Serpihan Hati Di Ujung Senja Deras hujan yang turun malam ini membuat lamunanku sedikit berkelebat. Gemericik tetesannya menenangkan kalbu ini yang diliputi rasa rindu. Rindu yang memapahku pada hentakan daun tersaput hujan. Akankah ia merasakan gelisahku dalam kecipak air yang saat ini berseliweran di ujung jari kakiku? Kali ini aku berteduh di kerumunan daun dekat taman bunga. Kurasakan dingin malam menelusup di balik lengan bajuku. Di sampingku terpampang lampu taman yang bersinar menerangi keindahan di mataku, membuat kerling dalam kilauan rumput hijau. Sejuk sinarnya sedikit menghangatkanku. Dalam saat itu kurasakan kemegahan romantisme hujan. Ah, mengapa aku jadi sesentimentil ini? Apakah ia menerima gundahku malam ini yang kukirim lewat dingin malam tadi? Tunggulah aku, Silmi! Kemilau hujan ini akan aku bingkai demi perserahanku padamu! Aku sendirian di taman ini. Kurasa aku terjebak dalam suasana hening, meski jalan raya terlihat tepat sepuluh meter di hadapanku. Sekedar untuk mengenang awal perjumpaanku dengan seorang ukhti yang bernama Silmi. Sudah lebih dari dua tahun aku mengenalnya. Sejak pertemuan yang menyimpan rasa tersendiri di lubuk ini. Yaa…ukhti, sejak acara mentoring itu aku tak bisa mengenyahkan bayangmu dari pikiranku. Yaa…Allah, mengapa aku harus terjerat virus merah jambu dikala aku tengah berjuang mensyiarkan agamaMu dalam jalan dakwah ini? Silmi adalah rekan kerjaku saat acara mentoring siswa SMA di kampusku. Entah sengaja atau tidak, aku yang pada saat itu memangku jabatan sebagai koordinator lapangan terkesima hati memandang ciptaan Allah yang agung. Kulihat ia begitu anggun dengan gamis merah jambu khas kaum Hawa. Jilbabnya yang lebar sampai ke pinggang serta gaya bicaranya yang santun membuatku benar-benar kagum padanya. Astaghfirullaah…Entah rasa kagum atau apa yang ada dalam hati ini? Yang jelas, maafkan aku, Yaa..Rabb!!
Sejak saat itulah rohis kampusku mulai mengeratkan silaturahmi dalam setiap kegiatan yang bernafaskan Islam dengan rohis di kampus Silmi. Berbagai kegiatan dan acara kami adakan. Ah, betapa indah semangat ukhuwah dulu! Selama dua tahun itu aku terus memendam perasaan ini. Tak ada yang tahu, kecuali Allah. Dalam setiap rapat kegiatan, entah mengapa aku ingin selalu dekat dengannya, hingga mata ini selalu terlirik padanya. Rupanya aku sudah terjebak dalam CBSA (Cinta Bersemi Sesama Aktivis). Yaa…Allah, sekali lagi aku telah mengotori jalan dakwah ini. “Ada apa, Akhi? Sepertinya antum tidak semangat menjalani rapat ini?” Tanya Silmi padaku, sambil memandang dengan mata yang membuatku ge-er. “Engga..” jawabku sambil gelagapan. Ah, Silmi…mengapa kamu jadi perhatian sekali padaku? Kamu membuat sebuah rasa dalam hati ini semakin bersemi. Aku jadi teringat ucapan Mukhlis, teman seperjuanganku, “Cinta itu fitrah, Akh. Jangan kau bunuh cinta itu, tapi bingkailah ia dengan cahaya. Jangan sampai dalam hati kita terdapat dua cinta. Allah akan murka dan cemburu,” jelasnya padaku. Entah dari mana ia tahu aku sedang terjerat virus ini, tapi ia mengatakan sering melihatku melamun. Aku sendiri merasa hatiku sejuk setelah mendengarkan perkataan hikmahnya. Tapi bagaimanapun, rasa itu semakin kuat tertanam dalam sanubariku. “Jagalah pandangan kita dari sesuatu yang Allah melarangnya!” tambahnya. Mukhlis, engkau mengerti benar aku. Namun, sanggupkah engkau membantuku agar nurani ini tak selalu terbayang raut wajahnya? Kupendam permohonan itu dalam-dalam. Mengapa orang lain harus turut campur dalam masalahku? Aku tak mau jadi muslim yang lemah! Namun kuatkah aku? Sanggupkah aku membingkai rasa ini pada saatnya nanti seperti apa yang dikatakan Mukhlis temanku? Aku khawatir ia tahu bahwa Silmi-lah penyebab utamaku sering melamun. Tapi kuharap ia tak tahu. Kalaupun tahu, aku ingin ia merahasiakannya.
