Concept #2

  • Uploaded by: amadtattoo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Concept #2 as PDF for free.

More details

  • Words: 3,540
  • Pages: 18
BAB II KAJIAN PUSTAKA A.

Absurditas

Fenomena absurd bukanlah sebuah kebetulan yang terjadi dalam pribadi seseorang. Paradigma absurd dalam pengertiannya yang baik bisa terlahir atau dilahirkan dengan sengaja. Meskipun faktor eksternal cukup mempunyai pengaruh yang signifikan atas terbentuknya absurditas dalam diri. Perbaikan pemahaman atas diri dengan menggunakan pengalaman yang telah terekam dengan seksama dapat mencipta sebuah analisa yang pada akhirnya mampu menggugah keberadaan emosi ketika ia tengah dibangun. Dengan menggunakan tahapan yang telah dikemukakan oleh Herbert Spiegelberg (1965), meliputi: 1. Mengintuisi (Intuiting) Pengalaman atau memanggil kembali fenomena; ”mempertahankan”nya dalam kesadaran Anda, atau hidup di dalamnya, tercakup di dalamnya, tinggal di dalam atau di atasnya. 2. Menganalisa (Analyzing) Menguji fenomenon; mencari apa yang menghiasinya, bagaimana ia bisa berelasi dengan sekelilingnya, bagaimana dinamikanya, dan utamanya bagaimana esensinya. 3. Menggambarkan (Describing) Tulis deskripsi Anda; bimbing pembaca Anda melalui intuisi dan analisis Anda. Pada dataran yang lebih tinggi lagi, tataran “arupadhatu” Tanpa Bentuk,

6

7

sebagai contoh yang digambarkan dengan teras-teras yang letaknya di bagian candi paling atas, maka masa lalu, masa kini, dan mas datang, akhirnya lebur dalam satu konsep Eksistensi yang sepenuhnya abstrak. Waktu dan Ruang menjadi satu Kehampaan misterius. “Ageless is equally Absoluteness”, “Nir-Usia” sama dengan “Kemutlakan”. Bersama dengan bentuk dan relativitas, konsep seperti waktu dan ruang ditinggalkan. Dengan demikian Borobudur sendiri menampilkan diri sebagai ”Sang Nir-Usia”, terutama pada tataran semantik yang sangat subtil (P.Swantoro, 2002: 104). Berbicara menganai rasio, sejurus dengan itu, Paul Cobley dan Liza Jansz dalam buku Media dan Kebudayaan (1998) mengatakan bahwa ”rasio bukan hanya kesadaran murni, melainkan juga kehendak untuk menjadi rasional. Hubungan paradigmatik selalu sesuai dengan aturan sintagmatiknya sebagaimana sebuah garis x dan y dalam sebuah system koordinat” Menurut Marx, ”kondisi eksistensi manusia yang independen dari segala bentuk masyarakat suatu keniscayaan yang abadi dari alam untuk memperantarai pertukaran material antara manusia dan alam, dngan kata lain kehidupan manusiawi”. Berbeda dengan hewan yang masih ”tenggelam” di dalam alam, manusia telah ”mengatasi” alam. Termodinamika non-keseimbangan atau jauh-dari keseimbangan (farfrom-equilibrium) berlawanan dengan sisi yang lebih umum dari Termodinamika keseimbangan dalam tiga hal: Pertama, dan mungkin yang paling mencolok adalah jika dalam Termodinamika keseimbangan sebuah sistem reaksi harus berlangsung tanpa menampakkan perubahan mikroskopi yang teramati; sedangkan menurut Termodinamika non-keseimbangan – sesusai dengan namanya – sebuah

