat bakteri dan silinder. Silinder berasal dari ginjal, sehingga keberadaanya dalam urin menyatakaan suatu gangguan ginjal. Silinder merupakan matrik mukoprotein Tamm–Horsfall dengan sel–sel atau debris dari berbagai serum dan potein ginjal yang diabsorbsi, dan saat melewati tubulus akan kehilangan kandungan airnya kemudian menyesuaikan diri membentuk tubulus.4,8

2.5. Laju Filtrasi Glomerulus Laju filtrasi glomerulus menggambarkan jumlah jaringan ginjal yang berfungsi, diukur dengan uji bersihan inulin atau uji bersihan kreatinin. Uji bersihan inulin lebih teliti tetapi sulit untuk mampu laksana karena melibatkan proses intravena dan pengumpulan urin dengan kateter pada saat–saat yang telah ditentukan. Uji bersihan kreatinin dengan mengumpulkan urin 24 jam dan satu kali spesimen darah pada hari yang sama. Indeks GFR merupakan perkalian kadar kreatinin urin dengan volume urin 24 jam dibagi kadar kreatinin plasma. GFR normal diatas 125 mL/menit, secara fisiologis menurun 2 mL/menit sejak usia 30 tahun. ,11 Alternatif lain untuk penghitungan GFR adalah dengan rumus creatinin clearance test (CCT), merupakan salah satu standar penghitungan yang mempertimbangkan kadar serum kreatinin, jenis kelamin, berat badan dan usia. Rumus CCT tersebut adalah (140–usia (tahun) x berat badan (kg) : 72 x kreatinin serum, untuk wanita dikalikan faktor pengali 0,85.12,13

2.6. Patogenesis Penyakit Glomerulus Gangguan pada glomerulus antara lain oleh karena faktor imunologi, koagulasi, dan kongenital. Penyebab tersering adalah faktor imunologi. Pada keadaan ini terdapat mekanisme lokal komplek imun antigen–antibodi dan interaksi antibodi dengan antigen. Antigen ini dapat merupakan suatu komponen normal glomerulus. Kelainan di glomerulus karena faktor imunologi ini diperantarai oleh komplek imun, dimana antibodi yang dihasilkan akan melawan dan berkombinasi

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

12

dengan antigen. Komplek imun berakumulasi di glomerulus dan mengaktifkan sistem komplemen. Proses akumulasi di glomerulus kemungkinan ada hubungannya dengan konsentrasi, ukuran, serta muatan komplek yang berakumulasi, karakteristik glomerulus, dan pengaruh mediator–mediator seperti angiotensin II dan prostaglandin.8 Reaksi radang yang menyertai mungkin karena sistem komplemen diaktifkan oleh komplek imun antigen–antibodi atau diaktifkan oleh polisakarida dan endotoksin. Kemudian hasil aktivasi tersebut bertemu pada C3, dan dari titik tersebut berlanjut rangkaian yang sama yang akan menyebabkan lisis membran sel. Aktivasi C3 akan menghasilkan toksin yang menstimulasi protein kontraktil dinding kapiler, menaikkan permeabilitas vaskular dan faktor–faktor kemotaksis (C5a). Kemudian neutrofil dan makrofag menuju ke tempat aktivasi komplemen, mengeluarkan substansi yang merusak dinding pembuluh darah dan membrana basalis. Aktifasi koagulasi yang terjadi menghasilkan endapan fibrin, disertai proliferasi sel–sel epitel parietalis membentuk bulan sabit dalam kapiler glomerulus dan kapsula Bowman. Aktivasi ini dapat mengaktifkan sistem kinin, yang juga menghasilkan faktor kemotaksis dan faktor mirip

anafilatoksin.

Bertambahnya endapan fibrin, proliferasi sel–sel epitel dan adanya makrofag merupakan penyebab terjadinya kerusakan glomerulus. Pada beberapa keadaan dapat disertai eksudasi. Beberapa hari atau minggu kemudian bulan sabit diinvasi jaringan ikat sehingga sel glomerulus mengalami nekrosis. Jaringan parut yang terbentuk di glomerulus disebut sklerosis.8

2.7. Sindroma Nefrotik 2.7.1 Definisi Sindroma nefrotik merupakan kelainan pada glomerulus yang menimbulkan kumpulan

gejala

berupa

proteinuria,

edema,

hiperkolesterolemia,

dan

hipoalbuminemia. Sindroma nefrotik idiopatik adalah sindroma nefrotik yang paling sering terjadi, mencapai 90 % kasus.1,2,3,4 Jenis ini pula yang dibahas pada serial kasus ini.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

13

2.7.2 Epidemiologi Rasio kejadian sindroma nefrotik untuk anak laki–laki dan wanita usia kurang dari delapan tahun adalah 2:1 sampai 3:2. Paling sering terjadi pada usia dua sampai enam tahun, dilaporkan usia termuda serangan pada usia enam bulan dan banyak pula terjadi pada usia dewasa. Insiden sindroma nefrotik di Amerika Serikat dan di Eropa sekitar 1–7 per 100.000 anak usia kurang dari 16 tahun. Di Jakarta terdapat enam kasus dari 100.000 anak dibawah usia 14 tahun.1,4,8 2.7.3 Etiologi Penyebab sindroma nefrotik secara pasti belum diketahui, kemungkinan dimediasi olef faktor imunologi, hal ini diperkuat adanya keberhasilan pengendalian dengan terapi imunosupresif.7,8 Menurut asalnya dibagi menjadi penyebab primer dan sekunder. Dikatakan sindroma nefrotik primer oleh karena sindroma nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri, terkait faktor glomerular intrinsik pada ginjal dan tidak disebabkan oleh faktor sistemik. Dikenal dua macam sindroma nefrotik primer, yaitu sindroma nefrotik idiopatik dan kongenital/hereditary nephropathies. Sindroma nefrotik sekunder disebabkan oleh faktor dari luar ginjal/faktor ekstrinsik, terbanyak oleh karena HenochSchönlein purpura (HSP), lupus eritematosus sistemik, Amyloidosis, diabetes melitus. Penyebab sekunder yang jarang adalah sickle cell disease, sifilis, hepatitis B dan C, human immunodeficiency virus (HIV), keganasan, malaria, dan obat– obatan.1,2,3,4 Pengelompokan bentuk sindroma nefrotik secara histopatologi yaitu adanya lesi minimal glomerulus/minimal change glomerulopathy (85%), sklerosis lokal/focal

segmental

glomerulosclerosis

(10%)

dan

proliferasi

mesangium/membranous nephropathy (5%). Sebagian besar sindroma nefrotik diawali serangan glomerulonefritis, yang tersering adalah jenis glomerulonefritis membranosa dan membranoproliferatif. Terdapat kemungkinan adanya serangan awal atau kekambuhan pasca infeksi saluran pernafasan atas. 1,4,7,8,14 Hereditary nephropathies timbul pada tahun pertama kehidupan, terutama pada di tiga bulan pertama.1 2.7.4 Patofisiologi Dalam keadaan normal, filter glomerulus bersifat permeabilitas selektif. Molekul yang lebih besar dari diameter pori–pori tidak akan terfiltrasi sama sekali, dan

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

14

molekul dengan diameter lebih kecil yang akan melewati. Molekul yang diameternya lebih kecil dari diameter pori–pori akan mengikuti air melalui poripori, sehingga konsentrasi dalam filtrat lebih rendah dari pada dalam plasma. Permeabilitas tidak hanya ditentukan oleh ukuran, tetapi juga oleh muatan molekul. Molekul bermuatan negatif lebih mudah melewati filtrasi glomerulus dari pada molekul netral atau bermuatan positif.15 Pada

sindroma

nefrotik,

integritas

filter

glomerulus

terganggu,

permeabilitas protein bermuatan negatif meningkat, sehingga protein plasma dan eritrosit dapat melewati filter glomerulus. Keadaan ini mengakibatkan proteinuria dan hematuria. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya polisakarida dalam urin. Polisakarida hampir tidak diserap kembali oleh tubulus. Contohnya dekstran, suatu polisakarida bermuatan negatif, biasanya kurang baik disaring oleh glomerulus. Pada keadaan glomerulus yang luka, permeabilitas selektif akan hilang dan filtrasi bermuatan negatif sangat meningkat. Salah satu penyebabnya adalah suatu proteoglikan bermuatan negatif, misalnya, enzim lisosom dari sel– sel inflamasi yang membelah glikosaminoglikan. Tampak dengan elektroforesis, albumin (bermuatan negatif) melintasi membran, bahkan glomerulus yang permeabel terhadap sejumlah protein, kemudian diserap oleh tubulus proksimal. Kapasitas transportasi terbatas, tidak mampu mengatasi beban berlebihan protein yang difiltrasi oleh glomerulus yang rusak. Apabila reabsorbsi protein tubular juga rusak, protein terutama yang kecil, yaitu terbanyak albumin, akan keluar melalui urin (proteinuria tubular).15 Kehilangan protein melalui urin akan menyebabkan hipoproteinemia, terutama albumin, sementara konsentrasi protein dengan ukuran molekul yang lebih besar justru cenderung meningkat. Hal ini karena tekanan onkotik berkurang dalam sistem vaskular menyebabkan peningkatan filtrasi cairan plasma perifer dan konstituen darah lainnya. Filtrasi kapiler perifer difasilitasi oleh berkurangnya tekanan onkotik, juga kerusakan dinding kapiler sehingga terjadi proses inflamasi. Peningkatan filtrasi protein perifer menyebabkan konsentrasi protein dan tekanan

onkotik ruang interstitial akan meningkat, sehingga terjadi

peningkatan cairan yang berpindah ke ruang interstitial. Apabila hal ini tidak terkendali maka akan terjadi edema.15

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

15

Keadaan proteinuria,

hipoproteinemia, dan edema perifer terjadi

bersamaan. Kerusakan filter glomerulus juga menyebabkan lipoprotein tidak tersaring dan terjadi lipiduria. Keadaan hipoproteinemia akan merangsang sintesis lipoprotein di hati, sehingga terjadi hiperkolesterolemia. Berpindahnya cairan intravaskular ke ruang interstitial akan menyebabkan hipovolemia. Keadaan ini akan memicu rasa haus, serta pelepasan ADH melalui sistem renin–angiotensin– aldosteron. Peningkatan asupan cairan dan peningkatan reabsorpsi natrium klorida dan air di tubulus akan memperberat terjadinya edema. Aldosteron akan meningkatkan ekskresi K+ dan H+di ginjal, sehingga terjadi hipokalemia dan memungkinkan terjadinya keadaan alkalosis.15 Gambar 2.3. merupakan gambaran adanya gangguan pada permeabilitas glomerulus.

Gambar 2. 3 Gangguan permeabilitas glomerulus. Sumber : daftar referensi no.15

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

16

2.7.5 Gambaran Klinis Terdapat empat gambaran klinik yang spesifik pada sindroma nefrotik, yaitu proteinuria masif (keluaran protein melalui urin lebih dari 40 mg/m2/jam, atau > 50 mg/kg BB/24 jam atau rasio albumin/kreatinin urin sewaktu ≥ 2 mg/mg), hipoalbuminemia (kadar albumin serum < 2,5 g/dL), hiperkolesterolemia (kolesterol serum > 200 mg/dL), dan terdapatnya edema.1,2,3,4 Proteinuria masif dimungkinkan adanya peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus yang terjadi akibat hilangnya muatan negatif glikoprotein pada dinding kapiler glomerulus.7,8 Protein yang terbawa urin terutama albumin, dapat lebih dari 2 g/24 jam, edema timbul apabila albumin serum kurang dari 2,5 g/dL. 1,2,3,4 Penderita biasanya memeriksakaan diri karena keluhan bengkak yang diawali di sekitar mata, bisa disertai keadaan asites, edema anasarka, sesak (dapat akibat terjadinya efusi pleura ataupun adanya bronkhopneumonia), sakit perut (kemungkinan peritonitis), infeksi saluran nafas atas, eksantema, dan atopi (30– 60 % kasus), hematuria (22 %), hipertensi (15–20 %), peningkatan ureum dan kreatinin sementara (32 %).2,3,4,7,8 2.7.6 Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada Anamnesis sering ditemukan keluhan bengkak kedua kelopak mata, perut, tungkai, bahkan seluruh tubuh, dapat disertai berkurangnya jumlah urin. Keluhan lainnya dapat disertai adanya warna urin yang kemerahan. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai, skrotum/labia atau asites, dan hipertensi. Pemeriksaan penunjang yang penting yaitu pemeriksaan urinurinalisis, darah dan biopsi. Pada pemeriksaan urin ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah ditemukan hipoalbuminemia (albumin serum kurang dari 2,5 g/dL),

hiperkolesterolemia,

meningkatnya

laju

endap

darah,

rasio

albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.16 Indikasi Biopsi ginjal apabila terdapat dua atau lebih keadaan berikut ini, usia onset lebih dari sepuluh tahun, hematuria menetap atau gross hematuria, hipertensi, terdapat insufisiensi ginjal, kadar C3 yang

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

17

rendah, dan keadaan proteiunuria menetap dalam terapi prednison selama empat minggu.17 2.7.7 Komplikasi Komplikasi yang terjadi dapat merupakan bagian dari penyakit itu sendiri ataupun efek dari terapi. Komplikasi dari penyakitnya termasuk keadaan proteinuria terutama

albuminurianya,

kejadian

infeksi,

tromboemboli,

penyakit

kardiovaskular, krisis hipovolemik, anemia, gagal ginjal akut, gangguan keseimbangan elektrolit, dan hormonal. Komplikasi jangka panjang dapat berupa efek samping terapi dari kortikosteroid (obesitas, gangguan pertumbuhan, hipertensi, osteoporosis, katarak, glaukoma, dan perubahan perilaku), suatu Alkylating agents (depresi sumsum tulang, alopesia, mual, muntah, sistitis hemoragik, infeksi, infertilitas, keganasan), siklosporin A (nefrotoksisitas, neurotoksisitas, hiperplasia gingiva, hirsuitism, dan hipertensi), mycophenolate mofetil (mual, muntah, depresi sumsum tulang), tacrolimus (diabetes, hipertensi, tremor, tremor, sakit kepala, dan bersifat nefrotoksik), rituximab (bronkospasme, infark miokard, progressive multifocal leukoencephalopathy, dan reaktivasi virus).1,18 2.7.7.1 Proteinuria dan hipoalbuminemia Proteinuria (albuminuria) masif merupakan gejala utama terjadinya sindroma nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui dengan benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut akan menyebabkan albumin tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus, seperti diketahui albumin memiliki muatan negatif. Albuminuria masif menyebabkan hati tidak dapat mengkompensasi keadaan hipoalbuminemia, keadaan ini dianggap sebagai kegagalan hati dalam mensintesis albumin. Keadaan ini diperberat oleh adanya pelepasan sitokin, dimana sitokin akan menekan sintesis albumin di hati.13,14,17 Beberapa mekanisme yang menginduksi cedera ginjal dan menyebabkan proteinuria antara lain terhalangnya tubulus ginjal oleh protein yang tercetak di glomerulus, terlepasnya enzim lisosom ke dalam sitoplasma protein dan direabsorbsi tubulus, besi yang tersaring di tubulus yang terikat langsung oleh transferin, sifat sitotoksik atau mungkin terdapat efek tidak langsung dari sintesis

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

18

besi yang mengkatalisasi metabolit oksigen reaktif, aktivasi komplemen kaskade alternatif oleh tubulus proksimal, iskemia akibat cedera sehingga menyebabkan vasokonstriksi molekul, faktor dari fibrosis ginjal sehingga dapat menyebabkan fibrosis interstitial, filtrasi lipoprotein dan absorbsinya oleh tubulus proksimal sehingga mengaktifkan jalur inflamasi yang akhirnya menyebabkan cedera sel, filtrasi sitokin sehingga dapat menimbulkan proliferasi, infiltrasi sel inflamasi, dan aktivasi infiltrasi sel, serta adanya filtrasi / generasi antigen baru yang dapat berfungsi sebagai antigen–presenting sel dan menimbulkan respon imun seluler.19 2.7.7.2 Edema Proteinuria/albuminuria akan menyebabkan turunnya kadar albumin serum. Rendahnya kadar albumin serum menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma, sehingga terjadi ekstravasasi cairan plasma menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial, dan terjadilah edema. Edema dapat terlihat pada wajah, ektermitas atas, ektermitas bawah, organ genetalia, asites, bahkan edema yang

menyeluruh (edema anasarka). Penurunan volume plasma menstimulasi

retensi air dan natrium di ginjal. Retensi natrium dan air ini merupakan kompensasi tubuh untuk mempertahankan volume dan tekanan intravaskular tetap normal.14,17 Suatu teori menyatakan bahwa berkurangnya volume intravaskular akan merangsang sekresi renin dan

memicu aktifitas renin–angiotensin–

aldosteron sehingga terjadi retensi natrium dan air, kemudian produksi urin menjadi berkurang dan lebih pekat.

17,18,19

Pendapat ini dikenal dengan teori

underfill. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin dan aldosteron plasma merupakan akibat sekunder dari hipovolemianya. Pada kenyataannya beberapa penderita sindroma nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma serta penurunan aktivitas renin dan kadar aldosteron plasma. Teori ini disebut teori overfill, dimana menyatakan bahwa retensi natrium dan air terjadi karena mekanisme intra renal primer dan tidak tergantung oleh stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstra seluler. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah sebagai akibat hipervolemia.20

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

19

2.7.7.3 Hiperkolesterolemia Terdapat berbagai pendapat mengenai terjadinya hiperkolesterolemia, antara lain adanya penurunan tekanan onkotik plasma akan disertai penurunan aktivitas degradasi lemak akibat hilangnya suatu glikoprotein perangsang lipase. Pada kenyataannya pula apabila kadar albumin serum kembali normal, maka biasanya kadar lipid plasma juga akan kembali normal.4,14,18,19 2.7.7.4 Gagal Ginjal Akut Gagal ginjal pada sindroma nefrotik merupakan gagal ginjal yang disebabkan intra renal, gambaran gagal ginjal terlihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2. 4 Gagal ginjal akut Sumber : daftar referensi no.15

2.7.7.5 Hipovolemia dan Gangguam keseimbangan Elektrolit Penderita sindroma nefrotik dikaitkan dengan edema dan retensi natrium, tetapi ternyata pada beberapa kasus konsentrasi natrium serum cukup rendah. Kondisi ini dikenal sebagai pseudohiponatremia.18,19 Terdapatnya edema pada pasien sindroma nefrotik biasanya diterapi dengan diuretik. Dampak pemberian diuretik antara lain hipovolemia, penderita dalam keadaan oliguria, hipotensi, takikardi, dan akral dingin. Pada pemeriksaan

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

20

laboratorium didapatkan kadar natrium urin dibawah 10 mmol/L, peningkatan hematokrit, ureum, kreatinin dan asam urat. Tanda hipovolemia lainnya apabila rasio kadar kalium urin terhadap jumlah kalium dan natrium urin lebih dari 60 %.4,18,19 2.7.7.6 Trombosis Hiperkoagulasi, peningkatan kadar fibrinogen, faktor VIII, penurunan kadar antitrombin III, serta penurunan aktifitas protein S dan C akan mempermudah terjadinya trombosis. Trombosis diperberat oleh keadaan dehidrasi.4,19,20 2.7.7.7 Infeksi Kehilangan imunoglobulin, komplemen faktor B dan D melalui urin dapat mengakibatkan gangguan imunitas dan peningkatan risiko infeksi. Keadaan ini diperberat oleh penggunaan obat–obatan imunosupresif.4 Komplikasi infeksi yang terjadi terutama akibat streptococcus pneumoniae, meskipun bakteri gram negatif juga sering ditemukan. Penderita dengan terapi sitotoksik lebih rentan mengalami infeksi dibandingkan yang mendapatkan terapi steroid. Keadaan sepsis merupakan penyebab utama kematian akibat infeksi.4,18,19 2.7.7.8 Hipokalsemia Hilangnya globulin vitamin D–binding dapat mengakibatkan kekurangan vitamin D, hipokalsemia, osteomalasia, dan hiperparatiroidisme sekunder. Osteoporosis dan osteopenia dapat disebabkan pula oleh penggunaan steroid jangka panjang.4,14,18,19 Meskipun total kalsium serum sering rendah, tetapi tingkat kalsium terionisasi biasanya normal. Rendahnya kalsium serum disebabkan rendahnya ikatan protein dengan kalsium. Meskipun demikian, suatu laporan menyebutkan bahwa sebagian besar anak dengan sindroma nefrotik tidak menunjukkan defisiensi kepadatan mineral tulang yang signifikan.19 2.7.7.9 Hipertensi Hipertensi pada sindroma nefrotik dapat terjadi akibat adanya gangguan perfusi di ginjal, sehingga disebut hipertensi renalis. 15 Gambaran hipertensi renalis terlihat pada Gambar 2.5.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

21

.

Gambar 2. 5. Patofisiologi hipertensi renal Sumber : daftar referensi no.15

Tekanan darah normal untuk anak–anak adalah baik

sistole maupun

diastole berada di bawah persentile 90 menurut jenis kelamin, umur dan TB, disebut pra hipertensi apabila sistole atau diastole berada pada persentile 90-95, sedangkan terjadi hipertensi apabila sistole atau diastole berada di atas persentile 95, dikatakan hipertensi grade I apabila

sistole atau diastole berada di atas

persentile 95-99 persentile + 5 mmHg, dikatakan hipertensi grade II apabila sistole atau diastole di atas persentile 99 + 5 mmHg, serta terjadi krisis hipertensi apabila sistole atau diastole

di atas 50% tekanan darah

normal sesuai

persentile.21,22 2.7.8 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada sindroma nefrotik meliputi urin rutin, protein urin kuantitatif, darah tepi, kadar albumin, kadar kolesterol, kadar ureum dan kreatinin, titer ASTO, kadar komplemen C3, serta biopsi ginjal. Mengingat sebagian besar kasus sindroma nefrotik memberikan gambaran lesi minimal maka biopsi tidak selalu diperlukan. Lesi minimal glomerulus secara histologi masih dianggap normal. Biopsi ginjal menjadi indikasi apabila onset kurang dari satu tahun atau lebih dari 16 tahun, hematuria mikroskopik atau makroskopik persisten dengan kadar C3 rendah, hipertensi atau gangguan fungsi ginjal menetap, resisten terhadap steroid, serta apabila timbul gejala–gejala ekstra renal seperti limfadenopati, arthritis, dan sebagainya).4

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

22

2.7.9 Perubahan metabolisme nutrien pada sindroma nefrotik Perubahan metabolisme nutrien pada sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh penyakitnya sendiri ataupun akibat komplikasi terapi. Perubahan pada metabolisme karbohidrat masih sulit ditemukan dan belum banyak diteliti. Sebagian besar kasus sindroma nefrotik anak tanpa disertai uremia, sedangkan uremia pada sindroma nefrotik biasanya terjadi akibat hipovolemia, dimana dapat terjadi pada keadaan albuminemia yang sangat rendah disertai edema yang berat, ataupun dalam terapi diuretik yang tidak terkontrol dengan baik. 3,4,18 Suatu studi untuk menyelidiki adanya resistensi insulin, diagnosis patologi dan efektifitas terapi awal glukokortikoid dosis tinggi pada anak sindroma nefrotik idiopatik dengan fungsi ginjal normal, diperoleh hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya resistensi insulin pada kasus ini. Tidak terdapat gangguan metabolisme karbohidrat meskipun dalam terapi hormon dengan beda dosis dan beda kondisi patologisnya. Meskipun demikian terdapat peningkatan yang bermakna pada tekanan darah, kadar asam urat, kadar

lemak darah dan koagulabilitas pada

kelompok ini. Kadar peptida C serum puasa juga terjadi peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa peptida C serum puasa mungkin sebagai faktor protektif.23 Sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar glukosa darah, insulin, perubahan bersihan kreatinin dan proteinuria pada pasien glomerulonefritis primer dengan fungsi ginjal normal. Yaitu dengan intervensi 75 g glukosa oral kemudian kurva insulin dan glukosa dievaluasi. Hasil penelitian ini menyatakan tidak terdapat korelasi antara insulin dan glukosa darah dengan perubahan bersihan kreatinin.24 Dislipidemia

adalah gangguan metabolisme lipoprotein, termasuk

kelebihan atau kekurangan. Gangguan ini dapat dimanifestasikan oleh peningkatan kolesterol total serum, low-density lipoprotein (LDL), trigliserida, dan penurunan high-density lipoprotein (HDL). Sindroma nefrotik merupakan satu diantara banyak penyebab sekunder terjadinya dislipidemia. 25 Dislipidemia pada sindroma nefrotik ditandai oleh adanya peningkatan kadar kolesterol plasma, LDL, trigliserida dan lipoprotein a, sedangkan kadar HDL biasanya normal atau berkurang, mekanisme tersebut belum jelas. Konsentrasi apolipoprotein plasma pada sindroma

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

nefrotik

umumnya

Universitas Indonesia

23

mencerminkan perubahan dalam metabolisme lipoprotein. Dengan demikian, terdapat peningkatan kadar apo B, C–II, dan E, yang berhubungan dengan VLDL dan LDL, di sisi lain, kadar apolipoprotein utama yang terkait dengan HDL, apo AI dan A–II, biasanya normal.26 Sebagian besar pasien dengan sindroma nefrotik memiliki kadar LDL di sirkulasi yang tinggi, sedangkan kadar VLDL juga dapat mengalami peningkatan. Kadar HDL dapat tetap normal di sirkulasi, tetapi terdapat penurunan kadar subfraksi HDL2 dan peningkatan kadar HDL3 akibat menurunnya aktivitas lecitin cholesterol acyltransferase (LCAT). Perubahan subfraksi HDL disertai dengan meningkatnya rasio LDL–HDL, dan peningkatan kadar lipopratein (a) dapat meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis pada pasien sindroma nefrotik. Abnormalitas apoprotein pada pasien sindroma nefrotik merefleksikan perubahan yang terjadi pada kadar lipoprotein, dimana kadar ApoB yang merupakan apopratein utama pada LDL mengalami peningkatan lebih tinggi dibandingkan dengan apoprotein lainnya.27 Mekanisme terjadinya peningkatkan profil lipid pada pasien dengan sindroma nefrotik adalah akibat meningkatnya sintesis ApoB dihati yang dicetuskan oleh penurunan tekanan onkotik plasma dan bukan oleh keadaan hipoalbuminemia. Hal ini dibuktikan pada studi in vitro yang memperlihatkan hubungan antara tekanan onkotik rendah menstimulasi meningkatnya aktivitas transkripsi gen yang mengkode sintesis Apo B.27 Gangguan

metabolisme

merupakan

penyebab

utama

terjadinya

hipertrigliseridemia pada pasien dengan sindroma nefrotik. Pada kaskade delipidasi dimana VLDL dirubah menjadi IDL dan kemudian LDL, mengalami perlambatan disertai juga dengan reduksi reseptor LDL yang memediasi klirens dari LDL dan IDL. Keadaan ini berhubungan dengan klirens albumin di ginjal. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya kehilangan melalui urin untuk regulator metabolisme lipid tersebut.27 Dislipidemia disebabkan oleh adanya peningkatan sintesis lemak dan apolipoprotein di hati, disertai bersihan kilomikron dan VLDL yang menurun. Keadan ini berkontribusi terhadap peningkatan lipogenesis dan penurunan katabolisme lemak. Kemungkinan akibat dari proteinuria, hipoalbuminemia dan

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

24

rendahnya tekanan onkotik serum masih menjadi kontroversi. Tingginya kadar lemak plasma dapat meningkatkan risiko aterosklerosis dan sklerosis di glomerulus, meskipun belum ada bukti terjadinya komplikasi tersebut. Kemungkinan keadaan tersebut memiliki konsekuensi jangka panjang pada pasien sindroma nefrotik.28 Tingginya kadar kolesterol biasanya menggambarkan adanya sensitivitas terhadap terapi steroid. Kadar kolesterol pasien sindroma nefrotik responsif steroid sering ditemukan sangat tinggi, dapat mencapai 500 mg / dL atau lebih, tetapi biasanya akan membaik setelah mendapatkan terapi, sedangkan pada yang resisten steroid, umumnya menetap, sehingga berisiko terjadinya aterosklerosis pada usia yang relatif muda. 19 Keadaan proteinuria, hipoalbuminemia, dan edema perifer terjadi bersamaan. Kerusakan filter glomerulus juga menyebabkan lipoprotein tidak tersaring dan terjadi lipiduria. Keadaan hipoproteinemia akan merangsang sintesis lipoprotein di hati, sehingga terjadi hiperkolesterolemia. Pendapat yang menyatakan bahwa keadaan tersebut diperberat oleh hilangnya lipoprotein lipase di glomerulus masih menjadi perdebatan. 15 Regulasi protein di ginjal sangat komplek, melibatkan permeabilitas filter glomerulus terhadap protein dan metabolisme tubular terhadap protein yang difiltrasi. Filtrasi glomerulus normal akan menghasilkan sekitar 180 L cairan ultra filtrasi per hari. Kandungan protein sebelum memasuki glomerulus berkisar 11.000–14.000 g/hari. Ekskresi protein urin normal sebesar 40–80 mg/hari. Protein ini merupakan campuran protein yang terfiltrasi oleh glomerulus maupun protein non plasma dari tubulus dan saluran kencing bagian bawah. Penyebab meningkatnya ekskresi protein melalui urin/proteinuria hampir selalu oleh faktor intrinsik di ginjal. Proteinuria melebihi 3 g/hari akan berdampak klinis berupa hipoalbuminemia dengan berbagai komplikasi klinis lainnya, serta terjadi penurunan tekanan onkotik plasma dengan segala dampak yang menyertai pula. Keadaan hipoalbuminemia akan merangsang hati untuk meningkatkan sintesisnya. Sintesis protein pada sindroma nefrotik meningkat 3–4 kali lipat dari normal, meskipun demikian tidak dapat mengkompensasi keadaan hipoalbuminemia yang terjadi.3,4,15,19

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

25

Seperti dijelaskan di atas, terdapatnya proteinuria dapat

berasal dari

glomerulus maupun tubulus, hal ini dapat menyebabkan berbagai efek buruk pada sel tubulus. Protein plasma yang tidak terfiltrasi di glomerulus kemungkinan akibat cedera glomerulus dan akan menginduksi cedera di intra tubular. Sebuah penelitian untuk melihat pengaruh asidosis metabolik pada intratubular komplementer telah dilakukan dengan pengukuran complement activation products (CAP) dan membrane attack complex plasma dan urin. Subyek penelitian adalah pasien sindroma nefrotik lesi minimal, fokus glomerular sklerosis, nefropati IgA, membranefropati dan nefropati diabetes. Air kemih diukur sebelum dan sesudah pemberian natrium bikarbonat. Hasil penelitian ini adalah tidak terdapatnya korelasi yang bermakna antara CAP urin dengan plasma. Pada pasien sindroma nefrotik lesi minimal, ekskresi CAP urin meningkat bermakna dan

berkorelasi bermakna dengan kadar kreatinin serum. Derajat

ekskresi CAP secara signifikan menurun setelah dua minggu intervensi natrium bikarbonat, tanpa mempengaruhi tingkat proteinuria ataupun CAP plasma. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat aktivasi komplemen intratubular berkorelasi dengan tingkat proteinuria, jenis penyakit glomerulus, gangguan fungsi ginjal, dan asidosis metabolik.29 Gangguan metabolisme mineral dapat merupakan komplikasi metabolik pada sindroma nefrotik, antara lain hipokalsemia, yang dapat menyebabkan tetani, gangguan pembentukkan tulang, dan penyakit tulang. Akibat proteinuria maka terjadi hipoalbuminemia dan edema. Padahal setengah dari jumlah kalsium total serum berikatan dengan protein terutama albumin. Peran kalsium dalam tubuh untuk mineralisasi tulang, mempertahankan tonus normal, stimulasi sekresi kelenjar eksokrin, menjaga integritas dan permeabilitas membran, serta berperan dalam koagulasi darah, konduksi neuromuskular, jantung. Penurunan kadar

kekuatan otot rangka

dan

kalsium ekstrasel kurang dari normal akan

menimbulkan efek eksitasi sel saraf dan otot, berupa spasme ekstensif otot rangka, terutama

otot ekstremitas dan laring, sehingga

terjadi kejang.