Semakin sering aku dan Silmi berkolaborasi dalam setiap kegiatan. Namun syari’ah memisahkanku dengannya. Tapi biarlah, asal kami masih bisa selalu berjumpa. Silmi, tunggulah isyarat dariku! Pesan itu yang kuhunjamkan dalam hati ini dua tahun yang lalu. Kini aku akan melaksanakannya. Hujan lambat laun merintik. Tetesannya semakin kecil. Tersadarlah aku dari lamunan dua tahun lalu. Kupandangi taman dan sekitarnya. Taman kampus masih seperti dulu, tak ada yang berubah. Masih dengan tujuh pohon yang berbaur di tengahnya. Masih dengan air mancur dan kursi taman yang tak lapuk dihantam hujan. Disinilah pertama kali aku memandangnya. Aku hanya ingin sedikit bernostalgia melihat kampus yang belum lama kutinggalkan. Malam ini banyak sinar lampu di jalan-jalan. Entah berapa banyak. Yang penting semakin memperindah pemandangan malam ini. Kutatap arloji, sudah pukul sembilan. Tak terasa, seiring lamunanku selama satu jam, hujan pun turun deras. Bersama langkah kaki, aku mencoba meniti memori semenjak kelulusanku. Ah, aku jadi teringat Silmi. Ya… Allah, mengapa rasa itu semakin kuat di dadaku? Salahkah aku yang mengagumi ciptaan indahMu? Sudah empat bulan semenjak kelulusan, aku tak lagi bertatap muka dengannya. Rinduku tertahan. Namun aku masih menyimpan alamatnya yang ada pada buku agenda akhir tahun rohis kepengurusanku, bersama dengan aktivis-aktivis lainnya. Sekali waktu aku bisa mampir ke rumahnya. Kini aku tinggal bersama kerabat orang tuaku. Mereka sangat baik padaku semenjak kedua orang tuaku meninggal tiga tahun lalu, karena kecelakaan lalu lintas setelah menjengukku di rumah kost baru. Kini aku yatim piatu. Kesedihan bisa saja merajai diriku, namun aku tak mau larut dalam itu. Sayang, mereka tak sempat melihatku diwisuda. Aku merasa gelar S.T. di belakang namaku terasa hambar. Sampai kini umurku dua puluh tiga tahun, aku belum bisa membaktikan diri pada mereka. Maafkan aku, ayah! Maafkan aku, ibu! Kembali lagi pada Silmi. Sudah lama aku tak mendengar kabarnya. Tapi menurut Salim, temanku, ia masih bertempat tinggal di alamat yang sama. Sekarang ia bekerja di perusahaan pamannya sebagai accounting consultant,
sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya di universitas. Salim mengetahui kabar itu dari adiknya yang menjadi binaan Salim dalam bimbingan belajar. Tentu saja Salim sering ke rumah Silmi untuk mengajari les privat pada Afni, adik Silmi. Sedikit aku bercerita mengenai Salim. Salim adalah orang yang pintar. Waktu kami masih kuliah, aku sampai kagum setelah meengetahui IPK-nya 3,78. Jadi tak heran kalau sekarang ia banyak memberi les pada anak-anak SMA. “Setiap manusia itu diciptakan oleh Allah dengan kemampuan otak yang sama. Hanya saja, bagaimana usaha kita untuk merangsang kinerjanya agar lebih produktif,” jelasnya padaku, setelah aku bertanya padanya bagaimana resep menjadi orang pintar. Lagi, aku mendapat ilmu dari lautan sejuta hikmahNya. Salim-lah yang selalu menyemangati dan mendorongku agar kuat menjalani hidup ini. Aku telah bersama dengannya sekitar tujuh tahun. Persahabatan kami semakin erat. Aku percaya padanya. Ia juga sering mempercayai aku. *** Suatu hari, aku ingin membicarakan hal penting dengan Salim. Yang menggelitik hatiku selama dua tahun ini. Di pelataran taman kampus, kami duduk berdua. “Salim, maukah kamu membantuku? Sekali ini saja!” pintaku padanya. “Setiap muslim harus saling membantu. Aku akan terus membantumu. Bukan kali ini saja, tetapi sampai Allah membatasi kemampuanku, bahkan sampai Allah memisahkan kita,” jelasnya. Ah, Salim! Aku semakin bangga terhadapmu. Izzahmu begitu sempurna di mataku. “Lalu apa yang bisa aku bantu untukmu, Akh?” Tanya Salim padaku. Sementara itu aku terdiam, kira-kira beberapa detik. Lalu kembali membuka suara, “Kau tahu siapa itu Silmi?”
