Chapter Ii.pdf

  • Uploaded by: Guna Farma
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Chapter Ii.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 5,585
  • Pages: 25
TINJAUAN PUSTAKA

Kopi Robusta (Coffea robusta Lindl.) Kopi Robusta (Coffea canephora) masuk ke Indonesia pada tahun 1900-an (Gandul, 2010). Kopi ini ternyata tahan penyakit karat daun, dan memerlukan syarat tumbuh dan pemeliharaan yang ringan, sedang produksinya jauh lebih tinggi. Oleh karena itu kopi ini cepat berkembang, dan mendesak kopi-kopi lainnya. Saat ini lebih dari 90 % dari areal pertanaman kopi Indonesia terdiri atas kopi Robusta (Prastowo, dkk, 2010). Kopi Robusta (Coffea robusta Lindl., ex De Willd) termasuk dalam kelas Dicotyledonae dan bergenus Coffea dari famili Rubiaceae. Jenis kopi ini memiliki akar tunggang yang tumbuh tegak lurus sedalam hampir 45 cm dengan warna kuning muda. Batang dan cabang-cabang kopi Robusta dapat tumbuh hingga mencapai ketinggian 2 – 5 m dari permukaan tanah atau mungkin juga lebih, tergantung didaerah mana kopi tersebut tumbuh. Benih Robusta berbentuk oval dan biasanya lebih kecil daripada kopi arabika. Kopi tumbuh baik pada zona 20 °LU – 20 °LS pada Elevasi 400 – 800 m DPL dan dengan temperatur rata-rata tahunan 24-30 °C. Pada umumnya ketinggian atau elevasi lokasi tumbuh tanaman kopi sangat berpengaruh terhadap besarnya biji kopi, jika berada di tempat yang lebih tinggi maka biji kopi akan menjadi lebih besar. Beberapa varietas yang termasuk kopi robusta antara lain Quillou, Uganda, dan Chanephora, ketiga varietas tersebut masing-masing memiliki karakter fisik dan sifat yang berbeda (http://www.bironk.com/robusta-coffee, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Salah satu penyebab rendahnya produktivitas kopi robusta di Indonesia adalah belum digunakannya bahan tanam unggul yang sesuai dengan agroekosistem

tempat

tumbuh

kopi

robusta.

Umumnya

petani

masih

menggunakan bahan tanam dari biji berasal dari pohon yang memiliki buah lebat atau bahkan dari benih sapuan. Salah satu upaya untuk meningkatkan produktivitas kopi robusta adalah dengan perbaikan bahan tanam. Penggantian bahan tanam anjuran dapat dilakukan secara bertahap, baik dengan metode sambungan di lapangan pada tanaman kopi yang telah ada, maupun penanaman baru dengan bahan tanaman asal setek. Adapun klon-klon kopi robusta yang dianjurkan adalah BP 42, BP 234, BP 288, BP 358, BP 409, dan SA 203. Oleh karena kopi robusta bersifat menyerbuk silang, maka penanamannya harus poliklonal, dapat 3-4 klon untuk tiap hamparan kebun. Demikian pula sifat kopi robusta yang sering menunjukkan reaksi berbeda apabila ditanam pada kondisi lingkungan berbeda, Komposisi klon kopi robusta untuk suatu lingkungan tertentu harus berdasarkan pada stabilitas daya hasil, kompatibilitas (keserempakan saat berbunga) antar klon untuk kondisi lingkungan tertentu serta keseragaman ukuran biji (Prastowo, dkk, 2010). Syarat Tumbuh Tanaman Kopi Robusta (Coffea robusta Lindl.) Persyaratan tumbuh kopi robusta berdasarkan kriteria kesesuaian lahan Djaenudin, dkk (2003) adalah kopi robusta tumbuh dan berproduksi pada kisaran suhu 19-32 °C. Tanaman kopi robusta dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang kedalamannya minimum 50 cm, tekstur liat sampai lempung berliat, konsistensi gembur, permeabilitas sedang, drainase baik, subur, reaksi tanah (pH) berkisar antara 4,5-7,0 yang optimum antara 4,3-6,0. Potensi produksi kopi robusta yang

Universitas Sumatera Utara

diusahakan pada berbagai kondisi lahan dan manajemen untuk skala komersial adalah 1,0-2,0 Ton/Ha, sedangkan untuk perkebunan rakyat 0,5-1,2 Ton/Ha. Tabel 1. Persyaratan (Coffea robusta Lindl.) Persyaratan tumbuh/Karakteristik lahan Suhu (tc) Suhu tahunan rata-rata (ºC)

Tumbuh

Tanaman

Kopi

Robusta

Kelas Kesesuaian Lahan S1

S2

S3

N

22 - 25

22 – 28

19 - 22 28 - 32

< 19 > 32

1750 – 2000 3000 – 3500 3–5

1500 – 1750 3500 – 4000 5–6

80 – 90; 35 – 45

> 90; 30 - 35

Baik

Sedang

Agak terhambat, agak cepat

Terhambat, sangat terhambat, cepat

Keadaan perakaran (rc) Tekstur tanah Fraksi kasar (%) Kedalaman tanah (cm)

Halus, agak halus, sedang < 15 > 100

15 – 35 75 – 100

Agak kasar, sangat halus 35 – 60 50 – 75

Kasar, sangat halus > 60 < 50

Ketersediaan hara ( nr) KTK liat (cmol/kg) Kejenuhan basa (%) pH H 2 O

> 16 > 20 5.3 – 6.0

Ketersediaan air (wa) Curah hujan tahunan rata-rata (mm) Jumlah bulan kering (month) Kelembaban nisbi (%) Ketersediaan oksigen (oa) Drainase

C-organik (%) Toksisitas (xc) Salinitas (ds/m) Bahaya erosi (eh) Lereng (%) Tingkat bahaya erosi (eh) Bahaya banjir (fh) Banjir Penyiapan tanah (lp) Batuan permukaan (%) Singkapan batuan (%)

2000 – 3000 2–3 45 - 80

< 1500 > 4000 >6 < 30

> 0.8

≤ 16 ≤ 20 6.0 – 6.5 5.0 – 5.3 ≤ 0.8

<1

-

1-2

>2

<8 Sangat rendah

8 – 16 Rendah – sedang

16 – 30;16 – 50 Berat

> 30; > 50 Sangat berat

F0

F0

F1

> F1

<5 <5

5 – 15 5 – 15

15 – 40 15 – 25

> 40 > 25

> 6.5 < 5.3

Sumber: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (2011).