Bagaimanapun, penelitian tentang kadar kalsium pada anak sindroma nefrotik masih jarang, dan hasilnya pun masih menimbulkan berbagai kontroversi.30,31

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

26

Penyebab gangguan metabolisme mineral yang lain adalah adanya efek samping terapi

kortikosteroid. Keadaan ini dapat menyebabkan

turunnya

kepadatan mineral tulang/bone mineral density/BMD. Sebuah penelitian dengan metode kohort retrospektif pada anak usia 5–18 tahun, yang bertujuan membandingkan BMD anak sehat dan anak dengan sindroma nefrotik, dan juga untuk menilai efek pengobatan kortikosteroid terhadap BMD, disimpulkan bahwa pasien sindroma nefrotik memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya penurunan BMD dibandingkan anak sehat. Terdapatnya respon terhadap pengobatan steroid juga memperburuk BMD.32 2.7.10 Terapi Farmakologi Terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan terapi steroid: Remisi

Proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) selama tiga hari berturut–turut dalam satu minggu

Relaps

Proteinuria ≥ 2 (+)/proteinuria > 40 mg/m2LPB/jam selama tiga hari berturut–turut dalam satu minggu, dimana sebelumnya pernah remisi

Relaps jarang

Relaps terjadi kurang dari dua kali dalam enam bulan pertama setelah respon awal atau kurang dari empat kali pertahun pengamatan

Relaps sering / frequent relaps Relap terjadi lebih dari dua kali dalam enam bulan pertama setelah respon awal, atau lebih dari empat kali dalam satu tahun Sensitif steroid

Remisi tercapai dalam empat minggu atau kurang setelah pengobatan steroid dosis penuh (full dose)

Dependen steroid

Relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan, atau dalam waktu 14 hari setelah pengobatan steroid dihentikan, dan terjadi keadaan seperti ini dua kali bertutur–turut

Resisten steroid

Tidak terjadi remisi setelah empat minggu pengobatan steroid dosis penuh/ (full dose)

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

27

Responder lambat

Remisi terjadi setelah empat minggu terapi prednison 60 mg/kgBB/hari tanpa tambahan terapi lain

Non responder awal

Resisten steroid sejak terapi awal

Non responder lambat

Resisten steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya sensitif steroid.1,3,4,19

2.7.10.1 Pengobatan keadaan sembab Pada keadaan sembab nyata tanpa deplesi volume intravaskular diberikan terapi furosemid 1–3 mg/kgBB/hari, dua kali sehari. Apabila tidak ada respon maka dosis dinaikkan 4–6 mg/kgBB/hari dengan ditambah spironolakton 2–3 mg/kgBB/hari. Apabila masih gagal maka ditambahkan thiazid. Apabila pemberian diuretik tidak berhasil pada penderita dengan kadar albumin serum dibawah 1,5 g/dL disertai deplesi volume intravaskular maka terapi infus albumin 20–25 % dengan dosis 1–2 g/kgBB diberikan dalam waktu empat jam, disertai pemberian furosemid 1–2 mg/kgBB. Apabila pemberian albumin terkendala biaya atau faktor lain maka dapat diberikan tranfusi plasma 20 mL/kgBB/hari dengan tetesan 10 tetes/menit.4 2.7.10.2 Pengobatan Inisial Sesuai anjuran International Study on Kidney Disease in Children (ISKDC), pengobatan inisial prednison dosis penuh selama empat minggu, dengan dosis penuh/full dose sebesar 2 mg/kgBB/hari atau 60 mg/m2 LPB/hari (maksimal 80 mg/hari) terbagi dalam tiga dosis. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (BB/PB). Terapi lanjutan dengan prednison 40 mg/m2/LPB/hari diberikan secara intermitent (tiga hari berturut– turut dalam satu minggu atau alternating (selang seling tiga kali seminggu dalam empat minggu). Apabila remisi terjadi dalam empat minggu pertama maka prednison intermitent/ alternating 40 mg/m2 LPB/hari selama empat minggu. Apabila tidak terjadi remisi dalam empat minggu pertama maka didiagnosis sindroma nefrotik resisten steroid. Apabila terjadi remisi dalam empat minggu pertama maka prednison dilanjutkan sampai empat minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2/LPB/hari. 4

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

28

2.7.10.3 Pengobatan Relaps Pengobatan keadaan relaps dengan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal empat minggu), kemudian dilanjutkan dengan prednison intermitent (dalam dosis tunggal atau terbagi) atau alternating (dalam dosis tunggal saat pagi hari) 40 mg/m2 LPB/hari selama empat minggu. Apabila masih tidak terjadi remisi maka pasien didiagnosis sindroma nefrotik resisten steroid dan harus mendapatkan terapi immunosupresif yang lain.4 2.7.10.4 Pengobatan sindroma nefrotik dependen steroid/relaps sering Faktor risiko terjadinya relaps adalah onset penyakit pada umur kurang dari tiga tahun, relaps terjadi pada enam bulan pertama, dan remisi lambat pada episode awal. Pada penderita sindroma nefrotik relaps sering dan pada dependen steroid, terdapat empat pilihan terapi yaitu dengan pemberian steroid jangka panjang, pemberian levamisol, pengobatan dengan sitostatika, atau dengan siklosporin. Pemberian steroid jangka panjang dapat menjadi pilihan sebelum pemberian siklofosfamid (CPA), hal ini mengingat efek samping steroid yang lebih ringan.4 2.7.10.5 Pengobatan sindroma nefrotik resisten steroid Sebelum penatalaksanaan sindroma nefrotik resisten steroid sebaiknya dilakukan biopsi ginjal. Tujuan dilakukannya biopsi ginjal adalah untuk melihat gambaran patologi anatomi ginjal. Hal ini dengan pertimbangan untuk pemilihan terapi, dikarenakan terdapat obat tertentu yang memberikan hasil lebih baik pada suatu patologi anatomi tertentu.4 2.7.10.6 Terapi non imunosupresif Pengobatan non imunosupresif antara lain dengan pemberian diuretik untuk mengatasi edemanya, dan pemberian inhibitor angiotensin converting enzyme (ACE). Pemberian ACE bertujuan untuk memperbaiki tekanan darah yang biasanya meningkat, di sisi lain juga dapat memperbaiki keadaan proteinuria yang terjadi. Inhibitor ACE yang digunakan adalah dengan captopril 0,3 mg/kgBB/hari, terbagi dalam tiga dosis, atau enalapril 0,5 mg/kgBB/hari terbagi dalam dua dosis. Inhibitor ACE bersifat renoprotektif, dapat dikombinasikan dengan angiotensin receptor blocker (ARB), seperti losartan dalam dosis tunggal 0,75 mg/kgBB/hari.4

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

29

2.7.11 Terapi Nutrisi Anak pada keadaan sakit memiliki kondisi stres metabolik yang berbeda dengan keadaan anak sehat, sehingga kebutuhan nutrisinyapun menjadi berbeda pula tergantung berat ringannya stres metabolik yang ada. Pada keadaan stres metabolik, pemberian nutrisi yang berlebihan akan menimbulkan berbagai komplikasi, sehingga diperlukan asupan nutrisi yang optimal kebutuhan dan mempercepat proses penyembuhan.

agar tercukupi

Kebutuhan nutrisi harus

diperhitungkan sesuai kebutuhan per individu. Oleh sebab itu perlu diketahui status nutrisi pasien sebelum memberikan terapi nutrisi. Analisis asupan pun perlu dilakukan, yaitu asupan sebelum sakit dan selama sakit, yang akan membantu dalam menilai kecukupan asupan pasien dan perencanaan terapi nutrisi selanjutnya.33 Nutritional assessment pada anak merupakan parameter untuk mengevaluasi status kesehatan dan pertumbuhan anak, ada tidaknya faktor risiko yang berkontribusi terhadap penyakit yang diderita, serta sebagai deteksi dini dan penatalaksanaan adanya defisiensi maupun kelebihan nutrisi. Parameter tersebut berupa pengukuran antropometri, parameter biokimia, penilaian klinik dan analisis asupan. Tidak ada parameter terlengkap maupun terbaik dalam mengevaluasi status nutrisi, jadi yang terbaik adalah kombinasi dari keempat parameter tersebut.34 Adapun pemeriksaan antropometri yang dilakukan untuk pasien anak meliputi pengukuran berat badan (BB), panjang badan (PB), pengukuran tebal lipatan kulit triceps (triceps skinfold thicknes), lingkar lengan atas (LLA) dan lingkar kepala, (BB/TB),

dan indek

penilaian berat badan menurut tinggi badan

masa tubuh (IMT). Lingkar

menggambarkan kadar lemak

lengan atas dapat

tubuh, penanda cadangan energi dan protein,

sedangkan tebal lipatan kulit triceps menggambarkan keadaan lemak subkutan dan merupakan gambaran lemak tubuh. Pengukuran lingkar kepala dapat menggambarkan status nutrisi pasien sampai usia tiga tahun dan tidak dapat digunakan untuk keadaan makrosepali, mikrosefali dan hidrosefalus.33 Parameter status nutrisi dengan antropometri menggunakan alat bantu grafik dan tabel dari World Health Organization (WHO) dan Centre for Disease Control (CDC). Grafik WHO untuk BB menurut TB hanya tersedia sampai usia lima tahun, sedangkan grafik CDC tersedia sampai usia 20 tahun. Penggunaan

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

30

kedua grafik tersebut sesuai usia dan jenis kelamin. Ukuran perkembangan anak digambarkan ke dalam grafik pertumbuhan/growth chart. Persentil pasien dibandingkan dengan populasi acuan, misalnya seorang pasien berada pada persentil 10 untuk BB menurut umur, berarti pasien tersebut memiliki BB sama dengan 10 % populasi acuan untuk umur dan jenis kelamin yang sama. 33,34 Masalah nutrisi pada keadaan sakit berhubungan dengan adanya gangguan pencernaan, metabolisme, dan ekskresi nutrisi pada berbagai penyakit. Kebutuhan nutrisi setiap pasien bersifat individual, sehingga berbeda dengan kecukupan nutrisi harian yang direkomendasikan/recomended dietary allowance/RDA. Tujuan pemberian nutrisi pasien yaitu untuk memenuhi kebutuhan rumatan, sebagai tambahan akibat adanya ekskresi nutrisi, sebagai tambahan untuk penyembuhan dan untuk mengganti nutrisi akibat suatu defisiensi atau deplesi. 33 Status nutrisi pada anak akan mempengaruhi tumbuh kembangnya, sehingga diharapkan tidak terjadi gagal tumbuh. Gagal tumbuh/ Failure to Thrive (FTT) merupakan keadaan pertumbuhan anak yang tidak sesuai kurva pertumbuhan normal. Dinyatakan gagal tumbuh apabila berat badan menurut umur berada di bawah persentil tiga dari nilai pertumbuhan standar rata–rata sesuai umur dan jenis kelamin, atau BB telah memotong lebih dari dua garis persentil kurva pertumbuhan. Failure to Thrive menggambarkan suatu keadaan, bukan suatu diagnosis.35,36 Tatalaksana nutrisi ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi, mempercepat penyembuhan dan menekan progresifitas penyakit, sehingga diharapkan tumbuh kembang pasien tidak terganggu ataupun dapat tumbuh kejar sesuai usianya, menekan komplikasi dan meminimalisir kekambuhan. 3,4 2.7.11.1 Kebutuhan Energi dan Komposisi Makronutrien Diagnosis status nutrisi diperlukan untuk menentukan kebutuhan zat gizi, terdapat beberapa rumus dalam menghitung kebutuhan gizi anak. Kebutuhan energi pada keadaan sakit dipengaruhi oleh status gizi, usia, jenis kelamin, penyakit yang diderita atau yang mendasari, besarnya asupan dan keluaran energi. Beberapa komponen yang diperhitungkan antara lain basal metabolic rate (BMR) atau kebutuhan energi basal/KEB, faktor stres dan faktor aktifitas. Basal metabolic

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

31

rate akan mengalami peningkatan pada keadaan demam, infeksi, keganasan, maupun penyakit kronik. Penghitungan BMR pada pasien sindroma nefrotik dilakukan dengan menggunakan kalorimetri indirek, dan apabila alat tersebut tidak tersedia maka dapat dilkukan dengan berbagai rumus seperti Harris–Benedict, WHO, Schofield (W), ataupun Schofield (WH). Rumus Schofield (WH) mempertimbangkan jenis kelamin, TB dan BB aktual, rumus ini lebih sering digunakan karena dinyatakan paling akurat dalam menentukan BMR.

Tabel 2. 2 Rumus Schofield (WH) Usia

Laki–laki

Perempuan

0–3 tahun

(0,167xBB)+(1517,4xTB)–617,6

(16,25xBB)+(1023,2xTB)–413,5

3–10 tahun

(19,6xBB)+(130,3xTB)+414,9

(16,97xBB)+(161,8xTB)+371,2

Sumber : daftar referensi no 37

Kebutuhan energi total diperoleh dari BMR dikalikan faktor aktifitas dan faktor stres. Faktor aktifitas untuk keadaan tirah baring adalah 1, sedangkan untuk keadaan ambulatory sebesar 1,2–1,3. Faktor stres untuk kondisi infeksi berkisar antara 1,2–1,6.33,37 Diet tinggi protein pada sindroma nefrotik merupakan suatu kontra indikasi, karena meskipun diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin, tetapi juga meningkatkan albuminuria dan proteinuria, dimana hal ini akan meningkatkan beban filtrasi glomerulus dan mempercepat terjadinya sklerosis glomerulus tanpa menghasilkan kenaikan albumin serum

ataupun

protein otot. Penatalaksanaan lanjutan dengan diet tinggi protein memiliki konsekuensi dalam mempercepat progresifitas penyakit ginjal, sedangkan pemberian diet rendah protein dapat berisiko terjadi keseimbangan nitrogen negatif, penurunan berat badan, malnutrisi dan gangguan pertumbuhan. Maka, penghitungan kebutuhan protein total diawali dengan menentukan kebutuhan protein sesuai RDA dan menentukan BB ideal. Kebutuhan protein sesuai RDA adalah RDA untuk umur TB, yaitu umur dimana TB saat pemeriksaan berada pada persentil 50. Berat badan ideal adalah BB pada persentil 50 BB menurut TB

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

32

saat pemeriksaan. Berat badan ideal tersebut kemudian dikalikan dengan faktor aktifitas dan faktor stress.3,4,33,38 Pemberian lemak yang disarankan tidak lebih dari 28%, dengan komposisi SAFA 8 %, PUFA 8% dan MUFA 12 %. 3,4. Selain itu sehubungan keadaan dislipidemia pada sindroma nefrotik, dianjurkan untuk menghindari asupan asam lemak trans dan asupan kolesterol <300 mg/hari. Hal ini sesuai rekomendasi National Cholesterol Education Program guidelines (NCEP) dan Heart Association (AHA).

American

Berdasarkan data epidemiologi, klinis, dan studi

laboratorium, tampak bahwa proses penyakit aterosklerosis–kardiovaskular dimulai pada masa anak–anak dan dipengaruhi dari waktu ke waktu oleh interaksi genetik dan berbagai faktor risiko yang dimodifikasi oleh paparan lingkungan. Selain rekomendasi diet di atas, NCEP

dan

AHA menekankan pendekatan

individual yang berisiko tinggi dan berbasis populasi sebagai sarana utama untuk pencegahan primer, modifikasi gaya hidup yang meliputi pola asupan makan dan aktivitas fisik dalam pencegahan dislipidemia, serta faktor risiko lain dalam terjadinya penyakit cardiovascular disease (CVD). Pada anak usia 2 tahun atau lebih ditekankan asupan kalori dan nutrisi tetap optimal untuk proses tumbuh kembang.39

Tabel 2. 3 Batasan kadar kolesterol untuk anak usia 2–19 tahun pada Kadar Normal Borderline Tinggi

Total kolesterol LDL-C (mg/dL (mg/dL) <170 <110 170–199 110–129 ≥200 ≥130 Sumber : daftar referensi no 39

Terdapat beberapa studi klinis yang menilai dampak kuantitatif perubahan pola makan dengan profil lipid, asupan kolesterol dalam diet akan meningkatkan level LDL–C , dimana setiap asupan kolesterol 100 mg / hari akan meningkatkan kolesterol total serum sebanyak 2–3 mg / dL, hal ini setara dengan 70% fraksi LDL.39 2.7.11.2 Kebutuhan mikronutrien dan antioksidan Anjuran pemberian mikronutrien adalah sesuai RDA, berupa niasin, vitamin B1, vitamin B2, vitamin D, kalsium, zink, cuprum, vitamin K, dan zat besi,

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

33

suplementasi diberikan apabila terjadi defisiensi, dan hal ini tentu memerlukan bukti klinis. Penelitian tentang defisiensi mikronutrien pada sindroma nefrotik masih sulit ditemukan.40 Penderita sindroma nefrotik idiopatik rata–rata tidak memiliki perubahan selera makan. Penurunan selera makan biasanya akibat adanya beberapa komplikasi seperti asites permagna, efusi pleura ataupun bronkhopneumonia.3,4,18 Pada terapi kortikosteroid jangka panjang (lebih dari satu tahun), dapat terjadi hipokalsemia, sehingga menyebabkan terjadinya osteoporosis dan osteopenia. Hipokalsemia pada sindroma nefrotik dapat disebabkan oleh adanya efek samping terapi kortikosteroid maupun akibat hilangnya vitamin D terikat protein melalui urin, sehingga turunnya status vitamin D akan memperburuk absorbsi kalsium di usus dan turunnya konsentrasi ion kalsium. Hal ini dapat menyebabkan gejala hiperparatiroidisme sekunder. 3,4,30,31 Untuk itu disarankan suplementasi cholecalciferol (vitamin D3) 400 IU dengan 800 mg kalsium perhari.3 2.7.11.3 Nutrien Spesifik Asam lemak omega tiga, yaitu asam α-linolenat (ALA), asam eicosapentaenoic (EPA), dan asam docosahexaenoic (DHA) selain diperlukan untuk mencapai kecukupan gizi juga sebagai anti inflamasi dan untuk pencegahan penyakit jantung. Pada orang dewasa, rekomendasi asupan ALA dalam mencegah defisiensi adalah 0,6–1,2%, dianjurkan dari bahan makanan sumber seperti biji dan minyak biji rami, kenari dan minyak kenari, serta minyak canola. Eicosapentaenoic dan DHA yang direkomendasikan dari diet untuk mengurangi risiko penyakit kardiovaskular adalah 500 mg, sedangkan untuk pengobatan penyakit jantung dianjurkan 1 g/hari. Sebuah strategi diet untuk mencapai 500 mg/hari adalah dengan mengkonsumsi ikan 2 kali per minggu (terutama ikan berlemak). Alternatif lain untuk mencapai asupan yang disarankan adalah makan makananan yang diperkaya dengan EPA dan DHA ataupun dengan suplementasi minyak ikan.41 Rekomendasi dosis yang dianjurkan untuk anak–anak masih belum jelas, pada kenyataannya fortifikasi asam lemak omega tiga sering didapatkan dalam beberapa formula bayi dan anak–anak.3,42

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

34

2.7.11.4 Kebutuhan cairan dan elektrolit Kebutuhan cairan rumatan per hari pada anak–anak diperhitungkan sesuai berat badannya. Anak dengan BB ≤10 kg adalah 100 mL/24 jam, untuk BB 11–20 kg adalah 1000 mL+50 mL/24 jam untuk setiap kilo gram BB antara 11–20 kg, dan untuk BB > 20 kg adalah 1500 mL+20 mL/kgBB/24 jam untuk setiap kilogram diatas 20 kg.43 Pada sindroma nefrotik diperlukan pertimbangan ada tidaknya oliguria atupun ketidak stabilan volume intravaskular, termasuk adanya edema berat yang tidak responsif terhadap steroid dan adanya hipertensi yang sulit terkontrol. Pada keadaan ini cairan diretriksi menjadi 400 mL/m2 body surface area (BSA) + urin out put, dilanjutkan untuk beberapa hari sampai diuresis normal kembali.3 Diet rendah garam yang dianjurkan adalah 2 g natrium per hari, meskipun demikian pada pasien dengan edema berat, relaps ataupun dalam terapi steroid, tidak dianjurkan menambahkan garam dalam makanan. Pada pasien tidak sensitif steroid asupan natrium yang dianjurkan adalah 23 sampai 46 mg/kgBB/hari dengan maksimal 690 mg/hari. Pada prinsipnya tetap disesuaikan dengan keadaan pasien, bagaimanapun makanan tanpa rasa enak akan sulit diterima anak–anak, sehingga modifikasi pemilihan, pembuatan dan penyajian makanan menjadi sangat penting untuk menarik perhatian dan selera makan anak. 3,4 2.7.12 Prognosis Lebih dari 60% sindroma nefrotik idiopatik mengalami kekambuhan berulang, sehingga pemantauan jangka panjang menjadi sangat penting, baik dalam terapi medis maupun tata laksana nutrisinya. Kasus penyakit ini dikaitkan dengan peningkatan risiko komplikasi yang komplek, seperti edema anasarka, berbagai kejadian

infeksi, penyakit CVD, trombosis, dislipidemia, gagal ginjal akut,

bahkan perkembangan menuju gagal ginjal kronis ataupun gagal ginjal terminal dengan segala dampak psikologisnya, hingga membutuhkan dialisis, ataupun transplantasi ginjal.2,3,18,19 Keadaan yang memperburuk prognosis sebagai berikut, menderita pertama kali pada usia kurang dari dua tahun atau lebih dari enam tahun, disertai oleh hipertensi, disertai hematuria, berdasarkan etiologinya termasuk sindroma nefrotik sekunder, serta pada gambaran histopatologi bukan merupakan kelainan minimal.16

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

35

Sejak ditemukannya pilihan terapi dengan kortikosteroid, angka kematian penderita sindroma nefrotik turun lebih dari 50 %. Sindroma nefrotik dengan lesi minimal akan sembuh spontan dalam waktu tiga tahun (2/3 kasus), atau mengalami penyembuhan tanpa

komplikasi

setelah mendapatkan terapi

kortikosteroid atau agen sitotoksik (95%).15 Edukasi kepada pasien dan orang tua ataupun pengasuh menjadi sangat penting sejak pasien terdiagnosis penyakit ini, karena keluarga atau lingkungan sangat berperan dalam menjaga kepatuhan terapi dan edukasi yang telah diberikan.2 2.7.13 Monitoring, evaluasi dan konseling Kurangnya bukti klinis yang mendukung pilihan dalam pengobatan, dan masih banyak

diperlukannya

pengalaman

dalam

pengelolan

pasien,

maka

penatalaksanaan sindroma nefrotik idiopatik pada anak harus melibatkan spesialis ataupun

nefrolog. Seperti

halnya penyakit kronis lainnya, terdapat masalah

psikososial yang perlu mendapatkan penanganan, yaitu dari segi perilaku, segi kepatuhan terhadap pengobatan, dan ada tidaknya dukungan lingkungan. Mengingat kejadian relaps sindroma nefrotik idiopatik sebesar 60 %, maka pemantauan jangka panjang

adanya proteinuria dan status cairan

merupakan bagian dari manajemen, meskipun pasien sudah selesai menjalani perawatan maupun pengobatan dan dinyatakan telah sembuh. Orang tua atau pengasuh harus dilatih untuk memonitor proteinurianya, yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan dipstick urin, dan melakukan pengukuran BB. Disarankan untuk konsultasi setiap terjadi keadaan edema yang diiringi peningkatan BB atau terjadi proteinuria lebih dari 2 hari. Deteksi dini kekambuhan dengan cara ini dapat memungkinkan inisiasi dini pengobatan steroid sebelum berkembangnya edema dan komplikasi lain.2 Di bidang nutrisipun, berbagai keadaan yang terjadi akan mempengaruhi penatalaksanaan, baik jumlah, jenis dan komposisinya. Mengingat sensitifitas terapi, lamanya remisi dan berulangnya kekambuhan masih sulit diprediksi, maka sangat dianjurkan kepada orang tua ataupun pengasuh untuk konsultasi mengenai nutrisi apabila tanda–tanda relaps tersebut mulai timbul.4

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

36

2.7.14 Interaksi Obat Obat dan gizi, banyak menimbulkan interaksi, keduanya sama–sama melalui proses penyerapan dan metabolisme serta dikeluarkan melalui organ yang sama. Pada status gizi buruk dapat terjadi gangguan metabolisme obat. Kelompok berisiko tinggi untuk terjadinya interaksi obat adalah terdapatnya penyakit kronis, gangguan

fungsi hati, ginjal dan gastrointestinal, keadaan dehidrasi, sedang

dalam terapi obat dengan jumlah lebih dari satu jenis dalam jangka lama, serta pada usia yang ekstrem dengan perubahan massa tubuh, jumlah cairan tubuh dan konsentrasi protein plasma. Terapi obat dapat memiliki efek yang merugikan pada status gizi. Interaksi obat dapat menimbulkan xerostomia, gangguan rasa dan penciuman, turunnya selera makan, penurunan motilitas gastrointestinal, mengganggu metabolisme dan ekskresi nutrisi, mengganggu

absorbsi nutrisi

maupun obat, sehingga berhubungan dengan efektifitas obat maupun

risiko

terjadinya defisiensi nutrisi. Adanya korelasi langsung antara jumlah obat yang dikonsumsi dan efek samping yang terjadi dapat diperberat oleh kondisi fisik pasien, status gizi, umur dan penyakit yang mendasari, sehingga terapi obat dapat berdampak pada status gizi, baik positif maupun negatif. Oleh karena itu penilaian status gizi merupakan bagian yang tidak dapat diabaikan dalam pemberian terapi farmakologi.43 2.7.14.1 Captopril Captopril adalah suatu Angiotension Converting Enzyme (ACE) Inhibitors. Captopril digunakan untuk pengobatan hipertensi, gagal jantung kongestif, mencegah perkembangan disfungsi ginjal yang disebabkan oleh hipertensi dan diabetes mellitus, sering dikombinasikan dengan diuretik dan atau digoxin (Lanoxin). Cara kerja dengan

dilatasi

pembuluh darah, dan meningkatkan

efisiensi pemompaan jantung dan output pada pasien dengan gagal jantung. Dilatasi pembuluh darah dengan mencegah pembentukan angiotension II, karena angiotensin II menyebabkan penyempitan arteri dan meningkatnya tekanan darah sehingga penghambatan akan menyebabkan vasodilatasi arteri dan menurunkan tekanan darah. Bersama dengan besi, captopril akan menurunkan bioavailabilitas obat dengan membentuk kompleks stabil

besi–captopril. Bersama dengan

magnesium, captopril akan meningkatkan kadar magnesium limfosit. Bersama

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

37

dengan kalium, captopril akan meningkatkan kadar kalium limfosit, sehingga secara umum akan meningkatkan kadar kalium dalam darah. Bersama sodium, captopril akan menyebabkan hiponatremia dan kemungkinan meningkatkan efek anti–aldosteron. Bersama dengan seng, captopril akan mengikat ion seng, sesuai dengan ligan ion seng, memiliki gugus sulfhidril sebagai ACE ligan, dan rute ekskresi akan diekskresikan terutama melalui ginjal.44,45 2.7.14.2 Furosemide Furosemide adalah suatu diuretika yang bekerja dengan menghambat reabsorbsi ion Na di jerat henle ginjal. Nama dagang yang sering dipakai adalah lasix. Furosemid meningkatkan ekskresi elektrolit (kalium, magnesium dan kalsium), sehingga perlu suplementasi akibat kehilangan tersebut. Nutrisi lain mungkin hilang akibat ekskresi urin yang meningkat. Suplementasi seng, vitamin B1, vitamin B6, riboflavin, dan vitamin C mungkin diperlukan.46,47 Kemungkinan juga dapat kehilangan nafsu makan dan gangguan lambung serta mulut terasa kering pada pemakaian diuretik ini.43 2.7.14.3 Prednison Pada saluran pencernaan dapat menimbulkan esofagitis ulseratif, anoreksia, muntah, konstipasi, diare, peningkatan kadar enzim hati (biasanya reversibel), iritasi lambung, hepatomegali, peningkatan nafsu makan dan berat badan, kandidiasis orofaringeal, pankreatitis, ulkus peptikum, perforasi usus (terutama pada pasien dengan penyakit inflamasi usus), serta distensi muskuloskeletal

dapat

abdomen. Pada

menyebabkan arthralgia, meningkatnya risiko patah

tulang, kehilangan massa otot, kelemahan otot, mialgia, osteopenia, osteoporosis , fraktur patologis tulang panjang, serta miopati steroid. Komplikasi pada kelenjar endokrin biasanya

setelah pemakaian jangka panjang, dapat menyebabkan

insufisiensi adrenal, amenore, perdarahan pasca menopause atau ketidakteraturan menstruasi lainnya, menurunnya toleransi glukosa, diabetes mellitus (onset baru atau manifestasi laten), glukosuria, hiperglikemia, hipertiroidisme, hipotiroidisme, meningkatnya kebutuhan insulin atau obat hipoglikemik oral pada penderita diabetes, peningkatan kadar lipid, keseimbangan nitrogen negatif akibat katabolisme protein, adrenocortical dan pituitary unresponsiveness sekunder

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

38

(terutama pada saat stres, seperti pada trauma, pembedahan atau penyakit), gangguan pertumbuhan pada pasien anak.48

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

39

BAB 3 KASUS

Pasien pada serial kasus ini adalah anak dengan rentang usia 1–8 tahun yang sedang menjalani perawatan di sebuah rumah sakit, dengan sindroma nefrotik idiopatik anak. Dilakukan pemantauan dan intervensi nutrisi minimal 5 (lima) hari.