Diam Dalam Absurditas

8

reaksi justru harus menampakkan keseimbangan sebuah sistem yang telah ditentukan (dibatasi) terisolasi dari sistem-sistem yang juga telah ditentukan; sementara dalam kondisi non-keseimbangan sistem-sistem yang telah ditentukan akan dapat saling bertukar massa-energi. Dan ketiga, skenario non-keseimbangan bekerja di bawah mekanisme kontrol yang secara internal mampu melakukan self refferential, yang dikenal dengan “pemusnahan umpan balik” (feedback inhibition) dimana hal ini tidak akan dijumpai pada kondisi yang seimbang (Leibelman, 1992: 216) Absurditas dalam wilayah diri merupakan dimensi hasil bentukan daripada Id, Ego dan Superego. Lebih spesifiknya adalah friksi dari ketiga hal tersebut, yang telah muncul ke permukaan gunung es. Artinya, ketika seseorang telah menyadari adanya alam tersembunyi yang tidak dapat ia tolak, di sanalah absurditas dalam diri itu hadir. Diam dalam absurditas berarti merupakan sebuah jembatan menuju pada dataran yang lebih tinggi. Melampaui ‘kedirian’ yang selama ini dibawa oleh diri (Self). Sebuah awal menuju dunia yang sebenarnya ada namun tak tersentuh. Ia akan melewati “Aku” dan serentetan “Kediaman” yang sekian lama terlupakan. Dimana keseimbangan akan diraih justru bukan karena kesamaan-kesamaan melainkan dengan membuat sebuah simulasi ruang dan waktu yang khas. Melepaskan diri dari definisi-definisi yang mengungkung. Masuk melalui pintu “hyper reality”, yang akan membawanya ke sebuah tempat yang lebih tinggi. Dalam hal ini, ketika seseorang telah masuk dalam dunia ‘di atas realitas’ maka ia tidak boleh berhenti atau ia akan mengalami kejatuhan dan bahkan kehilangan diri B. Aku Dan Diam

Diam Dalam Absurditas

9

Aku dilahirkan dari rasa catatan-catatan yang hidup. Aku adalah yang memadukan catatan-catatan, tetapi aku demikian adalah juga budak catatancatatan. Aku hidup dalam berbagai ukuran. Dalam ukuran kesatu, aku hidup reseptif seperti tumbuhan atau bayi. Dalam ukuran kedua aku hidup afektif seperti hewan atau anak-anak. Dalam ukuran ketiga aku hidup individual seperti remaja menjadikan dirinya pusat perhatian. Dalam ukuran ke empat, aku hidup mentransenden yang sering disebut sebagai transendental self, atau oleh Junk disebut pula sebagai un-discovered self. Dengan demikian rasa aku pun berkembang dari aku yang hanya bisa bergerak acak menjadi aku yang bergerak menurut rasa. Sesuai dengna kenyataan lingkungan akhirnya menembus menjadi aku tanpa ciri. Egoisme serta egosentris dalam perkembangan aku ini mengalami perubahan fungsi dan struktur, bermanfaat untuk menunjang tumbuhnya aku tanpa ciri. Namun demikian egosentrisme bisa tetap saja hidup laten sebagai atavisme (penjelmaan binatang anonim). Pemilihan antara aku subjek dengan aku objek tidaklah bersifat ontologis, tetapi fungsional sebagaimana nampak dalam konsep tentang rasa. Aku merasa subjek karena ia selalu melakukan hubungan dengan objek intensionalitasnya (Darmanto Jatman, 2000). Dimensi manusia meliputi jasmani dan rohani. Dalam bahasa khasnya manusia sering disebut (aku) sebagai antropina, maksudnya itu merupakan aku yang memiliki ciri-ciri jasmani dan rohani. Yang mau dikatakan di sini bahwa aku itu berevolusi serentak secara fisiologik (jasmani dan sosiogenetik evolusi rohani]). Dengan kata lain, manusia yang lahir secara fisiologik prematur, artinya masih