Universitas Sumatera Utara

Curah hujan yang sesuai untuk kopi seyogyanya adalah 1500 – 2500 mm per tahun, dengan rata-rata bulan kering 1-3 bulan dan suhu rata-rata 15-25 0C dengan lahan kelas S1 atau S2 (Puslitkoka, 2006). Ketinggian tempat penanaman akan berkaitan juga dengan citarasa kopi (Prastowo, dkk, 2010). Evaluasi Lahan Evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan (Ritung, dkk, 2007). Klasifikasi Kemampuan Lahan (Land Capabillity Classification) adalah penilaian

lahan

(komponen-komponen

lahan)

secara

sistematik

dan

pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaanya secara lestari. Klasifikasi Kesesuaian Lahan (Land Suitabillity Classification) adalah penilaian dan pengelompokan lahan dalam arti kesesuaian relatif lahan atau kesesuaian absolut lahan bagi suatu penggunaan tertentu. Kemampuan lahan dipandang sebagai kapasitas lahan itu sendiri untuk suatu macam atau tingkat penggunaan umum, sedangkan kesesuaian lahan dipandang sebagai kenyataan adaptabilitas (kemungkinan penyesuaian) sebidang lahan bagi suatu macam penggunaan tertentu. Sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang essensial antara kemampuan lahan dan kesesuaian lahan (Arsyad, 2010). Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian

Universitas Sumatera Utara

lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N=Not Suitable). Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan atas

Kelas

sesuai

(S),

sesuai

bersyarat

(CS)

dan

tidak

sesuai

(N)

(Ritung, dkk, 2007). Struktur klasifikasi lahan menurut sistem FAO (1976) didasarkan pada kelas- kelas kesesuaian lahan sebagai berikut : •

Kelas S1: Sangat sesuai (Highly Suitable) yaitu lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang serius untuk menerapkan pengolahan yang di berikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti secara nyata terhadap produksinya dan tidak akan menaikkan masukan yang biasa dilakukan.



Kelas S2: Cukup sesuai (Moderatly Suitable) yaitu lahan mempunyai pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat pengelolaannya yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dari keuntungan dan perlu meningkatkan masukan yang diperlukan.



Kelas S3: Kurang sesuai (Marginally Suitable) yaitu lahan mempunyai pembatas yang serius untuk mempertahankan tingkat pengolahannya yang

Universitas Sumatera Utara

harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan. •

Kelas N1: Tidak sesuai saat ini (Currently Suitable) yaitu lahan mempunyai

pembatas

yang

sangat

serius,

tetapi

masih

dapat

memungkinkan untuk diatasi hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengolahan model normal. Keadaan pembatas sedemikian seriusnya sehingga mencegah kelangsungan penggunaan lahan. •

Kelas N2: Tidak sesuai untuk selamanya (Permanently not Suitable) yaitu lahan

mempunyai

pembatas

permanen

untuk

mencegah

segala

kemungkinan kelangsungan penggunaan lahan. Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukanmasukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai (Ritung, dkk, 2007). Survei Tanah Hasil pemetaan tanah tanpa diikuti oleh rekomendasinya tidak akan memberikan informasi dan kontribusi yang berguna dan tepat guna untuk mendukung program pembangunan pertanian. Oleh karena itu, data sumber daya

Universitas Sumatera Utara

lahan yang diperoleh dari kegiatan pemetaan tanah harus ditindaklanjuti dengan interpretasinya melalui evaluasi lahan (Djaenudin, 2009). Survei dan pemetaan tanah biasanya termasuk interpretasi untuk tujuan perencanaan penggunaan lahan dalam bentuk klasifikasi kemampuan lahan dan klasifikasi kesesuaian lahan. Tujuan klasifikasi tersebut adalah memberikan arahan perencanaan dan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan yang berkelanjutan. Pakar tanah mempunyai peranan dalam mengevaluasi kondisi lingkungan fisik, walaupun hal ini harus memperhitungkan juga teknologi dan konsekuensi sosial ekonomi masyarakat di wilayah tertentu (Sutanto, 2005). Sebuah peta tanah dalam survei tanah adalah representasi dari pola tanah di lanskap. Skala dari peta dan kompleksitas dari pola tanah menentukan apa yang dapat ditampilkan pada peta tanah. Dalam merancang survei tanah, penggunaan proyeksi survei dan kompleksitas pola tanah sangat menentukan skala peta tanah. Bila menggunakan peta tanah, ingat bahwa skala, akurasi, dan detail yang tidak sama. Skala adalah hubungan antara jarak yang sesuai pada peta dan aktual jarak di tanah. Akurasi adalah derajat atau presisi dengan memetakan informasi yang diperoleh, diukur, dan dicatat, dan detail sesuai jumlah informasi yang ditampilkan. Peta skala, akurasi, dan detail yang saling terkait. Sebuah peta skala besar belum tentu lebih akurat dibandingkan peta skala kecil, namun, peta berskala besar umumnya menunjukkan lebih detail dibandingkan peta skala kecil. Peta tanah yang dibuat dengan menggunakan metode penelitian lapangan. Keakuratan peta ditentukan oleh banyak faktor, termasuk kompleksitas tanah, desain unit tanah peta, intensitas pengamatan lapangan dan pengumpulan data, dan keterampilan mapper (USDA, 1995).