Tabel 3. 1 Karakteristik umum data pasien Karakteristik Usia Jenis kelamin Status gizi SGNA Lama rawat Keterangan

Kasus 1 3 tahun Laki–laki Kurang B 8 hari Pulang

Kasus 2 15 bulan Laki-laki Kurang B 10 hari Pulang

Kasus 3 4 tahun Laki-laki Kurang B 7 hari Pulang,atas permintaan sendiri

Kasus 4 8 tahun Perempuan Kurang B 9 hari Pulang

3.1. Kasus 1 An. G, seorang anak laki–laki berusia tiga tahun, beragama Islam, masuk rumah sakit pada tanggal 24 Januari 2013 dan dilakukan skrining gizi pada tanggal 25 januari 2013. Berdasarkan skrining gizi tersebut, an. G memerlukan pemantauan Tim Terapi Gizi (TTG), karena asupan yang tidak adekuat sejak lima hari SMRS, kadar albumin < 3 g/dL (1,5 mg/dL), dan adanya penyakit dengan stres metabolik. Hasil anamnesis yang dilakukan terhadap ibu kandung pasien, menyatakan bahwa keluhan utama pasien dibawa ke RS karena bengkak seluruh tubuh. Riwayat perjalanan penyakitnya adalah dua minggu SMRS pasien menderita batuk, pilek dan demam, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Satu minggu SMRS, saat bangun tidur pagi hari, kedua mata pasien tampak sembab, yang berkurang saat siang hari. Lima hari SMRS kedua mata semakin sembab dan sembab tidak berkurang saat siang hari,

disertai bengkak

pada kedua kaki serta perut

bertambah besar, mual tetapi tidak muntah, masih mau makan nasi lauk ikan tiga kali sehari sebanyak tiga sampai empat suap, dan susu tiga kali satu botol, air putih empat kali setengah gelas, BAB tidak ada keluhan, BAK biasanya sekitar

39 Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

40

enam kali sehari menjadi empat kali dengan jumlah yang lebih sedikit pula. Pasien kemudian dibawa berobat ke klinik dekat rumah, diberi obat untuk tiga hari dan disarankan untuk dibawa ke RS, tidak diketahui obat apa yang diberikan. Ternyata setelah obat habis tidak ada perubahan, bengkak pada mata dan kaki semakin bertambah, perut semakin membesar, BAK hanya tiga kali sehari dalam jumlah yang sangat sedikit, sekitar seperempat gelas setiap kali BAK. Satu hari SMRS keluhan semakin memberat, perut semakin kencang, tampak sesak, batuk berdahak tetapi tidak panas, mata semakin sembab, kedua kaki semakin membengkak, pasien tidak mau makan lagi, hanya minum susu sekitar empat kali sepertiga botol, tidak muntah, BAK satu kali sebanyak kurang lebih seperempat gelas, tidak BAB empat hari. Kemudian pasien di bawa ke RSUT. Pasien merupakan anak tunggal, pertumbuhan dan perkembangannya tidak mengalami gangguan. Riwayat imunisasi dasar lengkap di bidan. Pasien lahir dengan BB 3000 gram, PB lahir tidak diketahui, lingkar kepala tidak diketahui, lahir spontan di bidan, cukup bulan. Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak memiliki riwayat sering minum obat–obatan, riwayat penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal. Ibu pasien juga tidak mengalami suatu penyakit berat maupun minum obat-obat tertentu pada saat kehamilannya Riwayat nutrisi pasien, memperoleh air susu ibu (ASI) sampai usia dua tahun, susu tambahan sejak usia tiga bulan sampai sekarang. Riwayat penurunan BB dalam enam bulan terakhir disangkal. Asupan sehari–hari pasien menyukai sayur bening dan sop. Asupan makan sebelum sakit, pasien biasa makan nasi tiga kali setengah centong sehari, dengan sayur bening, lauk ikan atau telur atau ayam, minum susu formulasekitar enam botol (perbotol 250 mL) sehari, biskuit sesekali. Lima hari SMRS pasien hanya makan nasi lauk ayam kurang lebih setengah porsi dari biasanya, susu tiga kali satu botol, air putih sekitar empat kali setengah gelas. Saat 24 jam terakhir, pasien tidak mau makan diet lunak RS, hanya minum susu formula bawaan sendiri sebanyak empat botol, tidak mau susu yang diberikan oleh RS, biskuit tiga kali dua keping, tidak muntah, belum BAB lima hari, BAK masih sedikit. Data BB terakhir sebelum sakit, dua minggu SMRS yaitu 12 kg. Pasien diskrining setelah hari kedua menjalani perawatan.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

41

Data obyektif diperoleh tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 120 x/menit, pernafasan 28 x/menit, suhu 36,6 0C. Pada pemeriksaan fisik tampak kepala normosepal, rambut tipis kemerahan, edema kedua palpebra, konjungtiva tidak anemis, tonsil tidak hipertropi dan tidak hiperemia, pada pemeriksaan fisik dada tidak tampak iga gambang, terdapat ronkhi pada kedua lapangan paru, jantung tidak terdapat murmur ataupun gallop, abdomen tampak cembung, tegang, hepar lien sulit dinilai, shifting dullness (+), bising usus normal, pekak. Pada kemaluan dan

kedua kaki edema, kapasitas fungsional mampu berjalan perlahan dan

memegang botol minum sendiri. Hasil

laboratorium

Hb

11,3

mg/dL,

leukositosis

(11.900/μL),

hipoalbuminemia (1,5 mg/dL), natrium 141 mmol/L, kalium 5,06 mmol/L, klorida 113 mmol/L, ureum 31 mg/dL, kreatinin 0,8 mg/dL, dislipidemia (trigliserida 331 mg/dL, kolesterol total 476 mg/dL, HDL 43 mg/dL, LDL 408 mg/dL), titer ASTO (-). Pada pemeriksaan urin sewaktu tampak kuning keruh, pH 6, berat jenis 1025, proteinuria (++), glukosa (-), darah samar (++), eritrosit 9–12/LPB, leukosit 2– 3/LPB,

silinder

0–1/LPB.

Pemeriksaan thorak

foto

tampak

gambaran

bronkhopneumonia. Selama pemantauan, data laboratorium menunjukkan perbaikan. Pada pemeriksaan antropometri, TB 93 cm (P 25-50) (sesuai TB anak usia dua tahun tujuh bulan), LLA 14 cm (-1 SD > Z >-2 SD), lingkar kepala 47 cm (P10), BB 15 kg, berat badan dua minggu sebelum sakit 12 kg, berat badan ideal 14 kg. Penentuan status gizi menggunakan BB sebelum sakit, maka berdasarkan berat badan menurut tinggi badan adalah sebesar 85,7 %, kesan gizi kurang. Obat yang diberikan oleh dokter penanggung jawab pasien secara intra vena adalah lasix 2x20 mg dan cefotaxim 2x750 mg, secara oral aldakton 2x6,25 mg, captopril 3x0,25 mg, prednison 3x2 tab dan mucera sirup 3x1 sendok teh, zamel sirup 3x1 sendok teh.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

42

Gambar 3. 1 Analisis asupan makronutrien kasus 1, sebelum sakit, satu minggu SMRS, dan 24 jam terakhir

Asupan sebelum sakit 1440,3 kkal (protein 62,8 g, lemak 55,4 g dan KH 172 g), asupan selama sakit lima hari SMRS 720 kkal (protein 31,4 g, lemak 27,7 g, dan KH 86 g), dan asupan 24 jam terakhir 833,5 kkal (protein 36,4 g, lemak 33,5 g dan KH 96,6 g). Keseimbangan cairan (-) 280 mL, diuresis 1,7 mL/kgBB/24 jam. Diagnosis kerja gizi pasien ini adalah sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia,

hipertensi,

gizi

kurang,

hipermetabolisme

sedang

(leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia) Rencana pemberian nutrisi diawali dengan perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus Schoefield (BB-TB). Kebutuhan energi basal diperoleh 795,586 kkal, dengan faktor stres 1,3 sehingga KET sebesar 1000 kkal, protein 22 g, sumber protein dengan bioavailabilitas tinggi. lemak 28 g (25%) dengan komposisi MUFA 10 %, PUFA 8 %, dan SAFA 7 %, karbohidrat 166 g (66 %), saran pemberian mikronutrien sesuai RDA berupa niacin (vitamin B3) 6 mg, tiamin (vitamin B1) 0,5 mg, riboflavin (vitamin B2) 0,5 mg, vitamin B6 0,5 mg, vitamin C 40 mg, vitamin D 5 μg, calsium 500 mg, zink 8,2 mg, copper 340 mcg, vitamin K 15 μg, omega tiga sirup 3 x 1 cth. Kebutuhan cairan 1100 mL/24 jam. Data analisis mikronutrien (pada lampiran data nutrisurvey) cukup baik.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

43

Berdasarkan analisis asupan 24 jam terakhir telah mencapai 80 % KET maka pemberian nutrisi sesuai KET.

Rute pemberian nutrisi secara oral, frekuensi

pemberian terbagi dalam tiga kali makan utama dan dua kali selingan berupa diet lunak bubur nasi rendah garam, sebanyak 2 g natrium per hari dan susu formula RS. Monitoring dan evaluasi dilakukan setiap hari, meliputi keadaan klinis, tanda vital, analisis dan toleransi asupan, pengukuran berat badan, penilaian laboratorium analisis urin setiap hari, kadar Hb, leukosit, profil lipid dan albumin setiap tiga hari. A

B

Gambar 3. 2 Grafik Tanda vital selama pemantauan Kasus 1 (A. Grafik tekanan darah dan frekuensi nadi, B. Grafik respirasi dan suhu)

Pemantauan pada pasien ini dilakukan dalam tujuh hari sejak hari pertama pemeriksaan (H0) pada tanggal 25 Januari 2013 dilanjutkan hari pertama pemantauan (H1) sampai hari kepulangannya pada tanggal 31 Januari 2013 (H6). Selama pemantauan, keadaan klinis dan asupan makan pasien semakin membaik. Kebutuhan energi total sudah terpenuhi pada pemantauan hari ke–3. Asupan protein sudah di atas rekomendasi sejak sebelum sakit. Produksi urin dan penurunan BB selama pemantauan berbanding terbalik, yaitu peningkatan diuresis diikuti penurunan berat badan.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

44

A

B

C

D

Gambar 3. 3 Grafik asupan makronutrien selama pemantauan Kasus 1 (A. Asupan energi, B. Asupan protein, C. Asupan lemak, D. Asupan karbohidrat)

Hal penting yang perlu dilakukan untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pasien ini adalah keadaan klinis, analisis dan toleransi asupan, keseimbangan cairan, tanda vital, pengukuran berat badan, penilaian laboratorium analisis urin dan elektrolit setiap hari, kadar Hb, leukosit, profil lipid dan albumin setiap tiga hari. Namun demikian tidak semua pemeriksaan laboratorium tersebut dapat dilaksanakan, dikarenakan berbagai pertimbangan. A

B

Gambar 3. 4 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan selama pemantauan Kasus 1 (A. Produksi urin,B. Penurunan berat badan)

Keadaan hipoalbuminemia pada pasien ini diatasi pada hari ke–3 pemantauan dengan melakukan intervensi menggunakan albumin 20% sebanyak 50 mL (selama satu kali dari 3 kali yang direncanakan karena pertimbangan administrasi), dan tidak dilakukan pemeriksaan ulang albumin serum sampai pasien dipulangkan. Namun demikian pada hari ke tiga pemantauan dilakukan

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

45

pemeriksaan urin kuantitatif dan urin rutin. Hasil pemeriksaan urin kuantitatif adalah 2436 mg/24 (normalnya 24–141 mg/24 jam). Pada pemantuan hari ke–4 dilakukan pemeriksaan urin rutin dan hasilnya menunjukkan perbaikan dibanding pemeriksaan awal, yaitu gambaran mikroskopis eritrosit 3–8 /LPB, proteiunuria (+), dan darah samar (+) Pasien dipulangkan dalam kondisi klinis yang membaik, dan tidak dilakukan pemeriksaan urin kembali saat hari kepulangan. Kedua orang tua pasien telah diberikan edukasi nutrisi untuk di rumah. Tujuan pemberian nutrisi untuk memenuhi kebutuhan, menekan progresifitas dan kekambuhan penyakit, memperbaiki status nutrisi dan optimalisasi pertumbuhan. 3.2. Kasus 2 Pasien an R, seorang anak laki–laki lima belas bulan, beragama Islam. Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 13 Pebruari 2013 dan dilakukan skrining gizi pada tanggal 14 Pebruari 2013. Berdasarkan skrining gizi tersebut, an. R memerlukan pemantauan TTG, karena asupan yang tidak adekuat sejak satu minggu SMRS, kadar albumin < 3 g/dL (1,4 mg/dL), dan adanya penyakit dengan stres metabolik. Hasil anamnesis yang dilakukan terhadap ibu kandung pasien, menyatakan bahwa keluhan utama pasien dibawa ke RS akibat bengkak seluruh tubuh. Riwayat perjalanan penyakitnya adalah tiga minggu SMRS pasien menderita batuk, pilek dan demam, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien berobat ke puskesmas sebanyak dua kali baru sembuh. Satu minggu SMRS, saat bangun tidur pagi hari, kedua mata pasien tampak sembab, dan sembab tidak berkurang saat siang hari. disertai bengkak pada kedua kaki serta perut bertambah besar, mual tetapi tidak muntah, masih mau makan setengah porsi biasanya, BAB tidak ada keluhan, BAK biasanya berkurang dari biasanya. Semakin hari bengkak bertambah dan disertai bengkak pada perut dan kaki, tidak demam maupun batuk, kemudian pasien di bawa ke RSUT. Pasien merupakan anak ke dua dari dua bersaudara, lahir dengan BB lahir 3000 gram, PB 49 cm, lingkar kepala tidak diketahui, lahir cukup bulan di rumah sakit melalui sectio sesaria, dengan riwayat persalinan yang sama sebelumnya. Riwayat imunisasi lengkap di bidan. Pertumbuhan dan perkembangan tidak

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

46

mengalami gangguan. Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak memiliki riwayat sering minum obat–obatan, riwayat penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal. Ibu pasien juga tidak mengalami suatu penyakit berat maupun minum obat-obat tertentu pada saat kehamilannya. Riwayat nutrisi pasien, asupan ASI dari bayi sampai usia 12 bulan, susu formula sejak usia dua minggu sampai sekarang. Enam bulan terakhir tidak terjadi penurunan BB. Asupan sebelum sakit, sarapan nasi ½

centong, sayur bening

bayam, 1/2 potong tempe goreng, 1/2 potong ikan, makan siang nasi ½ centong, sayur bening campur, tempe/tahu 1/2 potong, telur dadar ½ butir, makan malam nasi ½ centong, sayur sop ayam. Selingan berupa susu formula dua gelas perhari, buah pisang/jeruk 1 buah. Asupan selama sakit satu minggu sebelum masuk RS berupa bubur nasi ½ mangkok bayi dengan kuah sayur bening, teh manis satu gelas, susu formula dua gelas. Asupan 24 jam terakhir berupa bubur nasi dengan kuah sayur 3x 3 sampai empat suap, lauk dan sayur tidak dimakan, snack tidak dimakan, susu formula 3x1/2 gelas. Data BB terakhir sebelum sakit, tiga minggu SMRS yaitu 9 kg. Pasien di skrining setelah hari kedua menjalani perawatan. Data obyektif diperoleh tekanan darah 100/60 mmHg, nadi 130 x/menit, pernafasan 28 x/menit, suhu 36,80C. Pada pemeriksaan fisik tampak kepala normosepal, rambut tipis kemerahan, edema kedua palpebra, konjungtiva anemis, tonsil tidak hipertropi dan tidak hiperemia, pada pemeriksaan fisik dada tidak tampak iga gambang, tidak terdapat ronkhi pada kedua lapangan paru, jantung tidak terdapat murmur ataupun gallop, abdomen tampak cembung, tegang, hepar lien sulit dinilai, shifting dullness (+), bising usus normal, pekak. Pada kemaluan dan

kedua kaki edema, kapasitas fungsional mampu duduk, belum mampu

berjalan, mampu memegang botol minum sendiri. Hasil laboratorium menggambarkan keadaan anemia (Hb 10,6 mg/dL), leukositosis (14.900/μL), hematokrit 30 %, trombosit 606.000, hipoalbuminemia (1,4 mg/dL), kadar natrium 135 mmol/L, kalium 3,02 mmol/L, klorida 111 mmol/L, ureum 40 mg/dL, kreatinin 0,5 mg/dL, dislipidemia (kolesterol total 573 mg/dL, trigliserida 1296 mg/dL, HDL 32 mg/dL, LDL 277 mg/dL), titer ASTO (). Pada pemeriksaan urin sewaktu tampak kuning keruh, pH 6, berat jenis 1030,

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

47

proteinuria (++), glukosa (-), darah samar (+++), eritrosit perlapangan pandang besar tampak penuh, leukosit 1–2/LPB, silinder (-), epitel (+).

Selama

pemantauan hematuria menunjukkan perbaikan, begitu juga hipoalbuminemianya. Pada pemeriksaan antropometri, TB 76 cm (P10-25), hal ini sesuai TB anak usia dua belas setengah bulan, LLA 13 cm (-1 SD > Z >-2 SD), BB 12 kg, berat badan tiga minggu sebelum sakit 9 kg, berat badan ideal 10,4 kg. Penentuan status gizi menggunakan BB sebelum sakit, maka berdasarkan berat badan menurut panjang badan adalah 87 %, kesan gizi kurang. Obat yang diberikan oleh dokter penanggung jawab pasien secara intra vena adalah lasix, 3x10 mg, cefotaxim 3x250 mg, albumin 20% sebanyak 50 mL selama tiga hari berturut–turut. Secara oral spironolakton 2x6,25 mg, prednison 2 tablet pagi, 2 tablet siang dan 1 tablet sore, captopril 3x2 mg. Analisis asupan sebelum sakit, selama satu minggu SMRS, dan 24 jam terakhir terlihat pada gambar 3.5., dengan keseimbangan cairan (-) 170 mL, diuresis 2,3 mL/kgBB/24 jam.

ANALISIS MAKRONUTRIEN

Sebelum sakit

98,1

Selama sakit 85 24 jam terakhir

47,2 34,3 30,7 16,9

11,7

Protein (g)

11,7

8,7

Lemak (g)

KH (g)

Gambar 3. 5 Analisis asupan makronutrien Kasus 2, sebelum sakit, satu minggu SMRS, dan 24 jam terakhir

Asupan sebelum sakit 798,5 kkal (protein 34,3, g, lemak 30,7 g dan KH 98,1 g), asupan selama sakit lima hari SMRS 522,8 kkal (protein 16,9 g, lemak 11,7 g, dan KH 85 g), dan asupan 24 jam terakhir 318,1 kkal (protein 11,7 g,

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

48

lemak 8,7 g dan KH 47,2 g). Keseimbangan cairan (-) 170 mL, diuresis 2,3 mL/kgBB/jam. Diagnosis kerja gizi pasien ini adalah sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi,

anemia,

gizi kurang,

hipermetabolisme

sedang (leukositosis,

hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia) Rencana pemberian nutrisi diawali dengan perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus Schoefield (BB-TB). Kebutuhan energi basal 537,127 kkal, dengan faktor stres 1,3 sehingga KET sebesar 700 kkal, protein 17 g, disarankan protein bioavailabilitas tinggi. Lemak 19 g (25%) dengan komposisi MUFA10 %, PUFA 8 %, dan SAFA 7 %, karbohidrat 114 g (65%), pemberian mikronutrien disarankan sesuai RDA berupa zat besi 8 mg, Niacin 6 mg, vitamin B1 0,5 mg, vitamin B2 0,5 mg, vitamin B6 0,5 mg, vitamin C 40 mg, vitamin D 5 μg, calsium 500 mg, zink 8,2 mg, copper 340 mcg, vitamin K 15 μg, omega tiga sirup 3 x 1 cth. Kebutuhan cairan 900 mL/24 jam. Data analisis mikronutrien (pada lampiran data nutrisurvey) kurang baik. Berdasarkan pertimbangan analisis asupan 24 jam terakhir maka pemberian nutrisi dimulai dari 80% KET, yaitu 560 kkal, protein 17 g, lemak 16 g, karbohidrat 88 g. Rute pemberian nutrisi secara oral, frekuensi pemberian terbagi dalam tiga kali makan utama dan dua kali selingan, berupa diet lunak bubur nasi rendah garam, sebanyak 2 g natrium per hari dan susu formula RS. Pemantauan pada pasien ini dilakukan dalam sembilan hari sejak tanggal 14 Pebruari 2013 yang merupakan hari pertama pemeriksaan (H0) dilanjutkan hari pertama pemantauan (H1) sampai dengan hari kepulangan pada tanggal 22 Pebruari 2013 (H8). Selama pemantauan, keadaan klinis

pasien semakin

membaik, demikian juga asupan nutrisinya.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

49

Gambar 3. 6 Grafik Tanda vital selama pemantauan Kasus 2 (A. Grafik tekanan darah dan frekuensi nadi, B. Grafik respirasi dan suhu)

Asupan energi pasien semakin membaik meskipun kebutuhan energi total baru tercapai pada hari ke–6 pemantauan, demikian juga dengan asupan proteinnya.

Gambar 3. 7 Grafik asupan makronutrien selama pemantauan Kasus 2 (A. Asupan energi, B. Asupan protein, C. Asupan lemak, D. Asupan karbohidrat)

Produksi urin selama pemantauan meningkat diikuti oleh menurunnya BB, sehingga bengkak semakin berkurang dan kondisi klinis pasien semakin membaik.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

50

Gambar 3. 8 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan Kasus 2 (A. Produksi urin, B. Penurunan berat badan)

Monitoring dan evaluasi terhadap pasien ini adalah keadaan klinis, analisis dan toleransi asupan, yang akan ditingkatkan pada planning sebesar 10%–20% dalam satu sampai dua hari sampai target kebutuhan terpenuhi, keseimbangan cairan, tanda vital, pengukuran berat badan, penilaian laboratorium analisis urin dan elektrolit setiap hari, kadar Hb, leukosit, profil lipid dan albumin setiap tiga hari. Hipoalbuminemia pada pasien ini mengalami perbaikan dari saat datang 1,4 mg/dL menjadi 3,2 mg/dL pada pemeriksaan laboratorium terakhir selama perawatan, yaitu pada sehari menjelang dipulangkan. Perbaikan ini didukung oleh koreksi albumin pada pasien tersebut selama tiga hari berturut–turut sejak hari pertama pemeriksaan. Tetapi keadaan tersebut tidak diikuti oleh perbaikan keadaan proteinurianya, yang menetap positif dua. Hipoalbuminemia pada pasien ini diatasi dengan melakukan intervensi albumin 20% sebanyak 50 mL (selama tiga hari berturut–turut, kemudian dilakukan pemeriksaan ulang kadar albumin pada hari ke dua pemantauan dan juga hri kedua intervensi, yaitu sebesar 2,8 mg/dL dan hari empat pemantauan sebesar 3,2 mg/dL). Meskipun keadaan klinis pasien ini menunjukkan perbaikan, tetapi hasil pemeriksaan laboratorium di akhir perawatan pada pasien ini belum semuanya mencapai normal. Hasil pemeriksaan urin sewaktu menunjukkan masih terdapat proteinuria (++), darah samar (+), pemeriksaan kolesterol 631 mg/dL, trigliserida 483 mg/dL, ureum 15 mg/dL, kreatinin 0,5 mg/dL, natrium 130 mmol/L, kalium 3,3 mmol/L dan klorida 99 mmol/L. Pasien dipulangkan dalam kondisi perbaikan klinis, dengan asupan makan sudah mencapai total. Edukasi nutrisi untuk di rumah telah disampaikan ke ayah dan ibu pasien. Nutrisi diberikan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan,

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

51

mempercepat penyembuhan, menekan progresifitas dan kekambuhan penyakit, memperbaiki status nutrisi dan tercapainya pertumbuhan yang optimal.

3.3. Kasus 3 Pasien an. F. seorang anak laki–laki

berusia empat tahun sepuluh bulan,

beragama Islam, masuk rumah sakit pada tanggal 27 Januari 2013 dan dilakukan skrining gizi pada tanggal 28 Januari 2013. Berdasarkan skrining gizi tersebut, an. F memerlukan pemantauan TTG karena kadar albumin < 3 g/dL (1 mg/dL), dan adanya penyakit dengan stres metabolik. Hasil anamnesis yang dilakukan terhadap ibu kandung pasien, keluhan utama pada pasien ini adalah adanya bengkak seluruh tubuh yang belum membaik. Riwayat perjalanan penyakit pasien ini pada satu bulan SMRS saat bangun tidur tampak sembab di kedua kelopak mata, disertai bengkak di kedua kaki, tidak demam, tidak batuk, nafsu makan tidak menurun, BAB tidak ada keluhan, BAK lebih jarang dari biasanya. Kemudian pasien dibawa oleh orang tuanya berobat ke klinik 24 jam tetapi kemudian dirujuk ke dokter spesialis praktek swasta, dan dilakukan pemeriksaan laboratorium urin dan darah. Pasien tidak teratur minum obat, obat yang diresepkan oleh dokter hampir tidak pernah diminum. Dua minggu SMRS tampak bengkak semakin memberat sampai ke perut, pasien dibawa berobat jalan kembali di dokter sebelumnya, telah dianjurkan menjalani rawat inap tetapi orang tua pasien menolak, pasien masih tidak mau minum obat. Satu minggu SMRS bengkak bertambah berat disertai bengkak pada kemaluan, pasien kembali dibawa kontrol ke dokter yang sama, dilakukan pemeriksaan USG pada bagian perut, pasien masih menolak minum obat, makan masih seperti biasanya, BAB tidak ada keluhan sedangkan BAK semakin jarang dan sedikit, kemudian pasien dibawa ke RSUT. Pasien merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara, lahir dengan BB lahir 3500 gram, panjang badan tidak diketahui, lingkar kepala tidak diketahui, lahir cukup bulan di bidan. Riwayat imunisasi lengkap juga di bidan. Pertumbuhan dan perkembangan tidak mengalami gangguan. Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak memiliki riwayat sering minum obat–obatan, riwayat penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal. Ibu pasien

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

52

juga tidak mengalami suatu penyakit berat maupun minum obat-obat tertentu pada saat kehamilannya Riwayat asupan ASI sampai usia dua tahun, susu tambahan sejak umur tiga bulan. Penurunan BB dalam enam bulan terakhir disangkal. Asupan sebelum sakit, sarapan susu kental manis satu gelas, roti manis satu potong sedang, makan siang nasi satu centong, sayur sop , telur satu buah, makanan selingan berupa buah pepaya satu potong sedang. Makan malam

nasi satu centong, ikan kembung

satu ekor, tempe atau tahu goreng satu potong sedang, sayur bening, kerupuk satu genggam. Asupan selama sakit sejak satu bulan SMRS tidak ada perubahan. Asupan 24 jam terakhir berupa bubur nasi diet RS dua kali setengah porsi, susu ultra satu kotak 250 mL, roti manis satu potong sedang, pisang satu buah. Data BB terakhir sebelum sakit, enam minggu SMRS yaitu 16 kg. Skrining dilakukan pada hari kedua perawatan. Data obyektif diperoleh tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 118 x/menit, pernafasan 28 x/menit, suhu 36,80C. Pada pemeriksaan fisik tampak kepala normosepal, rambut hitam, edema kedua palpebra, konjungtiva tidak anemis, tonsil tidak hipertropi dan tidak hiperemia, pada pemeriksaan fisik dada tidak tampak iga gambang, tidak terdapat ronkhi pada kedua lapangan paru, jantung tidak terdapat murmur ataupun gallop, abdomen tampak cembung, tegang, hepar lien sulit dinilai, shifting dullness (+), bising usus normal, pekak. Pada kemaluan dan kedua kaki edema, kapasitas fungsional mampu duduk dan belum berjalan. Hasil laboratorium Hb 11,5 mg/dL, gambaran lain tampak leukositosis (18.100/μL), hematokrit 32 %, trombosit 419.000 mg/dL, hipoalbuminemia (1 mg/dL), protein total 3,3 mg/dL. Pada pemeriksaan urin tampak kuning keruh, berat jenis 1025, pH 6,5, proteinuria (+), glukosa (-), darah samar (+), hematuria (eritrosit 3–7/LPB), leukosit 5–10/LPB, epitel (+), silinder hyalin 1–2/LPB. Kadar elektrolit normal, yaitu natrium 137 mmol/L, kalium 4,3 mmol/L, klorida 107 mmol/L , fungsi ginjal normal, ditandai kadar ureum 26 mg/dL dan kreatinin 0,5 mg/dL. Enzim transaminase meningkat, yaitu SGOT 57 mg/dL, SGPT 53 mg/dL, hiperkolesterolemia, kolesterol total 547 mg/dL, titer ASTO (-). Data laboratorium saat menjalani rawat jalan yaitu saat kontrol pertama satu bulan SMRS, hasil laboratorium urin kuning keruh, berat jenis 1020, pH 6, protein (+),

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

53

urobilinogen (+), leukosit 5–7/LPB, eritrosit 0–1/LPB, epitel (+), silinder granula 0–1, krital oksalat (+++), bakteri (+). Pada pemeriksaan darah, Hb 15,2 mg/dL, leukosit 12.100/ μL, hematokrit 46%, trombosit 395.000 mg/dL, MCV 85 fL, MCH 30,2 pq, MCHC 37,6 %, LED 105, ureum 38,5, kreatinin 0,6. Protein total 4,4 mg/dL, albumin 3,4 mg/dL. Gambaran darah tepi, basofil 0, eosinofil 2%, sel batang 2%, netrofil segmen 50%, limfosit 40 %, monosit 60%. Data kontrol kedua, dua minggu SMRS hasil laboratorium urin kuning keruh, berat jenis 1030, pH 5, protein (++), darah samar (+), urobilinogen (+), leukosit 3–5/LPB, eritrosit 1–3/LPB, epitel (+), silinder granula 0–1, krital oksalat (+++), bakteri (+). Data kontrol ketiga, satu minggu SMRS, hasil laboratorium urin sewaktu tampak kuning keruh, berat jenis 1030, pH 5, protein (++), darah samar (+), urobilinogen (+), leukosit 6–9/LPB, eritrosit 4–5/LPB, epitel (+), silinder granula 1–2, krital amorf (++), bakteri (+). Pemeriksaan USG, hepar ukuran normal, reguler, parenkim homogen, tidak tampak nodul, vena hepatika dan vena porta normal, ginjal kanan dan kiri normal, parenkim normal, kortek tidak menipis, tidak tampak batu. Pada pemeriksaan antropometri, TB 114 cm (P90), sesuai TB anak usia lima tahun delapan bulan, LLA 15 cm, P5-10, atau -1 SD > Z > -2 SD, BB 20 kg, berat badan enam minggu SMRS sakit 16 kg, berat badan ideal 20 kg. Penentuan status gizi menggunakan BB sebelum sakit, maka berdasarkan berat badan menurut panjang badan adalah 80 %, kesan gizi kurang. Obat yang diberikan oleh dokter penanggung jawab pasien secara intra vena adalah furosemid 3x20 mg, dan cefotaxim 2x800 mg, serta direncanakan koreksi albumin 25% 100 mL. Obat secara oral berupa tablet captopril 2x6,25 mg dan prednison 3 x 3 tablet. Analisis asupan sebelum sakit, selama sakit sejak satu bulan SMRS, dan 24 jam terakhir terlihat pada gambar 3.9., dengan keseimbangan cairan (-) 35 mL, diuresis 0,65 mL/kgBB/24 jam.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

54

Gambar 3.9 Analisis asupan kasus 3 sebelum sakit, selama sakit sejak satu bulan SMRS, dan 24 jam terakhir

Diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah sindroma nefrotik idopatik, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase) Rencana pemberian nutrisi diawali dengan perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus Schoefield (BB-TB), KEB 877,042 kkal, stres 1,3 sehingga KET 1100 kkal, protein 31 g, sumber protein yang bioavailabilitasnya tinggi. Pemberian lemak 30,5 g (25%) dengan komposisi MUFA 10 %, PUFA 8 %, dan SAFA 7 %, dan kebutuhan karbohidrat 175 g (64 %), saran pemberian multivitamin sesuai RDA, berupa Niacin 8 mg, vitamin B1 0,6 mg, vitamin B2 0,6 mg, vitamin B6 0,6 mg, vitamin C 45 mg, vitamin D 5 μg, calsium 500 mg, zink 9,7 mg, copper 440 mcg, vitamin K 20 μg, omega tiga sirup 4 x 1 cth. Kebutuhan cairan 1300 mL/24 jam. Data analisis mikronutrien (pada lampiran data nutrisurvey) masih kurang baik. Berdasarkan pertimbangan analisis asupan 24 jam terakhir, maka pemberian nutrisi sesuai KET. Rute pemberian nutrisi secara oral, bentuk padat, frekuensi pemberian terbagi dalam tiga kali makan utama dan dua kali selingan berupa diet nasi rendah garam, sebanyak 2 g natrium per hari. Pemantauan pada pasien ini dilakukan selama enam hari sejak hari pertama pemeriksaan (H0) pada tanggal 28 Januari 2013, dilanjutkan pemantauan hari pertama (H1) sampai dengan 2 Pebruari 2013 saat pasien pulang (H5).