dengan

kelemahan-kelemahannya

Diam Dalam Absurditas

itu

justru

karena

kelemahan-

10

kelemahannya itu manusia melakukan kompensasi-kompensasi yang menjadi kelebihan-kelebihannya, yaitu mempunyai posisi tegak, berkemampuan bahasa, berpikir, dan bertindak secara intelektual Aku (manusia) sebagai eksistensi adalah aku yang dilihat manusia sejauh dilihat sebagai yang berada di dunia bersama dengan manusia lain. Bagaimana manusia berada? Ia bereksistensi sebagai aku dalam hubungannya dengan orang lain, dalam sebuah komunikasi intersubjektivitas. Dalam komunikasi itu manusia menghayati hidupnya dan mengolah dunia bersama-sama yang lain hingga menjadi “lebenswelt” (dunia yang bisa, pantas didiami). Ternyata ia tidak sendirian, tetapi berada bersama dengan aku-aku yang lain. Inilah ”mitwelt” atau ”ada bersama” dari manusia-manusia. Menurut Descartes, manusia adalah aku atau substansi yang berpikir. Ciri ini disebut ciri ontologis yaitu kemampuan manusia untuk mengambil jarak dari alam dan diri sendiri sehingga mampu menyadari diri sendiri (substansi). Ini konsekuensi logis dari ”Cogito ergo Sum” (saya berpikir maka saya ada). Disini titik beratnya pada segi berpikir, rohani dan kesadaran dari si aku (manusia). Maka, aku dipahami sebagai sustansi kesadaran atau pemikiran. Dalam ranah psikologisnya manusia dikenal memiliki dua alam, yakni alam sadar (conscious mind) dan alam bawah sadar (unconscious mind). Alam sadar adalah apa yang Anda sadari pada saat-saat tertentu, penginderaan langsung, ingatan, pemikiran, fantasi, dan perasaan yang Anda miliki. Terkait dengan alam sadar ini adalah apa yang dinamakan Freud dengan alam pra-sadar, yaitu apa yang kita sebut saat ini dengan ”kenangan yang tersedia” (available memory), yaitu segala sesuatu yang dengan mudah dipanggil ke alam sadar. Sedang bagian

Diam Dalam Absurditas

11

terbesarnya adalah alam bawah sadar (unconscious mind). Bagian ini mencakup segala sesuatu yang sangat sulit dibawa ke alam sadar, termasuk segala sesuatu yang memang asalnya alam bawah sadar, seperti nafsu dan insting kita serta segala sesuatu yang masuk ke sana karena kita tidak mampu menjangkaunya, seperti kenangan atau emosi-emosi yang terkait dengan trauma. Dari sinilah problematika absurd itu mulai menga-ada dalam kedirian manusia, sehingga ada sebagian manusia yang sengaja berdiam dalam absurditas untuk mencapai suatu hal, yang kulminasi akhir yang diharapakan adalah kenyamanan hidup yang jauh dari kekacauan dinamika zaman dengan segala persoalannya. Teori Freud yang paling masyur tentang hal ini adalah tentang Id, Ego dan Superego. 1. Id Ketika manusia lahir, sistem sarafnya hanya sedikit lebih baik dari binatang, itulah yang dinamakan Id, bertugas menerjemahkan kebudayaan satu organisme menjadi daya-daya motivasional yang disebut dalam bahasa Jerman sebagai Triebe, yang dapat diterjemahkan sebagai insting, atau nafsu. Freud juga menyebutnya dengan kebutuhan. Penerjemahan dari kebutuhan menjadi keinginan ini disebut proses primer. 2. Ego Ego menghubungkan organisme dengan realitas dunia melalui alam sadar yang dia tempati, dan dia mencari objek-objek untuk memuaskan keinginan dan nafsu yang dimunculkan Id untuk mepresentasikan apa yang dibutuhkan organisme. Proses penyelesaian ini disebut proses sekunder.