Universitas Sumatera Utara

Berbagai model evaluasi lahan yang telah dikembangkan menurut PPPTA (2005), salah satu diantaranya adalah LECS (A Land Evaluation Computer System Methodology and User Manual) (Wood and Dent, 1983). LECS dipakai oleh Pusat Penelitian Tanah pada LREP-I (Land Resource Evaluation and Planning Project), tahun 1987-1990. Hasil LREP-I adalah tersedianya data dan informasi potensi sumber daya lahan nasional dalam bentuk Database Sumber Daya Lahan dengan berbagai skala dan format, baik tabular maupun spasial (Arsyad, 2010). Oleh Rossiter dan Van Wambekke (1997) dalam Ritung, dkk (2007) menjelaskan berbagai sistem evaluasi lahan dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang berbeda seperti sistem perkalian parameter, sistem penjumlahan parameter dan sistem pencocokan (matching) antara kualitas lahan dan karakteristik lahan dengan persyaratan tumbuh tanaman. Prosedur

pengembangan

kelas

kemampuan

lahan

pertama

kali

dipublikasikan oleh Norton di dalam Soil Conservation Survey Handbook tahun 1939, meskipun ide mengenai kelas kemampuan lahan telah muncul jauh sebelumnya (Helms, 2005). Menurut sistem ini lahan dikelompokkan ke dalam tiga kategori utama yaitu Kelas, Subkelas, dan Satuan Kemampuan (capability unit) atau Satuan Pengelolaan (management unit). Pengelompokan di dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor penghambat (Arsyad, 2010). Pada dasarnya, sistem klasifikasi kemampuan lahan yang digunakan oleh USDA dan dikemukakan dalam Agricultural Handbook No. 210 (Klingebiel dan Montgomery, 1961). Sistem ini dibagi dalam tiga kategori, yaitu kelas, sub-kelas, dan unit. Penggolongan kedalam kategori tersebut berdasarkan atas kemampuan

Universitas Sumatera Utara

lahan tersebut untuk produksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang (Sutanto, 2005). Jika survey sumberdaya lahan telah dilaksanakan dan data telah dianalisis, proses klasifikasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) metode parametrik dan (2) metode faktor penghambat. Pada metode parametrik kualitas lahan atau sifat-sifat lahan yang mempengaruhi kualitas lahan diberi nilai dari 10 sampai 100 atau 1 sampai 10. Kemudian setiap nilai digabungkan dengan penambahan atau perkalian dan ditetapkan selang nilai untuk setiap kelas. Dengan nilai tertinggi untuk kelas terbaik dan berkurang dengan semakin kecilnya selang nilai. Dengan metode faktor penghambat, maka setiap kualitas lahan atau sifat-sifat lahan diurutkan dari yang terbaik sampai yang terburuk atau dari yang paling kecil hambatan atau ancamannya sampai yang terbesar. Kemudian disusun tabel kriteria untuk setiap kelas. Penghambat yang terkecil untuk kelas yang terbaik dan berurutan semakin besar hambatan semakin rendah pula kelasnya. (Arsyad, 2010). Karakteristik Lahan untuk Evaluasi Kesesuaian Penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan dapat dioptimalkan apabila didukung informasi karakteristik lahan yang lengkap. Informasi tersebut dapat berupa cakupan areal efektif yang dapat diusahakan, kondisi biofisik wilayah, dan pertumbuhan serta produksi tanaman (Karim, dkk, 2008). Untuk memperoleh lahan yang benar-benar sesuai diperlukan suatu kriteria lahan yang dapat dinilai secara objektif. Acuan penilaian kesesuaian lahan digunakan kriteria klasifikasi lahan yang sudah dikenal, baik yang bersifat umum maupun yang khusus. Tetapi pada umumnya disusun berdasarkan pada sifat-sifat

Universitas Sumatera Utara

yang dikandung lahan, artinya hanya pada sampai pada pembentukan kelas kesesuaian lahan, sedangkan menyangkut produksi hanya berupa dugaan berdasarkan potensial kelas kesesuaian lahan yang terbentuk (Karim, dkk, 1996). Karakteristik lahan yang berhubungan erat dengan evaluasi kesesuaian lahan adalah : Iklim 1. Temperatur Tidak seperti hewan yang bersifat homeothermic, tanaman tingkat tinggi tidak mampu mempertahankan sel-sel dan jaringannya pada suhu temperatur optimum yang konstan dan area itu daun, batang, dan akarnya biasanya berada dalam kisaran beberapa derajat dari suhu udara dan tanah sekelilingnya. Karena hal tersebut, pertumbuhan dan metabolisme tanaman sangat dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan (Hanum, 2011). Tanaman kina dan kopi, misalnya, menyukai dataran tinggi atau suhu rendah, sedangkan karet, kelapa sawit dan kelapa sesuai untuk dataran rendah. Pada daerah yang data suhu udaranya tidak tersedia, suhu udara diperkirakan berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan laut. Semakin tinggi tempat, semakin rendah suhu udara rata-ratanya dan hubungan ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus Braak (1928) : 26,3 C (0,01 x elevasi dalam meter x 0,6 C) (Ritung, dkk, 2007). Untuk tanaman di daerah sedang, suhu optimum untuk fotosintesa lebih rendah dibanding suhu optimum untuk respirasi, akibatnya tanaman penghasil tepung seperti jagung dan kentang memberikan hasil lebih tinggi di daerah