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

55

Selama pemantauan, keadaan klinis pasien semakin membaik meskipun pasien pulang atas permintaan sendiri di hari ke enam perawatan. Tanda–tanda vital selama pemantauan terlihat pada gambar 3.10.

Gambar 3. 10 Tanda–tanda vital selama pemantauan Kasus 3(A. Tekanan darah dan frekuensi nadi, B. Respirasi dan suhu)

Pada dasarnya asupan makan pasien ini cukup baik, tetapi pasien sulit minum obat. Hampir semua obat per oral selama menjalani perawatan tidak bisa di minum.

Gambar 3. 11 Analisis asupan makronutrien selama pemantauan Kasus 3(A. Asupan energi, B. Asupan protein, C. Asupan lemak, D. Asupan karbohidrat)

Produksi urin dan hasil penimbangan berat badan setiap hari pada pasien ini seperti halnya pasien sebelumnya, yaitu berbanding terbalik, dimana peningkatan diuresisi diikuti penurunan BB.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

56

Gambar 3. 12 Grafik produksi urin dan berat badan Kasus 3(A. Produksi urin, B. Penurunan berat badan)

Hal penting yang perlu dilakukan untuk melakukan monitor dan evaluasi terhadap pasien ini adalah keadaan klinis, analisis dan toleransi asupan, keseimbangan cairan, tanda vital, pengukuran berat badan, penilaian laboratorium analisis urin dan elektrolit setiap hari, kadar Hb, leukosit, SGOT, SGPT, profil lipid dan albumin setiap tiga hari. Keadaan hipoalbuminemia pada pasien ini tidak dapat teratasi sesuai yang direncanakan berupa intervensi menggunakan albumin 20 % 100 mL (selama tiga hari berturut–turut) dikarenakan faktor administrasi. Meskipun keadaan klinis pasien ini menunjukkan perbaikan, tetapi evaluasi laboratorium tidak dapat dilakukan seperti halnya alasan tersebut di atas. Pasien dipulangkan atas permintaan kedua orang tua pasien dalam kondisi masih edema kedua kaki dan asites, tetapi telah diberikan edukasi nutrisi untuk di rumah. Tujuan pemberian nutrisi untuk memenuhi kebutuhan dan mempercepat penyembuhan pada pasien ini, sehingga diharapkan dapat memperbaiki status nutrisi dan tercapainya pertumbuhan yang optimal, serta menekan progresifitas penyakit dan kekambuhan. 3.3. Kasus 4 Pasien an. E, seorang anak perempuan

berusia delapan tahun dua bulan,

beragama Islam, masuk rumah sakit pada tanggal 28 Pebruari 2013 dan dilakukan skrining gizi pada tanggal 28 Pebruari 2013. Berdasarkan skrining gizi tersebut, an. F memerlukan pemantauan TTG karena asupan tidak adekuat sejak satu minggu SMRS, kadar albumin < 3 g/dL (1,8 mg/dL), dan adanya penyakit dengan stres metabolik.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

57

Hasil anamnesis yang dilakukan terhadap ibu kandung pasien, keluhan utama pada pasien ini adalah adanya bengkak seluruh tubuh disertai sesak nafas. Riwayat perjalanan penyakit pasien ini pada satu minggu SMRS saat bangun tidur pasien sembab di kedua kelopak mata, bengkak berkurang saat siang hari, tidak demam, tidak batuk, nafsu makan tidak menurun, BAB tidak ada keluhan, BAK berkurang, warna tidak diperhatikan. Lima hari SMRS pasien mengeluh sesak, tidak disertai demam maupun batuk, bengkak diwajah kian bertambah, disertai bengkak di kedua kaki, kemaluan, serta perut. Perut kanan atas sakit menjalar kepinggang dan punggung. Keluhan lain adalah nafsu makan yang menurun, pasien mampu menghabiskan setengah porsi dari makan biasanya, BAB tidak ada keluhan, BAB warna abu–abu disangkal, BAK semakin jarang, warna urin coklat tua, tidak sakit saat BAK. Kemudian oleh orang tuanya pasien dibawa berobat ke puskesmas, tetapi kemudian dirujuk ke RSUT. Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara, lahir dengan BB lahir 300 gram, panjang badan 50 cm, lingkar kepala tidak diketahui, lahir spontan cukup bulan di bidan. Riwayat imunisasi tidak lengkap, tidak imunisasi DPT 3 dan campak. Pertumbuhan dan perkembangan tidak mengalami gangguan. Pasien tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak memiliki riwayat sering minum obat–obatan, riwayat penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung, sakit kuning ataupun sakit ginjal. Ibu pasien juga tidak mengalami suatu penyakit berat maupun minum obat-obat tertentu pada saat kehamilannya Riwayat asupan, ASI sampai usia enam bulan, susu tambahan sejak lahir, pasien tidak menyukai susu seduh, tetapi masih mengkonsumsi susu cair kotak, tidak suka bubur. Ibu pasien menyangkal telah terjadi penurunan BB dalam enam bulan terakhir. Asupan sebelum sakit, sarapan nasi setengah centong, tumis sawi, tahu satu potong sedang, telur dadar ½ butir, makan siang nasi satu centong, sayur sop, ayam satu potong sedang, tempe satu potong sedang. Makanan selingan berupa buah jeruk satu potong, pepaya satu potong sedang, snack chiki satu bungkus sedang, makan malam nasi satu centong, ikan lele satu ekor, tempe atau tahu goreng satu potong sedang, sayur bening. Asupan selama sakit, lima hari SMRS setengah porsi biasanya. Asupan 24 jam terakhir pasien masih dirumah, makan masih sama seperti lima hari SMRS. Data BB terakhir sebelum sakit, satu

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

58

bulan yang lalu yaitu 17 kg. Pasien di skrining sejak hari pertama menjalani perawatan. Data obyektif diperoleh tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 130 x/menit, pernafasan 36 x/menit, suhu 36,60C. Pada pemeriksaan fisik tampak kepala normosepal, rambut hitam, edema kedua palpebra, sklera ikhterik, konjungtiva anemis, tonsil tidak hipertropi dan tidak hiperemia, pada pemeriksaan fisik dada tampak iga gambang, terdapat retrakasi di kedua dinding dada, terdapat ronkhi di kedua lapangan paru, jantung tidak terdapat murmur ataupun gallop, abdomen tampak cembung, tegang, hepar lien sulit dinilai, shifting dullness (+), bising usus normal, pekak. Pada kemaluan dan kedua kaki edema, kapasitas fungsional hanya mampu duduk dengan bersandar. Hasil laboratorium Hb 10,6 mg/dL, leukosit (8.500/μL), hematokrit 33%, trombosit 114.000 mg/dL, hipoalbuminemia (1,8 mg/dL), protein total 4,7 mg/dL, globulin 2,9 mg/dL. Hasilpemeriksaan urin sewaktu tampak kuning keruh, pH 6,5, berat jenis 1025, proteinuria (++), hematuria (eritrosit 5–10/LPB), leukosit 1– 3/LPB, darah samar (+), epitel (+), silinder hyalin 0–1, GDS 83 mg/dL, kadar elektrolit normal, natrium 142 mmol/L, kalium 4,3 mmol/L , klorida 115 mmol/L. Fungsi ginjal normal, ureum 31 mg/dL, kreatinin 0,5 mg/dL, Peningkatan enzim tranaminase, SGOT 518 mg/dL, SGPT 385 mg/dL, trigliserida 194 mg/dL, kolesterol total 266 mg/dL, titer ASTO (-). Pemeriksaan thorak foto menunjukkan gambaran bronkhopneumonia. Hasil pemeriksaan USG abdomen,

kesan

splenomegali ringan, cholecystitis, dan asites Pada pemeriksaan antropometri, TB 120 cm (P3-10), sesuai TB anak usia enam tahun delapan bulan, LLA 17 cm, pada P5–10, BB 23 kg, BB ideal 22 kg, berat badan 1 bulan sebelum sakit sakit 17 kg. Penentuan status gizi menggunakan BB sebelum sakit, maka berdasarkan berat badan menurut panjang badan adalah adalah 77, %, kesan gizi kurang. Obat yang diberikan oleh dokter penanggung jawab pasien secara intra vena adalah furosemid 2x20 mg, dan cefotaxim 2x1g, albumin 20 % 100 mL. Secara oral berupa ambroksol 3x1 cth, prednison 3x3 tablet, curvit 2x1 cth, captopril 2x6,25 mg, sedangkan melalui inhalasi berupa kombinasi ventolin 1 ampul, normal salin, serta bisolvon 10 tetes. Analisis asupan sebelum sakit,

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

59

selama sakit sejak satu bulan SMRS, dan 24 jam terakhir terlihat pada gambar 3.13., dengan keseimbangan cairan (-) 300 mL/24 jam, diuresis 0,6 mL/kgBB/24 jam.

Gambar 3. 13 Analisis asupan Kasus 4, sebelum sakit, selama sakit tiga hari SMRS, dan 24 jam terakhir (A. Asupan energi, B. Komposisi makronutrien)

Diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis, (trombositopenia,

hipoalbuminemia,

gizi kurang, hipermetabolisme sedang proteinuria,

hematuria,

dislipidemia,

peningkatan enzim tranaminase) Rencana pemberian nutrisi diawali dengan perhitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus Schoefield (BB–TB), adapun KEB yang diperoleh sebesar 853,85 kkal, dengan faktor stres 1,3 sehingga KET 1100 kkal, protein 34 g dari protein dengan bioavailabilitas tinggi. Lemak diberikan sebanyak 24 g (20%), MUFA 8 %, PUFA 6 %, dan SAFA 6 %, dengan kebutuhan karbohidrat 186 g (68%). Pemberian multivitamin sesuai RDA, saran pemberian besi 10 mg, niacin 10 mg, vitamin B1 0,9 mg, vitamin B2 0,9 mg, vitamin B6 1 mg, vitamin C 45 mg, vitamin D 5 μg, calsium 600 mg, zink 11,2 mg, copper 440 mcg, vitamin K 25 μg, omega tiga sirup 4 x 1 cth, . Kebutuhan cairan 1350 mL/24 jam. Data analisis mikronutrien (pada lampiran data nutrisurvey) masih kurang baik. Berdasarkan pertimbangan analisis asupan 24 jam terakhir, maka pemberian nutrisi dimulai dari 80 % KET, sebesar 880 kkal, protein 34 g, lemak 24 g, karbohidrat 131 g. Rute pemberian nutrisi secara oral, bentuk lunak (bubur nasi), frekuensi pemberian porsi kecil tapi sering, berupa diet nasi rendah garam, sebanyak 2 g natrium per hari.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

60

Pemantauan pada pasien ini dilakukan selama sembilan hari sejak tanggal 8 Pebruari 2013 yang merupakan hari pertama pemeriksaan (H0), diikuti hari pertama pemantauan (H1) sampai dengan kepulangan pada tanggal 16 Pebruari 2013 (H8).

Gambar 3. 14 Tanda–tanda vital selama pemantauan Kasus 4 (A. Tekanan darah dan frekuensi nadi, B. Respirasi dan suhu)

Perbaikan klinis dan asupan semakin membaik selama pemantauan, meskipun KET baru terpenuhi pada hari ke delapan pemantauan. Asupan protein terpenuhi sesuai kebutuhan pada hari ke dua pemantauan, dimana asupan ini tidak sesuai kebutuhan sejak pasien sakit SMRS.

Gambar 3. 15 Analisis asupan makronutrien Kasus 4 (A. Asupan energi, B. Asupan protein, C. Asupan lemak, D. Asupan karbohidrat)

Produksi urin dan hasil penimbangan berat

badan setiap

hari

menggambarkan kenaikan diuresis yang diikuti penurunan berat badan. Keadaan

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

61

tersebut sama halnya tiga kasus sebelumnya dan menggambarkan keadaan sensitif terhadap pengobatan steroid.

Gambar 3. 16 Grafik produksi urin dan penurunan berat badan Kasus 4 (A. Produksi urin, B. Penurunan berat badan)

Keadaan yang perlu dilakukan untuk melakukan monitor dan evaluasi terhadap pasien ini adalah keadaan klinis, analisis dan toleransi asupan, yang akan ditingkatkan pada planning sebesar 10%–20% dalam satu sampai dua hari sampai target kebutuhan terpenuhi, keseimbangan cairan, tanda vital, pengukuran berat badan, penilaian laboratorium analisis urin dan elektrolit setiap hari, kadar Hb, leukosit, profil lipid, dan albumin setiap tiga hari serta diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Keadaan hipoalbuminemia pada pasien ini diatasi dengan melakukan intervensi albumin 20% sebanyak 100 mL (selama tiga hari berturut–turut), yang dimulai sejak hari pemantauan ke tiga, kemudian pada hari ke–4 pemantauan dilakukan pemeriksaan urin kuantitatif dengan hasil 440 mg/24 jam (normal 24 – 141 mg/24 jam), dan tidak dilakukan pemeriksaan ulang kadar albumin. Pada hari ke enam pemantauan, gambaran klinis urin masih menunjukkan proteinuri (++), kemudian terapi prednison diberhentikan dan diganti triamsinolon 3x4 tablet. Keadaan klinis menunjukkan perbaikan, meskipun evaluasi laboratorium tidak semua dilakukan. Pasien dipulangkan masih dalam keadaan asites tetapi sudah perbaikan, hasil pemeriksaan urin menunjukkan masih terdapat proteinuria (+), darah samar (+). Asupan makan pasien semakin baik, dan telah diberikan edukasi nutrisi untuk di rumah. Pemberian edukasi nutrisi agar terpenuhi kebutuhan nutrisi pasien, menekan progresifitas dan kekambuhan penyakit, memperbaiki status nutrisi dan mengoptimalkan pertumbuhan.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

62

BAB 4 PEMBAHASAN

Empat kasus dalam pembahasan serial kasus ini adalah penderita sindroma nefrotik idiopatik, yaitu terdapatnya kumpulan gejala berupa proteinuria, edema, dislipidemia, dan hipoalbuminemia.1,2,3,4 Proteinuria yang terjadi bersifat masif, lebih dari 40 mg/m2/jam, atau > 50 mg/kg BB/24 jam atau rasio albumin/kreatinin urin sewaktu ≥ 2 mg/mg, kemudian diikuti turunnya kadar albumin darah sampai dibawah 2,5 g/dL, dan kadar kolesterol darah meningkat diatas 200 mg/dL. Kombinasi berbagai keadaan tersebut dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi.2,3,4 Sindroma nefrotik idiopatik merupakan penyakit terkait kelainan pada glomerular intrinsik ginjal dan tidak disebabkan oleh faktor sistemik, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. 1,2,3,4 Penentuan

diagnosis

gizi

menggunakan

parameter

pengukuran

antropometri, parameter biokimia, penilaian klinik dan analisis asupan. Pada pemeriksaan antropometri ditentukan status gizi dengan menggunakan kurva CDC, dengan

penilaian berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Hasil

penilaian di atas 120 % merupakan status gizi obes, 110–120% overweight, 90– 110% termasuk gizi normal, 70–80% gizi kurang, dan < 70%

gizi buruk.

Pengukuran LLA dilakukan untuk memberikan gambaran kecukupan cadangan energi dan protein tubuh, sehingga dalam hal ini bertujuan untuk mengoreksi status nutrisi jangka panjang.33,34 Skrining gizi pada keempat pasien ini menggunakan acuan skrining gizi dari rumah sakit tempat pasien dirawat, dan Subjective Global Nutritional Assessment (SGNA). Subjective Global Nutritional Assessment adalah modifikasi dari Subjective Global Assessment (SGA), dan merupakan alat yang valid untuk menilai risiko status gizi pada anak. Terkait masalah gizi, SGNA digunakan untuk mengidentifikasi pasien anak yang berisiko masalah gizi dengan berbagai komplikasi, ataupun pasien yang menjalani rawat inap cukup lama.49,50 Berdasarkan status gizi, keempat pasien memiliki status gizi kurang. Seperti diketahui, masalah gizi di Indonesia selain masalah gizi buruk juga masih tingginya anak dengan status gizi kurang. Masalah gizi pada balita memiliki

61 Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013 62

Universitas Indonesia

63

tingkat morbiditas sebanyak 34,3 %. Pada periode masa balita ini sangat rentan terjadi infeksi bahkan sampai berakibat terjadinya kematian, maupun rentan terjadinya gangguan dalam optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan otak, sehingga usia tersebut disebut dalam kelompok berisiko tinggi. Keadaan gizi kurang dapat diawali dengan keterlambatan dalam kenaikan BB, dan apabila dalam waktu enam

bulan BB tidak naik sebanyak dua kali, maka berisiko

mengalami kekurangan gizi menjadi 12,6 kali di bandingkan dengan anak yang berat badannya naik terus. Masalah kurang gizi menyangkut beberapa faktor, yaitu faktor biologi (meliputi umur, jenis kelamin, fisiologi, adanya penyakit infeksi, ataupun status kesehatan), keadaan lingkungan serta keadaan sosial, ekonomi dan budaya.51 Berdasarkan atas keluhannya, keempat pasien memiliki persamaan keluhan yang mendorong orang tuanya untuk membawanya ke RS, yaitu dalam hal terjadinya sembab di wajah, bengkak di kedua kaki, dan perut yang semakin membuncit, serta BAK yang semakin berkurang. 1,2,3,4 Kasus 1, adalah an. G usia 3 tahun, dibawa ke RSUT akibat bengkak yang semakin memberat, diikuti sesak dan BAK yang semakin berkurang. Riwayat dua minggu SMRS pasien menderita demam, batuk dan pilek. Pasien membutuhkan TTG berdasarkan skrining gizi di RSUT, dimana pasien mengalami asupan makan yang tidak adekuat sejak lima hari SMRS dan kadar albumin serum 1,5 mg/dL serta penyakit dengan stres metabolik. Riwayat persalinan normal cukup bulan, riwayat penyakit dahulu, riwayat sakit seperti ini sebelumnya, riwayat penurunan BB dan riwayat mengkonsumsi obat–obatan disangkal, demikian juga riwayat demikian tersebut pada si ibu di saat kehamilannya. Riwayat tersebut dikonfirmasi untuk menggali kemungkinan faktor penyebab sindroma nefrotik dan prognosis pada pasien ini. Riwayat terdapatnya suatu infeksi seperti malaria, hepatitis, HIV, dan

toksoplasma

maupun

riwayat

mengkonsumsi

obat–obatan

seperti

penicillamine, interferon, anti inflamasi non steroid, pamidronate, serta paparan emas dapat menjadi penyebab sekunder sindroma nefrotik.2,4 Data tanda vital tekanan darah pasien saat pemeriksaan adalah 110/70 mmHg. Sesuai kriteria hipertensi pada anak, yaitu menurut jenis kelamin, umur dan TB, tekanan darah pasien saat ini berada pada persentile 90 untuk sistole dan persentile 95 untuk diastole, sedangkan tekanan darah normal apabila dibawah

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

64

persentile 90. Persentile 90 untuk pasien ini apabila tekanan darah 110/60 mmHg.21,22 Terapi captopril 3 x 0,25 mg pada pasien ini memberikan gambaran bahwa keadaan sebelum pemeriksaan pasien ini mengalami hipertensi dan saat pemeriksaan sudah mengalami perbaikan. Kemungkinan penyebab kenaikan tekanan darah ini akibat penyakitnya, sehingga bersifat sekunder. Hipertensi yang terjadi kemungkinan disebabkan adanya penurunan perfusi ginjal, sehingga merangsang pelepasan renin, kemudian melalui mekanisme angiotensin dan aldosteron akan meningkatkan tekanan darah. 15 Kejadian komplikasi hipertensi pada anak sindroma nefrotik sekitar 15–20 %.4 Edema dan asites pada pasien ini kemungkinan akibat tekanan onkotik plasma yang menurun, sehingga terjadi ekstravasasi cairan plasma menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial.14,17 Kedua lapangan paru pasien ini terdapat ronkhi, didukung pemeriksaan rontgen dada yang menunjukkan gambaran bronkhopneumonia, hal ini dapat merupakan komplikasi sindroma nefrotik itu sendiri. Telah diketahui, infeksi saluran pernafasan merupakan komplikasi infeksi paling sering pada anak dengan sindroma nefrotik, diikuti urutan terbanyak berikutnya adalah infeksi saluran kencing. Angka kejadian infeksi pada sindroma nefrotik telah menurun di negara-negara maju, tetapi masih menjadi masalah utama di negara berkembang.18,52 Hasil pemeriksaan

laboratorium

hipoalbuminemia,

pada

proteiuria,

pasien

hematuria,

ini dan

menunjukkan dislipidemia.

leukositosis, Gambaran

hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia, dan tingginya kadar LDL yang terjadi merupakan akibat dari meningkatnya sintesis lemak dan apolipoprotein dihati, yang kemungkinan dapat dipicu oleh adanya penurunan tekanan onkotik plasma.27,28 Pasien ini berusia tiga tahun, dengan status gizi kurang, memiliki TB 93 cm, sesuai TB anak usia dua tahun tujuh bulan. Pada saat pemeriksaan masih terdapat retensi cairan, dengan BB 15 kg dan BB dua minggu sebelum sakit 12 kg, sehingga perkiraan retensi cairan sebanyak kurang lebih 3 kg. Terapi yang diperoleh adalah diuretik (lasix dan aldakton), antibiotik (cefotaxim), albumin 20% (satu kali), penurun tekanan darah (captopril), steroid (prednison), mukolitik (mucera), dan multivitamin (zamel sirup). Asupan nutrisi pasien sebelum sakit cukup baik, dari data analisis juga menunjukkan asupan

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

65

mikronutriennyapun baik. Meskipun selama sakit asupan kalorinya menurun, tetapi asupan protein masih baik. Pasien ini didiagnosis kerja gizi dengan sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia) Kebutuhan energi basal pasien ini ditentukan menggunakan rumus Schoefield (BB–TB), diperoleh hasil 795,586 kkal, dengan KET sebesar 1000 kkal.

Penghitungan

energi

menggunakan

rumus

Schoefield

(BB–TB)

mempertimbangkan usia, jenis kelamin, TB dan BB. Rumus ini juga dinyatakan paling akurat dalam menentukan BMR.37 Sesuai panduan yang ada, tujuan pemberian nutrisi untuk anak sakit diperhitungkan sesuai kebutuhan nutrisi per individu, karena dalam

kondisi stres metabolik, tubuh anak sakit dapat

mengalami respon metabolik yang berbeda. Apabila berlebihan dalam pemberian nutrisi dapat meningkatkan beban metabolisme, dan berdampak terjadinya overfeeding.33 Hasil penghitungan kebutuhan protein an. G adalah sesuai RDA dikalikan faktor stres,

yaitu sebesar 22 g. Sumber protein dianjurkan protein dengan

bioavailabilitas tinggi. Sebuah penelitian pada orang dewasa dikatakan pemberian protein soya dapat menurunkan proteinuria, sehingga dapat memperbaiki progresifitas glomerulus, tetapi pada anak–anak belum terdapat laporan. Pemberian diet protein soya pada anak–anak harus hati–hati, karena dapat menyebabkan defisiensi vitamin B12, vitamin D dan mikronutrien lainnya. 3 Pemberian lemak sebesar 25 % yaitu 28 g dengan komposisi MUFA 10 %, PUFA 8 %, dan SAFA 7 % dengan pertimbangan pemberian lemak yang di rekomendasikan tidak lebih dari 28 %, dengan komposisi SAFA 8 %, PUFA 8% dan MUFA 12 %.3 Disarankan untuk menghindari asupan lemak trans, serta asupan kolesterol tidak lebih dari 300 mg/hari. Suatu studi intervensi pada anak dan bayi di Turki menunjukkan safety dan efficacy dengan dilakukannya pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol.39 Pemberian mikronutrien sesuai RDA, juga diberikan nutrien spesifik asam lemak omega tiga. Adapun pertimbangan yang mendukung suplementasi mikronutrien pada pasien ini yaitu terdapatnya terapi diuretik, sehingga

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

66

dikhawatirkan beberapa mikronutrien ikut hilang terbawa urin. 53,54 Diet rendah garam diharapkan

dapat memperbaiki efektifitas diuretik dan membantu

memperbaiki tekanan darah, menurunkan proteinuria, dan mempercepat hilangnya edema, meskipun demikian pemberian cairan pada pasien ini tidak diretriksi, dengan pertimbangan tidak terdapat oliguria, sensitif terhadap pemberian steroid, dan terdapat perbaikan keadaan edemanya.3,4,55Komplikasi sindroma nefrotik pada pasien ini berupa edema, hipertensi, proteinuria, hematuria, dislipidemia, hipoalbuminemia, dan infeksi. Pada hari ke tiga pemantauan dilakukan pemeriksaan urin kuantitatif, terdapat protein sebesar 2436 mg/24 jam (nilai normal 24–141 mg/24 jam), hal ini dapat memberikan gambaran akan tingginya kehilangan protein yang terjadi melalui urin.7 Meskipun demikian, selama pemantauan pasien menunjukkan perbaikan, baik klinis, laboratoris maupun asupan. Kebutuhan energi total tercapai pada hari ke tiga pemantauan sedangkan kebutuhan protein sudah tercukupi sejak sebelum sakit. Kasus 2 adalah an. R, dengan riwayat tiga minggu SMRS menderita demam, batuk, dan pilek, kemudian satu minggu SMRS terdapat bengkak yang semakin memberat dimulai dari mata, kedua kaki, perut dan kemaluan. Pasien ini memerlukan pemantauan TTG akibat asupan yang tidak adekuat sejak satu minggu SMRS, kadar albumin 1,4 mg/dL, serta penyakit dengan stres metabolik. Riwayat persalinan cukup bulan melalui sectio sesaria, imunisasi lengkap, pertumbuhan dan perkembangan baik. Riwayat penyakit dahulu, riwayat sakit seperti ini, riwayat penurunan BB

dan riwayat minum obat–obatan jangka

panjang tidak ada, sehingga sesuai kasus 1, yaitu kemungkinan terjadinya penyakit ini bukan akibat sekunder. Tekanan darah pasien saat pemeriksaan adalah 100/60 mmHg, dimana sesuai kriteria hipertensi pada kasus 1, maka sistole berada pada persentile 95, dan diastole pada persentile 99. Tekanan darah persentil 90 pasien ini adalah 95–97/50–51 mmHg.21,22 Pada pemeriksaan fisik tampak anemis, edema dan asites, dengan hasil laboratorium menggambarkan keadaan anemia, leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia, dislipidemia, proteinuria, dan hematuria. Hemoglobin pada pasien ini sebesar 10,6 mg/dL, tetapi gambaran anemia yang terjadi tidak diketahui

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

67

jenisnya karena tidak tidak dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui jenis anemianya.56 Kemungkinan lain jenis anemia yang sering terjadi pada sindroma nefrotik adalah anemia mikrositik hipokrom, yaitu anemia akibat kekurangan zat besi. Seperti diketahui, kehilangan erythropoietin (EPO) melalui urin akan menyebabkan anemia defisiensi EPO, keadaan ini didukung oleh transferinuria yang terjadi, sehingga akan menyebabkan peningkatan katabolisme transferin, hipotransferinemia, dan anemia defisiensi besi. Pemberian rekombinan EPO secara subkutan dan suplementasi zat besi dapat dilakukan untuk mengatasi keadaan ini, meskipun koreksi proteinuria yang terjadi akan lebih ideal untuk memperbaiki keadaan ini.18 Usia pasien ini 15 bulan, status gizi kurang dengan TB 76 cm, yaitu sesuai TB anak usia dua belas setengah bulan. Saat pemeriksaan masih terdapat retensi cairan, BB 12 kg, dengan BB tiga minggu sebelum sakit 9 kg, sehingga perkiraan retensi cairan sebanyak kurang lebih 3 kg. Terapi yang diperoleh diuretik (lasix dan spironolakton), antibiotika (cefotaxim), tranfusi albumin 20% (tiga hari berturut–turut), kortikosteroid (prednison), dan obat anti hipertensi (captopril). Diagnosis kerja gizi pasien ini adalah sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia). Rencana pemberian nutrisi sesuai kasus 1, diperoleh KEB sebesar 537,127 kkal, dan KET sebesar 700 kkal, protein 17 g, lemak 19 g, dan karbohidrat 114 g , demikian juga dalam pemberian mikronutrien dan nutrien spesifik sesuai kasus 1, yang membedakan adalah pada pasien ini terdapat anemia meskipun belum diketahui jenis anemianya, bagaimanapun pasien tersebut berisiko tinggi kehilangan zat besi, EPO dan transferin melalui urin, maka disarankan suplementasi zat besi sesuai RDA. Komplikasi sindroma nefrotik pada pasien ini berupa edema, hipertensi, anemia, proteinuria, hematuria, hipoalbuminemia, dislipidemia dan kemungkinan juga terdapat infeksi. Kebutuhan cairan pasien ini juga dipertimbangkan sesuai kasus 1, sehingga tidak diretriksi, demikian juga dalam pemberian garam juga sesuai kasus 1, yaitu dibatasi sebanyak 2 gram natrium. Selama pemantauan, pasien menunjukkan perbaikan klinis dan asupan, tetapi perbaikan laboratoris belum