Diam Dalam Absurditas

12

Ego berfungsi berdasarkan prinsip relitas, artinya dia memnuhi kebutuhan organisme berdasarkan objek-objek yang sesuai dan dapat ditemukan dalam kenyataan. Ego mempresentasikan kenyataan, dan sampai tingkat tertentu juga mempresentasikan akal. 3. Superego Ketika ego berusaha membuat Id (atau organisme) tetap senang, di sisi lain dia juga mengalami hambatan yang ada di dunia nyata. Catatan tentang segala objek dunia yang menghalangi dan mendukungnya inilah yang yang kemudian disebut superego. Prosesnya tidak akan pernah berakhir. Ada dua aspek superrgo yaitu: a. Nurani (conscience) Merupakan internalisasi dari hukuman dan peringatan b. Ego ideal Ego ideal berasal dari pujian dan contoh-contoh positif yang diberikan kepada anak-anak. Berpijak dari berbagai kenyataan psikologis di atas, maka fenomena absurd nampaknya adalah menjadi sebuah keniscayaan yang sangat dapat diterima. Berdiam dalam absurditas bukanlah sebuah mimpi ataupun fantasi, melainkan sebuah proses ekstraksi spirit yang begitu pribadi. Aku sebagai inti eksistensi telah mengada sebagai pra-sel sebelum kemudian mentransendensikan diri menjadi ’receptiveself’ ’avective self’ individual self’ serta akhirnya ’trancedental self’, yang menjadi pengawas dari eksistensi manusia secara keutuhan. Keterpilahan antara aku yang diteliti dengan aku yang meneliti sering menggoda kita untuk mengakui adanya satu aku, yakni

Diam Dalam Absurditas

13

aku subyek, padahal dalam relasi hubungan aku subjek dan aku objek inilah kesadaran akan aku tumbuh. Sehingga hubungan fungsional aku subjek dan aku objek ini justru merupakan peluang bagi dinamika perkembangan manusia dari potensi menjadi aktualisasi. Kenyataan eksistensi bahwa ada sesuatu, baik eksistesi dalam dunia sekitarnya maupun eksistensi diriny sendiri dalam satu suku tertentu, merupakan suatu kekuatan pokok yang mempesonakan pikiran dan perbutannya. Manusia mencari asal mula eksistensinya peristiwa kehidupan (Peursen, 1998). Esensi Individualisme adalah subjek transendental, atau dalam kerangka yang lebih teologis, dalam hubungan yang langsung individu dengan Tuhan (Bryan Turner, 2008). Menurut George H Mead, Self (Diri) bagi Mead, kemampuan untuk memberi jawaban kepada diri sendiri sebagaimana ia memberi jawaban terhadap orang lain, merupakan kondisi-kondisi penting dalam rangka perkembangan akal budi itu sendiri. Dalam arti ini, Self sebagaimana juga Mind bukanlah suatu objek melainkan suatu proses sadar yang mempunyai beberapa kemampuan (Bernard Raho, 2007). Mahzab Scolastik pada abad pertengahan di Eropa telah menandaskan, bahwa segala sesuatu itu ada, sejauh itu ada, bersifat tunggal, benar, baik dan indah (omne ens unum, verum, bonum, pulchrum), artinya: Tunggal: Menampakkan diri sebagai suatu kesatuan, ada kebulatan, dalam diri sendiri; akal budi kita ada kecenderungan, untuk memandang segala sesuatu serba berkaitan. Benar:

Dapat diraih oleh akal budi, ada nilai bagi akal budi untuk dikejar.

Diam Dalam Absurditas

14

Baik:

Menghimbau pada kemampuan kita untuk dilaksanakan, ada nilai untuk dilakukan dan dilaksanakan

Ingatan adalah sebuah ruang yang mampu mencatat kenangan-kenangan. Bila ingatan merupakan tabularasa atau kertas putih yang ditulisi oleh kenangan pahit maupun kenangan bahagia , maka ia merupakan salah satu sumber sejarah seseorang yang menghubungkan masa lalu dan masa depan sebagai prospek saat perjalanan hidup dalam waktu dan ruang yang dihayati sesadar-sadarnya, (Mudji Sutrisno, 2006: 132).