Universitas Sumatera Utara

beriklim sejuk disbanding daerah yang lebih panas. Temperatur udara dipengaruhi oleh letak tempat pada suatu lintang (latitude), tinggi tempat dari muka laut (altitude), dan kandungan air (kelembaban) (Damanik, dkk, 2011). 2. Curah Hujan Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat penting untuk pertanian tropis, baik pada keadaan berlebih maupun kurang. Penyebaran curah hujan merupakan kriteria utama yang digunakan untuk mengelompokkan iklim tropis, seperti musim hujan atau musim kering. kelembaban merupakan faktor pembatas pada sekitar ¾ lahan yang dapat di tanami di daerah tropis. Curah hujan semusim bervariasi dari nol hingga 10.000 mm dan secara umum menurun dengan menaiknya lintang, tetapi bentuk wilayah dan kondisi lainnya saling berhubungan juga (Damanik, dkk, 2011). Untuk keperluan penilaian kesesuaian lahan biasanya dinyatakan dalam jumlah curah hujan tahunan, jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah. Oldeman (1975) mengelompokkan wilayah berdasarkan jumlah bulan basah dan bulan kering berturut-turut. Bulan basah adalah bulan yang mempunyai curah hujan >200 mm, sedangkan bulan kering mempunyai curah hujan <100 mm. Kriteria ini lebih diperuntukkan bagi tanaman pangan, terutama untuk padi. Berdasarkan kriteria tersebut Oldeman (1975) membagi zone agroklimat kedalam 5 kelas utama (A, B, C, D dan E). Sedangkan Schmidt & Ferguson (1951) membuat klasifikasi iklim berdasarkan curah hujan yang berbeda, yakni bulan basah (>100 mm) dan bulan kering (<60 mm). Kriteria yang terakhir lebih bersifat umum untuk pertanian dan biasanya digunakan untuk penilaian tanaman tahunan (Ritung, dkk, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Pada curah hujan rata-rata 90 mm per bulannya dengan kondisi suhu panas akan menghasilkan komunitas hujan tropis, sedangkan curah hujan yang sama tetapi kondisi suhu rata-rata sedang komunitas yang hidup diatasnya adalah hutan temperate, penurunan curah hujan antara 30-60 mm pada suhu lingkungan sejuk komunitasnya adalah hutan gugur. Dan pada suhu panas dengan curah hujan lebih kecil dari 30 mm maka komunitas yang ditemui adalah padang rumput, akan tetapi jika curah hujan lebih kecil dari 10 mm komunitasnya berubah menjadi padang pasir (Hanum, 2011). Pada taksa subkelas dapat dilakukan perbaikan terhadap faktor pembatas / penghambat yang dijumpai. Perbaikan faktor tersebut sangat bergantung kepada faktor pembatas, apakah faktor pembatas permanen seperti elemen-elemen iklim (curah hujan, suhu, kelembaban, penyinaran, dll) atau pembatas tidak permanen seperti elemen-elemen tanah (unsur hara, bahan organik, pH, dll). Sehingga dengan perbaikan faktor pembatas tersebut dapat meningkatkan kelas, tergantung tingkat perbaikan atau tingkat asumsi perbaikan faktor pembatas yang dilakukan (Karim, 2007). Sifat Fisik Tanah 1. Tekstur Definisi tekstur menurut USDA adalah perbandingan relatif antara partikel tanah yang terdiri atas fraksi lempung, debu, dan pasir. Tekstur tanah bersifat permanen/tidak mudah diubah dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap sifat tanah yang lain seperti struktur, konsistensi, kelengasan tanah, permeabilitas tanah, run off, daya infiltrasi, dan lain-lain (Sutanto, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Tanah terdiri dari partikel mineral yang berasal dari pengikisan batuan, dan bahan organik yang berasal dari sisa tumbuhan atau tanaman, fauna dan mikrobia tanah. Partikel mineral dan organik bercampur membentuk berbagai jenis agregat tanah. Tanah merupakan suatu ekosistem yang hidup dan diklasifikasikan menurut teksturnya yaitu berdasarkan kandungan pasir, debu, dan liat yang terkandung didalamnya (Hanafiah, dkk, 2009). Untuk penentuan klasifikasi kemampuan lahan, tekstur lapisan atas tanah (0-30 cm) dan lapisan bawah (30-60 cm) dikelompokkan sebagai berikut; (t 1 ) tanah bertekstur halus meliputi liat berpasir, liat berdebu, liat. (t 2 ) tanah bertekstur agak halus meliputi lempung liat berpasir, lempung berliat, dan lempung liat berdebu. (t 3 ) tanah bertekstur sedang meliputi lempung, lempung berdebu, dan berdebu. (t 4 ) tanah bertekstur agak kasar meliputi lempung berpasir, lempung berpasir halus, dan lempung berpasir sangat halus. (t 5 ) tanah bertekstur kasar meliputi pasir berlempung dan pasir (Arsyad, 2010). 2. Kedalaman Efektif Kedalaman tanah efektif adalah kedalaman tanah yang baik bagi pertumbuhan akar tanaman, yaitu kedalaman sampai pada lapisan yang tidak dapat ditembus oleh akar tanaman. Lapisan tersebut dapat berupa lapisan padas keras (hard pan), padas liat (clay pan), padas rapuh (Fragi-pan) atau lapisan phlintite (Arsyad, 2010). Cara praktis penetapan bawah (kedalaman efektif) suatu solum tanah adalah melalui penyidikan pada kedalaman penetrasi perakaran tanaman yang tidak mempunyai lapisan padat yang dapat menghambat penetrasi akar, maka perakaran tanaman akan berpeluang menembus sampai perbatasan mineral tanah