“Tentu saja! Dia kan rekan seperjuangan kita dulu. Tentulah aku mengenalnya. Ayolah, Man..Jangan bertele-tele seperti ini!” “Kau pasti kenal dekat dengannya, kan?” “Ya, tentu!” Salim mengiyakan, kemudian aku menceritakan hal penting itu padanya, “Sudah lama aku memendam perasaan ini. Hingga aku selalu terbayang akan kehadirannya di hadapanku. Ialah Silmi yang selalu membuatku termangu. Selama tiga tahun aku bergulat menahan rasa ini. Kini aku mau ceritakan padamu : Aku ingin mengkhitbah Silmi. Aku mau menjadikannya sebagai pendamping hidupku. Aku tak mau terjerat dalam maksiat. Kukira aku telah mampu. Maukah kamu mengkhitbahkannya untukku, kawan?” Sesaat kutatap Salim. Ia terkejut, lalu ia nampak berpikir. “Mau kan, Lim?” pintaku lagi. Ia belum juga membuka suara. Tak lama kemudian, ia berkata dalam kegelisahannya, “Kamu yakin Silmi orangnya? Bukan aku meragukanmu. Aku tahu kamu telah memiliki segalanya. Dien yang kuat, penghidupan yang layak, dan zuhud (penampilan lahiriyah) mu tak perlu aku ragukan. Tapi semua itu tergantung pada keyakinan dan ketetapan hatimu. Apakah kamu sudah memikirkan hal ini dengan matang? Apakah kau sudah berserah kepada Yang Mahakuasa? Siapkah kamu menjalin ikatan rumah tangga dengannya?” Salim memberondongku dengan pertanyaannya. Bagai belati tajam yang ia hempaskan padaku. Namun aku telah siap, apapun rintangannya nanti, ”Ya. Aku telah lama berkutat dengan hal ini. Aku telah siap!” jawabku mantap. “Baiklah, aku percaya padamu! Kapan kamu mau aku mengkhitbahnya untukmu?” “Lusa!” “Secepat itukah?” tanyanya heran.
“Ya!” jawabku sekali lagi dengan mantap. Kemudian kami berpisah. Dalam perjalanan pulang, Salim tampak ragu-ragu. Ia membiaskan gelisah. Salim, tuluskah kau membantuku? *** Seminggu sudah aku menunggu kabar itu. Kemana kamu, Salim? Aku menunggumu. Mengapa kamu tak jua muncul dan memberi tahu hasilnya padaku? Aku masih menunggu hasil itu dari Salim. Namun ia seperti jin, menghilang entah kemana. Kutanyakan pada keluarganya, kata mereka Salim sedang mengikuti training keislaman. Tapi dimana? Keluarganya pun tak tahu. Salim…tolong jangan biarkan aku disini gelisah dan berharap cemas. Cepatlah kembali, kawanku! Adakah kesalahanku sehingga membuatmu menghilang seperti ini? Please, aku menunggumu! Aku tak berkenan menanyakan langsung pada Silmi, bagaimanapun keputusannya. Aku khawatir Salim belum menyampaikan hal itu padanya. Gundah semakin merajai punggawaku. Dimana kamu, Salim? Kemudian setelah seminggu itu, aku mencoba mencari keberadaan Salim. Kucari ia di masjid tempat ia biasa bermunajat. Tapi tak ada! Kemudian di kampus dan kutanyakan juga pada siswa binaannya. Namun tak ada satu pun yang mengetahui dimana dia berada. Kurasa aku telah bersalah padanya. Tapi apa salahku? Semua resah. Semua gelisah. Berita hilangnya Salim membuatku dan keluarganya sangat panik. Sayang, sampai satu minggu sejak pencarian mulaku dulu, Salim belum jua ditemukan. Apa yang membuatmu menghilang selama ini? *** Sekian lama Salim menghilang, akhirnya kutemukan ia di masjid tempat biasa ia mendekatkan diri pada Rabbul Izzah. Kulihat ia, sepertinya sedang berdo’a. kemudian aku kian memfokuskan pandanganku. Hei, kenapa ia menangis? Salim, mengapa kalau ada masalah, kau tak bercerita padaku? Sesaat kemudian aku pun melangkah ke masjid itu. Masjid yang biasa dijadikan tempat temu majelis setiap minggunya.