Diam Dalam Absurditas

15

C. Ruang Dan Waktu

Berbicara mengenai ruang dalam wilayah absurditas sesungguhnya adalah mengulas tentang sebuah proses ultim yang tidak dapat ditempuh oleh kesadaran manapun. Karena ruang adalah sebuah syarat mutlak yang harus ada untuk mengantar kita pada pengandaian-pengandaian yang bersifat sakral dan menyeluruh. Ruang dalam dimensi absurd bukan lagi ”space” yang memiliki volume matematis, ia telah lepas dari kaidah fisika. Lebur dengan begitu senyap. Kontruksinya ruang dalam absurditas jika ditilik dari ranah kontekstual justru tidak dapat diraba. Eksistensinya dihilangkan, sebaliknya esensinya akan terlihat seperti ledakan. Keberadaanya akan difahami sebagai proses perbaikan emosi. Ruang, dimana equilibrium tidak lagi diartikan sebagai batasan emosional sewajarnya, melainkan proses penciptaan ’hal’ baru, seterusnya. Berubah dari energi satu ke energi yang lain. Ruang adalah keselarasan yang tercipta dari friksi ketiadaan bentuk yang sesungguhnya ada. Ruang dalam absurditas inilah yang tidak dapat ditembus, karena ia harus dijalani. Tidak ada penghindaraan yang layak atasnya, kecuali ”bunuh diri logis”. Dalam

uraiannya

mengenai

metafisika

integral

Frithjof

Schuon

menyatakan: Sebagai permulaan, tampaknya kita mulai dari konsep bahwa Realitas Suprim bersifat Absilut dan tetap absolut; Ia tak berhingga. Keabsolutan-Nya ini tidak mengalami penambahan maupun pengurangan., tidak mengalami kelipatan maupun pembagian; Ia, dengan demikian adalah yang sejak semula diri-Nya

Diam Dalam Absurditas

16

sendiri, dan secara total adalah diri-Nya sendiri. Sedangkan, dalam Ketidakberhinggan-Nya, Ia sama sekali tidak dibatasi oleh faktor-faktor apapun dan tidak memiliki batas akhir dalam hal apapun; Ia adalah potensialitas atau kemungkinan semata-mata; dan ipso facto adalah kemungkinan dari segala sesuatu, dengan demikian Ia adalah Hakikat. Tanpa adanya kemungkinan dari segala sesuatu ini, tidak ada pencipta maupun yang dicipta, tidak Maya ataupun Samsara. Yang Tak Berhingga, dapat dikatakan merupakan dimensi intrinsik dari pemenuhan yang sesuai bagi Yang Absolut; membicarakan Yang Absolut berarti juga membicarakan Yang Tak Berhingga, yang satu tidak mungkin ada tanpa yang lain. Secara simbolis kita dapat menggambarkan hubungan antara kedua Realitas Suprim tersebut dengan contoh-contoh sebagai berikut. Dalam dimensi ruang, Yang Absolut adalah titik, sedang Yang tak Berhingga adalah perluasan; dalam dimensi waktu, Yang Absolut adalah saat, sedang Yang Tak Berhingga adalah durasi; dalam tataran materi, Yang Basolut adalah ether –substansi primordial, dasar yang ada dimana-mana.- dan Yang Tak Berhingga adalah kemungkinan rangkaian substansi-substansi yang tak terhingga jumlahnya; dalam tataran bentuk, Yang Absolut adalah sphere –bentuk yang simpel dan primordialdan Yang Tak Berhingga adalah kemungkinan bentuk-bentuk; akhirnya dalam tataran angka, Yang Absolut adalah kemungkinan rangkaian angka-angka, kuantitas-kuantitas atau totalitas. Perbedaan antara Yang Absolut dan Yang Tak Berhingga di atas mengekspresikan dua aspek fundamental Realitas, yaitu esensi dan potensi; keduanya juga merupkan prefigurasi tertinggi dari kutub maskulin-feminim;