Universitas Sumatera Utara

dan bahan geologis atau bukan tanah. (Foth, 1998) mengklasifikasikan kedalaman efektif sebagai berikut; Ke-1 = > 90 cm (dalam), Ke-2 = 50-90 cm (sedang), Ke-3 = 25-50 cm (dangkal), dan Ke-4 = < 25 cm (sangat dangkal). 3. Permeabilitas Permeabilitas adalah kualitas tanah untuk meloloskan air atau udara, yang diukur berdasarkan besarnya aliran yang melalui satuan tanah yang telah dijenuhi terlebih dahulu per satuan waktu tertentu. Permeabilitas sangat dipengaruhi oleh tekstur, struktur, dan porositas. Permeabilitas diukur berdasarkan horizon tertentu (Sutanto, 2005). Air keluar dari suatu areal tertentu dapat melalui beberapa bentuk seperti aliran permukaan (Surface runoff), aliran bawah permukaan (Subsurface flow), aliran bawah tanah (Ground waterflow), dan aliran sungai (Stream flow) (Arsyad, 2010). 4. Drainase Drainase tanah diklasifikasikan sebagai berikut; (d 0 ) berlebihan, air lebih segera keluar dari tanah dan sangat sedikit air yang ditahan oleh tanah sehingga tanaman akan segera mengalami kekurangan air. (d 1 ) baik, tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh profil tanah dari atas samapai ke bawah (150 cm) berwarna terang yang seragam dan tidak terdapat bercak kuning, coklat atau kelabu. (d 2 ) agak baik, tanah mempunyai peredaran udara baik di daerah perakaran. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, cokelat, atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas lapisan bawah. (d 3 ) agak buruk, lapisan tanah atas mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, kelabu, atau coklat. Bercak-bercak ditemukan pada seluruh lapisan bagian

Universitas Sumatera Utara

bawah. (d 4 ) buruk, bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat, dan kekuningan. Dan (d 5 ) sangat buruk, seluruh lapisan sampai permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah lapisan bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak berwarna kebiruan, atau terdapat air yang menggenang di permukaan tanah dalam waktu yang lama. (Arsyad, 2010). Aliran permukaan sangat tergantung pada kemiringan tanah dan tekstur. Aliran permukaan pada tanah pasir lebih kecil daripada aliran permukaan pada tanah lempung. Hasil aliran permukaan adalah terjadinya perkolasi. Pada permukaan yang datar, perkolasi sama besarnya dengan presipitasi (evaporasi). Pada permukaan yang miring, perkolasi lebih kecil daripada presipitasi (evaporasi). Pada cekungan, perkolasi lebih besar daripada presipitasi (evaporasi) (Sutanto, 2005). Cara keluarnya atau cara mengeluarkan air lebih dari tanah dapat melalui permukaan tanah berupa aliran permukaan atau melalui aliran ke bawah di dalam profil tanah. Jika air lebih tersebut terdapat terutama di atas permukaan tanah dan pembuangannya melalui permukaan tanah, maka proses pembuangannya dikenal sebagai drainase permukaan (Arsyad, 2010). 5. Bahaya Erosi Arsyad (2010) mengklasifikasikan kelas erosi sebagai sangat ringan apabila < 0,15 % lapisan atas hilang, ringan apabila 0,15-0,9 % lapisan atas hilang. Kelas sedang apabila 0,9-1,8 % lapisan atas dan bawah hilang, kelas berat apabila 1,8-4,8 % lapisan bawah hilang, dan termasuk sangat berat apabila > 4,8 % lapisan bawah hilang.

Universitas Sumatera Utara

Konsekuensi terjadinya limpasan permukaan (run off) adalah partikel tanah terangkut dalam bentuk suspensi dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Bahan terangkut (sedimen) diendapkan di bagian cekungan (lembah). Kebanyakan tanah-tanah pertanian di wilayah atasan mempunyai kecenderungan mempercepat terjadinya erosi, karena pengolahan tanah yang buruk, penebangan tanaman penutup tanah pada lahan miring, pengolahan tanah menyilang kontur, dan penanaman tidak sejajar/menyilang kontur (Sutanto, 2005). Teras berfungsi mengurangi panjang lereng dan menahan air sehingga mengurangi kecepatan dan jumlah aliran permukaan serta memungkinkan penyerapan

air

oleh

tanah.

Dengan

demikian

maka

erosi

berkurang

(Arsyad, 2010). 6. Bahaya Banjir Ancaman banjir sangat perlu diperhatikan dalam pengelolaan lahan pertanian

karena

sangat

berpengaruh

terhadap

pertumbuhan

tanaman.

(Hardjowigeno, 1995) mengelompokkan bahaya banjir sebagai berikut; (f0) apabila tidak ada banjir dalam periode satu tahun, (f1) apabila ringan yaitu dalam periode kurang dari satu bulan banjir bisa terjadi dan bisa tidak, (f2) sedang yaitu selama 1 bulan dalam setahun terjadi banjir. (f3) apabila agak berat yaitu selama 2-5 bulan dalam setahun dilanda banjir. (f4) apabila berat yaitu selama 6 bulan lebih dalam setahun dilanda banjir. Banjir ditetapkan sebagai kombinasi pengaruh dari: kedalaman banjir (X) dan lamanya banjir (Y). Kedua data tersebut dapat diperoleh melalui wawancara dengan penduduk setempat di lapangan. Bahaya banjir dengan simbol Fx,y.