“Assalamu ‘alaikum!” Salim pun menoleh ke belakang. Sesaat ia tampak terkejut, sebelum membalas salamku. “Kemana saja kamu, Salim? Aku pernah mencarimu kesini, tapi waktu itu kau tidak ada. Aku ingin mengetahui kabar itu!” Ah, betapa possesifnya aku. Baru saja kutemukan Salim, aku sudah langsung menanyakan keputusan Silmi terhadap pinanganku tanpa berbasa-basi terlebih dulu. “Bagaimana? Sudahkah kau menyampaikan maksudku padanya?” tanyaku lagi. Salim lebih banyak diam. Air mata terus mebasahi pipinya. Aku semakin tak mengerti. “Bicaralah, Salim!” batinku. Kemudian Salim mengajakku keluar mesjid. Tanpa berkata, ia menarik tubuhku begitu halus. Secara refleks aku mengikutinya. Kami berdua kemudian duduk di pelataran masjid itu. “Maukah kamu memaafkan aku, Man?” pintanya padaku, seraya air mata kulihat bergelayutan di kedua kelopak matanya. “Apa yang membuatmu harus meminta maaf padaku? Kamu tak salah apa-apa, kawan!” “Tidak, aku bersalah!” “Lalu apa kesalahanmu?” keluhku. Aku semakin tak mengerti mengapa sahabatku jadi begini. “Berjanjilah kalau setelah kau mendengar ceritaku ini, kamu akan memaafkan aku!” Aku mengangguk. “Aku sebenarnya sudah menyampaikan maksud keinginanmu pada keluarga Silmi, tepatnya lusa setelah kita pulang dari taman kala itu. Namun aku
mendapatkan tanggapan, atau tegasnya jawaban yang membuatku benar-benar terkejut. Aku rasa kamu juga akan terkejut mendengar hal ini, Man!” “Apa jawaban dari mereka?” potongku. “Mereka berkata bahwa sejujurnya Silmi menginginkanku, dan mereka menolak secara halus pinangan darimu. Aku juga heran. Demi Allah, Man! Apa yang kukatakan ini benar! Namun aku tak mau mengecewakanmu. Maafkan aku, Man..!” Aku terhenyak mendengar pengakuan Salim tadi. Salim, mengapa tidak kamu katakan sedari dulu? Aku tahu, mungkin kamu bingung memberitahukannya padaku. Mungkin juga kamu menghindar dariku karena tak tega mengharap wajah berharapku. Tiba-tiba Salim memelukku erat. Kudengar ia menangis tersedu-sedu sambil terus meminta maaf padaku. Hatiku pecah, kemudian puing-puingnya beterbangan entah kemana. Kutahan sekuat mungkin air mata yang telah menggenang di kelopak mata ini. Lalu Salim melepaskan pelukannya, dan berkata padaku dengan suara parau, “Silmi menginginkan aku yang meminangnya. Kenyataan ini diperkuat lagi saat Afni mengatakan bahwa Silmi sering curhat mengenai rasa sukanya padaku. Afni mengatakan hal itu dengan jelas, Man! Silmi menginginkanku! Kumohon maaf, Man! Aku tak tahu harus bagaimana?” Salim kembali memelukku, namun kali ini lebih erat. Tangisnya semakin lirih. Sementara itu, aku hanya termangu. Hati ini bergetar bagai dihempas ombak. Lidahku kelu tak bisa berkata apa-apa. Salim terus saja meminta maaf padaku, kemudian kulepas pelukannya. Kutatap ia lekat-lekat. “Seharusnya aku yang minta maaf padamu, Lim! Aku tak bisa mengerti bahwa sesungguhnya Silmi menginginkanmu. Betapa bodohnya aku tak menyadari hal itu. Mungkin dengan memintamu menjadi guru les Afni, ada maksud lain. Ternyata aku terlambat memahami maksud itu!” “Tapi kamu yang menginginkannya, Man!” hibanya padaku. “Tidak! Tak ada gunanya ia menikah denganku. Hatinya hanya tertaut padamu. Kamulah yang pantas mendapatkannya! Maafkan aku yang sempat ingin merebutnya darimu!”