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

68

seluruhnya tercapai. Kebutuhan energi total dan protein tercapai pada hari ke–6 pemantauan. Kasus ke tiga adalah an F, anak laki–laki berusia empat tahun sepuluh bulan yang memerlukan pemantauan TTG karena kadar albumin1 mg/dL, dan adanya penyakit dengan stres metabolik. Hasil anamnesis terhadap ibu kandung pasien terdapat bengkak di seluruh tubuh yang semakin memberat sejak satu bulan SMRS. Tidak ada riwayat sakit seperti ini sebelumnya, ataupun riwayat sering minum obat–obatan, demikian juga pada ibu pasien di saat kehamilannya sehingga hal ini sesuai kasus 1 dan kasus 2 bahwa kemungkinan terjadinya sindroma nefrotik bukan merupakan akibat sekunder. Tekanan darah pasien ini 110/70 mmHg, definisi hipertensi pada pasien ini sesuai kriteria pada kasus 1 dan kasus 2, sistole berada pada persentile 90 dan diastole pada persentile 95. Tekanan darah pada persentile 90 untuk pasien ini adalah 110/66 mmHg.21,22 Pada pemeriksaan fisik pasien ini terdapat edema palpebra, kemaluan, dan kedua kaki serta terdapat asites. Data laboratorium menunjukkan tidak terjadi anemia, dengan Hb 11,5 mg/dL dan leukositosis (18.100/μL). Kadar Hb saat kontrol rawat jalan yang pertama 15,2 mg/dL, dan leukosit 12.100/ μL. Jadi walaupun kadar Hb masih normal tetapi telah terjadi penurunan, dengan disertai peningkatan leukosit. Penurunan kadar Hb kemungkinan seperti hal nya kasus 2, yaitu akibat hilangnya erythropoietin (EPO) dan zat besi melalui urin, sehingga menyebabkan defisiensi EPO, keadaan ini diperberat adanya transferinuria, sehingga terjadi peningkatan katabolisme transferin, hipotransferinemia, dan terjadi anemia defisiensi besi.18 Pasien ini juga terjadi hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, peningkatan enzim tranaminase, dan dislipidemia. Terapi yang diperoleh berupa diuretika (furosemida), antibiotika (cefotaxim), anti hipertensi (captopril), dan kortikosteroid (prednison). Pasien berusia empat tahun sepuluh bulan dengan TB 114 cm. Hal ini sesuai TB anak usia lima tahun delapan bulan, status gizi kurang. Retensi cairan masih ditemukan, pada saat pemeriksaan BB 20 kg, serta BB enam minggu sebelum sakit adalah 16 kg, sehingga perkiraan retensi cairan sebanyak kurang lebih 4 kg. Diagnosis kerja gizi pada pasien ini adalah sindroma nefrotik idopatik, hipertensi,

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

69

gizi

kurang,

hipermetabolisme

sedang

(leukositosis,

hipoalbuminemia,

proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim transaminase) Rencana pemberian nutrisi baik makronutrien, mikronutrien dan nutrien spesifik dengan pertimbangan sesuai kasus 1 dan kasus 2. Kebutuhan energi basal 877,042 kkal dan KET 1100 kkal, protein 31 g, lemak 30,5 g dan kebutuhan karbohidrat 175 g, mikronutrien sesuai RDA, seperti halnya kasus 1, dan 2, juga diberikan nutrien spesifik tetapi tidak diberikan zat besi karena pasien tidak anemia. Dilakukan diet rendah garam serta cairan tidak diretriksi. Nutrisi diberikan sesuai analisis asupan terakhir, yaitu sesuai KET. Komplikasi sindroma nefrotik pada pasien ini berupa edema, hipertensi, proteinuria, hematuria, hipoalbuminemia, dislipidemia dan kemungkinan adanya infeksi. Monitoring dan evaluasi pada pasien ini meliputi keadaan klinis, analisis dan toleransi asupan, keseimbangan cairan, tanda vital, pengukuran berat badan, penilaian laboratorium analisis urin dan elektrolit setiap hari, sedangkan kadar Hb, leukosit, SGOT, SGPT, profil lipid dan albumin setiap tiga hari. Selama pemantauan, asupan makan pasien tetap baik, perbaikan klinis masih terjadi meskipun tidak sebaik kasus 1 dan kasus 2. Selama pemantauan tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium sehingga tidak bisa dievaluasi perbaikan laboratoriumnya. Kebutuhan energi total dan protein pada pasien ini sudah tercapai sejak SMRS. Pasien dipulangkan atas permintaan kedua orang tua pasien dalam kondisi masih edema kedua kaki dan asites. Kasus ke–4 adalah an. E, pasien anak perempuan dengan usia delapan tahun dua bulan, yang memerlukan pemantauan TTG karena asupan tidak adekuat sejak satu minggu SMRS, kadar albumin 1,8 mg/dL, dan adanya penyakit dengan stres metabolik. Keluhan utama adalah adanya bengkak seluruh tubuh yang semakin memberat disertai sesak nafas. Keluhan lain adalah nafsu makan yang menurun, BAK semakin jarang, sedikit dan berwarna coklat tua, kemudian pasien dibawa berobat ke RSUT. Riwayat sakit seperti ini sebelumnya tidak ada, riwayat penyakit dahulu juga tidak ada, serta tidak memiliki riwayat sering minum obat– obatan, begitu juga ibunya saat kehamilan, maka hal ini dapat memberikan gambaran sesuai kasus 1, kasus 2 dan kasus 3, bahwa penyebab penyakit ini bukan akibat sekunder.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

70

Tekanan darah pasien pada saat pemeriksaan adalah 120/80 mmHg, dimana

sesuai definisi hipertensi pada kasus 1, kasus 2 dan kasus 3, sistole dan diastole pasien ini berada pada persentile 99. Persentile 90 pasien ini apabila sistole 108– 109 dan diastole 71 mmHg.21,22 Denyut nadi pasien ini sebanyak 130 x/menit sedangkan denyut nadi normal seusianya berkisar 80–120 x/menit, demikian juga pernafasan pasien ini 36 x/menit, dimana pernafasan normal seusianya adalah 20– 25 x/menit.57 Pada pemeriksaan fisik tampak edema kedua palpebra, konjungtiva anemis, sklera ikhterik, terdapat retraksi dinding dada, ronkhi di kedua lapangan paru, asites, edema di kemaluan dan kedua kaki, didukung data laboratorium berupa anemia, trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, peningkatan enzim transaminase, dan dislipidiemia. Gambaran thorak foto menunjukkan bronkhopneumonia, dan USG abdomen kesan splenomegali ringan, cholecystitis, dan asites. Pasien ini memiliki status gizi kurang dengan panjang badan 120 cm di usia delapan tahun dua bulan, sehingga PB sesuai PB anak usia enam tahun delapan bulan. Berat badan saat pemeriksaan 23 kg, BB 1 bulan SMRS 17 kg, sehingga retensi cairan yang terjadi sekitar 6 kg. Terapi yang diperoleh berupa diuretika (furosemida), antibiotika (cefotaxim), albumin 20% (tiga hari berturut– turut),

mukolitik

(ambroksol),

kortikosteroid

(prednison,

triamsinolon),

multivitamin sirup (curvit), anti hipertensi (captopril), dan terapi

inhalasi.

Analisis asupan sebelum sakit cukup baik, tetapi asupan mikronutrien rata–rata masih kurang baik. Diagnosis kerja gizinya adalah sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, (trombositopenia,

cholecystitis,

gizi

hipoalbuminemia,

kurang,

proteinuria,

hipermetabolisme hematuria,

sedang

dislipidemia,

peningkatan enzim tranaminase). Rencana pemberian nutrisi diawali dengan penghitungan kebutuhan energi basal menggunakan rumus Schoefield (BB–TB), adapun KEB yang diperoleh sebesar 853,85 kkal, dengan faktor stres 1,3 sehingga KET 1100 kkal, protein 34 g dari protein dengan bioavailabilitas tinggi, dengan pertimbangan sesuai kasus 1, kasus 2 dan kasus 3. Diberikan diet rendah lemak (20%), yaitu sebanyak 24 g, serta kebutuhan karbohidrat 186 g (68%). Disarankan pemberian mikronutrien sesuai RDA, juga diberikan nutrien spesifik asam lemak omega tiga sesuai kasus 1, kasus 2 dan kasus 3. Pasien tersebut anemia, maka

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

71

anjuran pemberian zat besi dengan pertimbangan sesuai kasus 2. Komplikasi sindroma

nefrotik pada pasien ini berupa edema, hipertensi,

anemia,

bronkhopneumonia, cholecystitis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dan dislipidemia. Pada hari ke–4 pemantauan, dilakukan pemeriksaan protein kuantitatif, dengan hasil 440 mg/24 jam, pasien juga masih terdapat edema, sehingga proteinuria pada pasien ini masih menunjukkan gambaran proteinuria patologis (diatas 150 mg/24 jam).4,7,8 Selama pemantauan, asupan makan semakin membaik. Kebutuhan energi total tercapai pada hari ke–8 pemantauan, sedangkan kebutuhan protein sudah tercapai sejak hari pertama pemantauan.

Tabel 4. 1 Skrining gizi dan data subyektif

Usia Jenis kelamin Skrining Gizi

Status Gizi Keluhan utama Riwayat penyakit yang mendahului RPD

An. G (Kasus 1) 3 th Laki –laki Asupan tidak adekuat 5 hari SMRS, Albumin 1,5 mg/dL, Stres metabolik Gizi kurang Bengkak seluruh tubuh 2 minggu SMRS batuk, pilek, demam Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak memiliki riwayat minum obat–obatan jangka panjang, penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal.

An. R (Kasus 2)

An. F (Kasus 3)

An. E (Kasus 4)

15 bln Laki –laki Asupan tidak adekuat 1 minggu SMRS, Albumin 1,4 mg/dL, Stres metabolik Gizi kurang Bengkak seluruh tubuh 3 minggu SMRS batuk, pilek, demam Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak memiliki riwayat minum obat–obatan jangka panjang, penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal.

4 th Laki –laki Albumin 1 mg/dL, Stres metabolik

Gizi kurang Bengkak seluruh tubuh -

8 th Perempuan Asupan tidak adekuat 1 minggu SMRS, Albumin 1,8 mg/dL, Stres metabolik Gizi kurang Bengkak seluruh tubuh -

Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak memiliki riwayat minum obat–obatan jangka panjang, penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal.

Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya, tidak memiliki riwayat minum obat–obatan jangka panjang, penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal.

Berdasarkan Tabel 4.1, pengelompokan kasus berdasarkan jenis kelamin dan usia, memperlihatkan terdapat tiga anak laki–laki dan seorang anak perempuan, dengan rentang usia 15 bulan sampai dengan delapan tahun. Data

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

72

epidemiologi menunjukkan rasio kejadian sindroma nefrotik untuk anak laki–laki dan perempuan dengan usia kurang dari delapan tahun berkisar antara 2:1 sampai 3:2.1,4 Riwayat penyakit pada keempat kasus ini digali untuk mengetahui kemungkinan faktor risiko ataupun penyebabnya. Keempat pasien dalam serial kasus ini usia diatas satu tahun, dan tidak pernah menderita sakit seperti ini sebelumnya, sehingga keadaan ini merupakan serangan pertama. Jadi keempat kasus tersebut kemungkinan bukan suatu keadaan kongenital. Dikatakan sindroma nefrotik kongenital (Hereditary nephropathies) apabila timbulnya serangan awal di tahun pertama kehidupan, terutama pada tiga bulan pertama.1 Riwayat minum obat–obatan, penyakit darah tinggi, asma, alergi, kencing manis, jantung ataupun sakit ginjal pada keempat pasien tersebut juga disangkal, hal tersebut dapat memberikan gambaran bahwa faktor penyebabnya merupakan faktor primer (dari dalam ginjal) dan bukan sekunder (dari luar ginjal). Sindroma nefrotik sekunder dapat terjadi akibat penggunaan obat–obatan jangka panjang, suatu penyakit yang bersifat sistemik seperti Henoch-Schönlein purpura (HSP), lupus eritematosus sistemik, Amyloidosis, diabetes melitus, sifilis, hepatitis B dan C, human immunodeficiency virus (HIV), ataupun keganasan. 1,2,3,4

Tabel 4. 2 Tanda vital, kelainan fisik dan pemeriksaan penunjang Sistole Diastole Pemeriksaan fisik

Kapasitas fungsional Laboratorium

An. G (Kasus 1) Persentile 90 Persentile 95 Edema, ronkhi paru, asites

An. R (Kasus 2) Persentile 95 Persentile 99 Konjuntiva anemis, edema, asites

An. F (Kasus 3) Persentile 90 Persentile 95 Edema, asites

Ambulatory

Ambulatory

Ambulatory

Leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dan dislipidemia, titer ASTO (-)

Anemia, leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia, dislipidemia, proteinuria, dan hematuria, titer ASTO (-)

Leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, peningkatan enzim tranaminase, dan dislipidemia, titer ASTO (-)

An. E (Kasus 4) Persentile 99 Persentile 99 Konjungtiva anemis, sklera ikhterik, edema, retraksi dinding dada, ronkhi paru, asites, Bedridden Anemia, trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, peningkatan enzim transaminase, dan dislipidiemia titer ASTO (-) splenomegali ringan, cholecystitis, dan asites

USG abdomen

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

73

Berdasarkan Tabel 4.2. dan Tabel 4.3. terlihat bahwa keempat pasien memiliki tekanan darah sistole berkisar antara persentile 90 sampai dengan persentile 99 dan diastole pada persentile 95 sampai dengan persentile 99. Apabila dihubungkan dengan pemberian obat penurun tekanan darah yang diterima oleh semua pasien ini, semua pasien mendapatkan obat penurun tekanan darah. Hal tersebut dapat memberikan gambaran bahwa saat pasien datang ke RS, semua kemungkinan dalam keadaan tekanan darah yang tinggi, seperti dijelaskan sebelumnya, tekanan darah normal untuk anak–anak adalah baik sistole maupun diastole berada di bawah persentile 90 menurut jenis kelamin, umur dan TB.21,22 Hipertensi pada sindroma nefrotik bersifat sekunder, disebabkan penurunan perfusi ginjal, sehingga merangsang pelepasan renin, kemudian melalui mekanisme angiotensin dan aldosteron akan meningkatkan tekanan darah. Oleh karena penyebabnya dari dalam ginjal maka disebut hipertensi renalis.15 Dari penelitian menunjukkan hipertensi pada anak kebanyakan (80%) berasal dari penyakit ginjal.44,58 Pada pemeriksaan fisik semua pasien dalam keadaan edema dan asites, hal ini seiring pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan proteinuria dan hipoalbuminemia. Proteinuria akan menyebabkan kadar albumin serum menurun. Rendahnya kadar albumin serum menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma, sehingga terjadi ekstravasasi cairan plasma menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial, dan terjadilah edema.14,17 Suatu teori menyatakan bahwa berkurangnya volume intravaskuler akan merangsang sekresi renin dan memicu aktivitas renin–angiotensin–aldosteron sehingga terjadi retensi natrium dan air, kemudian produksi urin menjadi berkurang, dan lebih pekat. (teori underfill).17,18,19 Disisi lain, terdapat beberapa penderita sindroma nefrotik dengan peningkatan volume plasma serta penurunan aktivitas renin dan kadar aldosteron plasma (teori overfill), yang menyatakan bahwa retensi natrium dan air terjadi akibat mekanisme intrarenal primer. Jadi, kemungkinan keterlibatan proses underfill dan overfill menunjukkan bahwa terjadinya edema akibat beberapa proses, yang mungkin berlangsung secara bersamaan ataupun tidak bersamaan. Hal ini didukung oleh patogenesis penyakit glomerulus yang terjadi akibat kombinasi lebih dari satu rangsangan.20

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

74

Data pemeriksaan mikroskopik urin pada keempat kasus menunjukkan gambaran proteinuria, yang berkisar dari proteinuria (+) hingga (++). Gambaran proteinuria (+) setara dengan sekitar 30 mg/dL protein yang terbawa urin, dan gambaran proteinuria (++) setara dengan sekitar 100 mg/dL protein yang terbawa urin, dan pemeriksaan mikroskopis keempat pasien tersebut dari urin sewaktu, sehingga bukan merupakan gambaran dalam 24 jam. 7 Pada keadaan normal, anak laki-laki dan perempuan memiliki kecepatan eksresi protein di urin sebesar 4 mg/m2/jam atau 100 mg/m2/hari. Lima puluh persennya merupakan protein Tamm-Horsfall, yaitu suatu glikoprotein yang disekresikan oleh tubulus asenden ansa henle. Sisanya adalah sejumlah kecil protein plasma yang difiltrasi oleh glomerulus seperti albumin, imunoglobulin, transferin, dan β2–mikroglobulin dengan albumin mencapai 30% dari protein urin normal tersebut. 19 Besarnya proteinuria pada sindroma nefrotik menggambarkan banyaknya berbagai jenis protein tersebut yang terbawa urin.4 Terdapat dua pasien dengan anemia, seperti telah dijelaskan sebelumnya, kejadian anemia dapat terjadi oleh karena beberapa faktor, pada sindroma nefrotik dapat terjadi akibat adanya hematuria mataupun komplikasi infeksi pada saluran kencing. Infeksi saluran kencing merupakan kasus infeksi terbanyak kedua setelah bronkhopneumonia.18,59 Walaupun

terdapat

dua

pasien

tanpa

data

laboratorium

enzim

transaminase, kedua pasien tersebut tidak menunjukkan kelainan klinis yang mendukung untuk dilakukan pemeriksaan tersebut, dan satu pasien dengan peningkatan ringan enzim transaminase juga tidak didukung oleh kelainan klinis, asupan makan pasien tersebut pun cukup baik dan KET sudah tercapai sejak hari pertama pemantauan. Sedangkan kasus 4, KET tercapai pada hari ke–8 pemantauan, hal tersebut kemungkinan akibat kondisi sesak dan mual yang menyertai. Tanda–tanda klinis tersebut antara lain diperkuat oleh peningkatan enzim transaminase yang cukup tinggi, pemeriksaan fisik terdapat ikhterik serta hasil USG abdomen yang menunjukkan cholecystitis. Peningkatan enzim transaminase terjai pada

62% kasus cholecystitis anak. Cholecystitis anak

merupakan gangguan yang langka, di klinik Mayo dilaporkan terdapat 1,3 kasus cholecystitis anak untuk setiap 1000 kasus cholecystitis.60 Meskipun penyebab

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

75

tersering cholecystitis adalah batu empedu, tetapi batu empedu pada anak juga jarang terjadi. Suatu penelitian menunjukkan bahwa batu empedu pada anak-anak dan bayi belum tentu menimbulkan gejala klinis, berhubungan dengan rendahnya tingkat komplikasi serta

apabila tanpa komplikasi dapat dikelola secara

konservatif.61 Ditemukan satu pasien (kasus 2) dengan hipokalemia, tetapi selama pemantuan tidak dilakukan pemeriksaan ulang kadar kalium, sehingga tidak diketahui perbaikan ataupun perburukannya, tetapi dari tanda–tanda klinis yang ada tidak menunjukkan kondisi hipokalemia. Hipokalemia adalah apabila kadar kalium serum lebih rendah dari 3,5 mmol/L. Kadar kalium pada pasien ini adalah 3,02 mmol/L. Pasien dengan hipokalemia sering tanpa gejala, terutama dengan hipokalemia ringan. Keadaan muntah ataupun dalam terapi loop diuretik dapat menyebabkan terjadinya hipokalemia. Gejala yang spesifik terutama berkaitan dengan fungsi otot atau jantung. Keluhan yang terjadi antara lain lemah, kelelahan, kram otot dan nyeri, palpitasi, gejala psikologis (misalnya psikosis, delirium, halusinasi, depresi). Hipokalemia berat dapat bermanifestasi sebagai bradikardia dengan kolap kardiovaskular. Aritmia jantung dan gagal pernafasan akut akibat kelumpuhan otot adalah komplikasi yang mengancam jiwa dan perlu penatalaksanaan segera. Penyebab terjadinya hipokalemia antara lain akibat asupannya yang kurang, pengeluaran melalui urin yang meningkat akibat terapi diuretik, diuresis osmotik dan hiperaldosteronisme, serta terdapatnya gangguan saluran cerna seperti muntah dan diare.62,63 Terdapat dua pasien dengan serangan awal demam, batuk dan pilek pada

2–3 minggu SMRS, kemungkinan hal tersebut akibat suatu infeksi bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A di saluran penafasan bagian atas. Bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A tersebut dapat menyebabkan terjadinya glomerulonefritis.45 Kejadian sindroma nefrotik terbanyak diawali oleh serangan glomerulonefritis.1,4,7,8,14 Titer ASTO (-) terdapat pada semua kasus, meskipun demikian tidak menutup kemungkinan keempat pasien tersebut pernah terpapar bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A. Titer ASTO positif hanya terjadi pada 75–80% penderita glomerulonefritis pasca faringitis dan 50% penderita pasca impetigo.45,64

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

76

Tabel 4. 3 Terapi yang diperoleh Terapi

An. R (Kasus 2) + (lasix dan aldakton) + (captopril) + (cefotaxim) + (prednison)

An. F (Kasus 3)

An.E (Kasus 4)

+ (furosemida)

+ (furosemida)

Antihipertensi Antibiotika Kortikosteroid

An. G (Kasus 1) + (lasix dan aldakton) + (captopril) + (cefotaxim) + (prednison)

Mukolitik Inhalasi Albumin Multivitamin

+ (mucera) + (1x) +

+ (3x) -

-

Diuretik

+ (captopril) + (cefotaxim) + (prednison)

+ (cefotaxim) + (prednison, triamsinolon) + (ambroksol) + + (3x) +

Seluruh pasien mendapatkan terapi kortikosteroid, baru pertama kali menderita sindroma nefrotik, serta tidak memiliki riwayat minum obat–obatan jangka panjang sebelumnya. Pasien dikatakan remisi apabila proteinuria negatif atau trace selama tiga hari berturut–turut dalam satu minggu, dikatakan sensitif steroid apabila remisi tercapai dalam empat minggu atau kurang setelah pengobatan steroid dosis penuh (full dose), dan disebut resisten steroid apabila tidak terjadi remisi setelah empat minggu. 1,3,4,19 Apabila dikonfirmasi dengan proteinuria di akhir pemantauan dan lamanya rawat, lama rawat seluruh pasien berkisar enam sampai sembilan hari, tiga pasien menunjukkan proteinuria (+), dan satu pasien tidak dilakukan pemeriksaan ulang. Jadi pada keempat pasien ini kemungkinan belum terjadi remisi. Penanganan pasien sensitif steroid ataupun resisten steroid pada kasus sindroma nefrotik idiopatik masih memerlukan evaluasi lebih lanjut. Pasien yang tidak merespon pengobatan dengan steroid sebaiknya dilakukan uji genetik dan biopsi ginjal untuk mengetahui kemungkinan adanya fokal segmental glomerulosklerosis. Beberapa pilihan pengobatan belum tentu memberikan respon yang optimal. Secara keseluruhan, sindroma nefrotik idiopatik baik yang sensitif maupun resisten dengan steroid sama–sama cenderung memiliki komplikasi, sehingga masih diperlukan penelitian lebih lanjut. 65 Sensitifitas steroid pada terapi sindroma nefrotik anak biasanya menandakan rendahnya risiko gagal ginjal menetap. Tetapi terdapat beberapa pasien yang awalnya sensitif steroid kemudian berkembang menjadi resistens steroid. Tatalaksana

pada

yang

resistensi

steroid

sering

diobati

dengan obat

imunosupresan, tetapi efek pada prognosis jangka panjang masih belum diketahui.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

77

Sebuah review retrospektif pada pasien yang didiagnosis idiopatik dan kelompok late steroid resistance, outcome

sindroma nefrotik yang diukur adalah

proteinuria dan fungsi ginjal. Terapi non steroid berdampak terjadinya remisi pada 69% pasien. Ternyata pada pasien late steroid resistance, terapi imunosupresif dapat memperbaiki proteinuria dan mempertahankan fungsi ginjal. Kesimpulan penelitian tersebut menunjukkan bahwa pengobatan imunosupresif merupakan pilihan yang baik pada pasien sindroma nefrotik termasuk kelompok yang resisten steroid.66 Terapi albumin yang didapat pasien ini (Kasus 2) sebanyak tiga kali berturut–turut, yang kemungkinan bertujuan untuk mengatasi keadaan edemanya. Jadi terapi albumin yang didapat kemungkinan untuk memperbaiki tekanan onkotik dan bukan untuk terapi nutrisi. Pemberian albumin dengan furosemid dikatakan dapat mengefektifkan proses diuresis pada pasien sindroma nefrotik dengan edema berat yang diakibatkan oleh hipoalbuminemia.4 Seluruh kasus diatas mendapatkan terapi diuretik furosemid, seiring pemberian diuretik tersebut maka produksi urin semakin meningkat, sehingga risiko gangguan keseimbangan elektrolit dan defisiensi zinc, vitamin B1, vitamin B6, vitamin B2, dan vitamin C pun semakin meningkat. Penambahan diuretik berupa spironolakton adalah jenis diuretik yang bekerja berlawanan dengan efek aldosteron di tubulus renalis, yaitu jenis diuretik yang dapat mencegah keluarnya kalium, sehingga suplementasi mikronitrien yang tersebut di atas tetap dianjurkan.67 Seluruh kasus juga mendapatkan obat anti hipertensi berupa captopril. Captopril merupakan golongan ACE inhibitor yang selain sebagai obat antihipertensi juga dapat menghambat progresifitas glomerulus, sehingga dikatakan dapat memperbaiki proteinuria dan bersifat renoprotektif. Terapi captopril jangka panjang dapat menyebabkan mulut kering, hubungannya dengan elektrolit dapat meningkatkan kalium darah melalui interaksinya di ginjal.43,44,45

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

78

Tabel 4. 4 Komplikasi yang terjadi Komplikasi Edema Hipertensi Proteinuria Hematuria Hipoalbuminemia Peningkatan enzim transaminase Dislipidemia Anemia Hipokalemia Infeksi

An. G (Kasus 1) + + + + + Tidak ada data

An. R (Kasus 2) + + + + + Tidak ada data

An. F (Kasus 3) + + + + + + (ringan)

An. E (Kasus 4) + + + + + +

+ Leukositosis, BronkhoPneumonia

+ + + Leukositosis

+ Leukositosis

+ + Bronkhopneumonia, cholecystitis

Tabel 4.4. menunjukkan terdapat satu pasien dengan diagnosis penyerta berupa bronkhopneumonia (kasus 1) dan satu pasien dengan bronkhopneumonia dan cholecystitis (kasus 4), sedangkan dua pasien lainnya kemungkinan juga terdapat infeksi yang terlihat dari gambaran leukositosisnya. Bronkhopneumonia, cholecystitis dan leukositosis memberikan gambaran terdapatnya suatu infeksi. Infeksi merupakan salah satu komplikasi serius dari sindroma nefrotik. Faktor risiko terjadinya infeksi antara lain akibat rendahnya tingkat IgG serum yang hilang terbawa urin, T limfosit yang abnormal dan penurunan faktor B (C3 proaktivator) dan D, yang masing-masing merupakan komponen jalur alternatif komplemen, sehingga terjadi penurunan kemampuan opsonisasi terhadap bakteri, termasuk bakteri streptococcus pneumoniae. Penggunaan steroid dan terapi imunosupresif lainnya juga dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Terdapat 100 lebih jenis infeksi ini, seperti selulitis, sepsis, meningitis, dan pneumonia. Kebanyakan infeksi disebabkan oleh S. Pneumoniae atau Staphylococcus, meskipun infeksi karena organisme gram negatif seperti Escherichia coly dan Haemophilus influenzae juga dapat terjadi. Untuk itu bagi penderita sindroma nefrotik dianjurkan imunisasi vaksin Pneumococcus.

American Academy of Pediatrics menghimbau penggunaan

vaksin Pneumococcus konjugasi heptavalent untuk vaksinasi universal semua anak sampai usia 23 bulan, termasuk anak dengan sindroma nefrotik, dan pada

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

79

usia 24–59 bulan untuk kelompok anak yang berisiko menderita sindroma nefrotik.46,68 Sehubungan dengan komplikasi cholecystitis pada kasus 4, sebuah studi di Jepang melaporkan kejadian acute acalculous cholecystitis (ACC) pada anak dengan sindroma nefrotik, mendadak sakit perut kurang dari satu bulan dan terdapat muntah, serta diagnosis AAC diperoleh dari USG. Jenis cholecystitis pasien ini tidak disebabkan oleh operasi, terdapat nyeri di perut kanan atas, distensi abdomen, kuning dan demam, keadaan tersebut membaik dengan pengobatan non operatif. Acute acalculous cholecystitis relatif umum terjadi pada anak-anak, prevalensi 30–50% dari total cholecystitis anak. Klasifikasi AAC berdasarkan durasi dibagi menjadi dua kategori, yaitu akut (kurang dari satu bulan) dan kronis (lebih dari tiga bulan). Kedua kategori AAC dapat memiliki aspek yang berbeda dalam manifestasi klinis dan laboratorium. AAC sering terjadi pada keadaan infeksi, sepsis, pemberian nutrisi parenteral, dehidrasi, operasi abdomen, dan luka bakar yang luas. Terapi pilihan untuk AAC pada orang dewasa adalah kolesistektomi, tetapi belum ada bukti untuk anak–anak. Pada anak–anak sebagian besar menunjukkan perbaikan dengan pengobatan non operatif, termasuk dengan pemberian antibiotik spektrum luas. 60 Pada urin penderita sindroma nefrotik, selain terdapat proteinuria juga dapat ditemukan sel darah merah dan casts. Casts tersebut dapat berupa hialin, granular, lemak, lilin, RBC, atau sel epitel. Lipiduria mungkin terjadi pada seluruh kasus, tetapi pemeriksaan tersebut tidak dilakukan di tempat keempat pasien dirawat. Lipiduria adalah terdapatnya lemak dalam urin. Lipiduria pada sindroma nefrotik berupa lipoprotein bersama protein lain dengan jenis lemak endogen. Lipiduria tersebut menunjukkan terdapatnya gangguan glomerulus. Kolesterol urin dapat dideteksi dengan mikroskop biasa dan menunjukkan Maltese cross pattern

di bawah cahaya terpolarisasi silang, sedangkan pemeriksaan untuk

trigliserida dengan pewarnaan Sudan.69,70. Sebuah studi yang

menilai besarnya lipiduria pada glomerulonefritis

kronik dan amiloidosis ginjal dengan sindroma nefrotik, dilakukan pemeriksaan kadar lemak dalam darah dan urin, berupa lipid dan fosfolipid, kolesterol bebas, monogliserida, digliserida, trigliserida, dan kolesterol ester. Ditemukan kenaikan

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

80

konsentrasi lipid, kolesterol bebas, dan triglserida serta terdapat penurunan kolesterol ester. Lipiduria

sebagian besar ditandai dengan peningkatan

konsentrasi lipid dan fosfolipid, dengan sebagian besar perubahan parameter pada karakteristik pasien glomerulonefritis kronik. Tingginya lipid yang terbawa urin menggambarkan tingginya lipid yang terfiltrasi.71 Dalam hubungannya dengan terapi nutrisi, meskipun diperoleh beberapa keuntungan dalam retriksi protein dalam diet pada sejumlah kasus anak dengan insufisiensi ginjal, suatu penelitian terakhir memperlihatkan tidak ada pengaruh dari restriksi protein dalam diet terhadap progresifitas penyakit ginjal, tetapi tetap merupakan tindakan yang benar untuk tidak memberikan protein yang berlebihan pada anak dengan proteinuria. Hal ini disebabkan diet tinggi protein dapat memperburuk proteinuria, khususnya pada pasien anak dengan sindroma nefrotik, dan tindakan ini tidak bermanfaat untuk menaikkan kadar albumin plasma, sehingga direkomendasikan asupan protein untuk anak dengan proteinuria adalah sesuai RDA. 19 Semua pasien ini direncanakan pemberian protein dengan bioavaibilitas tinggi. Pemberian protein yang dianjurkan untuk sindroma nefrotik adalah 80% high bioavaibylity value (HBV), sedangkan asupan tinggi protein berkontribusi terhadap tingginya asupan fosfat.72 Di sisi lain, sebuah studi menunjukkan pembatasan diet fosfat pada penyakit ginjal dapat menurunkan proteinuria, kalsifikasi ginjal, perubahan histologis, dan kerusakan fungsional ginjal. Hal ini didukung oleh sebuah penelitian dengan pemberian diet

rendah fosfor pada

pasien gagal ginjal, terdapat perbaikan proteinuria dan perlambatan progresifitas penyakit ginjal. Diketahui, dalam setiap 1 mg/dL fosfat serum, terlepas dari faktor

risiko

lain,

dikaitkan dengan peningkatan

perkembangan End State Renal Disease (ESRD).