Universitas Sumatera Utara

(dimana x adalah simbol kedalaman air genangan, dan y adalah lamanya banjir) (Ritung, dkk, 2007). 7. Topografi Kemiringan dan panjang lereng adalah dua sifat topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Unsur lain yang mungkin berpengaruh adalah konfigurasi, keseragaman, dan arah lereng. Kemiringan lereng dinyatakan dalam derajat atau persen. Dua titik yang berjarak 100 m yang mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng 100% sama dengan kecuraman lereng 450 (Arsyad, 2010). Ketinggian permukaan tanah, kemiringan, dan aspek kemiringan (utara, selatan, timur, dan barat) berpengaruh terhadap hubungan permukaan tanah dan kedalaman air tanah, ketahanan terhadap erosi, dan gerakan air lateral di dalam tanah. Di samping itu, juga mempengaruhi iklim mikro dan sebaran tumbuhan (Sutanto, 2005). Pada lereng yang lebih curam dari 8% atau tanah yang lebih peka erosi, guludan mungkin tidak akan mampu mengurangi erosi sampai batas laju erosi yang masih dapat dibiarkan. Dalam keadaan ini dapat digunakan metode lain yaitu guludan bersaluran. Guludan bersaluran juga dibuat memanjang menurutarah garis kontur atau memotong lereng (Arsyad, 2010). 8. Batuan Permukaan Batuan permukaan adalah batuan yang tersebar diatas permukaan tanah dan berdiameter lebih besar dari 25 cm berbentuk bulat atau bersumbu memanjang lebih dari 40 cm berbentuk gepeng. (Arsyad, 2010) mengelompokkan penyebaran batuan diatas permukaan tanah sebagai berikut: (b0) apabila kurang

Universitas Sumatera Utara

dari 0,01 % luas areal (tidak ada), (b1) apabila 0,01 – 3 % (sedikit), (b2) apabila 3 – 15 % (sedang). (b3) apabila 15 – 90 % (banyak), dan (b4) apabila besar dari 90 % (sangat banyak). Batuan merupakan bahan dasar mineral tanah. Tanah yang belum bekembang mempunyai karakteristik yang cukup dekat antara sifat batuan induk dan sifat tanah (latosol). Sifat bahan induk tanah juga berpengaruh terhadap aras perkembangan tanah dan kecepatan faktor lain dalam mempengaruhi proses pembentukan tanah. Karakteristik batuan dapat dipilahkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan: kompisisi mineral dan kimiawi, sifat fisik batuan (struktur dan tekstur), dan relief permukaan batuan (Sutanto, 2005). Batuan singkapan adalah batuan terungkap diatas permukan tanah yang merupakan bagian dari batuan besar yang terbenam di dalam tanah. (Arsyad, 2010) mengelompokkan penyebaran batuan singkapan sebagai berikut; (b0) apabila kurang dari 2% (tidak ada), (b1) 2 - 10% (sedikit), (b2) apabila 10 50% (sedang), (b3) 50 - 90% (banyak), dan (b4) apabila lebih dari 90% (sangat banyak). Sifat Kimia Tanah 1. pH Tanah Ada empat bentuk kemasaman tanah, berkaitan dengan mudah tidaknya dinetralkan, yaitu kemasaman aktif atau kemasaman aktual adalah kemasaman yang berhubungan dengan aktivitas ion H+ di larutan tanah. Kemasaman dapat dipertukarkan atau kemasaman yang dapat digantikan garam adalah kemasaman yang berhubungan dengan ion H+, Al3+, dan Fe3+ yang teradsorpsi di permukaan koloid tanah. Kemasaman residual atau disebut juga kemasaman yang tidak dapat

Universitas Sumatera Utara

dipertukarkan oleh kation Al3+, Fe3+, dan H+, tetapi kation-kation ini lebih kuat terikat ditanah. Kemasaman potensial merupakan kemasaman dari hasil oksidasi bahan induk yang tak terhancurkan, seperti Pyrit (Mukhlis dkk, 2011). Tanah harus dapat dipertahankan pada kisaran pH optimum karena pH tanah mempengaruhi ketersediaan hara dan terjadinya flokulasi lempung. Untuk menanggulangi keasaman, pengelolaan tanah yang sering kali dilakukan adalah pengapuran (kapur, kapur tohor, dolomit, kalsit). Cara ini tidak selalu berhasil dengan baik, terutama untuk tanah-tanah yang mempunyai koloid bermuatan terubahkan (variable charge coloid) di wilayah tropika basah (Sutanto, 2005). pH rendah merupakan salah satu kendala apabila tanah tersebut dipergunakan untuk usaha tani atau budidaya, sehingga tanah ini perlu ada upaya pengapuran untuk meningkatkan pH. Dengan pH mendekati netral transfer kationkation akan lebih mudah, sehingga hara dalam keadaan tersedia untuk pertumbuhan tanaman (Soewandita, 2008). Dalam banyak kasus, kesuburan tanah diperbaiki dengan pengapuran tanah-tanah masam ke pH 6-7. Kebanyakan tanaman tumbuh baik pada kisaran pH tersebut. Pada reaksi tanah ini, konsentrasi Ca, Mg, dan P tersedia cukup untuk pertumbuhan tanaman. Tingkat kadar hara mikro dalam larutan tanah juga mencukupi. Terdapat juga kegiatan jamur dan bakteri (Tan, 1998). Berdasarkan tingkat relatif kemasaman, tanah-tanah dipisahkan ke dalam beberapa kelas kemasaman atau kebebasan. Biasanya tanah-tanah masam umum dijumpai di daerah iklim basah. Dalam tanah-tanah tersebut, konsentrasi ion H+ melebihi konsentrasi ion OH-. Tanah-tanah ini dapat mengandung Al, Fe, dan Mn terlarut dalam jumlah besar. Tanah-tanah alkalin kebanyakan terdapat di daerah-

