PENGGUNAAN JASA TELEPON DALAM PELAKSANAAN AKAD NIKAH Oleh Sudarman
Sebagian Fuqaha dalam mengemukakan hakekat perkawinan hanya menonjolkan aspek lahiriyah yang bersifat normatif. Seolah-olah akibat dari sahnya sebuah perkawinan hanya sebatas timbulnya kebolehan terhadap sesuatu yang sebelumnya sangat dilarang, yakni berhubungan badan antara laki-laki dengan perempuan. Dengan demikian yang menjadi inti pokok pernikahan itu adalah ‘Akad (pernikahan) yaitu serah terima antara orang tua calon mempelai wanita dengan calon mempelai laki-laki. Berkaitan dengan hal di atas, hubungan badan sebelum akad nikah adalah perbuatan zina yang diharamkan. Dengan dilaksanakannya akad nikah maka hubungan yang sebelumnya dilarang itu, berubah menjadi boleh dan halal. Perkawinan dilihat dari segi hukum, merupakan suatu perjanjian, yaitu dengan cara mengadakan ikatan perkawinan yang telah diatur terlebih dahulu melalui akad nikah dan dengan rukun dan syarat tertentu. Ikatan perkawinan dengan penetapan persyaratan “tidak ada hubungan seks” atau “tidak ada kehamilan” adalah tercela menurut ajaran Islam. Maka dengan terlaksananya akad nikah, yang haram menjadi halal. Menurut ajaran Islam, orang yang sudah pantas dan mampu melaksanakan perkawinan, hendaklah ia menikah atau dinikahkan. Perkawinan adalah wadah bagi seorang muslim untuk menempatkan fitrah dan tabiat kemanusiaannya. Dari sini mulai tersingkaplah arti penting dari perkawinan itu. Perkawinan umat Islam di Indonesia juga mengacu kepada pedoman hukum Islam; dalam hal ini masih tetap kepada fungsi akan nikah yang begitu memerlukan. Dengan perkataan lain hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan hukum Islam sebagaimana pemahaman kalangan fuqaha. Perkawinan juga bertujuan untuk memperluas dan mempererat hubungan kekeluargaan, serta membangun masa depan
individu, keluarga dan masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, jika telah ada kesepakatan antara seorang pemuda dengan seorang pemudi untuk melaksanakan akad nikah, pada hakekatnya keduanya telah sepakat untuk merintis jalan menuju kebahagiaan lahir batin melalui pembinaan yang ditetapkan agama. Barangkali, faktor-faktor yang ditetapkan terakhir inilah yang lebih mendekati tujuan hakekat dari perkawinan yang diatur oleh Islam. Oleh sebab itu, sah atau tidak sahnya perkawinan menurut Islam adalah tergantung pada akadnya. Karena sedemikian rupa pentingnya akad dalam perkawinan itu. Maka berdasarkan dalil-dalil yang mereka temui, para fuqaha telah berijtihad menetapkan syarat-syarat dan rukun untuk sahnya suatu akad nikah. Dari lima rukun perkawinan yang paling penting ialah ijab dan kabul antara yang mengadakan dengan yang menerima akad. Dari sinilah kemudian para ahli fiqh menyatakan bahwa syarat perkawinan (nikah) adalah ijab dan kabul. Sebagai hasil ilmu pengetahuan dan teknologi muncul permasalahan baru dalam soal perkawinan, yaitu tentang sahkah akad nikah yang ijab dan kabulnya dilaksanakan melalui telepon?. Dalam suatu perkawinan haruslah memenuhi syarat dan rukunnya, dan diantara yang terpenting adalah ijab dan kabulnya. Kata ijab adalah ucapan dari wali atau orang tua (wakilnya) pihak pengantin perempuan sebagai penyerahan kepada pihak pengantin laki-laki. Sedangkan kabul adalah ucapan atau jawaban dari pihak-pihak laki-laki atau wakilnya, sebagai bukti penerimaan. Para ulama berselisih pendapat apakah mengenai kesaksian itu merupakan syarat sahnya akad nikah, atau hanya merupakan syarat tamam (kesempurnaan). Akan tetapi para fuqaha sepakat mensyaratkan pelaksanaan akad nikah itu hendaknya dalam satu majelis artinya baik wali ataupun yang mewakilinya, maupun calon suami atau yang mewakilinya dan kedua orang saksi semuanya dapat terlibat langsung dengan pelaksanaan
ijab
dan
kabul.