Diam Dalam Absurditas

17

dimana dari aspek yang kedualah – Yang Tak Berhingga – , yang merupakan bentuk lain dari kemungkinan dari segala sesuatu, munculnya pancaran Universal, baik yang Illahi maupun Maya Kosmik (Schuon, 1986: 111). John McTaggart Ellis (1866-1925) berpendapat Kehadiran bukanlah sebuah dimensi yang bergerak, sepanjang rentetan kejadian, dari masa lalu menuju masa depan. Pendek kata fenomena yang terhampar—menurut McTaggart---didasarkan pada peristiwa-peristiwa masa depan yang menjadi hadir dan selanjutnya surut menjadi masa lalu. Karenanya semua peristiwa secara serentak dapat dianggap sebagai masa lalu, masa kini dan masa depan (Broad, 1933). Jika menjadi nihilisme itu dibenarkan, dalam batas sistem hegemoni yang tak bisa dipertahankan lagi, tindakan cemoohan dan kekerasan yang radikal ini, tantangan dimana sistem terpanggil untuk merespon menuju kematiannya sendiri, maka saya adalah seorang teroris dan nihilis dalam teori sebagaimana orang lain dengan senjatanya (Baudrillard, 1984:39) Menurut Meyrowitz situasi sosial tidak terikat dengan lokasi fisik, dan sebagai akibatnya kategori sosial dan wujud normatif serta tempat interaksi kita menjadi kabur (James Lull, 1998). Sebagaimana dikatakan Deleuze dan Guattari, ”..kami tidak puas lagi dengan gagasan imanensi sebagai imanen terhadap transenden kami ingin memikirkan transendensi di dalam imanen, dan hanya dari imanensi percabangan dapat ditemukan. Imanensi yang dibebaskan dari relasi oposisi binernya dengan transensden dan di dalam otonominya menyerap yang transenden ke dalam ruangnya-inilah yang disebut Deleuze dan Guattari bidang imanensi (plan of imanence), yaitu kesatuan utuh dari berbagai mesin konkrit

Diam Dalam Absurditas

18

maupun abstrak,- manusia, objek, alam, skema, aransemen, citra- yang secara bersama-sama membentuk MESIN BESAR konsep bidang imenensi ini dapat menjelaskan fenomena cyber space (Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, 2005).

D. Absurditas Dan Artistika

Diam Dalam Absurditas

19

Ada sebuah dialog absurd dalam sebuah buku Umar Kayam: Dan sebagai lembu peteng cum priyayi, aku membayangkan seandainya Pak Ageng masih sugeng beliau tentu akan menatapku tajam-tajam dan bertanya ”Faham?” (Jogya, 2002) Albert Camus dalam bukunya yang berjudul Mite Sisifus dengan begitu cemerlang mengetengahkan wacana absurditas. Berikut ini adalah saduran asli dari buku tersebut . Semua kehidupan yang dijalani dalam suasana absurd yang kikir tidak akan mampu bertahan tanpa suatu pikiran yang dalam dan tetap, yang menghidupinya dengan kekuatannya. Bahkan itu pun hanya dapat berupa suatu rasa kesetiaan yang aneh. Kita telah melihat orang-orang yang dengan sadar melakukan tugas di dalam berbagai perang yang paling konyol tanpa merasakan suatu pertentangan batin. Itu karena masalahnya adalah tidak menghindar terhadap apapun. Dengan demikian terdapat kebahagiaan metafisik untuk menanggung absurditas dunia. Penaklukan atau permainan, cinta tak terhitung pemberontakan absurd, semua itu adalah penghormatan yang diberikan manusia kepada martabatnya dalam suatu pertempuran dimana ia sudah kalah sebelum mulai. Masalahnya hanyalah tetap setia kepada aturan pertempuran. Pemikiran ini tentunya cukup untuk memberi kekuatan kepada suatu jiwa, karena telah dan masih terus menjadi penopang banyak peradapan. Kita tidak menyangkal perang. Kita harus hidup dalam perang atau mati karena perang. Demikian pula yang absurd: kita harus bernafas dengan yang absurd, mengenali hikmah-hikmahnya dan menemukan wadaknya. Dalam hal itu, kebagiaan absurd yang terutama adalah penciptaan. “Seni, dan seni saja”, kata Nietzche, “kita memiliki seni agar tidak mati dalam menerima kebenaran”. Pada saat yang sama jangkauannya hanyalah penciptaan yang berkelanjutan dan tak ternilai yang setiap hari dalam hidupnya dijalani olah pemain drama, penakluk dan semua manusia absurd. Semua berusaha meniru, mengulangi dan menciptakan kembali realitas milik masing-masing. Akhirnya kita selalu menemukan wajah dari kebenaran-kebenaran kita.