73,74

sebesar

85%

risiko

Namun demikian, tidak

semua protein hewani dan sayuran memiliki proporsi fosfor yang sama, dan konsentrasi fosfat dalam darah juga dipengaruhi oleh besarnya asupan protein, tinggi rendahnya kadar pengikat fosfor

dan juga tingkat Fibroblast Growth

Factor 23 (FGF 23) yang dilepaskan oleh tulang, serta toleransi tubuh terhadap pengikat

fosfor,

dimana semua itu dapat mempengaruhi efisiensi

fosfor.

Konsumsi fosfor harian orang dewasa sehat sekitar 1200 mg, di mana sebanyak

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

81

950 mg akan diserap oleh tubuh. Sekitar 29% fosfor tubuh terletak di dalam tulang, dan kurang dari 1% ada di dalam darah, sebagai fosfor yang diukur dalam praktek klinis. Sebagian besar fosfor (70%) terletak intra seluler. Fosfor

di

ekskresi melalui saluran cerna sekitar 150 mg/hari dan melalui urin sekitar 800 mg/hari. Satu gram protein mengandung 13–15 mg fosfor, dimana 30–70% akan diserap melalui usus. Konsumsi fosfor harian dimediasi oleh phosphatonin dari usus. Keseimbangan fosfor positif melibatkan phosphatonin, pharatyroid hormone (PTH) dan FGF 23.

Asupan protein yang tinggi berkaitan dengan tingginya

asupan fosfor, rekomendasi diet yang dianjurkan adalah 700 mg/hari untuk orang dewasa sehat, dan 1250 mg hari untuk anak–anak dan ibu hamil, dan asupan lebih rendah lagi dianjurkan umtuk pasien dengan penyakit ginjal. Fosfor dari protein nabati memiliki daya serap lebih rendah dibandingkan fosfor dari protein hewani, mulai dari 40 % sampai 50 %. Hal tersebut karena fosfor dari tanaman berada dalam bentuk phytates dan fosfor dalam protein hewani dalam bentuk fosfat organik, yang mudah dihidrolisis dan diserap.

Asupan protein hewani

dapat meningkatkan serum fosfor dan FGF 23 yang lebih banyak dari pada asupan protein nabati, meskipun demikian tidak semua protein hewani memiliki proporsi fosfor yang sama. Oleh karena itu diet protein

dengan bioavaibilitas tinggi

diperlukan pula pemilihan protein hewani dengan kadar fosfor yang serendah mungkin. Rasio fosfor (dalam mg) untuk protein (dalam gram) berkisar dari <10 mg/g sampai > 65 mg/g.74 Pada semua pasien tersebut juga terdapat hiperkolesterolemia. Kadar kolesterol plasma yang meningkat merupakan hal paling sering terjadi pada sindroma nefrotik, sedangkan peningkatan kadar trigliserida dapat ditemukan pada pasien dengan proteinuria berat. Abnormalitas dari profil lipid tersebut berkolerasi dengan beratnya sindroma nefrotik yang terjadi, dan perbaikan dapat terjadi setelah penyakit tersebut mengalami remisi. 27 Perencanaan diet pasien sindroma nefrotik dengan komplikasi dislipidemia adalah sesuai rekomendasi NCEP dan AHA, meskipun keadaan dislipidemia dapat membaik sejalan dengan perbaikan terapi, penyakit aterosklerosis–kardiovaskular saat usia anak–anak dapat berisiko masalah CVD di usia dewasa.39

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

82

Pemberian komposisi lemak baik PUFA, MUFA dan SAFA pada keempat kasus adalah sesuai yang telah direkomendasikan. Ketidakseimbangan komposisi PUFA, MUFA dan SAFA dalam diet dapat memicu stres oksidatif dan peroksidasi lipid. Perkembangan ilmiah menyatakan hubungan kolesterol plasma dengan konsumsi lemak (SAFA, PUFA, dan MUFA), ukuran partikel lipoprotein serta serangkaian ikatan protein yang mengubah transkripsi gen yang terlibat dalam metabolisme lipid atau oksidasi asam lemak, yang merupakan fungsi fisiologisnya,

serta responsif tidaknya terhadap lemak dalam makanan yang

dikonsumsi. Asupan asam lemak dalam makanan yang dikonsumsi, asam linoleat tak jenuh ganda dan asam linoleinic paling rentan terhadap peroksidasi lipid. Gugus asam lemak teroksidasi adalah komponen yang pada akhirnya menjadi sel busa dan memblokir arteri melalui pembentukan plak arteri. Stres oksidatif dan produk peroksidasi lipid diketahui terlibat dalam penyakit jantung, kanker dan penyakit kronis maupun infeksi lainnya.75 Studi diet pada manusia sering mendapatkan hasil yang bertentangan mengenai efek dari asam lemak tak jenuh tunggal dan tak jenuh ganda pada profil lipid plasma. Asam lemak tak jenuh tunggal dan tak jenuh ganda keduanya berperan untuk mengurangi total kolesterol dan LDL–kolesterol dibandingkan dengan asam lemak jenuh, tetapi efek pada HDL belum jelas. Beberapa bukti menunjukkan bahwa asam lemak tak jenuh ganda dapat melindungi dari terjadinya aterosklerosis, untuk asam lemak tak jenuh tunggal masih berdasarkan pada data epidemiologi dan analisis faktor risiko.76 Managemen cairan pada keempat pasien tersebut tidak di retriksi, dikatakan bahwa retriksi cairan dilakukan pada keadaan edema berat dengan oligiria sampai anuria, tetapi disebutkan juga bahwa pada pasien yang sensitif steroid meskipun terjadi edema tidak dilakukan retriksi. Seluruh kasus juga mendapatkan diuretik, tanpa mendapatkan cairan rumatan secara intra vena, sehingga apabila dilakukan retriksi cairan dapat menurunkan perfusi ginjal dan memperburuk keadaan ginjal tersebut, oleh karena itu maka retriksi cairan tidak dilakukan berdasarkan judgment penulis.77 `Pemberian mikronutrien pada sindroma nefrotik anak disarankan sesuai RDA, dan suplementasi apabila terjadi defisiensi. 3 Bagaimanapun, vitamin D

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

83

terikat protein dapat loss bersama urin, tetapi apakah sintesis meningkat karena respon teresbut belum diketahui. Besi dan transferin akan meningkat ekskresinya bersama urin, tetapi terdapat pendapat anemia yg terjadi mungkin lebih disebabkan turunnya erythropoietin dari pada defisiensi besi. Zinc terikat protein akan loss bersama urin, tetapi defisiensi yang terjadi selain terbawa urin mungkin juga akibat turunnya absorbsi, sedangkan efek proteinuria terhadap metabolisme zinc belum diketahui, demikian juga untuk copper dan kalsium. Selenium, vitamin E,vitamin C dan L carnitin dapat normal atau menurun, tetapi sejauh mana kadarnya belum diketahui.40 Bagaimanapun juga pasien dengan diuresis akibat terapi diuretik cenderung akan lebih banyak kehilangan vitamin terutama vitamin larut air, hal ini didukung oleh adanya kebutuhan metabolisme yang meningkat pada keadaan sakit serta sesuai data nutrisurvey sebagian besar dari keempat kasus memiliki asupan mikronutrien yang kurang. Maka beberapa alasan tersebut yang menimbulkan

pendapat

sebagai

dasar

direkomendasikannya

pemberian

mikronutrien pada keempat kasus ini, yang sesuai dengan rekomendasi American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN) dalam hal tidak melarang dilakukannya judgment dalam pemberian terapi nutrisi.77 Sebuah studi yang meneliti suplementasi zinc oral (10 mg sehari) pada pasien anak dengan sindroma nefrotik, diperoleh hasil terjadinya remisi yang lebih cepat dan penurunan frekuensi kekambuhan. Meskipun demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat merekomendasikan suplementasi zinc.2 Pemberian antioksidan belum ada rekomendasi, meskipun demikian suatu studi pada pasien sindroma nefrotik anak yang relaps, dengan suplementasi single dan kombinasi dari asam lemak omega tiga, vitamin E dan bawang putih, diperoleh hasil bahwa suplementasi kombinasi ketiga hal tersebut lebih baik dalam menurunkan profil lipid dan dapat ditoleransi untuk suplementasi jangka pendek, sedangkan untuk jangka panjang masih perlu penelitian lebih lanjut.41,78 Studi lain pada pasien anak sindroma nefrotik sensitif steroid, berupa suplementasi vitamin E, vitamin C, karoten dan riboflavin, diperoleh hasil bahwa

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

84

suplementasi kombinasi tersebut bermakna dalam menurunkan proteinuria dan meningkatkan level malonylaldehide (MDA) serum.42,79 Seluruh kasus dalam serial kasus ini diberikan sirup omega tiga, meskipun dosis yang tepat untuk anak belum ada rekomendasi. 2 Pertimbangan suplementasi tersebut mengingat terdapatnya dampak positif pemberian omega tiga terhadap sindroma nefrotik, baik dalam hal menekan inflamasi maupun memperbaiki dislipidemia dengan menurunkan sintesis VLDL di hati, serta perannya dalam memperbaiki proteinuria. Hal tersebut sejalan dengan pemberian mikrinutrien pada seluruh kasus ini, dimana sesuai rekomendasi ASPEN seperti tersebut di atas, yaitu disetujuinya melakukan judgment dalam terapi nutrisi.77 Asam

lemak

omega tiga terdiri dari Alpha-linolenic acid (ALA), Eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA). Alpha-linolenic acid merupakan asam lemak esensial karena tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia, demikian juga linoleic acid (LA) yang merupakan suatu asam lemak omega enam, dimana arachidonic acid (AA), dapat disintesis dari LA tersebut. Eicosapentaenoic acid dan DHA, dapat disintesis dari ALA tetapi tubuh anak belum dapat merubah ALA menjadi EPA dan DHA, sehingga suplementasi dianjurkan dalam bentuk EPA dan DHA. Adapun rekomendasi asupan sumber ALA untuk anak usia 1–3 tahun adalah 700 mg/hari dan untuk anak usia 4–8 tahun adalah 900 mg/hari. Peningkatan asupan EPA dan DHA dinyatakan dapat menurunkan risiko penyakit jantung, mencegah aritmia, mengurangi risiko trombosis, penurunan kadar trigliserida serum, memperlambat terjadinya aterosklerosis, meningkatkan fungsi endotel vaskular, menurunkan tekanan darah, menekan inflamasi serta mempertahankan fungsi ginjal. Pada tahun 2001, Food and Drug Administration (FDA) mengizinkan penambahan DHA dan AA pada formula bayi di Amerika Serikat. Produsen tidak diwajibkan mencantumkan jumlah DHA dan AA pada lebel susu formula, namun demikian penambahan DHA dan AA tersebut berkisar 8–17 mg DHA/100 kalori (5

ml)

dan

16–34

mg

AA/100

kalori.

World

Health

Organization

merekomendasikan asupan asam lemak omega enam sebanyak 5–8% dari energi dan asupan asam lemak omega tiga 1-2% dari energi. American Heart Association merekomendasikan untuk makan ikan, terutama ikan berminyak, setidaknya dua kali seminggu untuk menurunkan risiko penyakit cardiovaskular. 80

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

85

Tabel 4. 5 Pemantauan dan evaluasi Lama pemantauan KET tercapai hari keKebutuhan protein tercapai hari keAsupan mikronutrien sebelum sakit

An. G (Kasus 1)

An. R (Kasus 2)

An. F (Kasus 3)

An. E (Kasus 4)

3

6

1

8

Sejak sebelum sakit

6

Sejak sebelum sakit

1

Baik

Kurang baik

Kurang baik

Kurang baik

7

9

6

9

Berdasarkan tabel 4.5. asupan makan keempat pasien mencapai total berkisar dari hari ke dua hingga ke enam perawatan, meskipun demikian terdapat satu pasien (kasus 2)

dengan asupan protein kurang dari yang direncanakan hingga

pemantauan hari ke lima. Pada hari ke 6 pemantauan, kebutuhan protein baru tercukupi, demikian juga kebutuhan energi totalnya, sedangkan berdasarkan data analisis asupan sebelum sakit, pasien tersebut memiliki riwayat asupan protein dan kalori yang cukup baik dengan riwayat asupan mikronutrien sebelum sakit yang kurang baik. Asupan protein kurang dari yang direkomendasikan diimbangi proteinuria yang belum menunjukkan perbaikan pada pasien ini, semakin memperkuat untuk tidak meretriksi protein pada kasus sindroma nefrotik idiopatik anak. Tabel 4. 6 Evaluasi proteinuria Proteinuria

An. G (Kasus 1)

An. R (Kasus 2)

An. F (Kasus 3)

An. E (Kasus 4)

Awal (saat pemeriksaan)

++

++

+

++

Akhir (saat pulang)

+

++

Tidak ada data

+

Sesuai Tabel 4.6. pada akhir pemantauan, proteinuria pasien tersebut (Kasus 2), masih menunjukkan keadaan seperti awal pemantauan, yaitu proteinuria (++). Apabila dalam empat minggu masih menunjukkan keadaan demikian, hal tersebut menggambarkan tidak adanya remisi. 1,3,4,19 Proteinuria yang menetap menggambarkan progresifitas penyakit ginjal, dan perbaikan proteiunuria

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

86

dapat memberikan gambaran ke arah perbaikan. 18 Asupan protein yang tidak adekuat dapat memperburuk keadaan meskipun terjadinya remisi mungkin disebabkan oleh berbagai faktor.4 Tabel 4. 7 Evaluasi berat badan dan produksi urin

BB sebelum sakit BB saat pemeriksaan BB akhir pemantauan Diuresis saat pemeriksaan (mL/kgBB/24jam) Diuresis akhir pemantauan

An. G (Kasus 1)

An. R (Kasus 2)

An. F (Kasus 3)

An. E (Kasus 4)

12 kg 15 kg

9 12

16 20

17 23

13 kg

10

19

19

1,7

2,3

0,65

0,6

6,9

6,9

2,6

2,8

Keempat pasien memiliki kemampuan diuresis yang berbeda, meskipun tidak terdapat pasien dengan kriteria oliguria (diuresis kurang dari 0,5 mL/kgBB/24 jam), tetapi pasien yang tidak taat mengkonsumsi steroid menggambarkan tingkat diuresis yang lebih rendah. 7 Terdapat satu pasien (Kasus 3) yang sulit mengkonsumsi obat termasuk steroid yang diberikan, sementara sebelum perawatan pasien telah sekitar satu bulan menjalani rawat jalan dengan dugaan diagnosis yang sama. Pasien pulang atas permintaan orang tua pasien, setelah menjalani tujuh hari perawatan, meskipun demikian asupan protein pasien sudah mencapai yang direkomendasikan. Pada pasien ini data laboratorium hanya dilakukan saat kedatangan pertama kali ke RS, sehingga tidak bisa dievaluasi keadaan proteinurianya selama pemantauan. Bagaimanapun terapi nutrisi pada sindroma nefrotik idiopatik adalah untuk mencapai asupan nutrisi sesuai yang direkomendasikan,

agar

nutrisi

pasien tercukupi,

mempertahankan atau

memperbaiki status nutrisi, menekan progresifitas penyakit dan mempertahankan tumbuh kembang yang optimal.3,4 Kerjasama dengan sejawat yang merawat pasien akan sangat membantu dalam menunjang pengobatan. Pada keempat kasus dalam serial kasus ini terdapat satu pasien dengan proteinuria menetap sampai akhir

pemantauan,

yaitu

Kasus

2,

asupan

protein

sesuai

yang

direkomendasikanpun baru tercapai pada hari ke–6. Berdasarkan data tersebut, terdapat

kecenderungan

akan

pentingnya

asupan

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

protein

sesuai

yang

Universitas Indonesia

87

direkomendasikan dalam mendukung pengobatan dan tercapainya kesembuhan pasien anak dengan sindroma nefrotik. Hal tersebut juga mendukung tidak dilakukannya retriksi protein pada seluruh kasus tersebut. Dari keempat kasus diatas, berdasarkan data dan pematauan yang ada, risiko tinggi untk terjadi relaps adalah kasus 2, dimana onset penyakit pada usia kurang dari tiga tahun (pasien ini usia 15 bulan) dan terdapat remisi lambat, dimana pasien ini terdapat proteinuria menetap sejak awal sampai akhir pemantauan. Hal tersebut sesuai yang telah dijelaskan diatas, bahwa pada pasien tersebut terdapat dua dari tiga risiko tinggi terjadinya relaps. Risiko tinggi terjadi relaps apabila (1) Onset terjadi pada enam bulan pertama, (2) Remisi lambat pada episode awal, dan (3) relaps terjadi pada enam bulan pertama. Tingginya risiko relaps berhubungan dengan pilihan terapi, termasuk kemungkinan diberikannya steroid jangka panjang dengan segala efek samping terapi pada pasien tersebut.4 Prognosis yang memperburuk pasien ini adalah usia yang kurang dari dua tahun, terdapat hipertensi dan hematuria.16 Berdasarkan keempat kasus di atas, kendala utama dalam terapi nutrisi pasien anak adalah anak masih belum bisa mengerti tujuan terapi nutrisi, sehingga cenderung untuk mengkonsumsi makanan yang disukai, bukan yang dianjurkan, demikian juga mengenai diet rendah garam, untuk edema berat dianjurkan dengan tidak menambahkan garam dalam makanan akan lebih baik mengatasi keadaan edemanya, tetapi hal ini akan sulit diterima oleh anak–anak, sehingga apabila dipaksakan justru anak tidak mau makan, dan dampaknya justru asupan nutrisi yang direncanakan tidak dapat tercapai. Oleh karena itu monitoring disertai pemberian konseling kepada pasien dan orang tua ataupun pengasuh, pemberian modifikasi penyajian makanan yang menarik perhatian anak, serta suasana yang kondusif untuk anak akan sangat membantu dalam keberhasilan terapi nutrisi.3

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

88

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Sindroma nefrotik idiopatik merupakan kumpulan gejala berupa proteinuria, edema, hiperkolesterolemia, dan hipoalbuminemia, penyebabnya belum diketahui dengan pasti, keadaan tersebut terkait kelainan glomerular intrinsik ginjal dan tidak disebabkan oleh faktor sistemik. Seluruh pasien memiliki status gizi kurang, memiliki persamaan hasil skrining dan subyektif yang hampir sama untuk membuat pasien dibawa ke rumah sakit. Riwayat penyakit dahulu dan kemungkinan riwayat mengkonsumsi obat–obatan dikonfirmasi untuk menggali kemungkinan faktor penyebab primer atau sekunder, dimana seluruh pasien dalam serial kasus ini merupakan sindroma nefrotik primer, serta bukan kongenital. Seluruh pasien didiagnosis hipertensi, dimana komplikasi hipertensi dapat terjadi sekitar 15–20% kasus. Kebutuhan energi basal seluruh pasien ditentukan dengan rumus Schoefield (BB–TB), rumus ini mempertimbangkan faktor usia, jenis kelamin, TB dan BB, serta paling akurat dalam menentukan BMR. Tujuan pemberian nutrisi anak sakit dengan mempertimbangkan kondisi stres metabolik, karena setiap anak dapat mengalami respon metabolik yang berbeda, sehingga perlu diwaspadai dampak yang mungkin terjadi. Pola diet yang disarankan untuk anak sindroma nefrotik

adalah

sesuai

rekomendasi

NCEP

dan

AHA,

lemak

yang

direkomendasikan tidak lebih dari 28% dengan komposisi MUFA 12%, PUFA 8%, dan SAFA 8%, menghindari asupan lemak trans dengan asupan kolesterol tidak melebihi dari 300 mg/hari. Kebutuhan protein diberikan sesuai RDA dikalikan faktor stres, dengan sumber protein yang memiliki bioavailabilitas tinggi. Pemberian mikronutrien dianjurkan sesuai RDA, meskipun belum ada rekomendasi, pemberian mikronutrien dan nutrien spesifik berdasarkan judgment yang telah disetujui oleh ASPEN. Diet rendah garam (natrium tidak lebih dari 2 g/hari) dapat memperbaiki efektifitas diuretik sehingga membantu mempercepat hilangnya edema, membantu menurunkan tekanan darah, dan memperbaiki proteinuria yang terjadi.

88 Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

89 89

Asupan cairan pada seluruh pasien tidak diretriksi berdasarkan antara lain tidak terdapatnya oliguria, masih cukup sensitif dengan pemberian steroid, dan edema yang terjadi masih mengalami respon yang baik dengan terapi. Dua pasien dalam serial kasus ini memiliki komplikasi bronkhopneumonia. Infeksi saluran pernafasan merupakan komplikasi infeksi paling sering pada anak dengan sindroma nefrotik. American Academy of Pediatrics menghimbau untuk dilakukan vaksinasi pada semua anak sampai usia 23 bulan, dan untuk kelompok berisiko dianjurkan vaksinasi di usia 24–59 bulan. Terdapat dua pasien dengan komplikasi anemia, kemungkinan terbanyak pada kasus sindroma nefrotik anak adalah akibat kekurangan zat besi, kehilangan EPO dan transferin melalui urin. sehingga akan meningkatkan katabolisme transferin, kemudian terjadi hipotransferinemia, dan anemia defisiensi besi. Terdapat satu pasien dengan komplikasi cholecystitis, komplikasi ini merupakan kasus yang jarang pada sindroma nefrotik anak. Terdapat dua pasien yang kemungkinan didahului terjadinya infeksi saluran nafas atas pada 2–3 minggu SMRS, yaitu kemungkinan terinfeksi bakteri streptokokus beta hemolitikus grup A, dimana hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya glomerulonefritis, sedangkan serangan glomerulonefritis merupakan penyebab tersering terjadinya sindroma nefrotik. Seluruh pasien mendapatkan terapi prednison, yaitu suatu kortikosteroid, yang apabila dikonsumsi dalam jangka panjang terutama pada sindroma nefrotik yang relaps berulang, maka perlu diwaspadai risiko efek samping terapi, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Modifikasi diet diperlukan untuk mengatasi masalah ini. Proteinuria menetap menggambarkan progresifitas penyakit ginjal, dan kemungkinan tidak adekuatnya asupan protein dapat memberikan dampak lebih buruk meskipun terjadinya remisi dapat diakibatkan oleh berbagai faktor. Keempat kasus telah mencapai asupan energi maupun protein sesuai yang direncanakan dengan waktu yang berbeda, hal tersebut seiring perbedaan kondisi klinis yang mendasari. Kendala utama dalam terapi nutrisi pasien anak adalah pasien anak masih belum bisa menyadari pentingnya tujuan terapi nutrisi, sehingga cenderung untuk

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

90

mengkonsumsi makanan yang disukai, bukan yang dianjurkan. Demikian juga untuk masalah rasa makanan, diet rendah garam lebih sulit diterima oleh anak– anak, sehingga dapat berdampak tidak tercapainya asupan nutrisi sesuai yang direncanakan. Peran orang tua dalam mengatur jumlah dan jenis asupan saat kepulanganpun sangat diharapkan agar kemungkinan progresifitas penyakit dapat diminimalkan. Berhubung sindroma nefrotik memiliki risiko tinggi untuk kambuh, maka monitoring dan evaluasi dengan disertai pemberian konseling kepada pasien dan orang tua ataupun pengasuh, pemberian modifikasi penyajian makanan yang menarik perhatian anak, serta suasana yang kondusif untuk anak akan sangat membantu dalam keberhasilan terapi nutrisi, dimana akan berkontribusi positif terhadap pemberian terapi farmakologi, sehingga tujuan untuk mempercepat kesembuhan ataupun meminimalisir komplikasi dapat ditekan, hal tersebut tentumya akan lebih baik bila terdapat kerjasama berbagai multi disiplin ilmu. 5.2.

Saran

Tatalaksana nutrisi pada sindroma nefrotik idiopatik anak memerlukan managemen farmakologi maupun non farmakologi, serta observasi dan pemantauan jangka panjang. Apabila penyakit ini sering berulang maka tata lakasana nutrisinyapun akan mempertimbangkan keadaan tersebut. Berbagai komplikasi klinik yang mendasari dapat memberikan perbedaan dalam tata laksana nutrisi, meskipun tetap tidak mengesampingkan penyakit yang mendasari. Managemen nutrisi memegang peranan penting dalam memperbaiki status nutrisi, mempengaruhi progresifitas penyakit, mempengaruhi kesembuhan dan kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien, sehingga managemen nutrisi ini sebaiknya menjadi bagian dari multi disiplin ilmu dalam managemen nutrisi pasien sejak menjalani perawatan sampai saat perawatan di rumah. Kegiatan multi disiplin ilmu ini dapat dilakukan berkelanjutan maupun berkala, bagaimanapun deteksi dini dan penatalaksanaan lebih dini akan menekan terjadinya komplikasi. Hal tersebut tentunya akan dapat menekan kegawat daruratan, frekuensi kunjungan dan lama perawatan di rumah sakit. Kegiatan tersebut akan lebih baik apabila dibuat suatu wadah dalam bentuk organisasi penderita sindroma nefrotik, sehingga koordinasi terapi maupun pemantauan akan menjadi lebih mudah.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

91

DAFTAR REFERENSI

1.

Davin C, Rutjes NW. Nephrotic Syndrome in Children: From Bench to Treatment. International Journal of Nephrology 2011;1–6.

2.

Lane JC, Langman, CB. Paediatric Nephrotic Syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/982920l. Diunduh 13 Mei 13.

3.

Swinford RD, Elenberg E, Ingelfinger JR. Nutrition in paediatric. ed 3, London. BC Decker Inc. 2003

4.

Noer, MS. Sindroma Nefrotik Idiopatik. Kompendium Nefrologi Anak.Badan Penerbit IDAI. Jakarta. 2011.

5.

Kidney development. From Wikipedia, the free encyclopedia. http://en.wikipedia.org/wiki/Kidney_development. diunduh 18 Mei 2013.

6.

Sadler TW. Embriologi Kedokteran Langman. ed 7. Jakarta. EGC. 2000. hal.272-310

7.

Wilson LM. Prosedur Diagnostik pada Penyakit Ginjal. Dalam: Wilson LM. Price SA. Patofisiologi Konsep Klinis Proses–Proses Penyakit (Pathophysiology: Clinical Concepts of Disease Processes). ed 6. Jakarta.2006.hal.895–911.

8.

Bergstein, JM. Nefrologi. Dalam; Nelson, WE (editor). Nelson Ilmu Kesehatan Anak (Nelson Texbook of Pediatrics). ed 15. Jakarta.EGC.2012.hal.1804–1061.

9.

Anonymous. Kidney Anatomy Internal. http://www.medicalartlibrary.com/. Diunduh 5 Mei 2013.

10. Anonymous. Urinary System : Anatomy and Histology. http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/apiinotes3%20urinary %20anatomy.htm. Diunduh 5 Mei 2013. 11. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (Human Physiology: from Cells to Systems). ed 2.Jakarta. EGC:2001.hal.461–505. 12. Sacher RA, McPherson RA. Dalam: Hartanto H (editor). Tinjuan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. ed 11. Jakarta.EGC: 2004. 13. Levey AS, MD, Coresh J, MD, Balk E, Kausz AT, Levin A, Steffes MW, dkk. National Kidney Foundation Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Clinical Guidelines. Ann Intern Med 2003;139:137–147

91 Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

92

14. Anonymous. Nephrotic Syndrome. Clinical key elsevier. https://www.clinicalkey.com/topics/nephrology/nephrotic-syndrome.html Diunduh 5 Mei 2013. 15. Silbernagl S, Lang F. Dalam: Resmisari T, Liena (editor).Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi (Color Atlas Of Pathophyisiology). Jakarta EGC. 2007. 16. Noer MS, Soemyarso N. Sindroma Nefrotik. http://old.pediatrik.com Diunduh 5 Mei 2013. 17. Gordillo R, Spitzer A. The Nephrotic Syndrome. American Academy of Paediatrics 2009;30;94-105. 18. Park SJ, Shin, J. Complications of nephrotic syndrome. Korean J Pediatr 2011;54:322-328. 19. Hogg RJ, Portman RJ, Milliner D, Lemley KV, Eddy A, Ingelfinger J. Evaluation and Management of Proteinuria and Nephrotic Syndrome in Children: Recommendations From a Pediatric Nephrology Panel Established at the National Kidney Foundation Conference on Proteinuria, Albuminuria, Risk, Assessment, Detection, and Elimination (PARADE). American Journal of pediatrics 2000;105;1242. 20. Wila Wirya IG, 2002. Sindroma nefrotik. Dalam : Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO (editor). Buku Ajar Nefrologi Anak. 2 Ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/child_tbl.htm. Diunduh 5 Mei 2013. 21. National Institutes Of Health Staff. The Fourth Report On The Diagnosis, Evaluation, And Treatment Of High Blood Pressure In Children And Adolescents. http://www.nhlbi.nih.gov/health/prof/heart/hbp/hbp_ped.pdf Diunduh 5 Mei 2013. 22. Lipszyc D, Parekh RS.Hypertension in Children and Adolescents–Diagnostic Challenges and Management. European Nephrology 2011;5(2):126-131. 23. Jin J, Jin B, Huang S, Yuan Y, Ding G, dkk. Insulin resistance in children with primary nephrotic syndrome and normal renal function. Pediatric Nephrology 2012;1901-1909. 24. Biedunkiewicz B, Manitius J, Kustosz J, Wojszwiłło P, Rutkowski B. [Relationship between some parameters of carbohydrate metabolism, proteinuria and glomerular filtration rate in patients with primary glomerulonephritis]. 1996 96(3):208-14. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9122011. Diunduh 2 Juni 2013.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

93

25. Ahmed SM, Clasen ME, Donnelly JF. Management of Dyslipidemia in Adults. Am Fam Physician 1998; 1;57(9):2192-2204. 26. Anonymous. Lipid abnormalities in nephrotic syndrome. http://www.uptodate.com/contents/lipid-abnormalities-in-nephroticsyndrome. Diunduh 15 Mei 2013. 27. Majumdar A, Wheelar DC. Lipid abnormalities in renal disease. J R Soc Med 2000:93;178–82. 28. Thabet MAEH, Salcedo JR, Chan JCM. Hyperlipidemia in childhood nephrotic syndrome. International pediatric nephrology association. link.springer.com/article/10.1007%2FBF00852550. Diunduh 3 Juni 2013. 29. Morita Y, Ikeguchi H, Nakamura J, Hotta N, Yuzawa Y, Matsuo S. Complement Activation Products in the Urin from Proteinuric Patients. J Am Soc Nephrol 2000;11:700–707. 30. Garniasih D, Djais JTB, Garna H. Hubungan antara Kadar Albumin dan Kalsium Serum pada Sindroma Nefrotik Anak. Sari Pediatri 2008:10(2);100. 31. Brothers J. Texboox of pediatric . http://books.google.co.idotein . Diunduh 6 Juni 2013 32. Lisa C, Julia M, Kusuma PA, Sadjimin T. Risk Factors For Low Bone Density In Pediatric Nephrotic Syndrome. Paediatrica Indonesiana 2011;51:(2). 33. Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Metabolik. Jakarta. IDAI.2011. 34. Hendricks KM, Walker WA. Manual of Pediatric Nutrition. ed 3. London. BC Decker.2000. 35. Sastroasmoro S. Panduan pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta.RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.2007. 36. Nutzenadel W. Failure to thrive in childhood. Dtsch Arztebl In. 2011: 108 (36) 642-9. 37. Koletzko B, Goulet O, Hunt J, Krohn K, Shamir R. Guidelines on Paediatric Parenteral Nutrition of the European Society of Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (Espghan) and the European Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN), Supported by the European Society of 38. Paediatric Research (Espr). Journal of Pediatric Gastroenterology and Nutrition 2005: 41:s1–s4. 39. Nutrition in Nephrotic Syndrome.http:// www.rch.org.au/nephrology/protocols/ 537_ Diunduh 2 Juni 2013.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

94

40. Fletcher B, Berra K, Ades P, Braun LT, Burke LE. Managing Abnormal Blood Lipids. Circulation. 2005;112:3184–3209. 41. Yeun JY, Zakari M, Kaysen GA. Nephrotic Syndrome: Nutritional consequence and dietary Management. Dalam : Mitch WE, Ikizler TA. Handbook of Nutrition and the Kidney.ed 6.Lippicott Williams&Wilkins.2009.hal.132–147. 42. Gebauer SK, Psota TL, Harris WS, Etherton PMK. n−3 Fatty acid dietary recommendations and food sources to achieve essentiality and cardiovascular benefits1,2,3. Am J Clin Nutr June 2006 vol. 83 no. 6 S1526-1535S. 43. Anonymous. Omega-3 fatty acids, fish oil, alpha-linolenic acid. http:// www.mayoclinic.com/health/fish-oil/NS_patient fishoil/ DSECTION= evidence). Diunduh 20 Mei 2013. 44. Zyl MV. The effects of drugs on nutrition. S Afr J Clin Nutr 2011;24(3): S38-S41 45. Anderson J, Roach J. Nutrient-Drug Interactions and Food. http://www.ext.colostate.edu/pubs/foodnut/09361.html. Diunduh 3 Mei 2012. 46. Anonymous. http://home.caregroup.org/clinical/altmed/interactions/Drugs/Captopril.html. Diunduh 20 Juli 2013 47. Anonymous. Drug-Nutrient Interactions with Commonly Used CardiacMedications.http://www.cranberryinstitute.org/RCToolkit/media/3_I NTERACTIONS.pdf.Diunduh 3 Mei 2012. 48. Anonymous. http://www.naturalnews.com/DrugWatch_Furosemide.html.Diunduh 3 Mei 2012. 49. Anonymous. http://www.drugs.com/pro/prednisone.html.Diunduh 21 Juli 2013. 50. Donna J Secker DJ, Jeejeebhoy KN. Subjective Global Nutritional Assessment for childrenAm J Clin Nutr. 2007;85:1083–9. Printed in USA. © 2007 American Society for Nutrition, 51. Moeeni V, Day AS. Nutritional Risk Screening Tools in Hospitalised Children International Journal of Child Health and Nutrition, 2012, 1, 39-43 52. Faktor Penyebab Gizi Kurang dan Gizi Buruk. http://www.indonesianpublichealth.com/2012/12/masalah-gizi-kurang-dan-gizi-buruk.html. 10 juni 2013

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

95

53. Alwadhi RK, Mathew JL, Rath B. Clinical profile of children with nephrotic syndrome not on glucorticoid therapy, but presenting with infection. J Paediatr Child Health. 2004;40(1-2):28-32. 54. Anonymous. Micronutrint Information http://lpi.oregonstate.edu/infocenter/. 23-7-13

Center.