Berawal dari permasalahan di atas, apakah dengan kehadiran suara saja baik ijab untuk calon suami ataupun kabul untuk wali ataupun yang mewakilinya dianggap menyimpang dari pengertian satu majelis dalam akad nikah? Permasalahan lain yang muncul berikutnya ialah taukil yakni mewakilkan dalam nikah; apakah suara lewat telepon itu dapat disejajarkan dengan kedudukan wakil dalam nikah?. Dalam kenyataannya dipahami bahwa telepon dapat menyampaikan suara dari jarak jauh. Jadi suara yang disampaikan lewat telepon bisa terdengar persis sebagaimana dari sumbernya. Baik sumber itu langsung orang atau rekaman kaset. Adapun untuk mengetahui dari siapa suara dalam telepon itu, sudah sudah barang tentu pertama, kedua belah pihak yang berbicara harus saling mengenal terlebih dahulu. Kedua, apakah suara itu langsung atau rekaman hal ini dapat diuji dengan konteks atau tidaknya pembicaraan antara kedua belah
pihak. Berdasarkan data di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa selama dua pihak yang berbicara melalui telepon itu sudah saling mengenal sebelumnya, sejauh itu pula pembicaraan melalui telepon itu sama dengan pembicaraan dalam satu majelis. Maka dapatlah diambil penegasan sementara bahwa ijab dan kabul dalam akad nikah dapat dilakukan melalui telepon karena telepon kenyataannya tidak menghalangi terjadinya dialog langsung antara pihak-pihak yang berbicara sebagaimana yang dilakukan dalam ijab dan kabul dalam satu majelis. Adapun mengenai saksi, penulis berpendapat bahwa fungsi saksi dalam perkawinan bukan saja sebagai pemberitahuan, tetapi benar-benar dapat dijadikan sebagai alat bukti, apabila terjadi pengingkaran dari salah satu pihak. Tetapi apapun fungsi saksi itu, dalam keterkaitan dengan pelaksanaan nikah melalui telepon akan tetap dapat dicapai. Yang menjadi permasalahan ialah apakah dengan terpisahnya tempat wali dengan tempat zauj
itu
berarti
sekaligus
membatalkan
persyaratan
dalam
“satu
majelis”.
Dengan berkurangnya peranan kesaksian dua orang saksi maka dengan sendirinya mengurangi fungsi mereka menyaksikan. Dan kalau demikian persoalannya, maka sebenarnya dapat diatasi dengan cara menetapkan masing-masing dua orang saksi bagi masing-masing majelis. Majelis pihak ijab dua orang dan pada majelis kabul dua orang saksi. Pada mulanya syari’at Islam baik Al-Qur’an maupun sunnah tidak mengatur secara kongkrit tentang adanya pencatatan perkawinan. Adapun hukum Islam di Indonesia, karena mengikuti tuntutan perkembangan. Dilakukan dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan, pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat. Berkaitan dengan pelaksanaan akad nikah melalui telepon antar Negara, maka peraturan-peraturan pencatatan perkawinan tersebut di atas wajib ditaati. Pengertian wajib ini adalah menjadi syarat untuk dapat dilangsungkannya akad nikah tersebut. Jadi semua peraturan pemerintah yang dapat terkait dengan pelaksanaan akad nikah melalui telepon yang melibatkan pihak yang berdomisili pada Negara yang berlainan, wajib ditaati. Mengacu kepada beberapa kaidah, maka dibolehkannya akad nikah melalui telepon karena antara jarak yang memisahkan calon suami-isteri sangat jauh. Dan juga disebabkan karena mereka sedang menunaikan hajat pokok dalam waktu lama yang ditentukan oleh pihak luar. Maka walaupun melalui telepon rencana untuk melangsungkan akad nikah itu tidak dapat dicegah, selama persyaratan dapat dipenuhi seperti telah dikemukakan di atas. Lain lagi, apabila keadaan calon suami-isteri berpisah dengan mudah dapat berhubungan, dalam arti tidak akan mengorbankan hajat pokok yang sedang dihadapi, maka tidak boleh dilaksanakan akad nikah melalui telepon dengan alasan bahwa nikah adalah suatu pekerjaan dan tanggung jawab yang mulia sehingga oleh karenanya harus dihadapi dengan segala kesungguhan.
Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa lembaga perkawinan di dalam Islam adalah sesuatu yang amat penting. Allah SWT., menurunkan syari’at perkawinan itu adalah untuk kemaslahatan umat manusia, khususnya umat Islam. Ketaatan umat Islam terhadap syari’at atau peraturan tentang perkawinan itu sepanjang sejarah hingga abad modern ini, oleh mereka dapat dirasakan sendiri manfaat dan hikmahnya yakni membentuk masyarakat yang teratur dan beradaban. Oleh karena itu, semua perkembangan dicapai dan dihadapi oleh umat Islam dalam berbagai aspek kebudayaan dan peradaban mereka, hendaknyalah jangan sampai membawa mereka untuk mengesampingkan ketentuan-ketentuan syara’ mengenai perkawinan. Akad nikah melalui telepon itu memang dapat saja dilakukan dengan persyaratan-persyaratan tertentu dan dalam keadaan tertentu. Di antaranya ketika pelaksanaan akad nikah secara biasa sulit dilaksanakan atau ada penghalang yang menyangkut hal yang baik menurut syara’ dan bersifat hajat hidup pokok. Sedangkan kedua pasangan calon suami-isteri telah sepakat untuk menikah. Dan juga di antara pihak yang harus terlibat dalam pelaksanaan akad itu memang sudah saling mengenal sejak sebelumnya. Memang para ulama mengisyaratkan dalam satu majelis, akan tetapi keadaan demikian tidaklah tertutup kemungkinan untuk dicapainya makna “satu majelis”. Dengan menetapkan dua orang saksi pada masing-masing majelis ijab dan majelis kabul, maka makna dalam “satu majelis” sebagaimana dimaksudkan Jumhur, akan tercapai.