Diam Dalam Absurditas

20

Seluruh eksistensi, bagi seorang manusia yang berpaling dari keabadian, hanyalah suatu peniruan yang melampaui ukuran, di balik topeng absurditas. Penciptaan adalah peniruan besar (Camus, th, tgl) Memerikan,

itulah

ambisi

terakhir

pemikiran

absurd.

Ilmu

pengetahuanpun bila tiba pada segala akhir paradoksnya, tidak mengajukan saran lagi dan berhenti untuk merenungkan dan melukis pemandangan yang bersih dari gejala-gejala. Begitulah hati kita mengetahui bahwa perasaan yang membawa kita ke hadapan wajah-wajah dunia tidak berasal dari kedalamannya melainkan dari keragamannya. Penjelasan tidak ada gunanya, namun perasaan tetap tinggal, dan bersamanya terdapat panggilan yang tak henti-hentinya dari suatu dunia yang tidak dapat ditimba habis dengan hitungan. Di sinilah kita ketahui tempat karya seni. Karya seni sekaligus menandai kematian suatu pengalaman dan penggandaannya. Karya seni adalah seperti pengulangan monoton dan bergelora dari tema-tema yang sudah digubah oleh dunia: tubuh, gambar yang kekayaannya tidak pernah kering di bagian depan kuil, bentuk-bentuk atau warna-warna, bilangan atau kenestapaan. Jadi tidaklah tanpa arti untuk berhenti menemukan tema-tema utama esei dalam alam sang pencipta yang luar biasa indahya dan kekanak-kanakan. Kita keliru jika melihat seni sebagai lambang dan beranggapan bahwa karya seni akhirnya dapat dianggap sebagai tempat berlindung terhadap yang absurd. Karya seni itu sendiri adalah gejala absurd dan yang diperbincangkan adalah deskripsinya saja. Karya seni tidak menawarkan jalan keluar untuk penyakit pikiran. Sebaliknya, adalah suatu tanda atas penyakit itu yang memantulkannya pada

Diam Dalam Absurditas

21

seluruh pikiran manusia. Tetapi untuk pertama kalinya karya seni membuat pikiran keluar dari dirinya sendiri dan menempatkannya di hadapan pikiran lain, bukan agar lenyap, melainkan untuk menunjukkan dengan jari yang tepat jalan buntu yang harus dijalani oleh semua orang. Dalam kerangka waktu pemikiran absurd, penciptaan mengiringi ketidakberpihakan dan penemuan.

Penciptaan

menandai

titik

saat

nafsu-nafsu

absurd

membumbung, dan saat penalaran berhenti. Gagasan mengenai sebuah seni yang dilepaskan dari penciptanya tidak hanya kuno, tetapi juga keliru. Berbeda dengan seniman, dikatakan bahwa tidak ada seorang filsuf pun yang menciptakan beberapa sistem. Tetapi hal itu benar sejauh tidak seorang seniman pun mengungkapkan lebih dari satu hal dalam berbagai wajah. Kesempurnaan seketika dalam seni, kebutuhannya akan pembaharuan, hanya benar karena diduga demikian saja. Sebab, karya seni juga merupakan suatu bentukan dan setiap orang tahu betapa para pencipta besar dapat membosankan. Seniman, seperti halnya pemikir melibatkan diri dan menjadi dirinya sendiri dalam karyanya. Peleburan itu menimbulkan masalah estetika yang paling penting. Lebih-lebih lagi tiada yang suatupun yang sia-sia daripada pembedaan-pembedaan berdasarkan metode dan objek bagiseorang yang yakin akan kesatuan antara tujuan pikiran. Hal itu perlu dikatakan, sebagai permulaan. Agar suatu karya absurd dapat tercipta, harus dicampurkan dilamnya pikiran dalam bentuknya yang paling jernih. Tetapi pada waktu yang sama pikiran tersebut tidak boleh sama sekali muncul selain sebagai nalar yang mengatur. Paradoks itu dapat dijelaskan berdasarkan absurditas. Karya seni lahir dari penolakan akal budi untuk