55. Setiawan B, Rahayuningsih S. Angka kecukupan vitamin larut air. Dalam: Angka Kecukupan Gizi dan Pelabelan Gizi. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 2004. h. 97-110 56. Yeun JY, Zakari M, Kaysen GA. Nephrotic Syndrome: Nutritional consequence and dietary Management. 132–147. dalam : Mitch WE, Ikizler TA. Handbook of Nutrition and the Kidney. 6 ed.Lippicott Williams&Wilkins.2009. 57. Supandiman, I. Hematologi Klinik.Penerbit PT Alumni.Bandung.1997. 58. Bailey D, Bredell B. Paediatric. Hospital Life Support Resource. Department of Health Goverment of Wester Australia. 2012. 59. Ricardo G. Hahn RG, Knox LM, Forman TA. Evaluation of Poststreptococcal Illness. Am Fam Physician 2005; 15;71(10):1949-1954. 60. Meyers KEM. Evaluation of hematuria in children. Urol Clin N Am 2004;31: 559–573. 61. Shin YH, Shin JI, Park JM, kim JH, Lee JS,Kim MJ. A Five-Year-Old Boy With Nephrotic Syndrome Complicated With Acute Acalculous Cholecystitis. Pediatrics International 2007; 49:674–676. 62. Bogue, Conor O, Murphy, Amanda J, Gersle, et al. Risk Factors, Complications, and Outcomes of Gallstones in Children: A Single-center Review. Journal of Pediatric Gastroenterology & Nutrition 2010;50(3):303– 308. 63. LedererE.Hypokalemia. http://emedicine.medscape.com/article/242008overview. Diunduh 20 Juli 2013. 64. Sacher RA, McPherson RA. Dalam; Hartanto H (editor).Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.Jakarta.EGC.2004. 65. Pardede SO. Struktur Sel streptokokus dan Patogenesis Glomerulonefritis Akut Pasca Stretokokus. Sari Pediatri 2009;11(1). 66. Husen V, Kemper MJ. New therapies in steroid-sensitive and steroid-resistant idiopathic nephrotic syndrome. Pediatr Nephrol. 2011.26(6):881–92.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

96

67. Straatmann C, Ayoob R, Gbadegesin R, Gibson K, Rheault MN, et al. Treatment outcome of late steroid-resistant nephrotic syndrome: a study by the Midwest Pediatric Nephrology Consortium. Pediatric Nephrology2013;28:1235–1241. 68. Anonymous. http://akfarsam.ac.id/downlot.php?file=DIURETIK.pdf. Diunduh 22 Juli 2013. 69. Gbadegesin R, Smoyer WE. Nephrotic Syndrome. http:// www.podonet.org/ opencms/export/sites/default/podonet/podonet_en/pdf/9780323048835_12.pd f. Diunduh 2 Juni 2013. 70. Anonymous. From Wikipedia, the free encyclopedia. http:// en.wikipedia.org/ wiki/ Lipiduria. Diunduh 23 Juli 2013. 71. Anonymous. Nephrotic Syndrome. http://www.merckmanuals.com/professional/genitourinary_disorders/glomer ular_disorders/nephrotic_syndrome.html.Diunduh. 20 Juni 2013. 72. Neverov NI, Nikitina EA. Lipiduria in the nephrotic syndrome. Ter Arkh1992;64(6):16-8. 73. Byham-Gray L, Wiesen K. A clinical guide to nutrition care in kidney disease.ADA, 2004 74. Cozzolino M, Gentile G, Mazzaferro S, Brancaccio D, Ruggenenti P, Remuzzi G. Blood Pressure, Proteinuria, and Phosphate as Risk Factors for Progressive Kidney Disease: A Hypothesis. Am J Kidney Dis. 2013. 75. Parra EG, Iguacel CG, Egido J, Ortiz A. Phosphorus and Nutrition in Chronic Kidney Disease. International Journal of Nephrology2012. 76. Anonymous. Current Opinions in Saturated Fatty Acids and Healthhttp://www.mpoc.org.my/Current_Opinions_in_Saturated_Fatty_Acid s_and_Health_.aspx. 22-7-13.Diunduh 30 Juni 2013. 77. Lada AT, Rudel LL. Dietary monounsaturated versus polyunsaturated fatty acids: which is really better for protection from coronary heart disease? Curr Opin Lipidol.2003;14(1):41-6. 78. Mueller C, Compher C, Ellen DM, and the American Society for Parenteral and Enteral Nutrition (ASPEN) Board of Directors. Nutrition Screening, Assessment, and Intervention in Adult. ASPEN Clinical Guidelines. Journal of Parenteral and Enteral Nutrition2011;35(1):16–24. 79. Hashem EA, Zakhary MM, Sotohi SM, Elkabs MY. Serum lipid and Lipid Mediators in Childhood Nephrotic syndrome;Part II; Effect of fish oil and lipoprotein abnormalities in non minimal change disease. Alex J.Pediatr 1998;12(2)

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

97

80. Mathew JL, Kabi BC, Rath B. Anti oxidant vitamin and steroid responsive nephrotic syndrome in indian children. Journal of Paediatrics and Child health. 2002; 38(5):450–454. 81. Anonymous. Essential Fatty Acids, Micronutrient Information Center. Linus pauling institute. http:// lpi.oregonstate.edu/ infocenter/othernuts/omega3fa/ .Diunduh 23 Juli 2013.

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

98

Lampiran 1 Analisis asupan An. G

An. G (sebelum sakit) Analysis of the food record ========================================================== Food Amount energy carbohydr. nasi putih ikan goreng susu dancow balita sayur sop

150 g 50 g 240 g 50 g

195,0 kcal 79,9 kcal 1113,4 kcal 52,0 kcal

Meal analysis: energy 1440,3 kcal (100 %), carbohydrate 172,0 g (100 %) Result Nutrient analysed recommended content value value/day energy water protein fat carbohydr. dietary fiber alcohol PUFA cholesterol Vit. A carotene Vit. E (eq.) Vit. B1 Vit. B2 Vit. B6 tot. fol.acid Vit. C sodium potassium calcium magnesium phosphorus iron zinc

1440,3 kcal 0,0 g 62,8 g(18%) 55,4 g(34%) 172,0 g(48%) 2,1 g 0,0 g 1,5 g 85,0 mg 1250,0 µg 0,0 mg 11,1 mg 0,9 mg 1,5 mg 0,9 mg 123,3 µg 90,8 mg 799,5 mg 2624,5 mg 1868,0 mg 209,5 mg 1629,5 mg 20,2 mg 9,4 mg

42,9 0,0 123,8 5,3

percentage fulfillment

2036,3 kcal 1300,0 g 60,1 g(12 %) 69,1 g(< 30 %) 290,7 g(> 55 %) 9,0 g 600,0 µg 5,5 mg 0,6 mg 0,7 mg 0,4 mg 200,0 µg 60,0 mg 1500,0 mg 600,0 mg 80,0 mg 500,0 mg 8,0 mg 3,0 mg

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

g g g g

Universitas Indonesia

71 % 0% 104 % 80 % 59 % 17 % 208 % 202 % 144 % 217 % 221 % 62 % 151 % 175 % 311 % 262 % 326 % 252 % 315 %

99

An. G (lima hari SMRS) Analysis of the food record Food

Amount

energy

nasi putih ikan goreng susu dancow balita sayur sop

75 g 25 g 120 g 25 g

97,5 kcal 40,0 kcal 556,7 kcal 26,0 kcal

carbohydr. 21,5 0,0 61,9 2,6

g g g g

Meal analysis: energy 720,2 kcal (100 %), carbohydrate 86,0 g (100 %) Result Nutrient content

analysed value

energy water protein fat carbohydr. dietary fiber alcohol PUFA cholesterol Vit. A carotene Vit. E (eq.) Vit. B1 Vit. B2 Vit. B6 tot. fol.acid Vit. C sodium potassium calcium magnesium phosphorus iron zinc

720,2 kcal 0,0 g 31,4 g(18%) 27,7 g(34%) 86,0 g(48%) 1,0 g 0,0 g 0,8 g 42,5 mg 625,0 µg 0,0 mg 5,6 mg 0,4 mg 0,8 mg 0,4 mg 61,7 µg 45,4 mg 399,8 mg 1312,3 mg 934,0 mg 104,8 mg 814,8 mg 10,1 mg 4,7 mg

recommended value/day

percentage fulfillment

2036,3 kcal 1300,0 g 60,1 g(12 %) 69,1 g(< 30 %) 290,7 g(> 55 %) 9,0 g 600,0 µg 5,5 mg 0,6 mg 0,7 mg 0,4 mg 200,0 µg 60,0 mg 1500,0 mg 600,0 mg 80,0 mg 500,0 mg 8,0 mg 3,0 mg

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

35 % 0% 52 % 40 % 30 % 8% 104 % 101 % 72 % 109 % 111 % 31 % 76 % 87 % 156 % 131 % 163 % 126 % 158 %

100

An. G (24 jam terakhir) Analysis of the food record Food

Amount

energy

biscuit susu dancow balita

18 g 160 g

91,2 kcal 742,3 kcal

carbohydr. 14,0 g 82,6 g

Meal analysis: energy 833,5 kcal (100 %), carbohydrate 96,6 g (100 %) Result Nutrient content

analysed value

energy water protein fat carbohydr. dietary fiber alcohol PUFA cholesterol Vit. A carotene Vit. E (eq.) Vit. B1 Vit. B2 Vit. B6 tot. fol.acid Vit. C sodium potassium calcium magnesium phosphorus iron zinc

833,5 kcal 0,0 g 36,4 g(18%) 33,5 g(35%) 96,6 g(47%) 0,2 g 0,0 g 1,8 g 44,5 mg 689,8 µg 0,0 mg 6,6 mg 0,5 mg 1,0 mg 0,5 mg 70,6 µg 59,6 mg 530,2 mg 1606,4 mg 1270,7 mg 117,4 mg 998,9 mg 12,9 mg 5,8 mg

recommended value/day

percentage fulfillment

2036,3 kcal 1300,0 g 60,1 g(12 %) 69,1 g(< 30 %) 290,7 g(> 55 %) 9,0 g 600,0 µg 5,5 mg 0,6 mg 0,7 mg 0,4 mg 200,0 µg 60,0 mg 1500,0 mg 600,0 mg 80,0 mg 500,0 mg 8,0 mg 3,0 mg

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

41 % 0% 61 % 49 % 33 % 20 % 115 % 120 % 84 % 146 % 126 % 35 % 99 % 107 % 212 % 147 % 200 % 162 % 193 %

101

Lampiran 2 Analisis asupan An. R An. R (sebelum sakit) Analysis of the food record Food

Amount

energy

nasi putih sayur bening campur tempe goreng ikan lele sayur sop ayam susu dancow balita telur dadar pisang ambon

150 g 50 g 50 g 25 g 25 g 60 g 25 g 50 g

195,0 kcal 16,5 kcal 177,0 kcal 21,0 kcal 18,0 kcal 278,3 kcal 46,7 kcal 46,0 kcal

carbohydr. 42,9 3,8 7,7 0,0 0,9 31,0 0,3 11,7

g g g g g g g g

Meal analysis: energy 798,5 kcal (100 %), carbohydrate 98,1 g (100 %) Result Nutrient content

analysed value

energy water protein fat carbohydr. dietary fiber alcohol PUFA cholesterol Vit. A carotene Vit. E (eq.) Vit. B1 Vit. B2 Vit. B6 tot. fol.acid Vit. C sodium potassium calcium magnesium phosphorus iron zinc

798,5 kcal 0,0 g 34,3 g(17%) 30,7 g(34%) 98,1 g(49%) 3,2 g 0,0 g 6,8 g 129,0 mg 597,5 µg 0,0 mg 4,4 mg 0,4 mg 0,7 mg 0,8 mg 89,4 µg 29,5 mg 251,3 mg 1202,8 mg 540,0 mg 126,8 mg 646,5 mg 7,1 mg 4,2 mg

recommended value/day

percentage fulfillment

2036,3 kcal 1300,0 g 60,1 g(12 %) 69,1 g(< 30 %) 290,7 g(> 55 %) 9,0 g 600,0 µg 5,5 mg 0,6 mg 0,7 mg 0,4 mg 200,0 µg 60,0 mg 1500,0 mg 600,0 mg 80,0 mg 500,0 mg 8,0 mg 3,0 mg

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

39 % 0% 57 % 45 % 34 % 76 % 100 % 80 % 66 % 95 % 201 % 45 % 49 % 80 % 90 % 158 % 129 % 88 % 139 %

102

An. R (selama sakit satu minggu SMRS) Analysis of the food record Food

Amount

energy

bubur nasi susu dancow balita teh manis

300 g 60 g 200 g

218,7 kcal 278,3 kcal 25,8 kcal

carbohydr. 48,0 g 31,0 g 6,4 g

Meal analysis: energy 522,8 kcal (100 %), carbohydrate 85,4 g (100 %) Result Nutrient content energy water protein fat carbohydr. dietary fiber alcohol PUFA cholesterol Vit. A carotene Vit. E (eq.) Vit. B1 Vit. B2 Vit. B6 tot. fol.acid Vit. C sodium potassium calcium magnesium phosphorus iron zinc

analysed value 522,8 kcal 0,0 g 16,9 g(13%) 11,7 g(20%) 85,4 g(67%) 0,6 g 0,0 g 0,5 g 15,0 mg 252,0 µg 0,0 mg 2,4 mg 0,2 mg 0,4 mg 0,3 mg 28,2 µg 22,2 mg 198,0 mg 670,0 mg 472,0 mg 67,0 mg 425,0 mg 5,1 mg 2,7 mg

recommended value/day

percentage fulfillment

2036,3 kcal 1300,0 g 60,1 g(12 %) 69,1 g(< 30 %) 290,7 g(> 55 %) 9,0 g 600,0 µg 5,5 mg 0,6 mg 0,7 mg 0,4 mg 200,0 µg 60,0 mg 1500,0 mg 600,0 mg 80,0 mg 500,0 mg 8,0 mg 3,0 mg

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

26 % 0% 28 % 17 % 29 % 6% 42 % 44 % 35 % 56 % 68 % 14 % 37 % 45 % 79 % 84 % 85 % 64 % 90 %

103

An. R (24 jam terakhir) Analysis of the food record Food

Amount

energy

bubur nasi susu dancow balita

150 g 45 g

109,3 kcal 208,8 kcal

carbohydr. 24,0 g 23,2 g

Meal analysis: energy 318,1 kcal (100 %), carbohydrate 47,2 g (100 %) Result Nutrient content energy water protein fat carbohydr. dietary fiber alcohol PUFA cholesterol Vit. A carotene Vit. E (eq.) Vit. B1 Vit. B2 Vit. B6 tot. fol.acid Vit. C sodium potassium calcium magnesium phosphorus iron zinc

analysed value 318,1 kcal 0,0 g 11,7 g(15%) 8,7 g(24%) 47,2 g(61%) 0,3 g 0,0 g 0,3 g 11,3 mg 189,0 µg 0,0 mg 1,8 mg 0,2 mg 0,3 mg 0,2 mg 20,4 µg 16,6 mg 144,0 mg 460,5 mg 349,5 mg 42,0 mg 301,5 mg 3,8 mg 1,9 mg

recommended value/day

percentage fulfillment

2036,3 kcal 1300,0 g 60,1 g(12 %) 69,1 g(< 30 %) 290,7 g(> 55 %) 9,0 g 600,0 µg 5,5 mg 0,6 mg 0,7 mg 0,4 mg 200,0 µg 60,0 mg 1500,0 mg 600,0 mg 80,0 mg 500,0 mg 8,0 mg 3,0 mg

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

16 % 0% 19 % 13 % 16 % 4% 32 % 33 % 25 % 41 % 45 % 10 % 28 % 31 % 58 % 53 % 60 % 47 % 63 %

104

Lampiran 3 Analisis asupan An. F An. F (sebelum sakit) Analysis of the food record Food

Amount

energy

carbohydr.

nasi putih 200 g 260,0 kcal 57,2 g sayur bening campur 25 g 8,2 kcal 1,9 g tempe goreng 25 g 88,5 kcal 3,8 g ikan kembung goreng 50 g 101,0 kcal 0,0 g supermie 80 g 112,8 kcal 22,6 g susu kental manis 200 g 640,1 kcal 109,0 g telur rebus 50 g 93,5 kcal 0,6 g pepaya 50 g 19,5 kcal 4,9 g krupuk rambak 25 g 131,8 kcal 14,9 g Meal analysis: energy 1455,3 kcal (100 %), carbohydrate 215,0 g (100 %) Result Nutrient analysed recommended percentage content value value/day fulfillment energy water protein fat carbohydr. dietary fiber alcohol PUFA cholesterol Vit. A carotene Vit. E (eq.) Vit. B1 Vit. B2 Vit. B6 tot. fol.acid Vit. C sodium potassium calcium magnesium phosphorus iron zinc

1455,3 kcal 0,0 g 43,6 g(12%) 47,6 g(29%) 215,0 g(59%) 3,8 g 0,0 g 13,4 g 286,5 mg 400,0 µg 0,0 mg 3,5 mg 0,4 mg 1,1 mg 0,5 mg 88,8 µg 36,3 mg 333,5 mg 1244,6 mg 694,3 mg 141,9 mg 916,5 mg 3,2 mg 4,7 mg

2036,3 kcal 1600,0 g 60,1 g(12 %) 69,1 g(< 30 %) 290,7 g(> 55 %) 22,5 g 10,0 g 700,0 µg 8,0 mg 0,8 mg 0,9 mg 0,5 mg 300,0 µg 70,0 mg 2000,0 mg 1500,0 mg 700,0 mg 120,0 mg 600,0 mg 8,0 mg 5,0 mg

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

71 % 0% 73 % 69 % 74 % 17 % 134 % 57 % 44 % 53 % 126 % 97 % 30 % 52 % 17 % 83 % 99 % 118 % 153 % 39 % 94 %

105

An. F (selama sakit enam minggu SMRS) Analysis of the food record Food

Amount

energy

nasi putih sayur bening campur tempe goreng ikan kembung goreng supermie susu kental manis telur rebus pepaya krupuk rambak

200 g 25 g 25 g 50 g 80 g 200 g 50 g 50 g 25 g

260,0 kcal 8,2 kcal 88,5 kcal 101,0 kcal 112,8 kcal 640,1 kcal 93,5 kcal 19,5 kcal 131,8 kcal

carbohydr. 57,2 1,9 3,8 0,0 22,6 109,0 0,6 4,9 14,9

g g g g g g g g g

Meal analysis: energy 1455,3 kcal (100 %), carbohydrate 215,0 g (100 %) Result Nutrient content

analysed value

energy water protein fat carbohydr. dietary fiber alcohol PUFA cholesterol Vit. A carotene Vit. E (eq.) Vit. B1 Vit. B2 Vit. B6 tot. fol.acid Vit. C sodium potassium calcium magnesium phosphorus iron zinc

1455,3 kcal 0,0 g 43,6 g(12%) 47,6 g(29%) 215,0 g(59%) 3,8 g 0,0 g 13,4 g 286,5 mg 400,0 µg 0,0 mg 3,5 mg 0,4 mg 1,1 mg 0,5 mg 88,8 µg 36,3 mg 333,5 mg 1244,6 mg 694,3 mg 141,9 mg 916,5 mg 3,2 mg 4,7 mg

recommended value/day

percentage fulfillment

2036,3 kcal 1600,0 g 60,1 g(12 %) 69,1 g(< 30 %) 290,7 g(> 55 %) 22,5 g 10,0 g 700,0 µg 8,0 mg 0,8 mg 0,9 mg 0,5 mg 300,0 µg 70,0 mg 2000,0 mg 1500,0 mg 700,0 mg 120,0 mg 600,0 mg 8,0 mg 5,0 mg

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

71 % 0% 73 % 69 % 74 % 17 % 134 % 57 % 44 % 53 % 126 % 97 % 30 % 52 % 17 % 83 % 99 % 118 % 153 % 39 % 94 %

106

An. F. (24 jam terakhir) Analysis of the food record Food

Amount

energy

bubur nasi sayur sop minuman susu ultra / ultra milk ikan kembung goreng telur orak arik roti manis tempe goreng

200 g 50 g 250 g 50 g 50 g 100 g 25 g

145,8 kcal 52,0 kcal 164,9 kcal 101,0 kcal 85,0 kcal 284,9 kcal 88,5 kcal

carbohydr. 32,0 5,3 12,0 0,0 1,2 56,7 3,8

g g g g g g g

Meal analysis: energy 922,0 kcal (100 %), carbohydrate 111,0 g (100 %) Result Nutrient content energy water protein fat carbohydr. dietary fiber alcohol PUFA cholesterol Vit. A carotene Vit. E (eq.) Vit. B1 Vit. B2 Vit. B6 tot. fol.acid Vit. C sodium potassium calcium magnesium phosphorus iron zinc

analysed value 922,0 kcal 0,0 g 36,9 g(16%) 37,0 g(35%) 111,0 g(49%) 5,1 g 0,0 g 9,3 g 213,5 mg 445,8 µg 0,0 mg 3,0 mg 0,5 mg 0,8 mg 0,5 mg 100,3 µg 6,5 mg 768,8 mg 899,0 mg 376,5 mg 114,8 mg 698,3 mg 3,1 mg 4,0 mg

recommended value/day

percentage fulfillment

2036,3 kcal 1600,0 g 60,1 g(12 %) 69,1 g(< 30 %) 290,7 g(> 55 %) 22,5 g 10,0 g 700,0 µg 8,0 mg 0,8 mg 0,9 mg 0,5 mg 300,0 µg 70,0 mg 2000,0 mg 1500,0 mg 700,0 mg 120,0 mg 600,0 mg 8,0 mg 5,0 mg

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

45 % 0% 61 % 54 % 38 % 23 % 93 % 64 % 38 % 59 % 87 % 101 % 33 % 9% 38 % 60 % 54 % 96 % 116 % 39 % 79 %

107

Lampiran 4 Analisis asupan An. E An. E (sebelum sakit) Analysis of the food record Food Amount energy carbohydr. nasi putih 250 g 325,0 kcal 71,5 g sayur sop 25 g 26,0 kcal 2,6 g telur dadar 25 g 46,7 kcal 0,3 g ikan lele 50 g 41,9 kcal 0,0 g daging ayam goreng 50 g 166,0 kcal 1,9 g roti manis 100 g 284,9 kcal 56,7 g tempe goreng 75 g 265,5 kcal 11,5 g sayur bening campur 25 g 8,2 kcal 1,9 g tumis sawi 25 g 7,0 kcal 0,4 g jeruk manis 50 g 23,5 kcal 5,9 g pepaya 50 g 19,5 kcal 4,9 g chiki 50 g 255,0 kcal 31,5 g Meal analysis: energy 1469,3 kcal (100 %), carbohydrate 189,0 g (100 %) Result Nutrient analysed recommended percentage content value value/day fulfillment energy water protein fat carbohydr. dietary fiber alcohol PUFA cholesterol Vit. A carotene Vit. E (eq.) Vit. B1 Vit. B2 Vit. B6 tot. fol.acid Vit. C sodium potassium calcium magnesium phosphorus iron zinc

1469,3 kcal 0,0 g 55,0 g(15%) 55,0 g(33%) 189,0 g(52%) 8,8 g 0,0 g 19,0 g 162,0 mg 432,8 µg 0,0 mg 5,3 mg 0,5 mg 0,6 mg 0,7 mg 150,0 µg 64,3 mg 652,8 mg 1096,5 mg 164,3 mg 167,0 mg 659,8 mg 4,7 mg 5,2 mg

2036,3 kcal 1800,0 g 60,1 g(12 %) 69,1 g(< 30 %) 290,7 g(> 55 %) 25,0 g 10,0 g 800,0 µg 9,5 mg 1,0 mg 1,1 mg 0,7 mg 300,0 µg 80,0 mg 2000,0 mg 1500,0 mg 900,0 mg 170,0 mg 800,0 mg 10,0 mg 7,0 mg

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

72 % 0% 91 % 80 % 65 % 35 % 190 % 54 % 55 % 53 % 50 % 103 % 50 % 80 % 33 % 73 % 18 % 98 % 82 % 47 % 74 %

108

An. E. (satu minggu SMRS) Analysis of the food record Food

Amount

energy

carbohydr.

nasi putih 125 g 162,5 kcal sayur sop 12,5 g 13,0 kcal telur dadar 12,5 g 23,4 kcal ikan lele 25 g 21,0 kcal daging ayam goreng 25 g 83,0 kcal roti manis 50 g 142,4 kcal tempe goreng 37,5 g 132,7 kcal sayur bening campur 12,5 g 4,1 kcal tumis sawi 12,5 g 3,5 kcal jeruk manis 25 g 11,8 kcal pepaya 25 g 9,7 kcal Butter biscuits 50 g 240,0 kcal Meal analysis: energy 847,1 kcal (100 %), carbohydrate 109,7 g (100 %) Result Nutrient content energy water protein fat carbohydr. dietary fiber alcohol PUFA cholesterol Vit. A carotene Vit. E (eq.) Vit. B1 Vit. B2 Vit. B6 tot. fol.acid Vit. C sodium potassium calcium magnesium phosphorus iron zinc

analysed value 847,1 kcal 1,0 g 31,0 g(15%) 31,7 g(33%) 109,7 g(52%) 5,5 g 0,0 g 6,4 g 112,0 mg 302,9 µg 0,0 mg 2,5 mg 0,3 mg 0,4 mg 0,4 mg 78,0 µg 32,7 mg 459,4 mg 659,8 mg 148,1 mg 98,3 mg 431,6 mg 3,0 mg 3,1 mg

recommended value/day

35,8 1,3 0,2 0,0 0,9 28,4 5,7 0,9 0,2 3,0 2,5 30,9

percentage fulfillment

2036,3 kcal 1800,0 g 60,1 g(12 %) 69,1 g(< 30 %) 290,7 g(> 55 %) 25,0 g 10,0 g 800,0 µg 9,5 mg 1,0 mg 1,1 mg 0,7 mg 300,0 µg 80,0 mg 2000,0 mg 1500,0 mg 900,0 mg 170,0 mg 800,0 mg 10,0 mg 7,0 mg

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

g g g g g g g g g g g g

Universitas Indonesia

42 % 0% 52 % 46 % 38 % 22 % 64 % 38 % 27 % 32 % 33 % 61 % 26 % 41 % 23 % 44 % 16 % 58 % 54 % 30 % 44 %

109

An. E (24 jam terakhir) Analysis of the food record Food

Amount

energy

carbohydr.

nasi putih 125 g 162,5 kcal 35,8 g sayur sop 12,5 g 13,0 kcal 1,3 g telur dadar 12,5 g 23,4 kcal 0,2 g ikan lele 25 g 21,0 kcal 0,0 g daging ayam goreng 25 g 83,0 kcal 0,9 g roti manis 50 g 142,4 kcal 28,4 g tempe goreng 37,5 g 132,7 kcal 5,7 g sayur bening campur 12,5 g 4,1 kcal 0,9 g tumis sawi 12,5 g 3,5 kcal 0,2 g jeruk manis 25 g 11,8 kcal 3,0 g pepaya 25 g 9,7 kcal 2,5 g roti tawar manis 50 g 142,4 kcal 28,4 g Meal analysis: energy 749,6 kcal (100 %), carbohydrate 107,1 g (100 %) Result Nutrient analysed recommended percentage content value value/day fulfillment energy water protein fat carbohydr. dietary fiber alcohol PUFA cholesterol Vit. A carotene Vit. E (eq.) Vit. B1 Vit. B2 Vit. B6 tot. fol.acid Vit. C sodium potassium calcium magnesium phosphorus iron zinc