Universitas Sumatera Utara

daerah beriklim agak kering hingga kering. akibat reaksi alkalinnya, tanah-tanah tersebut hanya mengandung sedikit Al, Fe dan Mn terlarut (Tan, 1998). Kemasaman tanah (pH) merupakan faktor penting untuk menentukan kelarutan unsur yang cenderung seimbang dengan fase padat. Kelarutan oksida dan hidroksida Al dan Fe langsung ditentukan oleh OH-. Semakin tinggi pH suatu tanah semakin sukar pula senyawa itu terlarut. Ion H+ bersaing langsung dengan kation penerima pasangan elektron seperti Cu dan Zn terhadap tempat yang sangat rumpil, dan oleh karena itu kelarutan senyawa kompleks Cu dan Zn bertambah dengan menurunnya pH tanah (Damanik dkk, 2011). 2. Kapasitas Tukar Kation (KTK) Kapasitas tukar kation tanah dapat didefinisikan sebagai suatu kemampuan koloid tanah dalam menyerap dan mempertukarkan kation. KTK biasanya dinyatakan dalam milliekuivalen per 100 gram. Kation-kation yang berbeda dapat mempunyai kemampuan yang berbeda untuk menukar kation yang diserap. Jumlah ion yang diserap sering tidak setara dengan yang ditukarkan. Ion-ion divalen biasanya diikat lebih kuat dari pada ion-ion monovalen, sehingga lebih sulit untuk dipertukarkan (Tan, 1998). Besarnya KTK suatu tanah ditentukan oleh faktor-faktor berikut: (1) Tekstur tanah, tanah yang bertekstur liat akan memiliki nilai KTK yang lebih besar dibandingkan tanah yang bertekstur pasir. Hal ini karena liat merupakan koloid tanah. (2) Kadar bahan organik, oleh karena sebagian bahan organik merupakan humus yang berperan sebagai koloid tanah, maka semakin banyak bahan organik akan semakin besar nilai KTK tanah. (3) Jenis mineral liat yang

Universitas Sumatera Utara

terkandung

di

tanah

sangat

menentukan

besarnya

KTK

tanah

(Mukhlis, dkk, 2011). Kapasitas tukar kation merupakan sifat kimia yang sangat erat hubunganya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik dibandingkan tanah dengan KTK rendah. Makin banyak kation-kation yang dapat dipertukarkan dalam tanah maka kandungan hara tidak akan mudah tercuci oleh air (Hardjowigeno, 1995). 3. Kejenuhan Basa (KB) Kejenuhan basa menunjukkan perbandingan antara jumlah kation-kation basa dengan jumlah semua kation-kation (kation basa dan kation asam) yang terdapat dalam kompleks jerapan tanah. Jumlah maksimum kation yang dapat diserap tanah menunjukkan besarnya nilai kapasitas tukar kation tanah tersebut.. Kejenuhan basa (KB) merupakan sifat yang berhubungan dengan KTK, yang dapat didefenisikan sebagai berikut: %KB = (Basa-basa tukar / KTK) x 100% Kation-kation basa umumnya merupakan unsur hara yang diperlukan tanaman. Disamping itu basa-basa umumnya mudah tercuci sehingga tanah dengan kejenuhan basa tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut belum banyak mengalami pencucian dan merupakan tanah yang subur (Hardjowigeno, 1995). Kejenuhan basa sering dianggap sebagai petunjuk tingkat kesuburan tanah, kemudahan pelepasan kation terjerap untuk tanaman tergantung pada tingkat kejenuhan basa. Suatu tanah dianggap sangat subur jika kejenuhan basanya > 80%, kesuburan sedang jika kejenuhan basanya antara 50-80 %, dan tidak subur jika kejenuhan basanya < 50%. Suatu tanah dengan kejenuhan basa sebesar 80% akan melepaskan basa-basa yang dapat dipertukarkan lebih mudah dari pada tanah

Universitas Sumatera Utara

dengan kejenuhan basa 50%. Pengapuran merupakan cara yang umum untuk meningkatkan persen kejenuhan basa (Tan, 1998). 4. C-organik Kadar C organik tanah cukup bervariasi, tanah mineral biasanya mengandung C organik antara 1 hingga 9%, sedangkan tanah gambut dan lapisan organik tanah hutan dapat mengandung 40 sampai 50% C organik dan biasanya <1% di tanah gurun pasir. Ada beberapa metode yang biasa dilakukan dalam analisis bahan organik tanah. Antara lain dengan pembakaran, oksidasi basah (Mukhlis, dkk, 2011). Kandungan bahan organik tanah biasanya diukur berdasarkan kandungan C-organik. Kandungan karbon (C) bahan organik bervariasi antara 45% - 60% (rerata 50%) dan konversi C-organik menjadi bahan organik = % C-organik x 1,724. Kandungan C termasuk perakaran dan edafon yang masih hidup sehingga tidak rancu dengan kandungan humus. Kandungan bahan organic dipengaruhi oleh aras akumulasi bahan asli dan aras dekomposisi dan humifikasi yang sangat tergantung kondisi lingkungan (vegetasi, iklim, batuan, timbulan, praktik pertanian) (Sutanto, 2005). Bersama dengan lempung tanah, bahan-bahan humat bertanggung jawab atas sejumlah aktivitas kimia dalam tanah. Mereka terlibat dalam reaksi kompleks dan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, mereka diketahui memperbaiki kesuburan tanah dengan mengubah kondisi fisik, kimia, dan biologi dalam tanah (Tan, 1998).

Universitas Sumatera Utara

5. Daya Hantar Listrik (DHL) Tanah Pelonggokan garam yang mudah larut dalam tanah secara parah menghambat

pertumbuhan

tanaman.