Kami berdua tertunduk. Angin di pelataran mesjid ini tak mampu menyejukkan suasana hatiku yang goncang. Tapi aku berusaha menahan diri agar tak terbawa perasaan seperti Salim. Salim orangnya sensitif. Kalau aku juga menangis di hadapannya, aku telah menggoreskan luka yang teramat menyakitkan hatinya. Biarlah duri itu menghunjam hatiku. Toh hatiku telah pecah dan beterbangan, sulit tersakiti lagi. “Percayalah, aku ikhlas menerima semua ini. Aku bangga padamu karena kamu tak mau membuat luka di hatiku. Namun ia lebih pantas untukmu. Temui dan pinanglah ia sesegera mungkin. Ataukah kamu ingin aku yang meminangkannya untukmu?” “Tidak, Man.. Aku tak sanggup!” Air mata itu terus membanjiri pipinya. Salim, kuatkanlah hatimu, kawan! “Yakinkan dirimu, Lim! Kamu tak mau menerima permintaan sahabat baikmu ini? Sebagai seorang muslim, aku akan sangat kecewa jika yang kamu katakan dulu bahwa sesama muslim harus saling membantu, tidak kamu lakukan!” tegasku. “Tapi aku tak ingin menyakitimu dengan meminangnya!” “Sekarang tataplah aku! Biarlah hati seorang sahabat sakit, tapi apakah kamu mampu mengobati sakit hati seorang wanita? Apakah kamu akan menghancurkan impiannya terhadapmu? Ingat, Lim! Yang bermain dalam wanita itu adalah perasaan. Sekali kamu mempermainkan perasaannya, maka ia akan rapuh, lalu membencimu! Jangan kamu biarkan ia bermain dengan pengharapan! Yakinkanlah Silmi bahwa kamu akan meminangnya. Buat ia merasa terlindungi olehmu!” Aku seperti tabah mengatakan kalimat-kalimat itu, walau sebenarnya hati ini goncang. Ternyata laki-laki pun tak bisa lepas dari rasa sentimentil. “Kamulah yang paling pantas untuk Silmi! Kamu telah dekat dengan keluarganya. Kamu telah sering bertemu dengannya, mungkin hampir tiap hari. Sedangkan aku? Selama empat bulan ini pun aku belum menemuinya. Aku tak begitu dekat dengan keluarganya. Aku bahkan baru tahu bahwa ia punya adik bernama Afni. Selain itu, ia juga pasti punya pertimbangan mengapa ia memilihmu ketimbang aku.”
Kulihat Salim menyeka air matanya, lalu ia berkata padaku dengan sorot mata meyakinkan. Inilah Salim yang kuharap selama ini. “Mungkinkah Allah mengirim jodoh padaku lewat jalan ini, Man?” Ia tersenyum menatapku. Mukanya semakin cerah, kemudian aku mengangguk mengiyakan. “Kalau ini memang kehendak Allah, bersediakah kamu meminang Silmi untukku, Man?” Mataku berbinar. Salim telah kembali menjadi Salim yang dulu. “Kapan, Lim? Sekarang? Besok? Atau lusa?” tanyaku dengan semangat. Walau hati ini masih terasa goncang, tapi senyum Salim berhasil merekatkan kembali serpihan hatiku yang beterbangan. “Secepat itukah?” “Ya! Kamu telah “gentayangan”mu, kan?” Kulihat ia tertawa menganggukkan kepala.
memikirkannya
hingga
gigi
matang-matang
gerahamnya
selama
terlihat,
masa
lalu
ia
“Tapi kamu harus berjanji padaku kalau kamu akan membahagiakan Silmi dan membuatnya merasa bersyukur mempunyai suami sepertimu nanti. Kamu harus menjadikannya sebagai istri yang paling bahagia di dunia! Jangan terlalu sering kamu mengecewakannya!” “Akan kupegang janjiku itu!” ujar Salim dengan penuh percaya diri. “Lalu kapan kamu akan mengutarakan maksudmu itu?” tanyaku penasaran. “Minggu depan. Soalnya pada saat itu aku gajian. Maklum, awal bulan!” candanya. Ah, Salim! Kamu bisa juga bercanda. Semoga gajimu sebagai staff pengajar dalam program bimbingan belajar dapat mensejahterakanmu dan keluargamu nanti. Aku hanya bisa merestui dan mendo’akanmu.
“Undangan pernikahan pertama padaku, ya!” godaku “Oh, pasti!” Kami berdua tertawa, padahal acara pernikahan itu belum tentu terjadi. Bahkan peminangannya pun belum dilaksanakan. Kemudian kami berangkulan. Di dalam hati, aku tak henti mengucap syukur. Sementara itu, angin sepoi masih berhembus sejuk di pelataran masjid ini. Di langit, mentari turun perlahan dengan menyibakkan warna jingga. Silmi… berbahagialah engkau, karena telah memilih pendamping hidup sebaik Salim. (xxx) By DHIVAR