Diam Dalam Absurditas

22

bernalar tentang yang konkret. Ia menandai kemenangan aspek jasmani. Pikiran jernihlah yang menimbulkan karya seni itu, tetapi dalam tindakan itu sendiri pikiran menyangkal dirinya sendiri. Ia tidak akan menyerah kepada godaan untuk menambahkan secara berlebihan satu arti yang lebih dalam pada apa yang dideskripsikannya, yang sepengatahuannya tidak sah. (nama, th, hal) Karya seni menjelmakan suatu drama akal budi, tetapi ia hanya memberikan bukti tak langsung tentang drama itu. Karya absurd menuntut seorang seniman yang sadar akan batas-batas ini, dan suatu seni yang di mana yang konkret tidak mengungkapkan lebih dari dirinya sendiri. Ia tidak dapat menjadi tujuan, makna, ataupun penghiburan suatu kehidupan. Mancipta atau tidak mencipta tidak mengubah apapun. Pencipta absurd tidak terikat pada karyanya. Ia dapat meninggalkan karyanya, bahkan kadangkadang ia memang meninggalkannya. Cukuplah suatu tempat untuk bermimpi. (nama, th, hal) Masalah yang dihadapi seniman absurd adalah memperoleh savoirvivre (seni hidup) yang melebihi savoir-faire (seni melakukan sesuatu). Sebagai penutup, sang seniman besar dalam suasana tersebut pertama-tama adalah un grand vivant (seorang yang sungguh mengetahui seni hidup); tentu saja di sini pengertian hidup adalah baik mengalami maupun berpikir. Jadi, karya merupakan penjelmaan dari suatu drama intelektual. Karya absurd menggambarkan penolakan pikiran terhadap gengsinya dan penyangkalannya untuk tidak menjadi lebih dari akal budi yang mendayagunakan penampilan lahiriah dan menutupi hal yang tak bernalar

Diam Dalam Absurditas

23

dengan gambaran-gambaran. Seandainya dunia jelas, seni tidak mungkin ada (nama, th, hal) Berpikir adalah pertama-tama ingin menciptakan suatu dunia (atau membatasi dunianya sendiri, yang jatuhnya sama saja). Berpikir adalah berangkat dari ketidaksesuaian mendasar yang memisahkan manusia dari penglamannya untuk menemukan suatu wilayah persetujuan seusai dengan kerinduannya, suatu dunia yang terbingkai nalar atau diterangi berbagai analogi

yang

memungkinkan

menguraikan

perceraian

yang

tak

tertanggungkan itu. Filsuf, Kant sekalipun, adalah pencipta. Ia mempunyai tokoh-tokoh, lambang-lambang, dan tindakan-tindakan rahasianya sendiri. Ia mempunyai penyelesaian-penyelasian juga. Mereka memandang karya seni sekaligus sebagai suatu akhir dan suatu permulaan. Karya seni adalah hasil suatu filsafat yang tidak sering tidak terungkapkan, penggambarannya dan puncaknya. Suatu

sikap

absurd,

agar

tetap

absurd,

harus

sadar

akan

ketidakterikatannya. Demikian pula karya seni. Jika perintah-perintah dari yang absurd tidak dipatuhi, jika karya seni tidak menggambarkan penceraian dan

pemberontakan,

jika

ia mengabdikan

diri kepada ilusi dan

menghidupkan harapan, ia kehilangan ketidakterikatannya

Diam Dalam Absurditas

Related Documents

Concept #2
June 2020 8
Concept #2
June 2020 14
Concept
December 2019 67
Concept
June 2020 35
Concept
November 2019 59
Writing Concept Paper[2]
November 2019 14

More Documents from ""

13 Februari 08 Menjelang Ta
October 2019 18
Painting Of Absurdity
June 2020 13
Aris Jakarta
June 2020 18
Concept
June 2020 35
Concept #2
June 2020 8