Pelonggokan

garam

tersebut

akan

mengimbas plasmolisis, yaitu suatu proses bergerak keluarnya H 2 O dari tanaman ke larutan tanah. Kehadiran ion Na+ dalam jumlah tinggi dapat mempertahankan partikel-partikel tanah tetap tersuspensi. Dengan pengeringan, tanah membentuk lempeng-lempeng keras, dan terjadi pembentukan kerak di permukaan. Yang disebut terakhir ini menurunkan porositas tanah dan aerasi terhambat secara parah (Tan, 1998). Salinitas dan sodisitas berpengaruh jelas terhadap pertumbuhan tanaman. Sodisitas dapat menyebabkan toksisitas kepada tanaman dan membuat masalah pada unsur hara, seperti defisiensi Ca2+. Pada tanah salin, kelarutan ion Cl-, SO 4 -, HCO 3 -, Na+, Ca+, Mg+, dan kadang-kadang NO 3 - dan K+, dapat merusak tanaman dengan cara menurunkan potensial osmotik. Namun, spesies dan varietas tanaman dari satu spesies memiliki toleransi berbeda terhadap pengaruh ion-ion tersebut (Mukhlis, dkk, 2011). Proses pelapukan batuan atau mineral melalui reaksi kimia menghasilkan material yang memiliki komposisi berbeda dengan bahan aslinya. Agen utama terjadinya proses pelapukan kimia adalah H 2 O, CO 2 , O 2 , dan ion H+. Disolusi terutama terjadi pada garam-garam yang larut air seperti NaCl, dan CaSO 4 .2H 2 O. Terjadi pelarutan karena pengikatan antara molekul air kutub ganda dan kation serta anion (penyusutan garam), serta kehilangan ion dalam larutan. Proses disolusi sangat penting terutama pada proses desalinisasi tanah salin dan

Universitas Sumatera Utara

pembentukan tanah dari batuan yang banyak mengandung gipsum (CaSO 4 .2H 2 O) (Sutanto, 2005). EC (Electric Conductivity) merupakan ukuran yang dapat dipercaya, tidak mahal dan cepat. Sehingga EC selalu diukur dalam uji tanah laboratorium. EC didasarkan kepada konsep bahwa arus listrik dihantarkan oleh larutan garam dibawah kondisi standar akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi garam di larutan tersebut (Mukhlis, dkk, 2011). Berdasarkan persentase Nadd dan DHL dikenal 3 kelompok tanah yaitu; (1) tanah salin, (2) tanah salin-alkali, (3) tanah bukan salin -alkali (sodik). Tanah salin dicirikan oleh DHL > 4 mmhos/cm pada 25 ̊C dan PNT < 15%. tanah salinalkali adalah tanah dengan DHL

> 4 mmhos/cm pada 25 ̊C dan PNT > 15%.

Tanah bukan salin alkali dicirikan dengan DHL < 4 mmhos/cm pada 25 ̊C dan PNT > 15%. Pada DHL antara 2-4 mmhos/cm, hanya tanaman yang sangat rentan akan terpengaruh, sedang pada nilai < 2 mmhos/cm pengaruh salinitas kecil dapat diabaikan (Tan, 1998). Kondisi Umum Wilayah Penelitian Provinsi Sumatera Utara, selain dikenal karena keindahan alam dan budayanya juga dikenal sebagai daerah penghasil kopi arabika dan robusta terbaik di dunia, seperti: kopi Sidikalang yang berasal dari dataran tinggi Dairi dan kopi Mandailing yang berasal dari Mandailing Natal. Adanya produksi kopi ini yang telah memberikan kontribusi penting pada perekonomian masyarakat dan daerah. Baik melalui perdagangan kopi secara langsung, produk olahan dan sektor jasa. Keadaan ini tentunya didukung oleh letak geografis, suhu dan curah hujan yang

Universitas Sumatera Utara

sesuai untuk pertumbuhannya sehingga luas kebun kopi cenderung bertambah (Arief, dkk, 2011). Kabupaten Dairi mempunyai Luas 192.780 Ha atau sekitar 2,69 % dari luas Propinsi Sumatera Utara (7.160.000 ha). Kabupaten Dairi terletak sebelah Barat Daya Propinsi Sumatera Utara. Sebagian besar Kabupaten Dairi terdiri dari dataran tinggi dan berbukit-bukit. Kabupaten tersebut terletak antara 98000'98030' BT dan 2015'00''- 3000'00" LU. Sebagian besar tanahnya berupa gununggunung dan bukit-bukit dengan kemiringan bervariasi sehingga terjadi iklim hujan sub tropis. Kota Sidikalang adalah ibukota Kabupaten Dairi (BPS, 2012). Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2012) yakni Luas Kecamatan Sidikalang 70,67 Km2. Dari luas kecamatan tersebut terdapat luas tanah sawah 679 Ha. Rata-rata produksi padi sawah 3,68 ton/Ha. Tanaman palawija yang paling dominan adalah jagung. Tanaman keras yang paling banyak adalah kopi (kopi arabika) kemudian kemenyan, tingkat produktivitas kopi adalah 575 kg/Ha.

Universitas Sumatera Utara

Related Documents

Chapter
May 2020 60
Chapter
November 2019 76
Chapter
October 2019 79
Chapter 1 - Chapter 2
June 2020 62

More Documents from ""

Chapter Ii.pdf
April 2020 13
Daftar Pustaka.docx
May 2020 13
1212-2423-1-pb (1).pdf
April 2020 3
Makalah Penjaskes.docx
June 2020 14
Syair Rakitan.docx
June 2020 17
Scan-2.pdf
November 2019 10