749,6 kcal 0,0 g 30,0 g(16%) 22,5 g(26%) 107,1 g(58%) 5,4 g 0,0 g 6,1 g 81,0 mg 216,4 µg 0,0 mg 2,1 mg 0,3 mg 0,3 mg 0,4 mg 87,5 µg 32,1 mg 600,4 mg 582,3 mg 84,6 mg 88,8 mg 356,6 mg 2,5 mg 2,8 mg

2036,3 kcal 1800,0 g 60,1 g(12 %) 69,1 g(< 30 %) 290,7 g(> 55 %) 25,0 g 10,0 g 800,0 µg 9,5 mg 1,0 mg 1,1 mg 0,7 mg 300,0 µg 80,0 mg 2000,0 mg 1500,0 mg 900,0 mg 170,0 mg 800,0 mg 10,0 mg 7,0 mg

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

37 % 0% 50 % 32 % 37 % 22 % 61 % 27 % 22 % 30 % 27 % 51 % 29 % 40 % 30 % 39 % 9% 52 % 45 % 25 % 40 %

110

Lampiran 5 Form skrining RSUT

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

111

Lampiran 6 Form SGNA Kasus 1 (An. G)

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

112

Lampiran 7 Form SGNA An. R

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

113

Lampiran 8 Form SGNA An F

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

114

Lampiran 9 Form SGNA Kasus 4. (An. E)

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

115

Lampiran 10 Grafik CDC anak laki–laki 0–36 bulan

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

116

Lampiran 11 Grafik CDC anak laki laki 2–20 tahun

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

117

Lampiran 12 Grafik CDC anak perempuan 2–20 tahun

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

118

Lampiran 13 Tabel tekanan darah anak laki–laki

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

119

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

120

Lampiran 14 Tabel tekanan darah anak perempuan

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

121

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

122

Lampiran 15 Monitoring An. G

Monitoring An. G

An G S

26 Januari 2013 Tidak muntah, makan sekitar setengah prosi, mata masih bengkak, perut masih kencang, sesak dan batuk

27 Januari 2013 Tidak muntah, mata masih bengkak , perut masih kencang, masih sesak dan batuk

O

Kesadaran : CM TV : TD =105 /70 mmHg N = 116 x/menit

Kesadaran : CM TV : TD = 105/60 N = 116 x/menit

RR = 28 x/menit S = 36,5

Antropometri: BB = 14,8 kg Laboratorium : Terapi sejawat : Lasix 3x20 mg Aldakton 2x6,25 mg Cefotaxim mg 2x75 Prednison 3x2 tab Mucera sirup 3x1 cth Diusulakn pemberian multivitamin sirup 3x1 cth Balans Cairan : Intake 1250 mL Output IWL 220 mL Urin 750 mL BC (-) 280 mL Diuresis : 2,6 mL/jam Analisis Asupan : E KH (kka (g) l) ML 890 113, +SF 5 A

RR = 26 x/menit S = 36,6

28 Januari 2013 Mau makan setengah porsi, tidak muntah, BAB satu kali lembek, kuning, BAK senakin banyak, mata dan kaki masih bengkak, perut masih agak kenceng, sesak berkurang, dan batuk kadang kadang Kesadaran : CM TV : TD = 100/60 mmHg RR = 26 x menit N = 110 x/menit S = 36,6

L(g)

P (g)

35

29,5

Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia)

Antropometri : BB = 14,5 kg Laboratorium : Terapi sejawat : sama Balans Cairan : Intake 1000 mL Output IWL 220 mL Urin 1000 mL BC (-) 220 mL Diuresis : 3,47 mL/jam Analisis asupan : E KH (g) L (g) P (kkal (g) ) ML 772 102,7 29,2 24,1 +SF KEB = kkal KET = kkal KH = gr(%), Protein gr, Lipid gr(25 %)

Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia)

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Antropometri : BB = 14 kg Laboratorium : urin kuantitatif 2436 mg/24 jam (Nilai normal 24–141 mg/24 jam) Terapi sejawat :sama Penambahan : zamel sirup 3x1 cth, albumin 20 % sebanyak 50 mL Balans Cairan : Intake 1250 mL Output IWL 220 mL Urin 1500 mL BC (-) 470 mL Diuresis : 5,2 mL/jam Analisis Asupan: E (kkal) KH (g) L (g) P (g) ML 237,2 38,5 31,9 +SF 1015 KEB = kkal KET = kkal KH = gr, Protein = gr, Lipid gr (25%)

Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia)

Universitas Indonesia

123

P

An G S

O

1000 kkal, protein 22 g, lemak 28 g (25 %), KH 166 g (66 %) {KEB = 795,586 kkal, KET = 1000 kkal, KH = 166 gr(66 %), Protein 22 gr, Lipid 28 gr(25 %)} Bentuk : 3xmakan pokok diet bubur nasi+2xselingan Cairan = 1100 mL/24 jam Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

1000 kkal, protein 22 g, lemak 28 g (25 %), KH 166 g (66 %) Bentuk : 3xmakan pokok diet bubur nasi+2xselingan Cairan = 1100 mL/24 jam

1000 kkal, protein 22 g, lemak 28 g (25 %), KH 166 g (66 %) 3xmakan pokok diet nasi tim+2xselingan Cairan = 1100 mL/24 j

Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

29 Januari 2013 Masih batuk, sesak berkurang, mata sudah tidak bengkak, bengkak diperut sudah berkurang,BAK banyak, makan habis Kesadaran : CM TV : TD = 100/70 RR = 26 x/menit mmHg N = 100 x/menit S = 36,5

30 Januari 2013 Kaki sudah tidak bengkak, bengkak diperut semakin berkurang, BAK banyak, makan habis

31 januari 2013 Kemaluan sudah tidak bengkak, perut semakin kempes,BAK banyak, makan habis

Kesadaran : CM TV : TD = 100/60 mmHg N = 100 x/menit

Kesadaran : CM TV : TD = 100/60 mmHg N = 100 x/menit

Antropometri : BB = 13,5 kg Laboratorium : Urin : pH 6,5, berat jenis 1010, leukosit 5– 10/LPB, eritrosit 3–8/LPB, epitel (+), silinder butir 0– 1/LPB, protein (+), darah samar (+) Terapi sejawat :sama Balans Cairan : Intake 1750 mL Output IWL 220 mL Urin 2000 mL BC (-) 470 mL Diuresis : 6,9 mL/jam

Antropometri : BB = 13,5 kg Laboratorium : Terapi sejawat : sama Balans Cairan : Intake 1750 mL Output IWL 220 mL Urin 2000 mL BC (-) 250 mL Diuresis : 6,9 mL/jam

RR = 24 x/menit

RR = 24 x menit S = 36,5

S = 36,6

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Antropometri : BB = 13 kg Laboratorium : USG abdomen : Abdomen dalam batas normal Terapi sejawat : sama Balans Cairan : Intake 1750 mL Output IWL 220 mL Urin 2000 mL BC (-) 470 mL Diuresis : 6,9 mL/jam

Universitas Indonesia

124

Analisis Asupan : Vol E KH (kka (g) l) ML 146 191 +SF 0 KEB = kkal KET = kkal KH = gr(%), Protein gr, Lipid

L (g)

P (g)

56

47

gr(25 %)

Analisis asupan : Vol E KH (g) L (g) (kkal ) Nas 1460 191 56 i+S F KEB = kkal KET = kkal KH = gr(%), Protein gr, Lipid gr(25 %)

P (g) 47

Analisis Asupan: E (kkal) KH (g) L (g) P (g) Nasi+S 191 56 47 F 1460 KEB = kkal KET = kkal KH = gr, Protein = gr, Lipid gr (25%)

A

Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia)

Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia)

Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia)

P

1000 kkal, protein 22 g, lemak 28 g (25 %), KH 166 g (66 %) Bentuk : 3xmakan pokok diet nasi biasa+2x selingan Cairan = 1100 mL/24 jam Saran Mikronutrien :

1000 kkal, protein 22 g, lemak 28 g (25 %), KH 166 g (66 %) Bentuk : 3xmakan pokok diet nasi biasa+2x selingan Cairan = 1100 mL/24 jam Saran Mikronutrien :

1000 kkal, protein 22 g, lemak 28 g (25 %), KH 166 g (66 %) Bentuk : 3xmakan pokok diet nasi biasa+2x selingan Cairan = 1100 mL/24 jam Saran Mikronutrien :

Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Universitas Indonesia

125

Lampiran 16 Monitoring An. R

An. R S O

15 Pebruari 2013 Mata masih sembab, makan masih sedikit, tidak muntah, perut masih kencang, BAK mulai banyak, tidak sesak Kesadaran : CM TV : TD = 90/ 60 mmHg RR = 28 x/menit N = 128 x/menit S = 36,6 0C

16 Pebruari 2013 Mata tidak sembab lagi makan masih sedikit, tidak muntah, perutmulai mengendor, BAK semakin banyak Kesadaran : CM TV : TD = 100/65mmHg RR = 28 x/menit N = 126 x/menit S = 36,60C

17 Pebruari 2013 Kemaluan tidak bengkak lagi, perut mulai berkurang bengkaknya, masih habis setengah,tidak muntah,tidak sesak Kesadaran : CM TV : TD = 100/60 mmHg N = 126 x/menit

BB = 12 kg Laboratorium : Terapi : Lasix 3x10 mg iv Prednison 1,5–1,5–1,5 po Cefotaxim 2x500 mg iv Captopril 3x2 mg po Spironolakton 2x6,25 mg Albumin 20 % sebanyak 50 mL iv Balans Cairan : Intake 550 mL Output IWL 170 mL Urin 500 mL BC (-)120 mL Diuresis : 2,3 mL/jam

BB = 11,7 kg Laboratorium : Albumin 2,8 mg/dL, globulin 3,6 mg/dL, protein total 6,4mg/dL Terapi tetap

BB = 11,5 kg LaboratoriumTerapi : tetap

Balans Cairan : Intake 700 mL Output IWL 170 mL Urin 750 mL BC (-) 220 mL Diuresis : 3,4 mL/jam

Balans Cairan : Intake 700 mL Output IWL 170 mL Urin 750 mL BC (-) 220 mL Diuresis : 3,4 mL/jam

Analisis Asupan : E KH L P (kka (g) (g) (g) l) 435 79,4 9,6 8,6 KEB = 537,127 kkal KET = 700 kkal KH = 114 gr(65%), Protein 17 gr, Lipid 19 gr(25 %) A

Lembar monitoring An. R

Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia)

Analisis asupan : E KH (g) (kkal ) 537, 91,1 5

L (g)

P (g)

14,4

10,8 5

Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia)

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Analisis Asupan: E (kkal) KH (g) 537,5 91,1

L (g) 14,4

P (g) 10,8

Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia)

Universitas Indonesia

126

P

An R S O

560 kkal, protein 17 g, lemak 16 g, KH 88 g Bentuk bubur nasi lauk cincang, extra susu formula Cairan = 900 mL/24 jam Saran Mikronutrien

560 kkal, protein 17 g, lemak 16 g, KH 88 g Bentuk bubur nasi lauk cincang, extra susu formula

Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Cairan = 900 mL/24 jam Saran Mikronutrien

18 Pebruari 2013 Kaki masih bengkak, batuk (+), demam (-), makan sudah mulai banyak, tidak muntah, tidak diare Kesadaran : CM TV : TD =100/60 mmHg RR = 26 x/menit N = 126 x/menit S = 36,50C

19 Pebruari 2013 Bengkak kaki berkurang, perut buncit semakin mengecil, tidak muntah, tidak diare,BAK bertambah banyak Kesadaran : CM TV : TD = 95/60 mmHg RR = 26 x/menit N = 120 x/menit S = 36,60C

20 Pebruari 2013 Perut buncit dan kencang semakin berkurang, sudah tidak bengkak mata, BAK seperti kemarin Kesadaran : CM TV : TD =95/55 mmHg RR = 26 x menit N = 120 x/menit S = 36,60C

BB = 11 kg Laboratorium : Albumin 3,2 mg/dL, ureum 15 mg/dL, kreatinin 0,5 mg/dL, urin: kuning keruh, pH 7, berat jenis 1015, silinder hialin 0–1/LPB, Protein (++), eritrosit penuh

BB = 11 kg

BB = 10,5 kg

Laboratorium

Terapi

Terapi

Balans Cairan : Intake 1100 mL Output IWL 170 mL Urin 1250 15mL BC (-) 320 mL Diuresis : 5,8 mL/jam

Terapi tambahan : Amoksisillin 3x250 mg , po Albumin stop Balans Cairan : Intake 850 mL Output IWL 170 mL Urin 1000 mL BC (-) 320 mL Diuresis : 4,6 mL/jam

Bentuk bubur nasi lauk cincang, extra susu formula

Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Balans Cairan : Intake 1100 mL Output IWL 170 mL Urin 1250 mL BC (-) 320 mL Diuresis : 5,8 mL/jam

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

560 kkal, protein 17 g, lemak 16 g, KH 88 g Bentuk nasi tim lauk cincang, extra susu formula Cairan = 900 mL/24 jam Saran Mikronutrien Monitoring Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Universitas Indonesia

127

Analisis Asupan : E KH (kka (g) l) 640 87,8

A

P

L (g)

P (g)

26,1

13,5

Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia) 700 kkal, protein 17 g, lemak 19 g (25%),karbohidrat 114 g (65%)

Analisis asupan : E KH (g) (kkal ) 640 87,8

L (g)

P (g)

26,1

13,5

Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia) 700 kkal, protein 17 g, lemak 19 g (25%),karbohidrat 114 g (65%)

Bentuk nasi tim lauk cincang, extra susu formula Bentuk nasi tim lauk cincang, extra susu formula Cairan = 900 mL/24 jam Saran Mikronutrien

An R S

O

Cairan = 900 mL/24 jam Saran Mikronutrien

Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

21 Pebruari 2013 Bengkak kemaluan berkurang banyak BAK bertambah banyak, makan dari RS setenga, makan bawaan sendiri kue kue, tidak diare,tidak muntah Kesadaran : CM TV : TD = 95/55 mmHg RR = 26 x/menit N = 110 x/menit S = 36,50C

22 pebruari 2013 Kemaluan tidak banyak BAK seperti kemarin, makan dari RS setengah, makan bawaan sendiri kue kue, tidak diare,tidak muntah Kesadaran : CM TV : TD = 95/50 mmHg RR = 26 x/menit N = 110x/menit S = 36,50C

Antropometri : BB = 10,5 kg

Antropometri : BB = 10 kg

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Analisis Asupan: E (kkal) KH (g) 890 108,8

L (g) 33

P (g) 19,8

Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia) 700 kkal, protein 17 g, lemak 19 g (25%),karbohidrat 114 g (65%) Bentuk nasi tim lauk cincang, extra susu formula Nasi biasa RS, ekstra suusu formula Cairan = 900 mL/24 jam Saran Mikronutrien Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Universitas Indonesia

128

Laboratorium : Albumin 3,2 mg/dL, trigliserida 483 mg/dL, kolesterol total 631 mg/dL, ureum 15 mg/dL, kreatinin 0,5 mg/dL, natrium 130 mmol/L, kalium 3,3 mmol/L, klorida 99 mmol/L, Urin : kuning keruh, pH 6, berat jenis 1030, protein (++), darah samar (+), silinder 0–1/LPB

Laboratorium

Terapi sejawat : Furosemide Spironolakton Captopril

Balans Cairan : Intake 1350 mL Output IWL 170 mL Urin 1500 mL BC (-) 320 mL Diuresis : 6,9 mL/jam

Balans Cairan : Intake 1350 mL Output IWL 170 mL Urin 1500 mL BC (-) 320 mL Diuresis : 6,9 mL/jam Analisis Asupan : Vol E (kka l) 890 A

P

Analisis asupan : Vol E (kkal ) 890

KH (g)

L (g)

P (g)

120, 8

27,5

19,8

Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia) 700 kkal, protein 17 g, lemak 19 g Nasi biasa RS, ekstra

Terapi sejawat : Sama Penambahan :

suusu formula

(25%),karbohidrat 114 g (65%)

KH (g)

L (g)

P (g)

120,8

27,5

19,8

Sindroma nefrotik idiopatik, hipertensi, anemia, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, hipokalemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia) 700 kkal, protein 17 g, lemak 19 g (25%),karbohidrat 114 g (65%)

Cairan = 900 mL/24 jam Saran Mikronutrien

Nasi biasa RS, ekstra suusu formula Cairan = 900 mL/24 jam Saran Mikronutrien

Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu

Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

129

Lampiran 17 Monitoring An. F An. F S

O

A

Balans cairan perhari 29 Januari 2013 Sulit minum obat, lauk maunya telur, tidak mual,tidak muntah, tidak sukabubur, mata sembab, perut kencang membesar, kaki dan kemaluanb engkak, tidak sesak, BAK sedikit Kesadaran : CM TV : TD = 110/70 RR = 28 x/menit mmHg N = 116 x/menit S = 36,50C

Lembar monitoring An. F 30 Januari 2013 Kemaluan, kaki, dan mata masih bengkak, perut masih kencang, BAK masih sedikit

31 januari 2013 Masih lapar, BAK sudah lebih banyak, bengkak mata berkurang

Kesadaran : CM TV : TD = 110/65 mmHg N = 118 x/menit

Kesadaran : CM TV : TD = 100/ 65mmHg N = 116 x/menit

RR = 26 x/menit

RR = 24 x menit S = 36,70C

S = 36,60C BB = 20 kg Laboratorium : Terapi : Tidak ada tambahan

BB = 20 kg Laboratorium : Tidak ada tambahan Terapi : Furosemide 3x20 mg iv Cefotaxim 2x800 mg iv Captopril 2x6,25 mg po Prednison 3-3-3 po Balans Cairan : Intake 500 mL Output IWL 285 mL Urin 250 mL BC (-) 35 mL Diuresis : 0,65 mL/24 jam Analisis Asupan : E K L P (g) (kkal H (g) ) (g) Diet nasi RS, 1290 20 35, 39 susu ultra 3 5 KEB = 877,042 kkal KET = 1100 kkal KH = 175 gr(64 %), Protein 31 gr, Lipid 30,5 gr(25 %)

BB = 20,5 kg Laboratorium:Terapi : Tidak ada tambahan

Sindroma nefrotik idopatik, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)

Sindroma nefrotik idopatik, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)

Balans Cairan : Intake 865 mL Output IWL 285 mL Urin 500 mL BC (-) 180 mL Diuresis : 1,3 mL/24 jam

Balans Cairan : Intake 500 mL Output IWL 285 mL Urin 250 mL BC (-) 35 mL Diuresis : 0,65 mL/24 jam Analisis asupan : E KH (g) (kkal ) Diet 1290 203 nasi RS, susu ultra

L (g)

P (g)

35,5

39

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Analisis Asupan: E (kkal) Diet 1290 nasi RS, milo cair

KH (g)

L (g)

P (g)

203

35,5

39

Sindroma nefrotik idopatik, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)

Universitas Indonesia

130

P

1100 kkal, KH = 175 gr(64 %), Protein 31 gr, Lipid 30,5 gr(25 %) Berupa 3x makan pokok, 2x selingan Cairan = 1300 mL/24 jam Saran Mikronutrien : Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

1100 kkal, KH = 175 gr(64 %), Protein 31 gr, Lipid 30,5 gr(25 %) Berupa 3x makan pokok, 2x selingan Cairan = 1300 mL/24 jam Saran Mikronutrien : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

An F S

1 pebruari 2013 BAK bertambah banyak, bengkak mata sudah berkurang, kaki,kemaluan masih bengkak,perut sudah berkurang kencangnya, rasa lapar berkurang Kesadaran : CM TV : TD = 100/60 RR = 24 x/menit mmHg N = 100 x/menit S = 36,60C

2 pebruari 2013 BAK masih sama kemarin,, bengkak mata sudah semakin berkurang, kaki,kemaluan berkurang bengkaknya,perut masih sama kemarin Kesadaran : CM TV : TD = 100/60 RR = 24 x/menit mmHg N = 100 x/menit S = 36,60C

Antropometri : BB = 19,5 kg Laboratorium :-

Antropometri : BB = 19 kg

O

1100 kkal, KH = 175 gr(64 %), Protein 31 gr, Lipid 30,5 gr(25 %) Berupa 3x makan pokok, 2x selingan, ektra puding Cairan = 1300 mL/24 jam Saran Mikronutrien : Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Laboratorium Terapi :tetap Terapi tetap Balans Cairan : Intake 865 mL Output IWL 285 mL Urin 1000 mL BC (-) 420 mL Diuresis : 2,6 mL/24 jam

Balans Cairan : Intake 865 mL Output IWL 285 mL Urin 1000 mL BC (-) 420 mL Diuresis : 2,6 mL/24 jam

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

131

Analisis Asupan : E KH (kka (g) l) Diet 138 218 nasi 0 RS, Mil o cair

L (g)

P (g)

37,5

42

Analisis asupan : E KH (g) (kkal ) Diet 1380 218 nasi RS, Mil o cair

L (g)

P (g)

37,5

42

A

Sindroma nefrotik idopatik, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)

Sindroma nefrotik idopatik, hipertensi, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (leukositosis, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)

P

1100 kkal, KH = 175 gr(64 %), Protein 31 gr, Lipid 30,5 gr(25 %) Berupa 3x makan pokok, 2x selingan, ektra puding

1100 kkal, KH = 175 gr(64 %), Protein 31 gr, Lipid 30,5 gr(25 %)

Cairan = 1300 mL/24 jam Saran Mikronutrien : Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Berupa 3x makan pokok, 2x selingan, ektra puding Cairan = m1300 L/24 jam Saran Mikronutrien : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

132

Lampiran 18 Monitoring An. E

An. E S

O

9 Pebruari 2013 Sesak, batuk, mual, tidakmuntah, batuk, sesak,BAK seperti teh dan masih sedikit, bengkak mata, perut,kaki dan kemaluan,tidak diare,sakit perut kanan atas menembus punggung dan pinggang Kesadaran : CM TV : TD = 110/80 RR = 30 x/menit mmHg N = 130 x/menit S = 36,80C BB = 23kg Laboratorium :Terapi : Furosemide 2x20 mg iv Cefotaxim 2x1 gr iv Ambroksol 3x1 cth Prednison 3–3–3 Inhalasi ventolin 3x/hari Captopril 2x6,25 mg Curvit 2x1 cth Balans Cairan : Intake 415 mL Output IWL 300 mL Urin 400 mL BC (-) 285 mL Diuresis : 0,8 mL/24 jam

Analisis Asupan : E K L (g) (kkal H ) (g) bub 840 97,4 22,9 ur nasi KEB = 853,85 kkal KET = 1100 kkal

Lembar monitoring An. E

10 Pebruari 2013 Masis sesak dan batuk, mual, batuk, sesak, BAK tetap masih sedikit dan seperti teh,bengkak tetap, tidak diare, masih sakit perut kanan atas

11 Pebruari 2013 Masih sesak dan batuk, mata, kaki, kemaluan masih bengkak, perut masih besar, mual,tidakmuntah,tidak dare,masih sakit perut kanan atas,tidak mau nefrisol

Kesadaran : CM TV : TD = 110/70 mmHg N = 126 x/menit

Kesadaran : CM TV : TD = 110/80 mmHg N = 126 x/menit

RR = 28 x/menit

RR = 28 x menit S = 370C

0

S = 36,7 C

BB = 22,5 kg

BB = 22,5 kg Laboratorium -

Laboratorium -

Terapi tambahan: Albumin 20 % sebanyak 100 mL

Terapi : tetap Balans Cairan : Intake 500 mL Output IWL 300 mL Urin 400 mL BC (-) 200 mL Diuresis : 0,8 mL/24 jam Analisis asupan : E KH (g) (kkal )

Balans Cairan : Intake 515 mL Output IWL 300 mL Urin 600 mL BC (-) 385 mL Diuresis : 1,1 mL/24 jam

L (g)

P (g)

20,9

36

Analisis Asupan: E (kkal) Bubur 960 nasi,ext ra putel

KH (g) 143,4

L (g) 24,4

P (g) 34

P (g)

34

Bub ur nasi mil o,T PS

750

82,4

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

133

KH = 186 gr(%), Protein 34 gr, Lipid 24 gr (20 %) A

Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)

Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)

Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)

P

880 kkal, protein 34 g,lemak 19,5 g, KH 142 g Bentuk diet bubur nasi RS,extra TPS

880 kkal, protein 34 g,lemak 19,5 g, KH 142 g Bentuk diet bubur nasi RS,extra TPS

880 kkal, protein 34 g,lemak 19,5 g, KH 142 g Bentuk diet bubur nasi RS,extra TPS

Cairan = 1350 mL/24 jam Saran mikronutrien :

Bentuk diet bubur nasi RS,extra nefrisol Cairan = 1350 mL/24 jam Saran mikronutrien :

Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari Usul pemeriksaan test fungsi hati

An E S

O

12 Pebruari 2013 Masih batuk, sesak berkurang,mual berkurang,tidak muntah,tidak diare,sakit perut kanan atas berkurang,bengkak mata,kemaluan,kaki dan perut berkurang sedikit,tidak suka putih telur Kesadaran : CM TV : TD = 110/60 RR = 28 x/menit mmHg N = 124 x/menit S = 37,30C BB = 22 kg Laboratorium : Protein kuantitatif 440 mg/24 jam Terapi : tetap

Bentuk nasi tim diet RS,3xmakan pokok,2xselingan Cairan = 1350 mL/24 jam Saran mikronutrien :

Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

13 Pebruari 2013 Batuk berkurang, sesak berkurang,mual berkurang,tidak muntah,tidak diare,sakit perut kanan atas berkurang,bengkak mata,kemaluan,kaki dan perut berkurang tetap

14 Pebruari 2013 Batuk kadang–kadang,, sesak berkurang,mual berkurang,tidak muntah,tidak diare,sakit perut kanan atas berkurang,bengkak mata,kemaluan,kaki dan perut berkurang berkurang

Kesadaran : CM TV : TD =110/70 mmHg N = 124 x/menit

Kesadaran : CM TV : TD = 120/70 mmHg N = 126 x/menit

RR = 26x/menit S = 37,20C

BB = 21,5 kg Laboratorium Terapi : tetap

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

RR = 26 x menit S = 370C

BB = 21 kg Laboratorium : Urin : kuning keruh, pH 7, berat jenis 1015, protein (++), glukosa (-), eritrosit 10–15/LPB, leukosit 2–3/LPB, silinder hialin 0–1/LPB, bilirubin (-), urobilinogen (-), keton (), darah samar (++), bakteri (-), leukosit (-)

Universitas Indonesia

134

Balans Cairan : Intake 750 mL Output IWL 300 mL Urin 900 mL BC (-) 450 mL Diuresis :1,7 mL/24 jam Analisis Asupan : E KH L (kka (g) (g) l) ML, 100 169 23 kue 0 kue

P (g)

Balans Cairan : Intake 1000 mL Output IWL 300 mL Urin 1000 mL BC (-) 300 mL Diuresis : 1,9 mL/24 jam Analisis asupan : E KH (g) (kkal ) Nasi 1015 157 diet RS,susu ultra

L (g)

P (g)

28

33,5

Terapi : Tambahan triamsinolon 3x4 tablet (prednison stop) Albumin 20 % 100 mL stop Balans Cairan : Intake 865 mL Output IWL 300 mL Urin 1200 mL BC (-) 635 mL Diuresis : 2,3 mL/24 jam

A

Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)

Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)

Analisis Asupan: E (kkal) KH(g) L (g) P (g) Nasi 1015 157 28 33,5 diet RS,susu ultra Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)

P

880 kkal, protein 34 g,lemak 19,5 g, KH 142 g Bentuk diet bubur nasi RS,extra TPS

1100 kkal, protein 34 g, lemak 24 g (20%), MUFA 8 %, karbohidrat 186

1100 kkal, protein 34 g, lemak 24 g (20%), MUFA 8 %, karbohidrat 186 g

Diet nasi biasa,3x makan pokok,2xselingan Cairan = 1350 mL/24 jam Saran Mikronutrien : Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Diet nasi biasa,3x makan pokok,2xselingan Diet nasi tim,extra TPS Cairan = 1350 mL/24 jam Saran Mikronutrien :

Diet nasi biasa,3x makan pokok,2xselingan

29,5

Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Diet nasi biasa Cairan = 1350 mL/24 jam Saran Mikronutrien :

Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Universitas Indonesia

135

An E S

O

A

15 Pebruari 2013 Batuk kadang–kadang,, sesak jauh berkurang,mual kadang– kadang, ,tidak muntah,tidak diare,sakit perut kanan atas kadang–kadang ,bengkak mata hilang, bengkak kemaluan,kaki dan perut bengkak semakin berkurang,tidak kencang lagi Kesadaran : CM TV : TD = 110/70 RR = 24 x/menit mmHg N = 118 x/menit S = 36,80C

16 Pebruari 2013 Batuk kadang–kadang,, sesak jauh berkurang,mual kadang– kadang, ,tidak muntah,tidak diare,sakit perut kanan atas kadang kadang , bengkak kemaluan sedikit, bengkak kaki sedikit, perut buncit semakin mengecil

BB = 20 kg Laboratorium : Terapi sejawat : Furosemide Spironolakton Captopril Balans Cairan : Intake 1250 mL Output IWL 300 mL Urin 1500 mL BC (-) 550 mL Diuresis : 2,8 mL/24 jam Analisis Asupan : E KH (kka (g) l) Nasi diet 1015 157 RS,susu ultra

BB = 19 kg Laboratorium : Urin : kuning keruh, pH 6,5, berat jenis 1020, protein (+), glukosa (-), eritrosit 7–10/LPB, leukosit 1–3/LPB, silinder hialin 0–1/LPB, bilirubin (-), urobilinogen (-), keton (), darah samar (+), bakteri (-), leukosit (-) Terapi : tetap Balans Cairan : Intake 1250 mL Output IWL 300 mL Urin 1500 mL BC (-) 550 mL Diuresis : 2,8 mL/24 jam Analisis asupan : L (g)

P (g)

28

33,5

Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)

Kesadaran : CM TV : TD = 110/65 mmHg N = 116 x/menit

Nasi diet RS,susu ultra

E (kkal) 1290

RR = 24 x/menit S = 36,80C

KH (g) 200

L (g)

P (g)

35,5

42

Sindroma nefrotik idiopatik, bronkhopneumonia, cholecystitis, gizi kurang, hipermetabolisme sedang (trombositopenia, hipoalbuminemia, proteinuria, hematuria, dislipidemia, peningkatan enzim tranaminase)

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

136

P 1100 kkal, protein 34 g, lemak 24 g (20%), MUFA 8 %, karbohidrat 186 g

1100 kkal, protein 34 g, lemak 24 g (20%), MUFA 8 %, karbohidrat 186 g

Bentuk diet nasi biasa, 3xmakan pokok,2xselingan Cairan = 1350 mL/24 jam Saran Mikronutrien :

Bentuk diet nasi biasa, 3xmakan pokok,2xselingan

Monitoring : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Cairan = 1350 mL/24 jam Saran Mikronutrien : Klinis dan toleransi asupan per hari Analisis asupan/hari Elektrolit/hari Antropometri/hari Darah rutin/minggu Balans cairan perhari

Tata laksana ..., Tutik Ernawati, FK UI, 2013

Universitas Indonesia

More Documents from "Subahan Sanusi"